• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS NILAI-NILAI KULTURAL PONDOK PESANTREN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS NILAI-NILAI KULTURAL PONDOK PESANTREN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY"

Copied!
193
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA ABIDAH EL KHALIEQY

SKRIPSI

Oleh:

TUTUT DWI HANDAYANI

K1206041

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

ii

KARYA ABIDAH EL KHALIEQY

Oleh:

TUTUT DWI HANDAYANI K1206041

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(3)

iii

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta, Mei 2010

Pembimbing I Pembimbing II

(4)

iv

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Hari : 18 Mei 2010 Tanggal : Selasa

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang tanda tangan

Ketua : Dra. Raheni Suhita, M. Hum. _________

Sekretaris : Dra. Suharyanti, M. Hum. __________ Anggota I : Dr. Budi Setiawan, M. Pd. _________

Anggota II : Sri Hastuti, S. S., M. Pd. __________

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Dekan

(5)

v

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Mei. 2010.

Tujuan penelitian adalah: (1) mengetahui dan mendeskripsikan proses kreatif yang dimiliki oleh Abidah Al Khalieqy dalam penulisan novel Perempuan Berkalung Sorban; (2) mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai kultur pondok pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban; (3) mengetahui relevansi nilai-nilai kultur pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban jika digunakan sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA; dan (4) mengetahui penilaian pembaca terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra karena penelitian berfokus pada resepsi pembaca terhadap karya sastra. Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren Al Quran Desa Narukan Kecamatan Kragan Kabupaten Rembang. Narasumber berasal dari pengurus dan santri yang sedang belajar di sana. Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik analisis dokumen dan teknik libat cakap (wawancara) dengan narasumber dengan menggunakan handphone sebagai alatnya. Teknik cuplikan yang digunakan adalah metode purposive sampling. Pemilihan sampel diarahkan pada sumber data yang dipandang memiliki data yang paling erat berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Proses kreatif penciptaan novel Perempuan Berkalung Sorban adalah adanya keinginan dari penulis untuk mensosialisasikan hak-hak reproduksi yang harus diketahui oleh perempuan. Penulisan novel ini dilakukan dengan kerjasama dengan Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF). (2) Pondok pesantren yang dijadikan latar dalam novel ini adalah pondok pesantren tradisional (salafi) yang masih kental dengan ajaran kitab kuning. Pengambilan setting pondok pesantren salaf dilakukan Abidah untuk menjelaskan hegemoni kekuasaan para kyai dan kitab kuning yang sangat mempengaruhi jalannya kultur dalam wilayah pondok pesantren. Nilai-nilai yang kental terdapat dalam novel tersebut adalah kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. (3) Novel Perempuan Berkalung Sorban dapat digunakan sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA karena isu dan kearifan lokal yang dimilikinya. (4) Novel ini menuai penilaian yang berbeda-beda dari kalangan pembaca. Namun, layaknya sebuah karya sastra yang bernilai adalah karya sastra yang mampu memberikan suatu hiburan sekaligus pendidikan (dulce et utile) kehadiran novel Perempuan Berkalung Sorban juga diakui pembaca mampu memberikan satu hal yang baru. Abidah El Khalieqy berani membuka hal-hal yang sudah lama ditutup-tutupi dari kalangan pondok pesantren agar masyarakat mengetahuinya.

(6)

vi

Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak dia takkan menjadi apa-apa. (Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia)

Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tetapi tidak berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.

(7)

vii

Kusuntingkan skripsi ini untuk:

1. Ibu-Bapak terkasih di rumah; anugerah terbesar yang dihadiahkan Allah SWT untukku.

2. Mak Ni; perempuan bermahkota mutiara. Simbahku tersayang yang telah membuatku merasa menjadi cucu tersayangnya.

3. Mbak Vivin, Mas Faruq, dan Dek Dian tercinta; semangat yang selalu menyala dan membuatku menjadi Adek dan Mbak yang merasa dicinta.

4. Pemuda, pemilik senyum sederhana.

5. Mardiyah, Yusuf, dan Kris; sahabat-sahabat kecilku, sahabat kehidupanku.

6. Kawan-kawanku di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Motivasi.

7. Bastind ’06; Terimakasih telah menjadi teman dan memberi kenangan yang indah selama di Solo.

(8)

viii

PERSETUJUAN…..……… ………

PENGESAHAN...iv

ABSTRAK...v

MOTTO...vi

PERSEMBAHAN...vii

DAFTAR ISI………..…...viii

KATA PENGANTAR...xi

DAFTAR TABEL...xiii

DAFTAR GAMBAR...xiv

DAFTAR LAMPIRAN...xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Pembatasan Masalah ...9

C. Perumusan Masalah...9

D. Tujuan Penelitian...9

E. Manfaat Penelitian...10

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori...12

1. Hakikat Proses Kreatif...12

2. Kebudayaan...14

a. Hakikat Kebudayaan...14

b. Unsur-unsur Kebudayaan...16

c. Perubahan Sosial Budaya...22

d. Bentuk-Bentuk perubahan Sosial Budaya...26

e. Penetrasi Kebudayaan...28

(9)

ix

b. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia...37

c. Sistem Pendidikan dalam Pondok Pesantren...40

4. Hakikat Bahan Ajar...41

a. Kriteria Bahan Ajar yang Baik...41

b. Bahan Ajar Pembelajaran Sastra...47

c. Kompetensi Dasar yang Berkaitan...50

5. Telaah Sastra...51

6. Sosiologi Sastra...55

a. Resepsi Sastra...60

b. Kritik Sastra...62

7. Profil Abidah El Khalieqy...69

B. Penelitian yang Relevan...70

C. Kerangka Berpikir...71

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian...73

B. Bentuk dan Strategi Penelitian...74

C. Bentuk dan Sumber Data...74

D. Teknik Pengumpulan Data...76

E. Teknik Cuplikan...77

F. Validitas Data...77

G. Analisis Data...78

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data………..81

B. Analisis Unsur Intrinsik Novel Perempuan Berkalung Sorban………...82

1. Tema………...82

(10)

x

6. Amanat…………...………120

7. Gaya Bahasa………...122

C. Proses Kreatif Novel Perempuan Berkalung Sorban………...123

D. Nilai-nilai Kultural Pondok Pesantren dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban………..130

E. Relevansi Nilai-nilai Kearifan Lokal Novel Perempuan Berkalung Sorban terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah...136

F. Penilaian Pembaca terhadap Novel Perempuan Berkalung Sorban...….140

BAB V PENUTUP A. Simpulan………..144

B. Implikasi………..146

C. Saran……….148

DAFTAR PUSTAKA ...150

(11)

xi

kenikmatan hidup dan kemudahan kepada hamba-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan izin penulisan skripsi;

2. Drs. Suparno, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni yang telah memberikan persetujuan skripsi;

3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan izin penulisan skripsi;

4. Dr. Budi Setiawan, M. Pd., selaku pembimbing I dan Sri Hastuti, S. S., M. Pd., selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan lancar;

5. Drs. H. Purwadi, Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa di Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS;

6. Bapak dan Ibu dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah membantu penulis selama menimba ilmu di FKIP UNS;

