BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam pengertian individu memiliki potensi untuk tumbuh dan
berkembang dengan adanya pendidikan sebagai suatu kekuatan dinamis serta
mempercepat perkembangan. Pendidikan merupakan keharusan bagi eksistensi
manusia. Pendidikan memegang peranan utama dalam kemajuan suatu bangsa.
Karena pendidikan maka akan tercipta masa depan suatu bangsa yang maju.
Dalam hal ini, suatu bangsa membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas
dan bernalar tinggi serta memiliki kemampuan untuk memproses dan
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat.
Pendidikan di Indonesia bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa
agar memiliki kecerdasan, berakhlak mulia serta memiliki keterampilan yang
diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Salah satu cara yang
dapat dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut adalah reformasi
dalam pembelajaran matematika yang telah dicantumkan dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Tingkat ketercapaian pelaksanaan reformasi pendidikan dan pembelajaran
matematika tersebut dapat diketahui melalui pelaksanaan evaluasi pada berbagai
tingkat pendidikan, seperti pada evaluasi Ujian Nasional (UN). Pada pasal 3 PP No.
20 Tahun 2005, UN bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara
nasional pada mata pelajaran yang ditentukan dari kelompok mata pelajaran ilmu
2
Seringkali hasil dari ujian nasional, terutama pada pembelajaran
matematika Sekolah Dasar dijadikan satu-satunya indikator kemampuan
matematika siswa Sekolah Dasar. Meskipun demikian, jika dilihat dari soal-soal
yang disajikan dalam UN, tampak bahwa pada umumnya soal-soal itu adalah
merupakan soal-soal rutin, bukan soal pemecahan masalah atau masalah
kontekstual. Bahkan pada UN Sekolah Dasar soal-soal rutin mendominasi lebih
dari 75% dari seluruh soal yang tersedia (Departemen Pendidikan Nasional,
2001). Hal ini berarti bahwa jika rata-rata hasil UN matematika Sekolah Dasar
relatif lebih baik dari suatu bidang studi lain, seperti IPS misalnya, belum dapat
dijadikan indikator penguasaan siswa terhadap soal-soal cerita matematika telah
baik. Hal ini diperkuat dengan kenyataan posisi siswa Indonesia dalam laporan
Trends International Mathematics and Science Studies (TIMSS) 2007 dan jenis
soal-soal yang disajikannya didominasi oleh pemecahan masalah termasuk
masalah-masalah kontekstual. Sampai saat ini soal atau masalah realistik dalam
matematika masih merupakan isu yang cukup menarik. Hal ini karena jenis soal
tersebut masih merupakan soal yang sulit, baik ditinjau dari sisi guru (bagaimana
mengajarkannya) maupun dari sisi siswa (bagaimana menyelesaikannya).
Hasil TIMSS di atas dapat dijadikan sebagai informasi bahwa masih
banyak siswa yang tidak bisa menjawab materi ujian matematika yang berstandar
internasional. Jika dilihat dari materi yang diujikan, materi tes yang diberikan
merupakan soal-soal tidak rutin (masalah matematis yang membutuhkan
kemampuan penalaran). Soal seperti itu belum dibiasakan pada siswa dalam
matematika adalah pada pemberian rumus, contoh soal, dan latihan soal rutin.
Siswa hanya mengerjakan soal latihan yang langsung diselesaikan dengan
menggunakan rumus dan algoritma yang sudah diberikan sehingga siswa hanya
dilatih mengingat. Konsekuensinya adalah jika mereka diberikan soal tidak rutin,
mereka melakukan banyak kesalahan. Akibatnya, kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa di Indonesia masih kurang, padahal dalam pembelajaran
matematika kemampuan pemecahan masalah sangat penting.
Pernyataan di atas juga dibuktikan, ketika peneliti mencoba melakukan uji
coba instrumen tentang keliling dan luas persegi dan persegi panjang yang
dilakukan pada salah satu Sekolah Dasar Negeri. Soal tersebut meliputi 6 tidak
rutin (soal-soal cerita) dan 4 rutin. Dari hasil jawaban siswa menunjukkan bahwa
85% siswa dapat menjawab dengan baik soal-soal rutin, sedangkan untuk soal
tidak rutin hanya mampu dijawab 15% siswa.
Menurut Nasution (2000), pemecahan masalah dapat dipandang sebagai
proses siswa menemukan kombinasi aturan-aturan yang dipelajarinya lebih dahulu
yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang baru. Siswa yang terlatih
dengan pemecahan masalah akan terampil menyeleksi informasi yang relevan,
kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti hasilnya. Keterampilan itu akan
menimbulkan kepuasan intelektual dalam diri siswa, meningkatkan potensi
intelektual, dan melatih siswa bagaimana melakukan penelusuran melalui
penemuan. Ini berarti kemampuan pemecahan masalah merupakan hal yang harus
mendapat perhatian, mengingat peranannya yang sangat strategis dalam
4
Agar siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik, maka
diperlukan sikap matematis siswa yang baik pula, diantaranya adalah menyenangi
matematika, menghargai keindahan matematika, memiliki keingintahuan yang
tinggi dan senang belajar matematika. Dengan sikap yang demikian, siswa
diharapkan dapat terus mengembangkan matematika, menggunakan matematika
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam hidupnya, dan dapat
mengembangkan disposisi matematis siswa. Jadi, kemampuan pemecahan
masalah dan disposisi matematis siswa saling terkait.
Disposisi matematis siswa terhadap matematika tampak ketika siswa
menyelesaikan tugas matematika, apakah dikerjakan dengan percaya diri,
tanggung jawab, tekun, pantang putus asa, merasa tertantang, memiliki kemauan
untuk mencari cara lain dan melakukan refleksi terhadap cara berpikir yang telah
dilakukan. Hal ini sejalan dengan National Council of Teachers of Mathematics
(NCTM) (1989: 233), yang menyatakan bahwa,
The assessment of students’ mathematical disposition should seek information about their:
1. Confidence in using mathematics to solve problems, to communicate ideas,
and to reason;
2. Flexibility in exploring mathematical ideas and trying alternative methods
in solving problems;
3. Willingness to persevere in mathematical tasks;
4. Interest, curiosity, and inventiveness in doing mathematics;
5. Inclination to monitor and reflect on their own thinking and performance;
6. Valuing of the application of mathematics to situations arising in other disciplines and everyday experiences;
7. Appreciation of the role of mathematics in our culture and its value as a tool and as a language.
Penilaian dari disposisi matematis di atas termuat dalam ranah afektif yang
“peserta didik memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam
kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah.” (Departemen Pendidikan Nasional, 2006: 346).
Dari penilaian ranah afektif seperti dikemukakan dalam Kurikulum 2006
tersebut, dapat diketahui betapa pentingnya peningkatan disposisi matematis
dalam proses belajar mengajar matematika. Dalam proses belajar mengajar,
disposisi matematis siswa dapat dilihat dari keinginan siswa untuk merubah
strategi, melakukan refleksi, dan melakukan analisis sampai memperoleh suatu
solusi. Disposisi siswa terhadap matematika dapat diamati dalam diskusi kelas.
Misalnya, seberapa besar keinginan siswa untuk menjelaskan solusi yang
diperolehnya dan mempertahankan penjelasannya. Namun demikian, perhatian
guru dalam proses belajar mengajar terhadap disposisi matematis siswa masih
kurang.
