• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika struktur kepribadian dan identitas gender tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika struktur kepribadian dan identitas gender tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

i

DINAMIKA STRUKTUR KEPRIBADIAN DAN IDENTITAS

GENDER TOKOH SASANA DALAM NOVEL

PASUNG JIWA

KARYA OKKY MADASARI

Tugas Akhir

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Elizabeth Ayudya Ratna Rininta NIM: 134114028

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan. Tugas akhir ini merupakan laporan yang ditulis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia. Penelitian ini mengkaji dinamika struktur kepribadian dan identitas gender tokoh Sasana dalam Pasung Jiwa karya Okky Madasari dengan pendekatan psikoanalisis dan feminis.

Dalam proses penyusunan tugas akhir ini, banyak pihak yang telah membantu memberikan dukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Susilawati Endah Peni Adji, S. S, M. Hum. sebagai pembimbing skripsi I, terima kasih telah membantu saya dalam mendalami psikoanalisis dan feminis khususnya dalam mengkaji gender laki-laki.

2. Drs. B. Rahmanto, M. Hum. sebagai pembimbing skripsi II, terimakasih atas saran dan diskusi yang menyempurnakan skripsi ini.

(7)
(8)

viii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Ich bin nichts, und ich müßte alles sein.”

(Saya bukan apa-apa tapi saya harus menjadi segalanya.) -Karl Marx-

Skripsi ini saya persembahkan untuk, Ayah saya yang telah mendapatkan kebebasan dan

(9)

ix

ABSTRAK

Rininta, Elizabeth Ayudya Ratna. 2017. Dinamika Struktur Kepribadian dan Identitas Gender Tokoh Sasana dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Madasari. Skripsi Strata Satu (S1). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji dinamika struktur kepribadian dan identitas gender tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa. Tujuan penelitian ini yaitu; (1) menganalisis dan mendeskripsikan dinamika dan struktur kepribadian tokoh Sasana, (2) mengkaji identitas gender tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologi sastra dengan menggunakan teori psikoanalisis. Kemudian, dilanjutkan dengan teori identitas gender Joan Wallach Scoot untuk menganalisis identitas gender tokoh Sasana. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi.

Berdasarkan analisis struktur dan dinamika kepribadian Sasana dapat disimpulkan bahwa tokoh Sasana memiliki dorongan id yang kuat yaitu ingin berlaku seperti perempuan dan menjadi penyanyi dangdut terkenal namunid dan ego-nya (usaha-usaha mewujudkan id) terhalang oleh superego berupa aturan dari orangtuanya dan norma-norma yang ada di masyarakat.Id dan ego dalam diri Sasana mengalami tekanan-tekanan dalam usaha pemenuhan hasratnya, sehingga Sasana mengalami beberapa dinamika kepribadian. Dinamika-dinamika tersebut adalah; mimpi, frustasi, konflik, kecemasan, neurosis, sublimasi, displacement, dan oedipus complex.

(10)

x

ABSTRACT

Rininta, Elizabeth Ayudya Ratna. 2017. The Dynamics of the Structure Of The Personality and Gender Identity of Sasana figures in Pasung Jiwa by

Okky Madasari. Thesis S-1 Degree. Indonesian Literature Study Program, Indonesian Literature Departement, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.

This research examines the dynamics of the structure of the personality and gender identity Sasana figures in Pasung Jiwa. The purpose of this research namely; (1) analysis and describe the structure of the personality figures of Sasana, (2) analysis the dynamics of the personality figures of, (3) analyzes and find gender identity Sasana figures in Pasung Jiwa by Okky Madasari.

The approach used in this research is the approach of psychology literature using the theory psychoanalytical technique. Then continued with gender theory to analyze the gender identity figures of Sasana. The method used in this research is the analysis of the contents.

The results of the analysis of the structure and dynamics of the personality of Sasana obtained the conclusion as follows; Sasana has id and dream, he want to be a women because he doesn’t like many things about man. But, he can’t transforming to women because his father and mother don’t accept this. So, Sasana try to repress his id and ego. Then the dynamics in Sasana figures is dream, frustrating, conflict, neurotic, sublimation, displacement, and oedipus complex.

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN HASIL KARYA ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ... v

KATA PENGANTAR ... vi

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... viii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1.2 Rumusan Masalah ... 1.3 Tujuan Penelitian ... 1.4 Manfaat Penelitian ... 1.5 Tinjauan Pustaka ... 1.6 Landasan Teori ... 1.6.1 Struktur Kepribadian ... 9

1.6.2 Dinamika Kepribadian ... 15

1.6.3 Oedipus Complex ... 18

1.6.4 Identitas Gender ... 21

1.7 Metode Penelitian ... 26

(12)

xii

1.9 Sistematika Penyajian ... 28

BAB II DINAMIKA DAN STRUKTUR KEPRIBADIAN TOKOH SASANA DALAM NOVEL PASUNG JIWA KARYA OKKY MADASARI 2.1 Struktur Kepribadian Sasana ... 31

2.2 Dinamika Kepribadian Sasana ... 40

BAB III IDENTITAS GENDER TOKOH SASANA DALAM NOVEL PASUNG JIWAKARYA OKKY MADASARI 3.1 Gender Berdasarkan Atribut Sosial ... 55

3.2 Kesenjangan Gender Berdasarkan Perbedaan dalam Hal Berpolitik dan Bersikap ... 57

3.3 Genderzation ... 59

3.4 Gambaran Jenis Kelamin yang Seharusnya Dimiliki ... 61

3.5 Gender role ... 63

BAB IV PENUTUP 4.1 KESIMPULAN ... 64

4.2 SARAN ... 65

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pasung Jiwa merupakan satu dari beberapa novel karangan Okky Madasari yang juga menyuarakan kebebasan khususnya kebebasan dalam menunjukkan jati diri dan identitas gender seseorang. Setelah sebelumnya Okky menulis Maryam (2012) yang berkisah tentang orang-orang yang terusir karena keyakinan yang berbeda kemudian Entrok (2010) yang membahas tentang perjuangan perempuan pada masa orde baru dan 86 (2011) tentang fenomena korupsi di Indonesia. Sehingga dapat kita lihat bahwa karya-karya Okky terhubung dalam satu benang merah yaitu perlawanan atas ketidakadilan.

Novel Pasung Jiwa secara umum mengisahkan tentang kehidupan seorang laki-laki yang bernama Sasana. Sasana lahir dan besar dalam lingkungan keluarga yang termasuk dalam kelas sosial atas di masyarakat. Sejak Sasana berusia kanak-kanak, ia selalu dituntut kedua orangtuanya untuk tumbuh menjadi manusia sesuai dengan pandangan kedua orangtuanya.

(14)

memasuki kuliah, Sasana memilih untuk kuliah di Malang dan akhirnya Sasana mulai merasa memperoleh kebebasan.

Kebebasan Sasana ini dimulai ketika Sasana bertemu dengan Jaka Wani atau yang biasa dipanggil Cak Jek. Cak Jek yang memiliki bakat bermain gitar akhirnya mengajak Sasana untuk mengamen karena Cak Jek tahu, Sasana memiliki bakat menjadi penyanyi dangdut. Untuk membuat lebih menarik Cak Jak mendandani Sasana dengan pakaian wanita dan mereka mulai mengamen dan mentas dari satu panggung hajatan ke panggung hajatan lainnya. Dan semenjak itu Sasana mengubah namanya menjadi Sasa. Ia menikmati perubahan penampilan dirinya dari seorang pria menjadi wanita seksi dengan goyangan mautnya dengan menjadi Sasa ia merasa nya aman dan bebas menjadi apa yang dia inginkan.

(15)

akhirnya bergabung dalam sebuah laskar berjubah putih untuk ikut berjuang bagi Agama dan Tuhan. Penindasan tidak hanya terjadi pada diri Sasana, tetapi juga pada diri Cak Jek. Cak Jek pun dipaksa mengikuti norma hingga akhirnya Cak Jek masuk ke dalam organisasi pembela Agama dan Tuhan.

Sasana bebas dari rumah sakit jiwa dan kembali menjadi penyanyi dangdut.Keinginan karirnya kini didukung oleh ibunya.Namun, ketika pementasan dangdut Sasana diadakan di Jawa Timur, acara tersebut dikacaukan oleh organisasi jubah putih yang dipimpin Cak Jek.Sasana pun kembali ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Pada bagian akhir novel Sasana kembali dipertemukan dengan Cak Jek.Cak Jek yang merasa bersalah pada Sasana akhirnya membebaskan Sasana dari penjara.Kemudian mereka melarikan diri dan merasa bebas dengan pilihan hidup mereka.

Peneliti akan mengkaji novel Pasung Jiwa dengan menitikberatkan kajian terhadap tokoh utama yaitu Sasana. Kajian ini dibagi menjadi dua rumusan masalah yang pertama kajian mengenai dinamika struktur kepribadian tokoh Sasana dengan menerapkan teori psikoanalisis Sigmund Freud dan yang kedua kajian terhadap identitas gender tokoh Sasana menggunakan teori gender Joan Wallach Scoot.