7. Abidah El Khalieqy, Penulis Novel Perempuan Berkalung Sorban yang berkenan untuk menjadi narasumber genetik atas novel tersebut;

8. Pengurus dan santri pondok pesantren Alquran, Narukan, Kragan, Rembang yang bersedia membantu penulis sebagai narasumber penelitian skripsi ini; 9. Ibu, Bapak, Mak Ni, Mbak Vivin, Dek Dian, Mas Faruq dan saudara di rumah

(12)

xii

11.Rose, Irna, Dewi, Andi, Vandi, Lia, Ida, Mira, Dias, Yanti, Dwi, Doni, Rika, Gancar, Dini, dan teman-teman Bastind 2006 yang menjadi satu kenangan terindah dalam perjalanan hidup;

12.Mbak Nisa, Mbak Septi, Mas Nuno, Rika, Listyawati, Dhika, Listya Putri, Tisna, Zulaihah, Kikis, Fitri, Hanif, Anjar, Jatmiko, Endah, Leoni, Duwi, Mufti, Djoko, dan kawan-kawan lainnya di LPM Motivasi yang membuatku kuat dan membantuku menemukan hakikat diriku.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun penulis harapkan untuk perbaikan. Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi para pembaca.

Surakarta, Mei 2010

(13)

xiii

Tabel 1. Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun 1942 (Survai kantor Urusan Agama)...38 Tabel 2. Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978 (Laporan

(14)

xiv

(15)

xv

Lampiran 2. Curriculum Vitae Abidah El Khalieqy...155 Lampiran 3. Wawancara dengan Abidah El Khalieqy………158 Lampiran 4. Profil Pondok Pesantren Al Quran Desa Narukan………..164

Lampiran 5. Wawancara dengan Santri Pondok Pesantren……….170 Lampiran 6. Foto Wawancara………..175 Lampiran 7. Komentar Pembaca Terhadap Novel Perempuan Berkalung

Sorban……….176 Lampiran 8. Contoh Silabus Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

kelas XI SMA...178 Lampiran 8. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Tentang Izin Menyusun Skripsi/Makalah………..202 Lampiran 9. Permohonan Izin Menyusun Skripsi………..203 Lampiran 10. Permohonan Izin Research/Try out untuk Rektor…………..…..204 Lampiran 11. Permohonan Izin Research/Try out untuk Pimpinan Pondok

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia kebudayaan diciptakan untuk mempermudah manusia dalam menjalani kehidupannya. Kebudayaan tidak akan ada tanpa manusia, sebaliknya manusia tanpa kebudayaan tidak akan bisa bertahan dalam mengarungi kehidupan.

Berdiskusi perihal kebudayaan barangkali dapat dianggap sebagai suatu perjalanan mental yang dalam. Tukar menukar pikiran yang hangat seringkali terjadi untuk mencari definisi atau makna yang tepat untuk menjelaskan hakikat kebudayaan. Diskusi dan pembicaraan yang bersentuhan langsung dengan dimensi yang berhubungan dengan aspek kehidupan akan membuat diskusi tersbut menjadi lebih dalam.

Dalam perkembangan selanjutnya, dapat disepakati bahwa pembangunan manusia dan masyarakat mengandung permasalahan kebudayaan. Kalau pembangunan manusia dan masyarakat itu dapat diibaratkan sebagai transformasi, maka proses transformasi tersebut tidak mungkin dapat lepas dari transformasi kebudayaan. Dengan kata lain, pembangunan manusia dan masyarakat tidak mungkin terjadi tanpa transformasi kebudayaan. Karena itulah kebudayaan perlu dilihat sebagai sesuatu yang dinamis dan sesuatu yang terus berkembang.

Permasalahan kebudayaan dalam sebuah masyarakat berkembang seperti halnya Indonesia relatif jauh lebih rumit daripada yang ditemui di masyarakat-masyarakat maju. Contoh sederhana saja adalah tradisi Jawa yang masih kental dengan hal-hal yang berbau klenik yang membuat segala sesuatunya semakin rumit. Persepsi-persepsi tersebut akhirnya bersifat jamak atau multi yang dipengaruhi oleh warna kebudayaan suku bangsa, nilai agama yang dianut, kebudayaan asing atau bahkan persepsi yang dipengaruhi oleh ideologi bersama, yakni Pancasila dan UUD 1945.

(17)

Adanya persepsi kebudayaan yang multi inilah yang menunjukkan kepada kita bahwa masyarakat kita masih berada dalam taraf transformasi kebudayaan. Dalam sebuah masyarakat atau bangsa yang sudah maju, masalah transformasi kebudayaan boleh dikatakan berhasil mereka selesaikan sehingga mereka bisa memiliki sebuah kebudayaan yang mantap dan mampu berkembang secara dinamis (Alfian, 1985: 21).

Sedangkan di sisi lain, karya sastra sebagai salah satu produk sebuah kebudayaan dapat dikatakan sebagai cerminan dari masyarakat tempat karya sastra itu lahir. Sebuah penelitian yang membicarakan tentang maju tidaknya atau tinggi rendahnya sebuah kebudayaan tidak hanya ditilik dari karya-karya atau tulisan ilmiah yang dihasilkannya. Tetapi, penilaian tentang hal tersebut dapat juga dilakukan dengan melihat karya-karya sastra yang dihasilkan oleh masyarakat yang bersangkutan. Hal tersebut karena bahasa adalah satu unsur yag tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan suatu masyarakat. Bahasa adalah cermin dari sebuah kultur masyarakat. Begitu sering diistilahkan.

Karena itulah, tidak perlu harus terjun masuk ke dalam masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui kebudayaan suatu masyarakat. Penelitian dapat dilakukan dengan cara menggali karya-karya fiksi, seperti buku-buku sastra atau novel. Suatu hal yang dapat dimengerti bahwa karya sastra fiksi merupakan suatu produk kehidupan yang banyak mengandung nilai-nilai sosial, politis, etika, religi, filosofis. Seorang pengarang mempunyai banyak kemungkinan untuk dapat mempengaruhi suatu kebudayaan masyarakat tertentu dibalik karya sastra yang diciptakannya. Kemungkinan tersebut misalnya pengarang mengubah pola pikir masyarakat. Sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial yang mungkin atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.

(18)

baik itu yang bersifat rekreatif maupun edukatif. Karya sastra yang baik juga bisa menggambarkan bagaimana hubungan antarmanusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Ini karena dalam karya sastra seharusnya terdapat ajaran moral, sosial sekaligus ketepatan bahasa dalam pengungkapan karya sastra.

Hal inilah yang membuat perkembangan sastra tidak bisa dipisahkan dengan pola kehidupan dan pola pikir masyarakatnya. Cara masyarakat untuk hidup dan bertingkah laku dalam kehidupan sosial mereka bisa sangat mempengaruhi seorang penulis dalam merefleksikan pemikirannya tentang suatu masalah yang kemudian bisa diwujudkan dalam suatu kreasi yang kemudian layak disebut sebagai suatu karya sastra. Dan hal yang serupa juga terjadi pada perkembangan sastra di Indonesia.

