dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Penyusun : Peter Carey Penyelaras : Tasha Agrippina Desain sampul : Hartanto “Kebo” Utomo Desain isi : Sarifudin
Cetakan Pertama, Komunitas Bambu, Januari 2015 © Komunitas Bambu, 2015
Komunitas Bambu
Jln. Pala No. 4B, Beji Timur, Depok, 16422 Telp/fax: 021-77206987
E-mail: redaksi@komunitasbambu.com website: www.komunitasbambu.com
Penerbit Komunitas Bambu @KomunitasBambu 2B97826E 081385430505
KATALOG DALAM TERBITAN Asal Usul Nama Yogyakarta–Malioboro Carey, Peter
Depok: Komunitas Bambu, 2015 ( iii + 112 hlm; 19 x 20 cm ) ISBN 978-602-9402-62-9
Kata Pengantar vii
Pendahuluan 1
Jalan Malioboro
(‘Jalan Berhiaskan Untaian Bunga’)
Peter Carey 7
Etimologi Nama Yogyakarta
Jacobus (Koos) Noorduyn 41
Komentar Mengenai Nama Yogyakarta
M.C. Ricklefs 85
Daftar Pustaka 99
N
ama jalan sering dianggap bukan sesuatu yang penting. Aneh memang, kalau tidak dapat dikatakan ironis.Sebab, hal itu terjadi justru di tengah semangat menggebu
menemukan simbol dan identitas seiring kota-kota di Indonesia
keranjingan menggarap proyek mentereng city branding.
Tidak kurang aneh adalah apabila disinggung mengenai
simbol dan identitas, maka segera mengacu kepada Monas,
orang Betawi, dan ondel-ondel jika terkait kota Jakarta. Jam
Gadang jika itu kota Bukittinggi. Bandung adalah Gedung
Sate, factory outlet, dan surga makanan. Solo tentu saja Jokowi.
Sementara itu, kota Yogyakarta pada Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, angkringan, gudeg, batik, dan termasuk Jalan
Malioboro.
Sedikit sekali kota di Indonesia yang nama jalannya
menduduki posisi sangat kuat sebagai simbol dan identitas.
PENDAHULUAN
E
timologi nama-nama tempat selalu menarik untuk dibahas.Apalagi sejumlah toponimi tertentu memicu banyak
spekulasi. Salah satu toponimi tersebut adalah Yogyakarta,
kota istana yang terkenal di Jawa tengah-selatan. Tempat ini,
menurut frasa sejarawan Belanda, Petrus Blumberger, yang tak
terlupakan, adalah “degup jantung Jawa” (Blumberger 1931).
Kota ini didirikan oleh Sultan Mangkubumi (Hamengku
Buwono I, bertakhta pada 1749–1792) pada akhir Perang
Giyanti (1746–1757). Namanya yang membangkitkan minat
sejak lama ini sering menjadi perdebatan. Darmosugito,
seorang sejarawan lokal, menulis pada 1956 saat perayaan
ulang tahun kota Yogya yang ke-200, bahwa asal usul nama
ini masih terselimuti misteri (Darmosugito 1956:13).
Ketika saya menjadi mahasiswa pascasarjana yang sedang
melakukan riset tentang Pangeran Diponegoro (1785–1855)
dan Perang Jawa (1825–1830), saya tinggal di Tejokusuman, kota. Malioboro adalah salah satunya. Jalan ini lebih sering
mengacu kepada simbol dan identitas kontemporernya sebagai
area belanja. “A major shopping street,” diterakan Wikipedia
internasional; “Pusat perbelanjaan khas Yogyakarta,” ulas
National Geographic Indonesia. Demikian pula yang ditulis
oleh situs resmi Pemda DI Yogyakarta. Otomatis arti penting
Malioboro sebagai simbol dan identitas, penggunaannya dalam
legitimasi kekuasaan, menipulasinya oleh pihak berwenang,
juga nilainya untuk pembentukan dan identifikasi kelompok
pun hilang.
Tulisan dari sejarawan Peter Carey pun menjadi penting.
Terlebih penting lagi kemudian tulisan itu ditanggapi oleh
Jacobus (Koos) Noorduyn dan Merle Calvin Ricklefs.
Ketiganya memaparkan analisis menarik menganai asal
usul nama Yogyakarta dan Malioboro. Semoga dengan buku
ini, para pembaca bisa mengetahui lebih dalam mengenai
Yogyakarta.
Depok, 13 Januari 2015
Yogyakarta, selama dua tahun (1971–1973). Pada saat itu, saya
diberi tahu bahwa jalan poros utama kota istana (rajamarga)
ini—Jalan Malioboro—dinamai menurut nama Duke of
Marlborough (1650–1722), seorang jenderal Inggris terkenal
yang namanya diabadikan dalam sebuah benteng yang dibangun
Inggris di Bengkulu di Sumatera bagian Barat (1714). Hal ini
benar-benar menarik perhatian saya. Saya datang 7.000 mil
jauhnya dari Oxford, kota universitas saya dahulu. Di sana,
tepatnya di Woodstock, terdapat Istana Blenheim, kediaman
sang duke yang termasyhur. Tempat itu menjadi favorit saya
untuk berjalan-jalan di akhir pekan. Dan ternyata saya
datang jauh-jauh dari sana hanya untuk menemukan bahwa
tokoh sejarah yang sama ini juga dihormati di tempat saya
melakukan penelitian. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apakah
nama “Marlboro”, yang pada saat itu merupakan merek rokok
asing yang banyak dicari, telah mengeruhkan otak
teman-teman Yogyakarta saya? Bagaimanapun juga, orang Inggris
telah menuliskan namanya dengan darah di dinding keraton
Yogyakarta ketika Raffles memerintahkan penyerangan dan
penjarahannya pada 20 Juni 1812. Jadi, mengapa ada Jenderal
Inggris mendapat penghormatan dengan dijadikan sebuah
nama jalan? Dapatkah kita bayangkan bahwa salah satu jalan
raya di Surabaya diberi nama menurut nama para komandan
Inggris yang terlibat dalam pertempuran di Surabaya yang
mengerikan pada Oktober–November 1945?1 Adanya “Jalan
Mallaby” atau “Jalan Mansergh” tak bisa dibayangkan!
Mengapa Yogya berbeda?
Hal ini menjadi tantangan bagi saya. Setelah tesis doktor
saya “Diponegoro and the Making of the Java War, 1785–1825/
Diponegoro dan Asal Usul Perang Jawa, 1785–1825” berhasil
saya pertahankan pada 1976, juga tantangan awal karier saya
sebagai tutor sejarah muda di Trinity College (1979–2008)
berhasil saya atasi, saya mulai melakukan riset untuk menulis
sebuah artikel di jurnal kajian Indonesia, Archipel, yang
berbasis di Paris—pendirinya, Denys Lombard, menjadi teman
Mereka adalah Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby (899–945), komandan Brigade India ke-49, yang tewas di tangan para pejuang Republik di Surabaya pada 30 Oktober 1945 ketika mencoba
menegosiasikan gencatan senjata, dan Mayor Jenderal Sir Robert Mansergh (1900–1970),
komandan Divisi India ke-5, yang diberi tugas untuk mengusir para pejuang tersebut dari kota Surabaya. Ia memulai operasi dari-jalan-ke-jalan-nya pada saat fajar 0 November 945,
kini diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada saat operasi yang dipimpinnya berakhir
pada 29 November, 600 prajurit India-Inggris dan mungkin sekitar 5.000 prajurit nasionalis
Indonesia tewas. Ini adalah pertempuran paling berdarah dalam Perang Kemerdekaan
baik saya. Sebagai titik awal, saya menggunakan kontribusi
Dr. O.W. Tichelaar pada Kongres Orientalis di Canberra
pada 1971 dan penjelasannya yang diturunkan dari bahasa
Sanskerta tentang asal usul toponimi Jalan Malioboro. Akan
tetapi, karena tidak terlalu memahami bahasa Sanskerta dan
bahasa Jawa Kuno, saya terhanyut oleh dugaan imajinatif
saya yang menghubungkan kota Mangkubumi ini dengan
Râmâyaňa yang berbahasa Jawa Kuno (Carey 1984). Hal
ini memicu tanggapan dari Dr. Jacobus (Koos) Noorduyn
(1926–1994), seorang Belanda yang merupakan ahli
bahasa-bahasa Indonesia yang cemerlang. Ia dengan baik melucuti
argumentasi saya dalam tanggapan yang ditulisnya dengan
teliti di jurnal Archipel yang sama (Noorduyn 1986).
Melihat tingginya ketertarikan terhadap sejarah
Yogyakarta, yang mungkin telah dipercepat oleh penerbitan
dua biografi terbaru tentang Raffles (Glendinning 2012;
Hannigan 2012) dan kajian saya tentang Diponegoro yang
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia (Carey 2012; Carey
2014), saya dibujuk oleh editor kepala Komunitas Bambu,
J.J. Rizal, untuk mempersiapkan edisi terbaru artikel-artikel
tentang Malioboro/Yogyakarta. Karena kedua artikel tersebut
ditulis tiga dekade yang lalu dan belum pernah muncul dalam
terjemahan bahasa Indonesia, saya menyambut kesempatan
ini untuk menampilkan perdebatan historis bagi para pembaca
Indonesia terdidik. Semoga publikasi singkat ini—setara
dengan sekapur sirih—dapat menghormati kenangan tentang
Sultan Mangkubumi dan kota pahlawannya dalam ulang
tahun ke-200 pendudukan Inggris selama lima tahun (1811–
1816) dan letnan gubernurnya yang berbakat tapi tragis, Sir
Thomas Stamford Raffles (1781–1826).
