• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta."

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Apoteker juga harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktek harus sesuai standar yang ada untuk menghindari terjadinya hal tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta dan sedikit mengkaji pemahaman apoteker mengenai pengertian medication record dan konseling. Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuesioner yang merupakan instrumen penelitian ini. Analisis yang dilakukan adalah statistik deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh Apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta.

Kata kunci : Standar Pelayanan Kefarmasian, Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Apotek.

(2)

ABSTRACT

Pharmaceutical care orientation has changed from drug oriented to patient oriented which refers to pharmaceutical care. The Pharmaceutical care activities has, which previously only focused on the drugs management as a commodity, become more focused in to a comprehensive care that aimed at increasing the quality of patient’s life. As the consequences of the orientation change, pharmacist are demanded to improving their knowledge, skill and attitude in the course of direct interaction with patient. Pharmacist also have to understand and realize the possibility of medication error happen in service process. Therefore the pharmacist, in their practices, has to conform with the specified standard in order to prevent injurious event.

This research aimed at knowing the description of the implementation of Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Yogyakarta and briefly studying the pharmacist’s comprehension concerning the definition of medication record and counseling. This respondent’s were Administrator Pharmacist or Co-Pharmacist who willing to fills the questionnaire, which was instruments of the research. The analysis performed was descriptive statistic.

Result of the study suggesting that the Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Yogyakarta was not well performed yet by pharmacists in dispensaries in Yogyakarta.

Key words : Pharmaceutical Care Standard, Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004, Dispensary.

(3)

DI KOTA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Monica Arum Sukmajati NIM : 038114022

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

Kesuksesan berarti melakukan yang terbaik yang dapat kita lakukan

dengan apa yang kita miliki. Kesuksesan adalah suatu proses, bukan

hasil akhir

-

mengenai mengusahakan-nya, bukan keberhasilannya.

Wynn Davis

ku persembahkan kepada Bapa, Putra dan Roh Kudus,

kepada keluargaku, kepada kekasihku,

dan kepada almamaterku

.

(7)

PRAKATA

Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta”.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Sanata Dharma.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

2. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. selaku pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt selaku pembimbing II yang juga telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku pencetus ide awal penelitian ini dan selaku dosen penguji. Terimakasih atas kritik dan saran yang telah diberikan.

(8)

5. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt. selaku dosen penguji. Terima kasih atas kritik dan saran yang telah diberikan.

6. Pemerintah Kota Yogyakarta yang telah memberikan izin sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

7. Bapak dan Ibu Apoteker Kota Yogyakarta yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

8. Keluarga, terutama kedua orang tua, Bapak St. Kasidjan dan Ibu R. Sumaryati atas segala dukungan dan pengorbanan yang telah diberikan. Kakak Wahyu dan Adik Agung atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama ini. 9. Made Arthawan Putra. There are lots of things that we’ve been through

together n I would like to say thank you, for being everything to me.

10.Ozza, my brother. Terima kasih atas bantuannya sehingga komputer bisa kembali normal dan bisa digunakan untuk menyelesaikan skripsi ini.

11.Teman-teman seperjuangan : Adi, Totok, Bambang dan Bangun atas kerjasama, bantuan dan dukungan yang telah diberikan selama ini.

12.Teman-teman The Sindens : Dee, Vera, Dita, Ana, Tata, Rosa, Sari dan Angger. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

13.Teman-teman Fakultas Farmasi Sanata Dharma angkatan 2003 kelas A atas kebersamaan dan keceriaan selama empat tahun ini.

14.Teman-teman Kost Difa. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

15.Sifa, Ria, Livie dan Ami. Terima kasih atas bantuan dan dukungan kalian selama ini.

16.Anna dan Mita atas pinjaman laptopnya.

(9)
(10)
(11)

DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN JUDUL………. i

HALAMAN PERSETUJUAN……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN………... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN……… iv

PRAKATA……… v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………... viii

DAFTAR ISI………. ix

DAFTAR TABEL………. xiii

DAFTAR GAMBAR……… xvi

DAFTAR LAMPIRAN………. xvii

INTISARI……….. xviii

ABSTRACT……….. xix

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang………. 1

1. Rumusan masalah……….. 3

2. Keaslian penelitian………. 4

3. Manfaat penelitian……….. 5

B. Tujuan Penelitian………. 6

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Apotek………. 7

B. Tinjauan Umum Tentang Apoteker……….. 8

(12)

1. Peraturan perundang-undangan………. 8

2. Apoteker sebagai suatu profesi……….. 11

3. Peran apoteker……… 14

C. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek……….. 17

1. Asuhan kefarmasian………... 17

2. Akuntabilitas praktek farmasi……… 17

3. Manajemen praktis farmasi……… 18

4. Komunikasi farmasi……….. 18

5. Pendidikan dan pelatihan farmasi………. 19

6. Penelitian dan pengembangan kefarmasian……….. 19

7. Peraturan perundang-undangan……… 20

D. Sumpah Apoteker………. 24

E. Kode Etik Apoteker………. 24

F. Keterangan Empiris………. 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian……… 28

B. Batasan Operasional Penelitian……… 28

C. Instrumen Penilitian……….. 29

D. Populasi dan Sampel………. 29

1. Populasi……….. 29

2. Sampel……… 30

E. Tata Cara Penelitian………...……….. 32

1. Pembuatan kuesioner………. 32

(13)

2. Pengujian kuesioner………..………. 32

3. Penyebaran kuesioner……… 34

4. Pengumpulan kuesioner………. 34

5. Wawancara……… 35

F. Tata Cara Analisis Data……… 35

G. Kesulitan Penelitian………. 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Data Deskripsi Responden………... 37

1. Umur responden………. 37

2. Posisi responden di apotek………. 38

3. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek………….. 39

4. Adanya pekerjaan lain dari responden……… 40

5. Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu……… 41

6. Waktu kerja responden di apotek dalam sehari………. 41

B. Pengelolaan Sumber Daya……….. 42

1. Sumber daya manusia……… 42

2. Sarana dan prasarana………. 44

3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya….. 52

4. Administrasi……….. 59

C. Pelayanan………. 65

1. Skrining resep……… 65

2. Penyiapan obat……….. 71

3. Promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi……….. 79

(14)