Hal ini didukung juga oleh studi pendahuluan, bahwa sebanyak 297 siswa
di kota Palembang menunjukkan persentase perolehan skor rerata disposisi
matematis siswa baru mencapai 58 persen yang diklasifikasikan rendah. Selain
itu, dilihat dari proses pembelajaran yang digunakan guru masih dominan
menggunakan pembelajaran konvensional. Pada pembelajaran ini, guru di
pandang sebagai sumber pengetahuan dan siswa hanya perlu menerima
pengetahuan tersebut tanpa harus terlibat secara maksimal dalam proses
pembelajaran di kelas. Hal ini berdampak pada rendahnya kemampuan berpikir
6
Menurut Polla (2001: 48), “pendidikan matematika di Indonesia,
nampaknya perlu reformasi terutama dari segi pembelajarannya”. Saat ini begitu
banyak siswa mengeluh dan beranggapan bahwa matematika itu sangat sulit dan
menakutkan, akibatnya mereka tidak menyenangi bahkan benci pada pelajaran
matematika. Jika perlu ada suatu gerakan untuk melakukan perubahan mendasar
dalam pembelajaran matematika, terutama dari strategi pembelajaran dan
pendekatannya. Ini berarti, perlu dilakukan reformasi dalam pendekatan
pembelajaran matematika dari kegiatan biasanya yang terpusat pada guru ke
situasi yang menjadikan pusat perhatian adalah siswa. Guru sebagai fasilitator dan
pembimbing, sedangkan siswa sebagai yang dibimbing tidak hanya menyalin
mengikuti contoh-contoh tanpa mengerti konsep matematikanya.
Pendekatan pembelajaran matematika yang digunakan guru cenderung
dilakukan dengan cara: “(1) guru menjelaskan pengertian konsep dalam
matematika; (2) memberikan dan membahas contoh soal dari konsep tersebut; (3)
menyampaikan dan membahas soal-soal aplikasi dari konsep; (4) membuat
rangkuman; dan (5) memberikan tugas berupa pekerjaan rumah (PR).” (Haji,
2004: 6).
Sama halnya yang dikemukakan oleh Mulyana (2009), pembelajaran yang
biasa dilakukan oleh guru matematika memiliki pola sebagai berikut: (1) guru
menerangkan suatu konsep atau mendemonstrasikan keterampilan dengan
ceramah, dan siswa diberikan kesempatan bertanya; (2) guru memberikan contoh
penggunaan konsep atau prosedur menyelesaikan soal; (3) siswa berlatih
tanya jawab; dan (4) mencatat materi yang diajarkan dan soal-soal pekerjaan
rumah. Pendekatan pembelajaran matematika seperti yang dikemukakan Haji dan
Mulyana, sering disebut sebagai pembelajaran matematika konvensional. Melalui
pendekatan seperti di atas, kreativitas siswa kurang berkembang. Akibatnya,
prestasi siswa dalam mata pelajaran matematika rendah dan siswa kurang
menyenangi matematika.
Berdasarkan pendapat di atas, rendahnya prestasi matematika siswa
dewasa ini sangat tergantung pada peran seorang guru sebagai pentransfer ilmu
yakni dalam hal ini ialah matematika. Masih banyak guru matematika
menyandarkan pemilihan bahan ajar hanya dari buku teks yang telah dipaket
secara rapi dan baku. Dalam keadaan seperti ini, alternatif penafsiran terhadap
masalah-masalah yang ada di sekitar siswa tidak terperhatikan sebagaimana
mestinya.
Praktik pembelajaran yang kurang memperhatikan masalah-masalah
sekitar siswa ini tampaknya tidak akan efektif membekali siswa kemampuan
pemecahan masalah yang kompleks yang ada dalam kehidupan nyata di luar
kelas. Di samping itu, masih banyak guru yang beranggapan bahwa tugas utama
mengajar matematika adalah memperkenalkan kepada siswa konsep-konsep dan
algoritma-algoritma untuk menyelesaikan soal-soal matematika.
Dalam lingkungan belajar seperti ini, upaya siswa menyusun cara-cara
baru menyelesaikan masalah matematika kurang memperoleh perhatian dibanding
dengan kemampuan mereproduksi jawaban berdasarkan atas algoritma standar
8
peluang kepada siswa untuk mengeksplorasi pemahaman baru terhadap
masalah-masalah matematika yang berkaitan dengan kehidupan nyata yang ada di sekitar
siswa. Salah satu nilai matematika yang diajarkan di sekolah yang terpenting
adalah kegunaannya dalam kehidupan nyata. Dengan menampakkan keterkaitan
matematika dengan kejadian-kejadian dalam dunia nyata, maka matematika akan
dirasakan lebih bermanfaat. Oleh karena itu, salah satu sasaran pembelajaran
matematika di sekolah adalah agar siswa memiliki kemampuan matematika yang
dapat digunakan untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari (Departemen
Pendidikan Nasional, 2003).
Mengacu pada argumentasi di atas, timbul pertanyaan upaya apa yang
dapat ditempuh agar (1) pembelajaran berlangsung optimal; (2) pembelajaran
lebih bermakna; (3) mahasiswa belajar secara koperatif; (4) manfaat dari belajar
matematika dapat lebih dirasakan oleh siswa; dan (5) kemampuan pemecahan
masalah dan disposisi matematis siswa dapat meningkat. Salah satu cara dan ini
yang sering ditempuh oleh pemerintah adalah menyempurnakan atau merevisi
kurikulum. Dari sisi akademis, merevisi atau mengubah kurikulum dengan maksud
memperbaiki kualitas pendidikan cukup beralasan karena menurut Saylor (Sanjaya,
2009), kurikulum dan pengajaran itu seperti Romeo dan Juliet. Artinya, berbicara
tentang Romeo adalah berbicara juga tentang Juliet. Romeo tidak akan berarti
apa-apa tanpa Juliet dan juga sebaliknya. Tanpa kurikulum sebagai sebuah rencana, dan
pembelajaran atau pengajaran sebagai implementasi sebuah rencana, maka
Bila dicermati lebih jauh, walaupun kurikulum disempurnakan atau direvisi,
pembelajaran dikombinasikan dengan berbagai pola, ternyata hasil belajar
matematika tetap saja tidak berbeda jauh bahkan sebagian orang menganggap tetap
saja rendah. Alternatif yang diusulkan agar (1) pembelajaran berlangsung optimal;
(2) pembelajaran lebih bermakna; (3) mahasiswa belajar secara koperatif; (4)
manfaat dari belajar matematika dapat lebih dirasakan oleh mahasiswa; dan (5)
kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa dapat meningkat
adalah mengubah pendekatan atau model.
Mengubah model atau pendekatan pembelajaran itu sangat mungkin untuk
dilaksanakan mengingat: (1) pemilihan pendekatan atau model pembelajaran
merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki guru sehingga guru dapat
melaksanakan model atau pendekatan yang telah dipilihnya; (2) negara-negara
yang maju dalam bidang matematika telah menerapkan pendekatan pembelajaran
yang mendukung kemampuan pemecahan masalah.
Salah satu strategi pembelajaran yang diperkirakan dapat mengoptimalkan
dan meningkatkan hasil belajar, kemampuan pemecahan masalah dan disposisi
matematis siswa adalah pendekatan realistik yang pertama kali dikembangkan di
Belanda sejak awal tahun 70-an. Pendekatan realistik dimaksudkan agar ide
proses matematisasi berkaitan erat dengan pandangan bahwa matematika
merupakan aktivitas manusia, maka cara terbaik untuk mempelajari matematika
adalah melalui doing yakni dengan mengerjakan masalah-masalah yang di desain
10
Prinsip aktivitas dalam pendekatan realistik yang memberikan penekanan
pada pentingnya siswa untuk melakukan sesuatu yang merupakan bagian dari
kegiatan bermatematika, nampaknya dapat memberikan peluang bagi siswa untuk
mengembangkan kemampuan berpikir matematis mereka. Prinsip aktivitas yang
sekaligus dapat mendorong terlaksananya prinsip interaksi, memiliki peran yang
sangat penting dalam pengembangan kemampuan berpikir matematis tingkat
tinggi, karena aspek-aspek berpikir seperti matematisasi situasi, melakukan
analisis, melakukan interpretasi, mengembangkan model sendiri, memberikan
argumen matematis, dan membuat generalisasi pada hakekatnya merupakan
rangkaian aktivitas bermatematika (Suryadi, 2007).