(16)

bagian dari psikologi yang memberikan kontibusi besar dan dibuat untuk psikologi manusia selama ini. Psikoanalisis merupakan sejenis psikologi tentang ketidaksadaran; perhatian-perhatiannya terarah pada bidang motivasi, emosi, konflik, sistem neurotic, mimpi-mimpi, dan sifat-sifat karakter. Kajian dinamika kepribadian tokoh Sasana bertujuan untuk mengetahui kepribadian Sasana dan menemukan symptom-symptom neurotic yang membangun kepribadian Sasana.

Kajian terhadap tokoh dilanjutkan dengan mengkaji identitas gender pada diri tokoh Sasana. Secara sosiologi, gender mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin seseorang yang diarahkan pada peran sosial atau identitas dalam masyarakat. WHO memberi batasan gender sebagai “seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki

-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dalam suatu masyarakat.Gender juga dikaitkan dengan seksualitas. Seksualitas sendiri berhubungan dengan kodrat jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki.

(17)

norma dalam masyarakat. Oleh sebab itu gender membeda-bedakan tempat, waktu, alat, tugas, bentuk-bentuk wicara, gerak-gerik, dan persepsi yang dihubungkan dengan lelaki dan yang dihubungkan dengan perempuan dalam kebudayaan. Asosiasi tersebut membentuk gender sosial karena secara khusus terikat pada tempat dan waktu tertentu. Dalam hal ini bisa disebut gender kedaerahan karena rangkaian penghubungan itu khas sekelompok masyarakat tradisional di wilayah geografis tertentu.

(18)

perspektif feminis karena novel Pasung Jiwa memberikan gambaran mengenai kehidupan laki-laki yang dianggap menyimpang dari konstruksi gender terhadap laki-laki dan tatanan yang ada dalam masyarakat.

Pada umumnya dalam kajian gender lebih menitikberatkan pada ketidakadilan terhadap perempuan dan otoritas laki-laki terhadap keberadaan perempuan. Tetapi ada baiknya pembicaraan mengenai gender juga membahas tentang laki-laki. Hal ini disebabkan, bahwa sebenarnya keberhasilan ide (tuntutan) feminisme dapat terwujud apabila terdapat "kerjasama" antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan tujuan awal feminis yaitu egaliter atau kesetaraan gender.

Novel Pasung Jiwa karya Okky Mardasari merupakan teks sastra yang dijadikan bahan penelitian. Teks-teks sastra dalam novel tersebut akan dianalisis struktur kepribadian tokohnya menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Kemudian baru dikaji dengan kajian feminis untuk mengupas lebih dalam mengenai identitasgender laki-laki.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana struktur kepribadian tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwadilihat dari sudut pandang teori psikoanalisis?

2. Bagaimana dinamika kepribadian tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa dilihat dari sudut pandang teori psikoanalisis?

(19)

1.3 Tujuan Penelitian

1. Memaparkan struktur kepribadian tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwaberdasarkan teori psikoanalisis.

2. Memaparkan dinamika kepribadian tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwaberdasarkan teori psikoanalisis.

3. Mengkaji gender tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa menggunakan teori gender Joan Wallach Scoot?

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini adalah dinamika, struktur kepribadian tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa dan konstruksi gender tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Mardasari yang diperoleh dari analisis psikologi tokoh menggunakan teori psikoanalisis dan kajian terhadap identitas gender laki-laki menggunakan teori gender. Secara umum hasil penelitian tentang identitas gender laki-laki muncul karena adanya nilai-nilai yang harus dimiliki laki-laki sebagai manusia yang terkontruksi berjiwa maskulin.

(20)

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian inimempunyai relevansi dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang mengangkat novel Pasung Jiwa sebagai objek kajian penelitian. Penelitian yang ditemukan; skripsi yang berjudul “Wacana Identitas Transgender dalam Novel, Analisis Wacana Kritis Identitas Transgender dalam Novel Pasung Jiwa Karya Okky Mardasari” yang disusun oleh Muhammad Rizki Nasution dari

Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2014) serta skripsi yang berjudul “Problem

Kejiwaan Tokoh Utama dalam Pasung Jiwa karya Okky Mardasari” yang disusun oleh Nur Wahyu Hidayat dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negri Yogyakarta (2015).

Penelitian mengenai novel Pasung Jiwa yang disusun oleh Nasution, Muhammad Rizki (2014) mengidentifikasi wacana laki-laki sebagai penolong transgender dan normalitas heteroseksual. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kesadaran mental Okky Mardasari sebagai penulis Pasung Jiwa membawanya kepada wacana yang mengkomodifikasi transgender sebagai bagian dari era reformasi yang menuntut balas pembreidelan orde baru. Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode wacana kritis model Teun. A. Van Dijk.

Hidayah, Nur Wahyu dalam penelitiannya yang berjudul “Problem Kejiwaan Tokoh

Utama dalam Pasung Jiwa karya Okky Mardasari (2015)” membahas mengenai

permasalahan yang berkaitan dengan abnormalitas tokoh Sasana. Penelitian ini

(21)

dipanggil Sasa,mempunyai kepribadian ganda yaitu maskulin dan feminim, secara

psikologis tokoh Sasana mempunyai mental minder dan penakut dan secara sosiologis

tokoh Sasana berasal dari keluarga berpendidikan sedang Sasana berprofesi sebagai

biduan, (2) tokoh utama Sasana didiagnosis mengalami perilaku abnormal, (3) penyebab

utama problem kejiwaan Sasana dikarenakan pola asuh keluarga dan rasa sensitif yang

berlebihan, (4) cara mengatasi problem kejiwaan tokoh utama Sasana dengan cara

psikoterapi, pemberian obat penenang dan perawatan di rumah sakit jiwa.

Kedua penelitian diatas memiliki kesinambungan dengan penelitian ini. Penelitian ini

akan mengangkat psikoanalisis tokoh utama yaitu Sasana kemudian akan dilanjutkan

dengan analisis identitas gender laki-laki menggunakan perspektif feminis.

1.6 Landasan Teori

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua teori yakni psikoanalisis dan teori gender. Teori psikoanalisis dipakai untuk menganalisis dinamika dan struktur kepribadian tokoh pada bab 2, sedangkan teori gender digunakan untuk menganalisis identitas gender tokoh Sasana pada bab 3.

1.6.1 Struktur Kepribadian

(22)

kepribadian manusia. Menurut Bertens (2006:32) istilah lain dari tiga faktor tersebut dalam psikoanalisis dikenal sebagai tiga “instansi” yang menandai hidup

psikis. Dari ketiga sistem atau ketiga instansi ini satu sama lain saling berkaitan sehingga membentuk suatu kekuatan atau totalitas. Maka dari itu untuk mempermudah pembahasan mengenai kepribadian pada kerangka psikoanalis, kita jabarkan sistem kepribadian ini.

1.6.1.1 Id

Menurut Bertens (2006:32-33), id merupakan lapisan psikis yang paling mendasar sekaligus id menjadi bahan dasar bagi pembentukan hidup psikis lebih lanjut. Artinya id merupakan sisitem kepribadian asli paling dasar yakni yang dibawa sejak lahir. Dari id ini kemudian akan muncul ego dan superego. Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologik yang diturunkan, seperti insting, impuls, dan drives. Id berada dan beroperasi dalam daerah unconscious, mewakili subjektivitas yang tidak pernah disadari sepanjang usia. Id berhubungan erat dengan proses fisik untuk mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk mengoperasikan sistem dari struktur kepribadian lainnya.

Energi psikis dalam id itu dapat meningkat oleh karena perangsang, dan apabila energi itu meningkat maka menimbulkan tegangan dan ini menimbulkan pengalaman tidak enak (tidak menyenangkan). Dari situlah id harus mereduksikan energi untuk menghilangkan rasa tidak enak dan mengejar keenakan.

(23)

adalah keadaan yang relative inaktif atau tingkat enerji yang rendah, dan rasa sakit adalah tegangan atau peningkatan enerji yang mendambakan kepuasan. Jadi ketika ada stimulasi yang memicu enerji untuk bekerja-timbul tegangan energi-id beroperasi dengan prinsip kenikmatan; berusaha mengurangi atau menghilangkan tegangan itu; mengembalikan diri ke tingkat energi rendah.

Penerjemahan dari kebutuhan menjadi keinginan ini disebut dengan proses primer. Proses primer ialah reaksi membayangkan atau mengkhayal sesuatu yang dapat mengurangi atau menghilangkan tegangan-dipakai untuk menangani stimulus kompleks, seperti bayi yang lapar membayangkan makanan atau puting ibunya. Idhanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa mampu membedakan khayalan itu dengan kenyataan yang benar-benar memuaskan kebutuhan. Id tidak mampu menilai atau membedakan benar-salah , tidak tahu moral. Jadi harus dikembangkan jalan memperoleh khayalan itu secara nyata, yang memberikepuasan tanpa menimbulkan ketegangan baru khususnya masalah moral. Alasan inilah yang kemudian membuat id memunculkan ego.

1.6.1.2 Ego

(24)

terbentuk dengan diferensiasi dari id karena kontaknya dengan dunia luar, khususnya orang di sekitar bayi kecil seperti orang tua, pengasuh, dan kakak adik. Ego timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan organisme memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia realita atau kenyataan.