D. Evaluasi Mutu Pelayanan………. 81

1. Tingkat kepuasan konsumen……….. 82

2. Dimensi waktu………... 83

3. Prosedur tetap……… 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……….. 87

B. Saran……… 87

DAFTAR PUSTAKA... 89

LAMPIRAN……… 92

BIOGRAFI PENULIS……… 111

(15)

DAFTAR TABEL

Hal. Tabel I Posisi Responden di Apotek………... 38 Tabel II Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari Responden…….... 40 Tabel III Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu.. 41 Tabel IV Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu

Berdasarkan Persetujuan APA……….. 43 Tabel V Adanya Papan yang Tertulis Kata Apotek……… 45 Tabel VI Apotek yang Memisahkan Produk Kefarmasian

dengan Produk Lainnya. ………... 46 Tabel VII Adanya Ruang Tunggu Bagi Pasien………. 47 Tabel VIII Adanya Informasi Bagi Pasien………. 47 Tabel IX Adanya Tempat Khusus untuk Mendisplay Informasi. 48 Tabel X Adanya Ruang Tertutup untuk Konseling……… 48 Tabel XI Adanya Ruang Racikan di Apotek………... 49 Tabel XII Tersedianya Keranjang Sampah untuk Staf dan Pasien 50 Tabel XIII Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan

Farmasi di Apotek………. 53 Tabel XIV Sumber Perolehan Obat di Apotek……… 54 Tabel XV Apotek yang Pernah Memindahkan Isi Obat ke

Wadah Lain………... 55 Tabel XVI Informasi yang Disertakan Pada Wadah Baru ………. 56

(16)

Tabel XVII Apotek yang Mempunyai Tempat Penyimpanan Khusus……….. 57 Tabel XVIII Apotek yang Selalu Menyertakan Bukti/Faktur

Pembelian dan Mencatat Setiap Obat yang Mereka

Beli……… 59

Tabel XIX Apotek yang Selalu Menyertakan Faktur/Nota Penjualan……….. 60 Tabel XX Apotek yang Selalu Mencatat Setiap Penjualan Dalam

Buku Penjualan………. 61 Tabel XXI Apotek yang Selalu Mencatat Setiap Pengeluaran

Narkotika dan Psikotropika……….. 61 Tabel XXII Apotek yang Selalu Menyimpan Resep Secara

Berurutan………... 62 Tabel XXIII Apotek yang Selalu Melakukan Pengisian Medication

Record……… 63

Tabel XXIV Apotek yang Selalu Melakukan Skrining Resep Persyaratan Administratif………. 66 Tabel XXV Skrining Kesesuaian Farmasetik………. 67 Tabel XXVI Skrining Pertimbangan Klinis………. 68 Tabel XXVII Apotek yang Selalu Melakukan Konsultasi dengan

Dokter Apabila Ada Ketidakjelasan Pada Resep…….. 69 Tabel XXVIII Apotek yang Pernah Menerima Keluhan Tentang

Etiket Oleh Pasien………. 71

(17)

Tabel XXIX Apotek yang Selalu Melakukan Pengecekan Resep Sebelum Diserahkan ke Pasien………. 72 Tabel XXX Apotek yang Apotekernya Selalu Terlibat Langsung

Dalam Penyerahan Obat ke Pasien………... 73 Tabel XXXI Informasi Obat yang Diberikan Apoteker……… 74 Tabel XXXII Apoteker yang Selalu Menyediakan Jam Konseling

Setiap Hari di Apotek……… 76 Tabel XXXIII Apoteker yang Memberikan Konseling Secara

Berkelanjutan……… 77 Tabel XXXIV Apoteker yang Pernah Melakukan Diseminasi

Informasi Kesehatan …... 79 Tabel XXXV Apoteker yang Melakukan Tindak Lanjut Terapi …… 80 Tabel XXXVI Apotek yang Pernah Melakukan Survey………... 82 Tabel XXXVII Apotek yang Menetapkan Lama Pelayanan………….. 83 Tabel XXXVIII Apotek yang Mempunyai Prosedur Tertulis dan Tetap 84

(18)

DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar 1. Diagram Umur Responden……… 37

Gambar 2. Diagram Pengalaman Kerja Responden sebagai Apoteker di Apotek yang Sekarang………... 39

Gambar 3. Diagram Waktu Kerja Responden di Apotek Dalam Sehari………. 42

Gambar 4. Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan Persetujuan APA……… 44

Gambar 5. Adanya Ruang Racikan di Apotek………. 50

Gambar 6. Kelengkapan Sarana dan Prasarana di Apotek……….. 51

Gambar 7. Pelaksanaan Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya………. 58

Gambar 8. Pelaksanaan Kegiatan Administrasi……….. 64

Gambar 9. Pelaksanaan Skrining Resep……….. 70

Gambar 10. Pelaksanaan Penyiapan Obat………. 78

Gambar 11. Pelaksanaan Promosi, Edukasi dan Tindak Lanjut Terapi………. 81

Gambar 12. Bentuk Survey……… 82

Gambar 13. Pelaksanaaan Evaluasi Mutu Pelayanan……… 84

Gambar 14. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kota Yogyakarta………... 86

Gambar 15. Skema Alur Pelayanan Resep Apotek XYZ………. 110

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal.

Lampiran 1. Surat Pengantar Kuisioner Penelitian………. 92

Lampiran 2. Kuesioner Penelitian……….. 93

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian……….. 99

Lampiran 4. Sumpah/Janji Apoteker………. 100

Lampiran 5. Kode Etik Apoteker Indonesia……….. 102

Lampiran 6. Jalur Distribusi Obat………... 105

Lampiran 7. Hasil Wawancara ……….. 106

Lampiran 8. Contoh Angket/Kuesioner Mengenai Tingkat Kepuasan Konsumen………. 109

Lampiran 9. Contoh Alur Pelayanan Resep……….. 110

(20)

INTISARI

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Apoteker juga harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktek harus sesuai standar yang ada untuk menghindari terjadinya hal tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta dan sedikit mengkaji pemahaman apoteker mengenai pengertian medication record dan konseling. Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuesioner yang merupakan instrumen penelitian ini. Analisis yang dilakukan adalah statistik deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh Apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta.

