commit to user
KESETARAAN GENDER DALAM PEMBAGIAN KERJA
PEGAWAI DI TAMAN KANAK-KANAK
Oleh :
ENY PUTRIYANI
D0307007
SKRIPSI
Disusun untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
MOTTOBebas bukan berarti melakukan hal-hal yang kau suka,
jadilah tuan atas dirimu sendiri
Kehidupan adalah petualangan yang hebat,
atau sama sekali bukan apa-apa (Helen Keller)
Kebahagiaan adalah sesuatu yang berasal dari dirimu,
commit to user
PERSEMBAHANSetiap detak nadi dan nafas yang kuhembuskan, dan setiap detik waktu di kehidupanku
Hanya kepada Allah aku berserah diri
Terima kasih untuk cinta dan kasih sayang yang tiada henti, doa dan harapan-harapan yang selalu diberikan kepadaku.
Bapak Ibu Sunarjo yang telah membesarkanku, serta adikku tersayang Nur Ariffin
Doa, dukungan dan kesabaran yang tak ada hentinya dari seseorang yang selalu menyayangiku.
Terima kasih Yogo D Nugroho
Teman-teman dan sahabat yang mewarnai hidupku.
commit to user
KATA PENGANTARAssalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirabbil’alamin puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan anugerah dan bimbingan-Nya yang luar biasa
sehingga penulis mendapatkan kelancaran dalam melakukan penelitian dan
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kesetaraan Gender dalam Pembagian
Kerja Pegawai di Taman Kanak-Kanak” ini. Sholawat serta salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Pembagian kerja yang ada di taman kanak-kanak menjadi hal menarik
bagi penulis untuk mengangkatnya kedalam skripsi. Adapun skripsi ini penulis
susun sebagai syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Sosial dari Jurusan
Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Prof. Drs. Pawito, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Dr. Bagus Haryono, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Drs. T. A. Gutama, M.Si selaku pembimbing akademik dan pembimbing
skripsi yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam
commit to user
5. Dr. Mahendra Wijaya, MS dan Dra. Rahesli Humsona, M.Si selaku
motivator, terima kasih untuk nasehat-nasehat yang diberikan.
6. Ibu Titiek Sugiyati, M.Pd selaku kepala sekolah TK Islam Teladan
Tarbiyatul Banin II yang telah memberikan izin kepada penulis dalam
rangka melakukan penelitian.
7. Bapak-Ibu pegawai TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II yang telah
bersedia menjadi responden dalam penelitian yang penulis lakukan.
8. Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, adik yang tak henti-hentinya memberikan
dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Keluarga besar yang selalu
memberikan pelajaran berharga untukku.
9. Yogo D Nugroho, terima kasih untuk dukungan dan kesabaran yang tak
pernah habis untukku.
10. Sahabat Coffee Break Community (CBC) tercinta, Mami Inge, Bunda Cista,
Tante Arum, Dedek Yustina, dan Epen, terima kasih untuk kasih sayang
dan support kalian selama ini. menjadi tempat mencurahkan isi hati.
11. Keluarga Virgo tersayang, Desi, Bebenk, Ahong, Yolanda, Nita, Rendy,
terima kasih untuk bantuan dan dukungan kalian. Canda tawa dan
kebersamaan kita akan selalu kurindukan.
12. Saudara-saudara seperjuangan di Pondok Kemuning, Ninda, Diah, lanjutkan
perjuangan kalian. Jeng Lian, aku segera menyusul langkahmu. Adek-adek
ceriwis Dinar, Nita, Anggun, Dita, terima kasih untuk keceriaan kalian yang
menghidupkan rumah ini.
13. Teman-teman magang, Panjul, Lody, Tangguh, Sigit, terima kasih untuk
kerjasama kalian.
14. Teman-teman seperjuangan Sosiologi angkatan 2007 yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu, aku akan selalu merindukan kebersamaan kita.
15. Teman-Teman HIMASOS yang menjadi tempatku berproses dan
commit to user
16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih
banyak untuk segala bantuan dan dukungan yang diberikan dalam
penyusunan skripsi ini.
Penulis telah berusaha untuk sempurnanya skripsi ini, tetapi keterbatasan
kemampuan penulis maka skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu
kritik dan saran dari berbagai pihak akan penulis terima dengan sepenuh hati
demi perbaikan tulisan yang akan datang.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para
pembaca dan penulis khususnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, Oktober 2011
Penulis,
commit to user
DAFTAR ISIHalaman Judul………... i
Halaman Persetujuan………... ii
Halaman Pengesahan………... iii
Halaman Motto……….. iv
Halaman Persembahan………... v
Kata Pengantar………... vi
Daftar Isi……… ix
Daftar Tabel………... xvi
Daftar Bagan………... xvii
Daftar Matrik………... xviii
Abstrak………... xix
BAB I PENDAHULUAN………... 1
A. Latar Belakang………... 1
B. Rumusan Masalah………... 8
C. Tujuan Penelitian………... 8
1. Tujuan Operasional……… 8
2. Tujuan Fungsional………... 9
D. Manfaat Penelitian………. 9
1. Manfaat Praktis………... 9
2. Manfaat Teoritis………. 10
E. Tinjauan Pustaka……….... 10
F. Definisi Konseptual………... 17
1. Gender………... 17
1.1. Definisi Gender………... 17
1.2. Ketimpangan Gender………. 20
1.3. Kesetaraan Gender………... 23
2. Pembagian Kerja……… 26
commit to user
4. Taman Kanak-Kanak………... 28
G. Landasan Teori………... 30
1. Teori Struktural Fungsional……… 31
2. Kerangka Kerja Harvard (Harvard Framework)……… 34
2.1. Pengertian………... 34
2.2. Kegunaan………... 35
H. Kerangka Pemikiran………... 37
I. Metode Penelitian………... 37
1. Lokasi Penelitian……… 37
2. Jenis Penelitian………... 38
3. Jenis Data………... 39
a. Data Primer………... 39
b. Data Sekunder………... 39
4. Teknik Pengumpulan Data………. 40
a. Observasi………... 40
b. Wawancara………... 40
c. Dokumentasi………. 41
5. Teknik Pengambilan Sampel………... 41
a. Populasi……… 41
b. Sampel………... 41
c. Responden……… 42
d. Informan………... 43
6. Validitas Data………. 43
7. Teknik Analisis Data………... 44
a. Reduksi Data……… 44
b. Penyajian Data………... 44
c. Penarikan Kesimpulan………... 45
8. Teknik Analisis Gender………... 46
BAB II DESKRIPSI LOKASI………... 52
A. Gambaran Umum………... 52
commit to user
2. TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II………... 53
2.1. Letak Geografis………... 53
2.2. Sejarah dan Perkembangannya………... 54
B. Visi, Misi Dan Tujuan……… 56
1. Visi………. 56
2. Misi………. 56
3. Tujuan………. 57
C. Struktur Organisasi Dan Pembagian Kerja……… 57
1. Yayasan Ya-Islami………. 58
2. Kepala Sekolah………... 60
3. Komite Sekolah………... 60
4. Dewan Guru………... 61
5. Tata Usaha………... 61
6. Karyawan……… 61
D. Prasana Dan Fasilitas………. 62
1. Pegawai………... 62
2. Perpustakaan………... 64
3. Mushola………... 64
4. Ruang Aula………. 64
5. Sarana Bermain………... 65
6. Sarana Kesenian………. 65
E. Tata Aturan……… 66
1. Tata Tertib Guru………. 66
2. Tata Tertib Karyawan………. 67
3. Tata Tertib Anak Didik………... 68
4. Tata Tertib Orangtua/Wali Siswa dan Pengantar………... 69
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS GENDER………... 71
A. Hasil Penelitian………... 71
