IMPLEMENTASI RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
(Jurnal)
Oleh :
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
IMPLEMENTAS RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Oleh Rini Fathonah (rinifathonah@gmail.com)
Pelaksanaan putusan pidana merupakan kewenangan dari Jaksa sesuai Pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidanadan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan pada Pasal 30 Ayat 1 huruf b. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Permasalahan: Bagaimanakah pelaksanaan putusan hakim yang mencantumkan restitusi dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap putusan nomor 1633/PID/B/2008/PN TK dan Apakah faktor penghambat Pelaksanaan putusan hakim yang mencantumkan restitusi terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang pada putusan nomor 1633/PID/B/2008/PNTK?Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.Hasil penelitian dan pembahasan pada penelitian ini adalah (1) Pelaksanaan putusan restitusi terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang studi putusan nomor 1633/PID/B/2008/PNTK adalah terdakwa tidak melaksanakan pembayaran restitusi terhadap korban dan hanya menggantikan kurungan selama 1 (satu) bulan kurungan(2) faktor penghambat pelaksanaan putusan hakim yang mencantumkan restitusi terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang pada putusan nomor 1633/PID/B/PNTK/2008 adalah (a) Faktor hukumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak pidana perdagangan orang yaitu tentang aturan pelaksanaan eksekusi restitusi yang tidak ada dasar hukum nya dan frasa Pasal 50 Ayat 4 tentang subsider yang menjadi pilihan mudah bagi terdakwa. (b) faktor penegak hukumnya yaitu Jaksa Penuntut Umum tidak mengupayakan restitusi terlebih dahulu menjadikan subside yang utama.
I. PENDAHULUAN
Pelaksanaan Putusan pengadilan adalah ruang lingkup hukum acara pidana di Indonesia yang telah melalui beberapa tahap yang diatur dalam Hukum Acara Pidana.1
Praktiknya eksekusi ini banyak mengalami kendala-kendala seperti tidak terlaksanannya eksekusi sebagaimana apa yang tercantum dalam putusan hakim seperti contoh putusan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang di pengadilan negeri Tanjung Karang dengan nomor 1633/PID.B/2008/PNTK yang
menjatuhkan putusan
restitusi 2 terhadap terdakwa yang harusnya terdakwa membayar restitusi tersebut kepada korban.
Eksekusi putusan pengadilan adalah pelaksanaan suatu putusan pengadilan yang sudah tidak dapat diubah lagi itu, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa.Makna perkataan eksekusi mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus mentaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum.
Putusan Pengadilan Negeri baru dapat dijalankan, apabila sudah mendapat kekuatan pasti, yaitu apabila tidak mungkin atau tidak diadakan perbandingan seketika
1 Andi Hamzah, hukum acara pidana
indonesia, (sinar grafika 2013) hlm 23 2 Pasal 1 ayat 13 Undang-Undang Nomor 21
tahun 2007 Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang di bebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang di derita korban atau ahli warisnya.
diucapkan di muka umum, kecuali
apabila terdakwa mohon
pertangguhan menjalankan putusan selama empat belas hari dalam tempo mana terhukum berniat akan memajukan permohonan grasi kepada Presiden.Biasanya keputusan dapat dijalankan terhadap tertuduh hanya setelah keputusan tadi menjadi keputusan terakhir dengan perkataan lain apabila upaya-upaya hukum yang biasa telah ditempuh.3
Perlindungan terhadap korban tindak pidana adalah hal yang sangat diinginkan setiap korban tindak pidana, tetapi kenyataannya korban tidak pernah dipikirkan atas hak-haknya, korban tindak pidana seakan-akan dilupakan atas hal-hal yang dirugikan, justru negara terfokus hanya memikirkan bagaimana caranya menghukum pelaku seberat-beratnya kedalam penjara.Pemberian ganti kerugian terhadap korban tindak pidana sangat diabaikan, memang secara terkhusus ketika ingin mendapatkan ganti kerugian adalah ranah hukum perdata, tetapi pidanapun terdapat aturan yang mengatur tentang ganti rugi terhadap korban tindak pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur tentang penggabungan perkara yaitu dalam Pasal 95 sampai 101 istilah ganti kerugian merupakan istilah hukum perdata yang timbul sebagai akibat wanprestasi dalam perikatan, baik karena perjanjian mapun karena undang-undang.4
3 Andi hamzah, op,cit hlm 23
4 Leden marpaung, proses tuntutan ganti
Secara specialis Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengatur tentang restitusiyang diatur dalam Pasal 48 kemudian pelaksanaannya diaatur dalam Pasal 50.Konsep kejahatan dan siapa yang menjadi korban kejahatan adalah pangkal tolak untuk menjelaskan bagaimana posisi hukum korban.