Ego adalah eksekutif (pelaksana) dari kepribadian, yang memiliki dua tugas utama; pertama, memilih stimuli mana yang hendak direspon dan atau insting mana yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan. Kedua, menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan tersedianya peluang yang resikonya minimal.

Menurut Bertens (2006:33), tugas ego adalah untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan lingkungan sekitar, lagi untuk memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik antara keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain.

Dengan kata lain, ego sebagai eksekutif kepribadian berusaha memenuhi kebutuhan id sekaligus juga memenuhi kebutuhan moral dan kebutuhan berkembang-mencapai-kesempurnaan dari superego. Ego sesungguhnya bekerja untuk memuaskan id, karena itu ego yang tidak memiliki energi sendiri akan memperoleh energi dari id.

(25)

kenyataan dengan jalan suatu rencana tindakan yang telah dikembangkan melalui pikiran dan oral (pengenalan).

1.6.1.3 Superego

Menurut Bertens (2006:33-34), superego dibentuk melalui internalisasi (internalization), artinya larangan-larangan atau perintah-perintah yang berasal dari luar (para pengasuh, khususnya orang tua) diolah sedemikian rupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam. Dengan kata lain, superego adalah buah hasil proses internalisasi, sejauh larangan-larangan dan perintah-perintah yang tadinya merupakan sesuatu yang “asing” bagi si subyek, akhirnya dianggap sebagai

sesuatu yang berasal dari subjek sendiri, seperti “Engkau tidak boleh…atau engkau harus…” menjadi “Aku tidak boleh…atau aku harus…”

Menurut Freud (dalam Suryabrata, 2010:127) Superego adalah aspek sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya yang dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan. Superego lebih merupakan kesempurnaan daripada kesenangan. Oleh karena itu, Superego dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian. Fungsinya yang pokok ialah menentukan apakah sesuatu benar atau salah, pantas atau tidak, susila atau tidak, dan dengan demikian pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral masyarakat.

(26)

Superego bersifat nonrasional dalam menuntut kesempurnaan, menghukum dengan keras kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun baru dalam fikiran. Superego dalam hal mengontrol id, bukan hanya menunda pemuasan tapi merintangi pemenuhannya.

Fungsi utama dari superego yang dihadirkan antara lain adalah:

1. Sebagai pengendali dorongan atau impuls naluri id agar impuls-impuls tersebut disalurkan dengan cara atau bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat.

2. Untuk mengarahkan ego pada tujuan-yang sesuai dengan moral ketimbang dengan kenyataan.

3. Mendorong individu kepada kesempurnaan. Superego senantiasa memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang berbeda kealam sadar. Superego bersama dengan id, berada dialam bawah sadar (Hall dan Lindzey, 1993:67-68).

Jadi superego cenderung untuk menentang, baik ego maupun id, dan membuat dunia menurut konsepsi yang ideal. Ketiga aspek tersebut meski memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam prakteknya, namun ketiganya selalu berinteraksi secara dinamis.

(27)

1.6.2 Dinamika Kepribadian

Identifikasi id, ego, dan superegoditujukan untuk mengetahui kepribadian manusia pada tahap awal. Dikatakan awal karena setelah identifikasi id, ego, dan superego kajian dilanjutkan dengan menganalisis dinamika kepribadian manusia. Dinamika kepribadian terbentuk dari cara-cara id, ego, dan superego menguasai dan memperlakukan nafsu-nafsu. Dalam hal ini ada tiga kemungkinan; ditekan, diberi kepuasan secara wajar, atau diberi kepuasan dengan cara dilakukan ke arah lain atau sublimasi. Di sini peran ego sangat penting yang dalam prosesnya dibantu oleh superego. Dinamika kepribadian dibagi menjadi mimpi , neurosis, kastrasi, sublimasi, dan displacement.

1.6.2.1 Mimpi

Adanya fakta bahwa nafsu-nafsu ditekan ke alam bawah sadar, ternyata di bawah alam sadar nafsu-nafsu tersebut tidak tinggal diam, selalu bergejolak untuk mendapatkan kepuasan. Bila sewaktu-waktu ego lemah, atau sensor terhadap id kurang, maka kemungkinan nafsu-nafsu itu akan muncul pada lapisan kesadaran. Nafsu-nafsu tersebut muncul dalam bentuk perbutan-perbuatan keliru atau dalam bentuk mimpi.

(28)

1.6.2.2Frustasi, Konflik, dan Kecemasan

Frustasi merupakan ketegangan psikis yang disebabkan oleh adanya dorongan-dorongan kekecewaan akibat tidak mendapat kepuasan. Terdapat dua jenis frustasi yaitu frustasi privasi yang terjadi apabila objek kepuasan tidak tersedia dan frustasi dprivasi yang terjadi apabila objek kepuasan tersedia, tetapi karena sesuatu hal orang tidak dapat mencapai kepuasan tersebut.

Frustasi yang disebabkan oleh peristiwa yang terjadi pada diri sendiri disebut konflik. Konflik timbul apabila dorongan yang satu bertentangan dengan dorongan yang lain, atau dapat juga terjadi bila id bertentangan dengan ego. Frustasi yang disertai rasa taku dapatt menimbulkan kecemasan.

Kecemasan timbul dari kegagalan, sehingga kecemasan menimbulkan ketegangan dan daya pendorong bagi manusia untuk berbuat, menghindari objek, mengkang dorongan-dorongan, atau mengikuti suara hatinya. Kecemasan merupakan faktor utama timbulnya psikoneurosa. (Bertens, Kees. 2006: 36)

1.6.2.3 Neurosis

(29)

a. Neurosis merupakan gangguan jiwa pada taraf ringan.

b. Neurosis terjadi pada sebagian kecil aspek kepribadian.

c. Neurosis dapat dikenali berdasarkan gejala yang paling menonjol yaitu kecemasan.

d. Penderita neurosis masih mampu menyesuaikan diri dan mampu melakukan aktivitas sehari-hari.

e. Penderita neurosis tidak memerlukan perawatan khusus di rumah sakit jiwa.

Penyebab neurosis yaitu perpaduan antara hasil kecenderungan dari fiksasi-libido yang disebabkan oleh kondisi seksual turun menurun (pengalaman nenek moyang) dan pengalaman pada masa kanak-kanak, dengan pengalaman tidak sengaja atau hal-hal traumatik (Freud. 2006: 410).

(30)

1.6.2.4 Sublimasi

Sublimasi merupakan salah satu cara mengatasi frustasi. Sublimasi ini berupa pemindahan atau penyaluran pemuasan nafsu dai suatu objek ke objek yang lain dan ditujukan ke arah perkembangan kebudayaan atau ke arah positif. Sublimasi terlibat dalam mengubah impuls id. Energi insting diganti menjadi perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat.

Sublimasi terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial menggantikan perasaan tidak nyaman. Sublimasi sesungguhnya suatu bentuk pengalihan. (Minderop, 2010: 34)

1.6.2.5 Displacement

Ketika objek yang dibutuhkan untuk memuaskan id tidak ada, orang kemungkinan besar akan menggantinya dengan objek yang lain. Contohnya, ketika anak-anak tidak senang kepada orang tua mereka, mereka tidak berani mengekspresikan ketidaksenangannya karena takut akan hukuman yang diberikan. Jadi mereka melampiaskannya kepada orang lain, misalnya kepada adiknya atau saudara kandung yang lain. (Koeswara, 1991: 47)

1.6.3 Oedipus Complex

(31)

sama dengan yang terjadi pada perkembangan psikologis setiap orang. Freud kemudian memakai nama tokoh mitos ini untuk menggambarkan konsepnya. Bertens mendefinisikan konsep Freud tentang Oedipus Complex ini sebagai, “Keseluruhan pikiran dan perasaan—yang sebagian besar tak sadar—yang

berkisar pada keinginan anak kecil untuk memiliki orang tua yang jenis kelaminnya berbeda dengan dia dan menyingkirkan orang tua yang jenis kelaminnya sama.” Bagi Freud, setiap orang mengalami fase cinta pada orang tua

sendiri, yang kemudian diakhiri dengan sublimasi terhadap perasaan tersebut. Tulisan ini memaparkan penjelasan tentang Oedipus Complex serta berlangsungnya gejala tersebut, mulai dari kemunculan sampai dengan penyelesaiannya. (Bertens, 2005: 21)

1.6.3.1 Oedipus Complex dan Perkembangan Kepribadian

(32)

Oedipus complex terjadi pada yang dinamakan Freud fase phallic. Fase phallic merupakan masa anak-anak mulai menemukan kesenangan dengan alat kelamin mereka. Fase ini mengikuti fase oral dan anal—masa anak-anak menemukan kesenangan dengan mulut (oral) dan saluran pembuangan kotoran (anal). Jika pada fase oral dan anal kepuasan seksual anak hanya tertuju pada dirinya sendiri (otoerotisme) melalui organ-organ makan dan pembuangan, pada fase phallic anak mulai mengarahkan intensi seksualnya pada objek di luar dirinya, yaitu orangtua. (Bertens, 2005: 22)

1.6.3.2 Proses Terjadinya Oedipus Complex

Awalnya, ketertarikan ini terjadi secara sama pada anak laki-laki dan perempuan. Mereka sama-sama mengingini ibu mereka. Hal ini karena anak-anak menganggap bahwa ibu mereka memberi kenyamanan dan pemuasan kebutuhan mereka. Sedangkan, terhadap ayah mereka mengembangkan rasa permusuhan dan persaingan karena melihatayah memiliki hubungan cinta dengan ibunya.