1. Profil dan Karakteristik Sosial Pegawai di TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II……… 71
commit to user
1.2. Profil Informan………... 75
1.3. Karakteristik Sosial Pegawai……….. 75
a. Pendidikan ………. 76
b. Lama Bekerja ………. 76
c. Jabatan ………... 76
2. Kesetaraan Gender dalam Pembagian Kerja Pegawai di TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II……… 77
1. Profil Aktivitas………. 78
1.1. Aktivitas Produksi………. 78
1.1.1. Guru ………... 78
a. Mengajar di Kelas………... 78
b. Menyiapkan Keperluan Mengajar………... 80
c. Mendampingi Siswa………... 81
d. Bimbingan Penyuluhan Siswa………... 82
e. Penilaian Proses Belajar Siswa……….. 83
f. Studi Banding………... 84
g. Menerima Siswa Baru……… 85
1.1.2. Staf Tata Usaha ……….. 85
a. Mengumpulkan Pembayaran Sekolah Siswa.. 85
b.Melengkapi Keperluan Administrasi ………. 86
c.Menerima Siswa Baru ……… 87
1.1.3. Karyawan ………... 87
a. Membersihkan Lingkungan Sekolah ………. 87
b.Menjaga Keamanan Sekolah ……….. 88
c.Mendampingi Siswa ………... 89
1.2. Aktivitas Reproduksi………. 89
1.2.1. Guru ……… 90
a. Pelaksanaan Peraturan……… 90
b. Kesejahteraan Pegawai……….. 91
c.Rapat Intern ..……….. 93
commit to user
1.2.2. Staf Tata Usaha ……….. 94
a. Pelaksanaan Peraturan……… 94
b. Kesejahteraan Pegawai……….. 94
c.Rapat Intern ..……….. 95
d. Pembinaan……….. 95
1.2.3. Karyawan ………... 95
a. Pelaksanaan Peraturan……… 96
b. Kesejahteraan Pegawai……….. 96
c. Pembinaan……….. 97
1.3. Aktivitas Sosial Kemasyarakatan………... 97
1.3.1. Guru ……… 97
a. Menghadiri Upacara Kematian……….. 98
b. Peringatan Hari Besar……… 98
c. Bantuan Korban Bencana Alam……… 99
d. Bergabung dengan KKG dan IGTKI………. 100
1.3.2. Staf Tata Usaha ……….. 101
a. Menghadiri Upacara Kematian……….. 101
b. Peringatan Hari Besar……… 102
c. Bantuan Korban Bencana Alam……… 102
1.3.3. Karyawan………... 103
a. Menghadiri Upacara Kematian……….. 103
b. Peringatan Hari Besar……… 103
c. Bantuan Korban Bencana Alam……… 104
2. Profil Akses dan Kontrol/Manfaat………. 104
2.1. Guru ... 105
a. Pendapatan ... 105
b. Pendidikan ... 106
c. Bangunan Fisik ... 107
d. Peralatan Kantor ... 107
e. Kendaraan ... 108
commit to user
a. Pendapatan ... 109
b. Pendidikan ... 109
c. Bangunan Fisik ... 110
d. Peralatan Kantor ... 110
e. Kendaraan ... 110
2.3. Karyawan ... 111
a. Pendapatan ... 111
b. Pendidikan ... 112
c. Bangunan Fisik ... 112
d. Kendaraan ... 112
3. Faktor-Faktor yang Berpengaruh ………... 113
3.1. Guru ... 113
a. Pendidikan ... 114
b. Kebijakan ... 114
c. Lingkungan ... 115
d. Ekonomi ... 116
3.2. Staf Tata Usaha ... 116
a. Pendidikan ... 116
1. Profil Aktivitas Produksi Pegawai………. 121
2. Profil Aktivitas Reproduksi Pegawai………. 123
3. Profil Aktivitas Sosial Kemasyarakatan………. 125
commit to user
5. Faktor-Faktor yang Berpengaruh………... 129
C. Analisis Kesetaraan Gender Dalam Pembagian Kerja Pegawai Di TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II ………... 141
BAB IV PENUTUP………... 147
A. Kesimpulan……… 147
B. Implikasi……… 148
1. Implikasi Metodologis……… 148
2. Implikasi Teoritis………... 150
3. Implikasi Empiris………... 152
C. Saran………... 153
Daftar Pustaka………... xxi
commit to user
DAFTAR TABELTabel 1 Kerangka Analisis Harvard Profil Aktivitas……….. 48
Tabel 2 Kerangka Analisis Harvard Profil Akses dan Kontrol/Manfaat…… 49
Tabel 3 Kerangka Analisis Harvard Faktor-Faktor Yang Berpengaruh……. 51
Tabel 4 Tupoksi Komite Sekolah TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II ….. 60
Tabel 5 Distribusi Pegawai di TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II ……... 62
Tabel 6 Profil Aktivitas Produksi ……… 121
Tabel 7 Profil Aktivitas Reproduksi ……… 123
Tabel 8 Profil Aktivitas Sosial Kemasyarakatan ………. 125
Tabel 9 Profil Akses dan Kontrol/Manfaat ………. 127
Tabel 10 Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Guru……… 129
Tabel 11 Faktor-Faktor yang Berpengaruh padaStaf Tata Usaha ……… 133
Tabel 12 Faktor-Faktor yang Berpengaruhpada Karyawan ………. 136
Tabel 13 Pembahasan Profil Aktivitas Produksi, Reproduksi, Sosial
Kemasyarakatan, dan Profil Akses dan Kontrol/Manfaat …………..
commit to user
DAFTAR BAGANBagan 1 Teknik Analisis Data………. 45
commit to user
DAFTAR MATRIKMatrik 1 Karakteristik Pegawai di TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II… 77
commit to user
ABSTRAKEny Putriyani, D0307007. 2011. Kesetaraan Gender dalam Pembagian Kerja Pegawai di Taman Kanak-Kanak (Studi Deskriptif Kualitatif mengenai Kesetaraan Gender dalam Pembagian Kerja antara Pegawai Laki-Laki dan Pegawai Perempuan di TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II Salatiga). Skripsi : Program Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Seiring dengan perkembangan zaman, jumlah perempuan yang bekerja di sektor publik semakin meningkat. Hal yang sama terjadi pada salah satu jenjang pra pendidikan dasar yaitu di taman kanak-kanak. Peminat pekerjaan pada jenjang pendidikan yang sangat terkait dengan dunia anak-anak ini mayoritas diminati perempuan, namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi para laki-laki. Tentunya diperlukan adanya pembagian kerja bagi taman kanak-kanak yang memiliki pegawai laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang menjadi latar belakang dari penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kesetaraan gender dalam pembagian kerja antara pegawai laki-laki dan pegawai perempuan di TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II Salatiga, mengetahui diskriminasi dalam sistem pembagian kerja antara pegawai laki-laki dan pegawai perempuan di TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II Salatiga, dan mengetahui bias gender yang terjadi pada pegawai laki-laki dan pegawai perempuan di TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II Salatiga.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Untuk teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling yaitu pegawai laki-laki dan pegawai perempuan di TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II Salatiga. Sampel yang digunakan berjumlah 6 orang responden dan 1 orang informan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis yang digunakan yaitu teknik analisis interaksi dan teknik analisis gender yaitu teknik analisis Harvard. Sedangkan teori yang digunakan adalah Teori Struktural Fungsional dari Talcott Parsons dan Robert K Merton.
Secara ringkas dari hasil penelitian ini dapat disampaikan bahwa pada aktivitas produksi, reproduksi, maupun sosial kemasyarakatan terdapat partisipasi dari pegawai laki-laki maupun pegawai perempuan. Namun, pada aktivitas produksi sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh pegawai perempuan. Sedangkan untuk aktivitas reproduksi dan aktivitas sosial kemasyarakatan terdapat porsi yang sama antara pegawai laki-laki dan pegawai perempuan.