Konsep kejahatan ada 2 (dua),
pertama, kejahatan dipahami sebagai pelanggaran terhadap negara atau
kepentingan publik yang
dipresentasikan oleh instrumen dokmatik negara. Kedua, kejahatan dipahami sebagai pelanggaran terhadap kepentingan orang perseorangan dan juga melanggar kepentingan masyarakat, negara, dan
esensinya juga melanggar
kepentingan pelakunya sendiri5.
Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari gangguan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, pada dasarnya merupakan bagian kebijakan atau politik hukum pidana Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal 6 . Politik hukum pidana
dalam hal ini kebijakan tentang ganti kerugian terhadap korban tindak pidana selalu tidak pernah terfikir, dalam suatu peradilan pidana pihak-pihak yang berperan adalah penuntut umum, hakim terdakwa, dan penasihat hukum serta saksi-saksi sering kali penuntut umum tidak merasa mewakili kepentingan korban
5Siswanto sunarso, viktimologi dalam sistem
peradilan pidana, Sinar grafika, 2012 Hlm 43 6Barda nawawi arif, Bunga rampai kebijakan
hukum pidana, Bandung, pt. Citra bakti, 1996 hlm 27
dan bertindak sesuai kemauannya, sehingga kewajiban perlindungan serta hak-hak korban diabaikan.7
Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia pernyataan tersebut mengandung paham mengenai hukum, baik konsep, fungsi serta tujuannya hal tersebut sekaligus merupakan ideal hukum yang menuntut untuk diwujudkansebagai konsekuensinya, hukum merupakan suatu proses yang secara terus menerus membangun dirinya menuju ideal tersebut8.
Pengadilan negeri tanjung karang
dalam putusan nomor
1633/PID.B/2008/PNTK
mencantumkan restitusi kepada terdakwa sebesar Rp.10.000.000 tetapi menjadi pertanyaannya pelaksanaan restitusinya ini bagaimana mengacu dalam Pasal 50 Ayat 4 jika korban tindak mampu membayar restitusi diganti kurungan paling lama satu tahun. Mengacu pada pasal tersebut tentang pelaksanaan putusannya ini apakah benar-benar di eksekusi untuk membayarkan atau diganti kurungan berawal dari masalah tersebut dalam penelitian ini penulis ingin
mengangkat
permasalahan-permasalahan pelaksanaan putusan pemberian restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang dengan meneliti studi putusan nomor 1633/PID.B/2008/PNTK.
7Bambang Waluyo, viktimologi perlindungan
saksi dan korban, Jakarta, sinar grafika, 2011, hlm 8
8Satjipto Rahardjo, Hukum progresif sebuah
II. PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Putusan Restitusi
Terhadap Putusan Nomor
1633/PID.B/2008/PNTK
Eksekusi putusan pengadilan berkaitan dengan tahapan penegakan hukum pidana yaitu teori kebijakan hukum pidana(penal policy) istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris yakni Policy atau dalam bahasa Belanda Politiek yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).9
Hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri untuk mencapai tujuan, tetapi perlu melibatkan sarana-sarana lainnya yang mendukung, yakni tahapan kebijakan hukum pidana, dalam mengoperasionalkan hukum pidana, melalui tahap formulasi kebijakan legislatif atau pembuatan peraturan perundang-undangan, tahap perencanaan yang seharusnya memuat tentang hal-hal apa saja yang akan dilakukan, dalam mengadapi persoalan tertentu dibidang hukum pidana, dan kejahatan yang terjadi selalu berorientasi pada kebijakan
9 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti (Bandung, 2010),hlm : 23
penanggulangan kejahatan terpadu, sebagai upaya yang rasional guna pencapaian kesejahteraan masyarakat dan sekaligus perlindungan masyarakat.10
Definisi tentang kebijakan hukum pidana yang telah diuraikan sebelumnya, sekilas tampak bahwa kebijakan hukum pidana identik dengan pembaharuan perundang-undangan hukum pidana yaitu substansi hukum, bahkan sebenarnya ruang lingkup kebijakan hukum pidana lebih luas daripada pembaharuan hukum pidana.
Hal ini disebabkan karena kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap
konkretisasi/operasionalisasi/fungsio nalisasi hukum pidana yang terdiri dari :11
1. Kebijakan formulatif/legislatif,
yaitu tahap
perumusan/penyusunan hukum pidana
2. Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana
3. Kebijakan
administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana.
Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy).