Paparan di atas tentang pembelajaran dengan pendekatan realistik
menunjukkan bahwa pendekatan realistik berpotensi mengembangkan kompetensi
berpikir matematis, yaitu pemahaman, pemecahan masalah, penalaran, koneksi,
komunikasi, representasi dan disposisi matematis siswa. Ini berarti pembelajaran
dengan pendekatan realistik sangat urgent untuk dilaksanakan dalam
pembelajaran matematika.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan dalam peningkatan
kemampuan pemecahan masalah antara siswa yang belajar menggunakan
pendekatan realistik dengan siswa yang belajar menggunakan pendekatan
2. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan dalam peningkatan disposisi
matematis antara siswa yang belajar menggunakan pendekatan realistik
dengan siswa yang belajar menggunakan pendekatan konvensional?
3. Adakah keterkaitan (hubungan) yang signifikan antara kemampuan
pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan
masalah antara siswa yang belajar menggunakan pendekatan realistik
dengan siswa yang belajar menggunakan pendekatan konvensional.
2. Untuk mengetahui perbedaan peningkatan disposisi matematis antara
siswa yang belajar menggunakan pendekatan realistik dengan siswa yang
belajar menggunakan pendekatan konvensional.
3. Untuk mengetahui adakah hubungan yang signifikan antara kemampuan
pemecahan masalah dengan disposisi matematis siswa.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Bagi guru, menambah pengetahuan tentang strategi pembelajaran
matematika dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
matematika dan disposisi matematis.
2. Bagi siswa, dapat berpotensi untuk memiliki kemampuan pemecahan
12
3. Sumbangan pemikiran dalam upaya perbaikan mutu pendidikan belajar
mengajar matematika khususnya dalam usaha meningkatkan kemampuan
siswa dalam pemecahan masalah dan disposisi matematis.
4. Sumbangan pemikiran bagi pengembangan penelitian pengajaran
matematika lebih lanjut.
5. Memberikan gambaran tingkat kemampuan pemecahan masalah dan
disposisi matematis siswa.
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. H1 : µ1≠µ2
Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah yang
signifikan antara siswa yang belajar dengan menggunakan pendekatan
realistik dan yang belajar dengan menggunakan pendekatan konvensional.
2. H1 : µ1≠µ2
Terdapat perbedaan disposisi matematis siswa yang signifikan antara
siswa yang belajar dengan menggunakan pendekatan realistik dan yang
belajar dengan menggunakan pendekatan konvensional.
3. H1 : ρ≠ 0
Terdapat keterkaitan (hubungan) yang signifikan antara kemampuan
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimen kuasi dengan pendekatan kuantitatif. Desain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah desain kelompok kontrol non-ekivalen (the nonequivalent
control group design). Desain ini sama saja dengan desain kelompok
pretes-postes, kecuali mengenai pengelompokan subjek (tidak secara acak).
Dalam pengumpulan data, teknik penelitian yang digunakan penulis adalah
tes kemampuan pemecahan masalah dalam bentuk uraian, angket dengan skala
likert (lima pilihan) untuk mengukur disposisi matematis, pedoman observasi
disposisi matematis, dan wawancara disposisi matematis.
G. Lokasi dan Sampel Penelitian
Lokasi penelitian di Sekolah Dasar Negeri 2 Peusing, Kecamatan
Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Sekolah ini dianggap
representatif untuk dijadikan tempat penelitian, selain karena SD ini memiliki
kualitas sedang (menengah), juga letaknya yang berada dipinggiran kota, sehingga
memungkinkan untuk dikembangkan suatu pendekatan pembelajaran yang
menarik dan menyenangkan bagi siswa.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa Sekolah Dasar Negeri 2
Peusing, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan. Penelitian ini berupa
penelitian kuasi eksperimen, sehingga dalam pemilihan sampel langsung dipilih
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen (eksperimen semu), oleh
karena itu pelaksanaannya menggunakan siswa kelompok eksperimen dan siswa
kelompok kontrol yang pemilihannya tidak secara acak (apa adanya). Pada
kelompok eksperimen, peneliti memberi perlakuan pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan realistik, yang bertujuan untuk melihat gejala atau
dampak yang ditimbulkan pada diri siswa terkait dengan kemampuan pemecahan
masalah dan disposisi matematis siswa. Selanjutnya untuk melihat gejala yang
muncul pada subjek yang diberi perlakuan, diperlukan kelompok subjek
pembanding yang disebut kelompok kontrol. Hal ini dilakukan untuk melihat
apakah ada perbedaan, atau membandingkan nilai rata-rata kemampuan
pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa pada kelompok eksperimen
dengan kelompok kontrol. Selain menghadirkan kelompok pembanding peneliti
berupaya semaksimal mungkin melakukan pengontrolan terhadap
variabel-variabel luar yang tidak menjadi fokus kajian dalam penelitian.
B. Desain dan Subjek penelitian
1. Desain Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode eksperimen
dengan pendekatan kuantitatif. Pada penelitian ini ada dua kelompok sampel
yaitu kelompok eksperimen melakukan pembelajaran matematika dengan
pendekatan konvensional. Kedua kelompok diberikan pretes dan postes,
dengan menggunakan instrumen tes yang sama. Menurut Sudjana (2002),
penelitian eksperimen adalah suatu penelitian yang berusaha mencari
pengaruh variabel tertentu terhadap variabel lain dalam kondisi yang
terkontrol secara ketat. Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel
bebas dan variabel tidak bebas. Variabel bebas yaitu penerapan pembelajaran
dengan pendekatan realistik, sedangkan variabel tidak bebas yaitu kemampuan
pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa sekolah dasar.
Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh gambaran tentang
kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa, serta
keterkaitan kedua variabel tersebut yang diperoleh dari hasil uji hipotesis.
Hasil penelitian di olah dari data mentah dengan mempergunakan data
deskriptif, seperti median, rata-rata, standar deviasi, varians dan penyajian
data dalam bentuk distribusi yang disertai grafik histogram untuk setiap
variabel.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kelompok
kontrol non-ekivalen (the nonequivalent control group design). Desain ini
sama saja dengan desain kelompok pretes-postes, kecuali mengenai
pengelompokan subjek (tidak secara acak). Menurut Ruseffendi (2003: 47),
“pada desain eksperimen ini ada pretes, perlakuan yang berbeda, dan ada
postes.” Diagram desain eksperimennya sebagai berikut:
0 X1 0
54
Berdasarkan diagram eksperimen penelitian di atas, maka untuk
rancangan penelitian ini dapat dibuat pola seperti pada Tabel 3.1 berikut:
TABEL 3.1
RANCANGAN PENELITIAN
Kelompok Pre Test Perlakuan Post Tes
Eksperimen Kontrol
0 0
Pendekatan Realistik (X1)
Konvensional (X2)
0 0
Keterangan:
0 = Pre-Test dan postes untuk kelompok eksperimen dan kontrol
X1 = Perlakuan dengan menggunakan pendekatan realistik
X2 = Perlakuan dengan menggunakan pendekatan konvensional
Langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini adalah:
a. Menentukan sampel penelitian, yaitu kelas III Sekolah Dasar Negeri 2
Peusing, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan dan memilih untuk
setiap kelas masing-masing sebagai kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol.
b. Memberi pelatihan kepada guru tentang pembelajaran matematika dengan
pendekatan realistik, dan membuat kesepakatan bahwa pembelajaran
dilaksanakan oleh guru yang bersangkutan, peneliti bertugas sebagai
observer dan partner guru, dan pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan
jadwal yang telah direncanakan.
c. Setiap kelompok diberikan pretes kemudian menentukan nilai rata-rata dan
tingkat penguasaan kedua kelompok terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa.
d. Memberi perlakuan kepada tiap-tiap kelompok, kelompok eksperimen
perlakuan yang diberikan yaitu pembelajaran dengan pendekatan realistik,
sedangkan kelompok kontrol diberikan perlakuan dengan pendekatan
konvensional.
2. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas III di Sekolah Dasar Negeri 2
Peusing, Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat.
Sekolah tersebut merupakan sekolah yang mempunyai kualitas sedang
(menengah). Pemilihan tempat dalam penelitian ini dilakukan secara purposif,
yaitu memilih salah satu sekolah dasar yang dikategorikan menengah di tinjau
dari kriteria ranking sekolah berdasarkan hasil Ujian Nasional tahun pelajaran
2009/2010 di Dinas Pendidikan Cabang Jalaksana.
Alasan dipilihnya sekolah dengan level menengah dikarenakan pada
level ini kemampuan akademik siswanya heterogen, mulai dari yang terendah
sampai dengan yang tertinggi terwakili. Sedangkan pada level tinggi, siswanya
cenderung dominan memiliki kemampuan akademik yang tinggi, dan pada
level sekolah rendah siswanya cenderung dominan memiliki kemampuan
akademik yang rendah.
Menurut Darhim (2004), sekolah yang berasal dari level tinggi (baik)
cenderung memiliki hasil belajar yang lebih baik dan baiknya itu bisa terjadi
56
sekolah yang berasal dari level rendah (kurang), cenderung hasil belajarnya
akan kurang baik (jelek) dan kurang (jelek) tersebut bisa terjadi bukan akibat
kurang baiknya pembelajaran yang dilakukan. Oleh karena itu dalam
penelitian ini sekolah dengan level baik dan level rendah tidak dipilih sebagai
subjek penelitian. Kriteria sekolah sedang berdasarkan ranking sekolah yang
dibuat oleh Dinas Pendidikan Dasar setempat.
Penentuan level sekolah dilakukan dengan ditetapkan proporsi 50%
sekolah yang berada pada level menengah, setelah 100% dikurangi 25% untuk
sekolah yang berada pada level tinggi, dan bawah. Alasan penetapan 50%
sekolah level menengah adalah agar peluang memperoleh sekolah yang
memiliki siswa dengan kemampuan yang lebih heterogen dapat terpenuhi.
Adapun pemilihan kelas III didasarkan atas pertimbangan bahwa siswa
berada di akhir kelas rendah dan akan memasuki tahap kelas tinggi. Dalam hal
ini, pembelajaran matematika diperlukan pendekatan pembelajaran yang
menarik bagi siswa, sehingga siswa akan merasa tertarik untuk belajar
matematika, dan akan memudahkan untuk tahap berikutnya.
Ada beberapa alasan pemilihan subjek penelitian, yaitu:
a. Dipilih siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Peusing, Kecamatan Jalaksana
Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat dimaksudkan agar hasil
penelitian ini dapat bermanfaat secara nyata pada tempat tugas peneliti.
b. Prestasi pelajaran matematika pada tahun pelajaran 2009/2010 berdasarkan
nilai UN matematika, siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Peusing, berada pada
memungkinkan untuk dilakukan pengujian pendekatan pembelajaran yang
baru.
c. Dipilih siswa kelas III, dengan asumsi bahwa mereka sangat
membutuhkan pendekatan pembelajaran yang menarik di kelas rendah dan
memungkinkan siswa akan mampu memahami pembelajaran matematika
dengan lebih baik ketika masuk di kelas tinggi.
C. Definisi Operasional
1. Pendekatan Realistik adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak
dari hal-hal yang nyata bagi siswa, menekankan keterampilan process of
doing mathematics, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan
teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri strategi atau
cara penyelesaian masalah dan pada akhirnya menggunakan matematika
itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok.
2. Pendekatan konvensional merupakan pembelajaran matematika yang biasa
digunakan guru yang didominasi oleh metode ceramah dan tanya jawab,
dimana guru cenderung lebih aktif sebagai sumber informasi bagi siswa
dan siswa cenderung pasif dalam menerima pelajaran. Guru lebih banyak
berperan dalam hal menerangkan materi pelajaran, memberi
contoh-contoh, serta menjawab semua permasalahan yang diajukan siswa.
3. Kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan siswa dalam
memahami dan menyelesaikan masalah kontekstual yang diberikan.
Dalam penelitian ini, indikator kemampuan pemecahan masalah yang
58
membuat model matematika baik model informal maupun model formal,
menentukan strategi dan menerapkannya untuk menyelesaikan masalah,
dan menentukan jawaban yang benar.
4. Disposisi matematis siswa merupakan beliefs terhadap matematika, beliefs
tentang diri sendiri dalam menguasai matematika, beliefs tentang
pembelajaran matematika dan beliefs terhadap matematika dalam konteks
sosial. Kecenderungan untuk berpikir dan berbuat dengan cara yang
positif, yang memiliki ciri: (1) menunjukkan antusias dalam belajar
matematika; (2) menunjukkan perhatian yang serius dalam belajar
matematika; (3) menunjukkan kegigihan dalam menghadapi
permasalahan; (4) menunjukkan rasa percaya diri dalam belajar; (5)
menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi; dan (6) kemampuan untuk
berbagi dengan orang lain.
D. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, digunakan empat macam
instrumen yang terdiri dari: (1) soal tes kemampuan pemecahan masalah; (2)
angket disposisi matematis siswa; (3) lembar observasi disposisi matematis siswa;
dan (4) wawancara disposisi matematis siswa. Instrumen ini dikembangkan
melalui beberapa tahap, yaitu: tahap pembuatan instrumen, tahap penyaringan dan
tahap uji coba instrumen (untuk tes kemampuan pemecahan masalah).
Pembahasan dari masing-masing instrumen penelitian sebagai berikut:
1. Tes (mengukur kemampuan pemecahan masalah)
Tes kemampuan pemecahan masalah dalam penelitian ini berupa
soal-soal pemecahan masalah yang kontekstual yang berkaitan dengan
materi keliling dan luas persegi dan persegi panjang. Kemampuan
pemecahan masalah siswa diukur melalui kemampuan siswa dalam
menyelesaikan masalah kontekstual yakni mengidentifikasi unsur yang
diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang diperlukan, membuat
model matematika (model formal) atau kalimat matematika, menentukan
strategi dan menerapkannya dalam menyelesaikan masalah, dan
menentukan hasil (jawaban) yang benar.
Tes kemampuan pemecahan masalah disusun dalam bentuk uraian.
Tes ini terdiri dari sepuluh soal. Dalam penyusunan tes kemampuan
pemecahan masalah dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut:
a. Membuat kisi-kisi soal yang sesuai dengan standar kompetensi,
kompetensi dasar, indikator yang ada dalam silabus, dan indikator
kemampuan pemecahan masalah yang diukur.
Adapun kisi-kisi soal pemecahan masalah, yaitu pada Tabel 3.2
berikut:
TABEL 3.2
KISI-KISI INSTRUMEN
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
Kompetensi Dasar
Aspek yang diukur No.
Soal
Pendekatan Realistik Indikator
Menghitung
keliling persegi
dan persegi
1. Kemampuan
memahami dan
mengaitkan
Pemahaman,
meliputi:
1.Mengidentifikasi
3, 4,
60
Kompetensi Dasar
Aspek yang diukur No.
Soal
Pendekatan Realistik Indikator
panjang serta penggunaannya dalam pemecahan masalah masalah dengan kehidupan
sehari-hari atau dapat
membayangkannya
2. Membuat model of
dan model for
data atau
informasi yang
diperlukan untuk
menyelesaikan masalah
2.Menyusun model
matematis dari
masalah yang akan
diselesaikan Menghitung luas persegi dan persegi panjang serta penggunaannya dalam pemecahan masalah Menyelesaikan masalah secara informal/formal serta membuat keterkaitannya (intertwining) Strategi, penalaran, dan prosedur
1.Memilih dan
menggunakan strategi pemecahan masalah 2.Melakukan prosedur matematis untuk menyelesaikan masalah
6, 7,
8
Kemampuan
menjelaskan kembali secara mandiri atau kelompok diskusi model simbolik dari kegiatan matematis informalnya Komunikasi 1.Memberikan penjelasan terhadap strategis, konsep-konsep terkait, dan prosedur matematis yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah 2.Menggunakan representasi, istilah, atau notasi
Kompetensi Dasar
Aspek yang diukur No.
