• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagaimanakah Penerapan Hukuman Pidana Ma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Bagaimanakah Penerapan Hukuman Pidana Ma"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

TUGAS AKHIR SOSIOLOGI HUKUM

BAGAIMANAKAH PENERAPAN HUKUMAN PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF HAM DAN SOSIOLOGI HUKUM

DR. RATIH LESTARINI S.H., M.H

ANTONIUS CAHYADI, S.H., LL.M.

DIBUAT OLEH:

RAHMAD AKBAR NUSANTARA (

1706085036)

FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI PASCASARJANA ILMU HUKUM PIDANA

DESEMBER 2017

(2)

PENDAHULUAN A. Latar belakang

Kejahatan merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang (deviant behavior) yang selalu ada dan melekat (inherent) dalam setiap bentuk masyarakat, seperti matahari yang setiap bagi terbit dari ufuk timur, atau bak musim yang selalu berganti seiring dengan irama dalam semesta. Karena itu kejahatan merupakan fenomena sosial yang bersifat universal (a univerted social phenomenon) dalam kehidupan manusia, dan bahkan dikatan telah menjadi the oldest social problem of human kind.1

Selain memiliki dimensi lokal, nasional dan regional kejahatan juga dapat menjadi masalah internasional, karena seiring dengan kemajuan teknologi transportasi, informasi dan komunikasi yang canggih, modus operandi kejahatan masa kini dalam waktu yang singkat dan dengan mobilitas yang cepat dapat melintasi batas-batas negara (borderless countries). Inilah yang dikenal sebagai kejahatan yang berdimensi transnasional (transnational criminality).2 Salah satu kejahatan tersebut adalah kejahatan terorisme. Di Indonesia terorisme selalu tumbuh dan berkembang, meskipun para “dedengkot”nya telah ditangkap dan dijatuhi hukuman, dan terdapat beberapa pelaku yang dijatuhi hukuman mati.

Penjatuhan hukuman mati bagi para teorisme dari segi kemanfaatan, merupakan suatu upaya agar masyarakat lain merasa jera untuk tidak melakukan kejahatan ini. Akan tetapi apakah dengan dijatuhi pidana mati, permasalahan yang ingin dituju akan serta merta terselesaikan, disinilah peran dari sosiologi hukum untuk menjelaskan penerapan hukuman mati, yang dalam peraturan perundang-undangan sebagai hukuman yang paling berat adanya pertimbangan-pertimbangan sebelum seorang pelaku dijatuhi hukuman mati, karena hal ini bagi sebegian golongan dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.3

Sosiologi Hukum wadah untuk Analisa terhadap hukum. Dalam disiplin sosiologi hukum, hukum dijadikan objek penelitianya dan disumsikan sebagai gejala social..Sebaliknya,

1

sosiologi di jadikan perspektif di dalam menjelaskan gejala hukum. Keduanya memiliki

11 Dari http://amcran.org/ATLaws/Anti_Terror_Laws_3rd_Ed_Bahasa_2up.pdf, diakses 18 desember 2017 2 Studi Kriminologi Masalah Penyimpangan Sosial di kuti dari

http://studi-kriminologi-masalah-penyimpangan.html, diakses 18 Desember 2017

(3)

cirri utama; yang bersifat aplikatif. hukuman mati dalam .perspektif sosiologis dalam hukum.4 Aplikasinya akan memperlihatkan hukuman mati sebagai suatu gejala hukum dikaitkan dengan efektivitas hukum sebagai obyek kajian sosiologi hukum. Aliran utilitarianisme (Bentham, Ihering) mempersoalkan konsekuensi sosial dari hukum; ketidaktepatan penggunaan perundang-undangan; klasifikasi tujuan dan prosessosial. Jika dihubungkan dengan hukuman mati, maka akan diketahui apakah hukum yang mengatur mengenai hukuman mati memiliki konsekuensi sosial; apakah perundang - undangan yang masih menerapkan hukuman mati (UU Terorisme, UU Psikotropika) sudah tepat; apakah tujuan diadakannya hukuman mati dan proses sosial seperti apa yang hendak dicapai dari adanya hukuman mati tersebut.5

Aliran sociological jurisprudence (Ehrlich, Pound) dan aliran realism hukum (holmes, Liewellyn, Frank) mempersoalnkan hukum sebagai mekanisme pengendalian sosil, aspek politik dan kepentingan dari hukum (termasuk hukum dan stratifikasi social); hubungan antara realitas hukum dengan hukum dalam buku; hukum dan kebijakan publik ; kajian terhadap keputusan pengadilan dan tingkah laku di persidangan6. Kaitannya dengan hukuman mati, maka akan terlihat apakah hukuman mati merupakan suatu bentuk pengendalian sosial, aspek politik dan kepentingan mana saja yang terlibatdi dalamnya; apakah hukuman mati merupakan realitas hukum atau hanya merupakan aturan belaka; apakah hukuman mati merupakan kebijakan publik; bagaimana keputusan pengadilan terhadap hukuman mati. 7

B. Rumusan Masalah

1.