Operasionalisasi kebijakan hukum pidana dengan sarana penal (pidana)dapat dilakukan melalui
10ibid
11 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai
proses yang terdiri atas tiga tahap, yakni :12
1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif)
2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);
3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif). berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum,kesalahan/pertanggungjawab an pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh pembuat undang-undang. Tahap aplikasi merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan, dan tahapan eksekutif/administratif dalam melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana.13
Kebijakan formulasi harus memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang berlaku saat ini. Tidaklah dapat
dikatakan terjadi
harmonisasi/sinkronisasi apabila kebijakan formulasi berada diluar sistem hukum pidana yang berlaku
12
Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group (Jakarta, 2007), hlm : 78
13
Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Media Group (Jakarta, 2007), hlm 80
saat ini. Kebijakan formulasi merupakan tahapan yang paling stategis dari penal policy karena pada tahapan tersebut legislatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum, kesalahan, pertanggung jawaban pidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan.
Oleh karena itu, upaya
penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum tetapi juga tugas aparat pembuat undang-undang (aparat legislatif).14
Hukum yang telah dipilih sebagai sarana untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berwujud peraturan perundang-undangan melalui aparatur negara, maka perlu ditindak lanjuti usaha pelaksanaan hukum itu secara baik sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Pada tahap ini termasuk ke dalam bidang penegakan hukum, dalam hal ini perlu diperhatikan komponen-komponen yang terdapat dalam sistem hukum yaitu struktur, substansi dan kultur.15
Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application) yang melibatkan berbagai sub-sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk di dalamnya tentu saja lembaga penasehat hukum. Dalam
14ibid
15
hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi, yaitu :16
1. Penerapan hukum dipandang sebagi sistem normatif (normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang di dukung oleh sanksi pidana;
2. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative system)
yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub-sistem peradilan di atas;
3. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti bahwadalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat. Sehubungan dengan pelbagai dimensi di atas dapat dikatakan bahwa sebenarnya hasil penerapan hukum pidana
harus menggambarkan
keseluruhan hasil interaksi antara hukum, praktek administratif dan pelaku sosial.
Pelaksanaan pidana (eksekusi) dapat dilakukan setelah putusan pengadilan dapatdinyatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, apabila tenggang waktu berpikir terlampaui yaitu 7 hari setelah putusan pengadilan negeri dan 14 hari setelah putusan pengadilan tinggi 17 .
konsekuensi dari Undang-Undang
16
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip (Semarang, 1995), hlm 41
17 Kuffal, penerapan KUHAP dalam praktik
hukum ,umm pers, cetakan keenam 2004, hlm 433
Nomor 14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 33 Ayat 1 jo Pasal 270 KUHAP setiap putusan pengadilan dalam perkara pidana meskipun berisi ganti kerugian seharusnya dilaksanakan oleh jaksa18.
Putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut, kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi dalam Pasal 273 ayat 1 KUHAP harus diartikan19:
a. Apabila terdakwa atau kuasanya hadir pada waktu putusan diucapkan, maka pelunasannya harus dilakukan pada saat diucapkan
b. Apabila terdakwa atau kuasanya tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, maka pelunasanya harus dilakukan pada saat putusan itu oleh jaksa diberitahukan kepada terpidana. Terdapat alasan yang kuat, maka jangka waktu pembayaran pidana denda dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan. Dengan demikian jangka waktu pembayaran pidana denda paling lama dua bulan dan apabila selama dua bulan dendanya belum juga dibayarkan oleh terpidana, maka eksekusi pidana dendanya diganti dengan pidana kurungan sebagai pengganti denda sesuai dengan Pasal 30 ayat 2 KUHP.20
Pasal 1 Ayat 13 Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang
dibebankan kepada pelaku
berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan/atau immateril yang diderita korban atau ahli warisnya dalam putusan nomor 1633/PID.B/2008/PNTK hakim menjatuhkan hukuman restitusi kepada terdakwa untuk membayar Rp.10.000.000 dan jika tidak mampu membayar maka diganti kurungan selama 3 bulan. Alternatif dalam putusan denda adalah kurungan dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pembrantasan tindak pidana perdagangan orang terdapat juga penggantian kurungan.
