• Tidak ada hasil yang ditemukan

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA

YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Beberapa tahun terakhir ini, kata poligami sudah bukan menjadi kata yang asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Poligami, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan. Di Indonesia, karena mayoritas penduduknya beragama Islam, poligami boleh dilakukan oleh pria. Kasus poligami seringkali menjadi sorotan masyarakat dan menjadi kabar utama di hampir seluruh media di Indonesia. Kabar yang cukup menghebohkan yakni ketika seorang ustadz tersohor di negeri ini melakukan poligami dengan menikahi seorang wanita muda. Berita itu kemudian lebih banyak menjadi kontroversi di beberapa kalangan masyarakat. Bahkan setelah berita itu muncul, pondok pesantren ustadz tersebut pun sempat sepi pengunjung.

Kabar lain yang juga menjadi bulan-bulanan masyarakat mengenai poligami adalah mengenai seorang pengusaha kuliner ternama yang memiliki cabang rumah makan hampir di seluruh Indonesia. Ia memiliki empat orang istri dan memajang foto bersama dengan keempat istrinya di setiap cabang rumah makannya, hingga ia diberi gelar Presiden Poligami Indonesia. Belakangan ini juga sangat marak berita-berita yang tayang di media mengenai pejabat-pejabat

negara yang melakukan poligami dengan menikah siri. Tidak hanya orang-orang ternama saja yang melakukan poligami, saat ini masyarakat biasa pun banyak

yang melakukan poligami.

(2)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA

YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

8 orang yang tidak menyetujui poligami diantaranya adalah karena poligami dianggap tidak mementingkan perasaan wanita dan anak-anak, hanya sebagai pelampiasan nafsu lelaki saja, ada juga yang merasa istri hanya satu saja banyak yang tidak diurus apalagi lebih dari satu. Sedangkan 2 orang yang menyetujui poligami memiliki alasan karena saat ini jumlah wanita sudah lebih banyak dibandingkan laki-laki, sehingga perlu untuk berpoligami agar tidak ada wanita yang terlantar dan alasan lainnya adalah mengikuti sunah Rasulullah SAW.

Dalam sidang materiil UU Perkawinan, pemerintah membeberkan data perceraian akibat poligami yang melonjak setiap tahunnya. Namun ada yang berpandangan bahwa poligami adalah ibadah sehingga ia merupakan non

derogable right atau hak yang tidak boleh dibatasi (NNC, 2007). Hasil survey LBH-APIK terkait dengan praktik poligami menunjukkan bahwa dari 58 kasus poligami yang didampingi LBH-APIK selama kurun tahun 2001 hingga Juli 2003 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, mulai dari kekerasan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak-anak, ancaman dan teror serta pengabaian hak seksual istri. Selain itu, banyak poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas yaitu sebanyak 35 kasus (Marzuq, 2009:48).

Banyak pula kasus perceraian yang diakibatkan oleh poligami yang tidak sehat. Berikut data yang didapatkan dari Pengadilan Tinggi Agama Seluruh Indonesia sejak tahun 1996 hingga 2001:

Tabel 1.1 Angka Kasus Perceraian Pasangan Poligami Seluruh Indonesia Sejak Tahun 1996-2001

Tahun Jumlah Kasus

Akibat Poligami Tidak Sehat

Perceraian Akibat Poligami (%)

Provinsi Tertinggi

1996 97.356 519 0,53 104 (Jawa Timur)

1997 67.894 705 1,04 369 (Jawa Barat)

1998 103.416 590 0,53 108 (Jawa Timur)

1999 183.805 828 0,45 403 (Jawa Barat)

2000 145.609 875 0,60 385 (Jawa Barat)

2001 145.081 938 0,62 261 (Jawa Barat)

(3)

3

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA

YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Prof. Nasaruddin Umar, selaku Dirjen Bimas Islam Depag, menyebutkan bahwa ada 813 kasus perceraian akibat poligami yang tercatat di Pengadilan Agama pada tahun 2004. Setahun kemudian angka itu naik menjadi 879 kasus dan pada tahun 2006 melonjak menjadi 983 kasus. Data ini menunjukkan bahwa poligami justru menjadi penyebab perceraian dan mengakibatkan anak dan istri terlantar (NNC, 2007).

Sejauh ini, orang-orang anti-poligami banyak berdemo mengenai keadilan kaum perempuan. Banyak pula ditemukan artikel-artikel atau buku-buku yang dibuat mengenai poligami, namun hanya sebatas membahas mengenai bagaimana perasaan seorang istri yang dipoligami, kesetaraan gender, keadilan yang diberikan suami pada istri yang harus dibagi dengan istri yang lainnya, dan lain

sebagainya mengenai istri atau hak-hak perempuan. Sedangkan dibalik itu, jarang orang-orang yang memperbincangkan mengenai bagaimana keadaan, perasaan, dan tanggapan anak-anak dengan orang tua yang berpoligami.