Bagaimana Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Terorisme Di Indonesia Dengan Menggunakan Pendekatan Sosiologi Hukum?

2. Bagaimanakah Pro Kontra Pidana Mati Di Indonesia ? 2

BAB II PEMBAHASAN

24 Sahlan Albone.S.H., M.H. , Jurnal Penerapan Hukuman Mati Dalam prespektif HAM,

(Jogjakarta, FH UII, 2013) hlm 2

(4)

1. Bagaimana Penerapan Hukuman Mati Bagi Pelaku Terorisme Di Indonesia Dengan

Menggunakan Pendekatan Sosiologi Hukum

Pengunaan pendekatan sosiologi dalam hukum mulai berkembang pasca ketidakmampuan pendekatan positivisme hukum yang berkembang pada abad ke 19 untuk menegakan hukum demi ketertiban dan kesejahteraan masyarakat. dalam memahami hukum karena hukum bagi aliran ini tidak hanya dimaknai sebagai apa yang tertuang dalam undnag-undang atau law in the books, sesuatu pendekatan yang sangat berbeda dari aliran positivisme yang memandang bahwa hukum adalah apa yang ditentukan oleh penguasa atau undang-undang sehingga terbebas dari anasir-anasir lain yang berada di luar hukum.8

Analisa Sosiologi yang berdasarkan Metode Pendekatan dan Fungsi Hukum, yang pada pokoknya adalah terdapatnya unsur-unsur seperti Sosiologi Hukum Pendekatan Intrumental, Pendekatan Hukum Alam dan Karakteristik Kajian Sosiologi Hukum. Dengan memerlukan Metode Pendekatan Sosiologi Hukum, Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif, Hukum Sebagai Sosial Kontrol dan Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, yang merupakan sebagai tolak ukur terhadap norma-norma atau kaidah-kaidah yang hidup didalam masyarakat, apakah norma atau kaidah tersebut dipatuhi atau untuk dilanggar, apabila dilanggar bagaimana penerapan sangsi, sebagai yang melakukan pelanggaran tersebut.9

Norma atau kaidah yang hidup di dalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh kondisi internal maupun eksternal dari masyarakat itu sendiri. Terdapat beberapa permasalahan pokok yaitu10 :

1. Bagaimanakah Pendekatan Intrumentaldan Pendekatan Alam yang dipengaruhi oleh kondisdi internal maupun eksternal ?, dan

2.

Bagaimanakah Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif apabila dilihat darisudut pandang internal maupun eksternal Tujuan dan maksud, dalam membahas serta menganalisa sampai tentang Sosiologi Hukum yang secara tidak

3

sadar meresap dan hidup didalam kehidupan masyarakat baik secara internal maupun secara eksternal didalam melakukan interaksi social, yaitu dengan menggunakan Metode Pendekatan Sosiologi Hukum dan Perbandingan Yuridis

38 Jawahir Thontowi, Sosiologi Hukum (Jogjakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia 2012) 9 Ibid

10 Umar Sholahudin Hukum dan Keadilan Masyarakat: Perspektif Kajian Sosiologi Hukum, di kutip dari

(5)

Empris dengan Yuridis Normatif adalah yang merupakan standarisasi sebagai objek pokok pembahasan Sosiologi Hukum.

Pengertian Sosiologi Hukum terlihat dari Difinisi para ahli Sosiologi Hukum seperti Soejono Soekanto. Sosilogi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya dan R. Otje Salaman. Sosiologi hukum (ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya secara empiris analistis).11

Jelas terlihat berdasarkan definisi para ahli bahwa sosiologi hukum adalah segala aktifitasv social manusia yang dilihat dari aspek hukumnya disebut sosiologi hukum. Dasar sosiologi hukum adalah Anzilotti pada tahun 1882, yang dipengaruhi oleh disiplin ilmu Filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi yaitu Filsafat Hukum adalah dimana pokok bahasannya adalah aliran filsafat hukum, yang menyebakan lahirnya sosiologi hukum yaitu aliran Positivisme (difinisi Hans Kelsen.“Hukum berhirarkhis”). Dan aliran filsafat hukum tumbuh dan berkembang berdasarkan12 :

a. Mazhab sejarah yang dipelopori oleh Carl Von Savigny yang mengungkapkan bahwahukum itu dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat(volksgeisf).

b.