Peter Carey
Peter Carey
[Awalnya diterbitkan sebagai: P.B.R. Carey,
‘Jalan Malioboro (“Garland Bearing Street”):
The Etymology and Historical Origins of a Much
Misunderstood Yogyakarta Street Name, Archipel,
Jilid 27, 1984, hlm. 51–62. http://www.persee.fr/
web/revues/home/prescript/article/arch_0044-8613_
1984_num_27_1_1879]
Peter Carey adalah Dosen Emeritus di Trinity
College, Oxford, dan Profesor Luar Biasa (Tamu) di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
(FIB-UI). Karya biografi utamanya tentang Pangeran
(‘Jalan Berhiaskan Untaian Bunga’)
Etimologi dan Asal Usul Historis Nama Jalan
D i p o n e g o r o —T h e P o w e r o f P r o p h e c y ; P r i n c e
Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–
1855 (Leiden: KITLV Press, 2008)—telah terbit
dalam terjemahan bahasa Indonesia sebagai Kuasa
Ramalan; Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan
Lama di Jawa, 1785–1855 (Jakarta: KPG, 2012), dan
versi ringkasnya, Takdir; Riwayat Pangeran Diponegoro
(1785–1855) (Jakarta: Buku Kompas, 2014).
O
rang-orang Inggris yang mengunjungi Yogyakartadan mereka yang tertarik dengan periode kekuasaan
Inggris yang singkat di Jawa (1811–1816) telah lama dibuat
penasaran oleh gagasan bahwa jalan raya prosesi utama di ibu
kota Kesultanan ini, Jalan Malioboro, awalnya diberi nama
menurut gelar John Churchill, Duke of Marlborough pertama
(1650–1722), seorang jenderal pejuang Inggris paling terkenal
pada masanya.1 Contoh dari benteng Inggris di Bengkulu di
Sumatera Barat—Benteng Marlborough—dibangun pada
1714 setelah berakhirnya Perang Suksesi Spanyol (1701–
1714), ketika Marlborough meraih serangkaian kemenangan
yang mengagumkan, kadang kala dikutip sebagai bukti
jaminan bahwa nama Marlborough adalah toponimi yang
disukai di Indonesia pada masa itu. Namun, perlu diingat
bahwa Bengkulu diduduki Inggris hingga 1824, dan walaupun
Yogyakarta memang mengalami pendudukan militer Inggris
yang mendalam dan kepahitan pada Juni 1812 (ketika keraton
diserbu), kota ini tidak pernah berada di bawah kendali
Inggris secara formal selama periode 1811–1816.
Selain itu, argumentasi yang disukai oleh sejumlah orang
bahwa penguasa Yogyakarta mengubah nama jalan utama di ibu
kota mereka karena begitu terkesan oleh orang-orang Inggris dan
Letnan Gubernurnya yang masih muda, Thomas Stamford Raffles
(1781–1826; menjabat, 1811–1816), harus sepenuhnya ditolak
karena tidak masuk akal. Bagaimanapun juga, jalan raya ini
telah dibangun dan digunakan untuk tujuan seremonial tertentu
selama lima puluh tahun sebelum orang Inggris mendirikan
pemerintahannya di Jawa, dan besar kemungkinan bahwa jalan
ini sejak awal telah dikenal sebagai “Jalan Malioboro” (“Jalan
Berhiaskan Untaian Bunga”).2 Dengan demikian, asal usul nama
Dalam upaya menemukan solusi, para cendekiawan
Yogyakarta menunjukkan bahwa nama ini mungkin berasal
dari nama sebuah rumah perburuan (pesanggrahan) yang
digunakan oleh Jayèngrono (Amir Hamza) dalam roman
Jawa-Islam populer karya Amir Hamza yang berkaitan
dengan sepak terjang paman Nabi (Kota Jogjakarta 200 tahun
1956:26 catatan 1). Gagasan ini mungkin ada benarnya,
tetapi terdapat penjelasan lain yang sepertinya jauh lebih
masuk akal. Petunjuknya adalah nama Ngayogyakarta sendiri
yang kemungkinan berasal dari kata Ayodhyâ dalam bahasa
Sanskerta (Bahasa Jawa Modern: “Ngayodya”), ibu kota
pahlawan India Râma dalam epos Râmâyana (Ricklefs 1974:80
catatan 33). Pengaruh kesusastraan India seperti itu, yang di
Jawa dikenal melalui media kakawin (puisi bermetrum sekar
ageng) yang berbahasa Jawa Kuno, mungkin memengaruhi
pilihan nama “Malioboro”, yang kelihatannya merupakan
bentuk saduran bahasa Jawa dari kata “mâlyabhara” (berhiaskan
untaian bunga) dalam bahasa Sanskerta.3
S a y a n g n y a , w a l a u p u n i s t i l a h S a n s k e r t a “m â l y a”
(“karangan bunga, untaian bunga atau tasbih”), “mâlyakarma”
(“mendapatkan untaian bunga”), dan “mâlyabhârin”
(“berhiaskan atau mengenakan untaian bunga”) dapat dilacak
dalam Râmâyana berbahasa Jawa Kuno yang ditulis pada
pertengahan abad ke-9, juga dalam Adiparwa dan Wirâthaparwa
yang ditulis pada akhir abad ke-10, kata-kata tersebut belum
ditemukan dalam naskah apa pun dari masa selanjutnya yang
mungkin lebih dekat masanya dengan pendirian kerajaan baru
di Yogyakarta oleh Mangkubumi pada 1749.4
Walaupun demikian, hampir bisa dipastikan bahwa
terdapat kisah Râmâyana dalam versi bahasa Jawa Modern,
serta salinan beberapa naskah berbahasa Jawa Kuno yang
masih ada, di istana-istana Jawa Tengah pada pertengahan
abad ke-18.5 Selain itu, terdapat bukti jelas bahwa setidaknya
satu kakawin berbahasa Jawa Kuno, Dharmasûnya, dikenal dan
disalin di istana Kartasura setidaknya pada 1716 (Ricklefs
1978:153–154). Jadi, mungkin tidak terlalu berlebihan untuk
merentangkan bukti lebih jauh agar dapat mendalilkan bahwa
sebagian, walaupun tidak beraturan, pengetahuan tentang
bentuk dan frasa bahasa Jawa Kuno masih ada di kalangan
“Malioboro” mulai banyak digunakan di ibu kota Sultan
setelah perjanjian perdamaian Giyanti pada 13 Februari 1755.
Dalam hal ini, menarik untuk mengamati bahwa sebagian
makna asli bahasa Sanskerta yang samar-samar masih dapat
dipahami dalam lema untuk kata “malya” dan “bara” dalam
karya Gericke dan Roorda yang terkenal, Kamus Bahasa
Belanda-Jawa Modern edisi ke-empat.6
Bukti ini memang belum meyakinkan dan akan tetap
demikian hingga kata “maliabara” benar-benar ditemukan
dalam naskah yang berasal dari Yogya pada pertengahan
abad ke-18. Akan tetapi, hubungan etimologis antara nama
Jalan “Malioboro” dan gabungan kata bahasa Sanskerta
“mâlyabhara” sudah disebutkan oleh Profesor C.C. Berg
dalam kuliahnya di Leiden University pada dekade 1950-an
dan 1960-an, dan oleh almarhum Dr. O.W. Tichelaar dalam
sebuah makalah yang disampaikan pada Kongres Orientalis
Internasional ke-28 di Canberra. Sinopsis makalah tersebut
adalah sebagai berikut (tambahan dari penulis ditulis dalam
kurung siku):
“Etimologi populer mengambil nama salah satu jalan
utama di Yogyakarta, yaitu Malioboro [Maliabara], dari nama
keluarga Inggris Marlborough. Meskipun demikian, asal mula
ini kecil sekali kemungkinannya tidak hanya karena nama
Marlborough tidak muncul dalam History of Java [Sejarah Jawa]
(London, 1817) yang ditulis oleh Raffles, tetapi juga karena
Jalan Malioboro terbentang dari kompleks istana atau keraton
Yogyakarta hampir tepat ke utara dan diarahkan menuju
gunung berapi Gunung Merapi. Dengan kata lain, bagi orang
Jawa, Malioboro [Maliabara] menjadi jalan yang [amat] terlalu
penting untuk diberi nama menurut nama seorang Inggris, yang
merupakan orang asing bagi mereka.
Tata letak keraton mengingatkan kita tentang gagasan
perencanaan kota menurut orang India (cf. Mânâsâra,
vol. VII): kota lebih disukai berbentuk segi empat atau
persegi panjang; kota harus diorientasikan ke arah
titik-titik utama kompas; kota harus dibangun di dekat laut,
sungai atau gunung dan harus, antara lain, memiliki gerbang
Keraton Yogyakarta memenuhi semua persyaratan ini. Dalam
sebuah kota India (tetapi bandingkan pula dengan
desa-desa kepangeranan Bali), jalan-jalan utama (râjamârga)
membentang dari Timur ke Barat dan dari Utara ke Selatan.
Malioboro [Maliabara] membentang dari Selatan ke Utara
dan kemungkinan memang hanya merupakan râjamârga atau
jalan kerajaan.
Menurut tradisi India (cf. Râmâyana, edisi Mumbay, 2, 17,
2), jalan-jalan kerajaan ini, terutama pada hari perayaan, dihiasi
antara lain dengan “mâlya” atau untaian (bunga). Dalam bahasa
Sanskerta “dihiasi dengan untaian bunga” adalah “mâlyabhara”
atau “mâlyabhâra” (istilah “mâlyabara” dibuktikan dalam PW
[Petersburger Wörterbuch] dan inilah asal usul nama Malioboro
[Maliabara]” (Tichelaar 1976:187–188).