Berpoligami tentu bukan sebuah keputusan yang mudah, baik itu dari pihak istri, suami, maupun anggota keluarga lainnya. Keluarga pun harus siap menerima apapun tanggapan yang diberikan masyarakat sekitar yang kemungkinan besarnya adalah berupa cemoohan atau pernyataan-pernyataan negatif. Poligami ini juga tentunya akan sangat berpengaruh terhadap keadaan keluarga, baik dalam hal materi maupun non materi. Pembagian perhatian dari seorang ayah kepada anaknya tentu saja akan mempengaruhi perkembangan emosi anak tersebut, terutama pada anak yang akan beranjak dewasa. Ayah yang awalnya hanya memfokuskan perhatiannya pada satu keluarga saja, namun kemudian harus memberi perhatian pada keluarga barunya tentu akan membuat kecemasan tersendiri bagi anak.

Seperti yang dikatakan S, seorang remaja perempuan yang berusia 20 tahun, ia merasa banyak sekali perubahan dalam keluarganya ketika mengetahui ayahnya melakukan poligami. Perubahan itu baru ia rasakan semenjak beberapa tahun terakhir ini. S merupakan anak ke-2 dari 7 bersaudara. Ibu S merupakan

(4)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA

YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

kunjung melahirkan keturunan, namun setelah ayah S menikah lagi, istri pertama dan kedua hamil bersamaan. Ibu S tinggal di Bogor, sedangkan istri kedua ayahnya tinggal di Cianjur, sehingga ayah S harus membagi waktu dan perhatiannya antara keluarga Bogor dan Cianjur. Dengan bertambah dewasanya saudara-saudara S, baik dari istri pertama maupun kedua, bertambah pula masalah dalam keluarga mereka. Dalam beberapa tahun kebelakang, S sering melihat ibunya tiba-tiba menangis tanpa tahu penyebabnya. Hingga akhirnya sejak tahun 2012, anak-anak dari istri pertama mengetahui bahwa di pihak keluarga istri kedua tidak diberitahu bahwa ayah S mempunyai dua istri, sehingga ayah S lebih sering berada di keluarga istri kedua. Selain itu, menurut S, anak-anak dari istri kedua memang jauh lebih berhasil dibanding S dan

saudara-saudaranya. Mereka sekolah di sekolah yang bagus, di universitas ternama dan bahkan ada yang sudah bekerja di luar negeri. Hal ini membuat ayah S lebih senang dan lebih memperhatikan “keluarga Cianjur” dibandingkan “keluarga Bogor”. S tak berhenti menangis ketika menceritakan keadaan keluarganya terutama mengenai perasaan ibunya. Ia mengatakan bahwa ia tak tega melihat ibunya yang hampir setiap hari menangis dan harus mencari nafkah sendiri dengan menjadi guru SD, karena beberapa bulan kebelakang ayahnya tidak lagi memberi mereka nafkah. Sejak SMA, S sudah tidak dekat lagi dengan ayahnya, karena ayahnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga keduanya.

Sama halnya dengan T, remaja perempuan yang berusia 15 tahun, ia juga merasakan beberapa masalah yang timbul setelah mengetahui ayahnya melakukan poligami. T merupakan anak ke-4 dari 5 bersaudara dari istri pertama. Awalnya T tidak diberitahu bahwa ayahnya melakukan poligami, namun saat ia kelas 3 SD ia melihat istri kedua ayahnya dan bertanya pada ibunya. Sejak itu barulah ia tahu bahwa ayahnya telah menikah lagi. Menurut T, alasan ayahnya melakukan poligami adalah untuk mengikuti sunah Rasulullah SAW. Beberapa tahun setelah ia mengetahui ayahnya poligami, ia merasa masih ada hal yang mengganjal pada ibunya. Ibunya sering menangis namun tidak mengakui apa

(5)

5

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA

YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

sedikit yang membincangkan masalah ini. Hal inilah yang menjadi pikiran bagi T. Selain itu, masalah yang paling berat dirasa oleh T adalah mengenai keuangan keluarganya. Sebelum ayahnya melakukan poligami ia merasa selalu berkecukupan, namun setelah ayahnya memiliki keluarga baru, ayahnya selalu beralasan apabila ia ingin meminta uang. Akhirnya T lebih sering meminta uang pada ibunya. Ibunya bekerja dengan membuka laundry pakaian. T sering membantu ibunya menyetrika pakaian. Menurut T, ayahnya tidak pernah terbuka kepada ibu ataupun anak-anaknya. Apabila ada masalah, terutama masalah keuangan, mereka hanya berdiam diri saja, sehingga tidak ada penyelesaian yang baik dari masalah tersebut. Ketika ditanya mengenai peran ayah sehari-hari, menurutnya ayahnya mempunyai sifat tanggung jawab, peduli, dan tegas. Namun

karena harus menghidupi dua keluarga secara bersamaan dan dari dua belah pihak memiliki tuntutan masing-masing, terkadang sifat-sifat tersebut tidak terlihat.