Aliran Utility (Jeremy Bentham) yaitu bahwa hukum harus bermanfaat bagimasyarakat guna mencapai hidup bahagia.c. Aliran Sociological Juriprudence (Eugen Ehrlich) yaitu hukum yang dibuat harussesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat (living law).d. Aliran Pragmatic Legal Realism (Roscoe Pound) yaitu “ law as at tool of socialengineering”.

Ilmu Hukum menganggap bahwa hukum sebagai gejala social, banyak mendorong pertumbuhan sosiologi hukum dan hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir sosiologi (non yuridis). Sedangkan sosiologi yang berorientasi pada hukum adalah bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada solideritas, ada yang solidaritas mekanis yaitu terdapat dalam masyarakat sederhana, hukumnya bersifat reprensip13.

4

Ruang Lingkup Sosilogi Hukum, dimana sosiologi hukum di dalam ilmu pengetahuan, bertolak kepada apa yang disebut disiplin ilmu, yaitu sistem ajaran tentang kenyataan, yang

411 Sahlan Albone.S.H., M.H, Op.Cit, hlm 5

(6)

meliputi disiplin analitis dan disiplin hukum (perskriptif). Disiplin analitis, contohnya adalah sosilogis, psikologis, antropologis, sejarah, sedangkan disiplin hukum meliputi : ilmu-ilmu hukum yang terpecah menjadi ilmu tentang kaidah atau patokan tentang prilaku yang sepantasnya, seharusnya, ilmu tentang pengertian-pengertian dasar dan system dari pada hukum dan lain-lain. Terdapatnya pendekatan-pendekatan yang terdiri dari14 :

1. Pendekatan Instrumental adalah menurut pendapat Adam Podgorecki yang dikutip oleh Soerjono Soekanto yaitu bahwa sosiologi hukum merupakan suatu disiplin Ilmu teoritis yang umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat.

2. Pendekatan Hukum Alam adalah menurut Philip Seznik yaitu bahwa pendekatan instrumental merupakan tahap menengah dari perkembangan atau pertumbuhan sosiologi hukum dan tahapan selanjutnya akan tercapai, bila ada otonomi dan kemandirian intelektual. Tahap tersebut akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih luas. Pada tahan ini seorang sosiolog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan wibawa moral dan untuk menjelaskan peran ilmu social dalam menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan. ( Rule of Law menurut Philip Seznick). Karakteristik Kajian Sosilogi Hukum, adalah fenomena hukum didalam masyarakat dalam mewujudkan : 1. deskripsi, 2. penjelasan, 3. Pengungkapan (revealing), dan 4 prediksi yaitu bahwa karekteristik kajian sosiologi hukum adalah sebagai berikut : 1. Sosilogi Hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap praktek hukum dandapat dibedakan dalam pembuatan Undang-Undang, penerapan dalam pengadilan, maka mempelajari pula bagaimana praktek yang terjadi pada masing-masing bidang kegiatan hukum tersebut. 2. Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa sesuatu praktek-praktek hukum didalam kehidupan social masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, factor-faktor apa yang mempengaruhi. Latar belakang dan sebagainya. Pendapat Max Weber yaitu “Interpretative Understanding” yaitu cara menjelaskan sebab, perkembangan serta efek dari tingkah laku social, dimana tingkah laku dimaksud mempunyai dua segi yaitu luar dan dalam atau internal dan ekternal.

3. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahian empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu.

4. Sosiologi Hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum, tingkah laku yang mentaati hukum, sama-sama merupakan obyek pengamatan yang setaraf, tidak ada segi obyektifitas dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata.