Pasal 50 ayat 4 menurut Yusenidar21 jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenakan pidana kurungan pengganti paling lama satu tahun kurungan, untuk mengatasi hal itu maka tuntutan denda juga harus menyesuaikan dari kekayaan terdakwa supaya putusan hakim yang memberikan denda itu terlaksana tidak hanya sebatas dalam amar putusan faktor dari kekayaan terdakwa yang menjadi penghambat pelaksanaan pidana seharusnya jaksa penuntut umum harus mengetahui harta apasaja yang dapat dijaminkan sehingga ketika nanti pemberi restitusi tidak mampu membayar bisa dilaksanakan eksekusi terhadap harta terdakwa.22
Pelaksanaan pemberian restitusi dalam Pasal 50 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengatakan dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas
21 Hasil wawancara dengan hakim
pengadilan negeri tanjung karang pada senin, 29 januari 2018 pukul 8.30
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Ayat 6, korban tau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepengadilan, kemudian pada Pasal 50 Ayat 2 pengadilan sebagaimana di maksud Ayat 1 memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi
kepada korban atau ahli
warisnya.kemudian pada Pasal 50 Ayat 3 dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 tidak dilaksanakan dalam waktu 14 hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi dan terakhir pada Pasal 50 ayat 4 jika pelaku tidak membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan paling lama satu tahun.23Amar putusan perkara nomor
1633/PID.B/2008/PNTK
menyatakan terdakwa Fitriani Binti Muradi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana:
1. Melakukan permufakatan jahat untuk melakukan atau penerimaan seseorang dengan penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Republik Indonesia.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Fitriyani Binti Muradi dengan pidana penjara selama: 8 (delapan) tahun, dan/atau pidana denda sebesar Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar
23 Bunyi pasal 50 undang-undang nomor 21
harus diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan.
3. Menetapkan agar terdakwa membayar restitusi kepada saksi korban mai diana binti raja sulaiman Als Asnawi sebesar Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah), apabila restitusi tidak dibayarkan harus diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan
4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkanseluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. 5. memerintahkan kepada
terdakwa agar berada dalam tahanan
6. Memerintahkan barang bukti berupa : 1 (satu) buah celana panjang jeans warna biru tua, 1 (satu) buah celana pendek orange, 1 (satu) buah baju kaos warnamerah dan kuning, 2 (dua) stel baju tidur warna merah dan merah muda, 2(dua) buah celana dalam warna merah muda dan biru muda, 1 (satu) buahBH
garis-garis warna merah,
dikembalikan pada saksi korban Mai DianaBinti Raja Sulaiman Als Asnawi.
7. Membebankan biaya perkara sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah).
Hukuman yang dijatuhkan hakim
dalam perkara nomor
1633/PID.B/2008/PNTK jika
merujuk dalam Pasal 10 KUHP yang terdiri dari dua pokok yaitu hukuman, penjara selama 8 tahun dan hukuman denda negara sebesar 120.000.000 (seratus duapuluh juta
rupiah) dan restitusi sebesar 10.000.000(sepuluh juta rupiah). Pidana penjara merupakan salah satu
bentuk pidana perampasan
kemerdekaan dan hukuman denda adalah hukuman berupa kewajiban, seseorang untuk mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus dosannya dengan pembayaran sejumlah uang tertent.24.
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa,
yang untuk itu Penitera
mengirimkkan salinan surat putusan
kepada jaksa (Pasal 270
KUHAP).Eksekusi putusan
pengadilan baru dapat dilakukan oleh jaksa, setelah jaksa menerima salinan surat putusan dari panitera. Menurut SEMA Nomor 21 Tahun 1983 Tanggal 8 Desember 1983 batas waktu pengiriman salinan putusan dari Panitera kepada jaksa untuk perkara acara biasa paling lama 1 (satu) minggu dan untuk perkara dengan acara singkat paling lama 14 hari.25
Pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa atau penuntut umum ini, bukan lagi pada penuntutan seperti penahanan, dakwaan, tuntutan dan lain-lain yang dalam ini jelas KUHAP menyatakan : jaksa, berbeda dengan pada penuntutan seperti penahanan, dakwaan, tuntutan dan lain-lain disebut penuntut umum.Dengan sendirinya ini berarti Jaksa yang tidak menjadi Penuntut
24 Kanter dan sianturi, asas-asas hukum
Umum untuk suatu perkara boleh melaksanakan putuan pengadilan.26
Pasal 36 Ayat 4 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman diatur tentang pelaksanaan keputusan hakim yang memperhatikan kemanusiaan dan keadilan. Pertama-tama, Panitera membuat dan menandatangani surat keterangan bahwa putusan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Kemudian Jaksa membuat surat perintah menjalankan putusan pengadilan yang dikirim kepada Lembaga Pemasyarakatan.Kalau Panitera belum dapat mengirimkan kutipan putusan, oleh karena surat