(6)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA

YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Dari pernyataan ketiga remaja tersebut dapat diketahui bahwa terdapat masalah-masalah yang terjadi pada keluarga poligami. Masalah-masalah itu antara lain mengenai pembagian waktu dan perhatian, masalah perekonomian, kecemburuan, serta hilangnya rasa kepercayaan pada ayah. Menurut Hall (1904) dalam Santrock (2007), masa remaja merupakan masa badai-dan-stres (storm-and-stress), karena pada masa ini remaja mengalami pergolakan yang dipenuhi konflik dan perubahan suasana hati. Banyak hal yang menyebabkan emosi remaja terombang-ambing. Salahnya satunya dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya. Perkembangan emosi remaja menunjukkan sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental (mudah tersinggung, mudah marah, atau mudah

sedih/murung).

Proses pencapaian kematangan emosional remaja sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok s\ebaya. Apabila lingkungan tersebut cukup kondusif, dalam arti kondisinya diwarnai oleh hubungan yang harmonis, saling mempercayai, saling menghargai, dan penuh tanggung jawab, maka remaja cenderung dapat mencapai kematangan emosionalnya. Sebaliknya, apabila kurang mempersiapkan untuk memahami peran-perannya dan kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua atau pengakuan dari teman sebaya, remaja ini cenderung akan mengalami perasaan-perasaan negatif seperti kecemasan, kemarahan, perasaan tertekan atau ketidaknyamanan emosional (Santrock, 2007). Goleman (2005) mengemukakan bahwa skor IQ anak-anak generasi sekarang semakin tinggi, namun kecerdasan emosi mereka justru menurun. Mereka lebih sering mengalami masalah emosi dibandingkan generasi terdahulu.

Menurut Salovey et al. (2000) dalam Journal of Psychoeducational Assessment (2012), orang tua yang secara emosional memperhatikan dengan baik kebutuhan emosional anak-anak mereka biasanya memiliki anak yang cerdas emosinya. Penelitian ini menegaskan hubungan antara tingkat kontrol emosional

(7)

7

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA

YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

emosional orang tua memiliki dampak pada pembelajaran emosional anak-anak mereka.

Ada sebuah penelitian tentang kecerdasan emosional yang meneliti mengenai pengaruh orang tua dan anak terhadap persepsi mereka satu sama lain. Sampelnya terdiri dari 73 ayah 73 ibu dan 156 anak (71 laki-laki dan 85 perempuan). Kecerdasan emosional dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu kecerdasan emosional dari dalam diri dan kecerdasan emosional dari luar diri. Kedua kecerdasan emosional ini diukur untuk mengetahui hubungannya menggunakan Trait Meta Mood Skala-24. Ada tiga faktor dari pengukuran ini yaitu mengenai perhatian, kejelasan, dan perbaikan emosional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dari dalam diri orang tua berkorelasi

dengan kecerdasan emosional dari dalam diri anak-anak dalam dua dari tiga faktor kecerdasan emosional yaitu perhatian dan kejelasan emosional. Sedangkan, kecerdasan emosional dari luar diri orang tua dan kecerdasan emosional dari luar diri anak-anak berkorelasi secara signifikan dalam ketiga faktor tersebut. Artinya, orang tua dan anak-anak mereka melihat satu sama lain dengan cara yang sama. Regresi analisis menegaskan bahwa kecerdasan emosional yang tumbuh dari dalam diri anak-anak diperkirakan pertama kali dipengaruhi oleh kecerdasan emosional dari luar anak yaitu dari orang tua mereka. Kecerdasan emosional dari luar diri orang tua juga memiliki daya prediksi atas perhatian anak-anak mereka yang dipercaya akan memengaruhi emosi mereka (Sanchez-Nunez, dalam The Family Journal, 2013).