(33)

Pada anak laki-laki, kesadaran memiliki penis dan bahwa anak perempuan tidak memilikinya justru membuatnya menjadi cemas. Ia menyangka bahwa penis anak perempuan telah dikebiri dan mulai merasa takut bahwa ada kemungkinan penisnya juga akan dikebiri. Karena rasa sukanya pada ibunya dan permusuhannya dengan ayahnya, ia mulai takut bahwa ayahnya akan mengebiri dia. (Semiun, 2010: 45)

1.6.3.3 Akhir Fase Oedipus Complex

Rasa takut dikebiri akhirnya membuat anak laki-laki merepresi cinta yang dirasakannya pada ibunya. Rasa cinta tersebut dialihkan kepada teman-teman perempuannya. Pada tahap inilah, menurut Freud, laki-laki tidak lagi mencintai ibunya—secara sadar—lalu mengalihkan objek cinta pada teman-temannya. Anak laki-laki juga mulai mengidentifikasi dirinya pada sosok yang ditakuti, yaitu sang ayah sehingga menimbulkan identifikasi gender. Anak laki-laki mulai menjadikan figur maskulinitas ayahnya sebagai figur ideal. Pelarangan mencintai ibu sendiri dan dorongan menjadikan ayah sebagai figur kemudian membentuk superego anak.

(34)

1.6.4. Identitas Gender

Gender tidak diturunkan langsung melalui ciri biologis atau prakecenderungan seseorang untuk menjadi manusia dengan jenis tertentu. Gender juga bukan kepemilikan individual. Gender adalah pengaturan sosial dan setiap gender individu terbangun dalam orde sosial, sehingga perspektif tentang gender tidak hanya bisa dipandang dalam kajian feminis tetapi juga merupakan hegemoni yang ada dalam masyarakat.

Kelamin merupakan penggoongan biologis yang didasarkan pada sifat reproduksi potensial. Kelamin berlainan dengan gender yang merupakan elaborasi sosial dari sifa biologis. Gender membangun sifat biologis; dari yang tadinya bersifat alami, kemudian melebih-lebihkannya, dan pada akhirnya menempatkannya pada posisi yang sama sekali tidak relevan. Contohnya, sama sekali tidak ada alasan biologis yang dapatt menjelaskan mengapa para perempuan harus berlenggok dan para laki-laki harus membusung, atau, mengapa perempuan harus memakai kutek di jari kakinya, sedangkan laki-laki tidak. Walau demikian, batas bahwa kelamin bersifat biologis dan gender bersifat sosial terlalu samar. Orang-orang beranggapan jika gender diwariskan melalui praktik tersebut pengasuhan anak sehingga hal tersebut bersifat sosial, sedangkan kelamin langsung diturunkan secara biologis.

(35)

Pada awalnya orang dewasa akan menerapkan praktik gender pada anak-anak; memperlakukan mereka sebagai laki-laki atau perempuan, dan menafsirkan segala yang dilakukan oleh anak itu sebagai kelaki-lakian atau keperempuan-perempuanan. Akhirnya, setelah berlangsung selama bertahun-tahun si anak akan mengambil alih apa yang dahulu dilakukan oleh orang dewasa tadi dan mempraktikkannya pada orang lain.

Menjadi seorang laki-laki atau perempuan bukanlah suatu keadaan yang stabil sifatnya, melainkan sebuah proses yang berjalan terus menerus; semacam jalan yang ditempuh oleh orang yang bersangkutan, sebuah pilihan yang bermula dari penggolongan-penggolongan masyarakat berkaitan dengan orang tersebut. Seorang anak yang baru dilahirkan menjadi objek penggenderan oleh orang lain di sekelilingnya melalui bermacam cara. Cara tersebut tidak hanya dilakukan oleh si orang bersangkutan sebagai individu, namun juga sebagai bagian dari komunitas sosial terstrukur yang menghubungkan individu-individu dengan institusi-institusi sosil dan berbagai ideologi kultural. Sangatlah mungkin untuk mengatakan bahwa gender, pada fase awal kehidupan ini, dibentuk melalui kolaborasi. Seseorang haruslah memilih dan bersikap sebagai laki-laki atau perempuan dan bahwa pilihan daan sikapnya itu memerlukan legitimasi dari lingkungannya. (Sugihastuti dan Suharto, 2010: 17)

1.6.4.1 Market Hetereoseks

(36)

oleh perorangan dan bukan pula satu kegiatan yang muncul seperti apa adanyaatau semerta-merta merupakan masalah sehari-hari. Kegiatan ini adalah bentuk awal market sosial yang memberi dasar bagi orde sosial pertemanan. Dan melalui market ini pulalah muncul perubahan mendasar yang berkaitan dengan pemisahan gender dan diferensiasi.

Pada masa-masa tertentu, orang dewasa selalu mengawasi perilaku anak-anak. Sejalan dengan berkembangnya orde sosial pertemanan, muncul pula inisiatif bagi anak-anak untuk mengorganisasikan kontrol sosial mereka sendiri. Perilaku heteroseksual diorganisasikan oleh orde sosial pertemanan, sedangkan market heteroseks menjadi pusat tumbuhya orde sosial pertemanan.

Perkembangan gender tidak selesai pada taraf kanak-kanak dan remaja. Gender bertransformasi seiring pergerakan kita menuju wilayah market; saat kita belajar jadi sekretaris, pengacara, manager, atau pegawai kebersihan. Gender pun terus menerus bertransformasi sejalan perubahan status kekeluargaan; saat kita belajar menjadi istri atau suami, ibu atau ayah, adik atau kakak, nenek atau kakek. Seiring bertambahnya umur, kita belajar cara baru menjadi laki-laki dan perempuan; apa yang diinginkan gadis remaja berbeda dengan perempuan usia empat puluhan, dan keduanya akan sangat berlainan dengan harapan seorang perempuan berumur delapan puluhan. Apa yang tampak tidak terakomodasi pada jaringan hetereoseks juga dicapai melalui pengharapan gender. Perempuan yang mencari partner lesbian misalnya; mereka mencari pasangan yang “feminim”. Ada

(37)

Semua hal di atas menunjukkan bahwa belajar menjadi laki-laki atau perempuan melibatkan tingkah dan pandangan-pandangan tertentu; belajar berpartisipasi dalam suatu komunitas atau hubungan tertentu dan belajar memandang dunia melalui perspektif tertentu pula.

1.6.4.2 Prinsip Fundamental Gender

Gender bukan satu-satunya aspek identitas sosial yang harus dipelajari seorang individu yang berkembang. Gender erat kaitannya dengan hierarki lain yang dikonstruksi secara sosial oleh berbagai kategori seperi kelas, usia, enisitas, dan ras. Sebagai contoh, sangat sering didapati rasisme seksual dan seksisme rasialis di masyarakat. Bagian ini akan memfokuskan diri pada; bagaimana anak-anak mempelajari status sosial ekonomi, ras, dan etnisitas, tipe tubuh, dan kemampuan membaca mereka. Kita akan melanjutkannya dengan menelaah berbagai kombinasi gender, kelas, ras, dan kategori sosial lain yang ada karena kombinasi inilah yang dipelajari orang-orang dan bukannya unsur lain.

(38)

melabelkannya). Prinsip ketiga yaitu, gender bukanlah sesuatu yang kita miliki namun sesuatu yang kita lakukan.

Dalam rangka mengkaji gender, Joan Wallach Scoot (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2010: 100) mengemukakan bahwa ada lima konsep gender. Pertama, perbedaan gender ialah perbedaan dari atribut-atribut sosial, karakteristik, perilaku, penampilan, cara berpakaian, harapan, peranan, dan sebagainya yang dirumuskan untuk perorangan menurut ketentuan kelahiran. Kedua, kesenjangan gender ialah perbedaan dalam hal berpolitik, memberikan suara, dan bersikap antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, genderzation ialah pengacauan konsep pada upaya menempatkan jenis kelamin pada pusat perhatian identitas diri dan pandangan terhadap orang lain. Keempat, identitas gender ialah gambaran tentang jenis kelamin yang seharusnya dimiliki dan ditampilkan oleh tokoh yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan perbedaan perilaku sesuai dengan karakteristik biologis. Kelima, gender role ialah peranan perempuan atau peranan laki-laki yang diaplikasikan secara nyata.

1.7 Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan tiga tahap, yaitu (i) metode pengumpulan data, (ii) metode analisis data, dan (iii) metode penyajian hasil data.

i. Metode Pengumpulan Data

(39)

banyak pustaka yang ada kaitannya dengan teori yang dipakai, yaitu psikoanalisis dan feminis.

ii. Metode Analisis Data

a. Analisis Isi

Metode analisis isi mengungkapkan isi karya sastra sebagai bentuk komunikasi (Ratna, 2012: 48-49 dan Endraswara, 2011: 160-181). Metode ini digunakan untuk menganalisis dinamika struktur kepribadian dan identitas gender Sasana dalam novel Pasung Jiwa.

b. Metode Penyajian Hasil Data

Analisis data disajikan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu hasil analisis data berupa pemaknaan karya sastra yang disajikan secara deskriptif (Ratna, 2012: 46-48). Hasil analisis penelitian ini berupa deksripsi struktur kepribadian tokoh dan kajian terhadap identitas gender tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari.