putusan belum selesai
pembuatannya, maka kutipan itu dapat diganti dengan suatu keterangan yang ditandatangani oleh Hakim dan Penitera dan yang memuat hal-hal yang harus disebutkan dalam surat kutipan tersebut. Jaksa setelah menerima surat kutipan atau surat keterangan tersebut di atas, harus berusaha, supaya putusan Hakim selekas mungkin dijalankan.27
Pelaksanaan putusan yang berupa pidana denda, KUHAP hanya mengatur dalam 1 pasal saja, yaitu Pasal 273 Ayat (1): “Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut, kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi. Dalam Ayat (2) pasal tersebut, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama satu bulan. Perlu diingat, bahwa jika dijatuhkan pidana denda dengan subsidair
26ibid 27ibid
pidana kurungan pengganti, terpidana dapat melunasi separuh dendanya dan separuhnya lagi dijalani sebagai pidana kurungan.28
(HIR) pada Pasal 379, dikatakan bahwa upah dan ganti kerugian bagi pokrol, penasihat atau pembela dan wakil, tidak boleh dimasukkan dalam pidana membayar ongkos perkara, tetapi harus ditanggung selalu oleh pihak yang meminta bantuan pada orang yang demikian itu atau berwakil kepadanya. Oleh karena pemanggilan saksi-saksi, ahli juru bahasa, dan sebagainya untuk menghadap di persidangan dilakukan oleh jaksa, maka jelas bahwa perhitungan ongkos perkara pidana itu ada pada jaksa dan hakim.29
Perhitungan jaksa itu seharusnya diajukan dalam tuntutannya (requisitoir). Dalam tuntutan itu, jaksa (penuntut umum) menuntut agar terpidana dipidana pula membayar biaya perkara dengan jumlah tertentu, sesuai Pasal 197 pidana pengganti seperti halnya dengan denda, maka menjadi piutang negara dan oleh karena itu dapat dibebankan kepada terpidana atau ahli warisnya.30
Praktik yang biasa dilakukan jaksa dewasa ini, jika terpidana tidak membayar biaya perkara, agar tidak merupakan tunggakan hasil dinas kejaksaan, jaksa meminta keterangan tidak mampu dari pamong praja bagi
28 Andi hamzah, op.cit hlm 312 29ibid
terpidana untuk membebaskannya dari pembayaran dan menghapuskan sebagai tunggakan, tidaklah tepat semacam itu hanya berlaku untuk biaya perkara perdata (Pasal 237 dan seterusnya HIR).31
Terutama dalam perkara-perkara besar seperti korupsi,Jaksa dalam hal ini yang melaksanakannya dengan suatu berita acara perusakan atau pemusnahan. Misalnya dalam praktik buku-buku dan barang-barang lain
yang mudah terbakar,
pemusnahannya dengan jalan dibakar, sedangkan senjata tajam dibuang ke laut. Jika dijatuhkan pidana ganti kerugian, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 (ganti kerugian kepada pihak lain yang dirugikan atau korban delik) maka pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara putusan perdata berarti melalui juru sita.
Yusenidar menyatakan putusan nomor 1633/PID/B/2008/PNTK telah di eksekusi dan terdakwa telah menjadi narapidan di rutan way huwi dengan hukuman nya 8 tahun dan di tambah 2 bulan kurungan satu bulan untuk pengganati Rp.120.000.000 dan satu bulan lagi pengganti restitusi Rp10.000.000 juta. Pelaksanaan pemberian restititusi dalam perkara ini hanya digantikan hukuman kurungan satu bulan karena beberapa faktor dalam Pasal 50 Ayat 4 jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun ini adalah salah satu pengecualian dari terdakwa untuk menggantikan kerugian korban harusnya penuntut
umum mengetahui dan
menyesuaikan kekayaan terdakwa
31ibid
pada saat menuntut kalau penuntut umum menuntut dan tidak ada barang yang dijaminkan maka sangat wajar terdakwa hanya menggantinya dengan kurungan karena terdakwa tidak mau membayar uang tunai dan juga hukuman kurungannya sangat ringan.32
B. Faktor-Faktor Penghambat
Pelaksanaan Putusan
Pemberian Restitusi Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Putusan Nomor 1633/PID.B/2008/PNTK
Proses eksekusi putusan hakim dalam pemberian restitusi terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan putusan Nomor
1633/PID.B/2008/PNTK yang
menjatuhkan terdakwa membayar ganti rugi Rp.10.000.000 ternyata tidak dibayarkan oleh terdakwa dan hanya diganti dengan hukuman pengganti yaitu kurungan selama 1 bulan. Berdasarkan hasil penelitian dari narasumber dan refrensi, penulis berpendapat putusan tersebut tidak terlaksana karena beberapa faktor,
dengan menggunakan teori
efektifitas hukum Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto ada 5 yaitu faktor hukum, faktor penegak hukum,faktor sarana atau fasilitas, faktor kebudayaan. Pada praktiknya eksekusi putusan pengadilan yang memberikan restitusi terhadap korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Pengadilan Negeri Tanjung Karang dengan putusan Nomor 1633/PID.B/2008/PNTK penulis
32 Hasil wawancara dengan hakim PN
menemukan 2(dua) faktor penghambat, yaitu :33
1. Faktor hukum
Faktor substansi hukum adalah salah satu aspek penghambat eksekusi. dikemukakan oleh soekanto sebagai salah satu indikator dalam hal penegakan hukum yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan penerapan sanksi. Dalam pelaksanaan eksekusi pada putusan hakim yang memberikan restitusi.