Selain itu ada pula penelitian yang dilakukan oleh Sudarmiasih (2010), seorang mahasiswa jurusan Psikologi UPI. Ia meneliti kecerdasan emosional remaja dengan sampel penelitian sebanyak 129 siswa kelas XII SMA PGII 1 Bandung tahun ajaran 2009/2010. Instrumen penelitiannya menggunakan skala psikologis dalam bentuk skala Likert. Hasil penelitiannya adalah pola asuh orang tua yang dipersepsi remaja bervariasi yaitu pola asuh otoriter, acuh tak acuh, dan yang paling dominan adalah demokratis. Penelitian juga membuktikan bahwa

(8)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA

YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

kecerdasan emosional. Setiap pola asuh mempunyai hubungan yang berbeda, pola asuh otoriter dan acuh tak acuh tidak mempunyai hubungan dengan kecerdasan emosional remaja, sedangkan pola asuh demokratis mempunyai hubungan positif dan signifikan dengan kecerdasan emosional remaja.

Adanya hubungan yang positif antara anak dan orang tua tentu akan berpengaruh terhadap kecerdasan emosional anak tersebut. Remaja yang memiliki ayah berpoligami akan berbeda dengan remaja yang ayahnya tidak berpoligami. Perbedaan tersebut sangat terlihat pada bagaimana remaja tersebut mengatur emosinya. Menerima ayah yang poligami tentulah bukan sesuatu yang mudah. Adanya perasaan-perasaan negatif, kecemasan-kecemasan, dan disertai dengan masa remaja yang merupakan masa badai secara emosi, maka keadaan ini

akan sangat mempengaruhi kondisi emosional remaja tersebut.

Hal tersebut diataslah yang membuat penulis tertarik untuk lebih menggali informasi dan mengetahui lebih mendalam mengenai perasaan-perasaan yang muncul serta bagaimana cara remaja mengatur emosi mereka sehingga akan terlihat timbul atau tidaknya kecerdasan emosional pada diri remaja yang memiliki ayah yang berpoligami. Dengan demikian penulis tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai “Kecerdasan Emosional Remaja yang Memiliki Orang Tua Berpoligami”.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana kecerdasan emosional pada remaja yang memiliki ayah yang berpoligami. Maka rumusan masalah dari penelitian ini dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang: 1) bagaimana kecerdasan emosional subjek dengan keadaan subjek yang memiliki ayah berpoligami, dan 2) bagaimana kecerdasan emosional subjek sehingga dapat berfungsi dalam menghadapi permasalahan yang dialaminya.

(9)

9

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA

YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui bagaimana kecerdasan emosional subjek sehingga dapat menerima dan menjalani keadaan subjek dengan ayah yang berpoligami. 2. Mengetahui bagaimana kecerdasan emosional subjek sehingga dapat

berfungsi dalam menghadapi permasalahan yang dialaminya.

D. Manfaat Penelitian

Secara garis besar manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah temuan-temuan

yang empiris yang selanjutnya menjadi sumber pengetahuan mengenai kecerdasan emosional pada remaja yang memiliki ayah berpoligami. Bagi keilmuan Psikologi, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan khususnya pada bidang Psikologi Perkembangan Remaja, Psikologi Kognitif serta Psikologi Keluarga. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kecerdasan emosional remaja, khususnya remaja yang memiliki orang tua berpoligami.

2. Manfaat Praktis

Dengan diperolehnya gambaran mengenai kecerdasan emosional pada remaja yang memiliki ayah yang berpoligami, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman serta masukan-masukan yang berarti bagi peneliti, subjek penelitian, para orang tua, para remaja hingga masyarakat luas.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(10)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA

YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Bab ini terdiri atas latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, metode penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II: Tinjauan Pustaka

Bab ini terdiri dari uraian teori yang menjadi acuan pembahasan. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori-teori perkembangan emosi remaja, remaja dan keluarga, serta teori kecerdasan emosional.

Bab III: Metode Penelitian

Dalam bab ini diuraikan mengenai desain penelitian, instrumen penelitian, lokasi dan subjek penelitian, teknik pengumpulan data, , teknik analisis data, dan uji keabsahan data.

Bab IV Hasil dan Pembahasan Hasil

Terdiri dari dua bagian besar yaitu analisis data dan pembahasan yang berisi tentang gambaran subjek penelitian, hasil, dan pembahasan.

Bab V Kesimpulan dan Saran

(11)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

26 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Menurut Creswell (1998) dalam Sugiyono (2013), penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian ilmiah yang lebih dimaksudkan untuk memahami masalah-masalah manusia dalam konteks sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan, melaporkan pandangan terperinci dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam setting yang alamiah tanpa adanya intervensi apa pun dari peneliti. Dengan pendekatan tersebut, hasil penelitian dapat disajikan dalam bentuk deskripsi, dapat diinterpretasikan, dan bertujuan untuk mengklasifikasikan individu dalam keadaan sebenarnya secara monografis. Denzin dan Lincoln (1994) dalam Herdiansyah (2012), menegaskan bahwa penelitian kualitatif ditujukan untuk mendapatkan pemahaman yang mendasar melalui pengalaman first-hand dari peneliti yang langsung berproses dan melebur menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan dengan subjek dan latar yang akan diteliti berupa laporan yang sebenar-benarnya, apa adanya, dan

catatan-catatan lapangan yang aktual. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana para subjek penelitian mengambil makna dari lingkungan sekitar dan bagaimana makna-makna tersebut memengaruhi perilaku subjek sendiri.