Dalam kasus Yogyakarta, terdapat bukti jelas bahwa arti
kata aslinya dalam bahasa Sanskerta (India) masih dilestarikan
dalam cara bahwa Jalan Malioboro berfungsi sebagai jalan
raya seremonial (râjamârga) menembus jantung kota, dan
dalam cara pendekorasiannya pada saat kunjungan resmi para
gubernur jenderal atau pejabat tinggi Eropa lainnya.
Membentang dalam garis lurus sepanjang sekitar satu
setengah kilometer dari Bangsal Witana atau Sitinggil (secara
harfiah: “tanah tinggi”) di depan keraton, hingga Tugu atau
lingga seremonial yang didedikasikan untuk makhluk halus
penjaga (baureksa) Yogyakarta, Kyai Jogo (Jaga) di sebelah
utara,7 keseluruhan jalan ini memenuhi fungsi simbolis
yang sangat penting bagi keraton Yogyakarta. Ketika Sultan
keluar dari keraton dalam (kadaton) untuk duduk bertakhta
(miyos sinéwaka) di Sitinggil selama upacara publik, ia
akan dapat melihat lurus sepanjang Jalan Malioboro hingga
Tugu di kejauhan. Sebaliknya, Tugu ini, dalam pandangan
Sultan akan terbingkai oleh dua buah pohon beringin
kurung (waringin kurung sapasang) di alun-alun bagian utara
(lapangan seremonial), Kyai Dewadaru di sebelah barat dan
Kyai Joyo(atau Jono)daru di sebelah timur. Dalam kajian
simbol keraton Jawa, kesemuanya mewakili penyatuan
hal-hal yang berlawanan (loroning atunggal; secara harfiah: “dua
dalam satu”).
Bagi orang Jawa, rangkaian mistis ini termasuk peleburan
tidak mudah dipahami antara Penguasa dan rakyatnya
(manunggaling kawula lan gusti) (Kota Jogjakarta 200 tahun
1956:14, 19; Lind 1975:58). Karena lokasinya yang berada
di pusat trinitas visual yang terbentuk seperti itu, Tugu yang
ada di kejauhan berdiri sebagai simbol esensi kekuatan hidup
(sumber urip), atau, dalam filosofi Tantra India, pertemuan
subur antara kekuatan generatif (purusa) dan reseptif (prakrti)
(Kota Jogjakarta 200 tahun:14, 19; Basham 1974:327).
Seperti dikatakan oleh Pigeaud: “hanya penguasa, yang bisa
dianggap sebagai perwakilan penyatuan yang melingkupi
semuanya, boleh menginjakkan kakinya di titik antara kedua
pohon waringin [kurung] yang mewakili penyatuan” (Lind
1975:58).
Dengan cara ini, menurut almarhum Pak Darmosugito
(Kota Jogjakarta 200 tahun 1956:19), seorang ahli tentang aspek
ini dalam sejarah Yogyakarta, Sultan pertama (Mangkubumi)
secara sengaja telah membuat simbol meditasi yang kuat
dengan menyejajarkan Tugu dan kedua pohon waringin kurung
di sepanjang sumbu jalan seremonial utama (râjamârga) di ibu
kota barunya.
Banyak dari aspek seremonial dan simbolis ini dapat
dilihat pada saat para gubernur jenderal atau pejabat tinggi
sipil dan militer Eropa lainnya berkunjung ke Yogyakarta.
Pada kesempatan ini, peran Jalan Malioboro sebagai jalan
raya prosesi ditekankan melalui pendirian “lengkungan
kemenangan”, melalui kehadiran dua barisan prajurit
Jawa bersenjata tombak yang berdiri berbaris di sepanjang
keseluruhan rute, dan oleh orkestra Jawa (gamelan) yang
dimainkan pada saat para pembesar Eropa mendekat. Catatan
resmi dalam Java Government Gazette tentang seremoni
masuknya Raffles ke Yogyakarta melalui Jalan Malioboro di
sore hari pada Rabu 8 Desember 1813 memberikan kesan jelas
terhadap peristiwa semacam itu8:
“Prosesi, yang mewakili kemegahan Jawa yang jarang
terkalahkan, bergerak maju secara perlahan melewati dua
barisan prajurit [Jawa] bersenjatakan tombak yang di antara
mereka tersebar para pembawa panji berbagai pangeran dan
bupati tempat mereka mengabdi. Sejumlah gomblong [gamelan]
di sepanjang jalan, mengumumkan mendekatnya Yang Mulia
[Letnan Gubernur, yaitu Raffles] melalui musik yang riang dan
berulang. Jalan dari Reksanegaran9 ke Karesidenan menanjak
sejauh empat mil [sic; faktanya sekitar dua mil], lebarnya
hampir 100 kaki, dan di kedua sisinya ditumbuhi oleh barisan
pohon [waringin tinggi] yang indah, yang dalam jarak cukup
jauh [yaitu di keseluruhan panjang Jalan Malioboro] lurus
sempurna. Dalam kesempatan ini, hal tersebut menghadirkan
perspektif agung. Lengkungan kemenangan [? dari daun palem]
[telah] didirikan dalam jarak yang sama melintang jalan, yang
menghasilkan efek yang sangat luar biasa.”
Pada satu sisi, deskripsi ini dapat dibaca apa adanya,
catatan terus terang tentang bagaimana cara seorang kepala
pemerintah kolonial di Jawa disambut di ibu kota sultan
dan penghormatan yang diberikan kepadanya. Namun, bagi
orang Jawa, keseluruhan prosesi masuk di sepanjang Jalan
Malioboro mungkin memenuhi fungsi yang jauh lebih penting.
Bagaimanapun juga, gubernur jenderal (atau letnan gubernur
selama periode Inggris, 1811–1816) bukanlah manusia biasa.
Ia yang dipanggil sebagai “kakek” (ingkang eyang) oleh orang
Jawa, dianggap sebagai pewaris sah hak kedaulatan kerajaan
Pajajaran abad ke-14 di Jawa Barat, dan dengan demikian
setara dengan para penguasa di Jawa selatan-tengah. Akan
tetapi, ia tidak memiliki hak berdaulat terhadap Mataram.
Pusat kekuasaannya adalah di Batavia (setelah 1942 dialihkan
nama menjadi Jakarta), dan, dalam pandangan orang Jawa,
semua hubungan antara dirinya dan para raja Jawa
selatan-tengah harus diatur melalui medium kontak duta besar yang
sesuai untuk para penguasa dengan status setara (Ricklefs
1974:373 dst.).10
Hingga awal abad ke-19, pandangan ini masih dapat
dipertahankan, tetapi setelah para gubernur jenderal Eropa
mulai semakin sering mengunjungi istana, yang dimulai
dengan Marsekal Herman Willem Daendels (1762–1818;
menjabat, 1808–1811) pada Juli 1809, mulai muncul berbagai
masalah (Carey 2012:196, 208, 618; 2013:15–18). Bagaimana
orang terkemuka seperti ini harus disambut? Seberapa jauh di
luar keraton Sultan harus berjalan untuk menemuinya? Apa
dari status setara ini dapat dijaga dalam hal pengaturan tempat
duduk, ketinggian kursi, cara menyapa, dan posisi dalam
prosesi? Hal paling penting adalah apa yang bisa dilakukan
untuk menetralkan dan menyerap kekuatan berbahaya yang
diwakilinya? Pertanyaan terakhir ini sangat penting dalam
kasus Yogyakarta karena di sini gubernur jenderal selalu
melakukan acara seremonial masuknya ke dalam ibu kota dari
utara, arah utama yang dalam benak orang Jawa dihubungkan
dengan kegelapan, kematian, dan kekuatan jahat (Pigeaud
1977:72).
Dengan demikian, seremonial masuknya gubernur
jenderal melewati Jalan Malioboro memenuhi dua tujuan
penting bagi orang Jawa: pada satu sisi, seremoni ini dirancang
untuk memberikan penghormatan yang layak diterima oleh
tamu terhormat, sedangkan pada sisi lain, seremoni ini
dimaksudkan untuk “menjinakkan” kekuasaannya yang sangat
besar dengan membuatnya harus menjalani proses melewati
Tugu yang memiliki kekuatan magis kuat dan waringin kurung
sejauh satu setengah kilometer ke selatan di bawah tatapan
tajam para prajurit Jawa bersenjata.11 Fungsi terakhir ini
mungkin dapat dihubungkan dengan pertarungan harimau
melawan kerbau di alun-alun keraton sebelah selatan yang
selalu menjadi ciri biasa dalam peristiwa seperti ini. Orang
Jawa memandang pertarungan ini sebagai pemeranan simbolis
bagi perjuangan terus-menerus antara mereka sendiri (yang
diwakili oleh kerbau yang lambat dan berhati-hati) dan orang
Eropa (yang diwakili oleh harimau yang cepat dan mematikan,
tetapi mudah lelah). Tak perlu dikatakan lagi bahwa
orang-orang Jawa yang menonton pertarungan ini sangat senang
karena kerbau hampir selalu menjadi pemenangnya (Ricklefs
1974:274–5, 303–4, 345–6; Carey 2012:233–6).
