• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Luar ke Dalam Layar lalu ke Luar La

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dari Luar ke Dalam Layar lalu ke Luar La"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Dari Luar ke Dalam Layar, lalu ke Luar Layar 

Pengantar kuratorial Di Luar Ruang Suaka Hukuman

1

 

  Kafka  yang  ditulis  pertama  kali  tahun  1914, In  The  Penal  Colony,  adalah  alegori  dari  detik‐detik keruntuhan sistem hukum lama yang serba fisik, ritualistik, dan gigantik. Di  akhir  cerita  itu,  kita  seolah  dihadapkan  pada  suatu  keadaan  baru  yang  belum  (dan  sangat  mungkin  akan  sulit)  diuraikan;  Kafka  agaknya  menawarkan  sebuah  pertanyaan  tentang  bagaimana  kita  mengandaikan  diri  kita  di  tengah  situasi  yang  serba  tak  terdefinisi  dan  tak  tersentuh—tetapi secara nyata hadir sebagai suatu rutinitas keseharian baru—di saat kuasa‐ kuasa  terpusat  membelah  diri  menjadi  pecahan‐pecahan  pengetahuan  dan  bahasa  yang  memungkinkan produksi‐produksi difusional berupa kontrol alam bawah sadar. 

 

Sebagaimana  Deleuze  menambahkan  catatan  untuk  pandangan  teoretik  Foucault,  bahwa  Masyarakat Disiplin (Disciplinary Societies) telah bertransformasi menjadi Masyarakat Kontrol  (Societies  of  Control),  inilah  saatnya  kita  harus  mengakui  pandangan  Deleuze  tentang  bagaimana  ritus‐ritus  berpembatas  (‘sites  of  confinement’)  telah  menjadi  “dunia  tanpa  dinding”  (‘infinite  world’),  tetapi  justru  sedang  melipatgandakan  “energi  pemenjaraan”  (‘panoptic  energy’)  dalam  bentuk  tergaibnya;  era  analog  digeser  oleh  era  digital  yang  mengakumulasi  sengkarut  sirkulasi  komunikasi  hingga  ke  alur  terumitnya.  Aparatus  teknologis  pun  kini  melompat  dalam  jarak  yang  tak  pernah  terbayangkan  oleh  kita  sebelumnya.  

 

Namun, satu hal: konon, menurut Manovich (1995), kita belum juga beranjak dari dunia layar  (the era of the screen). 

 

Layar, kiranya, adalah kandidat yang paling mungkin menjadi “penjara abadi” (‘imperishable  enclosure’)2  di  kehidupan  manusia.  Ketimbang  berbicara  tentang  sistem  hukum  dan        

1

 Versi bahasa Inggris dari artikel ini adalah bagian dari Katalog Out of In The Penal Colony yang  diterbitkan oleh Forum Lenteng tahun 2017, sebagai pengantar kuratorial untuk karya seni  (lihat Lev Manovich, 1995, An Archeology of a Computer Screen). Menurutnya, kultur layar sudah  ada bahkan jauh sebelum kamera dan teknologi layar ditemukan, termasuk sejak era lukisan gua. 

(2)

penghukuman  lewat  bahasa  deskriptif  yang naïve,  upaya  untuk  mendisrupsi  kemapanan  sistem  kontrol  tanpa  akhir  itu  barangkali  akan  membuahkan  inspirasi‐inspirasi  yang  lebih  menyegarkan  lewat  refleksi  estetik  atas  elemen‐elemen  yang  membangun  konsep  “aparatus”—jejala  yang  dibangunmuncul  dari,  dan  berada  dalam  sebuah  hubungan  kekuasaan dan jaringan/rezim pengetahuan. 