B. Lokasi dan Subjek Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, kriteria pemilihan sampel diterapkan pada manusia sebagai responden, latar (setting), serta kejadian dan proses. Oleh karena itu, secara umum kriteria subjek yang ditentukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Responden

(12)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

lebih dari satu, belum menikah, dan bertempat tinggal di Bandung bersama kedua orang tuanya. Karakteristik umur responden dipilih pada masa remaja, dimana pada masa ini seseorang dapat berpikir secara abstrak, idealistik, hipotesis-deduktif, kritis, kreatif, serta dapat mengambil keputusan dan melakukan penalaran, namun emosinya belum stabil (Santrock, 2007).

2. Latar (setting)

Subjek berada di rumah dan menjalani kegiatan sehari-harinya bersama kedua orang tuanya.

3. Kejadian dan proses

Subjek memiliki ayah berpoligami. Karakteristik ayah berpoligami adalah seorang pria yang memiliki istri lebih dari satu.

C. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Peneliti sebagai human instrument berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, menganalisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan.

Menurut Nasution (1988) dalam Sugiyono (2013), dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat satu-satunya yang dapat mencapainya.

(13)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

28

[image:13.595.111.514.197.717.2]

informasi lain yang relevan mengenai gambaran kecerdasan emosional remaja yang memiliki orang tua berpoligami.

Tabel 3.1 Pedoman Wawancara

Mengenai Kecerdasan Emosional Remaja yang Memiliki Orang Tua Berpoligami

Kecerdasan Emosional Kisi-kisi Pertanyaan

1. Merasakan dan mengekspresikan emosi

a. Mampu mengidentifikasi emosi dalam satu keadaan fisik, perasaan, dan pikiran.

b. Mampu mengidentifikasi emosi orang lain melalui bahasa, suara, penampilan dan perilaku. c. Mampu mengekspresikan emosi secara akurat. d. Mampu membedakan antara yang akurat dengan

yang tidak akurat atau antara yang benar dan tidak benar.

2. Menggunakan emosi dalam memfasilitasi pemikiran

a. Mampu berfokus dan mengarahkan perhatian pada hal-hal yang dianggap penting.

b. Selalu berpikiran positif, tidak mudah merasa pesimis.

c. Mau menerima perspektif dan gaya berpikir yang berbeda dari orang lain.

d. Dapat berpikir rasional, logis, dan kreatif.

3. Memahami emosi a. Mampu mengenali penyebab munculnya emosi. b. Mampu menafsirkan akibat dari emosi.

c. Mampu memahami perasaan yang kompleks dari emosi yang berbeda.

4. Mengatur emosi a. Mampu terbuka dalam menyatakan perasaan. b. Mampu mengelola emosi dalam diri sendiri dan

(14)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

melebih-lebihkan informasi.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), sumber data primer (sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data), dan teknik pengumpulan data yang utama adalah wawancara mendalam (in-depth interview) dan observasi tidak terstruktur. Wawancara yang dilakukan merupakan wawancara semi-terstruktur, yaitu kompromi antara wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Peneliti telah menyiapkan topik dan daftar pertanyaan pemandu wawancara sebelum wawancara dilakukan, namun urutan pertanyaan dan pembahasan tidak harus sama dengan panduan, semua tergantung pada jalannya wawancara (Sarosa, 2012). Tujuan dari wawancara ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya (Sugiyono, 2013).

Selain wawancara, peneliti juga melakukan catatan lapangan dan observasi pada subjek. Observasi ini dilakukan dengan tidak terstruktur. Menurut Moleong (2000), tujuan dilakukannya observasi adalah untuk mengotimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan, dan sebagainya. Beberapa hal yang diamati dalam proses wawancara

[image:14.595.117.527.601.768.2]

adalah penampilan fisik subjek, suasana dimana tempat wawancara berlangsung, orang yang terlibat dalam situasi wawancara, dan emosi yang dirasakan dan diekspresikan oleh subjek.

Tabel 3.2 Teknik Pengumpulan Data Teknik

Pengumpulan Data

Sumber Informasi Prosedur Pengumpulan Data

Tujuan

Wawancara 1.Remaja yang memiliki ayah berpoligami.