Kata kunci : Standar Pelayanan Kefarmasian, Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Apotek.

(21)

ABSTRACT

Pharmaceutical care orientation has changed from drug oriented to patient oriented which refers to pharmaceutical care. The Pharmaceutical care activities has, which previously only focused on the drugs management as a commodity, become more focused in to a comprehensive care that aimed at increasing the quality of patient’s life. As the consequences of the orientation change, pharmacist are demanded to improving their knowledge, skill and attitude in the course of direct interaction with patient. Pharmacist also have to understand and realize the possibility of medication error happen in service process. Therefore the pharmacist, in their practices, has to conform with the specified standard in order to prevent injurious event.

This research aimed at knowing the description of the implementation of Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Yogyakarta and briefly studying the pharmacist’s comprehension concerning the definition of medication record and counseling. This respondent’s were Administrator Pharmacist or Co-Pharmacist who willing to fills the questionnaire, which was instruments of the research. The analysis performed was descriptive statistic.

Result of the study suggesting that the Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Yogyakarta was not well performed yet by pharmacists in dispensaries in Yogyakarta.

Key words : Pharmaceutical Care Standard, Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004, Dispensary.

(22)

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Apoteker juga harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktek harus sesuai standar yang ada untuk menghindari terjadinya hal tersebut. Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional (Anonim, 2004a).

Sebagai upaya agar para apoteker dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian dengan baik, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) menyusun Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat yaitu Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 (Anonim, 2004a).

(23)

Apoteker di apotek dalam menjalankan profesinya harus berpedoman pada Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia tahun 2004, salah satu standar prosedur operasional apoteker di apotek hal manajemen praktis farmasi adalah merancang, membuat, mengetahui, memahami dan melaksanakan regulasi di bidang farmasi. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah dengan menampilkan semua kegiatan operasional kefarmasian di apotek berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku dari tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu kewajiban apoteker di apotek adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada semua kegiatan operasional kefarmasian di apotek, termasuk di dalamnya melaksanakan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebagai pedoman praktek apoteker di apotek.

(24)

kefarmasian sesuai standar yang berlaku, yaitu Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sehingga masyarakat terhindar dari pelayanan yang tidak profesional.

Apoteker di apotek dalam menjalankan praktek kefarmasian mendapatkan perlindungan hukum bila praktek kefarmasian tersebut dijalankan sesuai standar yang berlaku, yaitu Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Menurut pasal 24 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan, perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.

Berdasarkan keterangan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang telah ditetapkan tersebut telah sepenuhnya dilaksanakan oleh apoteker di apotek, terutama apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta.

1. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut :

(25)

2. Keaslian penelitian

Sejauh yang peneliti ketahui belum pernah dilakukan penelitian mengenai Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta. Beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu :

a. Pemahaman Apoteker Tentang Pelayanan Apoteker dalam Praktek Kefarmasian Sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan Apotek di Apotek-Apotek Kota Yogyakarta (Tobondo, 2000).

Penelitian dari Tobondo ini menekankan pada pemahaman apoteker tentang pelayanan apoteker dalam praktek kefarmasian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan apoteker di apotek. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah pada penelitian Tobondo tidak mengkhususkan diri atau berpedoman pada suatu undang-undang tertentu, sedangkan pada penelitian ini berpedoman pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

b. Pendapat Dokter Umum di Rumah Sakit Umum Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Peran Apoteker (Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit) (Regziana, 2007).

(26)

pada penelitian Regziana subyek penelitian merupakan dokter umum, sedangkan pada penelitian ini subyek penelitian adalah apoteker di apotek. Penelitian Regziana meneliti mengenai peran apoteker di Rumah Sakit berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, sedangkan penelitian ini meneliti mengenai pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Memberikan gambaran mengenai pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta.

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai :

1) bahan evaluasi bagi Apoteker Pengelola Apotek (APA) dalam pengelolaan apotek.

2) bahan acuan bagi mahasiswa farmasi atau para calon apoteker yang tertarik dalam pelayanan perapotekan.

(27)

B. Tujuan Penelitian

Mengetahui apakah Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah dilaksanakan secara menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kota Yogyakarta.

(28)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Apotek

Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan apotek ialah suatu tempat dimana dilakukan usaha-usaha dalam bidang farmasi dan pekerjaan kefarmasian. Pasal 2 menyebutkan bahwa tugas dan fungsi apotek, ialah :

a. pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.

b. penyaluran perbekalan kesehatan di bidang farmasi yang meliputi : obat, obat asli Indonesia, kosmetika, alat-alat kesehatan dan sebagainya.

(Anonim, 1965) Pada perkembangannya fungsi apotek yang diatur pada Peraturan Pemerintah tersebut mengalami perubahan. Hal ini terlihat dengan adanya Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 tahun 1980 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965.

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1980 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. Pasal 2 mengatur tugas dan fungsi apotek yaitu :

a. tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan.

b. sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.

c. sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.

(Anonim, 1980)

(29)

Menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993 pasal 10 menyebutkan, yang dimaksud dengan pengelolaan apotek adalah meliputi :

a. pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat.

b. pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya.

c. layanan informasi mengenai perbekalan farmasi.

(Anonim, 1993b) Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Anonim, 2004a).

B. Tinjauan UmumTentang Apoteker 1. Menurut peraturan perundang-undangan

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker (Anonim, 2004a).

(30)

melakukan tugasnya, apoteker pengelola apotek menunjuk apoteker pengganti. Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan apoteker pengelola apotek selama apoteker pengelola apotek tersebut tidak berada di tempat lebih dari tiga bulan secara terus-menerus dan telah memiliki surat izin kerja serta tidak bertindak sebagai apoteker pengelola apotek di apotek lain (Anonim, 2002).

Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien (Anonim, 1992). Hal ini juga ditegaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 pasal 22 ayat 1 (c) yang menyebutkan bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk :

a. menghormati hak pasien

b. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan.

(Anonim, 1996) Kode Etik Apoteker Indonesia pasal 7 menyebutkan bahwa seorang apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.