1.8 Sumber Data

(40)

Judul : Pasung Jiwa Pengarang : Okky Mardasari Tahun Terbit : 2013

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tebal : 328 halaman

Ukuran : 20cm

1.9 Sistematika Penyajian

Penelitian ini dibagi menjadi empat bab. Sistematika penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut :

Bab I berisi pendahuluan. Yang berfungsi sebagai pengantar. Bab ini dibagi menjadi delapan subab yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

(41)
(42)

BAB II

DINAMIKA DAN STRUKTUR KEPRIBADIAN TOKOH SASANA DALAM NOVEL PASUNG JIWA KARYA OKKY MADASARI

Untuk mengungkapkan identitas gender laki-laki dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari, terlebih dahulu peneliti menganalisis dinamika struktur kepribadian Sasana sebagai tokoh utama.. Analisis tokoh menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud yang berguna dalam menemukan struktur dan dinamika kepribadian yang membangun diri tokoh.

Psikoanalisis membuka tabir bahwa manusia memiliki alam ketaksadaran yang terjadi pada tahap perkembangan manusia. Selama tahap perkembangan ini, manusia secara tak sadar mengalami suatu represi, tekanan,dan neurosis yang merupakan hasil konflik yang muncul akibat proses pencarian bentuk baru pemuasan libido. ( Freud, 2006: 406 )

Menurut perspektif topografis yang dikemukakan Freud sesuatu “yang

taksadar” adalah keseluruhan isi yang taksadar dalam wilayah kesadaran yang

aktual. Sesuatu di luar kesadaran mengacu pada suatu sistem yang dianggap sebagai tempat pulsi-pulsi yang ada sejak lahir dan hasrat juga kenangan yang ditekan. Instansi yang ada di antara sistem ketaksadaran dan kesadaran dalam alam prasadar. Isinya tidak disadari namun, berbeda dengan isi dari alam taksadar dalam pengertian bahwa instansi ini dapat dicapai oleh kesadaran, misalnya kenangan yang tidak diaktualisasi, yang dapat dikenang apabila ada kesempatan.

Menurut Freud, peran yang sangat penting dipegang oleh “yang taksadar”

(43)

mencapai ambang yang “pra sadar”, dapat terjadi represi, dapat pula muncul

dalam bentuknya yang kurang lebih tersamar, yaitu gagasan, kata-kata, perasaan, dan tindakan. Selanjutnya, Freud mendefinisikan pribadi sebagai produksi hubungan yang mengandung konflik; Id, Ego, dan Superego. Id berada pada alam ketaksadaran (bagian pemikiran manusia yang paling primitif), sementara ego dan superego meliputi tingkat kesadaran manusia (Zaimar, 2003: 34 ).

Dalam bab ini akandibahas dinamika dan struktur kepribadian Sasana. Kajian mengenai dinamika dan struktur kepribadian tokoh Sasana bertujuan untuk mengetahui kejiwaannya.

2. 1. Struktur Kepribadian Sasana

Secara fisiologis Sasana digambarkan sebagai tokoh laki-laki yang bertubuh ideal dan memiliki suara yang merdu. Secara sosiologisSasana merupakan seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Malang yang meninggalkan kuliahnya dan mengamen bersama Cak Jek. Sasana sering mendapat cibiran dari masyarakat sekitar karena goyangan hot-nya ketika bernyanyi serta penampilannya yang dianggap sebagai waria atau banci.

(44)

Penolakan Sasana terhadap piano ini didasari oleh id Sasana yaitu sejak lahir bahkan sejak berada di kandungan ia berpikir bahwa orangtuanya kurang berperan dalam pertumbuhannya. Bahkan yang sering ia dengarkan bukan suara ayah ibunya melainkan suara piano.

Suara pertama yang kukenal adalah denting piano. Bukan suara ibuku, bukan pula suara ayahku. Pertama kali aku mendengar suara itu saat masih berada di rahim ibuku (Madasari, 2013: 13).

Alih-alih mengembangkan bakatnya, Sasana justru lebih menyukai musik dangdut yang dilarang oleh orangtuanya. Sasana pun bertekad untuk mengurung diri demi orangtuanya.Penekanan-penekanan yang dilakukan oleh orangtua Sasana sejak kecil membentuk suatu superego yang memaksa Sasana untuk patuh terhadap aturan yang dibentuk kedua orangtuanya. Superego ini berupa paksaan agar Sasana mendalami piano dengan aliran-aliran musik yang telah ditentukan oleh ayah dan ibunya. Aliran-aliran musik seperti jazz serta komposisi-komposisi klasik dunia seperti Beethoven, Chopin, Mozart, Bach, dan Brachman menjadi musik-musik yang wajib dikuasai Sasana. Dapat dilihat dari awal ceritajiwa dan pikiran Sasana terpaksa mengurung diri. Keputusan Sasana untuk mengurung diri merupakan ego awal yang terlihat dan sengaja ia bentuk untuk menyesuaikan pribadinya dengan keadaan sosial di sekitarnya.

Demi Ibu aku bertekad mengendalikan diri, Aku mengurung jiwa dan pikiranku, aku membangun tembok tinggi-tinggi, aku mengikat tangan dan kakiku sendiri (Madasari, 2013: 30).

(45)

bentuk tubuh yang sama seperti Melati, adiknya yang dibelikan pakaian-pakaian cantik oleh ibunya, secara tak sadar (id) mendorong rasacemburu Sasana terhadap semua hal yang dimiliki oleh adiknya, Melati. Kecemburuan ini mempengaruhi Sasana agar tetap melakukan hal-hal yang diinginkan oleh ibunya dengan tujuan mengontrol id dan ego nya demi mendapatkan perhatian dan kepercayaan dari ibunya.

Melati dibesarkan dengan cara yang tak berbeda denganku. Tapi sepertinya hidupnya lebih menyenangkan. Dia selalu tersenyum dan tertawa (Madasari, 2013: 16).

Perjalanan hidup Sasana berlanjut dengan berbagai keterpaksaan dalam dirinya demi membuat kedua orangtuanya tenang. Sasana mengalami tindak kekerasan ketika duduk dibangku SMA. Hingga kemudian muncul dalam pikiran Sasana bahwa dia mulai membenci laki-laki dan membenci dirinya yang memiliki takdir sebagai laki-laki hal ini ditambahkan dengan id-nya yang merasa kurang mendapat perhatian sosok ayah sejak ia lahir.

(46)

Kejadian yang menimpa Sasana ketika SMA membuat id-nya mengalami penekanan. Terlebih ketika diketahui bahwa Ayahnya tidak berhasil membelanya, Sasana pun semakin benci dengan laki juga menyesali takdirnya sebagai laki-laki.

Aku benci perkelahian, aku tak mau ada darah. Aku benci dunia laki-laki (Madasari, 2013: 39).

Setelah lulus SMA, Sasana memutuskan untuk kuliah di luar kota yaitu di Malang. Sasana akhirnya merasa akan bebas karena keluar dari rumah. Hingga terjadilah pertemuan antara Sasana dan Cak Jek di warung Cak Man. Cak Jek tahu bahwa Sasana memiliki suara merdu, mengajak Sasana mengamen di warung Cak Man yang disambut ragu-ragu oleh Sasana namun dengan penuh sukacita karena akhirnya Sasana bisa menyelenggarakan pentas dangdut meski hanya di warung Cak Man.

(47)

Sikap optimis dan rasa percaya Sasana kepada Cak Jek membuat Sasana yakin akan memperoleh kebebasan yang selama ini ingin ia miliki. Sasana merasa dengan terbebas dari rumahnya ia bisa melakukan semua kesenangannya tanpa ada penghalang. Salah satu kesenangannya adalah mendengarkan dan menyanyikan musik dangdut. Sehingga ketika bertemu Cak Jek dan diajak mengamen di warung Cak Man, Sasana merasa jiwanya memekik senang karena ia merasa telah mendapatkan pemenuhan id-nya. Terlebih ketika Cak Jek mengiming-imingi Sasana bahwa suatu saat nanti Sasana dapat menjadi penyanyi dangdut yang dikenal seluruh masyarakat.

Sasana berubah menjadi Sasa yang memiliki paras ayu dan goyang gandrungyang terkenal di kota Malang. Id Sasana yang berupa rasa iri terhadap tubuh, pakaian, dan hal- hal yang dimiliki Melati pelan-pelan dapat terpenuhi dengan keadaannya yang berubah menjadi Sasa.

Oh la..la.. tiba-tiba aku merasa begitu seksi. Aku juga merasa cantik. Aku lengak-lengokkan pantat saat berjalan. Menirukan gaya perempuan-perempuan yang kerap kulihat di pusat perbelanjaan (Madasari, 2013: 55).