2.Rekan dan

1.Wawancara tatap muka dengan alat bantu menggunakan tape recorder.

2.Wawancara dengan

(15)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

30 keluarga dari remaja yang memiliki ayah berpoligami. pedoman wawancara yang telah dibuat dan bersifat

semi-terstruktur dan tidak menutup kemungkinan akan ada

pengembangan pertanyaan yang akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

wawancara dijadikan panduan dan batasan agar wawancara tidak keluar dari konteks yang telah

ditentukan.

Teknik Pengumpulan

Data

Sumber Informasi Prosedur Pengumpulan Data

Tujuan

3.Setelah proses wawancara dan penulisan transkrip wawancara, hasil tersebut akan diperlihatkan kepada subjek.

3.Untuk meminimalisir subjektivitas peneliti dan untuk

menyamakan persepsi peneliti dengan subjek.

Observasi Perilaku yang muncul saat pengambilan data

Mengamati perilaku yang ditampilkan subjek saat dilakukan

wawancara.

Mendapatkan data tambahan sebagai penunjang dari hasil yang didapatkan selain dari wawancara.

E. Teknik Analisis Data

Menurut Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2013), analisis

data kualitatif dilakukan secara interaktif melalui proses reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data.

Gambar 3.1 Komponen dalam analisis data (interactive model) dalam Sugiyono (2013)

Koleksi data Display data

[image:15.595.120.529.87.453.2]
(16)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya sehingga akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya apabila diperlukan. Setelah data direduksi, maka selanjutnya dilakukan penyajian data. Penyajian data ini dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik, phie chard, pictogram, dan sejenisnya sehingga data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami. Dalam penelitian ini penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian teks yang bersifat naratif. Langkah terakhir terakhir verifikasi data atau penarikan kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal.

F. Uji keabsahan data

Uji keabsahan data meliputi uji kredibilitas data (validitas internal), uji depenabilitas data (reliabilitas), uji transferabilitas (validitas eksternal/ generalisasi), dan uji konfirmabilitas (objektivitas), namun yang utama dalam penelitian ini adalah uji kredibilitas data yang dapat dilakukan dengan triangulasi, menggunakan bahan referensi, diskusi dengan teman sejawat, dan member check (Sugiyono, 2013). Berikut penjelasannya:

1. Triangulasi

Dalam pengujian kredibilitas ini, triangulasi diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber yang dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber, triangulasi teknik pengumpulan data dengan mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda, dan triangulasi waktu dengan cara memperoleh data dalam waktu yang berbeda. Dalam penelitian ini, triangulasi data juga dilakukan untuk mendapatkan informasi tambahan mengenai subjek, riwayat keluarga subjek, serta riwayat ayah subjek melakukan poligami.

2. Menggunakan bahan referensi

(17)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

32

Dalam penelitian ini, data tentang interaksi manusia atau gambaran suatu keadaan didukung oleh rekaman wawancara peneliti dengan subjek maupun dengan kerabat subjek, sehingga menjadi lebih dapat dipercaya.

3. Mengadakan member check

(18)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

81 A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data mengenai kecerdasan emosional yang telah dilakukan pada tiga orang remaja yang memiliki orang tua berpoligami, maka diperoleh kesimpulan bahwa adanya persamaan dari ketiga subjek tersebut. Berikut persamaan dari ketiga subjek:

1. Kemampuan merasakan dan menilai emosi dinilai sudah dapat dilakukan dengan baik oleh subjek DMN, SN, dan DA. Ketiga subjek dapat menangkap persepsi emosional yang melibatkan pengenalan dan pemasukan informasi dari sistem emosi melalui menyatakan, menyertai, dan mengartikan pesan-pesan emosional seperti yang dinyatakan dalam ekspresi wajah, nada suara, dan perilaku.

2. Ketiga subjek dinilai sudah dapat menggunakan emosi mereka dalam mengarahkan sistem kognitif untuk menyertai hal-hal yang paling penting, dan

juga dapat mengubah kognisi, dapat berpikir logis, rasional dan kreatif, serta membuat mereka lebih positif (ketika sedang bahagia) atau negatif (ketika sedang sedih). Dalam menerima gaya berpikir orang lain, subjek DMN, SN,

dan DA lebih memilih untuk mengalah dan tidak memaksakan pendapat atau pemikirannya. Mereka berusaha untuk berbesar hati, karena mereka tahu resiko yang akan didapat jika memaksakan pendapatnya.