Dari gambaran di atas kita bisa mencermati bahwa keberadaan sosiologi hukum yaitu ingin mencermati hukum dengan cara yang bebeda yaitu bagaimana hukum itu dipraktekan

5

dan hubungannya dengan perilaku-perilaku masyarakat serta keterkaitan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sehingga tidak memadang hukum sebagai sesuatu yang sudah final, melainkan memandang hukum sebagai sesuatu yang abstrak. Pendekatan sosiologi

514 Muhammad Siddiq Tgk, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum,(Jakarta, Pradnya

(7)

hukum dalam menganalisi sesuatu hanya untuk memberikan suatu gambaran terkait dengan suatu kondisi yang terjadi atau suatu penjelasan yang memberikan gambaran untuk menjadi suatu pilihan bagi masyarakat lain untuk menilai. Oleh karena itu, pada penulisan disini penulis menggunakan metode pendekatan sosiologi hukum untuk melakukan analisa terhadap eksistensi hukuman pidana mati bagi para pelaku terorisme, sehingga mendapat gambaran bagaimana penerapan sanksi ini bagi pelaku tindak pidana terorisme.

UU No. 1 Tahun 2002 merupakan suatu pernyataan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mendukung untuk memerangi kejahatan terorisme. Dalam UU tersebut salah satu hukuman yang dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana terorisme sebagaimana ditentukan dalam pasal 14 yaitu pidana mati. Pemberlakuan tindak pidana mati memang tidak menjadi pioritas utama sebagai bentuk hukuman, melainkan menjadi upaya terakhir untuk diberlakukan, sehingga pemberlakuannya bersifat limitatif dan hanya diberlakukan bagi tindak pidana teorisme yang dianggap.15

Dr. A. Muhammad Asrun, SH. MH, “Pemahaman yang benar terhadap pemberlakukan hukuman mati terkait dengan kejahatan luar biasa seperti kejahatan narkotika harus dilihat sebagai upaya perlindungan terhadap “hak hidup” (the right to life) banyak orang. Hukuman mati sebagaimana diatur dalam Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika harus dilihat dalam konteks perlindungan hak hidup masyarakat luas.16 Sedangkan Prof. Dr. Achmad Ali, SH menyatakan penerapan hukuman mati sangat dibutuhkan khususnya di Indonesia, tetapi harus diterapkan secara spesifik dan selektif. Spesifik artinya hukuman mati diterapkan untuk kejahatan-kejahatan serius (heinous) mencakupi korupsi, pengedar narkoba, teroris, pelanggar HAM yang berat dan pembunuhan berencana. Dan yang dimaksudkan dengan selektif adalah bahwa terpidana yang dijatuhi hukuman mati harus yang benar-benar yang telah terbukti dengan sangat meyakinkan di pengadilan (“beyond reasonable doubt”) bahwa memang dialah sebagai pelakunya.17

Adapun pihak yang menolak diterapkannya hukuman pidana mati didasarkan kepada 6

berbagai argumentasi. Prof. Dr. Arief Sidharta, SH., berpendapat bahwa sebaiknya hukuman mati untuk jenis kejahatan apapun sebaiknya dihapuskan, dan diganti dengan hukuman

615 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

16 Sahlan Albone.S.H., M.H. , Jurnal Penerapan Hukuman Mati Dalam prespektif HA,

Mengutip Dr. A. Muhammad Asrun, SH. MH

(8)

seumur hidup tanpa kemungkinan memperoleh remisi. Sedangkan, Dr. Soedikno Mertokusumo,SH., dalam disertasinya tahun 1971 yang berjudul “Sejarah Peradilan & Perundangundangan di Indonesia sejak tahun 1942 dan apakah manfaatnya bagi kita bangsa Indonesia”, dalam salah satu lampiran dalil mengatakan bahwa pidana mati agar dihapuskan karena bertentangan dengan dasar Negara Republik Indonesia Pancasila.18 Serta, Prof. Mr. Roeslan Saleh (Guru Besar Hukum Pidana) berpendapat bahwa tidak setuju adanya pidana mati di Indonesia karena19 :

1) kalau ada kekeliruan putusan hakim tidak dapat diperbaiki lagi.

2) mendasarkan landasan Falsafah Negara Pancasila, maka pidana mati itu dipandang bertentangan dengan perikemanusiaan

Pro-kontra hukuman mati terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi salah satu sebab hukuman mati tidak lagi termasuk sebagai hukuman pokok dalam sistem hukum Indonesia. Menurut Mardjono Reksodiputro, salah seorang anggota tim perumus RUU KUHP, hukuman mati masih diperlukan tapi bukan pada pidana pokoknya. Hukuman mati harus menjadi pidana khusus yang diterapkan secara hati-hati, selektif, dikhususkan pada kasus-kasus berbahaya dan harus ditetapkan secara bulat oleh majelis hakim.20 Menurut catatan berbagai lembaga HAM Internasional, jumlah terpidana yang dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi dan Iran. Praktisi hukum Todung Mulya Lubis mengatakan secara global, kecenderungan untuk menghapuskan hukuman mati lebih besar daripada mempertahankan hukuman tersebut.21 Total jumlah negara yang sudah menghapuskan hukuman mati mencapai 129, sedangkan negara yang mempertahankannya hanya 68 negara. Dari 129 negara yang sudah menghapus,