Jaksa dalam hal ini memiliki dasar hukum untuk melakukan eksekusi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Pasal 30 Ayat 1 (b) tentang kewenangan jaksa dalam bidang pidana, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1891 tentang Hukum Acara Pidana yang diatur dalam Pasal 270,271 Ayat (1) dan 274 kemudian dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana perdagangan Orang mengatur tatacara eksekusi yaitu pada Pasal 50.
Jaksa menerima P-48 atau eksekusi putusan pengadilan ada faktor-faktor internal yang menjadi pilihan bagi terdakwa supaya terdakwa tidak membayar restitusi dan hanya
menggantikan dengan
kurungan.Faktor dari undang-undang tersebut salah satunya adalah dalam Pasal 50 Ayat 4 yang memberikan pengecualian jika terpidana tidak mampu membayar restitusi maka diganti dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun penjara. Dalam klausul ini adalah salah satu kelemahan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun
33Soerjono Soekanto. Op,cit ,Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum
Cetakan Kelima.Jakarta : Raja Grafindo Persada hal 42
2007 yang bertentangan dengan semangat keberpihakan dengan korban yang mengalami kerugian yang diatur dalam Pasal 48. Frasa dalam pasal 50 Ayat 1 kontradiksi dengan Pasal 48 Ayat 1 yang mengatakan Restitusi adalah hak korban tindak pidana. Adanya Pasal 48 Ayat 1 menjadikan terdakwa memilih untuk tidak membayrkan restitusi karena pertimbangan dari terdakwa dalam putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa fitriyaniadalah
Menetapkan agar terdakwa
membayar restitusi kepada saksi korban mai diana binti raja sulaiman Als Asnawi sebesar Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah), apabila restitusi tidak dibayarkan harus diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan.34
Tia Novalianti berpendapat berdasarkan besaran restitusi yang harus dibayar yaitu Rp.10.000.000 dan lamanya kurungan pengganti 1 (satu) bulan sangatlah cepat kemudan terdakwa berfikir berdasrkan penghasilan terdakwa Fitriani satu bulan yang tidak sebesar itu dan ada alternatif maka terdakwa lebih memilih untuk menggantinya dengan kurungan.35
Ketidak jelasan dasar hukum eksekusi putusan hakim yang memberikan restitusi kepada korban tindak pidana perdagangan orang memberikan peluang lebar sehingga tidak terlaksanannya pembayaran restitusi kepada korban seperti aturan-aturan pelaksanaan yang tidak
34 Salinan putusan Nomor
1633/PID.B/2008/PNTK
35 .hasil wawancara di kejaksaan negeri
ada dan adanya subsider. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 48 Ayat 1 mengatakan setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi dan dalam Pasal 50 ada 4 Ayat yang mengatur tentang pelaksanaan eksekusi putusan hakim. Dalam dakwaan jaksa terdakwa di tuntut Rp 10.000.000 dengan subsider 2 bulan kurungan dan hakim mengabulkan Rp.10.000.000 dengan subsider 1 bulan kurungan yang akhirnya pada kenyataannya hanya di lakukan subsider 1 bulan kurungan.36
Pasal 50 Ayat 4 mengatakan jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun, maroni berpendapat ketentuan ini adalah ketentuan subsider, ketentuan yang lahir untuk mengantisipasi jika terdakwa memang benar-benar tidak mampu membayar denda terhadap putusan hakim yang berkekuatan inkracht,
tetapi juga adanya subsider ini harus didukung dengan aturan pelaksana yang jelas, dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada Pasal 50 Ayat 4 tidak jelas tentang aturan pelaksananya dalam hal subsider ini tidak ada rasionalisasi tentang subsidernya yang justru akan membingungkan para penegak
hukum dalam melakukan
eksekusinya memang subsider itu didalam hukum pidana harus ada supaya mengakomodir terdakwa yang tidak mampu membayar karena
36 ibid
justru pelaku tindak pidana adalah kalangan ekonomi kebawah yang melakukan perbuatan pidana karna faktor ekonomi, tetapi tidak menutup kemungkinan pelakunya adalah orang ekonomi kelas atas ataupun badan hukum maka dari itu idealnya para penegak hukum dalam melaksanakan eksekusi restitusi harus menelusuri terlebih dahulu dan membuktikan jika benar memang terdakwa tidak mampu membayar
dan mengeksekusi dengan
subsider.37