Perkembangan sastra di Indonesia terjadi secara berkelanjutan dan mulai menggeliat sejak masa Balai Pustaka, sejak saat itulah mulai hadir sastrawan-sastrawan kita seperti STA, Armin Pane, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Mochtar Lubis, N.H. Dini dan menuju ke penulis-penulis masa kini seperti Cak Nun, Joko Pinurbo, sampai Habiburrachaman, Dee, dan Ayu Utami, misalnya.

Dalam perkembangannya, nama Abidah Al Khalieqy merupakan satu nama yang turut serta dalam menghiasi jejak sastra di tanah air. Lewat karya-karya yang dihadirkannya, Abidah biasa melukis kisah wanita dengan aneka perlawanannya terhadap budaya patriarki yang menurutnya masih terasa kental di negeri ini. Karya perdana yang dibukukan pada 2001 mengambil judul Perempuan Berkalung Sorban diakui membuat para pembaca mampu mengetahui sisi lain dari sebuah kehidupan dalam pesantren. Sebuah fakta yang kerap kali disembunyikan di hadapan publik diungkap secara mendetail oleh Abidah dalam novel tersebut. Karya tersebut membuat ia terpilih sebagai juara kedua dalam acara sayembara yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kala itu.

(19)

gambaran kebudayaan yang hadir di dalamnya. Hal tersebut karena sedikit banyak kehidupan masyarakat kita masih banyak dipengaruhi oleh golongan santri yang menimba ilmu di pondok pesantren. Pondok pesantren diakui sebagai tempat penggemblengan manusia menjadi manusia yang lebih baik setelah mereka keluar dari sebuah pondok pesantren. Pandangan bahwa lulusan dari pondok pesantren akan mampu menjadi tokoh dan panutan dalam masyarakat kita masih mengakar dalam paradigma masyarakat kita.

Layaknya sebuah komunitas masyarakat yang tidak dapat lari dari perubahan. Komunitas pondok pesantren pun mengalami hal yang demikian. Jika dahulu pondok pesantren dikesankan sebagai komunitas yang kolot dan ketinggalan zaman, perubahan sosial yang berlangsung saat ini perlahan memupuskan citra-citra negatif semacam itu. Hampir semua pesantren kini telah bergabung ke dalam komunitas global dan menjadi bagian dari komunitas dunia. Yang berbeda mungkin cuma takarannya saja. Yakni seberapa banyak pesantren mengadopsi dan memodifikasi berbagai kecenderungan global dalam komunitasnya (Mayra Walsh, 2002).

Sebagai sebuah lembaga keilmuan, pesantren memiliki kekhasan tersendiri yang unik dan tak dimiliki oleh lembaga keilmuan yang lain. Misalnya saja, ilmu-ilmu keagamaan tradisional di pondk pesantren pada khususnya dipelajari dengan media kitab-kitab karya ulama klasik yang di antaranya ditulis dalam bentuk puisi. Di lingkungan komunitas intelektual yang lain, bisa dikatakan bahwa tak ada model transmisi keilmuan dengan media puisi seperti di pesantren.

(20)

Di luar itu, kehidupan dalam pondok pesantren merupakan kehidupan yang cenderung tertata dengan aneka ragam aturan di dalamnya. Pondok pesantren yang dapat juga diidentifikasikan sebagai tempat menuntut ilmu sekaligus tempat istirahat - bahkan makan - mengatur segala tata cara yang dilakoni orang-orang yang hidup di dalamnya. Cara mereka makan, mandi, mengaji, bersih-bersih, atau hal-hal kecil yang lain tidak lepas dari aturan yang disorot oleh pengurus pondok pesantren. Aturan yang terkadang terlalu kolot dan kuno - bagi beberapa pondok pesantren - membuat beberapa penulis memilih keadaan tersebut sebagai salah satu sumber ide kreatif mereka untuk membuat sebuah karya sastra yang layak dinikmati pembaca.

Sebagaimana diketahui bahwa karya sastra merupakan sebuah totalitas yang dibangun oleh berbagai unsur pembangunnya. Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams, dalam Nurgiantoro 2002: 36). Strukturalisme memang sering dipahami sebagai bentuk. Karya sastra adalah bentuk (Junus, dalam Endaraswara 2003: 49). Menurut Hawkes dalam Nurgiyantoro (2002: 37) strukturalisme pada dasarnya dipandang sebagai cara berpikir tentang dunia kesastraan yang lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan benda.

Dengan demikian, kodrat setiap unsur dalam bagian sistem struktur itu baru mempunyai makna setelah berada dalam hubungannya dengan unsur-unsur yang lain yang terkandung di dalamnya. Karena itulah, secara umum analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra, seperti halnya unsur eksternal berupa pengetahuan dan pendidikan pengarang.

(21)

modal kuat baginya untuk menggambarkan kehidupan pondok pesantren dalam sebuah karya sastra.

Beberapa karyanya merupakan karya yang mendapatkan predikat Best Seller. Kemampuan menulisnya sudah mendapat pengakuan di antara penulis sastra, terutama penulis wanita. Dalam karya-karya yang dihasilkannya, Abidah sering mengangkat isu gender dengan latar kehidupan pondok pesantren atau pendidikan Islam yang lain. Ini jugalah yang menimbulkan kontroversi pada setiap hasil karya yang terbit atas namanya. Aneka ragam penilaian atas karya yang dihasilkannya muncul ke permukaan setelah tulisannya sampai kepada para penikmat sastra.

Penilaian atas karya yang diterbitkannya memang tidak lagi menjadi wewenang Abidah Al Khalieqy selaku penulis karena sebagaimana sudah diketahui bahwa penilaian sastra tidak dapat dipaksakan. Penilaian atas sebuah karya sastra dapat dipengaruhi oleh latar belakang (dapat dalam bentuk sosial atau pendidikan) penikmat sastra. Resepsi tentang sastra cenderung bersifat relatif sehingga tidak ada aturan yang baku dan larangan bagi pembaca atau penikmat sastra untuk menyatakan sebuah karya sastra itu layak atau tidak untuk dinikmati publik.

Pada beberapa karya Abidah Al Khalieqy yang mampu menjuarai beberapa sayembara sastra pun tidak lepas dari kontroversi semacam ini. Di luar kontroversi tersebut, karya-karya sastra Abidah dinilai telah berhasil membuka tabir tradisi dunia pesantren, kultur Jawa, dan budaya Arab. Sekaligus juga menawarkan paradigma baru yang lebih substansial untuk menempatkan idealitas perempuan dalam pandangan Islam. Ahmadun Yosi Herfanda bahkan menempatkan Abidah sebagai salah satu novelis terbaik di Indonesia dan novel-novelnya dapat dinilai sebagai puncak sastra Islami - bukan fiksi pop Islami (Aning Ayu, 2009).

(22)

novel dari kacamata estetika, tetapi juga memfokuskan kajian pada makna dan hubungannya dengan realitas sosial dan budaya.

Selain itu, novel Perempuan Berkalung Sorban ditulis dengan menggunakan sudat pandang aku-pengarang sebagai tokoh protagonis yang bernama Annisa. Dengan sendirinya, struktur narasi yang digunakan merupakan bagian dari pemikiran tokoh tersebut. Melalui tokoh Annisa, Perempuan Berkalung Sorban berupaya melakukan perlawanan terhadap tradisi keluarga, ustadz dan kitab-kitab yang diajarkan dalam sebuah pesantren yang diasuh oleh ayahnya sendiri. Karena itu, tidak salah jika novel Perempuan Berkalung Sorban telah dijadikan sarana bagi pengarangnya untuk mencapai tujuan tertentu yang terkait dengan perjuangan kaum feminis, baik tujuan yang bersifat ideologis maupun pragmatis.