Sayangnya, pencegahan yang rumit dan konflik simbolis
ini tidak terlalu berguna dalam menghambat kemunduran
kekuasaan Jawa yang tak terhindarkan menghadapi pemerintah
kolonial dalam tahun-tahun setelah kedatangan Daendels
sebagai gubernur jenderal pada Januari 1808. Bahkan,
di luar kunjungan Raffles sendiri (yang ketiga) ke Yogya
pada Desember 1813, kedatangan gubernur jenderal atau
letnan gubernur di ibu kota sultan hampir selalu membawa
29 Juli–2 Agustus 1809 dan 28 Desember 1810–4 Januari
1811, mula-mula diikuti oleh pemberontakan singkat
(November–Desember 1810) yang dipimpin oleh Raden
Ronggo Prawirodirjo Ill (?1779–1810; menjabat, 1796–
1810). Ia adalah bupati wedana Yogya di Madiun. Kemudian,
kunjungan Daendels pun menyebabkan diturunkannya Sultan
kedua dari takhta pada 31 Desember 1810.
Dua kunjungan pertama Raffles pada 27–29 Desember
1811 dan 17–23 Juni 1812, meningkatkan kerumitan politik
di Yogya dengan memulihkan kekuasaan Sultan kedua yang
gemar berperang (28 Desember 1811). Hal ini akhirnya
menimbulkan penyerbuan ke keraton Yogya pada 19–20 Juni
1812. Akhirnya, setelah pemulihan kekuasaan Belanda di
Jawa (19 Agustus 1816) pada akhir Perang Napoleon, tiga
kunjungan Gubernur Jenderal baru yang cermat, G.A.G.
Ph. van der Capellen (menjabat, 19 Agustus 1816–1 Januari
1826), pada 24–26 Agustus 1817, 29–31 Agustus 1819, dan
3–5 September 1822, diikuti oleh keputusan pemerintah
kolonial yang menimbulkan bencana untuk melakukan
kebijakan aneksasi teritorial lebih lanjut di Jawa
selatan-tengah. Selain itu, dilakukan pula penghapusan penyewaan
lahan keraton-keraton Jawa yang menguntungkan kepada
para pemilik perkebunan asing (6 Mei dan 20 Mei 1823).
Seperti telah diketahui, kejadian-kejadian ini memicu Perang
Jawa pada 20 Juli 1825, dan pada akhirnya menghapus
sisa-sisa kemerdekaan politik kerajaan-kerajaan Jawa
selatan-tengah pada 1830 (Carey 2012:620–31, 695–709).
Tahun-tahun setelah berakhirnya Perang Jawa (1825–
1830) menjadi saksi atas peran utama yang tetap dimainkan
Jalan Malioboro sebagai jalan raya prosesi. Para gubernur
jenderal masih melakukan seremoni masuk kota melewati jalan
ini, serta pertarungan harimau dan kerbau terus dilangsungkan
di alun-alun selatan, walaupun hanya orang-orang Jawa paling
optimis yang merasa bahwa ritual ini masih mempertahankan
kemanjurannya. Walaupun demikian, sisa-sisa “kesaktian”
lama râjamârga (jalan kerajaan) masih bertahan. Jadi, ketika
Yogyakarta kelihatannya terancam oleh penyebaran penyakit
berbahaya seperti pandemi flu Spanyol pada Oktober–
November 1918 dan penyakit pes pada Desember 1932, jalan
keliling ketika dua panji pusaka keraton, Kangjeng Kyai
Tunggul Wulung dan Kangjeng Kyai Paré Anom, dibawa
secara khidmat berkeliling kota (Lind 1975:44 mengutip
Soedjono Tirtokoesoemo). Dalam kesempatan lain selama
periode ini, terutama selama pemerintahan Sultan Hamengku
Buwono VII (1877–1921), jalan raya ini menjadi saksi prosesi
para penari dan musisi Beksan Trunojoyo yang diatur dengan
indahnya ketika pertunjukan tari diselenggarakan di Kepatihan
setelah upacara pernikahan kerajan di keraton.12
Bahkan, pada periode sejak kemerdekaan Indonesia pada
1945, Jalan Malioboro kadang kala tetap digunakan untuk
parade seremonial seperti defile tahunan pasukan garnisun
Yogya dalam perayaan Hari Angkatan Bersenjata pada 5
Oktober.13
Namun, penampilan fisik jalan raya ini telah banyak
mengalami perubahan selama seratus lima puluh tahun
terakhir. Jalan yang sebelumnya lebar dan megah, râjamârga
sebenarnya, yang tepi jalannya ditanami pohon-pohon
waringin tinggi dan kampung yang tertata rapi, sekarang
menjadi toserba komersial yang didominasi oleh toko-toko
milik orang Tionghoa atau Indonesia.14 Berkembangnya
teknologi penerangan lampu gas pada 1890 dan peralihan
ke penerangan jalan listrik modern pada 1917–1921 pada
akhirnya mengubah karakter jalan raya ini dan mempercepat
proses komersialisasi.15
Sekarang, sedikit sekali suasana asli jalan kerajaan
sultan pertama ini yang masih tersisa. Mungkin, ini adalah
komentar pahit terhadap metamorfosis yang telah dialami
Jalan Malioboro pada abad ke-20 sehingga penduduk
modern Yogyakarta siap menerima anggapan bahwa nama
jalan tersebut berasal dari nama seorang jenderal Inggris
ternama dan bukan eponim dari ibu kota Râma dalam sastra
klasik Sanskerta yang mungkin menjadi asal nama kota ini.
Kiranya, tidak perlu dibayangkan pikiran apa yang ada dalam
benak Mangkubumi sendiri tentang hilangnya kenangan
yang disayangkan ini, serta upaya “restorasi” tidak kompeten
terhadap Jalan Malioboro yang dilakukan para walikota dan
perencana Yogyakarta yang tidak memiliki imajinasi selama
periode Orde Baru (1966–1998) dan Reformasi (1998 hingga
CATATAN:
1. Tentang hubungan yang diasumsikan ada antara Jalan
Malioboro dan John Churchill, Duke of Marlborough
Pertama (1650–1722), lihat Kota Jogjakarta 200 tahun
1956:26 catatan kaki 1; tentang John Churchill dan para
keturunannya, lihat Montague-Smith 1963:809–12, sub:
“Marlborough, Duke of”.
2. Terdapat pendapat bahwa pengucapan nama Marlborough
(“Maulbro”) dalam bahasa Inggris akan menjadi “Malbro”
dalam bahasa Jawa dan bukan “Malioboro” yang lebih
“berbunga-bunga”, tetapi argumentasi ini tidak kuat karena
begitu banyaknya ragam nama-nama Inggris dalam bahasa
Jawa, sebagai contoh lihat Ricklefs 1974:383–4.
3. Saya sangat berterima kasih kepada Profesor Richard Gombrich,
mantan Profesor Boden bahasa Sanskerta di University of
Oxford, karena membantu saya dalam memastikan identifikasi
ini. Tentang asal usul pendapat tentang hubungan antara
“Malioboro” dan “mâlyabhara”, lihat catatan 1 di atas dan
catatan 4 di bawah.
4. Saya sangat berterima kasih kepada Dr. S.O. Robson atas
rujukan ini. Ketika awalnya saya menulis artikel ini pada 1984,
saya berasumsi bahwa Tichelaar (1976:188) merujuk pada
kakawin bahasa Jawa Kuno Pârthawijaya (“Kemenangan Pârtha”)
ketika ia menulis bahwa “istilah ‘mâlyabhârin’ dibuktikan
kebenarannya dalam PW”. Namun, seperti ditunjukkan dengan
benar oleh almarhum Dr. J. Noorduyn (lihat di bawah ini),
Tichelaar sebenarnya merujuk pada Petersburger Wörterbuch
(Kamus Bahasa Sanskerta-Jerman St. Petersburg) yang
terkenal dan diedit oleh Otto Böthlingk dan Rudolf Roth,
serta awalnya diterbitkan dalam tujuh jilid di St. Petersburg
pada 1855. Menariknya, pencarian atas kata-kata yang sama
ini—“mâlyabhâra”, “mâlyabhara” dan “mâlyabhârin”—dalam
edisi daring Kamus terkenal ini tidak mendapatkan hasil. Jadi,
tidak jelas dari mana Tichelaar dan Noorduyn mendapatkan
informasi mereka, lihat: http://www.sanskrit-lexicon.uni-koeln.
de/scans/PWScan/disp2/index.php.
5. Lihat Ricklefs 1974:80 catatan 33; Ricklefs dan Voorhoeve
1977: 45 sub: “Add. 12273”; 59 sub: “IOL Jav. 13”; 60 sub:
Java 30”; dan Ricklefs 1978:152–53.
6. Gericke dan Roorda 1901:509 sub: “malya”; 664 sub: “bara”.
Varian arti kata bara dalam bahasa Jawa Modern adalah
sebagai berikut: “rumbai, tepian, hiasan atau jumbai seperti
yang ditemukan pada ujung ikat pinggang sutra (sabuk) atau
tepian payung emas (payung kenegaraan) Sunan”; “dipunbara”
= “menghiasi dengan rumbai, tepian atau hiasan”.
7. Tentang makhluk halus penjaga yang pada awalnya menguasai
hutan Bringan (Alas Bringan), yang telah dibabat habis oleh
sultan pertama (Mangkubumi, bertakhta, 1749–92) untuk
memberi jalan bagi pembangunan keraton Yogyakarta, lihat
Kota Jogjakarta 200 tahun 1956:14. Menariknya, sebuah sumber,
Kidung Lalembut (“Nyanyian Makhluk Halus”), yang dikutip
dalam Ricklefs 1974:406 catatan 60, merujuk pada makhluk
halus lainnya yang menjadi pelindung Yogyakarta, Ratu Ayu
Dyarawati, yang tentu saja terkait dengan ratu makhluk halus
laut selatan (Ratu Kidul).