Sedangkan pada profil akses dan kontrol menunjukkan bahwa pegawai laki-laki dan pegawai perempuan memiliki porsi yang sama dalam mengakses dan mengontrol sumber daya yang dimiliki. Meskipun perempuan lebih memegang peranan dalam aktivitas produksi, hal ini tidak menjadikan perempuan sepenuhnya menguasai sumber daya yang dimiliki.
commit to user
ABSTRACTEny Putriyani, D0307007. 2011.Gender Equality in the Civil Division of Labor in kindergarten (Descriptive Qualitative Study on Gender Equality in the Civil Division of Labour between Men and Women Employees in TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II Salatiga). Thesis: University Degree Program Eleven March Surakarta.
Along with time, the number of women employed in the public sector is growing. The same thing happened with one of the basic level of education in pre-school kindergarten. Interest in the work of the educational level of women were closely linked to the children's world controlling stake, but this should not preclude men. Of course, the Division of labor required for the kindergarten, which the male and female staff. It is in this context the study.
The purpose of this study was to determine gender equality in the division of labor between male employees and female employees in the TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II Salatiga, aware of discrimination in the system of division of labor between male employees and female employees in TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II Salatiga, and knowing gender bias that occurs in male employees and female employees in the TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II Salatiga.
The research method used is descriptive qualitative. Purposive sampling technique for sampling of male employees and female employees in the TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II Salatiga. The sample used amounted to 10 respondents. Data collection techniques used were observation, interviews, and documentation. Analysis techniques using interaction analysis techniques and analysis techniques that gender analysis techniques Harvard. While the theories used are the Structural Functional Theory of Talcott Parsons and Robert K Merton.
In the summary of the results of this study could be presented that the activities of production, reproduction and social participation of the staff of the male and female employees. Nevertheless, the production activity of most of the work performed by women staff. With regard to reproduction and social activity Is equally among male and female members of staff.
While the profile of access and control showed that employed men and women employees have the same part in access to and control over resources. Although more women play an important role in production activities, this does not make a woman in full possession of resources.
commit to user
DAFTAR PUSTAKAArikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Rineka Cipta : Jakarta.
Budiman, Arief. 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual. PT. Gramedia :
Jakarta.
Depdikbud. 1990. Peraturan Pemerintah RI No. 27 tahun 1990 tentang Pra
Sekolah. Jakarta.
Depdikbud. 1994. Garis-Garis Besar Pedoman Pengajaran di Taman
Kanak-Kanak. Balai Pustaka : Jakarta.
Depdikbud. 1996.Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional
Guru dan Angka Kreditnya. Jakarta.
Effendi, T.N. 2001. Peran Perempuan dalam Pembangunan Ekonomi. Dalam
Nursyahbani Katjasungkana dkk, Potret Perempuan : Tinjauan Politik,
Ekonomi, Hukum di Zaman Orde Baru. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka
Pelajar : Yogyakarta.
Handayani, Trisakti. 2008.Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: UPT
Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1993.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka : Jakarta.
Moleong, Lexi J. 1998.Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya :
Bandung.
Mosse, Julia Cleves. 1997. Gender dan Pembangunan. Pustaka Pelajar :
Yogyakarta.
Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George. 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. PT.
commit to user
Saptiani, R. 1991. Menuju Kemandirian Perempuan : Persoalan Buruh
Perempuan Industri dalam Kemandirian Perempuan Indonesia. Puslit
KSW UNIBRAW : Malang.
Setneg. 2000. Instruksi Presiden RI Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Sekretariat
Negara : Jakarta.
Slamet, Y. 2006. Teknik Pengambilan Sampel untuk Penelitian Kualitatif dan
Kuantitatif. Surakarta.
Soekanto, Soerjono. 1990.Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press : Jakarta.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia : Jakarta.
Suryadi, Ace & Ecep Idris. 2004. Kesetaraan Gender (Dalam Bidang
Pendidikan). PT. Genesindo : Bandung.
Sutopo, HB. 2002.Metodologi Penelitian Kualitatif. UNS Press: Surakarta.
Wolf, Naomi terjemahan Omi Intan Naomi. 1999. Gegar Gender : Kekuasaan
Perempuan Menjelang Abad 21. Pustaka Semesta Press : Yogyakarta.
Jurnal :
Partini, “Potret Keterlibatan Perempuan Dalam Pelayanan Publik di Era
Otonomi Daerah”,Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 7/Maret 2004,
hal. 323.
Jurnal Internasional :
Mayra Buvinic, Andrew R. Morrison, A., Waafas Ofosu-Amaah, and Mirja
Sjoblom, “Equality for Women: Where Do We Stand on Millennium
Development Goal 3?”, Contemporary Sociology: A Journal of Reviews,
2010, hal. 424. http://csx.sagepub.com/content/39/4/436 (diakses pada
Rabu, 20 April 2011).
Torben Iversen dan Frances Rosenbluth, “The Political Economy of Gender:
Explaining Cross-National Variation in the Gender Division of Labor and
commit to user
No. 1/January 2006, hal. 4. http:/www.people.fas.harvard.edu (diakses
pada Kamis, 21 April 2011).
Laporan Penelitian :
Ir. Suyanto, M.Kes., Analisis Kesenjangan Gender pada Aspek Kebijakan,
Kurikulum dan Sumber Daya Manusia pada Pendidikan Taman
Kanak-Kanak (TK) Studi di Kota Semarang Jawa Tengah (Pusat Penelitian
Gender Universitas Diponegoro, 2004).
Skripsi :
Lesamana, Angga. 2008. Kesetaraan Gender dalam Pembagian Peran dan
Tugas Pegawai Rutan Boyolali.
Rahajeng, Siti Andewi. 2006.Pembagian Kerja Berdasarkan Gender.
Data Internet :
Solahuddin, Gazali. Guru Pria Di TK, Mengapa Tidak?
http://www.sweetie’ssite.multiply.comdiakses pada Senin, 11 April 2011.
Wongso, Hervinny.Mendobrak Stigma Genderhttp://www.mediaindonesia.com
diakses pada Minggu, 10 April 2011.
Rahima, Swara. Perempuan Bekerja, Dilema Tak Berujung ?
http://www.scribd.com diakses pada Minggu, 10 April 2011.
Konsep Dasar Gender http://www.file.upi.edu diakses pada Kamis, 14 April
commit to user
BAB IPENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hampir semua kebudayaan di dunia menempatkan perempuan pada
posisi subordinat laki-laki. Terlebih lagi di dunia yang didominasi oleh
budaya patriarkhi, menjadi sulit bagi perempuan untuk memiliki
kesempatan yang sama dengan laki-laki.
Sejalan dengan perkembangan teknologi serta globalisasi terjadi
perubahan tuntutan peran pada wanita, dimana wanita mulai masuk kedalam
peran sosial, seperti mereka melakukan sosialisasi dengan cara keluar
rumah, mengaktualisasikan diri, serta mereka mulai terjun ke dalam
berbagai aktivitas ataupun berbagai macam bentuk kegiatan, bahkan ada
yang terjun ke dalam dunia kerja untuk mengembangkan pendidikannya
serta potensi yang dimilikinya. Bahkan saat ini banyak diantara mereka
yang mulai mencapai posisi penting atau posisi tinggi didalam pekerjaan
mereka. Akan tetapi di lain sisi bagi wanita yang berpandangan tradisional
atau feminim akan tetap merasa bahwa mereka harus bertanggung jawab
terhadap anak, suami, urusan rumah tangga, urusan keluarga, dan lain
commit to user
Tantangan kemajuan dan globalisasi tersebut mengharuskan kita
melihat peranan laki-laki dan perempuan dalam satu tatanan mitra
kesejajaran yang saling mengisi. Walaupun kita melihat perbedaan biologis
antara laki-laki dan perempuan tetapi kita harus dapat melihat perbedaan
gender yang stereotipe-nya tidak sesuai lagi dengan perkembangan
masyarakat sekarang. Ideologi yang berdasarkan gender ini mempunyai
dampak langsung atas jenis dan nilai pekerjaan yang dilakukan oleh
perempuan, pada umumnya kaum perempuan diposisikan sebagai pekerja
utama sektor domestik yang tidak dibayar dan laki-laki di sektor publik.