(48)

kondisi acara yang mengundang orkesnya. Misalnya ketika pagi hari Sasa mengenakan pakaian yang lebih tertutup dan goyangan yang tidak terlalu binal, sedangkan ketika malam hari Sasa akan memakai setelan yang ketat dan menyajikan goyang panasnya yaitu goyang gandrung. Berdasarkanid dan ego-nya, Sasa merasa lebih cocok menggunakan pakaian-pakaian perempuan yang mencolok dan terlihat seksi. Namun terdapat aturan di masyarakat bahwa pada siang hari pakaian-pakaian dan goyangan seksi tidak pantas dipertontonkan di depan umum. Aturan ini membentuk superego yang kenyataannya kontra dengan id Sasana.Akhirnya ego Sasana keluar sebagai pelerai antara id dan superego.Ego ini berupa keputusannya mengenakan kostum dan goyangan yang berbeda antara siang dan malam hari.

Baju warna orange dengan lengan dan dada separuh terbuka jadi pilihan. Untuk bawahan, aku pakai rok pendekberbahan jins warna gelap.Untuk malam hari aku sudah mempersiapkan baju yang berbeda. Gaun terusan seksi separuh paha warna merah, dengan gemerlap manik-manik di banyak tempat. Sepatu warna emas akan jadi pelengkap. Sudah pula kusiapkan goyangan spektakuler yang akan kutampilkan nanti malam. Untuk siang, cukuplah goyangan-goyangan sopan yang tetap menarik pandangan orang (Madasari, 2013: 76).

Sasa kembali mengalami benturan dalam hidupnya yakni ketika dia dijebloskan ke dalam penjara karena turut dalam demo kasus hilangnya Marsini yang tak lain adalah anak Cak Man. Ketika di dalam penjara Sasa yang dipanggil dengan sebutan bencong dipaksa melayani nafsu bejat para penjaga tahanan.

(49)

tersebut merupakan hal yang menjijikkan dan menyakiti hati Sasa. Sasa mengalami represi dari tentara berupa ancaman dan hukuman disamping itu muncul juga id Sasa berupa ingatan akan penganiayaan yang menimpanya saat remaja.

Penisnya dimasukkan ke mulutku. Sambil tangannya memegang kepalaku dan menggerak-gerakkannya. Mereka semua tertawa. Aku meronta, berteriak tanpa bersuara. “Enak tenan. Ora kalah karo wedokan,” kata salah satu tentara (Madasari, 2013: 99).

Selepas keluar tahanan Sasa kembali ke rumah keduaorangtuanya di Jakarta.Namun tak lama, Sasa kembali masuk dalam kurungan yaitu rumah sakit jiwa. Kedua orangtua Sasa terpaksa meninggalkan Sasa di rumah sakit jiwa karena Sasa menunjukkan bahwa dirinya selalu ketakutan bahkan ketika kali pertama Sasa tiba di kampus barunya ia berlari-lari dan menjerit histeris karena bayangan-bayangan di masa lalunya selalu muncul. Id Sasa yang ingin melupakan pengalaman buruknya, namun ternyata tidak bisa dan yang timbul justru trauma-trauma atau disebut pengalaman trauma-traumatik. Seperti yang dikatakan Freud pengalaman traumatik merupakan pengalaman yang dalam jangka waktu pendek memaksa pikiran untuk melakukan peningkatan stimulus melebihi yang bisa dilakukan dengan cara normal sehingga hasilnya adalah gangguan terus-menerus pada distribusi energi dan pikiran(Freud 2006: 107). Berikut adalah salah satu pengalaman traumatik yang terus timbul dalam pikiran Sasa,

(50)

Selama di rumah sakit Sasa meminta ibunya membawakan pakaian-pakaian perempuan dan alat make up. Figur sang Ibu yang dirindukan oleh Sasa semakin dekat dengannya dan membuat Sasa cukup tenang dan bahagia. Frekuensi Sasa dalam hal teringat akan pengalaman traumatiknya berangsur-angsur berkurang.

Aku minta ibu membawakan sisir, bedak, lipstik, dan baju-baju perempuan. Ibu bertanya untuk apa, aku jawab untuk pentas seni dengan teman-teman disini. Aku lihat raut wajah ibu berubah. Antara senang, terharu, dan kasihan. Toh ibu tetap menuruti permintaanku (Madasari, 2013: 121-122).

Setelah beberapa bulan perawatan, Sasa bertemu dengan Masita seorang dokter yang sedang melakukan penelitian psikiatri. Kedekatan Sasa dengan Masita membuat Sasa memiliki keberanian dan berhasil melarikan diri dari rumah sakit. Di sini narsisme dalam diri Sasa kembali terlihat.

Sasa kembali ke Malang dengan harapan dapat mengulang kewarasan dan kebebasan yang pernah ia alami bersama Cak Jek. Dia kembali turun ke jalanan sebagai pengamen dan memilih untuk tidak kembali ke rumah orangtuanya karena takut akan superego yang berupa penolakan dari ayah dan ibunya. Selain itu ego dalam dirinya membuat ia berpikir agar tidak kembali ke rumah sakit jiwa.

(51)

untuk berdemo menuntut pengunduran diri presiden. Disini, kepercayaan diri dan hasrat cinta diri Sasa kembali terbangun lagi.

Sasana merasakan kepuasan setelah berhasil membantu para mahasiswa berdemo. Didorong oleh id-nya akan kerinduan bertemu dengan ibu dan Melati, Sasa memutuskan pulang ke rumah orangtuanya masih dengan dandanan panggungnya. Seluruh warga tidak mengenali Sasana, bahkan ayahnya juga menyuruh Sasana pergi lantaran sang ayah malu. Sasana kembali pergi dari rumahnya dan disusul oleh ibunya. Sehingga Sasana dan ibu kembalimenetap dalam satu rumah. Bahkan sang ibu menerima Sasana sebagai Sasa dan mengajukan diri untuk menjadi manajer Sasana.

Selanjutnya, peneliti menyoroti kebahagiaan Sasana ketika dibebaskan dari penjara oleh Cak Jak. Sasana merasa hidupnya bahagia dan bebas. Kehadiran Cak Jak yang menjadi salah satu anggota “jubah putih” dan turut menggagalkan

pentas dangdutnya di Malang membuat Sasana sempat kecewa. Namun pada akhir cerita, Sasana merasa mimpi-mimpinya untuk memperoleh kebebasan terwujud.

(52)

2.2 Dinamika Kepribadian Sasana

2.2.1 Mimpi

Tokoh Sasana dikisahkan mengalami tekanan sejak kecil dari orangtuanya. Semua hal yang berkaitan dengan hidupnya sudah dipilihkan oleh ayah dan ibunya. Sasana merasa bahwa kehidupannya sungguh monoton dan dia menjalani hari-harinya dengan keterpaksaan. Hal ini ditunjukkan dalam teks berikut,

Seluruh hidupku adalah perangkap. Tubuhku adalah perangkap pertamaku. Lalu orangtuaku, lalu semua yang kukenal. Kemudian segala hal yang kuketahui, segala sesuatu yang kulakukan. Semua adalah jebakan-jebakan yang tertata di sepanjang hidupku. Semuanya mengurungku, mengungkungku, tembok-tembok tinggi yang menjadi perangkap sepanjang tiga puluh tahun usiaku(Madasari, 2013: 9)

(53)

mendengarkan musik dangdut. Sasana merasa ia semakin ditekan, tetapi ia tidak berani membantah ibunya dan tidak mau menyakiti hati ibunya. Keadaan ini ditunjukkan dalam teks berikut.

Demi Ibu aku bertekad mengendalikan diri, Aku mengurung jiwa dan pikiranku, aku membangun tembok tinggi-tinggi, aku mengikat tangan dan kakiku sendiri (Madasari, 2013: 30).

Keputusan Sasana untuk menurut pada ibunya merupakan bentuk dari ego pada diri Sasana. Tetapi ego tersebut lemah dan tidak dapat menguasai jiwa Sasana. Sehingga yang terjadi nafsu-nafsu atau id Sasana justru muncul dalam lapisan kesadarannya. Sasana semakin penasaran dan tertarik dengan hal-hal berbau dangdut. Ia semakin sering berandai bahwa suatu saat nanti ia bisa bernyanyi dan berjoget dengan bebas sesuai keinginannya.

Keadaan Sasana ini dalam dinamika kepribadian Freud disebut mimpi. Sasana secara tidak sengaja menciptakan mimpi dan mulai menghidupkan mimpinya. Nafsu-nafsu Sasana akan hal-hal yang berkaitan dengan dangdut keluar dalam bentuk mimpi ketika ia sedang tertidur. Ego dalam dirinya tidak bisa lagi mengontrol nafsu-nafsunya hingga membuatnya bermimpi. Mimpi Sasana ini bahkan menandai akil baliknya sebagai seorang laki-laki. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

(54)

Menganalisa mimpi merupakan landasan yang sangat penting dalam memahami kehidupan psikis manusia. Oleh sebab itu peneliti menyimpulkan bahwa dinamika awal yang membentuk kepribadian tokoh Sasana dalam novel Pasung Jiwa adalah mimpi. Mimpi ini berpengaruh bagi kerangka berpikir tokoh Sasana dalam memilih dan menjalani kehidupannya.