8. Java Government Gazette, 8-01-1814. Saya berterima kasih
kepada Profesor John Bastin, mantan Profesor Sejarah Asia
Tenggara di School of Oriental & African Studies di London,
atas rujukan ini. Tambahan dalam kurung siku dibuat oleh
penulis.
9. Ini adalah paviliun (pesanggrahan) elegan milik Kepala
Pengumpul Pabean dan Pintu Tol (Wedana Bandar) di
Yogyakarta, Kyai Tumenggung Reksonegoro (?1740–?1812),
yang mendapatkan kekayaannya dari berbagai bisnisnya.
Paviliun ini, dibuat dari kayu jati yang terukir indah, berada
di samping rumahnya dan penggilingan tebu di jalan utama
Yogya-Solo tidak jauh di sebelah timur Tugu (saat ini berada di
persimpangan Jalan Sudirman dan Jalan Dr. Sam Ratulangie).
Tempat ini sering digunakan sebagai tempat penyambutan oleh
Sultan ketika para gubernur jenderal, atau letnan gubernur
seperti dalam kasus Laksamana Muda Arnoud Adriaan Buyskes
(19 November 1808), dan Raffles 27–29 Desember 1811, 17–24
Juni 1812, 9–12 Desember 1813 dan 12–14 Januari 1816,
mengunjungi Yogyakarta.
10. Satu-satunya gubernur jenderal yang mengunjungi Jawa
selatan-tengah sebelum awal abad ke-19 adalah
Gubernur-Jenderal G.W. van Imhoff (1705–1750; menjabat, 1743–1750).
langsung memicu pemberontakan Pangeran Mangkubumi
(pasca-1749, Sultan Mangkubumi/Hamengku Buwono I), lihat
Ricklefs 1974:40.
11. Pada kenyataannya, prosesi Gubernur Jenderal berhenti di
Rumah Keresidenan Yogya yang terletak di sisi barat Jalan
Malioboro, tepat di sebelah utara alun-alun utara. Akan
tetapi, jelas sekali bahwa tujuan prosesi masuk ke dalam kota
Yogyakarta dimaksudkan untuk mengesankan atau bahkan
menakuti para pejabat Eropa yang datang. Misalnya, Raffles
jelas sekali terkesima oleh penerimaan yang diterimanya pada
Desember 1811, ketika sekitar 10.000 prajurit dari beragam
kesatuan (sebagian besar adalah kavaleri) yang berjajar di
sepanjang Jalan Malioboro selama seremoni kedatangannya di
ibu kota Sultan, lihat Carey 2012:8, mengutip British Library
Additional MS. 45272, Raffles (Batavia/Jakarta) kepada Lord
Minto (Calcutta/Kolkata), 21 Januari 1812. Sebelumnya, pada
waktu kunjungan Gubernur Pesisir Timur Laut Jawa, Jan Greeve
(1743/44–1793; menjabat, 1787–1791), ke Yogya pada Agustus
1788, para prajurit Jawa yang menjadi barisan kehormatan
menembakkan salvo “selamat datang” dengan senapan mereka
mengarah langsung ke pejabat Belanda (senapan-senapan
tersebut berisi peluru hampa) yang membuat kuda-kuda penarik
kereta melonjak kaget dan untuk sementara waktu membuat
takut rombongan Belanda, lihat Ricklefs 1974:302. Mungkin,
peristiwa ini dapat dibandingkan dengan cara orang-orang
Tibet menyambut ekspedisi militer Inggris pertama ke Lhasa
di bawah pimpinan Mayor Francis Younghusband (1863–1942)
pada 1904. Dilaporkan bahwa orang-orang yang berjajar di
tepi jalan bertepuk tangan untuk mengusir makhluk-makhluk
halus jahat yang dianggap telah dibawa masuk ke dalam Kota
Terlarang oleh orang Inggris barbar. Namun, orang Inggris
menganggap tepuk tangan ini sebagai bentuk sambutan hangat
dan aplaus: lain ladang, lain belalang! Saya sangat berterima
kasih kepada almarhum Dr. Michael Aris (1946–1999), seorang
cendekiawan Buddhisme Tibet di Oxford University, atas
informasi berharga ini.
12. Dari informasi yang dengan baik hati disediakan oleh Nona
Jenny Lindsay, M.A., dari University of Sydney (Australia)
yang sekarang tinggal di kabupaten Bantul, yang mampu
Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) di Yogyakarta, komunikasi
pribadi, 4 Februari 1983. Beksan Trunojoyo, dikenal juga sebagai
Beksan Lawung (tari “tombak”) adalah tarian istana eksklusif
yang dipertunjukkan oleh para anggota korps elite Trunojoyo
Nyutro yang bertugas sebagai pengawal pribadi Sultan Yogya
dalam kesempatan seremonial. Biasanya, tiga puluh dua penari
(pria) ambil bagian, sebagian besar dari mereka bersenjatakan
lawung atau tombak dan repertoar mereka termasuk Lawung
Ageng (tari tombak “Besar”), Lawung Alit (tari tombak “Kecil”),
dan Sekar Madura (secara harfiah: “epos puitis Madura”).
Tarian ini dipentaskan setelah selesainya resepsi pernikahan
kerajaan di dalam keraton. Para penari berkumpul di keraton
dan berbaris menuju alun-alun utara tempat mereka menaiki
kuda untuk perjalanan singkat menyusuri Jalan Malioboro ke
Kepatihan (kediaman perdana menteri [patih] Yogya), sementara
moco kondo [maca kanda] (narator epos) menaiki kereta kuda
dan para musisi berjalan sambil memainkan instrumen gamelan
yang dibawa di hadapan mereka. Setibanya mereka di kediaman
perdana menteri, para penari diterima secara kerajaan, dan
dipersilakan duduk di atas kursi (lenggah kursi). Etiket keraton
menyatakan bahwa Sultan tidak boleh hadir dalam resepsi
semacam itu di Kepatihan sehingga perdana menteri atau patih
Yogya (pra-1945, Raden Adipati Danurejo) bertindak sebagai
tuan rumah. Untuk informasi selanjutnya tentang Beksan
Trunojoyo, lihat Wasisto Suryodiningrat 1971:31–33.
13. Penulis menyaksikan salah satu parade tahunan “Hari
Angkatan Bersenjata” ini pada 5 Oktober 1972. Terlihat sekali
bahwa walaupun para prajurit Sultan Hamengku Buwono IX
(bertakhta, 1939–1988) seharusnya ambil bagian, mereka tidak
melakukannya, mungkin karena penguasa Yogya merasa bahwa
parade ini pada dasarnya adalah acara Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI, pasca-1998, Tentara Nasional
Indonesia/TNI) dan bukan seremoni keraton. Beliau mungkin
juga ingin mempertahankan jarak tertentu antara dirinya
sendiri dengan militer Indonesia modern yang pada saat itu
sedang menancapkan kakinya secara politik di bawah Orde
Baru Presiden Soeharto (1966–1998) yang militeristis.
14. Untuk deskripsi tentang situasi Jalan Malioboro pada 1812,
lihat KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
van Sevenhoven, “Aanteekeningen gehouden op eene reis
over Java van Batavia naar de Oosthoek in [...]1812 [Catatan
yang dibuat selama perjalanan menyusuri Jawa dari Batavia ke
tonjolan timur pada [...] 1812” (diedit oleh Frederik de Haan),
hlm. 107. Satu-satunya aktivitas pasar di dekat jalan raya pada
saat itu adalah pasar berkala yang bertempat di bawah naungan
pohon-pohon waringin tepat di luar Benteng Vredeburg di sisi
timur Jalan Malioboro, lihat Lettres de Java 1829:100; lebih
jauh lihat Carey 2012:3 catatan 7. Tentang komersialisasi jalan
raya ini yang terjadi dengan cepat pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20, lihat Kota Jogjakarta 200 tahun 1956:26.
15. Tentang pemasangan lampu penerangan jalan gas dan listrik
[Diambil dari J. Noorduyn, ‘The Etymology of the
Name of Yogyakarta’, Archipel (Paris), Vol. 31, 1986.
hlm. 87–96]. http://www.persee.fr/web/revues/home/
prescript/article/arch_0044-8613_1986_num_31_
1_2272]
Jacobus (Koos) Noorduyn (1926–94) adalah
seorang cendekiawan Barat terkemuka di bidang
b a h a s a - b a h a s a A u s t r o n e s i a y a n g m e n g a m b i l
spesialisasi dalam bahasa-bahasa Sulawesi Selatan
(Bugis, Makassar, dll) dan Jawa Barat (Sunda). Ia
mengabdi di Masyarakat Injil Belanda (Nederlandsch
Bijbel Genootshap) di Bogor (1957–1961) dan
kemudian bergabung dengan Institut Kerajaan
untuk Linguistik dan Antropologi (Koninklijk
Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) di
Leiden, menjadi Sekretaris Jenderalnya (Algemeen
Secretaris) (1965–1990) dan walaupun singkat
pernah menjadi Direkturnya (Directeur-secretaris)
(1990–1991). Artikel ini ditulis untuk menanggapi
artikel yang dipublikasikan oleh Peter Carey pada
1984 dalam Archipel.