Adanya diskriminasi gender di dunia kerja baik sektor formal maupun
informal menjadi kenyataan yang harus dihadapi perempuan. Julia Cleves
Mosse, menyatakan bahwa salah satu ideologi yang paling kuat menyokong
perbedaan gender adalah pembagian dunia kedalam wilayah publik dan
privat. Wilayah publik yang terdiri atas pranata publik, negara,
pemerintahan, pendidikan, media, dunia bisnis, kegiatan perusahaan,
perbankan, agama dan kultur di hampir semua masyarakat di dunia ini
didominasi laki-laki.1
Stereotipe peran gender menjadi salah satu faktor penghambat bagi
perempuan untuk memilih jenis pekerjaan maupun mengembangkan karier
di sektor publik. Jika perempuan pada strata menengah ke bawah, bekerja di
sektor publik kebanyakan atas dasar dorongan kebutuhan ekonomi.
Sedangkan bagi perempuan di kelas menengah ke atas, bekerja bagi mereka
1
commit to user
adalah bagian dari aktualisasi diri. Hal ini selain terkait dengan semakin
terbukanya peluang bagi perempuan untuk memasuki sektor-sektor yang
pada awalnya diperuntukkan hanya untuk laki-laki. Semakin banyaknya
perempuan berpendidikan yang berkeinginan untuk aktif di sektor publik
merupakan konsekuensi logis dari pembukaan peluang yang lebih besar bagi
anak perempuan untuk bersekolah.
Persoalannya, generalisasi bahwa “semua perempuan bekerja hanya
untuk ‘membantu’ suami” atau “semua perempuan bekerja hanya sebagai
kegiatan sampingan” banyak tidak terbukti validitasnya. Bagi perempuan
miskin, dalam situasi krisis ekonomi, banyak perempuan menjadi pencari
nafkah utama keluarga atau bersama-sama suami memberikan kontribusi
finansial hingga 50% dari total penghasilan keluarga, atau bahkan lebih.
Sebenarnya pihak yang diuntungkan dalam kasus diskiriminasi upah adalah
pemilik modal yang dapat menekan biaya produksi melalui pengurangan
komponen biaya tenaga kerja.
Dalam perspektif perbandingan dengan laki-laki, perempuan di sektor
publik menghadapi kendala lebih besar untuk melakukan mobilitas vertikal
(kenaikan pangkat, posisi, jabatan) karena ideologi patriarkhis yang
dominan. Hal ini diindikasikan dengan minimnya jumlah perempuan yang
menduduki posisi pengambil keputusan dan posisi strategis lainnya baik di
sektor pemerintah maupun di sektor swasta. Meskipun persentase
perempuan lebih dari 50% dari total penduduk Indonesia, namun perempuan
commit to user
Demikian pula dapat dihitung dengan jari, jumlah perempuan yang
menduduki jabatan struktural, bupati, walikota, menteri, dll.2
Sikap mental dan perilaku masyarakat terhadap pemberian
kesempatan bagi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan perlu
ditingkatkan terutama di lingkungan masyarakat atau diluar keluarga,
mengingat bahwa setiap perilaku masyarakat pada umumnya masih
memandang perempuan tidak pantas, tidak wajar dan tidak mampu berperan
diluar lingkungan keluarga dan rumah tangga.
Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam
bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan waktu ke waktu.3Sejauh ini
persoalan gender lebih didominasi oleh perspektif perempuan, sementara
dari perspektif pria sendiri belum begitu banyak dibahas. Dominannya
perspektif perempuan sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari
solusi yang diharapkan, karena akhirnya berujung pada persoalan yang jika
bersumber dari kaum lelaki.
Jika kita ingin melihat persoalan gender secara lebih berimbang, tentu
saja, kita perlu mengkaji apa sesungguhnya yang ada di "kepala" laki-laki
tentang soal yang klasik ini. Dengan perkataan lain semestinya diperlukan
perhatian yang lebih serius tentang isu-isu gender pada laki-laki, bukan
hanya mendekati dari sisi perempuan.
2
Swara Rahima,Perempuan Bekerja, Dilema Tak Berujung ?(http://www.scribd.com). 3
commit to user
Isu gender mengemuka karena budaya suatu masyarakat yang
mengaitkan peran di masyarakat dengan jenis kelamin. Akibat dari budaya
ini timbul tindakan yang membuat suatu jenis kelamin lebih superior dari
jenis kelamin yang lain, misalnya ada pekerjaan yang khusus laki-laki dan
pekerjaan yang khusus untuk perempuan. Diskriminasi ini menimbulkan
ketidakadilan gender. Budaya dalam masyarakat biasanya juga berimbas
dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga dalam pelaksanaan
tugas-tugas pemerintah, tanpa disadari banyak mengakibatkan ketidakadilan
gender.
Kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan
perlu dibangun dalam rangka mewujudkan kehidupan yang demokratis.
Pada hakekatnya Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan dalam porsi
yang sama sebagai makhluk paling mulia dibandingkan dengan makhluk
lainnya. Dalam realitas yang ada di masyarakat gambaran mengenai kondisi
fisik antara laki-laki dan perempuan mempengaruhi konsep pembagian kerja
antara laki-laki dan perempuan.
Kuatnya persepsi masyarakat dalam mengidentikkan pekerjaan
dengan jenis kelamin tertentu ternyata masih berlaku hingga sekarang.
Pekerjaan yang kasar, menuntut daya tahan tubuh yang tinggi, keterampilan
berpikir cepat dan logis, cenderung menjadi lapangan pekerjaan laki-laki.
Sebaliknya, bidang yang menuntut kerapian, ketelitian, atau kemampuan
mengontrol diri dan emosi, dirasa menjadi kegiatan yang lebih baik
commit to user
berbagai anggapan negatif, mulai dari cowok kemayu, atau cewek tomboy.
Persepsi inilah yang kemudian membuat pelakunya mengalami kesulitan
ketika harus meyakinkan lingkungan sekitar bahwa tidak ada yang salah
dengan bidang yang ditekuni.4
Dalam kaitannya dengan pekerjaan, pada beberapa aspek perempuan
kurang dapat berperan aktif karena kondisi dan posisi perempuan yang
dianggap kurang menguntungkan dibandingkan dengan laki-laki. Namun,
banyak kenyataan bahwa perempuan mampu bekerja di bidang pekerjaan
yang didominasi oleh laki-laki seperti polwan, kuli bangunan, dan
sebagainya. Namun, apa jadinya apabila yang terjadi adalah sebaliknya.
Terdapat kenyataan bahwa laki-laki pun ada yang bekerja di bidang yang
didominasi oleh perempuan, salah satunya yaitu di taman kanak-kanak. Hal
ini menunjukkan bahwa tidak selamanya perempuan akan terpenjara
didalam kesenjangan gender yang selalu memandang rendah dirinya.
Dari sekian banyak jenjang pendidikan yang ada, taman kanak-kanak
(TK) merupakan start of point yang harus dilalui peserta didik dalam
menempuh pendidikan formal, sebelum mereka masuk ke sekolah dasar dan
seterusnya ke sekolah lanjutan serta melanjutkan ke perguruan tinggi.
Sebagai tahap awal pendidikan formal, taman kanak-kanak (TK) menempati
posisi strategis dalam menanamkan nilai-nilai yang tidak mengandung
diskriminasi gender.
4
commit to user
Kenyataan menunjukkan, saat ini keberadaan taman kanak-kanak
(TK) semakin menjamur, seiring dengan meningkatnya kesadaran para
orangtua untuk menyiapkan anaknya sebelum memasuki gerbang
pendidikan formal sekolah dasar. TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II
merupakan salah satu taman kanak-kanak favorit di kota Salatiga.