 

Di Luar Ruang Suaka Hukuman (atau Out of in The Penal Colony, 2017) adalah proyek seni  performans  yang  digagas  oleh  Forum  Lenteng,  yang  menjadi  bagian  dari  69  Performance  Club—sebuah  platform  yang  mendorong  studi  kolaboratif  berkelanjutan  tentang  performativitas,  yang  diinisiasi  oleh  organisasi  tersebut  sejak  awal  tahun  2016  dengan  melibatkan  sejumlah  seniman  di  Indonesia.  Karya  performans  yang  diniatkan  sebagai  presentasi  khusus  ini  mencoba  mengambil  inspirasi  dari  cerpen  Kafka  itu  dalam  rangka  meluaskan kajian Forum Lenteng sendiri tentang situasi media dan seni pada masa sekarang.   

Saya  mengamini  beberapa  pemikir  yang  cenderung  tidak  berniat  untuk  mendefinisikan  “aparatus”  secara  terang‐terangan,  lurus,  dan  tegas—sebagaimana  yang  dipercayai  oleh  Agamben bahwa “…terminology is the poetic moment of thought” (Agamben, 2006, “What Is  an  Apparatus?”).  Alasannya  tentu  saja  karena  adanya  beragam  kompleksitas  (baik  yang  terkandung di dalam maupun yang terhubung dari luar) istilah itu. Sejalan dengan itu, saya  kira Di  Luar  Ruang  Suaka  Hukuman dikembangkan  sebagai  proyek  seni  performans  yang  bukan dalam rangka menanggapi secara ilustratif, apalagi eksplanatoris, cerpen In The Penal  Colony.  Akan  tetapi,  mengacu  kepada  beberapa  poin  dari  cerita  itu—yang  oleh  para  senimannya  dianggap  paling  signifikan  membentuk  impresi  kita  mengenai  sebuah  sistem/mekanisme  pengaturan  (‘a  kind  of  regulatory  mechanism  or  system’)—yang  telah  dipilih  sebagai  materi  yang  kemudian  diinterpretasi  ke  dalam  bentuk  performans,  saya  berpendapat  bahwa  karya  ini  lebih  sebagai  upaya  untuk  mendeklamasikan  artikulasi‐ artikulasi  puitik  tentang  perubahan‐perubahan  yang  sedang  berlangsung  pada  masa  sekarang—yaitu, era modulasi dan serba‐berlayar ini—di mana praktik multikorporasi lintas  wilayah  akibat  globalisasi,  digitalisasi,  dan  ekspansi  jaringan  dunia  maya  adalah  keadaan  faktual yang membangun situasi multi‐kontrol‐diri masyarakat dunia.  

 

Deklamasi atas hal itu pada karya ini, sebagaimana dapat dilihat kemudian, dipertunjukkan  melalui suatu dramaturgi teknologis yang mencoba merefleksikan posisi tubuh manusia (i.e.        

Sekarang ini, “layar” barangkali adalah entitas kontemporer yang tak akan pernah bisa lepas dari  kehidupan kita sehari‐hari; hanya karena interaksi dengan layar, interaksi antarmanusia pun bisa  tereduksi hingga ke situasi yang cukup mengkhawatirkan—kita seakan‐akan terpenjara dan 

(3)

para performer) di dalam situasi riil‐nya sekaligus keterhubungannya dengan realitas citraan  (atau dunia representasional), yang mana citraan‐citraan itu pada masa sekarang telah dapat  ditransmisikan  secara  langsung  lewat  suatu  sirkuit  elektronis  yang  diatur  sedemikian  rupa  sehingga  membuka  kemungkinan  tentang  komposisi  bahasa  artistik  yang  secara  sadar  melibatkan  perangkat‐perangkat  media  saat  ini—yang  bisa  dibilang,  merupakan  aparatus  kontemporer—sebagai bagian utama dari langgam bahasa ataupun gaya ungkapnya. 

 

Para seniman yang menciptakan karya ini, yaitu Otty Widasari, Prashasti Wilujeng Putri, Ragil  Dwi  Putra,  dan  Hanif  Alghifary—keempatnya  adalah  partisipan  69  Performance  Club— dengan sengaja mengimprovisasi terjemahan mereka sendiri mengenai konsep aparatus, baik  yang mengacu kepada gagasan‐gagasan yang terkembang di era lama (analog; fisik) dan yang  terbangun di era [media] baru (digital; tak dapat disentuh), serta hubungan timbal balik di  antara keduanya. 