D
alam penafsiran yang menarik tentang fungsi simbolisdan nyata dari jalan raya prosesi utama Yogyakarta, Jalan
Malioboro, Dr. Peter Carey telah membuat pernyataan yang
ditulisnya dengan baik yang mendukung hipotesis bahwa
nama jalan ini diturunkan dari kata bahasa Sanskerta, yaitu
“mâlyabhâra” atau “berhiaskan untaian bunga”. Pernyataan
ini mengikuti almarhum Drs. O.W. Tichelaar, orang pertama
yang mengajukan hipotesis yang sama pada 1971 dalam
bentuk cetakan (Tichelaar 1976:188).
Etimologi yang diusulkan bagi nama jalan ini bisa saja
memang benar terlepas dari fakta bahwa sejumlah argumentasi
yang diajukan oleh Dr. Carey tidak terlalu meyakinkan
seperti pada kesan pertamanya. Ketika Drs. Tichelaar, seorang
ahli bahasa Sanskerta, merujuk pada Râmâyana 2, 17, 2
edisi Bombay (Mumbay), untuk tradisi India yang berkaitan
dengan jalan kerajaan (râjamârga), dan mungkin juga berlaku
di Yogyakarta, ia merujuk pada Râmâyana berbahasa Sanskerta
karya Vâlmîki dan bukan Râmâyana berbahasa Jawa Kuno, yang
tidak mengandung rujukan pada tradisi ini. Saat ini tidak sulit
untuk menetapkan dari kamus Old Javanese-English Dictionary
(Bahasa Jawa Kuno-Inggris) karya Zoetmulder (Zoetmulder
1982:I, 1095), bahwa kata “mâlya” (“untaian bunga”) dan
“mâlyakarma” (“mendapatkan untaian bunga”) dalam bahasa
Sanskerta terbukti keberadaannya dalam bahasa Jawa Kuno,
tetapi kata “mâlyabhâra” atau “mâlyabhârin” (keduanya berarti
“berhiaskan untaian bunga”) tidak terbukti.
Ketika Drs. Tichelaar merujuk pada “PW” untuk
istilah “mâlyabhâra” atau “mâlyabhârin”, tentu saja yang
dimaksudkannya adalah kamus bahasa Sanskerta-Jerman yang
tebal dan umumnya dikenal sebagai Petersburger Wôrterbuch,
dengan singkatan ini (lihat Carey catatan 4 sebelumnya).
Dengan demikian, tidak ada satu pun dari kedua kata bahasa
Sanskerta ini yang terbukti keberadaannya di mana pun
dalam bahasa Jawa Kuno, dan hanya satu kata—dan bukan
kata yang menjadi asal nama Malioboro—ada dalam bahasa
Sanskerta.
Walaupun demikian, mâlyabhâra, walaupun tidak terbukti
keberadaannya dalam kamus-kamus bahasa Sanskerta, bisa
saja merupakan kata gabungan yang sepenuhnya normal dalam
bahasa tersebut, serta bisa saja dibuat untuk tujuan khusus,
yaitu memberi nama bagi jalan raya utama di Yogyakarta.
Namun, apakah memang seperti itulah adanya, dan jika
memang demikian kapan hal ini terjadi, akan tetap menjadi
rahasia selama tidak ada pembenaran historis lebih lanjut.
Oleh karena itu, Dr. Carey memang benar ketika menyatakan
bahwa “bukti ini memang belum meyakinkan dan akan tetap
demikian hingga kata ‘Malioboro’ benar-benar ditemukan
dalam naskah berbahasa Jawa yang berasal dari Yogya
pertengahan abad ke-18”. Untuk menambahkan sifat belum
adanya kesimpulan ini maka kita dapat menyatakan bahwa,
hingga ada bukti baru ditemukan, tetap ada kemungkinan
bahwa nama ini tidaklah setua kota Yogyakarta itu sendiri.
Karena tidak ada bukti lainnya tentang kata bahasa
Sanskerta yang tidak dikenal dalam bahasa Jawa yang
digunakan oleh orang Jawa untuk memberi nama jalan,
mungkin saja, misalnya, nama ini diusulkan kepada salah
satu sultan selanjutnya oleh para ahli bahasa Sanskerta
dari barat, seperti A.B. Cohen Stuart (1825–1876), yang
bekerja di Surakarta dan Batavia pada 1847–1876. Salah satu
kegiatannya adalah memberi masukan kepada Susuhunan
Surakarta [Paku Buwono IX , bertakhta 1861–1893] dalam hal
revisi kalender Jawa. Hal ini juga tidak lebih dari kemungkinan
teoretis sepanjang kita tidak memiliki bukti konkret untuk
mendukungnya. Akan tetapi, berlawanan dengan teori
bahwa nama “Malioboro” telah ada sejak awal pendirian
kota Yogyakarta, teori ini akan menjelaskan mengapa sebuah
kata bahasa Sanskerta digunakan oleh orang Jawa sebagai
nama jalan dan mengapa nama tersebut sejauh ini belum
ditemukan dalam deskripsi yang lebih tua tentang Yogya atau
Salah satu argumentasi yang diajukan oleh Dr. Carey
untuk mendukung teorinya tentang asal usul nama Malioboro
adalah proposisi serupa bahwa “nama (Nga)yogyakarta itu
sendiri [...] kemungkinan telah diturunkan dari kata bahasa
Sanskerta ‘Ayodhyâ’ (Bahasa Jawa Modern : ‘Ngayodya’),
ibu kota pahlawan India Râma dalam kisah epos Râmâyana”,
dan untuk pendapat ini ia merujuk pada pernyataan yang
bermakna sama yang dibuat oleh Ricklefs (1974:80 catatan
kaki 33).
Klaim bahwa tradisi Jawa menerjemahkan Ngayogyakarta
sebagai nama kota Râma, yaitu Ayodhyâ, sepertinya berasal
dari Raffles. Walaupun pada awalnya Raffles menggunakan
kata “diasumsikan diturunkan dari”, nantinya dalam bukunya
menegaskan bahwa kota ini “diberi nama oleh pendirinya,
sekitar enam puluh tahun yang lalu, menurut nama Ayudya,
ibu kota Rama yang terkenal” (Raffles 1817:I, 10; 411).
Meskipun Raffles tidak menyebutkan sumbernya, ia mungkin
saja mendengar tradisi ini dari sejumlah orang Jawa yang
ditemuinya. Nantinya pendapat ini diulangi oleh Wilhelm
von Humboldt (1836–1839:I, 5), yang menunjukkan
keraguan terhadapnya, oleh John Crawfurd (1856:448), yang
menjelaskan nama ini sebagai “perubahan dari Ayudhya”,
oleh Jan Hageman (1860:322), dan baru-baru ini oleh Jan
Gonda (1973:338) juga C.C. Berg (1969–1980:II, 91).
Meskipun demikian, jika ini benar-benar merupakan
tradisi Jawa, maka ini bukanlah tradisi yang kuat. Pada 1956,
komite yang mempersiapkan peringatan ulang tahun ke-200
kota Yogyakarta kelihatannya sama sekali tidak mengetahui
hal ini. Ketika menjelaskan bagaimana pada 1755 Sultan
pertama memberi nama keraton barunya “Ngayogyakarta
Adiningrat”, mereka menyatakan: “Apakah sebabnya beliau
memilih nama itu, sampai sekarang masih tinggal rahasia”
(Darmosugito dalam Kota Jogjakarta 200 tahun 1956:13).
Penulis artikel peringatan ini kemudian menjelaskan
bagaimana keraton baru ini didirikan di sebuah tempat
yang disebut hutan Beringan, “di mana telah ada sebuah
pesanggrahan bernama Garjitawati [Gerjitawati]1 sejak masa
Raja Amangkurat [lihat di bawah ini], yang, walaupun
demikian, telah diubah namanya menjadi Ngayogya oleh
Bahwa inti nama keraton baru sudah ada sebelum
pendiriannya, juga disebutkan oleh Ricklefs (1974:81 catatan 33).
Ia merujuk pada artikel yang ditulis oleh Carel Poensen tentang
Sultan Mangkubumi dalam Bijdragen (1901:267). Namun, koleksi
bahan paling lengkap yang menjadi saksi keberadaan Ayogya
sebelumnya diterbitkan pada 1894 oleh cendekiawan besar
bahasa Jawa Kuno, J.L.A. Brandes (1857–1905), dalam sebuah
artikel berbahasa Belanda berjudul “Yogyakarta” dalam Tijdschrift
van het Bataviaasch Genootschap [Jurnal Masyarakat Seni dan
Ilmu Pengetahuan Batavia] (Brandes 1894:415–48). Dalam
kata pengantar artikelnya, Brandes mengatakan bahwa “telah
banyak yang dikatakan oleh orang lain tentang keraton ini dan
asal usulnya. Sepertinya tidak terlalu berlebihan untuk sekali lagi
menarik perhatian khusus pada sejumlah cuplikan dari berbagai
tulisan yang tidak kalah penting jika dilihat dari asal usulnya”
(Brandes 1894:415).
Karena data ini sepertinya tidak banyak dikenal, tidak ada
salahnya untuk kembali mengutipnya secara lengkap seperti
saat data ini pertama kali disampaikan oleh Brandes lebih dari
satu abad yang lalu dalam artikel yang disebutkan sebelumnya.