Keberadaannya yang merupakan taman kanak-kanak berbasis Islam sedikit
banyak mempengaruhi pola pembelajaran, pengadaan tenaga pendidik,
maupun seleksi bagi para siswanya. Oleh karenanya diperlukan tenaga
pendidik maupun tenaga kerja pendukung lainnya yang memiliki potensi
unggul guna menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas.
Bila kita perhatikan, kebanyakan guru maupun pegawai di TK adalah
perempuan. Boleh jadi alasannya karena kaum perempuan sering
diidentikkan dengan kelembutan, kesabaran dan sifat mengayomi, sehingga
bisa lebih dekat dengan anak-anak kecil dibandingkan laki-laki. Akibatnya,
banyak kaum adam yang sebetulnya memiliki motivasi menjadi guru
maupun pegawai tidak memilih menjadi guru maupun pegawai di TK.
Pandangan bahwa guru TK harus perempuan sebetulnya keliru.
Sebenarnya kehadiran guru laki-laki di TK justru memberi manfaat berlipat
ganda bagi sekolah maupun anak didiknya. Pasalnya, ada kebutuhan yang
tidak bisa dipenuhi sosok guru perempuan. Terutama anak didik berjenis
kelamin laki-laki yang tidak terwakili kebutuhan dan kepentingannya.5
5
commit to user
Sama halnya di Taman Kanak-kanak (TK) Islam Teladan Tarbiyatul
Banin II Salatiga, didalamnya terdapat beberapa tenaga pendidik maupun
pegawai laki-laki.
Atas dasar hal tersebut di atas, maka peneliti memandang perlu untuk
melakukan penelitian mengenai “Kesetaraan Gender dalam Pembagian
Kerja Pegawai di Taman Kanak-kanak” guna mengidentifikasi
kemungkinan adanya kesenjangan gender diantara para pegawai.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan yang akan diambil, yaitu “Bagaimana kesetaraan gender
dalam pembagian kerja antara pegawai laki-laki dan pegawai perempuan di
TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II Salatiga?”
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Tujuan Operasional
a. Untuk mengetahui kesetaraan gender dalam pembagian kerja antara
pegawai laki-laki dan pegawai perempuan di TK Islam Teladan
Tarbiyatul Banin II Salatiga.
b. Untuk mengetahui diskriminasi dalam sistem pembagian kerja antara
pegawai laki-laki dan pegawai perempuan di TK Islam Teladan
commit to user
c. Untuk mengetahui bias gender yang terjadi pada pegawai laki-laki dan
pegawai perempuan di TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II Salatiga.
2. Tujuan Fungsional
Untuk dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak
atau instansi terkait dalam upaya meningkatkan minat laki-laki untuk
menjadi pegawai di TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II Salatiga.
D. MANFAAT PENELITIAN
Dari hasil penelitian ini, diharapkan mampu untuk memberikan pengetahuan
dan informasi mengenai :
1. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran nyata tentang
kesetaraan gender dalam pembagian kerja pegawai laki-laki dan
pegawai perempuan di TK Islam Teladan Tarbiyatul Banin II Salatiga.
b. Dapat digunakan sebagai masukan bagi pihak sekolah dalam
kaitannya dengan peningkatan kualitas TK Islam Teladan Tarbiyatul
Banin II Salatiga.
c. Menjadi syarat dan tanda bagi penulis untuk menyelesaikan studi
Sarjana Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan lmu Politik Universitas
commit to user
2. Manfaat TeoritisSecara teoritis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan atau acuan untuk penelitian empiris selanjutnya.
E. TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada Taman Kanak-Kanak di
Kota Semarang tahun 2004, bahwa terdapat bias gender dan ketidaksetaraan
dalam aspek sumber daya manusia pendidikan Taman Kanak-Kanak,
dimana perempuan lebih mendominasi posisi sebagai kepala sekolah dan
guru kelas. Dari keseluruhan jumlah TK yang ada, jumlah perempuan yang
menjadi kepala sekolah (98,21%) lebih banyak dibanding laki-laki (1,79%),
dan jumlah perempuan yang menjadi guru (95,72%) lebih banyak
dibandingkan laki-laki (4,28%). Disamping itu, kebijakan pada tingkat
sekolah yang berbasis agama Islam dalam hal penerimaan guru kelas
berpotensi menyebabkan terjadinya kesenjangan gender, karena hanya
memberikan kesempatan kepada guru perempuan untuk dapat diterima
sebagai guru tetap.6
Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tulisan Partini,
menunjukkan bahwa dalam bidang pendidikan dan kesehatan yang biasanya
dikatakan sebagai perpanjangan dari pekerjaan sektor domestik, akses
perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan masih rendah.
6
commit to user
Berdasarkan temuan IRDA terbukti bahwa jumlah guru TK yang ada,
semuanya perempuan (sangat sedikit guru TK yang laki-laki), guru SD
tercatat kurang lebih 60 persennya adalah perempuan, tetapi dari jumlah
tersebut hanya sekitar 20 persen yang menjadi kepala sekolah. Dari jumlah
yang ada, akses perempuan untuk menjadi kepala sekolah masih rendah.7
Pada jurnal yang memuat tulisan Mayra Buvinic, Andrew R.
Morrison, A., Waafas Ofosu-Amaah, and Mirja Sjoblom menjelaskan
bahwa :
“Yet sociology has its own rich empirical and theoretical tradition studying the relation between women’s economic position and a bevy of outcomes, starting with Husbands and Wives (Blood and Wolfe 1960), which found that employed wives have more decisionmaking power. This clearly-presented volume is a signal achievement. But as work progresses, combining insights across disciplines will be crucial to best meet the challenges and promises of promoting gender equality and empowering women worldwide.”8
(Sosiologi memiliki caranya yang kaya akan tradisi empiris dan
teoritis yang mempelajari hubungan antara posisi ekonomi perempuan dan
sebuah perkumpulan perempuan, dimulai dengan Suami dan Istri (Blood
dan Wolfe 1960), yang menemukan bahwa istri yang bekerja memiliki yang
lebih dalam pengambilan keputusan. Hal ini jelas menunjukkan adanya
sinyal prestasi. Tapi sebagai kemajuan pekerjaan, menggabungkan wawasan
di seluruh disiplin ilmu akan sangat penting terbaik untuk memenuhi
7
Partini,loc. cit. 8
commit to user
tantangan dan janji-janji mempromosikan kesetaraan gender dan
memberdayakan perempuan di seluruh dunia).
Sedangkan pada jurnal lain yang memuat tulisan Torben Iversen dan
Frances Rosenbluth menjelaskan bahwa :
“Mainstream political economy has tended to treat the family as a unit when examining the distributional consequences of labor market institutions and of public policy. In a world with high divorce rates, we argue that this simplification is more likely to obscure than to instruct.We find that labor market opportunities for women, which vary systematically with the position of countries in the international division of labor and with the structure of the welfare state, affect women’s bargaining power within the family and as a result, can explain much of the cross country variation in the gender division of labor as well as the gender gap in political preferences.
In the latter, women are generally better able to compete on an equal footing with men in the labor market because investments in skills are mostly borne by workers rather than by employers (say, through college education) and because general skills do not depend on staying with a particular employer for a long period of time. Because firms seek to strengthen their position in the international division of labor, they will work politically to create and reinforce institutions that are designed either to protect specific skill investments or to encourage investment in portable skills. Institutions that protect private sector specific skills, such as high job security, seniority pay, and generous employer-financed benefits, tend to reinforce insider-outsider divisions, and since women are more likely to be outsiders, they are at a greater disadvantage compared to more flexible labor markets where low protection encourages investment in general skills. Furthermore, because compression of wage differentials is one way to protect investment in specific skills, some specific skills systems are characterized by high minimum wages that tend to push up the cost of daycare and other family-oriented services.