2.2.2 Frustasi, Konflik, dan Kecemasan

2.2.2.1 Frustasi

Sasana semakin terobsesi dengan musik dangdut dan membuatnya sama sekali tidak bisa memainnkan piano. Selain itu, Sasana juga terobsesi dengan tubuh adik perempuannya yang bernama Melati. Ia menganggap segala kelembutan yang tampak dalam tubuh Melati merupakan suatu keindahan. Tangan Melati yang kecil dan halus, pipi melati yang terkadang memperlihatkan semburat-semburat merah jambu, pinggul dan pantat Melati yang nampak indah apalagi jika dipakai unttuk bergoyang. Pakaian-pakaian dan aksesoris yang dikenakan di tubuh Melati juga membuat Sasana merasa bahwa Melati memiliki hal-hal yang indah sementara ia tidak. Diam-diam Sasana mulai iri dan menginginkan tubuh layaknya seorang perempuan. Hal ini terlihat dalam kutipan tersebut.

(55)

Sasana mulai mengalami frustasi. Freud mengatakan bahwa frustasi merupakan ketegangan psikis yang disebabkan oleh adanya dorongan-dorongan kekecewaan akibat tidak mendapatkan kepuasan. Sasana menginginkan tubuh Melati, tetapi Sasana tidak mampu memilikinya, yang ia punya adalah tubuh seorang laki-laki. Jenis frustasi yang dialami Sasana ini adalah frustasi privasi, dimana frustasi tersebut terjadi akibat tidak tersedianya objek kepuasan.

Sasana kembali mengalami frustasi ketika ia dibawa ke rumah sakit jiwa oleh ayah dan ibunya. Sasana tidak bisa mengadakan pentas dangdut seperti pentas-pentasnya ketika di Malang bersama Cak Jek. Ia merasa bahwa hidupnya semakin membosankan terlebih ia sama sekali tidak mengerti alasan kedua oranguanya memaksa Sasana tinggal di Rumah Sakit Jiwa (RSJ).

(56)

hasratnya dengan mengadakan pentas dangdut di RSJ, namun ia tidak mendapatkan iringan musik dari Cak Jek dan panggung yang layak.

2.2.2.2 Konflik

Konflik merupakan frustasi yang disebabkan oleh peristiwa yang terjadi pada diri sendiri. Konflik timbul apabila dorongan yang satu bertentangan dengan dorongan yang lain, atau dapat juga terjadi bila id bertentangan dengan ego. Konflik dalam diri Sasana dapat dilihat melalui hal berikut.

Ketika Sasana mulai mengamen dengan Cak Jek, Sasana berambisi bahwa ia harus menjadi penyanyi dangdut yang profesional. Sasana belajar untuk bisa bernyanyi dengan suara merdu dan belajar bergoyang layaknya biduan yang seksi. Namun ia tidak menyadari bahwa dadanya yang bidang dan betisnya yang besar membuatnya tidak leluasa dalam bergoyang. Hal ini dibuktikan dalam kutipan berikut.

Kuambil lagi BH dari tangan Cak Jek. Kupasang lagi di dadaku. Agak menonjol, tapi tetap saja kempes. Kututupi BH itu dengan atasan tanpa lengan warna merah. Lalu aku pakai rok mini hitam. Setengah pahaku terbuka. Agak malu juga melihat lengan dan kakiku kok rasanya terlalu besar untuk baju seperti ini (Madasari, 2013: 54).

2.2.2.3 Kecemasan

(57)

Aku benci perkelahian, aku tak mau ada darah. Aku benci dunia laki-laki.” (Madasari, 2013: 39)

Ayah Sasana berprofesi sebagai pengacara. Sempat berusaha menyelamatkan Sasana namun tidak berhasil karena salah satu penganiaya Sasana merupakan anak seorang pejabat yang sangat berpengaruh bagi sekolah tempat Sasana menimba ilmu. Kegagalan Ayah Sasana dalam memenangkan kasusnya juga berpengaruh bagi alam bawah sadarnya. Hal ini menyebabkan kekecewaan berupa ingatan Sasana tentang ayah sebagai seorang laki-laki, tidak dapat melindunginya.

Kondisi yang dialami Sasana ini dalam kajian dinamika kepribadian disebut kecemasan. Kecemasan timbul karena adanya kegagalan, sehingga kecemasan menimbulkan ketegangan dan daya pendorong bagi manusia untuk berbuat, menghindari objek, mengekang dorongan-dorongan, atau mengikuti suara hatinya. Sasana merasa gagal dalam pertahanan diri, ia juga kecewa karena sang ayah gagal dalam melindunginya. Hal ini mengakibatkan Sasana membenci dunia laki-laki, hal-hal yang berbau kekerasan, pun ia membenci dirinya sendiri yang ditakdirkan terlahr sebagai laki-laki. Selain itu ia juga mulai menjauh dari dunia laki-laki dan cenderung berandai menjadi seorang perempuan.

2.2.3 Neurosis

(58)

melainkan suara piano yang mengalunkan alunan-alunan musik milik Mozart atau Choplin. Sejak kecil, Sasana sudah dibuat jenuh dengan piano. Tetapi orangtua Sasana tetap memaksanya untuk piawai dalam memainkan alat musik tersebut. Masa kanak-kanak Sasana dihabiskan dengan mendengar dan mempelajari piano ditambah dengan kesibukan orangtuanya yang kurang memiliki waktu berbincang dengannya. Keadaan Sasana yang merasa kurang mendapat perhatian dari kedua orangtuanya membentuk trauma dalam pikirannya dan membuat dirinya kurang memiliki energi fisik dan mengalami hambatan emosi. Hal ini dibuktikan dalam kutipan berikut.

Saat itu aku sudah menyesal kenapa aku harus dilahirkan. Dunia bukan untukku. Dunia tak membutuhkanku. Aku seperti berada di tempat yang salah. Dan selalu salah. (Madasari, 2013: 14)

Pada usia 12 tahun Sasana mengenal musik dangdut dan ia mulai menyukainya. Tetapi kesukaannya terhadap musik dangdut ditentang oleh ayah dan ibunya. Sasana kembali mengalami tekanan-tekanan yang membuat rasa trauma bertambah. Keadaan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Malam itu ibu marah besar. Tak pernah aku melihatnya marah seperti ini. Dalam ingatanku, inilah kali pertama ia memarahiku. Sepanjang jalan di dalam mobil ibu hanya diam. Tapi begitu sampai di rumah, ia langsung menarik tanganku membawaku ke ruang tengah, menyuruhku duduk, lalu ia bicara lama dengan suara tinggi (Madasari, 2013: 20).

(59)

Berdasarkan pembacaan teks diatas, dapat diketahui bahwa Sasana mengalami trauma pada masa kanak-kanak, kurang memiliki energi fisik, dan mengalami rasa cemas yang kronis. Kondisi Sasana ini merupakan hal-hal yang memicu timbulnya neurosis pada sistem saraf Sasana. Dali Gulo (1982 : 179), berpendapat bahwa neurosis adalah suatu kelainan mental, hanya memberi pengaruh pada sebagaian kepribadian, lebih ringan dari psikosis, dan seringkali ditandai dengan : rasa trauma, keadaan cemas yang kronis, gangguan-gangguan pada indera dan motorik, hambatan emosi, kurang perhatian terhadap lingkungan, dan kurang memiliki energi fisik, dst. Neurosis yang dialami Sasana mengakibatkan id-nya muncul pada lapisan kesadaran. Hal ini membuat Sasana menutup diri dari lingkungannya.

Sasana melanjutkan kehidupannya dengan menjadi penyanyi dangdut di Malang. Bersama Cak Jek, temannya ia mulai mendapatkan alat untuk memenuhi hasratnya. Tapi sayang sekali, Sasana kembali mengalami kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki (anggota tentara) ketika ia ditahan kasus demonstrasi Marsini. Sasana dipukuli dan dipaksa melayani nafsu bejat para oknum tentara di ruang tahanan. Ia ingin memberontak tetapi tidak memiliki daya. Keadaan ini menambah trauma Sasana akan laki-laki dan mengalami hambatan emosi. Hal ini dapat dibuktikan melalui kutipan berikut.

(60)

orang dewasa merupakan kelanjutan neurosis di masa kanak-kanak yang mungkin hanya terekspresikan dalam bentuk yang tersembunyi dan paling awal dalam perkembangan (Freud, 2006: 411-412). Sasana mengalami konflik dan kecemasan kronis. Ia tidak mampu menerima hal-hal yang berada di luar pikirannya. Pun ia merasa bahwa lingkungan dan orang-orang sekitar Sasana tidak dapat menerima keadaannya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut

Aku memasuki kampus dengan ragu. Sudah lama sekali aku tak pernah memasuki tempat umum dengan diriku seperti ini. Apakah orang-orang itu memperhatikanku? Apa mereka melihat ada yang aneh denganku? Apakah aku tampak seperti pakaian yang hanya menutupi tubuh, tanpa terlihat serasi dan menyatu dengan tubuh yang ditutupinya? (Madasari. 2013: 109)

Terlalu sering menengok ke belakang membuatku ak menyadari ada orang di depanku. Aku tertangkap. Mereka menggotong tubuhku. Aku meronta. Aku berteriak meminta tolong sekeras-kerasnya (Madasari. 2013: 110).