7

88 negara menghapuskan hukuman itu untuk semua jenis kejahatan, sedangkan 11 negara

718 Dr. Soedikno Mertokusumo,SH., Disertasi “Sejarah Peradilan & Perundangundangan di Indonesia

sejak tahun 1942 dan apakah manfaatnya bagi kita bangsa Indonesia” hlm 18

19 Agung Nugroho, Hukuman Mati di Negara Pancasila, di kutip dari

http://atristiyo.multiply.com/journal/item/74/Agung-Nugroho-Hukuman-Mati dan Pancasila? &show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem, diakses

20 Mardjono Reksodiputro, Catatan perkuliahan ‘HAM danam SPP” ( Kuliah Ketiga Magister hukum UI

21 September 2017)

(9)

menghapuskan hukuman mati hanya untuk kejahatan biasa, sementara 30 negara lainnya melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati.22

Kelompok yang tidak setuju hukuman mati berpendapat bahwa hak hidup adalah hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan YME, yang tidak boleh dirampas, diabaikan atau diganggu-gugat oleh siapapun. Hal itu tercantum dalam TAP MPR No. VXII/MPR/198 tentang sikap dan pandangan bangsa Indonesia mengenai Hak-hak Asasi Manusia dan juga terangkat dalam Amandemen ke-2 UUD 1945 pasal 28A yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”. 23 Menurut kelompok ini, tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Kelompok ini juga mengemukakan bahwa penolakan grasi sebenarnya sudah merupakan “hukuman tambahan” bagi terpidana mati maupun mereka yang masih dalam proses hukum, berupa: gangguan kejiwaan, stress, kekecewaan karena telah sekian lama mendekam di penjara tetapi juga tetap menjalani hukuman mati, histeris sebelum hukuman mati dilaksanakan dan beban psikologis berat bagi keluarganya.24 Dalam menyikapi tentang hukuman mati, kelompok yang setuju mengaitkannya dengan tiga tujuan hukum, yaitu: pertama,Keadilan Dari aspek keadilan, maka penjatuhan hukuman mati seimbang dengan tindak kejahatan yang dilakukannya. Kedua, Kepastian hukumDari aspek kepastian hukum, yaitu ditegakkannya hukum yang ada dan diberlakukan, menunjukkan adanya konsistensi, ketegasan, bahwa apa yang tertulis bukan sebuah angan-angan, khayalan tetapi kenyataan yang dapat diwujudkan dengan tidak pandang bulu. Ketiga, dari aspek manfaat, hukuman mati akan membuat efek jera kepada orang lain yang telah dan akan melakukan kejahatan, serta juga dapat memelihara wibawa pemerintah.25

Sosiologi selalu melihat sesuatu tampil secara alami, tanpa intervensi pendapat. Cara 8

seperti ini lazim disebut sebagai empirik. Sumbangan yang diberikan oleh sosiolog ialah

822 www.kompas.com, diakses 17 Desember 2017

23 TAP MPR No. VXII/MPR/198 tentang sikap dan pandangan bangsa Indonesia mengenai Hak-hak Asasi

Manusia dan juga terangkat dalam Amandemen ke-2 UUD 1945 pasal 28A

24 Sahlan Albone, Op.Cit

(10)

dengan memberikan penjelasan terhadap subyek yang diamati. Demikian pula pada waktu dihadapkan kepada masalah pidana mati. Sosiologi ingin melihat dulu bagaimana pidana mati itu muncul, mencari latar belakang dan sebab-sebabnya, sehingga diperoleh pemahaman sebaik-baiknya. Indonesia masih mencantumkan ancaman hukuman mati sebagai salah satu bentuk ancaman hukuman dalam hukum positifnya.26 Oleh sebab itu maka hukuman mati merupakan satu bentuk hukuman yang secara perundang-undangan masih sah dilakukan di negeri ini.