As a result of these differences, the outside options of women in general skills systems tend to be better than in specific skills systems, and so is their concomitant bargaining power. This implies that, everything else being equal, female labor market participation tends to be lower in specific skills systems.”9
9
commit to user
(Ekonomi politik utama telah cenderung memperlakukan keluarga
sebagai unit ketika memeriksa konsekuensi distribusi dari institusi pasar
kerja dan kebijakan publik. Kami menemukan peluang pasar tenaga kerja
bagi perempuan, yang bervariasi secara sistematis dengan posisi
negara-negara dalam pembagian kerja internasional dan struktur negara-negara
kesejahteraan , yang mempengaruhi kekuatan tawar perempuan dalam
keluarga dan sebagai hasilnya, dapat menjelaskan banyak variasi lintas
negara dalam pembagian kerja berdasarkan gender dan kesenjangan gender
dalam preferensi politik.
Dalam kasus terakhir, wanita umumnya lebih mampu bersaing pada
kedudukan yang sama dengan laki-laki di pasar tenaga kerja karena
investasi dalam keterampilan terutama dipakai oleh para pekerja daripada
pengusaha (misalnya melalui pendidikan tinggi) dan karena keterampilan
umum tidak tergantung pada majikan tertentu untuk jangka waktu yang
panjang.
Sebagai akibat dari perbedaan ini, di luar pilihan perempuan dalam
sistem keterampilan umum cenderung lebih baik daripada sistem
keterampilan khusus, dan sebagainya adalah kekuatan tawar atas mereka. Ini
berarti bahwa, segala sesuatu yang lain sama, partisipasi perempuan dalam
pasar tenaga kerja cenderung lebih rendah dalam sistem keterampilan
commit to user
Penelitian mengenai pembagian kerja juga dilakukan oleh Angga
Lesmana, yang melihat pada pembagian peran dan tugas pegawai Rutan
Boyolali. Dalam penelitian tersebut permasalahan yang terjadi adalah bahwa
masih terdapat kesenjangan gender dalam pembagian peran dan tugas antara
pegawai rutan laki-laki dan perempuan. Kebanyakan perempuan bekerja
pada fungsi staf, namun laki-laki terdapat di seluruh bidang tugas di Rutan
Boyolali. Karena kebanyakan perempuan hanya bekerja pada bagian staf,
kesempatan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat (dalam hal ini
tahanan dan napi) menjadi terhambat. Selain itu, keseluruhan jabatan inti
dipegang oleh laki-laki, maka kontrol perempuan menjadi sangat rendah
dalam pengambilan keputusan. Adapun faktor-faktor penyebab kesenjangan
gender disini ada beberapa faktor, yang pertama yakni budaya patriarkhi
yang masih kental. Dominasi laki-laki atas perempuan disini juga terasa
karena pegawai perempuan lebih banyak dijalankan pada fungsi staf. Kedua,
beban ganda yang diemban perempuan membuat mereka memiliki tugas
yang berat, yakni untuk melaksanakan peran domestik (pekerjaan rumah
tangga) dan peran publik (bekerja untuk mengembangkan karier). Ketiga,
subordinasi, yakni anggapan bahwa perempuan tidak penting dalam
pengambilan keputusan politik. Keempat, stereotype (pelabelan) negatif
yang diberikan kepada perempuan. Misalnya, mengapa perempuan lebih
commit to user
sosial perempuan sehingga mereka adalah makhluk yang halus dan
emosional.10
Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Siti Andewi, yang
membahas tentang pembagian kerja dan sistem pengupahan buruh tembakau
di PT Perkebunan Nusantara X Klaten justru berbeda. Dalam penelitian
tersebut bias gender tidak terjadi dalam sistem pembagian kerja, karena
buruh perempuan sangat dibutuhkan dan menjadi prioritas dalam
mengerjakan suatu jenis pekerjaan, yaitu pekerjaan yang membutuhkan
ketelitian, kesabaran dan keuletan karena dirasa paling cocok dikerjakan
oleh buruh perempuan. Dalam sistem pengupahan, kaitannya dengan
pembagian kerja berdasarkan gender tersebut tidak terdapat perbedaan
antara buruh laki-laki dan perempuan. Semua buruh mendapatkan upah
yang sama sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten. Sedangkan untuk
buruh pengawas tetap, terdapat sedikit perbedaan dalam penerimaan upah,
namun hal tersebut tidak mencerminkan bias gender karena semua buruh
pengawas tetap di gudang adalah perempuan.11
Antropolog bernama Margaret Mead, dalam Male and Female
menemukan bahwa dalam masyarakat-masyarakat pra-industri, pada waktu
perempuan mulai melakukan pekerjaan-pekerjaan ‘khas lelaki’, para
laki-laki seketika menciptakan pekerjaan baru yang belum diberi label, dan
memberinya merek ‘khusus laki-laki’. Pekerjaan itu lantas dipakai untuk
10
Angga Lesmana, Kesetaraan Gender dalam Pembagian Peran dan Tugas Pegawai Rutan Boyolali, 2008.
11
commit to user
mendefinisikan mana yang ‘khas laki-laki’, mana yang ‘khas perempuan’.12
Temuan Mead ini mensugestikan bahwa perilaku semacam itu adalah
keharusan kultural, salah satu hal yang mencerminkan apa yang dirasakan
pula oleh perempuan andai lelaki menyerobot pekerjan-pekerjaan ‘khas
perempuan’. Ini akan terasa seperti pelanggaran wilayah atau kedaulatan.
Jika ini terjadi, maka tekanan jiwa yang diakibatkannya pantas direnungkan
dan bahkan mungkin juga dikasihani, ketimbang mengejek dan mengutuk
laki-laki. Bila mereka ingin berdialog agar keduanya lolos dari krisis,
mungkin perempuan memahami mundurnya, pun bila lelaki memobilisasi
diri secara habis-habisan demi menjaga kekuasaan politiknya yang mulai
keropos.
Perempuan merasa butuh membuang banyak waktu melakukan
kegiatan-kegiatan humas bagi kesetaraan, tapi tidak lagi perlu baginya untuk
mencoba meminta agar ‘pihak oposisi’ terketuk hatinya untuk menerapkan
keadilan, apa yang sudah sepantasnya diperoleh perempuan. Tak peduli siap
atau tidak, ‘masyarakat’ tidak lagi punya kekuasaan untuk mengurung
perempuan di tempat mereka semula. Sebab perempuan kini punya
kekuatan untuk menciptakan kondisi-kondisi yang mereka butuhkan dalam
mencapai kesetaraan.
Kesetaraan bukan lagi sesuatu yang dimohon dari orang-orang lain.
Pergeseran titik-berat ini menuntut perempuan agar mulai memandang diri
sebagai agen potensial bagi perubahan, dengan banyak sumber daya.
12
commit to user
Sesungguhnya, apa artinya menggagas rancangan kesetaraan apabila dalam
kenyataan perempuan sudah dari sananya berhak atas demokrasi yang
sebenarnya.
Sekaranglah saatnya bagi para perempuan, dimana
perubahan-perubahan yang nyata bagi perempuan tergantung kepada kesediaan
perempuan sendiri untuk memegang kekuasaan lengkap dengan
godaan-godaan dan tanggung jawabnya, menerapkan demokrasi dengan segenap
konflik terbuka yang ada padanya, mengguanakan uang dengan segala
kesenangan maupun bahayanya.
F. DEFINISI KONSEPTUAL
1. Gender
1.1. Definisi Gender
Diskusi gender pada umumnya berkisar pada sifat (the nature
of) hubungan antara pria dan wanita sebagai dua kelompok yang
berbeda. Wanita dan pria berbeda secara badaniah maupun
psikologis. Gender melihat perbedaan laki-laki dan perempuan dari
segi karakteristik, sikap dan perilaku masing-masing dalam konteks
sosial budaya, berbeda dengan seks yang hanya melihat perbedaan
tersebut dari sudut jenis kelamin saja.