Melalui latar sosial dan pemikiran tokoh di dalamnya, novel ini juga telah berhasil mengungkap fakta dominasi, subordinasi, dan marginalisasi yang dialami perempuan dalam ranah keagamaan. Sehingga, asumsi masyarakat terhadap posisi dikotomis perempuan yang semata-mata didasarkan pada mitos, kepercayaan dan tafsir kitab suci, senantiasa dikritik dan diluruskan kembali.

Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki kandungan ekspresi dan konsistensi fiksional untuk mengutuhkan kepribadian, kecerdasan, dan keyakinan tokoh perempuan di dalamnya. Pengutuhan itu bukan saja terbaca dari latar sosial tokohnya, Annisa, tetapi juga emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk melawan dominasi dan diskriminasi tokoh-tokoh antagonis yang bersifat patriarkis. Penggambaran posisi dan sikap tokoh perempuan tersebut juga mencerminkan adanya upaya untuk menanggapai dan mencari solusi terhadap masalah gender yang ditimbulkan oleh ketidakadilan sosial dan budaya di sekitar tokoh itu berada.

(23)

pesantren ayahnya, dan menjadi mahasiswi pada sebuah perguruan tinggi, tak putus-putusnya ia berusaha melakukan penafsiran ayat-ayat Alquran dan hadis sebagai sarana juang untuk melindungi dirinya dari penindasan laki-laki.

Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki kecenderungan pokok untuk menempatkan perempuan sebagai subjek budaya. Kecenderungan tersebut dapat dilihat melalui berbagai peristiwa yang sengaja ditampilkan oleh pengarangnya, guna mengungkap dan mengangkat eksistensi kaum perempuan untuk menemukan pengetahuan tentang hak atas tubuhnya. Memahami bagaimana cara menolak, menghindar, memberontak dan melawan terhadap dominasi kekuasaan patriarki yang dalam novel tersebut diwakili oleh dominasi kaum pria di lingkungan pondok pesantren.

Setting yang dipilih inilah yang kemudian menghadirkan penilaian yang melahirkan bermacam-macam kontroversi karena pembaca atau penikmat novel tersebut disuguhi fenomena dan gambaran yang cukup berbeda dengan yag selama ini diketahui oleh masyarakat awam. Novel tersebut menggambarkan budaya pondok pesantren yang menempatkan wanita dalam posisi “yang menjadi objek”. Satu hal yang bertentangan dengan Islam karena dalam ajarannya, Islam menempatkan wanita dalam posisi yang mulia. Sejajar dengan kaum pria. Beberapa kontroversi yang sempat hadir adalah kecaman yang hadir dari para kyai atas hadirnya novel tersebut. Para Kyai di Jawa Timur menolak penggambaran pondok pesantren seperti yang terdapat dalam novel. Kontroversi semakin menajam ketika novel tersebut kemudian difilmkan ke dalam layar lebar. Kecaman tersebut mengakibatkan film Perempuan Berkalung Sorban tidak bertahan lama di bioskop. Pada minggu pertamanya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta semua pemilik bioskop untuk menurunkan film tersebut dari penanyangannya.

(24)

B. Pembatasan Masalah

Penelitian ini akan dibatasi pada kajian novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah Al Khalieqy. Kajian akan dibatasi pada proses kreatif penulis dalam penciptaan novel tersebut, penggambaran kultur atau budaya pesantren oleh penulis dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, relevansi novel Perempuan Berkalung Sorban sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA, dan penilaian pembaca terhadap novel tersebut.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses kreatif Abidah Al Khalieqy dalam penulisan novel Perempuan Berkalung Sorban?

2. Bagaimanakah nilai-nilai kultural pondok pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban?

3. Bagaimana relevansi nilai-nilai kearifan lokal dalam novel Perempuan Berkalung Sorban jika digunakan sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA?

4. Bagaimana penilaian pembaca terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban?

D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui dan mendeskripsikan proses kreatif yang dimiliki oleh Abidah Al Khalieqy dalam penulisan novel Perempuan Berkalung Sorban.

2. Mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai kultural pondok pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban.

(25)

4. Mengetahui penilaian pembaca terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban.

E. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Manfaaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Praktis a. Bagi peserta didik

Penelitian ini diharapkan akan membuat peserta didik semakin sadar dan tertarik dengan pelajaran sastra yang ada di kelas. Sekaligus memotivasi siswa untuk menunangkan ide kreatif mereka dalam karya sastra.

b. Bagi guru bahasa dan sastra Indonesia

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan kajian dan referensi untuk meningkatkan pemahaman peserta didik tentang pembelajaran sastra di kelas.

c. Bagi kepala sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan bagi kepala sekolah untuk membina guru sastra agar lebih kreatif dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membuat kepala sekolah memperhatikan dan menambah sarana dan prasarana serta media ajar dalam pembelajaran sastra.

d. Bagi pemegang kebijakan

Penelitian ini diharapkan akan mampu menjadi salah satu pertimbangan bagi para pemegang kebijakan dalam merumuskan kurikulum. Terutama dalam kurikulum yang berhubungan dengan pengajaran sastra. Ini perlu dilakukan agar pembelajaran sastra di sekolah menjadi satu hal yang bisa mendapatkan porsi yang seimbang.

2. Manfaat Teoritis

(26)
(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 1. Hakikat Proses Kreatif

Penulis dan sastrawan Amerika Serikat, Ernest Hemingway (dalam Naning, 2006: 1) menyatakan bahwa menulis adalah petualangan (writing is adventure). Pendapat ini didukung oleh para sastrawan Amerika Latin, Pablo Neruda dan Gabriel Gracia Marquesz dan sastrawati Afrika Selatan Nadine Gordimer serta Milan Kundera, sastrawan Cheko. Petualangan yang dimaksud bukan merupakan pengalaman raga melainkan paduan dari kekayaan batin dan intelektual (materi dasar atau bahan tulisan), imajinasi (kreativitas dan pengembangan) serta kosa kata (penguasaan bahasa). Paduan ini kemudian dirangkai menjadi suatu tulisan melalui suatu proses yang disebut proses kreatif.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata „kreatif‟ diartikan: (1) memiliki daya cipta; (2) memiliki kemampuan untuk menciptakan. Jadi, proses kreatif adalah proses mencipta sesuatu dan konteks dalam tulisan ini adalah mencipta tulisan atau menulis, baik itu tulisan yang bersifat fiksi maupun non-fiksi. Seseorang yang menulis fiksi disebut pengarang dan mereka yang menulis non-fiksi disebut penulis. Seorang penulis bisa menjadi pengarang, tetapi pada umumnya sedikit pengarang yang menjadi penulis. Hambatan tersebut biasanya terdapat pada kedalaman referensi yang harus dimiliki oleh seorang penulis karena tulisan yang dibuat harus memiliki kadar ilmiah dan bersifat objektif.