Apabila menggunakan sosiologi, maka akan mempertanyakan kemungkinan-kemungkinan adanya kematian yang tidak hanya fisik, melainkan juga sosial. Seseorang dapat disebut masih hidup secara fisik, tetapi sekaligus mengalami kematian sosial.27 Hal itu terjadi apabila seseorang berada dalam kondisi sosial sedemikian rupa, sehingga kebebasannya untuk melakukan aktivitas sosial dirampasi habis28.Apakah penjatuhan hukuman mati melalui peradilan menjamin kebersihan dalam menjatuhkan pidana itu? Jawaban dari sosiologi adalah, tidak juga. Jika dikatakan bahwa melalui perundang-undangan segalanya sudah diselesaikan dan dikendalikan, maka itu adalah baru sebagian dari potret sesungguhnya.29

Potret penerapan perundang-undangan dimasyarakat tidak hitam-putih, melainkan berwarna-warni, tergantung dari politik penegakan hukum dan ideologi di belakangnya. Tidak hanya itu, melainkan juga ditentukan oleh sosiologi penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. 30 Statistik pidana mati di Amerika Serikat memberi tahu bahwa penggunaan pidana mati itu tidak berjalan secara linier dan matematis, melainkan penuh dengan intervensi ideologis.31 Penelitian hukum Donald Black (1989) ingin mengatakan bahwa penegakan hukum di Amerika Serikat didasari oleh ideologi keunggulan ras kulit

9

putih. Sebagai contoh, apabila terjadi pembunuhan oleh warga kulit putih terhadap kulit hitam, maka resiko dijatuhkannya pidana mati mendekati nol.

926 Sahlan Albone, Loc.Cit 27 Ibid

(11)

Emile Durkheim menyatakan bahwa kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia. Segala aktivitas manusia baik politik, sosial dan ekonomi,dapat menjadi kausa kejahatan. Sehingga keberadaan kejahatan tidak perlu disesali, tapi harus selalu dicari upaya bagaimana menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan kuantitasnya serendah mungkin, maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.32

Teori Max Weber yang menyatakan "kekuatan yang didefinisikan dan didukung oleh norma-norma sistem sosial dan umumnya diterima oleh mereka yang berpartisipasi dalam sistem sosial." Saat ini sanksi ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam hukum pidana. Perkembangan ini terjadi karena semakin meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap korban tindak pidana.33

Dan menurut Hans Kelsen Sendiri, suatu aturan hukum harus dalam keadaan valid terlebih dahulu baru diketahui apakah aturan tersebut dapat efektif. Jika setelah diterapkan ternyata peraturan yang sebenarnya sudah valid tersebut ternyata tidak dapat diterapkan atau tidak dapat diterima oleh masyarakat secara maluas, dan atau secara terus-menerus, maka ketentuan hukum tersebut menjadi hilang unsur validitanya, sehingga berubah sifat dari aturan yang valid menjadi aturan yang tidak valid.34 Dari penjelasan hans kelsen tersebut jelas kalau hukum itu tidak dapat diterima secara terus menerus maka sebenarnya hukum itu akan hilang validitasnya, seperti hukuman mati itu sendiri.

Tentang keefektifan berlakunya suatu norma hukum, maka terdapat berbagai variasi pandangan sesuai aliran dan paham yang dianutnya. Bagi kaum positivism atau penganut Teori hukum (grundnorm), tidak banyak menjadi soal karena suatu norma hukum yang valid dapat dipaksakan berlakunya karena diikuti dengan sanki-sanki hukum bagi yang melanggarnya.35 Atau bagi kaum realism hukum versi amerika, seperti yang dianut oleh Karl

10

Lliewellyn, Oliver Wendell holmes, dan Benjamin Cardozo, efektifan suatu aturan hukum tergantung pada apakah dapat diterapkan oleh hakim-hakim ke dalam kasus konkret, dimana

1032 Ibid

33 Dari, http://citizen6.liputan6.com/read/2367904/kaitan-teori-max-weber-akan-praktik-hukuman-mati-oleh-pemerintah, Diakses 20 Desember 2017

34DR. Munir Fuady, S.H., M.H. LL.M, Teori-teori Besar Dalam Hukum: Grand Theory ,(Jakarta, Prenada

Media, 2014), hlm 117

(12)

para hakim baru menerapkan hukum manakalah kaidah hukum tersebut sesuai dengan cita hukum, seperti kesesuaian dengan prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum, ketertiban masyarakat, dan lain-lain. Atau bahkan, bag i kaum utilitarian, seperti Jeremy bentham, otto von jhering, atau david, suatu norma hukum dianggap efektif dan akan diterima oleh masyarakat manakalah norma hukum tersebut membawa manfaat bagi umat manusia.36