Menurut Inpres No. 12 tahun 2000, gender adalah konsep yang
mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan
commit to user
sosial budaya masyarakat. Berdasarkan GBHN 1999, arah dari
kebijakan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan
pemberdayaan perempuan, kesetaraan dan keadilan gender di segala
aspek pembangunan. Kesetaraan gender yang dimaksud adalah
kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan
dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan dan keamanan, dan kesamaan dalam menikmati hasil
pembangunan tersebut. Sedangkan keadilan gender adalah suatu
proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan.13
Dalam istilah lain, gender adalah interpretasi mental dan
kultural terhadap pembedaan kelamin dan hubungan antara laki-laki
dan perempuan. Kadang-kadang interpretasi mental ini lebih
merupakan keadaan ideal daripada apa yang sesungguhnya
dilakukan dan dapat dilihat. Gender biasanya dipergunakan untuk
menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi pria dan
wanita. Seringkali kegiatan didefinisikan sebagai milik laki-laki atau
perempuan yang diorganisasikan dalam hubungan saling
ketergantungan.
Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal
13
commit to user
lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sedangkan laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri
merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki
yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada
perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari
sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat
yang lain.14
Sementara itu, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan Republik Indonesia mengartikan gender adalah
peran-peran sosial yang dikonstruksi oleh masyarakat, serta tanggung
jawab dan kesempatan laki-laki dan perempuan yang diharapkan
masyarakat agar peran-peran sosial tersebut dapat dilakukan oleh
keduanya (laki-laki dan perempuan).15
Dari berbagai definisi gender di atas maka dapat disimpulkan
bahwa gender adalah suatu konstruksi atau bentuk sosial yang
sebenarnya bukan bawaan lahir sehingga dapat dibentuk atau diubah
tergantung tempat, waktu/zaman, suku/ras/bangsa, budaya, status
sosial, pemahaman agama, negara, ideologi, politik, hukum, dan
ekonomi. Oleh karenanya, gender bukanlah kodrat Tuhan, melainkan
buatan manusia yang dapat dipertukarkan dan memiliki sifat relatif.
Hal tersebut bisa terdapat pada laki-laki maupun pada perempuan.
Sedangkan jenis kelamin (sex) merupakan kodrat Tuhan (ciptaan
14
Mansour Fakih,loc. cit.
15
commit to user
Tuhan) yang berlaku di mana saja dan sepanjang masa yang tidak
dapat berubah dan dipertukarkan antara jenis kelamin laki-laki dan
perempuan.
1.2. Ketimpangan Gender
Dua hal pokok yang perlu diperhatikan dalam memahami
konsep gender saati ini yaitu, ketidakadilan dan diskriminasi gender
di satu pihak, dan kesetaraan serta keadilan gender di pihak lain.
Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik
kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.16
Untuk menganalisis persoalan ketidakadilan gender, perlu
dipahami terlebih dahulu pengertian dari seks (jenis kelamin) dan
gender itu sendiri. Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan
atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara
biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa
manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki sifat seperti
berikut; laki-laki adalah manusia yang memiliki jakala (kala
menjing) dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki
alat reproduksi seperti rahim dan memproduksi sel telur. Alat-alat
tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan
laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak
bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia
16
commit to user
laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak dapat berubah dan
merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai
ketentuan Tuhan atau kodrat.17
Sebagaimana dikemukakan oleh Kerstan (1995), jenis kelamin
bersifat biologis dan dibawa sejak lahir sehingga tidak dapat
diubah.18
Bentuk manifestasi ketidakadilan akibat diskriminasi gender
itu meliputi marginalisasi, subordinasi, pandangan stereotipe,
kekerasan dan beban kerja.
a. Proses marginalisasi (peminggiran, pemiskinan) atas
perempuan maupun laki-laki yang disebabkan karena jenis
kelaminnya adalah salah satu bentuk ketidakadilan yang
disebabkan oleh gender. Contohnya, banyak pekerja perempuan
yang tersingkir dan menjadi miskin akibat program pembangunan
seperti intensifikasi pertanian yang hanya memfokuskan pada
petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari beberapa jenis
kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan
keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki oleh laki-laki.
Sebaliknya, banyak lapangan pekerjaan yang memerlukan
kecermatan menutup pintu bagi laki-laki karena anggapan bahwa
laki-laki kurang teliti dalam melakukan pekerjaan yang
memerlukan kecermatan dan kesabaran. Demikian pula banyak
17
Mansour Fakih, loc.op. cit., hal. 8. 18
commit to user
pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan, seperti
guru taman kanak-kanak, sekretaris, atau perawat, dinilai lebih
rendah dibanding pekerjaan laki-laki.
b. Subordinasi gender adalah keyakinan dan perlakuan yang
menunjukkan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih
penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin lainnya.
Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan
kedudukan dan peran perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Banyak kasus dalam tradisi, tafsir keagamaan, maupun aturan
birokrasi yang menempatkan kaum perempuan pada tatanan
subordinat.
c. Pelabelanatau penandaan (stereotipe)yang sering kali bersifat
negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Pandangan
terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya melaksanakan
pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas
domestik adalah suatu ketidakadilan gender. Label perempuan
sebagai “ibu rumah tangga” sangat merugikan mereka jika hendak
aktif dalam kegiatan laki-laki seperti politik, bisnis, atau
birokrasi.
d. Kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran
muncul dalam berbagai bentuk. Kata “kekerasan” yang
merupakan terjemahan dari “violence” artinya suatu serangan
commit to user
Pelaku kekerasan yang bersumber pada gender
bermacam-macam. Ada yang bersifat individual seperti di rumah tangga
maupun di tempat umum, ada juga yang berlangsung didalam
masyarakat dan negara.
e. Beban kerja yang merupakan diskriminasi dan ketidakadilan
gender adalah beban kerja yang harus dijalankan salah satu jenis
kelamin tertentu. Berbagai observasi menunjukkan bahwa
perempuan mengerjakan 90% dari pekerjaan rumah tangga,
sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja
di wilayah publik mereka juga harus mengerjakan pekerjaan
domestik.19
1.3. Kesetaraan Gender
Berdasarkan perspektif gender, perbedaan peran antara
laki-laki dan perempuan berakar pada ideologi gender (Gailey, 1987).
Saptiani (1991) menjelaskan bahwa ideologi gender adalah segala
aturan, stereotipe yang mengatur hubungan antara laki-laki dan
perempuan yang paling awal melalui pembentukan identitas
maskulin dan feminim.20 Diyakini bahwa secara biologis laki-laki
dan perempuan itu berbeda maka peran mereka juga harus berbeda.
Ideologi gender menyebebkan adanya pemilahan jenis pekerjaan,
19
Konsep Dasar Gender(http://www.file.upi.edu) 20
commit to user
ada pekerjaan yang cocok untuk perempuan dan jenis pekerjaan yang
hanya cocok untuk laki-laki. Perbedaan ini telah disosialisasikan
sejak lahir. Ketidakadilan ini mengejawantah dalam perilaku
masyarakat. Jadi, ikhwal ketimpangan bukan terletak pada
ketidakmampuan perempuan, tetapi lebih disebabkan ideologi,
sistem dan struktur yang bersumber dari ketidakadilan gender.21
Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi dimana
porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi,
seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat
perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki.
Wujud Kesetaraan dan Keadilan Gender adalah:
a. Akses, yaitu kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki
pada sumber daya pembangunan.
b. Partisipasi, perempuan dan laki-laki berpartisipasi yang sama
dalam proses pengambilan keputusan.
c. Kontrol, perempuan dan laki-laki mempunyai kekuasaan yang
sama pada sumber daya pembangunan.
d. Manfaat, pembangunan harus mempunyai manfaat yang sama
bagi perempuan dan laki-laki.