(31)

pemeliharaan (Anonim, 1999). Permenkes Nomor 922 tahun 1993 menyebutkan bahwa apoteker wajib memberikan informasi :

a. yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien. b. penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.

(Anonim, 1993) Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi (Anonim, 2004a).

(32)

2. Apoteker sebagai suatu profesi

Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut suatu pengetahuan dan keterampilan yang sangat khusus yang diperoleh melalui pelajaran yang bersifat teoritis dan praktek dan diuji oleh lembaga perguruan tinggi dan kepada yang bersangkutan diberi kewenangan guna pemberian layanan konsumen atau kliennya (Harding, 1993). Banyak kriteria untuk menentukan suatu pekerjaan adalah suatu profesi, menurut Sulasmono (1997) antara lain : 1. unusual learning, yaitu di didik dan menerima pengetahuan yang khas dan

merupakan lulusan dari perguruan tinggi, sehingga tidak diperoleh di tempat lain atau bidang yang berbeda.

2. pelayanannya bersifat altruistik (tidak mementingkan diri sendiri dan mementingkan kepentingan orang lain).

3. telah mengucapkan sumpah. 4. memiliki kode etik

5. memiliki standar profesi, yaitu pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik (Anonim, 1992).

6. memiliki pengakuan hukum (adanya undang-undang maupun ketentuan peraturan perundang-undangan lain).

7. memiliki perijinan (Surat Ijin Praktek atau Surat Ijin Kerja). 8. memiliki wadah profesi yang menunjukkan jati diri profesional 9. bersifat otonomi dan independensi.

(33)

Menurut ISFI (2004), profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. memiliki tubuh pengetahuan yang berbatas jelas.

2. pendidikan khusus berbasis “keahlian” pada jenjang pendidikan tinggi. 3. memberi pelayanan kepada masyarakat, praktek dalam bidang keprofesian. 4. memiliki perhimpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom. 5. memberlakukan kode etik keprofesian.

6. memiliki motivasi altruistik dalam memberikan pelayanan. 7. proses pembelajaran seumur hidup.

8. mendapat jasa profesi.

Menurut Trait Theory, Apoteker dapat digolongkan sebagai suatu profesi karena menunjukkan beberapa ciri khusus, yaitu :

(34)

2. monopoli dalam praktek (monopoly of practice). Monopoli pekerjaan yang dilakukan profesi dijamin dan dilindungi oleh Negara (Harding, 1993). Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 menyebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pada pasal 63 ayat (1) disebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa profesi farmasi dan pekerjaan kefarmasian memiliki pengakuan secara hukum di Indonesia, dan bahwa pekerjaan kefarmasian tersebut hanya apoteker yang memiliki kewenangan untuk menjalankannya.

(35)

Surat Kepmenkes Nomor 41846/KB/121 tanggal 16 September 1965 menyatakan bahwa Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia disingkat ISFI sebagai organisasi tunggal/satu-satunya organisasi sarjana apoteker Indonesia yang menghimpun seluruh tenaga kesehatan sarjana di bidang farmasi yakni sarjana apoteker. Wujud pengaturan diri tersebut antara lain dengan adanya Sumpah/Janji Apoteker, Kode Etik Apoteker Indonesia dan Standar Kompetensi Farmasis Indonesia.

4. orientasi pelayanan (service orientation). Pernyataan ini menandakan bahwa anggota profesi harus bekerja sebaik-baiknya untuk memenuhi keinginan klien dan tidak diperbolehkan memaksa klien hanya demi keuntungan pribadi semata. Hal ini ditegaskan pada pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien (Anonim, 1992).

3. Peran apoteker

(36)

belajar sepanjang karier, membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Anonim, 2004a).

Peran Apoteker yang digariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah “Seven Star of Pharmacist” meliputi :

1. Care Giver. Apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis, analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara individu maupun kelompok, apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan apoteker yang dihasilkan harus bermutu tinggi.

2. Decision-maker. Apoteker mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan, keefikasian dan biaya yang efektif dan efisien terhadap seluruh penggunaan sumber daya misalnya sumber daya manusia, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur, pelayanan dan lain-lain. Untuk mencapai tujuan tersebut kemampuan dan keterampilan apoteker perlu diukur untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan.

(37)

4. Leader. Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

5. Manager. Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi apoteker mendatang harus tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat. 6. Life-long learner. Apoteker harus senang belajar sejak dari kuliah dan

semangat belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian dan keterampilannya selalu baru (up-date) dalam melakukan praktek profesi. Apoteker juga harus mempelajari cara belajar yang efektif.

7. Teacher. Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih apoteker generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam berbagi ilmu pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan memperoleh pengalaman dan peningkatan keterampilan.

(38)

C. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Sistem praktek kefarmasian dapat diartikan sebagai bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan yang utuh dan terpadu, terdiri dari struktur dan fungsi jaringan pelayanan kefarmasian. Praktek kefarmasian adalah upaya penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian dalam rangka pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit bagi perorangan, keluarga, kelompok, dan atau masyarakat. Sistem pelayanan kefarmasian meliputi struktur sistem pelayanan kefarmasian dan fungsi sistem pelayanan kefarmasian (Anonim, 2004b).

1. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal asuhan kefarmasian, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :

a. memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal.

b. memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat yang ingin melakukan pengobatan mandiri.

c. memberikan pelayanan informasi obat. d. memberikan konsultasi obat.

e. membuat formulasi khusus sediaan obat yang mendukung proses terapi.

f. melakukan monitoring efek samping obat. g. pelayanan klinik berbasis farmakokinetik.

h. pelaksanaan obat sitostatika dan obat atau bahan yang setara. i. melakukan evaluasi penggunaan obat.

(Anonim, 2004b)

2. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal akuntabilitas praktek farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :

a. menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah dan etika profesi. b. merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan

mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku. c. bertanggung jawab terhadap setiap keputusan profesional yang

diambil.

(39)

e. melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus menerus dan berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan “stakeholder”.