Soal
Pendekatan Realistik Indikator
matematis yang sesuai
3.Memaknai atau
mengkomunikasik an solusi
Melakukan refleksi Mengkaji/memeriksa
kembali kebenaran
model atau rumus yang digunakan,
langkah-langkah
penyelesaian, dan
hasil yang diperoleh 10
Sumber: Exemplars (Mahmudi, 2010)
b. Menyusun soal pemecahan masalah berdasarkan kisi-kisi tersebut dan
membuat contoh kunci jawaban. Adapun soal pemecahan masalah
beserta kunci jawaban secara lengkap disajikan pada lampiran A.2 dan
A.4.
c. Menilai validitas isi soal pemecahan masalah yang berkaitan dengan
kesesuaian antara indikator dengan soal, validitas konstruk, dan
kebenaran kunci jawaban oleh dosen pembimbing, mahasiswa S2 UPI,
dan guru Sekolah Dasar kelas III.
d. Mempertimbangkan keterbacaan soal yang dilakukan oleh dosen
pembimbing, mahasiswa S2 UPI, dan guru Sekolah Dasar kelas III,
untuk mengetahui apakah soal-soal tersebut dapat dipahami baik atau
tidak oleh siswa. Dalam hal ini juga dilakukan uji coba soal terhadap
siswa kelas IV untuk mengetahui keterbacaan siswa terhadap soal
62
e. Melakukan uji coba tes yang dilanjutkan dengan menghitung validitas,
reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembedanya. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui apakah tes (soal) yang akan digunakan
dalam penelitian ini sudah memenuhi syarat atau belum.
f. Membuat level skor yang diberikan yaitu 0 sampai 4. Pedoman
penskoran tes kemampuan pemecahan masalah disajikan pada Tabel
3.3 berikut:
TABEL 3.3
PEDOMAN PENSKORAN TES KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
Skor Pemahaman Strategi dan
Prosedur Komunikasi
1 Menuliskan
data, informasi dan model matematika yang tidak tepat terkait masalah yang akan diselesaikan.
- Menggunakan
strategi pemecahan masalah yang tidak tepat.
- Melakukan banyak kesalahan prosedur matematis sehingga tidak diperoleh solusi akhir atau diperoleh solusi akhir yang tidak sesuai.
Memberikan
penjelasan yang tidak tepat terhadap strategi dan prosedur
matematis yang dilakukan, serta tidak menginterpretasikan solusi atau
menginterpretasikan solusi secara tidak tepat.
2 Menuliskan
data, informasi, dan model matematika yang sesuai untuk menyelesaikan masalah, tetapi kurang lengkap. - Menggunakan strategi pemecahan masalah yang sesuai, tetapi kurang efisien. - Melakukan prosedur matematis secara tidak lengkap sehingga tidak diperoleh solusi akhir atau diperoleh solusi - Memberikan penjelasan yang kurang lengkap terhadap strategi dan prosedur matematis yang dilakukan, serta menginterpretasikan solusi secara tidak tepat.
- Menggunakan
Skor Pemahaman Strategi dan
Prosedur Komunikasi
akhir yang tidak sesuai.
yang tidak sesuai dan tidak akurat.
3 - Menuliskan
data atau informasi secara lengkap yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah - Membuat model matematika yang kurang lengkap atau kurang tepat - Menggunakan strategi pemecahan masalah yang sesuai - Melakukan prosedur matematis secara kurang akurat sehingga tidak diperoleh solusi akhir atau diperoleh solusi akhir yang tidak sesuai
- Memberikan penjelasan yang cukup lengkap terhadap strategi dan prosedur matematis yang dilakukan, serta menginterpretasikan solusi secara tepat.
- Menggunakan
representasi, terminologi, dan notasi matematis secara tepat, tetapi terdapat
kekurangakuratan di beberapa bagian
4 Menuliskan
data, informasi, dan model matematika secara lengkap dan tepat terkait masalah yang akan diselesaikan. - Menggunakan strategi pemecahan masalah secara efisien dan efektif - Melakukan
prosedur
matematis secara tepat dan akurat sehingga diperoleh solusi akhir yang sesuai
- Memberikan penjelasan yang lengkap terhadap strategi dan prosedur matematis yang dilakukan, serta menginterpretasikan solusi secara tepat
- Menggunakan
representasi terminologi, dan notasi matematis secara tepat dan akurat.
Catatan: tidak terdapat jawaban sama sekali diberikan skor 0
2. Angket Skala Disposisi Matematis Siswa
Skala disposisi matematis siswa digunakan untuk mengetahui
tingkat (skala) disposisi yang ditunjukkan siswa terhadap matematika.
Instrumen ini memuat 42 pernyataan yag harus direspon siswa dengan opsi
64
(Sangat Tidak Setuju). Pernyataan-pernyataan ini berisikan 27 pernyataan
positif dan 15 pernyataan negatif, yang dibuat sesuai dengan indikator
disposisi matematis siswa. Untuk setiap pernyataan positif, diberikan skala
5 untuk SS, 4 untuk S, 3 untuk N, 2 untuk TS, dan 1 untuk STS.
Sedangkan untuk setiap pernyataan negatif diberi skala sebaliknya.
Skor disposisi matematis yang digunakan berupa Skor Mean
Distance from Optimal (MDO). Dengan cara pemberian skala seperti
dikemukakan sebelumnya, maka skala optimal seorang siswa untuk
pernyataan positif adalah 5, sedangkan skala optimal untuk pernyataan
negatif adalah 1. Untuk memperoleh skor MDO disposisi matematis dari
seorang siswa dapat menggunakan contoh berikut. Misalkan seorang siswa
memperoleh rerata skor dari 27 pernyataan positif adalah 3,519, dan
memperoleh rerata skor dari 15 pernyatan negatif adalah 2,800, maka skor
MDO disposisi matematis dari siswa tersebut adalah , ,
3,26. (Beveridge dalam Endang Mulyana, 2009: 63).
Adapun kisi-kisi instrumen disposisi matematis siswa dapat dilihat
pada Tabel 3.4 berikut:
TABEL 3.4
KISI-KISI INSTRUMEN DISPOSISI MATEMATIS SISWA
Variabel Indikator Nomor Butir
Pernyataan
Disposisi
Matematis Siswa
percaya diri dalam
menggunakan matematika
1, 2, 3, 28, 29, 30,
31, 32
fleksibel dalam melakukan
kerja matematika
Variabel Indikator Nomor Butir Pernyataan
(bermatematika)
gigih dan ulet dalam
mengerjakan tugas-tugas
matematika
7, 8, 9, 10, 36
penuh memiliki rasa ingin
tahu dalam bermatematika
11, 12, 13, 14, 15,
16, 37
melakukan refleksi atas
cara berpikir
17, 18, 19, 20, 38
menghargai aplikasi
matematika
21, 22, 23, 39
mengapresiasi peranan
matematika
24, 25, 26, 27, 40,
41, 42
Sumber: National Council of Teachers of Mathematics (1989)
Sebelum instrumen ini digunakan, terlebih dahulu ditanyakan
kepada dosen ahli (pembimbing) yang bergelar professor, untuk melihat
kesesuaian pernyataan dengan indikator disposisi matematis yang akan
diukur pada siswa. Sebelum diujicobakan kepada siswa, peneliti berdiskusi
terlebih dahulu dengan guru matematika senior, apakah
pernyataan-pernyataan tersebut sesuai untuk mengukur disposisi matematis siswa, dan
kemudian diujicobakan kepada 34 orang (satu kelas) siswa kelas IV pada
sebuah Sekolah Dasar. Uji coba ini dilakukan hanya untuk mengetahui
keterbacaan bahasa instrumen oleh siswa. Dengan demikian, perbaikan
instrumen hanya dilakukan terhadap struktur kalimat dari
66
3. Lembar Observasi Disposisi Matematis Siswa
Lembar observasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengamati
dan menelaah disposisi matematis siswa selama pelaksanaan pembelajaran
dengan pendekatan realistik. Lembar observasi ini terdiri dari indikator
pengamatan yang dikembangkan untuk memonitor munculnya disposisi
matematis siswa selama proses pembelajaran. Dalam lembar observasi ini
memuat aktivitas siswa dalam pembelajaran pada kelompok eksperimen
dan kontrol.