Neurosis yang diderita Sasana menghantarkannya ke ruang rawat Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Orangtuanya beranggapan bahwa Sasana mengalami gangguan mental dan harus menjalani perawatan dan Sasana lagi-lagi tidak dapat memberontak. Id-nya mengalami represi dari superego yang dibuat oleh orangtua dan masyarakat sekitarnya. Sekalipun Sasana merasa tidak gila, ia tetap dipaksa menjalani hari-hari barunya di kamar berteralis dengan pendampingan medis.

2.2.4 Sublimasi

(61)

dengan sekumpulan mahasiswa yang mengajaknya berangkat ke Jakarta untuk menjalankan aksi demo menuntut turunnya Presiden yang telah menjabat selama 32 tahun.

Sublimasi terlibat dalam mengubah impuls id. Energi insting diganti menjadi perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat. Sasana membutuhkan wadah untuk aktualisasi diri. Ia ingin hidupnya berguna dan menebus penyesalannya ketika gagal dalam demo kasus Marsini. Sasana pun menyetujui ajakan mahasiswa yang ditemuinya. Ia juga berharap dapat kembali ke rumahnya dan berharap ayah ibunya memahami keadaannya yang oleh masyarakat disebut transgender. Hal ini dapat dibuktikan melalui kutipan berikut.

Aku mengangguk. Apalagi yang perlu kupikirkan? Ini kesempatanku untuk berbuat sesuatu. Ini jalanku untuk juga bisa ikut melampiaskan kemarahanku (Madasari, 2013: 241).

Aku naik ke tempat yang biasa dipakai orang untuk pidato. Aku menyanyi, aku bergoyang. Itulah suaraku, itulah teriakanku. Air mataku berdesakan saat gemuruh tepuk tangan terdengar. Aku merasa begitu berarti. Harga diriku membulat dan mengeras. Inilah wujud pelampiasan dendamku pada orang-orang yang telah merobek harga diriku (Madasari, 2013: 243).

2.2.5 Displacement

(62)

Keputusan Sasana untuk mempercayai Cak Jek serta menerima tawaran Cak Jek merupakan pelampiasan akanid Sasana yang terus mendesak batinnya. Id tersebut berupa ingatan-ingatannya semasa kecil ketika Sasana ingin kedua orangtuanya memahami dan menuruti keinginan Sasana, namun hal tersebut tidak diperolehnya. Pertemuannya dengan Cak Jek membuat Sasana merasa bahwa ia menemukan sosok yang dapat memahami keadaan dan keinginannya. Peneliti juga melihat ada kecenderungan Sasana merasa bahwa Cak Jek adalah sosok laki-laki yang mampu melindungi dirinya tidak seperti ayahnya.

Keadaan Sasana diatas merupakan displacement. Displacement adalah suatu dinamika yang mempengaruhi ego dalam hal pemenuhan id atau pemenuhan hasrat. Ketika objek yang dibutuhkan untuk memuaskan id tidak ada, orang kemungkinan besar akan menggantinya dengan objek yang lain. Contohnya, ketika anak-anak tidak senang kepada orang tua mereka, mereka tidak beranimengekspresikan ketidaksenangannya karena takut akan hukuman yang diberikan. Jadi mereka melampiaskannya kepada orang lain, misalnya kepada adiknya atau saudara kandung yang lain. Sasana tidak memperoleh perhatian, kepercayaan, dan dukungan dari sang ayah, ketika tokoh Cak Jek hadir dalam hidupnya dan secara langsung mendukung hasrat id-nya ia mendapatkan pemenuhan hasrat yang selama ini ia harapkan datang dari ayahnya. Sasana mengganti objek pemuasan hasrat dari ayah menjadi Cak Jek.

(63)

Oedipus complex dialami oleh semua orang. Seorang anak perempuan akan lebih mencintai dan menginginkan perhatian dari ayahnya, sedangkan seorang anak laki-laki cenderung mencari perhatian dan pemusatan cinta kepada ibunya. Sasana, sebagai anak laki-laki mengalami hal serupa. Ia berusaha untuk menuruti semua aturan yang dibuat ibunya dan cenderung menginginkan perhatian dari sang ibu. Keputusan Sasana untuk mengikat diri dan menahan hasratnya semata-mata untuk menenangkan hati ibunya. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Demi Ibu aku bertekad mengendalikan diri, Aku mengurung jiwa dan pikiranku, aku membangun tembok tinggi-tinggi, aku mengikat tangan dan kakiku sendiri (Madasari, 2013: 30)

(64)

permusuhannya dengan ayahnya, ia mulai takut bahwa ayahnya akan mengebiri dia.

Sasana memiliki ketakutan kepada sang ayah. Seringkali ia terpaksa menuruti keinginan ayahnya. Misalnya, ketika masa SMA, Sasana dipaksa masuk ke sekolah khusus laki-laki oleh ayahnya, dan ia menurut. Ketakutan-ketakutan Sasana kepada sang ayah merupakan bentuk castration anxiety (cemas dikebiri). Kemudian ketika tokoh Sasana kembali ke rumah dan ingin menunjukkan identitasnya sebagai Sasa, lagi-lagi ia takut akan kemarahan sang ayah yang akan ia terima. Terlebih di dalam cerita, disampaikan bahwa sang ayah tidak bisa menerima kondisi Sasana yang bertansformasi sebagai Sasa. Hal ini dibuktikan dalam kutipan-kutipan berikut.

Aku tak bisa membantah ketika setelah lulus SMP dimasukkan ke SMA khusus laki-laki. Sebuah SMA yang dikelola yayasan katolik (Madasari, 2013: 30).

Ayah malu sekali malam itu. Meski tetangga-tetangga masih belum percaya aku anaknya, tapi ayah merasa semua orang kini menertawakannya. Setelah aku pergi, ibu memaksa ingin menemuiku. Ayah melarang. Katanya, aku bukan anaknya. Ibu berkeras. Hingga akhirnya ayah berkata, “Terserah kalau kau mau menemui dia. Tapi jangan pernah membawa dia ke rumah ini (Madasari, 2013: 283).

(65)

2.3 Rangkuman

Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti uraikan dalam bab 2 ini, dapat disimpulkan bahwa tokoh Sasana memiliki dorongan id yang kuat yaitu ingin berlaku seperti perempuan dan menjadi penyanyi dangdut terkenal namunid dan ego-nya (usaha-usaha mewujudkan id) terhalang oleh superego berupa aturan dari orangtuanya dan norma-norma yang ada di masyarakat.

(66)

BAB III

IDENTITAS GENDER TOKOH SASANA

DALAM NOVEL PASUNG JIWAKARYA OKKY MADASARI

Permasalahan mengen ai gender merupakan jiwa analisis dari kritik sastra feminis. (Fakih, 2006: 71) mengemukakan bahwa gender merupakan suatu sifat yang berkaitan dengan peran dan melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan. Sifat atau peran ini dikonstruksikan secara sosial maupun kultural dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Konsep gender ini dikaji melalui kajian feminis dan memiliki tujuan yaitu mencapai kesetaraan atau egaliter.

Joan Wallach Scoot (dalam Sugihastuti dan Saptiawan, 2010: 100) mengemukakan bahwa ada lima konsep gender. Pertama, perbedaan gender ialah perbedaan dari atribut-atribut sosial, karakteristik, perilaku, penampilan, cara berpakaian, harapan, peranan, dan sebagainya yang dirumuskan untuk perorangan menurut ketentuan kelahiran. Kedua, kesenjangan gender ialah perbedaan dalam hal berpolitik, memberikan suara, dan bersikap antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, genderzation ialah pengacauan konsep pada upaya menempatkan jenis kelamin pada pusat perhatian identitas diri dan pandangan terhadap orang lain. Keempat, identitas gender ialah gambaran tentang jenis kelamin yang seharusnya dimiliki dan ditampilkan oleh tokoh yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan perbedaan perilaku sesuai dengan karakteristik biologis. Kelima, gender role ialah peranan perempuan atau peranan laki-laki yang diaplikasikan secara nyata.

Referensi

Dokumen terkait

Para operator industri yang memiliki merk eksklusif akan merebut pangsa pasar yang lebih karena kemampuan mereka untuk menawarkan lebih banyak pilihan produk dan harga bagi

Diantara karakteristik pribadi yang lebih relevan mempengaruhi perilaku persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atauminat, pengalaman masa lalu, dan pengharapan

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul: ”Analisis Penilaian Kinerja Organisasi Dengan Konsep Balance Scorecard (Studi Kasus Pada PT. Forum Agro

For the 2006 income tax year all persons conducting business activities are required to complete and lodge a 2006 income tax form unless all income received by that person has

Tujuan penelitian ini yaitu untuk menguji efek antiinflamasi sediaan topikal, mengukur persen penghambatan inflamasi ekstrak Milk Thistle ® sebagai agen

Septoplasti endoskopi meningkatkan ketepatan target operasi dengan visualisasi yang baik dan pembesaran target, sehingga dapat mengurangi komplikasi yang terjadi

Berdasarkan semua uraian di atas maka dapat didefenisikan bahwa Interpretasi Citra untuk Survei Geologi adalah perbuatan mendeteksi,

U knjizi se saznaje puno više o Petru Panu, njegovom ţivotu prije dolaska u Nigdjezemsku gdje se objašnjava kako je Petar pobjegao nakon što je čuo svoje