(Anonim, 2004b)

3. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal manajemen praktis farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :

a. merancang, membuat, mengetahui, memahami dan melaksanakan regulasi di bidang farmasi. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah dengan menampilkan semua kegiatan operasional kefarmasian di apotek berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku dari tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.

b. merancang, membuat, melakukan pengelolaan apotek yang efektif dan efisien. Penjabaran kompetensi di atas adalah dengan mendefinisikan falsafah asuhan kefarmasian, visi, misi, isu-isu pengembangan, penetapan strategi, kebijakan, program dan menerjemahkannya ke dalam rencana kerja (Plan of Action).

c. merancang, membuat ,melakukan pengelolaan obat di apotek yang efektif dan efisien. Penjabaran dari kompetensi di atas adalah dengan melakukan seleksi, perencanaan, penganggaran, pengadaan, produksi, penyimpanan, pengamanan persediaan, perancangan dan melakukan dispensing serta evaluasi penggunaan obat dalam rangka pelayanan kepada pasien yang terintegrasi dalam asuhan kefarmasian dan sistem jaminan mutu pelayanan.

d. merancang organisasi kerja yang meliputi : arah dan kerangka organisasi, sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi manajemen.

e. merancang, melaksanakan, memantau dan menyesuaikan struktur harga berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa praktek kefarmasian.

f. memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional mencakup aspek manajemen maupun asuhan kefarmasian yang mengarah kepada kepuasan konsumen.

(Anonim, 2004b)

4. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal komunikasi farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :

(40)

b. memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal khususnya dalam aspek obat.

c. memantapkan hubungan dengan semua tingkat/lapisan manajemen dengan bahasa manajemen berdasarkan atas semangat kefarmasian. d. memantapkan hubungan dengan sesama farmasis berdasarkan saling

menghormati dan mengakui kemampuan profesi demi tegaknya martabat profesi.

(Anonim, 2004b)

5. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal pendidikan dan pelatihan farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah :

a. memotivasi, mendidik dan melatih farmasis lain dan mahasiswa farmasi dalam penerapan asuhan kefarmasian.

b. merencanakan dan melakukan aktifitas pengembangan staf, bagi teknisi di bidang farmasi, pekarya dan juru resep dalam rangka peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan. c. berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan

untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian. e. mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang

kesehatan umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien, profesi kesehatan dan masyarakat.

(Anonim, 2004b)

6. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal penelitian dan pengembangan kefarmasian, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah:

a. melakukan penelitian dan pengembangan, mempresentasikan dan mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat dan profesi kesehatan lain.

b. menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian.

(41)

7. Menurut peraturan perundang-undangan

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 adalah sebagai berikut :

a. Pengelolaan sumber daya 1) Sumber daya manusia

Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional . Dalam pengelolaan Apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

2) Sarana dan prasarana

Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin.

Apotek harus memiliki :

1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.

2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi.

3. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien

4. Ruang racikan.

(42)

3) Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya.

Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistim FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire first out)

3.1 Perencanaan.

Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan :

a. Pola penyakit.

b. Kemampuan masyarakat. c. Budaya masyarakat. 3.2 Pengadaan.

Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi.

3.3 Penyimpanan.

1.Obat / bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang–kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluarsa.

2.Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan.

4) Administrasi.

Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi :

4.1. Administrasi umum.

Pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4.2. Administrasi pelayanan.

Pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.

b. Pelayanan

1) Pelayanan resep. 1.1. Skrining resep.

Apoteker melakukan skrining resep meliputi : 1.1.1. Persyaratan administratif :

- Nama,SIP dan alamat dokter. - Tanggal penulisan resep.

- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.

- Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. - Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta.

(43)

- Informasi lainnya.

1.1.2. Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

1.1.3. Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

1.2. Penyiapan obat. 1.2.1. Peracikan.

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.

1.2.2. Etiket.

Etiket harus jelas dan dapat dibaca. 1.2.3. Kemasan obat yang diserahkan.

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

1.2.4. Penyerahan obat.

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.

1.2.5. Informasi obat.

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

1.2.6. Konseling.

(44)

1.2.7. Monitoring penggunaan obat.

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes ,TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya.

2) Promosi dan edukasi.

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi . Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet / brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.

3) Pelayanan residensial (Home Care).

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

c. Evaluasi mutu pelayanan

Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1) Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket

atau wawancara langsung.

2) Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan).

3) Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan.

Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk :

• Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat;

• Adanya pembagian tugas dan wewenang;

• Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga .kesehatan lain yang bekerja di apotek;

• Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru;

• Membantu proses audit.

Prosedur tetap disusun dengan format sebagai berikut:

• Tujuan : merupakan tujuan protap.

• Ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan.

• Hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur.

• Persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan.

• Proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk penerapan standar.

• Sifat protap adalah spesifik mengenai kefarmasian.

(45)

D. Sumpah Apoteker

Sumpah adalah ikrar yang diucapkan dengan sungguh-sungguh dan akan melaksanakannya sesuai dengan yang telah diucapkan (Salim, 1991). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1962 pasal 1 sumpah apoteker harus diucapkan sebelum apoteker melaksanakan pekerjaan kefarmasian. Apoteker dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya hendaknya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji apoteker (ISFI, 2001).

Tujuan mengucapkan suatu sumpah atau janji adalah untuk menyadarkan bagi yang disumpah bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban atau pekerjaannya mengharapkan tanggung jawab yang besar terutama tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena apoteker di dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan-Nya, sehingga bilamana menyalahgunakan jabatan dari pekerjaannya itu akan membawa bahaya bagi keselamatan masyarakat yang dilayaninya dan harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik dunia maupun akhirat (Budiharjo, 1981). Lafal sumpah atau janji apoteker dapat dilihat pada lampiran 4.

E. Kode Etik Apoteker

(46)

tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan perbuatan yang melanggar Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang apoteker perlu memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini, 2006).

Kode Etik Apoteker Indonesia disusun oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Kode Etik Apoteker Indonesia menurut ISFI hasil Keputusan Kongres Nasional XVII ISFI tahun 2005 nomor 007/2005 tanggal 18 Juni 2005 dapat dilihat pada lampiran 5.