Salah satu tujuan dari lembar observasi ini adalah untuk melihat
perkembangan disposisi matematis siswa selama pembelajaran, selain dari
hasil angket disposisi matematis yang di isi oleh siswa, sehingga dapat
mendukung hasil penelitian dalam peningkatan disposisi matematis siswa.
Selanjutnya dengan lembar observasi dapat digunakan untuk menelaah
secara lebih mendalam tentang temuan yang diperoleh dari hasil
penelitian.
Sebelum instrumen ini digunakan, terlebih dahulu ditanyakan
kepada dosen pembimbing dan guru kelas III, apakah instrumen ini dapat
mengukur disposisi matematis siswa yang dikembangkan oleh peneliti
sesuai dengan indikator disposisi matematis siswa. Adapun kriteria
penskoran terdiri dari skor 1 sampai dengan 4, dengan kriteria 1 = jika
kegiatan tidak dilaksanakan oleh siswa, 2 = jika kegiatan dilaksanakan
dengan cukup baik oleh siswa, 3 = jika kegiatan dilaksanakan dengan baik
siswa. Pedoman observasi disposisi matematis siswa ini secara lengkap
disajikan pada Lampiran A.7.
4. Wawancara Disposisi Matematis Siswa
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan pada kelas eksperimen
yaitu siswa yang belajar matematika dengan pendekatan realistik pada
pokok bahasan keliling dan luas persegi dan persegi panjang. Wawancara
ini terdiri dari pertanyaan-pertanyaan tentang disposisi matematis siswa,
tanggapan atau pendapat siswa secara lisan terhadap disposisi matematis
yang muncul pada diri siswa selama proses pembelajaran dengan
pendekatan realistik. Adapun tujuan dari hasil wawancara tersebut adalah
untuk memperkuat hasil angket siswa terhadap disposisi matematis siswa.
E. Proses Pengembangan Instrumen
1. Validitas butir soal
Anderson (Arikunto, 2009: 65), menyebutkan “a test is valid if it
measures what it purpose to measure.” Sebuah tes dikatakan valid jika
mengukur apa yang seharusnya diukur. Adapun hasil validitas soal, dapat
diperhatikan pada Tabel 3.5, yaitu dengan membandingkan antara rhitung dan
rtabel dengan berpedoman pada kaidah penafsiran jika rhitung≥ rtabel, berarti soal
tersebut valid, dan jika rhitung < rtabel berarti soal tidak valid.
TABEL 3.5
HASIL UJI VALIDITAS SOAL
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA
No Soal Validitas Interpretasi
rXY rtabel Keterangan
1 0,602 0,349 Valid Dipakai
68
No Soal Validitas Interpretasi
rXY rtabel Keterangan
3 0,580 0,349 Valid Dipakai
4 0,717 0,349 Valid Dipakai
5 0,604 0,349 Valid Dipakai
6 0,677 0,349 Valid Dipakai
7 0,738 0,349 Valid Dipakai
8 0,605 0,349 Valid Dipakai
9 0,660 0,349 Valid Dipakai
10 0,772 0,349 Valid Dipakai
Sumber: Hasil Anates versi 4 (terlampir)
Tabel 3.3 di atas dapat disimpulkan bahwa walaupun koefisien
korelasi (rXY) berbeda, namun tetap lebih besar jika dibandingkan dengan nilai
rtabel. Dengan demikian, semua butir soal dalam tes kemampuan pemecahan
masalah matematis adalah valid.
2. Reliabilitas butir soal
Pengujian reliabilitas dilakukan untuk mengukur ketetapan instrumen
atau ketetapan siswa dalam menjawab alat evaluasi tersebut. Suatu alat
evaluasi (instrumen) dikatakan baik bila reliabilitasnya tinggi. Untuk
mengetahui apakah suatu tes memiliki reliabilitas tinggi, sedang atau rendah
dapat dilihat dari nilai koefisien reliabilitasnya.
Adapun klasifikasi interpretasi untuk koefisien reliabilitas adalah:
r11≤ 0,20 reliabilitas sangat rendah
0,20 < r11≤ 0,40 reliabilitas rendah
0,40 < r11≤ 0,70 reliabilitas sedang
0,70 < r11≤ 0,90 reliabilitas tinggi
[image:30.595.119.513.112.635.2]Berdasarkan hasil uji coba instrumen, reliabilitas butir soal secara
keseluruhan diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,83 (hasil ANATES versi
4), yang berarti bahwa tes kemampuan pemecahan masalah mempunyai
reliabilitas yang sangat tinggi.
3. Daya Pembeda
Perhitungan daya pembeda dimaksudkan untuk mengetahui sejauh
mana suatu alat evaluasi (tes) dapat membedakan antara siswa yang berada
pada kelompok atas (kemampuan tinggi) dan siswa yang berada pada
kelompok bawah (kemampuan rendah).
Adapun klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda adalah:
negatif – 9% sangat buruk
10% - 19% buruk
20% - 29% cukup baik
30% - 49% baik
50% ke atas sangat baik (Suherman, 2008)
Daya pembeda untuk tes kemampuan pemecahan masalah matematis
[image:31.595.117.512.235.766.2]dapat disajikan dalam Tabel 3.6 berikut:
TABEL 3.6
ANALISIS DAYA PEMBEDA TES KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
Nomor Soal Daya Pembeda (%)
Interpretasi Daya Pembeda
1 25,00 Cukup
2 33,33 Baik
3 16,67 Buruk
70
Nomor Soal Daya Pembeda (%)
Interpretasi Daya Pembeda
5 36,11 Baik
6 30,56 Baik
7 36,11 Baik
8 33,33 Baik
9 27,78 Cukup
10 30,56 Baik
Sumber: ANATES versi 4 (terlampir)
Tabel 3.6 di atas dapat disimpulkan bahwa dari sepuluh soal yang
terdapat pada tes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa hanya satu
soal yang mempunyai daya pembeda buruk, dan soal ini perlu diperbaiki.
4. Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran soal diperoleh dengan menghitung persentase siswa
dalam menjawab butir soal dengan benar. Semakin kecil persentase
menunjukkan bahwa butir soal semakin sukar dan semakin besar persentase
menunjukkan bahwa butir soal semakin mudah.
Adapun klasifikasi interpretasi tingkat kesukaran adalah:
0% - 15% sangat sukar
16% - 30% sukar
31% - 70% sedang
71% - 85% mudah
86% - 100% sangat mudah (Suherman, 2008)
Tingkat kesukaran untuk tes kemampuan pemecahan masalah disajikan
[image:32.595.119.512.108.688.2]TABEL 3.7
ANALISIS TINGKAT KESUKARAN TES KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
Nomor Soal Tingkat Kesukaran (%)
Interpretasi Daya Pembeda
1 79,17 Mudah
2 77,78 Mudah
3 80,56 Mudah
4 58,33 Sedang
5 62,50 Sedang
6 54,17 Sedang
7 31,94 Sedang
8 47,22 Sedang
9 47,22 Sedang
10 29,17 Sukar
[image:33.595.122.513.155.601.2]Sumber: ANATES versi 4 (terlampir)
Tabel 3.7 di atas dapat disimpulkan bahwa dari sebanyak sepuluh soal
tes kemampuan pemecahan masalah matematis siswa terdapat tiga soal dengan
kategori mudah, enam soal dengan kategori sedang, dan satu soal dengan
kategori sukar.