 

The ManDecipherThe Wound, dan The Script adalah empat kata kunci yang mengandung  gagasan dan semangat untuk mendekonstruksi sistem regulatoris. Di satu sisi, keempat kata  kunci  ini  adalah  tapal‐tapal  batas  yang  menunjukkan  bagaimana  mekanisme  regulatoris  bekerja;  jampi‐jampi  yang  mengantarkan  imajinasi  tentang  kekudusan  hukum  dan  penghukuman, tentang aparatus yang—mengadopsi kalimat Agamben—melepaskan segala  hal  (termasuk  kita,  manusia)  dari  kewaran‐kewajaran  profan  dan  menempatkannya  ke  lingkungan yang terpisah (terisolasi). 

 

Di  sisi  yang  lain,  jika  kita  menyetujui  pandangan  Agamben  bahwa  hal‐hal  yang  telah  dipisahkan  lewat  suatu  aktivitas  ritual  semacam  itu  (termasuk,  menurut  saya,  adalah  peristiwa  penjatuhan  vonis,  ataupun  penerapan  kontrol  dan  disiplin  oleh  para  penguasa  terhadap pihak‐pihak yang didominasi oleh mereka) dapat dipulihkan dan dikembalikan ke  ruang  wajarnya  melalui  suatu  aksi  penggunaan  atau  penciptaan  kontra‐aparatus—yakni,  Profanation  (‘hujatan  atas  yang  suci’),  dalam  istilah  Agamben—maka,  deklamasi  berulang‐ ulang  dari  keempat  kata  kunci  tersebut  yang  dilakukan  oleh  para  seniman  dengan  memanfaatkan  distrosi‐distorsi  elektronis  dalam  performans  ini—turut  serta  di  dalamnya  ialah  [re]produksi  langsung  dari  gambar  dan  suara  yang  dihasilkan  melalui  gerak  konstan  tubuh mereka sendiri, bahkan diperluas efeknya dengan teknologi internet—tidak lain adalah  tindakan  performatif  konkret  yang  dilakukan  secara  intens  dalam  rangka  mengganggu  kemapanan  sistem  kontrol  dari  aparatus  itu  sendiri.  Sebagaimana  Kafka  yang  melalui  cerpennya mencoba mengalegorisasikan sejauh apa suatu sistem hukum, penghukuman, dan  pengaturan mampu bertahan, Di Luar Ruang Suaka Hukuman adalah artikulasi subjektif para  performernya  dalam  rangka  niat  yang  sama.  Bahwa,  imajinasi  tentang  keruntuhan  sistem  yang  kini  ada,  dan  kedatangan  sebuah  era  dengan  sistem  yang  baru,  barangkali,  perlu  diandaikan lewat suatu teror yang puitik. 

(4)

Namun  sepertinya,  pengandaian‐pengandaian  yang  demikian,  yakni  imajinasi  tentang  penggeseran suatu mekanisme lama oleh mekanisme yang baru, selalu akan tetap menuntut  keseimbangan. Dalam pandangan yang ekstrem, sebagaimana tergambarkan dalam cerpen  Kafka, kiranya peruntuhan mesin ritual yang gigantik itu (masih) membutuhkan suatu martir  yang  secara  sadar  mengamini  kesezamanan  sang  aparatus—dan  hal  ini  mengindikasikan  bahwa “kejatuhan” sebuah aparatus akan tetap terjadi dengan mengikuti sifat dan karakter  elemen‐elemen yang membangunnya. 