21
commit to user
Kesetaraan gender adalah suatu keadaan dimana terjadi
kesetaraan atau keadilan sosial antara laki-laki dan perempuan.
Kesetaraan sosial ini meliputi perlakuan yang sama antara laki-laki
dan perempuan dengan menentang subordinasi perempuan terhadap
laki-laki di lingkungan rumah tangga mereka, melawan pemerasan
dalam keluarga, menentang status yang terus menerus rendah di
tempat kerja, dalam masyarakat, serta dalam agama di negerinya dan
menentang beban ganda yang mereka tanggung dalam produksi dan
reproduksi.
Pemaknaan kesetaraan gender dalam pengertian yang umum
tersebut berarti penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam
ukuran yang setara. Orang harus mengakui bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial,
ekonomi, politik, dan budaya. Keduanya memiliki hak yang setara
dalam tanggung jawab sebagaimana dalam hal kebebasan. Dengan
demikian, kesetaraan gender merupakan penilaian yang sama yang
diberikan masyarakat atas kesamaan dan perbedaan antara
perempuan dan laki-laki, dan atas berbagai peran yang mereka
lakukan.
Konsep kesetaraan gender ini memenag merupakan suatu
konsep yang sangat rumit dan mengundang kontroversi. Hingga saat
ini belum ada konsensus mengenai pengertian dari kesetaraan antara
commit to user
yang dimaksud adalah persamaan hak dan kewajiban, yang tentunya
masih belum jelas. Kemudian ada pula yang mengartikannya dengan
konsep mitra kesejajaran antara laki-laki dan perempuan, yang juga
masih belum jelas artinya. Sering juga diartikan bahwa antara
laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam melakukan
aktualisasi diri, namun harus sesuai dengan kodratnya
masing-masing.22
2. Pembagian Kerja
Menurut Emille Durkheim yang menganalisa sebab akibat dari
pembagian kerja adalah disebabkan oleh perusahaan-perusahaan,
demografik serta akibatnya pada frekuensi interaksi antara manusia dan
pada perjuangan kompetitif untuk mempertahankan hidup, karena
penduduk bertambah perjuangan untuk hidup juga bertambah. Akibatnya,
individu secara bertahap meningkatkan spesialisasinya karena mencari
suatu jalan untuk tetap hidup. Selanjutnya karena individu berspesialisasi
maka menjadi efisien, yang memungkinkan penduduk yang lebih besar
itu dapat bertahan.23
Dalam The Division of Labour, Durkheim mengatakan bahwa
perkembangan bentuk modern dari masyarakat berasosiasi dengan
perluasan individualisme. Ini adalah suatu gejala yang jelas berkaitan
dengan munculnya pembagian kerja, yang menghasilkan spesialisasi
22
Riant Nugroho,Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, hal. 27. 23
commit to user
fungsi pekerjaan orang, dan oleh karena itu membina perkembangan
bakat-bakat spesifik, kemampuan-kemampuan dan pendirian-pendirian
yang tidak dimiliki setiap orang dalam masyarakat, tetapi yang hanya
dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu. Dikatakan Durkheim bahwa
tidak sukar untuk memperlihatkan adanya aliran-aliran kuat mengenai
ideal-ideal moral dalam abad sekarang ini, yang mengungkapkan
pendirian-pendirian bahwa kepribadian masing-masing orang sebaiknya
dikembangkan sesuai dengan sifat-sifat spesifik yang dimiliki orang itu
dan oleh karena itu tidak setiap orang harus menerima pendidikan yang
seragam. Kemudian Durkheim menambahkan bahwa pembagian kerja
tidak seluruhnya merupakan suatu gejala modern, hanya saja dalam
jenis-jenis masyarakat yang lebih tradisional, pembagian kerja belum
sempurna dan biasanya dibatasi atas dasar suatu pembagian jenis
kelamin. Suatu tingkatan atas spesialisasi didalam pembagian kerja,
terutama di bidang produksi industri modern merupakan akibat biasa.24
Mengenai pembagian kerja, Abdul Syani mendefinisikan sebagai
berikut :
“Pembagian kerja adalah suatu pemecahan tugas dengan sedemikian rupa sehingga setiap orang atau karyawan dalam organisasi bertanggung jawab dan melaksanakan aktivitas tertentu saja”.25
24
Anthony Giddens (1895), hal. 91. 25
commit to user
Dalam pembagian kerja hendaknya ada penyesuaian antara
kemampuan dan keahlian dengan jenis pekerjaan yang akan ditangani,
disamping itu harus disertai pada prosedur dan disiplin kerja yang mudah
dipahami dan dilaksanakan.
3. Pegawai
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pegawai berarti orang yang
bekerja pada pemerintah (perusahaan, dsb). Pegawai juga dapat berarti
karyawan atau anggota personalia (kantor : pekerja resmi baik negara
ataupun pemerintah).26
4. Taman Kanak-Kanak
Tap MPR RI No. 11/MPR/1993 tentang GBHN dijelaskan bahwa,
pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia. Pendidikan berlangsung seumur hidup dan
dilaksanakan sedini mungkin dan merupakan tanggung jawab keluarga,
masyarakat, dan pemerintah. Salah satu bentuk pendidikan yang
dilakukan sejak dini adalah dengan adanya Taman Kanak-Kanak (TK),
karena TK merupakan salah satu bentuk pendidikan yang disediakan bagi
anak usia 4 tahun sampai memasuki pendidikan dasar.
26
commit to user
TK sebagai bagian dari pendidikan prasekolah merupakan salah
satu dari jenis sekolah-sekolah yang ada. TK adalah jenjang pendidikan
prasekolah untuk anak-anak. TK sebagai lembaga pendidikan yang
berada di jalur pendidikan sekolah mempunyai peran yang penting
sebagai langkah awal untuk mencapai tujuan pendidikan nasional seperti
yang tertuang dalam GBHN. Tujuan TK sebagai bagian dari pendidikan
prasekolah secara khusus diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 0489/U/1992 yang berisi tujuan
pendidikan TK.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 025/O/1995, yang dimaksud dengan Taman
Kanak-Kanak adalah satu bentuk satuan pendidikan prasekolah pada
jalur pendidikan sekolah yang menyediakan pelayanan pendidikan secara
dini bagi anak usia empat tahun sampai memasuki pendidikan dasar
dengan lama pendidikan 1 (satu) atau 2 (dua) tahun.27
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia No. 0489/U/1992 dan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1990
Bab II pasal 3 menyatakan bahwa “pendidikan TK bertujuan untuk
membantu anak meletakkan dasar kearah perkembangan sikap, perilaku,
pengetahuan, ketrampilan, dan daya cipta yang diperlukan oleh anak
didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan untuk
27
commit to user
pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya”. TK didirikan sebagai
usaha mengembangkan seluruh segi kepribadian anak didik dalam rangka
menjembatani pendidikan dalam keluarga menuju pendidikan sekolah.28
G. LANDASAN TEORI
Dalam penelitian untuk mengkaji permasalahan mengenai kesetaraan
gender dalam pembagian kerja pegawai di TK Islam Teladan Tarbiyatul
Banin II, peneliti menggunakan pendekatan teori sosiologi sebagai
landasannya. Oleh karenanya perlu untuk terlebih dahulu mengetahui
definisi Sosiologi itu sendiri. Menurut Pitirin A Sorokin sosiologi
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang :
a. Hubungan antara pengaruh timbal balik antara gejala-gejala sosial
(misalnya antara gejala ekonomi dan agama, keluarga dengan moral,
hukum dengan ekonomi, dll).
b. Hubungan dan pengaruh timbale balik antara gejala sosial dengan
non-sosial.
c. Ciri-ciri umum dari semua gejala sosial.29
28
Depdikbud,Garis-Garis Besar Pedoman Pengajaran di Taman Kanak-Kanak(Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hal. 1.
29