Bagian relevan dari artikel Brandes (Brandes 1894:438–48)
berbunyi seperti ini dalam bahasa Indonesia:3
“Bahwa telah ada sebuah tempat bernama Yogya atau Ayogya
di distrik Mataram di atau dekat lokasi tempat Yogyakěrta
[Yogyakarta] berada beberapa waktu sebelum pembagian
kerajaan Jawa pada 1755 dibuktikan oleh berbagai cuplikan
dalam dokumen-dokumen awal Belanda, sejauh ini dokumen
tersebut telah dipublikasikan, dimulai dari 1743. Seperti akan
terlihat dari cuplikan dalam catatan [Baron G.W.] van Imhoff
tentang perjalanannya [Imhoff 1853:291–440], gubernur
jenderal ini (menjabat, 1743–50) singgah di sini dalam
perjalanan pulangnya pada 1746, dan, seperti diperlihatkan
kepada kita dengan baik oleh catatan-catatan Jawa yang tidak
lupa mencatat persinggahan Van Imhoff di sana, Ayogya sudah
menjadi lokasi berbagai insiden sebelum 1755.”
[Brandes kemudian melanjutkan]: “Di bawah ini adalah
pilihan kutipan relevan dari laporan-laporan awal Belanda
1743 “Mas Grendie [Raden Mas Garendi, Sunan
Kuning, bertakhta 1742–1743], yang untuk beberapa
waktu tinggal di Cartasoera [Kartasura] dengan gelar
Soesoehoenang [Susuhunan], pada saat ini tinggal di
Jogja [Yogya], di daerah Mataram; tetapi pasukannya
berada sejauh satu hari perjalanan dari Cartasoera
[Kartasura] di sebuah tempat bernama Parambanato
[Prambanan] [...]”.4
1 7 4 4 . “ B e r j a l a n m e l a l u i R a n d o e l a w a n g
[Ranḍulawang], sampailah di Djokjo [Yogya]. Di
sini, didirikan perkemahan, dan pada 17 Oktober
dilanjutkan perjalanan ke Samudra Selatan melalui
Gading”.5
1746. (Jurnal perjalanan Van Imhoff) [Imhoff
1853:406 dst]:
“Jumat, 20 Mei, kami berangkat kembali saat fajar
dan antara pukul delapan dan sembilan tiba di Taadje
[Taji], menandai batas terjauh distrik Soeracarta
[Surakarta] dan awal distrik Mattarm [Mataram],
tempat seorang Tionghoa, tentu saja salah satu
mata-mata Maas Said [Raden Mas Said, Mangkunegoro I,
bertakhta 1757–95], mengatakan bahwa orang ini
[Said] ada di sana hanya beberapa hari sebelumnya.
Raden Mas Said telah meninggalkannya di sana untuk
mengetahui apakah memang benar bahwa gubernur
jenderal akan melakukan perjalanan melewati bagian
ini sehingga ia dapat menyediakan berbagai
buah-buahan sebagai penyegar dan kuli angkut untuk
barang bawaannya sesuai kebiasaan setempat.
Ia menambahkan bahwa pengembara ini belum
terlalu jauh dari dua atau tiga jam dari sana, lalu
ia dikirim kembali untuk meminta Raden Mas Said
datang. Akan tetapi, rencana ini berantakan ketika,
setelah berangkat kembali pada pukul satu dan tiba
di paviliun [pesanggrahan] di Djokja [Yogya] pada
pukul enam di sore hari, datang berita dari orang
telah melarikan diri ke Pegunungan Selatan [Gunung
Kidul].
Sementara itu, makan malam dilakukan di bawah
tindakan pencegahan untuk melindungi barang
bawaan kami dari sejumlah perampok kurang ajar;
tetapi semuanya tetap tenang. Melewati jalan yang
sangat sulit dan berat, yang pada awalnya tidak terlalu
buruk, kami melewati desa Prabanam [Prambanan],
tempat masih ada begitu banyak batu berserakan
dari apa yang kelihatannya adalah sisa-sisa istana
atau candi dari masa penyembah berhala, sementara
sejumlah arca dapat ditemukan dalam jarak tembak
senapan dari pasar ke arah utara, tempat terdapatnya
belukar di atas gundukan yang dibuat khusus oleh
manusia. Sebagian anggota rombongan kami yang
pergi melihatnya menilai bahwa arca ini terbuat
dari logam. Selain itu, postur, telinga, dan sapi
yang ekornya dipegang oleh patung yang lebih besar
sepertinya menunjukkan bahwa sebelum saat ini
orang Jawa adalah orang kafir dari sekte Brahmana,
seperti juga bisa dilihat dari benda-benda antik serupa
yang sebelumnya telah ditemukan di sini di daerah
Mattarm [Mataram] dan di tempat lain, walaupun
hal ini tidak bisa disimpulkan dari kisah-kisah narasi
mereka dan bukan kronik, karena tercampur oleh
begitu banyak fabel sehingga tidak dapat diandalkan
dan tidak dapat dipercaya. Tepat setelah desa
Prabanan [Prambanan] ini, yang jauhnya sekitar
setengah jam dari Taadja [Taji], setelah satu jam
kemudian dan melewati muara sungai Ampar [Opak],
yang mengalir ke Laut Selatan, kami tiba di desa
Arandoelan [Bantulan?], tempat Maas Grendie [Mas
Garendi] menetap selama periode pengembaraannya.
Di sanalah kami seharusnya berhenti di tengah hari
jika kami menginginkan lokasi yang menguntungkan,
sama seperti lebih baik untuk mendirikan rumah
peristirahatan kami di Djokjo [Yogya] di dalam
dinding dalm [dalem] Soesoehoenang [Susuhanan]
yang sangat luas, yang, kebetulan sekali, kosong.
lokasi tempatnya dibangun pada saat ini, dan
tempat di mana kondisinya masih relatif primitif,
seperti lingkungan sekeliling tempat tersebut, yang
dipercaya oleh sebagian orang merupakan pusat
Mattarm [Mataram], masih menunjukkan jejak-jejak
perilaku Maas Said [Raden Mas Said] yang lancang,
ia baru saja menarik pajak dari sana dan daerah ini
masih setengah hancur. Jadi, jarak dari Taadja [Taji]
adalah empat setengah jam berjalan kaki sehingga
kemarin kami berjalan sejauh sembilan jam dan
hari ini hanya enam setengah jam, walaupun ketika
merencanakan rute, setiap harinya dijadwalkan
berjalan selama delapan jam.
Sabtu, 21 Mei, kami berjalan saat matahari terbit,
yaitu saat yang sama seperti pada hari-hari sebelumnya
karena, walaupun dua patih berada di belakang, kami
harus menunggu terangnya hari setiap pagi untuk
mendapatkan battoor [batur] atau kuli angkut Jawa
dari desa-desa karena kami memerlukan sekitar
seribu orang untuk barang bawaan kami setiap hari,
selain dari yang dibawa oleh patih tersebut, bupati
dari pasisir [pesisir] [utara] dan bupati Samarang
[Semarang], sehingga iring-iringan kami secara
keseluruhan terdiri dari setidaknya dua ribu atau
lebih, termasuk sekitar empat puluh dragoon (sejenis
pasukan kavaleri), baik sebagai pengawal pribadi
maupun pengawal dari Soeracarta [Surakarta].
Satu jam berjalan kaki dari Djokjo [Yogya]
kami berhenti sejenak di pasar. Setengah jam dari
sana terdapat sebuah kota pasar penting. Warga
pribumi menyebutnya Passar Gedee [Pasar Gede,
yaitu Kota Gede] atau “Pasar Besar”, yang oleh
sebagian orang dianggap sebagai pusat wilayah
Mattarm [Mataram]. Di Meddelam [?Mangiran], satu
setengah jam perjalanan lebih jauh dan melewati
titik setengah jalan dalam perjalanan kami, tempat
kami dijadwalkan berhenti di siang hari, kami hanya
berhenti sejenak, melanjutkan perjalanan kami ke
tempat pemberhentian kami di sore hari di Gading,
[Susuhunan], kediamannya ketika beliau melakukan
perjalanan ke Laut Selatan untuk berekreasi. Tempat
ini berada di muara Sungai Dempan [Opak?], di tepi
barat, di ujung terjauh Pegunungan Selatan [Gunung
Kidul] dan hanya satu jam jaraknya dari pesisir, dan
di sini dahulu penguasa biasa pergi berburu dan
memancing ikan, sebelum gangguan keamanan pada
1741 [yaitu Geger Pacinan, 1740–1743]. Selain itu,
di daerah ini terdapat sebuah batu [? Parangtritis]
yang banyak dibuat cerita pada periode kafir, dan
masih menjadi objek pemujaan bahkan juga di
kalangan orang Jawa Muslim masa kini, selain, di
ujung terjauh pegunungan tersebut, mata air atau
sumber air, yang airnya terasa sangat asing, mungkin
sebagai hasil hubungannya dengan air laut, yang
sering kali bergelora di atasnya. Perjalanan hari ini
selama enam setengah jam.”