Apotek mempunyai dua fungsi, yaitu :

1. sebagai unit sarana kesehatan (non profit/social oriented)

(47)

2. sebagai sarana bisnis (profit/business oriented)

Apotek berfungsi sebagai sarana bisnis yang diharapkan dapat memberi keuntungan. Dalam hal ini apoteker harus mampu bertindak sebagai manajer untuk mampu mengembangkan modal dan keuntungan yang diperoleh dengan bekal ilmu manajerial demi kelangsungan “hidup” apotek itu sendiri.

(Anief, 1995) Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa apotek melakukan bisnis yang beretika.

Menurut J.W. Weiss, etika bisnis adalah seni dan disiplin dalam menerapkan prinsip etika dalam mengkaji dan memecahkan berbagai masalah moral yang kompleks. Meski belum ada definisi terbaik dari etika bisnis, namun telah muncul konsensus bahwa etika bisnis adalah studi yang mensyaratkan penalaran dan penilaian, baik berdasarkan atas prinsip maupun kepercayaan dalam proses pengambilan keputusan dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi terhadap tuntutan sosial dan kesejahteraan (Isdaryadi, 2005).

Bisnis mempunyai etika, dan lima prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis adalah :

(48)

2. prinsip kejujuran. Yaitu pemenuhan syarat dalam perjanjian dan kontrak, mutu produk yang ditawarkan, hubungan kerja dalam perusahaan.

3. prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan berbuat baik (beneficence). Hal ini mengarahkan tindakan bisnis yang baik secara aktif dan maksimal, minimal tidak merugikan orang lain.

4. prinsip keadilan. Prinsip ini mengharuskan pelaku bisnis untuk memberikan sesuatu yang menjadi hak orang lain/mitra.

5. prinsip hormat kepada diri sendiri. Artinya memperlakukan diri sendiri dan orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai yang sama dengan pribadi lain.

(Isdaryadi, 2005) Etika biasanya dirumuskan oleh asosiasi atau organisasi yang bersangkutan dan dilaksanakan secara sukarela oleh para anggotanya. Jika ada anggota yang melanggar etika, sanksi paling berat yang diterima adalah dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi tersebut (Wahyuni, 2005).

F. Keterangan Empiris

(49)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Penelitian non eksperimental adalah penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri subyek menurut keadaan apa adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti (Praktiknya, 2001). Sedangkan rancangan penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti (Kontour, 2003).

Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada penggambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki (Nawawi, 1998).

B. Batasan Operasional Penelitian

1. Pelaksanaan adalah penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menurut pendapat responden.

2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah ukuran tertentu yang digunakan sebagai patokan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian, dalam penelitian ini berdasarkan pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

(50)

3. Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

4. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dikatakan telah dilaksanakan apabila persentasenya lebih dari 50%. Bila persentasenya kurang dari 50% maka dikatakan belum dilaksanakan.

5. Apotek adalah 23 apotek sampel yang berada di wilayah Kota Yogyakarta. 6. Responden adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping

yang bersedia mengisi kuisioner.

7. Periode adalah periode penelitian untuk pengambilan data, yaitu dilakukan selama bulan September-November 2006.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi tentang : 1. karakteristik responden.

2. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

D. Populasi dan Sampel 1. Populasi

(51)

peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian (Nawawi, 1998). Populasi dari penelitian ini adalah semua apotek yang ada di Kota Yogyakarta.

Menurut data terakhir yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, diketahui bahwa jumlah apotek di Kota Yogyakarta tahun 2006 adalah sebanyak 113 apotek.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam penelitian. Menurut Gay (1976), penelitian deskriptif ukuran minimum yang dapat diterima adalah 10 persen dari populasi. Untuk populasi yang sangat kecil diperlukan minimum 20 persen (Sevilla, dkk, 1993). Namun demikian tidak ada satu formula pun yang dapat digunakan secara umum untuk semua penelitian (Pratiknya, 2001).

Ada dua pertimbangan pokok untuk penetapan besar sampel, yaitu pertimbangan representativitas dan pertimbangan analisis. Pertimbangan representativitas ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum sampel yang masih menjamin representativitasnya terhadap populasi. Pertimbangan analisis ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum sampel sehingga dapat dilakukan analisis kuantitatif terhadap data (hasil penelitian) secara adekuat (Pratiknya, 2001).

(52)
(53)

E. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan kuesioner

Kuesioner merupakan suatu instrumen pengumpulan data dalam penelitian sosial. Dengan kuesioner tersebut peneliti menggali informasi dari responden (orang yang menjadi subyek penelitian) (Adi, 2004).

Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang di dalamnya memuat sejumlah pertanyaan yang harus dijawab secara tertulis oleh responden. Kuesioner terbagi menjadi empat bagian yaitu : deskripsi responden, pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan.

2. Pengujian kuesioner a. Uji pemahaman bahasa

Uji pemahaman bahasa berfungsi untuk mengetahui sejauh mana bahasa penyusun pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner dapat dipahami oleh responden, termasuk di dalamnya kesalahan pengetikan, pengejaan kata-kata dan susunan kalimat. Uji pemahaman bahasa dilakukan dengan cara menyebar kuesioner tersebut kepada lima apotek di luar populasi penelitian.

b. Uji validitas isi

(54)

tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003). Suatu alat ukur dikatakan valid (benar/sahih) jika alat ukur tersebut jitu untuk mengukur konsep/variabel yang diukur (Adi, 2004).

Validitas yang diukur dalam kuesioner ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan tingkat representativitas isi atau substansi pengukuran terhadap konsep (pengertian) variabel sebagaimana dirumuskan (Praktiknya, 1991). Validitas isi kuesioner ini diuji dengan analisis rasional atau lewat Professional Judgement, yaitu bahwa estimasi validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan hanya dengan analisis teoritik. Maka tidaklah diharapkan setiap orang akan sama atau sependapat mengenai sejauh mana validitas isi kuesioner akan tercapai.

c. Uji reliabilitas

(55)

Reliabilitas kuesioner penelitian ini tidak perlu diuji lagi karena pertanyaan dalam angket/kuesioner berupa pertanyaan yang langsung terarah pada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Reliabilitas data yang diperoleh terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Hal ini berkaitan dengan asumsi dasar penggunaan kuesioner yaitu subyek merupakan orang yang mengetahui tentang dirinya, sehingga data hasil tidak perlu diuji lagi reliabilitas secara statistik (Azwar, 1999).