Proses menulis memerlukan sebuah proses kreatif. Proses ini dimulai dengan adanya ide yang berupa kekayaan batin dan intelektual sebagai bahan tulisan. Sumber utama munculnya ide adalah bacaan, pergaulan, perjalanan (traveling), kontemplasi, monolog, konflik dengan diri sendiri (internal) maupun dengan di luar diri kita (external), pemberontakan (rasa tidak puas), dorongan mengabdi (berbagi ilmu), kegembiraan, mencapai prestasi, tuntutan profesi dan sebagainya. Semuanya itu bisa dijadikan gerbang untuk mendorong memasuki proses kreatif menulis (Naning, 2006: 2).

(28)

Ide yang muncul berupa kakayaan intelektual atau bahkan yang berbentuk seperti ilham bukan hasil ajaran atau karena mempelajari. Sitor Situmorang (dalam Eneste, 1984: 19) menyatakan:

Tidak semua ilham jadi karya; ia bisa menumpuk untuk kemudian tanpa diduga dan tanpa bisa direncanakan terlebih dahulu muncul di kemudian hari, kadang-kadang setelah lewat bertahun-tahun; atau lenyap sama sekali; atau menjadi bagian dari ide/ilham sastra yang lebih luas cakupannya.

Si penyair tak bisa menentukan “saat”-nya, pun tidak memilih bentuk untuk kemudian diisi dengan ide sastra (kecuali pada sajak pesanan – jenis yang di luar pembicaraan). Di antara ilham atau gelombang ilham bisa terbentang masa-antara dan masa menunggu yang pendek atau lama.

Wallace dalam bukunya The Art of Thought menyatakan bahwa proses kreatif meliputi 4 tahap, yakni:

1. Tahap Persiapan, memperisapkan diri untuk memecahkan masalah dengan mengumpulkan data/ informasi, mempelajari pola berpikir dari orang lain, bertanya kepada orang lain.

2. Tahap Inkubasi, pada tahap ini pengumpulan informasi dihentikan, individu melepaskan diri untuk sementara masalah tersebut. Ia tidak memikirkan masalah tersebut secara sadar, tetapi “mengeramkannya‟ dalam alam pra sadar.

3. Tahap Iluminasi, tahap ini merupakan tahap timbulnya “insight” atau “Aha Erlebnis”, saat timbulnya inspirasi atau gagasan baru.

4. Tahap Verifikasi, tahap ini merupakan tahap pengujian ide atau kreasi baru tersebut terhadap realitas. Disini diperlukan pemikiran kritis dan

konvergen. Proses divergensi (pemikiran kreatif) harus diikuti proses konvergensi (pemikiran kritis).

Proses kreatif bersifat individual. Proses kreatif ini terkadang membuat penulis atau pengarang menjadi pribadi yang lepas dari dunia di luarnya. Pramudya Ananta Toer (dalam Eneste, 1984: 54) menjelaskan:

(29)

baru dapat dipisahkan si kreator, si individu, si daif itu, sebagai matahri yang memungkinkan bekerjanya mekanisme kreatif. Dan hanya ada dua mcam kreasi saja: pertama melalui pernyataan alami oleh Sang Kreator dan pernyataan manusiawi melalui si kreator.

2. Kebudayaan a. Hakikat Kebudayaan

Kebudayaan sering kali dipahami dengan pengertian yang tidak tepat. Beberapa ahli ilmu sosial telah berusaha merumuskan berbagai definisi tentang kebudayaan dalam rangka memberikan pengertian yang benar tentang apa yang dimaksud dengan kebudayaan tersebut. Akan tetapi ternyata definisi-definisi tersebut tetap saja kurang memuaskan. Terdapat dua aliran pemikiran yang berusaha memberikan kerangka bagi pemahaman tentang pengertian kebudayaan ini, yaitu aliran ideasional dan aliran behaviorisme/materialisme.

Kebudayaan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia kebudayaan diciptakan untuk mempermudah manusia dalam menjalani kehidupannya. Kebudayaan tidak akan ada tanpa manusia, sebaliknya manusia tanpa kebudayaan tidak akan bisa bertahan dalam mengarungi kehidupan.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Secara etimologi kebudayaan atau culture berasal dari kata sanskerta yaitu “ buddhayah” yaitu bentuk jamak dari “buddhi” yang berarti budi atau akal (Koentjaraningrat, 2003: 73). Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Namun, ada sarjana lain yang menyatakan bahwa kebudayaan berasal dari kata budi-daya karena itu ia membedakan antara budaya dengan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan karsa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa itu sendiri. Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar (Koentjaraningrat, 2003: 72).

(30)

sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Pengertian tersebut merupakan sebagian kecil dari defenisi kebudayaan yang dikemukakan oleh para ahli yang berasal dari berbagai disiplin ilmu. Adapun yang mengumpulkan defenisi kebudayaan dari berbagai ahli tersebut adalah A. L Kroeber dan C. Kluckhohn yang berhasil mengumpulkan 160 defenisi kebudayaan menurut para ahli.

Kebudayaan bersifat dinamis, selalu berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Terjadi penyempurnaan yang dilakukan untuk menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Semakin bertambahnya tantangan hidup manusia dari waktu ke waktu maka kebutuhan untuk mengatasi tantangan tersebut akan terus berkembang. Misalnya dalam kehidupan manusia terjadi proses perubahan dari waktu zaman batu - zaman perunggu dan besi - zaman modern. Berkembangnya kebudayaan tidak terlepas dari berkembangnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan kebudayaan.

Kebudayaan disusun atas beberapa komponen yaitu komponen yang bersifat kognitif, normatif, dan material. Dalam memandang kebudayaan, orang sering kali terjebak dalam sifat chauvinisme yaitu membanggakan kebudayaannya sendiri dan menganggap rendah kebudayaan lain. Seharusnya dalam memahami kebudayaan kita berpegangan pada sifat-sifat kebudayaan yang variatif, relatif, universal, dan counterculture.

(31)

Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.

1) Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama.

2) Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.

3) Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.

4) Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.

b. Unsur-unsur Kebudayaan

Setiap bangsa di dunia memiliki kebudayaan masing-masing yang brbeda dengan kebudayaan bangsa lainnya. Namun, segala bentuk kebudayaan tersebut terdapat beberapa unsur kebudayaan yang selalu dimiliki oleh masing-masing kebudayaan tersebut, yang selanjutnya dikenal dengan istilah “Tujuh unsur kebudayaan universal” (C. Kluckhohn dalam Koentjaraningrat, 2003: 81). Adapun ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah :

1) Bahasa

(32)

menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.

Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

2) Sistem Pengetahuan

Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).

Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi: (a) pengetahuan tentang alam

(b) pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya

(c) pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia

(d) pengetahuan tentang ruang dan waktu

3) Sistem religi

(33)

Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti “menambatkan”), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut: “... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati”.

Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti “10 Firman” dalam agama Kristen atau “5 rukun Islam” dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga mempengaruhi kesenian.

(a) Agama Samawi

Agama Samawi atau agama Abrahamik meliputi Islam, Kristen (Protestan dan Katolik) dan Yahudi.

(1) Agama Yahudi

Yahudi adalah salah satu agama yang - jika tidak disebut sebagai yang pertama - tercatat sebagai agama monotheistik dan salah satu agama tertua yang masih ada sampai sekarang. Nilai-nilai dan sejarah umat Yahudi adalah bagian utama dari agama Ibrahim lainnya, seperti Kristen dan Islam.