1749. “Namun, pengakuan dari (laporan) tersebut
a d a l a h b a h w a M a n k e b o e m i e [ M a n g k u b u m i ]
telah memproklamasikan dirinya sendiri sebagai
Soesoehoenang [Susuhunan] pada hari Senin
kemarin dan dikenal dengan nama Amancoerat
[Amangkurat]; dan bahwa ia kemudian merebut
dalem Mataram di Jocjo [Yogya], dan ke sanalah
Jojowinata [Joyowinoto] dan Mas Said bergerak
mundur dan berkemah tepat di luar tempat tersebut,
sementara ia pada saat itu berada di dalam dan ia
secara eksklusif dilayani oleh para wanita [yaitu
Korps Amazon atau Pasukan Srikandi miliknya]
serta dijaga oleh para budak yang melarikan diri dan
penduduk pribumi.”6
1751. “Akan tetapi, Gubernur [Kapten Johan Andries
Baron] van Hohendorff [1717–54], yang merasa terpaksa,
akibat permohonan bantuan segera yang berulang kali
diajukan oleh [Residen Pertama Surakarta, Balthasar]
Toutlemonde [sekitar 1700–1753; menjabat 1747–1753],
[…] untuk mengambil keputusan, pergi ke sana secara
maupun dragoon (sejenis pasukan kavaleri), pada awal
Februari. Untungnya, dalam perjalanannya ke sana,
atau ketika mendekati Toutlemonde, pasukan hussar
(sejenis pasukan kavaleri) Toutlemonde bergabung
dengannya sebelum diserang oleh pemberontak
Maas Saïd [Raden Mas Said] (alias) Mancoenagara
[Mangkunegoro], yang telah mengawasinya, dan
dengan berkah Tuhan beruntung dapat memberikan
sambutan dengan [hussar] ini sehingga ia kemudian
dapat menolong pasukan Toutlemonde, menembus
jauh ke dalam daerah Mattaram [Mataram] dengan
pasukan gabungannya, hingga sejauh tempat yang
disebut sebagai istana Mancoeboemi [Mangkubumi]
di dekat Djokjo [Yogya], dan bentengnya juga dapat ia
rebut, sehingga memaksa para pemberontak mencari
perlindungan di Pegunungan Selatan [Gunung Kidul]
dan ke arah pesisir Laut Selatan” dan seterusnya laporan
ini berlanjut.7
Di sini kita memiliki laporan tentang Yogya
dari tahun 1743, 1744, 1746, 1749, dan 1751.
Laporan ini dapat ditambahkan dengan laporan
yang merujuk pada Yogya pada 1750. Direbutnya
“istana Mancoeboemi di dekat Djokjo” sebelum
April 1751, yang disebutkan sebelumnya dalam
kutipan terakhir, kecil kemungkinannya merujuk
pada hal yang terkait pada halaman 145–146
dari Kort verhaal van de Javasche oorlogen, welke
met onderscheidene Prinsen gevoerd zijn, sedert den
jare 1741 tot den algemeenen vrede gesloten in den
jare 1757 [Catatan singkat tentang perang-perang
Jawa yang dilakukan melawan sejumlah pangeran
dari tahun 1741 hingga perdamaian umum dapat
tercapai pada 1757] diterbitkan dalam Verhandelingen
van het Bataviaasch Genootschap XII (seterusnya
Kort Verhaal 1830). Catatan ini terkandung dalam
cuplikan berikut:
“[...] tidak mungkin bagi pasukan kami untuk
merebut kembali posisi mereka, tetapi mereka
membawa diri ke perkemahan mereka di Djokjakarta
[Yogyakarta]. Sayap kiri sepenuhnya dibentuk oleh
penduduk lokal [inlander, pribumi] di bawah komando
Ensign (Letnan Dua) Steenmulderen, dan walaupun
sayap kiri bisa mempertahankan posisinya sendiri dan
bahkan memukul mundur prajurit infanteri musuh,
sehingga menjadi pemenang di medan pertempuran,
pencapaian ini dilakukan dengan korban begitu
banyak orang, termasuk banyak orang berpangkat
tinggi, selain sejumlah besar orang Madura, yang
telah bertempur dengan gagah berani. Namun,
mereka juga harus mengikuti pasukan tentara ke
Djokjakarta [Yogyakarta], yang, walaupun tidak
ada ancaman musuh di sana, secara pengecut telah
ditinggalkan dan amunisi dalam jumlah cukup besar
kemudian dibakar sehingga terbebas dari segala
beban dalam perjalanan.”8
Dari halaman 143 hingga 152 dokumen tersebut
[Kort Verhaal 1830], dapat dipahami bahwa
ditinggalkannya Yogya oleh pasukan pendudukan
Belanda, yang pastilah pernah berkemah di sana,
terjadi pada tahun sebelum direbutnya Yogya pada
1751, sehingga laporan ini merupakan penghubung
antara kedua catatan dari 1749 dan 1751, yang,
dikombinasikan dengan semua catatan lainnya,
memberi tahu kita bahwa pernah terdapat pesanggrahan
[paviliun, pendapa] (kerajaan) di Yogya beberapa
tahun sebelum tahun 1755, bahwa Mangkubumi
pernah membangun istana (berbenteng) di, atau
di dekat, Yogya, dan bahwa Belanda mengusirnya
dari sana lalu meninggalkannya kembali, hanya
untuk merebutnya kembali di kemudian hari.9 Alur
kejadian selanjutnya tidak terlalu jelas bagi saya dari
literatur yang telah saya pelajari, dan bagaimanapun
juga tidak relevan di sini, karena yang dibuktikannya
sudah memadai untuk tujuan kita, terlebih lagi,
informasi yang sama bisa diambil dari sumber-sumber
Jawa, yang memberikan lebih banyak perincian.
Kanto 6 dari Babad Giyanti karya Yasadipura
1885–1892] yang telah disebutkan sebelumnya,
menyebutkan kepergian Van Imhoff dari Sala
[Solo] setelah ia tinggal selama tujuh hari di sana,
menyatakan bagaimana ia berjalan melewati daerah
Mataram dan daerah Banyumas. Sebagai perincian
khusus yang terkait dengan keberangkatannya atau
perjalanan ini adalah disebutkannya fakta bahwa
Mangkubumi meninggalkan Surakarta pada saat yang
sama seperti Gubernur Jenderal [Van Imhoff], bahwa
salah satu pangeran pemberontak, Mas Guntur,
Pangeran Suryodikusumo, putra dari Pangeran
Ngabehi Raden Mas Sudiro, pada saat itu sedang
berkemah di Gunung Gamping di daerah Mataram,
tetapi melarikan diri dari sana ketika mendengar
bahwa Gubernur Jenderal akan lewat di sana, dan
bahwa Van Imhoff menghabiskan waktu sekitar tiga
hari di Ayogya, pergi melihat reruntuhan Pasar Gede
[Kota Gede], Karta dan Pleret [Plered] lalu melihat
Laut Selatan, selanjutnya kembali lagi ke Ayogya,
di mana ia sangat terkejut melihat begitu suburnya
tanah (negeri) Yogya (saéning tanah Yugya).
Jadi di sini, berdiamnya Van Imhoff di daerah
Mataram, dan terutama di tempat bernama Ayogya
yang terletak di sana, disoroti sebagai fakta yang
perlu dicatat, atau setidaknya tidak diabaikan,
sementara tidak ada informasi apa pun tentang sisa
perjalanan ini. Bagi orang Jawa, pasti benar-benar
tidak umum bagi seorang gubernur jenderal untuk
mengunjungi distrik kuno Mataram pada masa damai
dan pergi berziarah, seperti apa yang terjadi, ke
tempat yang sebelumnya merupakan lokasi keraton
berbagai penguasa Mataram, dan tidak kalah uniknya
bagi dia adalah tinggal di paviliun [pesanggrahan]
kerajaan yang terletak di Ayogya, yang sudah cukup
tua pada waktu itu.
Faktanya, pernah ada “rumah pesiar” atau
penginapan kerajaan kuno di sana sehingga tempat
tersebut telah diresmikan lama sebelum Mangkubumi
membangun dalem [kediaman kerajaan] Yogyakarta
I pada 1755. Bukan ia saja yang pernah menempati
dalem Mataram yang ada di sana, seperti terlihat dari
laporan pada 1749, tetapi sebelumnya pada 1743
Susuhunan Kuning, Raden Mas Garendi [bertakhta 1
Juli 1742–1743], pernah mendirikan perkemahannya
di sana. Namun, ia sendiri juga bukanlah orang
pertama yang berdiam di sana.
Sejarah Ayogya diceritakan kembali secara singkat
dalam Kanto 183 Babad Giyanti yang telah dikutip
di atas. Ini adalah kutipan di mana Mangkubumi
dapat mengalihkan perhatiannya sepenuhnya bagi
pembangunan keraton permanen miliknya setelah
pembagian kerajaan pada 1755. Tempat yang dipilihnya
untuk pembangunan ini adalah Ayogya, lokasi yang
pernah beberapa kali ia kunjungi dan mendirikan
perkemahan. Mangkubumi, yang sekarang bergelar
Hamengku Buwono (I), pergi ke Gunung Gamping
untuk kesekian kalinya, tempat ia menandai dan
membersihkan lokasi untuk keraton barunya. Seperti
kisah yang disampaikan oleh Kanto 183:
“Sultan sampun / budal sawadya angidul / lampahé ginelak
/ sapraptané Gunung Gamping / lajeng nyengkal badé kito
[sic] alas Bringan / kang wus tepung lan wangunan Ngajugjèku
/ Sinuwun Mangkurat / kang yasa Gerjitawati / duk jenengé
Sinuwun Pakubuwono / ing Gerjitawati dènlih namanipun winastan
Ngayogya / duk alam sultan puniki / duk mungsuhan lan Mayor
Pébèr / binubrah banonipun sadaya sami ginempur / mangkya
karsanira / Jeng Sultan winangun malih / binabatan kang wadya
anyambut karya / lojènipun ingkang kinarya rumuhun”.
Ungkapan “wus tepung lan wangunan” dalam
kutipan ini sedikit bermasalah, karena secara harfiah
berarti “mengikuti... dalam hal bentuk atau struktur”,
bisa juga berarti “menyerupai... dalam hal bentuk”
atau “tepat di sebelah, berdekatan dengan struktur
(lama) di”, serta “menyerupai dan pada saat yang
sama mengikuti jejak-jejak yang masih terlihat dari
(Yogya) lama”.
Mengingat bahwa keraton baru ini diberi nama