3. Penyebaran kuesioner

Kuesioner langsung disebarkan kepada responden dan peneliti akan mendampingi dalam pengisian kuesioner agar dapat menjelaskan kepada responden jika responden mengalami kesulitan dalam mengisi kuesioner tersebut. Jika responden berhalangan mengisi saat itu juga, maka kuesioner tersebut akan ditinggal selama beberapa waktu untuk kemudian diambil kembali setelah diisi oleh responden. Periode penyebaran kuesioner dilakukan pada bulan September – November 2006.

4. Pengumpulan kuesioner

(56)

5. Wawancara

Wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula (Nawawi, 1985). Wawancara dapat dipakai untuk melengkapi data yang diperoleh (Mardalis, 2006). Pada penelitian ini, wawancara yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui kesesuaian pemahaman apoteker dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

Wawancara yang dilakukan mengenai pengertian konseling dan pengertian medication record. Wawancara dilakukan terhadap beberapa responden yang bersedia untuk di wawancarai. Hasil wawancara dapat dilihat pada lampiran 7.

F. Tata Cara Analisis Data

Teknik analisis yang umumnya digunakan untuk menganalisis data pada penelitian-penelitian deskriptif ialah dengan menggunakan tabel dan grafik (Kontour, 2003). Penelitian ini menggunakan analisis data statistik deskriptif dalam bentuk persentase dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik/diagram.

(57)

Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2007 tersebut.

G. Kesulitan Penelitian Terdapat beberapa kesulitan dalam penelitian ini, yaitu :

1. tidak semua Apoteker di apotek Kota Yogyakarta bersedia menjadi responden. 2. tidak dilakukannya orientasi untuk membuat sampling frame, yang bertujuan

untuk menentukan jumlah apoteker yang bersedia mengisi kuesioner sebagai populasi, sebelum menentukan jumlah sampel.

3. tidak dilakukannya wawancara kepada responden berkaitan dengan alasan responden terhadap tiap jawaban yang diberikan.

(58)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Data Deskripsi Responden

Karakteristik responden yang ditanyakan meliputi : umur, posisi di apotek, pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang, adanya pekerjaan lain, waktu kerja di apotek dalam seminggu dan waktu kerja di apotek dalam sehari.

1. Umur responden

Hasil penelitian menunjukkan responden yang berada pada rentang usia antara 21-35 tahun sebesar 73,92%, 36-50 tahun sebesar 4,35% dan yang berusia lebih dari 50 tahun sebesar 21,74%. Gambaran mengenai rentang usia responden dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

Umur Responden

73.92% 4.35%

21.74%

21-35 thn 36-50 thn >50 thn

Gambar 1. Diagram Umur Respoden

Gambar 1 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden, yaitu sebanyak 73,92% berada dalam rentang usia antara 21-35 tahun yang mana rentang usia tersebut merupakan usia produktif untuk masa kerja

(59)

seseorang. Menurut penelitian yang dilakukan Harvard Growth Study, proses pertumbuhan dan perkembangan intelegensi diawali pada usia remaja dan mencapai puncaknya pada usia 30 tahun. Pada usia tersebut seseorang mampu berpikir hipotetik dan dapat menguji secara sistematik berbagai penjelasan mengenai kejadian-kejadian tertentu dan dapat memahami prinsip-prinsip abstrak yang berlaku (Azwar, 1999). Berdasarkan keterangan tersebut diharapkan responden dapat memahami dan mengisi kuesioner dengan lebih baik.

2. Posisi responden di apotek

Menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993, apoteker di apotek ada yang disebut Apoteker Pengelola Apotek (APA), Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 95,65% responden merupakan Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan sisanya sebesar 4,35% merupakan Apoteker Pendamping.

Tabel I. Posisi Responden di Apotek

No Posisi responden di apotek Jumlah Persentase (%) n = 23 1 Apoteker Pengelola Apotek 22 95,65

2 Apoteker Pendamping 1 4,35

(60)

Tabel I di atas memperlihatkan bahwa seluruh responden merupakan apoteker, baik Apoteker Pengelola Apotek maupun Apoteker Pendamping sesuai yang diharapkan oleh peneliti sehingga diharapkan responden dapat mengisi kuesioner dengan baik dan dapat diketahui pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek tersebut, karena seorang apoteker lebih paham mengenai segala sesuatu yang terjadi di apotek dibandingkan staf lainnya.

3. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek yang sekarang

Hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang selama kurang dari 1 tahun sebesar 4,35%, 1-5 tahun sebesar 60,87%, 6-10 tahun sebesar 13,04% dan yang bekerja lebih dari 10 tahun sebesar 21,74%. Gambaran mengenai pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek yang sekarang dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

Pengalaman Kerja sebagai Apoteker di Apotek

4.35%

60.87% 13.04%

21.74%

<1 thn 1-5 thn 6-10 thn > 10thn

(61)

Gambar 2 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden (95,65%) telah memiliki pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang selama lebih dari 1 tahun sehingga diharapkan bahwa responden telah memahami mengenai kinerja di apotek mereka yang sekarang dan dapat mengisi kuesioner dengan baik.

4. Adanya pekerjaan lain dari responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 52,17% responden memiliki pekerjaan lain, selain sebagai apoteker di apotek dan sisanya yaitu sebesar 47,83% tidak memiliki pekerjaan selain sebagai apoteker di apotek.

Tabel II. Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari Responden No Pekerjaan lain selain sebagai

apoteker Jumlah

Persentase (%) n = 23

1 Memiliki 12 52,17

2 Tidak memiliki 11 47,83

Total 23 100

(62)

diharapkan dapat tetap bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai apoteker di apotek dan di pekerjaan lainnya sesuai Kode Etik Apoteker pasal 6, seorang apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain.

5. Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang bekerja di apotek 3-5 hari seminggu sebesar 30,43% dan yang bekerja 6-7 hari seminggu sebesar 69,57%.