(2) Agama Kristen

Kristen adalah salah satu agama penting yang berhasil mengubah wajah kebudayaan Eropa dalam 1.700 tahun terakhir. Pemikiran para filsuf modern pun banyak terpengaruh oleh para filsuf Kristen semacam St. Thomas Aquinas dan Erasmus.

(3) Agama Islam

(34)

dan tertua. Agama lain merupakan modifikasi manusia dari agama islam. kita bisa lihat dari perkembangan agama dari nabi-nabi terdahulu. Agama Islam hanya mengenal satu Tuhan yaitu Allah. Dan semua Nabi dan Rasul, dari Nabi Adam, Idris, Nuh, Hud, Soleh,Ibrahim,Luth, Ismail, Ishak, Yakub, Yusuf, Ayyub, Syueb, Musa, Harun, dzulkifli, Daud, Sulaiman, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa, dan para nabi serta rasul lainnya sampai Nabi terakhir yaitu Muhammad saw mengakui bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah”.

Agama Islam telah berhasil merubah cara pandang orang-orang eropa terhadap kebudayaan, seperti ilmu-ilmu fisika, matematika, biologi, kimia dan lain-lain oleh para fislsuf barat yang kemudian hal itu diubah dan diakui oleh orang-orang eropa bahwa hal itu merupakan hasil karya orang eropa asli, Terutama oleh kalangan para filsafat. Sementara itu, nilai dan norma agama Islam banyak mempengaruhi kebudayaan Timur Tengah dan Afrika Utara, dan juga sebagian wilayah Asia Tenggara.

Pada masyarakat Jawa, biasanya mereka membedakan orang santri dengan orang agama kejawen. Golongan kedua ini sebenarnya adalah orang-orang yang percaya kepada ajaran agama Islam, akan tetapi mereka tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun dari agama Islam.

Misalnya tidak salat, tidak pernah puasa, tidak bercita-cita untuk melakukan ibadah haji dan sebagainya. Demikian secara mendatar di dalam masyarakat orang Jawa itu, ada golongan santri dan ada golongan agama kejawen. Di berbagai daerah di Jawa baik yang bersifa kota maupun pedesaan orang santri menjadi mayoritas, sedangkan di lain daerah orang bergama kejawen-lah yang dominan (Koentaraningrat, 1999: 344).

(b) Filosofi dan Agama dari Timur

(35)

Hinduisme adalah sumber dari Buddhisme, cabang Mahāyāna yang menyebar di sepanjang utara dan timur India sampai Tibet, China, Mongolia, Jepang dan Korea dan China selatan sampai Vietnam. Theravāda Buddhisme menyebar di sekitar Asia Tenggara, termasuk Sri Lanka, bagian barat laut China, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand. Agama Hindu dari India mengajarkan pentingnya elemen non-materi sementara sebuah pemikiran India lainnya, Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan di dunia.

Konghucu dan Taoisme, dua filosofi yang berasal dari Cina, mempengaruhi baik religi, seni, politik, maupun tradisi filosofi di seluruh Asia. Pada abad ke-20, di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran filosofi politik tercipta. Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang Ahimsa, inti dari kepercayaan Hindu maupun Jaina, dan memberikan definisi baru tentang konsep antikekerasan dan antiperang. Pada periode yang sama, filosofi komunisme Mao Zedong menjadi sistem kepercayaan sekuler yang sangat kuat di China.

(c) Agama tradisional

Agama tradisional, atau terkadang disebut sebagai "agama nenek moyang", dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Pengaruh bereka cukup besar; mungkin bisa dianggap telah menyerap kedalam kebudayaan atau bahkan menjadi agama negara, seperti misalnya agama Shinto. Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab kebutuhan rohani manusia akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri.

4) Sistem Sosial Kemasyarakatan

(36)

keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.

Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.

5) Sistem Teknologi

Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.

Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:

(a) alat-alat produktif (b) senjata

(c) wadah

(d) alat-alat menyalakan api (e) makanan

(f) pakaian

(37)

6) Sistem Mata Pencaharian

Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:

(a) berburu dan meramu (b) beternak

(c) bercocok tanam di ladang (d) menangkap ikan

Pada sebagian besar masyarakat Jawa, Selain sumber penghidupan yang berasal daari pekerjaan-pekeraan kepegawaian, pertukangan, dan perdagangan, bertani adalah juga merupakan salah satu mata pencaharian hidup (Koentjaraningrat, 1999: 334).

7) Kesenian

Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.

c. Perubahan Sosial Budaya

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan tersebut meliputi norma sosial, interaksi sosial, pola perilaku, organisasi sosial, lembaga kemasyarakatan, lapisan masyarakat serta susunan kekuasaan dan wewenang. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:

(38)

3) perubahan lingkungan alam.

Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.

Menurut Soerjono Soekanto (2009: 3) ada sembilan hal yang mempengaruhi adanya perubahan sosial, yaitu:

1) Terjadinya kontak atau sentuhan dengan kebudayaan lain.

Bertemunya budaya yang berbeda menyebabkan manusia saling berinteraksi dan mampu menghimpun berbagai penemuan yang telah dihasilkan, baik dari budaya asli maupun budaya asing, dan bahkan hasil perpaduannya. Hal ini dapat mendorong terjadinya perubahan dan tentu akan memperkaya kebudayaan yang ada.

2) Sistem pendidikan formal yang maju.

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang bisa mengukur tingkat kemajuan sebuah masyarakat. Pendidikan telah membuka pikiran dan membiasakan berpola pikir ilmiah, rasional, dan objektif. Hal ini akan memberikan kemampuan manusia untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya memenuhi perkembangan zaman, dan perlu sebuah perubahan atau tidak.

3) Sikap menghargai hasil karya orang dan keinginan untuk maju.

Sebuah hasil karya bisa memotivasi seseorang untuk mengikuti jejak karya. Orang yang berpikiran dan berkeinginan maju senantiasa termotivasi untuk mengembangkan diri.

4) Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.

(39)

5) Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat.

Open stratification atau sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertikal atau horizontal yang lebih luas kepada anggota masyarakat. Masyarakat tidak lagi mempermasalahkan status sosial dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Hal ini membuka kesempatan kepada para individu untuk dapat mengembangkan kemampuan dirinya.

6) Penduduk yang heterogen.

Masyarakat heterogen dengan latar belakang budaya, ras, dan ideologi yang berbeda akan mudah terjadi pertentangan yang dapat menimbulkan kegoncangan sosial. Keadaan demikian merupakan pendorong terjadinya perubahan-perubahan baru dalam masyarakat untuk mencapai keselarasan sosial.

7) Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu.

Rasa tidak puas bisa menjadi sebab terjadinya perubahan. Ketidakpuasan menimbulkan reaksi berupa perlawanan, pertentangan, dan berbagai gerakan revolusi untuk mengubahnya.

8) Orientasi ke masa depan.