(19)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

82

4. Persamaan yang menarik pada ketiga subjek penelitian ini adalah ketika mereka merasakan emosi negatif dan positif secara bersamaan, maka emosi negatif yang lebih dominan mereka rasakan dibanding emosi positif, sehingga emosi positif yang dirasakan seakan-akan tidak ada. Hal ini yang terkadang menghambat mereka dalam berkomunikasi secara efektif dengan orang lain dan dalam menjalin interaksi sosial yang positif.

Dari hasil penelitian dan analisis data juga didapatkan perbedaan dari masing-masing subjek, diantaranya yaitu:

1. Dalam mengekspresikan emosi, subjek DMN dan DA sudah dapat melakukannya dengan cara dan pada waktu yang tepat, mereka dapat mengekspresikan emosi negatif dengan tindakan yang positif, namun berbeda dengan subjek SN, ia masih belum dapat menahan untuk mengekspresikan emosi negatifnya. Ia lebih sering mengekspresikan emosi negatif dengan tindakan yang negatif pula. Seperti ketika subjek SN sedang marah atau kesal, ia akan menunjukkan ekspresi yang buruk pada semua orang, hal ini yang membuat orang merasa tidak nyaman berada didekatnya.

2. Dalam memahami penyebab emosi, subjek DMN dinilai belum dapat memahami penyebab emosi yang dirasakannya dengan baik. Ia sering kali merasakan emosi yang muncul dengan tiba-tiba. Sedangkan subjek SN dan DA secara keseluruhan sudah dapat memahami penyebab emosi yang muncul, maka dari itu, subjek SN dan DA lebih mampu dalam memecahkan masalah dengan efektif untuk mengatasi peristiwa negatif dan positif serta dapat menafsirkan situasi dari perspektif orang lain dan mengembangkan empati. Berbeda dengan subjek DMN, ketika ia menghadapi masalah, ia lebih sering menggerutu dan akhirnya ia merasa terpaksa dalam melakukan sesuatu seperti bekerja atau membantu istri kedua ayahnya.

(20)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Berikut ini merupakan rekomendasi bagi beberapa pihak tertentu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap tiga orang remaja yang memiliki orang tua berpoligami.

1. Bagi remaja yang memiliki orang tua berpoligami

Mempunyai ayah yang berpoligami tentu bukan keinginan setiap remaja, namun para remaja dengan keadaan ini hendaknya bisa menerima dan memahami keadaan keluarga mereka, serta dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang dialaminya dengan pemikiran-pemikiran dan cara yang

lebih positif, seperti menilai seseorang dari kebaikannya sebelum melihat kekurangannya, melakukan kegiatan yang bermanfaat, serta dapat menularkan emosi positif kepada orang lain, misalnya memberikan semangat dan berbagi kebahagiaan.

2. Bagi orang tua yang berpoligami

Para orang tua yang melakukan poligami hendaknya memberi pengertian dengan jelas kepada anak mengenai poligami itu sendiri dan sebaiknya tetap berlaku adil baik dengan keluarga pertama maupun keluarga kedua. Anak harus menjadi yang utama, terutama dalam pemberian perhatian dan kasih sayang, karena bagaimana pun anak remaja sudah dapat melihat dan menilai hal-hal yang dilakukan orang tuanya.

3. Bagi masyarakat umum

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kecerdasan emosional remaja yang memiliki orang tua berpoligami, sehingga bagi masyarakat yang menjumpai remaja yang memiliki orang tua berpoligami hendaknya tidak mengolok-olok atau mengatakan sesuatu yang menyakiti hati remaja tersebut. Baiknya bagi masyarakat umum, baik itu saudara, teman, atau guru, dapat memberikan motivasi dan arahan-arahan yang positif untuk

mereka dapat menerima dan tidak merasa adanya perbedaan dengan remaja yang ayahnya tidak berpoligami.

(21)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

84

(22)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Alegre, Alberto. (2011). Parenting Styles and Children's Emotional Intelligence: What do We Know?. The Family Journal [Online], 8 halaman. Tersedia: http://tfj.sagepub.com/content/19/1/56.

Ali, Mohammad & Ansori. (2009). Psikologi Remaja, Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.

Davis, Sarah K., Neil Humphrey. (2011). Emotional intelligence as a moderator of stressor–mental health relations in adolescence: Evidence for specificity. Journal Personality and Individual Differences 52, 100-105 [Online], 6 halaman. Tersedia: www.elsevier.com/locate/paid.

Davis, Sarah K., Neil Humphrey. (2012). The influence of emotional intelligence (EI) on coping and mental health in adolescence: Divergent roles for trait and ability EI. Journal of Adolescence 35, 1369-1379 [Online], 11 halaman. Tersedia: www.elsevier.com/locate/jado.