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasab Tindak Pidana Perdagangan Orang tentang aturan pelaksana eksekusi menurut Edy Rifai mempunyai kelemahan yang perlu adanya sebuah revisi dalam hal ini yang terutama adalah Pasal 50 Ayat 4 yang perlunya ada revisi supaya mendukung pelaksanaan restitusi yaitu bagaimana hukum harus memberikan ketegasan supaya subsider adalah pilihan terakhir yang diambil jika harta benda terdakwa tidak mampu lagi membayarkan denda, jika harta benda terdakwa
masih memungkinkan untuk
membayar restitusi maka penegak hukum harusnya melakukan terlebih dahulu upaya pembayaran restitusi kepada korban oleh terdakwa, pada kenyataanya aparat penegak hukum tidak memprioritaskan pembayaran restitusi dan menjalankan seperti bunyi undang-undang, maka dari itu perlu adanya penambahan frasa dalam Pasal 50 Ayat 4 yaitu jika penuntut umum sudah membuktikan harta benda pelaku tidak mencakup
37 Hasil wawancara dari Dr.Maroni,SH,MH
untuk membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.38
2. Faktor penegak hukum
Penegak hukum dalam sistem peradilan pidana terbagi menjadi 4 yaitu kepolisian,kejaksaan,
pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan, sebagai suatu sistem, cara kerja sistem peradilan pidana didukung oleh keempat komponen tersebut yang tercermin dalam hukum acara pidana Indonesia yang pada saat ini berpatokan kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 atau KUHAP. 39
Tahap eksekusi penegak hukum yang mengawasi dan melakukannya adalah kejaksaan dan kehakiman. Proses eksekusi adalah proses terkakhir setelah putusan hakim
inkrach. Sebelum putusan inkrach proses persidaangan adalah faktor penghambat pelaksanaan eksekusi yaitu dalam tahap penuntutan. Tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa penuntut umum menentukan juga terhadap eksekusi. Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya
mempunyai
kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus
dapat berkomunikasi dan
mendapatkan pengertian dari golongan sasaran (masyarakat), disamping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat
38 Hasil wawancara dengan Dr.Edy Rifai, SH
MH Dosen bagian hukum pidana Fakultas Hukum UNILA pada senin, 19 februari 2018 pukul 10.20-10.58
39 O.C. kaligis, Antologi tulisan ilmu hukum
Jilid 2, alumni bandung 2007, hlm 307
diterima oleh mereka. Selain itu, maka golongan panutan harus harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan pastisipasi dari golongan masyarakat luas. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru serta memberikan keteladanaan yang baik.40
Perkara Tindak pidana perdagangan orang menurut Yusenidar penuntutan restitusi harus disesuaikan dengan kemampuan korban supaya korban bisa membayarnya tanpa harus menggantinya dengan kurungan kadang-kadang jaksa penuntut umum tidak memperhatikan kemampuan
financial dan memperhatikan aset yang dimilik terdakwa jadi dalam hal ganti kerugian terdakwa tidak mampu membayarnya sehingga lebih memilih kurungan contohnya dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 terdapat 2 denda yaitu denda terhadap negara dan korban dalam perkara atas nama fitriani penuntut umum menuntut dengan 2 denda yaitu denda sebesar Rp 120.000.000 dan restitusi sebesar Rp.10.000.000 dari dendan tersebut jaminan apa yang dimiliki jaksa penuntut umum agar terdakwa membayar denda tersebut seharusnya jaksa juga memperhatikan hal ini dalam melakukan penuntutan.41
Tingkat penyidikan di kepolisian seharusnya penyidik menelusuri
40 Budi rizky dan Rini fathonah, studi
lembaga penegakan hukum (SLPH), Bandar lampung justice publisher, 2014 hlm 4 41 Hasil wawancar dengan hakim pada
harta benda korban yang nantinya untuk menjamin supaya terdakwa membayar restitusi, kemudian faktor undang-undang sebelum adanya revisi bisa di tanggulangi oleh hakim yaitu dengan memperbaiki putusan tersebut yang putusan nya harus dengan bahasa menetapkan restitusi yang diambil dari harta benda terdakwa terlebih dahulu jika memang benar-benar terdakwa tidak mampu baru upaya terakhir yaitu subsider di terapkan terhadap terdakwa.42
Aspek-aspek yang mempengaruhi tidak dibayarkan restitusi dalam
perkara Nomor
1633/PID/B/2008/PNTK
berdasarkan dari pendapat narasumber ataupun literatur yang ada memang penulis tidak sepakat dengan pendapat Edy Rifai harusnya Undang-Undang nya diperbaiki dan penegak hukumnya menunggu adanya revisi undang-undang tersebut khususnya hakim harus mencantumkan dengan bahasa subsider adalah hukuman yang paling terakhir ketika benar-benar terdakwa tidak mampu membayar restitusi.