2.Bagaimanakah Pro Kontra Pidana Mati Di Indonesia

Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.37

Kecendrungan para ahli yang setuju pidana mati tetap dipertahankan eksistensinya, umumnya didasarkan pada alasan konvensional yaitu kebutuhan pidana mati sangat dibutuhkan guna menghilangkan orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan umum atau negara dan dirasa tidak dapat diperbaiki lagi, sedangkan mereka yang kontra terhadap pidana mati lazimnya menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah eksekusi dilakukan diemukan kesalahan atas vonis yang dijatuhkan hakim.38

Adapun beberapa ahli maupun tokoh yang mendukung eksistensi pidana mati ialah Jonkers, Lambroso, Garofalo, Hazewinkel Suringa, Van Hanttum, Barda Namawi Arief, Oemar Senoadji, dan T.B Simatupang.39 Jonkers mendukung pidana mati dengan

pendapatnya bahwa “alasan pidana tidak dapat ditarik kembali, apabila 11

sudah dilaksanakan” bukanlah alasan yang dapat diterima untuk menyatakan ”pidana mati tak dapat diterima. Sebab di pengadilan putusan hakim biasanya didasarkan alasan-alasan yang benar.”40

1136 Ibid

37 Putra, Skripsi Hukuman Pidana Mati Dalam Perspektif Ham, (Surakatra, FH UMS, 2015), Diakses 18 Desember 2017

(13)

Selanjutnya, Lambroso dan Garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.41 Individu itu tentunya adalah orang-orang yang melakukan

kejahatan yang luar biasa serius (extraordinary crime)

Pada kesempatan lain, Suringa berpendapat pidana mati merupakan suatu bentuk hukuman yang sangat dibutuhkan dalam suatu masa tertentu terutama dalam hal transisi kekuasaan yang beralih dalam waktu yang singkat. Suringa yang menyatakan bahwa pidana mati adalah suatu alat pembersih radikal yang pada setiap masa revolusioner kita cepat dapat mempergunakannya.42

Salah satu pakar hukum pidana dan tokoh pembaharuan hukum pidana nasional Barda Nawawi Arief secara eksplisit dalam sebuah bukunya menyatakan bahwa pidana mati masih perlu dipertahankan dalam konteks pembaharuan KUHP Nasional. Hal ini dapat penulis gambarkan, melalui pendapatnya yang menyatakan43:

“Bahwa walaupun dipertahankan pidana mati terutama didasarkan sebagai upaya perlindungan masyarakat (jadi lebih menitikberatkan atau berorintasi pada kepentingan masyarakat), namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati-hati dan berorientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak pidana)”. Selanjutnya, inkonstitusioanal atau tidaknya pidana mati sebenarnya telah terjawab Dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada Permohonan Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang diajukan oleh empat terpidana mati kasus narkotika melalui kuasa hukumnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas pidana mati yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika44. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara

12

tegas dinyatakan bahwa ancaman pidana mati pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Secara analogi dapat ditrik sebuah kesimpulan bahwa pidana mati bukanlah suatu tindakan inkonstituional.

1240 A. Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa

Depan, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985), hlm 25 & 26 41 Ibid

42 Ibid

43 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm 89

(14)

memperkuat argumen di atas, maka itu berkaitan dengan bunyi dari Konklusi dari Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan tersebut, yang menyatakan45 :

Ketentuan Pasal 80 Ayat (1) huruf a, Ayat (2) huruf (a), Ayat (3) huruf a; Pasal 81 Ayat (3) huruf (a); Pasal 82 Ayat (1) huruf a, Ayat 2 (huruf) a dan Ayat (3) huruf a dalam UU Narkotika, sepanjang yang mengenai ancaman pidana mati, tidak bertentatangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Berdasarkan keterangan tersebut, sebenarnya dapatlah secara jelas bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan Konstitusi Negara kita dan masih layak dipertahankan keberadaannyanya dalam hukum pidana positif. Hanya saja berdasarkan putusan tersebut pembaharuan hukum pidana yang berkaitan dengan pidana mati hendaknya untuk ke depan memperhatikan sungguh-sungguh hal sebagai berikut 46:

a. pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternative

b. pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan penjara seumur hidup atau selama 20 puluh tahun

c. pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa

d. eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana mati yang sakit jiwa tersebut sembuh

Jadi, berdasarkan uraian pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa para pendukung pidana mati pada zaman modern ini semata-mata menjadikan pidana mati sebagai instrumen untuk melindungi masyarakat dan Negara baik dalam bentuk preventif maupun represif. Represif di sini bukanlah menjadikan mereka yang di perintah menjadi rentan dan lemah layaknya kekuasaan otoriter yang menjadikan pidana mati sebagai alat untuk menyingkirkan orang-orang yang bersebrangan dengan penguasa.47 Selain itu, dalam perumusan KUHP