 

Jikalau  Kafka  menganggap  penghancuran  yang  fisik  membutuhkan  pengorbanan  fisik  pula  dalam peristiwa yang sakral—The Officer yang dengan detail mengorasikan kemegahan sang  mesin (aparatus), lantas menyerahkan tubuhnya sebagai subjek penghukuman terakhir untuk  sang mesin sebelum menuju kehancurannya—para seniman performans Di Luar Ruang Suaka  Hukuman  adalah  subjek‐subjek  yang  merayakan  kelindan  teknologi  media  masa  kini.  Mengikuti  sifat  dan  karakter  aparatus  kontemporer,  maka  bukan  lagi  fisik,  tapi  mereka  memilih untuk “memerangkapkan” citra tubuh mereka ke dalam layar—entitas yang menjadi  “aparatus abadi” kita itu—dengan maksud untuk mendorong ke titik terjauh imajinasi mereka  sendiri tentang bahasa media yang lebih eksperimental, jikalau bukan tentang dunia media  (atau aparatus‐aparatus) yang lebih baru. 

 

Karena kita masih akan tetap berada di bawah “kungkungan gaib” dunia layar itu, yang berarti  mekanisme regulasi masih akan tetap eksis hingga waktu yang tak dapat diduga ujungnya,  peristiwa‐peristiwa ritualistik kiranya bisa didapuk dan sekaligus diempang lewat permainan  bahasa seni—dalam konteks karya ini, ialah seni performans. Atau setidaknya, dengan cara  menguatkan  kesadaran  kita  tentang  bagaimana  subjektifikasi  (‘peng‐identitas‐an’—dalam  pengertian saya) itu diproduksi dan ditentukan definisinya oleh aparatus kekuasaan. 

 

Di  Luar  Ruang  Suaka  Hukuman adalah  bagian  dari  upaya  para  seniman  tersebut  untuk  mencari kemungkinan baru bagi cara pandang kita terhadap dunia yang “divonis” sebagai era  layar  ini.  Bagaimana  kita  kemudian—subjek  yang  berusaha  melepas  belenggu  aturan  demi  aturan yang ada—jika tak lagi berada di bawah “kuasa” layar? *** 

   

Referensi: 

Agamben, G. (2009). What Is an Apparatus?. Dalam G. Agamben, What Is an Apparatus?  and Other Essays (D. Kishik, & S. Pedatella, Penerjemah., hal. 1‐24). Stanford,  California: Standford University Press. 

Deleuze, G. (1992). “Postscript on the Societies of Control”. October , 59 (Winter), 3‐7.  Hildebrand‐Nilshon, M., Motzkau, J., Papadopoulos, D. (2001). Reintegrating sense into 

(5)

Kafka, F. (2003, October). In the Penal Colony (terj. Ian Johnston). Diperoleh tanggal 8  November 2017, dari situs web The Kafka Project: 

http://www.kafka.org/index.php?aid=167 

Referensi

Dokumen terkait

Series data tekanan udara antara hari yang terdapat kejadian cuaca bermakna atau signifikan dengan yang tidak terjadi cuaca bermakna akan berbeda pola perg- erakannya

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam mengenai upaya pengendalian internal Dishubkominfo khususnya seksi

bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, PARA PIHAK sepakat untuk mengikatkan diri dalam Kesepakatan Bersama tentang Kerja Sama Pengawasan Obat dan Makanan, dengan ketentuan

Ketiga jenis makanan tradisional tersebut memiliki bahan baku yang sebagian besar berupa tumbuhan, dengan jenis dan bagian tubuh tumbuhan cukup relevan dan potensial sebagai

Indikator 13 : Menentukan besaran-besaran listrik dinamis dalam suatu rangkaian (seri/paralel, Hukum Ohm, Hukum Kirchhoff) serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari

Segala puji syukur dan hormat kepada Tuhan Yesus Kristus, oleh karena anugerah, rahmat dan kemurahan hati-Nya telah menuntun dan mengijinkan peneliti untuk menyelesaikan

 Contoh kalimat tanya tersamar dalam kehidupan sehari- hari  Santun dalam bertanya sesuai dengan situasi komunikasi  Santun dan lugas dalam bertanya sesuai dengan situasi

Tahapan selanjutnya adalah melakukan koordinasi dengan dinas dan institusi terkait yang berhubungan dengan sumber–sumber teknologi (Balitjestro, BPSB) dan stakeholders di