III. PENUTUP
A. Simpulan
Dari perumusan masalah yang
penulis kemukakan serta
pembahasannya baik yang
berdasarkan teori maupun data-data yang didapatkan selama mengadakan penelitian, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
42Op,cit. Hasil wawancara dengan Dr.Edy Rifai SH MH dosen Fakultas hukum UNILA.
1. Pelaksanaan pemberian restitusi sebesar dari terdakwa Fitriyani Rp.10.000.000 kepada korban Mai diana tidak terlaksana hanya digantikan kurungan penjara selama 1 bulan kurungan penjara. 2. Penghambat yang terjadi dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang memberikan restitusi terhadap korban Tindak Pidana perdagangan orang dalam
putusan nomor
1633/PID/B/2008/PNTK adalah dari:
a. Faktor hukumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang
pemberantasan Tindak pidana perdagangan orang yaitu tentang aturan pelaksanaan eksekusi restitusi yang tidak ada dasar hukum nya dan frasa Pasal 50 Ayat 4 tentang subsider yang menjadi pilihan mudah bagi terdakwa.
b. Faktor penegak hukumnya yaitujaksa penuntut umum
yang terlalu rendah
melakukan penuntutannya yaitu hanya menuntut restitusi dengan mengganti kurungan 2 (dua) bulan
penjara dan hakim
menjatuhkan hukuman
Menetapkan agar terdakwa membayar restitusi kepada saksi korban mai diana binti raja sulaiman Als Asnawi sebesar Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah), apabila restitusi tidak dibayarkan harus diganti dengan kurungan selama 1 (satu) bulan, kelemahan Undang-Undang bisa diantisipasi oleh putusan hakim dalam hal ini
menegaskan subsider adalah hukam terakhir.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka sebagai akhir dari seluruh tulisan ini, dapat diajukan saran sebagai berikut:
1. Perlunya peraturan pelaksana karena ada kekosongan hukum (vacum of law) dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 seperi jika terdakwa hanya mampu membayar setengah restitusi dari putusan hakim maka
bagaimana perhitungan
subsidernya selama ini belum ada regulasinya maka dari itu perlu secepatnya dibentuk aturan pelaksana.
2. Seharusnya Sesuai dalam Pasal 50 Ayat 3 “Dalam hal surat
peringatan sebagaimana
dimaksud pada Ayat 2 tidak dilaksanakan dalam waktu 14 hari pengadilan memerintahkan penuntut umum menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran
restitusi” sesuai isi pasal tersebut
sebelum menerapkan Pasal 50 Ayat 4 pengadilan harus memerintahkan penuntut umum untuk mengupayakan pelelangan harta terpidana demi kepentingan korban agar mendaptkan restitusi dalam eksekusinya dalam
putusan nomor
1633/PID/B/2008/PN TK tidak ada upaya seperti amanat Pasal 50 Ayat 3.
3. Mendorong pemerintah
melakukan revisi pada pasal 50 Ayat 4 di tambah menjadi “dalam hal ini penuntut umum harus membuktikan bahwa benar harta
benda terdakwa tidak cukup
untuk membayar restitusi”
supaya hukuman pengganti (subsider) dalam Pasal 50 Ayat 4 tidak menjadi alasan dan
menutamakan pembayaran
restitusi.
Daftar Pustaka
A.BUKU
Arif, Barda. Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Bakti, Bandung.
Fathonah Rini dan Rizky Budi, 2014
Studi lembaga penegakan hukum (SLPH) Justice publisher, Bandar lampung
Hamzah, Andi. 2008. hukum acara pidana indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Kuffal, penerapan KUHAP dalam praktik hukum, UMM pres: Edisi kelima(revisi),
2004,
Marpaung, Leden. 2012 . Asas-teori-praktik hukum pidana. Sinar grafika, Jakarta
Muladi. 1997. Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, Sebagaimana dimuat dalam Kumpulan Karangan Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang.
hukum Indonesia,Genta Publishing, Yogyakarta.
Rahardjo, Satjipto. 2006 Ilmu Hukum cetakan keenam. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rizki.Budi dan Gustiniati.Diah.2014
Azaz-Azaz dan pemidanaan hukum pidana di Indonesia. Justice Publisher.Bandar Lampung
Salim, HS. 2010. Perkembangan teori dalam ilmu hukum,Raja Grafindo PersadaJakarta,
Sianturi dan Kanter 1982. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia
dan Penerapannya,Alumni Ahm-Pthm, Jakarta
Sokanto, Soerjono. 1999. Pengantar
Penelitian Hukum, UI Press,
Jakarta.
Sunarso, Siswanto, 2012, Viktimologi dalam sistem peradilan pidana, sinar grafika, jakarta
Prakoso djoko, 1984, masalah pemberian pidana dalam teori dan praktek peradilan,
jakarta:Ghalia Indonesia.