Berdasarkan hasil analisis validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan
tingkat kesukaran maka tes kemampuan pemecahan masalah matematis yang
telah diujicobakan dapat digunakan sebagai instrumen pada penelitian ini.
F. Bahan Ajar
Bahan ajar dalam penelitian ini adalah bahan ajar yang akan digunakan
dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik pada kelompok
72
matematika realistik yang disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku di
lapangan yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSP). Isi bahan ajar
memuat masalah kontekstual yang berkaitan dengan pokok bahasan keliling dan
luas persegi dan persegi panjang, yang disusun agar siswa dapat mengembangkan
model-model matematika dalam menyelesaikan masalah kontekstual tersebut
untuk menemukan sendiri konsep-konsep ataupun prosedur matematika yang
sedang dipelajari. Sebelum penyusunan bahan ajar, terlebih dahulu disusun
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) agar setiap penyusunan bahan ajar
mengarah kepada tujuan yang jelas.
Bahan ajar dalam penelitian ini berupa Lembar Aktivitas Siswa (LAS).
LAS memuat kegiatan siswa dalam menyelesaikan masalah kontekstual yang
berkaitan dengan materi keliling dan luas persegi dan persegi panjang untuk
mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa.
G. Teknik Pengolahan Data
1. Data Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Skala Disposisi
Data hasil tes dan skala disposisi yang diperoleh dari hasil
pengumpulan data selanjutnya diolah melalui tahap sebagai berikut.
a. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan
sistem penskoran yang digunakan;
b. Membuat tabel skor tes hasil belajar siswa kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol;
d. Menghitun
dan menun
e. Menguji n
normal ata
f. Menguji ho
g. Uji dua sam
rata-rata an
mengguna
Apabila d
homogen, pengganti 1998); h. Peningkata pembelajar rumus: Keterangan
Spost = sko
Spre = sko
Smaks = sko
i. Uji korelas
Product M
tung standar deviasi untuk mengetahui penyeb
unjukkan tingkat variansi kelompok data;
i normalitas data untuk mengetahui apakah da
atau tidak;
i homogenitas varians;
sampel t tes untuk mengetahui apakah ada tida
antara dua kelompok sampel yang tidak berhu
nakan uji parametrik Analisis Independent
data yang diperoleh tidak berdistribusi no
n, maka pengujiannya menggunakan uji n
ti uji-t yaitu uji Mann Whitney atau uji Wilcox
atan kompetensi yang terjadi sebelum
jaran dihitung dengan rumus g factor (N
(Hake dalam Mahmudi, 2010)
gan:
skor postest
kor pretest
kor maksimum
lasi (keterkaitan), dengan menggunakan uji K
t Moment.
yebaran kelompok
data berdistribusi
idaknya perbedaan
rhubungan dengan
ent Sample Test.
normal dan tidak
i non parametrik
coxon (Ruseffendi,
m dan sesudah
(N-Gains) dengan
74
Untuk kecepatan dan ketepatan hasil yang diperoleh maka setelah
penelitian, peneliti akan mengolah data dengan menggunakan program
SPSS versi 16.
2. Data Hasil Observasi
Data hasil observasi yang dianalisis adalah disposisi matematis
siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Mengenai yang dilaporkan
dalam lembar observasi adalah sesuatu yang ada dalam keadaan wajar
(Ruseffendi, 2005). Namun demikian tetap ada kelemahannya, yaitu
subjektivitas observer, misalnya: observer dapat bertindak kurang objektif,
kurang cekatan, lupa, tidak terawasi, dan lain-lain.
Dalam penelitian ini dilakukan observasi setiap tindakan siswa,
yang disesuaikan dengan indikator disposisi matematis siswa pada
kelompok kontrol dan eksperimen. Observasi tersebut dilakukan oleh
peneliti.
H. Teknik Analisis Data
Teknik statistik yang digunakan yaitu statistik deskriptif dan statistik
inferensial. Statistik deskriptif yang digunakan adalah tabel frekuensi, rata-rata
dan standar deviasi, untuk mendeskripsikan ciri atau karakteristik data
masing-masing variabel penelitian. Statistik inferensial digunakan untuk menguji
I. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu: tahap persiapan,
tahap pelaksanaan, dan tahap analisis data, maka disajikan langkah-langkah atau
prosedur penelitian dalam bentuk bagan, disajikan pada Gambar 3.1 berikut:
Studi Kepustakaan
Penyusunan Rancangan Pembelajaran dengan Pendekatan Realistik
Rancangan Pembelajaran dengan Pendekatan Konvensional
Persiapan dan jenis instrumen
Ujicoba soal, ujicoba terbatas, revisi, pengesahan instrumen
a. Persiapan instrumen: Silabus, RPP, persiapan bahan ajar berupa LKS, kisi-kisi disposisi siswa, soal tes.
b. Jenis instrumen: Tes, observasi, angket disposisi siswa.
Penentuan Subjek Penelitian
Pretest
Pelaksanaan Pembelajaran dengan Pendekatan Realistik
Pelaksanaan Pembelajaran dengan Pendekatan Konvensional
Postest
Pengumpulan data
Analisis data
Temuan
Kesimpulan Observasi dan angket
[image:37.595.114.527.209.758.2]sikap siswa
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan sebelumnya, maka
disimpulkan bahwa:
1. Terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan pemecahan masalah
matematis antara siswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan
pendekatan realistik dan siswa yang mendapat pembelajaran dengan
pendekatan konvensional. Dengan demikian, kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran matematika
dengan pendekatan realistik secara statistik lebih baik dibandingkan
dengan siswa yang belajar dengan pendekatan konvensional.
2. Terdapat perbedaan yang signifikan disposisi matematis antara siswa yang
mendapat pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik dan siswa
yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Dengan
demikian, disposisi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran
matematika dengan pendekatan realistik secara statistik lebih baik
dibandingkan dengan siswa yang belajar dengan pendekatan konvensional.
3. Terdapat keterkaitan (hubungan) yang signifikan antara kemampuan
pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa. Hal ini dapat dilihat
dari siswa yang kemampuan pemecahan masalahnya baik, memiliki
disposisi matematis yang baik juga. Siswa yang kemampuan pemecahan
siswa yang kemampuan pemecahan masalahnya rendah, memiliki
disposisi matematis yang rendah juga.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian pembelajaran dengan pendekatan realistik di
Sekolah Dasar Negeri 2 Peusing, Kabupaten Kuningan, maka peneliti
memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil tes dan observasi peneliti selama pembelajaran dengan
pendekatan realistik, terdapat beberapa masalah yang dihadapi siswa, salah
satunya adalah masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam
membuat model serta strategi dan prosedur dalam penyelesaian masalah
sehingga waktu yang direncanakan sering tidak mencukupi. Strategi dan
prosedur dalam penyelesaian masalah ini merupakan indikator penting
dalam kemampuan pemecahan masalah. Oleh karena itu, dalam membuat
atau merancang masalah kontekstual yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari disesuaikan juga dengan kemampuan awal siswa dan dapat
dibayangkan oleh siswa sehingga siswa lebih mudah memahami masalah
dan lebih terbiasa dalam membuat prosedur dan strategi pemecahan
masalah.
2. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan
realistik dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa dan disposisi matematis siswa. Oleh karena itu, pembelajaran
dengan pendekatan realistik merupakan salah satu alternatif bagi guru
matematika dalam menyajikan materi matematika dan juga sebagai upaya
124
3. Salah satu temuan penelitian ini yaitu dari segi karakteristik PMR yang
dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam matematika yaitu dari segi
bahan ajarnya. Dengan demikian, bagi guru agar implementasi
pembelajaran PMR ini berhasil dengan optimal, perlunya merancang
bahan ajar dengan masalah-masalah kontekstual yang ada. Guru juga perlu
memperhatikan kemampuan yang dimiliki siswa, masalah yang disajikan
harus menarik bagi siswa sehingga dapat memunculkan ide-ide kreatif
siswa untuk menyelesaikannya. Guru sebagai ujung tombak dilapangan
harus berupaya mencari strategi kegiatan dan inovasi-inovasi baru dalam
menerapkan pembelajaran dengan pendekatan realistik.