Kondisi yang senantiasa berubah merangsang orang mengikuti dan menyesusikan dengan perubahan. Pemikiran yang selalu berorientasi ke masa depan akan membuat masyarakat selalu berpikir maju dan mendorong terciptanya penemuan-penemuan baru yang disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

9) Nilai bahwa manusia harus selalu berusaha untuk perbaikan hidup. Usaha merupakan keharusan bagi manusia dalam upaya memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas. Usaha-usaha ini merupakan faktor terjadinya perubahan.

Menurut Soerjono Soekanto (2009: 5) terdapat delapan faktor penghambat terjadinya perubahan sosial, yakni:

(40)

3) Sikap masyarakat yang mengagungkan tradisi masa lampau dan cenderung konservatif.

4) Adanya kepentingan pribadi dan kelompok yang sudah tertanam kuat (vested interest).

5) Rasa takut terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan dan menimbulkan perubahan pada aspek-aspek tertentu dalam masyarakat.

6) Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing, terutama yang berasal dari Barat. 7) Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.

8) Adat dan kebiasaan tertentu dalam masyarakat yang cenderung sukar diubah. Perubahan sosial juga tidak dapat terlepas dari perubahan kebudayaan. Kecenderungan masyarakat untuk berubah dipengaruhi faktor :

1) rasa tidak puas terhadap keadaan yang ada

2) timbul kesadaran memperbaiki kekurangan yang ada 3) kebutuhan kehidupan masyarakat semakin komplek 4) menyesuaikan diri dengan situasi baru

5) sikap terbuka terhadap unsur dari luar

Walaupun demikian ada beberapa hal dalam masyarakat yang tetap bertahan, umumnya berhubungan dengan faktor:

1) agama dan religi yang dianut masyarakat

2) sudah terinternalisasi karena sosialisasi sejak kecil

Perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat bisa bersifat progress, bisa pula bersifat regress.

1) Modernisasi

Salah satu perubahan sosial budaya yang terarah dan direncanakan adalah modernisasi. Modernisasi ialah pembaharuan yang dilakukan masyarakat sesuai dengan jaman dan konstelasi dunia sekarang tanpa melupakan norma yang ada. Modernisasi merupakan penerapan pengetahuan ilmiah pada semua bidang kehidupan di masyarakat.

(41)

dan manusia, diganti dengan tenaga mesin. Contoh modernisasi yang lain adalah munculnya internet sebagai media komunikasi lintas negara. Teknologi ini merubah sudut pandang manusia.

Modernisasi dapat terwujud apabila anggota masyarakat memiliki ciri-ciri di antaranya sebagai berikut: sikap terbuka pada perubahan, mau menerima hal baru, menghargai waktu, orientasi ke masa depan, percaya diri, percaya manfaat ilmu dan teknologi serta memiliki perencanaan. Modernisasi pada satu sisi bersifat progress, sedangkan pada sisi lain bersifat regress. Penggunaan tenaga mesin pada beberapa pekerjaan berguna untuk menghemat biaya dan waktu, tapi mengurangi jumlah tenaga kerja manusia. Pemakaian internet jika digunakan untuk hal positif sangat bermanfaat. Tapi sering juga internet digunakan untuk melakukan tindakan tidak terpuji bahkan merugikan orang lain.

2) Westernisasi

Sebagian anggota masyarakat sering menyalah artikan pengertian modernisasi. Mereka menganggap modernisasi sebagai westernisasi, yaitu sikap meniru budaya barat (Eropa dan Amerika) secara mutlak tanpa mempertimbangkan nilai dan norma budaya setempat. Modern tidak harus bergaya seperti orang Barat. Orang yang kebarat-baratan belum tentu modern. Hal-hal yang baik dari Barat kita ambil selama tidak bertentangan dengan norma yang ada.

d. Bentuk-bentuk Perubahan Sosial Budaya 1) Revolusi

(42)

mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat - seperti sistem kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan - yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru. Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika, romantika, menjebol dan membangun.

Dialektika revolusi mengatakan bahwa revolusi merupakan suatu usaha menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh beragam faktor, tak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya. Logika revolusi merupakan bagaimana revolusi dapat dilaksanakan berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya. Kader-kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa dengan kesadaran kelas dan kondisi nyata di sekelilingnya. Romantika revolusi merupakan nilai-nilai dari revolusi, beserta kenangan dan kebesarannya, di mana ia dibangun. Romantika ini menyangkut pemahaman historis dan bagaimana ia disandingkan dengan pencapaian terbesar revolusi, yaitu kemaslahatan rakyat.

Telah banyak tugu peringatan dan museum yang melukiskan keperkasaan dan kemasyuran ravolusi di banyak negara yang telah menjalankan revolusi seperti yang terdapat di Vietnam, Rusia, China, Indonesia, dan banyak negara lainnya. Menjebol dan membangun merupakan bagian integral yang menjadi bukti fisik revolusi. Tatanan lama yang busuk dan menyesatkan serta menyengsarakan rakyat, diubah menjadi tatanan yang besar peranannya untuk rakyat, seperti di Bolivia, setelah Hugo Chavez menjadi presiden ia segera merombak tatanan agraria, di mana tanah untuk rakyat sungguh diutamakan yang menyingkirkan dominasi para tuan tanah di banyak daerah di negeri itu.

2) Evolusi

(43)

berikutnya. Sifat-sifat yang menjadi dasar dari evolusi ini dibawa oleh gen yang diwariskan pada keturunan suatu makhluk hidup. Sifat baru dapat diperoleh dari perubahan gen oleh mutasi, transfer gen antar populasi, seperti dalam migrasi, atau antar spesies seperti yang terjadi pada bakteria, serta kombinasi gen mealui reproduksi seksual.

Meskipun teori evolusi selalu diasosiasikan dengan Charles Darwin, namun sebenarnya biologi evolusi telah berakar sejak jaman Aristoteles. Namun demikian, Darwin adalah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi yang telah banyak terbukti mapan menghadapi pengujian ilmiah. Sampai saat ini, teori Darwin tentang evolusi yang terjadi karena seleksi alam dianggap oleh mayoritas masyarakat sains sebagai teori terbaik dalam menjelaskan peristiwa evolusi.

e. Penetrasi Kebudayaan

Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:

1) Penetrasi Damai (penetration pasifique)

Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.

(44)

2) Penetrasi Kekerasan (penetration violante)

Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat. Contoh: penjajahan bangsa Eropa ke nusantara banyak sekali merusak budaya asli nusantara. Kaum penjajah masuk ke nusantara dengan paksaan, dengan kekerasan, dengan penipuan, dengan kecurangan, dan dengan kekejaman. Semuanya jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Contoh: peraturan tanam paksa dan kerja paksa pembuatan jalan dari Anyer ke Panarukan (jalan pantura). Semua itu amat menyengsarakan rakyat Indonesia dan merupakan pelecehan kemanusiaan yang adil, beradab, dan mulia.