Desmita. (2012). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Goleman, Daniel. (2005). Working with Emotional Intelligence. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Alih bahasa oleh Alex Tri Kantjono. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gunarsa, Singgih D., (2008). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia.

Gunarsa, Singgih D & Yulia. (2004). Psikologi Praktis: Anak, Remaja, dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia.

Herdiansyah, Haris. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Hogben, Alia. (2010). Poligami dalam Konteks [Online]. Tersedia: http://indonesiapoligamiwatch.wordpress.com/poligami-dalam-konteks/. [16 September 2013].

Husna, Natasha Ghaida. (2013). Profil Penerimaan Diri Pensiunan. (Skripsi). Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak Diterbitkan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online]. Tersedia: kbbi.web.id.

(23)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Mayer, J. D., & Salovey, P. (1997). What is emotional intelligence? In P. Salovey & D. J. Sluyter (Eds.), Emotional development and emotional intelligence: Educational implications . New York: Basic Books.

Moleong, Lexy J. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

NCC. (2007). Poligami Terbukti Menaikkan Angka Perceraian. [Online]. Tersedia: www.hukumonline.com. [1 Oktober 2014].

Rivers, Susan E., Marc A. Brackett, Maria R. Reyes, John D. Mayer, David R. Caruso and Peter Salovey. (2012). Measuring Emotional Intelligence in Early Adolescence With the MSCEIT-YV: Psychometric Properties and Relationship With Academic Performance and Psychosocial Functioning. Journal of Psychoeducational Assessment [Online], 24 halaman. Tersedia: http://jpa.sagepub.com/content/30/4/344.

Sánchez-Núñez, M. Trinidad, Pablo Fernández-Berrocal and J. Miguel Latorre. (2013). Assessment of Emotional Intelligence in the Family: Influences Between Parents and Children on Their Own Perception and That of Others. The Family Journal [Online], 10 halaman. Tersedia: http://tfj.sagepub.com/content/21/1/65.

Santrock, John W. (2007). Remaja, Edisi Kesebelas Jilid 1 & 2. Jakarta: Erlangga.

Sarosa, Samiaji. (2012). Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar. Jakarta: Indeks.

Sarwono, Sarlito Wirawan. (2007). 2007 Tahun Kebangkitan Poligami Indonesia [Online]. Tersedia: http://indonesiapoligamiwatch.wordpress.com/2007-tahun-kebangkitan-poligami-indonesia/.[16 September 2013].

Sastri, Prinska Damara. (2013). Kecerdasan Emosional pada Pemain Musik (Vokal dan Instrumen). (Skripsi). Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak Diterbitkan.

Semium OFM, Yustinus. (2006). Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Kanisius.

Sinuhaji, Regina Lorinda. (2014). Dukungan Sosial pada Penderita Kanker Nasofaring Berdasarkan Gender. (Skripsi). Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung: Tidak Diterbitkan.

(24)

Aghnia Nurisyabani, 2015

KECERDASAN EMOSIONAL REMAJA YANG MEMILIKI ORANG TUA BERPOLIGAMI

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Bandung: Tidak Diterbitkan.

Sudjana, N. (2005). Metoda Statistika, Edisi 6. Bandung: Tarsito.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Gambar

Tabel 3.1 Pedoman Wawancara  Mengenai Kecerdasan Emosional Remaja yang Memiliki Orang Tua
Tabel 3.2 Teknik Pengumpulan Data
Gambar 3.1 Komponen dalam analisis data (interactive model) dalam Sugiyono (2013)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

KPMD/K adalah warga desa terpilih yang memfasilitasi atau memandu masyarakat dalam mengikuti atau melaksanakan tahapan PNPM Mandiri Perdesaan di desa dan kelompok

Hal demikian berlaku seperti halnya peralatan di industri yang digunakan sesuai dengan kebutuhan termasuk untuk kepentingan sertifikasi dalam mempertahankan atau menjaga

Prakerin adalah wujud nyata dari PSG yang merupakan suatu model penyelenggaraan pendidikan secara khusus diterapkan pada pendidikan menengah kejuruan di Indonesia

Through the acceleration of science and technology research exchange and collaboration in the East Asian region, the e-ASIA Joint Research Program (e-ASIA

   Sesuai  dengan  namanya,  maka  pahat  tusuk  digunakan  untuk  menusuk  kayu  pada  pembuatan  lubang-pen,  ekor-ekor  burung,  dataran  yang  rata 

This year, the National Finale will be held during the annual Joint Working Group Indonesia-France Cooperation in Higher Education and Research in Yogyakarta which will

Fungsi LP2M STKIP PGRI Bangkalan dalam eksistensi tridarma perguruan tinggi. Pada kegiatan LP2M STKIP PGRI Bangkalan belum sepenuhnya