4. Pembelajaran dengan pendekatan realistik ini peran guru hanya sebagai
fasilitator. Oleh karena itu, sebaiknya guru menciptakan suasana belajar
yang lebih menarik bagi siswa, memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengungkapkan ide-idenya dengan cara mereka sendiri, siswa juga
diberi kesempatan untuk menilai jawaban dari temannya, sehingga dalam
belajar siswa menjadi percaya diri untuk mengungkapkan berbagai alasan
yang tepat dan dalam menemukan jawaban terhadap suatu masalah. Guru
mengembangkan strategi pembelajaran yang bertumpu pada kontribusi
siswa lewat representasi yang mereka hadirkan dalam upaya membangun
dan mengembangkan pengetahuannya. Dengan demikian guru dan siswa
dapat saling bekerja sama dalam menciptakan suasana belajar yang
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2009). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara
Armanto, D. (2002). Teaching Multiplication and Division Realistically in Indonesia Primary School, a Prototype of Local Instructional Theory. Tesis University of Twente. Enschede: Print Partner Ipskamp.
Asrori, M. (2008). Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV. Wacana Prima.
Arthur, L.B. (2008). Problem Solving. U. S.: Wikipedia Foundation, Inc. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/problem solving. [7 April 2011].
Dahar, R. W. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Darhim. (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual terhadap Hasil Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal dalam Matematika, Disertasi pada Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Depdiknas. (2001). Kurikulum Pendidikan Dasar. GBPP SD. Depiknas. Jakarta.
Depdiknas. (2003). Pedoman Khusus Pengembangan Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jakarta: depdiknas.
Depdiknas. (2003). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)). Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Fathurrohman, P., & Sutikno, S., (2009). Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman Konsep Umum & Konsep Islami. Bandung: Refika Aditama.
Gani, R.A. (2007). Pengaruh Pembelajaran Metode Inkuiri Model Alberta terhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi Doktor pada SPs UPI: tidak diterbitkan.
Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematic Education. Utrecht: Freudenthal Institute.
Haji, S. (2004). Pengaruh Pendekatan Matematika Realistik terhadap Hasil Belajar Matematika di Sekolah Dasar. Disertasi Doktor pada SPS UPI: tidak diterbitkan.
Hamalik, O. (2001). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Trigenda Karya
126
Jacobsen, D.A., Eggen, P., & Kauchak, D. (2009). Methods for Teaching: Metode-metode Pengajaran Meningkatkan Belajar Siswa TK-SMA. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jensen, R. J. (1993), Affect: Critical component of mathemathical learning in early childhood. New York: NCTM.
Kilpatrick, J. (1978). Variables and methodologies in research on problem solving. In L.L. Hatfield & D. A. Bradbard (Eds.), Mathematical Problem
Solving: Paper from a reseach workshop. Colombos, Ohio:
ERIC/SMEAC.
Komalasari, K. (2010). Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: Refika Aditama.
Komariah, (2007). “Model Pemecahan Masalah Melalui Pendekatan Realistik pada Pembelajaran Matematika SD”. Jurnal Pendidikan Dasar. Vol. V. Nomor 7.
Mahmudi, A. (2010). Pengaruh Pembelajaran dengan Strategi MHM Berbasis Masalah terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif, Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematika serta Persepsi terhadap Kreativitas. Disertasi. Tidak diterbitkan.
Mulligan, J. (1992). Children‘s solution to multiplication and division word problems: A longitudinal study. Mathematics Education Research Journal, 4, 24 – 41.
Mulyana, E. (2009). Pengaruh Model Pembelajaran Matematika Knisley terhadap Peningkatan Pemahaman dan Disposisi Matematis Siswa SMA Program IPA. Disertasi Doktor pada SPS UPI: tidak diterbitkan.
Nasution, S. (2000). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Edisi Pertama. Jakarta: Bina Aksara.
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and standards for school mathematics. North Carolina: NCTM.
NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. [Online]. Tersedia: http://www.nctm.org/focalpoints. [3 April 2011].
NCTM. (2000). Defining Problem Solving. [online]. Tersedia:
http://www.learner.org/channel/courses/teachingmath/gradesk2/session03/ sectio03a.html. [17 April 2011]
Pierce, J.W. & Jones, B.F. (2001). Problem-based learning: Learning and teaching in contex of problems. In K.R. Howey, S. Sears, R. Berns, J. S. Stefano, & S. Pritz, Contextual Teaching and Learning to Enhanche Students Success in the Workplace and Beyond. Colombos, Ohio: ERIC Clearinghouse on Teaching and Teacher Education.
Polla, G. (2001). Upaya Menciptakan Pengajaran yang Menyenangkan. Buletin Pelangi Pendidikan. 4(2).
Polya, G. (1985). How to Solve it: A New Aspect of Mathematics Method (2nd ed). Princeton, New Jersey: Princeton University Press.
Ruseffendi, E. T. (2003). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Semarang: UNNES Press.
Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Ruseffendi, E. T. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung.
Salman. (2005). Komentar Guru tentang PMRI. Buletin PMRI. Edisi Ketiga-Jamari, hal. 3
Sanjaya, W. (2009). Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
Sears, S.J & Hers, S.B. (2001). Contextual teaching and learning: An overview of the project. In K.R. Howey, S. Sears, R. Berns, J. S. Stefano, & S. Pritz, Contextual Teaching and Learning to Enhanche Students Success in the Workplace and Beyond. Colombos, Ohio: ERIC Clearinghouse on Teaching and Teacher Education.
Slamet, I. (1983). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas. Surabaya: Erlangga.
Sudjana, N. (2000). Metode Statistika Edisi VI. Bandung: Tarsito.
Sudjana, N. (2002). Metode Statistika. Bandung: Tarsito
Sudjana, N. dan Ibrahim. (2007). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Suherman, E., dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. JICA. UPI Bandung.
128
Sumarmo, U. (2003). Daya dan Disposisi Matematika: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Siswa sekolah Dasar dan Menengah. Makalah disajikan pada Seminar Sehari di Jurusan Matematika ITB.
Suryadi, D. (2007). Pendidikan Matematika. Dalam Ali, M., Ibrahim, R., Sukmadinata, N.S., Suidjana, D., dan Rasjidin, W. (Penyunting). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Handbook. Bandung: Fipupi Press.
Suryadi, D., Nishitani, I., Koseki,K., & Ohtake, K. (2001). Mathematical Problem Solving and Primary School Children: Some Essensial Issues, Gunma: Gunma. U. Ac. Jp.
Susetyo, B. (2010). Statistika untuk Analisis Data Penelitian. Bandung: Refika Aditama.
Trends in International Mathematics and Science Studies (2007). [online]. Tersedia: http://timss.bc.edu/timss2007/PDF/T07_S_IR_Chapter1.pdf. [3 Mei 2011]
Turmudi (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika (Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Cita Pustaka.
Wahyudin (2003). Peranan Problem Solving. Makalah Seminar Technical Cooperation Project for Development of Mathematics and Science for Primary and Secondary Education in Indonesia. August 25 2003.
Wahyudin (2010). Pembelajaran Matematika dan Pemecahan Masalah. Bandung: Mandiri Bandung.
Windayana, H. (2007). “Pembelajaran Matematika Realistik dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Logis, Kreatif dan Kritis, serta Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Dasar”. Jurnal Pendidikan Dasar. Nomor 8.
Zulkardi (2001). “Realistic Mathematic Education (RME) Teori, Contoh Pembelajaran dan Taman Belajar di Internet”. Makalah pada Seminar Sehari Realistic Mathematics Education di Jurusan Pendidikan Matematika UPI. Bandung.