Tabel III. Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu

No Waktu kerja di apotek

dalam seminggu Jumlah

Persentase (%)

Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, waktu kerja adalah 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Tabel III memperlihatkan bahwa sebagian besar responden bekerja 6-7 hari sehingga dapat disimpulkan bahwa responden telah memenuhi ketentuan yang berlaku sebagaimana contoh apoteker yang bekerja di apotek perusahaan negara (Kimia Farma).

6. Waktu kerja responden di apotek dalam sehari

(63)

39,13% dan yang bekerja lebih dari 6 jam sehari sebesar 56,52 %. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

Waktu Kerja di Apotek dalam Sehari

4.35% 39.13%

56.52%

< 4 jam 4-6 jam

> 6 jam

Gambar 3. Diagram Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Sehari Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, waktu kerja dalam sehari adalah 7 (tujuh) jam 1 (hari). Gambar 3 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden bekerja lebih dari 6 jam sehari sehingga dapat disimpulkan bahwa responden telah memenuhi ketentuan waktu kerja minimal dalam sehari yang berlaku.

B. Pengelolaan Sumber Daya 1. a. Sumber daya manusia

(64)

farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek salah satunya adalah merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku dan bertanggung jawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil. Tabel IV. Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan

Persetujuan APA

No Berdasarkan persetujuan APA Jumlah Persentase (%) n = 23

1 Ya 18 78,26

2 Tidak 5 21,74

Total 23 100

Tabel IV menunjukkan bahwa apotek yang setiap keputusannya selalu diambil berdasarkan persetujuan APA sebesar 78,26%, dimana hal ini juga dinyatakan oleh responden yang merupakan apoteker pendamping. Keputusan yang diambil berdasarkan persetujuan APA dalam penelitian ini mencakup perencanaan, pengadaan dan penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya.

(65)

sudah seharusnya keputusan yang diambil di apotek selalu berdasarkan persetujuan Apoteker Pengelola Apotek.

b. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian sumber daya manusia.

78.26%

21.74%

0.00% 50.00% 100.00%

Ya Tidak

Gambar 4. Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan Persetujuan APA

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sumber daya manusia telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, yaitu sebesar 78,26%.

2. Sarana dan prasarana a. Papan petunjuk apotek

(66)

tulisan hitam di atas dasar putih; tinggi huruf minimal 5 cm, tebal 5 cm. Selanjutnya pasal 6 ayat 3 Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 tentang persyaratan apotek menyebutkan bahwa papan nama harus memuat : nama apotek, nama Apoteker Pengelola Apotek, nomor surat izin apotek dan nomor telepon, kalau ada.

Tabel V. Adanya Papan yang Tertulis Kata Apotek No Papan yang tertulis kata

apotek Jumlah

Persentase (%) n = 23

1 Ada 23 100

2 Tidak Ada 0 0

Total 23 100

Penelitian ini mengacu pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang hanya menyebutkan bahwa pada halaman apotek terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek dan tidak membahas lebih lanjut mengenai syarat-syarat lainnya seperti yang tersebut diatas. Tabel V menunjukkan bahwa semua apotek (100%) mempunyai papan yang tertulis kata apotek pada halaman depan apotek mereka sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

(67)

RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Permenkes Nomor 26 tahun 1981 pasal 8 menyebutkan bahwa apotek dilarang menyalurkan barang atau menjual jasa yang tidak ada hubungannya dengan fungsi pelayanan kesehatan. Tabel VI. Apotek yang Memisahkan Produk Kefarmasian dengan

Produk Lainnya No Diberikan pada tempat

yang terpisah Jumlah

Persentase (%) n = 23

1 Ya 14 60,87

2 Tidak 9 39,13

Total 23 100

Tabel VI menunjukkan bahwa apotek yang menempatkan produk kefarmasian terpisah dari produk lainnya sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 60,87% dan 39,13% sisanya menempatkan produk kefarmasian tidak terpisah dari produk lainnya.

c. Ruang tunggu bagi pasien

(68)

salah satu syaratnya menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang tunggu.

Tabel VII. Adanya Ruang Tunggu Bagi Pasien

No Ruang tunggu bagi pasien Jumlah Persentase (%) n = 23

1 Ada 23 100

2 Tidak Ada 0 0

Total 23 100

Tabel VII menunjukkan bahwa semua apotek (100%) memiliki ruang tunggu bagi pasien sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

d. Tempat untuk mendisplay informasi bagi pasien

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki tempat untuk mendisplay informasi bagi pasien, termasuk penempatan materi informasi tersebut. Informasi disini contohnya berupa brosur, leaflet atau poster.

Tabel VIII. Adanya Informasi Bagi Pasien No Brosur/informasi mengenai

kesehatan Jumlah

Persentase (%) n = 22

1 Ada 22 95,65

2 Tidak Ada 1 4,35

Gambar

Gambar 1. Diagram Umur Respoden
Tabel I. Posisi Responden di Apotek
Gambar 2. Diagram Pengalaman Kerja Responden sebagai Apoteker
Tabel II. Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari Responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

minimal yang harus disampaikan pada pasien telah diatur dalam Kepmenkes RI. No.1027/Menkes/SK/IX/2004 meliputi khasiat, cara pemakaian obat,

Mutu pelayanan kesehatan akan menjadi baik kalau masing-masing profesi kesehatan memberikan pelayanan kepada pasien berdasarkan standar profesi, kode etika, sumpah

856/MENKES/SK/IX/2009 TENTANG STANDAR INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD) RUMAH SAKIT DI RSUD BENDAN KOTA PEKALONGAN” yang akan dilakukan oleh: Anik Indriono , Mahasiswa:

Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada

Mutu pelayanan kesehatan akan menjadi baik kalau masing-masing profesi kesehatan memberikan pelayanan kepada pasien berdasarkan standar profesi, kode etika, sumpah

Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pekerjaan Kefarmasian di Apotek.. Jakarta: Menteri

Sebelum melakukan pembahasan tentang perbandingan pengukuran kinerja Puskesmas Kalitidu, Puskesmas Padangan, dan Puskesmas Wisma Indah berdasarkan SPM dalam Kepmenkes RI