Perlawanan dari bangsa Indonesia memang ada, tetapi karena kalah dalam berbagai hal, antara lain persenjataan, iptek, dan belum ada persatuan dan kesatuan bangsa, akhirnya satu demi satu perlawanan bangsa Indonesia dapat dipatahkan oleh kaum penjajah. Dalam era globalisasi sekarang ini semua unsur akulturasi, asimilasi, dan sintesis bercampur baur menjadi satu, ikut mengubah sebagian wajah dan karakter bangsa Indonesia. Tentu saja, hasilnya ada yang positif, secara jasmaniah dan rohaniah, namun ada juga negatif, baik pada wajah maupun pada karakternya. Globalisasi memang tidak bisa kita bendung. Dalam masalah ini, kita semua diminta untuk waspada, bijaksana, dan cerdas, bagaimana cara kita menghadapi globalisasi, agar diri kita, keluarga kita, lingkungan kita, bangsa dan negara kita, tetap teguh-kukuh, mempertahankan kepribadian kita yang adi-luhung, sambil pandai-pandai memilah dan memilih, masuknya budaya asing.

f. Cara Pandang terhadap Kebudayaan 1) Kebudayaan sebagai Peradaban

(45)

kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap ”kebudayaan” sebagai ”peradaban” sebagai lawan kata dari ”alam”. Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.

Pada praktiknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang ”elit” seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang ”berkelas”, elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah “berkebudayaan”.

Orang yang menggunakan kata “kebudayaan” dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang berkebudayaan disebut sebagai orang yang tidak berkebudayaan; bukan sebagai orang ”dari kebudayaan yang lain”. Orang yang tidak berkebudayaan dikatakan lebih ”alam” dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran ”manusia alami” (human nature).

Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak -berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan “tidak alami” yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan „jalan hidup yang alami” (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.

(46)

Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap “tidak elit” dan ”kebudayaan elit” adalah sama - masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.

2) Kebudayaan sebagai Sudut Pandang Umum

Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria - mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam "sudut pandang umum". Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara berkebudayaan dengan tidak berkebudayaan atau kebudayaan primitif.

Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.

Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya - mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.

3) Kebudayaan sebagai Mekanisme Stabilisasi

(47)

g. Faktor Mental Bangsa Indonesia

Faktor sikap mental disebut sebagai faktor penghambat pembangunan di Indonesia. Hal tersebut karena sikap mental sebagian masyarakat Indonesia belum cocok dengan pembangunan (Koentjaraningrat, 1999: 387). Kata sikap mental adalah istilah popular untuk dua konsep yang biasa disebut dengan “sistem nilai budaya” (cultural value system) dan “sikap” (attitude). Sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian dari konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar sari warga suatu masyarakat, mengenai hal-hal yang dianggap penting dan berharga dalam hidupnya. Nilai budaya biasa berperan sebagai pengarah dan pendorong kelakuan manusia.

Konsep tentang nilai budaya masih merupakan suatu yang abstrak tanpa perumusan yang tegas. Konsep-konsep tersebut hanya bisa dirasakan, tetapi sering tidak dapat dinyatakan dengan tegas oleh masyarakat yang bersangkutan. Meskipun begitu, konsep-konsep tadi sering mendarah daging pada masyarakat yang memilikinya dan sukar dirubah atau diganti dengan konsep-konsep yang baru. Jika sistem budaya merupakan pengarah bagi tindakan manusia, maka pedoman yang nyata adalah norma, hukum, dan aturan yang bersifat lebih tegas dan konkret.

Berbeda dengan konsep nilai budaya, konsep sikap bukan merupakan bagian dari kebudayaan teteapi merupakan suatu hal yang dimiliki para individu warga masyarakat. Suatu sikap adalah potensi pendorong yang ada dalam jiwa individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya beserta segala hal yang ada dalam lingkungannya itu (Koentjaraningrat, 1999: 388). Meski berada di luar kebudayaan, adanya sikap pada setiap individu tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan. Artinya, sikap individu akan sangat dipengaruhi oleh norma dan aturan yang dianut oleh individu yang bersangkutan.

Koentjaraningrat (1999: 388) mengemukakan:

(48)

bahwa orang mengintensifkan karyanya untuk menghasilkan lebih banyak karya lagi. Kepuasan terletak dalam kerja itu sendiri. Ketiga, dalam hal menanggapi alam, orang harus merasakan suatu keinginan untuk dapat menguasai alam serta kaidah-kaidahnya. Keempat, dalam segala aktivitas hidup orang harus dapat sebanyak mungkin berorientasi ke masa depan. Akhirnya kelima, dalam membuat keputusan-keputusan orang harus bisa berorientasi ke sesamanya, menilai tinggi kerja sama dengan orang lain tanpa meremehkan kualitas individu dan tanpa menghindari tanggung jawab sendiri.

Bertolak dari pemikiran tersebut, setidaknya ada beberapa sikap mental yang diperlukan dalam pembangunan di Indonesia, yakni:

a. suatu kesadaran akan pentingnya kualitas dalam karya yang berdasarkan konsep bahwa manusia berkarya untuk menghasilkan karya yang lebih banyak lagi.

b. Suatu keinginan untuk menabung yang berorientasi ke masa depan.

c. Kedisiplinan dan tanggung jawab murni yang disadari meskipun tidak ada pengawasan dari atas.

3. Pondok Pesantren a. Hakikat Pondok Pesantren

Definisi dari kosakata pondok pesantren dapat dikaji dengan memperhatikan makna per kata yang menjadi bagiannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri (Dhofier 1985: 18). Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Wahid (2001: 171) menerangkan bahwa pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent). Dikatakan seperti itu karena mereka yang berada di dalamnya mengalami suatu kondisi yang menuntut adanya sebuah totalitas.

(49)

pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren. Hasyim (1998: 39) memaparkan bahwa unsur-unsur pokok yang ada dalam sebuah pesantren. Kyai. masjid, santri, pondok, dan kitab Islam klasik (mereka menyebutnya kitab kuning) adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.

1) Kyai

Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999: 144).

Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986: 130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1.sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2. gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; 3.gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang-orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985: 55).

2) Masjid

Gambar

Tabel 1: Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun
Tabel 2: Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978. (Laporan
Tabel 3. Jadwal Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

selalu mengalami perlakuan tidak adil oleh keluarga dan suaminya, Samsudin. Sejak kecil, Annisa telah dibebankan untuk melakukan pekerjaan domestik yang panjang dan banyak.

Adapun implementasinya nilai edukatif dalam novel ini sebagai materi ajar di SMK N I Plupuh Sragen yaitu (1) relevansi nilai edukatif dengan standar isi, (2) relevansi

Dalam melakukan penelitian tentang nilai-nilai edukatif sebagai materi ajar di SMK Negeri 1 Plupuh, Sragen, peneliti membuat atau menyusun materi tersebut dalam

perhatian terhadap gejala-gejala yang tersembunyi, sengaja disembunyikan, seperti ketidakbenaran, tokoh sampingan, perempuan dan sebagainya. Studi tentang

Isu tentang dominasi laki-laki terhadap perempuan, lebih khusus dominasi suami terhadap istri, muncul lagi dalam unsur lain dalam novel, yaitu sudut pandang tokoh Annisa

HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bagaian hasil ini, penulis menyajikan temuan tentang hak-hak yang diperjuangkan oleh tokoh utama dalam novel Perempuan Berkalung Sorban

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan peneliti, terdapat 5 jenis feminisme di dalam novel Perempuan Berkalung Sorban tersebut yaitu, 10 teks feminisme liberal, 23

Hasil menunjukkan bahwa; pertama manifestasi budaya patriarki terlihat dalam beberapa hal misalnya dalam tradisi keluarga pesantren yang sepertinya membuat perbedaan