Nasional yang baru, dalam hal pidana mati haruslah memperhatikan bunyi putusan di atas. Demikian sebaliknya, para ahli dan tokoh yang kontra terhadap pidana mati pun tidaklah 13

sedikit dan menyandarkan argumennya pada sebuah landasan berpikir yang ilmiah. Seorang tokoh aliran klasik yang sangat terkenal karena kevokalannya menetang pidana mati ialah

1345 Dicky Putra, Skripsi Hukuman Pidana Mati Dalam Perspektif Ham, (Surakatra, FH UMS, 2015), Diakses 19 Desember 2017

(15)

seorang berkebangsaan Italia yang bernama Beccaria. Alasan Beccaria menentang pidana mati ialah proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk sekali terhadap seseorang yang dituduh membunuh anaknya sendiri (beberapa waktu setelah eksekusi dapat dibuktikan bahwa putusan tersebut salah).48

Ferri yang juga seorang berkbangsaan Italia dalam hal menentang pidana mati berpendapat bahwa untuk menjaga orang yang mempunyai pradisposisi untuk kejahatan cukup dengan pidana penjara seumur hidup, tidak perlu dengan pidana mati.49

Pada putusan Mahkamah Konstitusi dalam Permohonan Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pidana mati tidaklah bertentangan dengan konstitusi terdapat empat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstituisi.50 Hakim-hakim tersebut adalah

Hakim Konstitusi H. Harjono, Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki, dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan. Dalam hal ini alasan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menolak adanya pidana mati.51:

Bagi hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk yang menyatakan pembatasan hak itu dapat dilakukan dengan menghilangkan hidup itu sendiri, meskipun diakui dan telah menjadi bagian dari hak asasi orang lain yang harus pula dihormati, hak untuk hidup boleh dibatasi karena hukum membutuhuhkan keadilan untuk mengembalikan keseimbangan yang dicederai oleh pelanggaran yang dilakukannya berupa pembatasan ruang geraknya dengan ditempatkan dalam tempat khusus serta menjalani pembinaan-pembinaan tertentu yang diwajibkan.

Jelas pendapat Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menitikberatkan pada konsep hak asasi manusia. Hal ini sesuai dengan perkembangan penolakan terhadap pidana mati dewasa ini (masa sebelumnya penolakan pidana mati ditekankan atas pelaksanaan eksekusi yang kejam dan efektivitas pidana mati tersebut).52 Maka jelaslah, permasalahan pro dan kontra

14

terhadap pidana mati merupakan suatu permasalahan yang tidak mudah untuk digeneralisirkan dalam satu pola pikir yang sama pada setiap orang.

1448 Barda Nawawi Arief, Op.Cit 49 Ibid

50 Dicky Putra, Op.Cit 51 ibid

(16)

Pidana Mati merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini juga merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.53

Perdebatan hukum terhadap absah tidaknya pidana mati berangkat dari perbedaan pendapat mengenai hukum mati dalam pandangan HAM, yang pada satu sisi masih mengakui pidana mati dan sisi lain mengakui hak hidup. Bagi pihak yang menolak pidana mati, berpendapat bahwa pidana mati secara hukum adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan konstitusi. 54 Dalam tata urutan peraturan perundangan di Indonesia,

setiap peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Undang-undang yang memuat pidana mati bertentangan dengan konstitusi yang mengakui hak hidup.55

Karena konstitusi dalam tata hukum Indonesia lebih tinggi dibanding dengan undang-undang, maka pidana mati dalam undang-undang itu harus diamandemen. Pro kontra penerapan Pidana Hukuman Mati di Indonesia secara garis besar mengerucut ke dalam dua bagian besar yaitu56;

1) Bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM karena pelaku telah melanggar HAM korban dan HAM masyarakat. Parahnya tudingan mengenai hukuman mati melangar HAM dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak melihat bagaimana HAM korban kejahatan itu dilanggar.

2) Hukuman mati dinilai melanggar HAM karena dicabutnya hak hidup seseorang yang sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang boleh mencabutnya. Oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam perundang-undangan yang ada

15

Sedangkan Bambang Poernomo menyatakan, hukuman mati merupakan salah satu hukuman yang tertua sehingga sudah tidak sesuai dengan kehendak zaman. Meski demikian, sampai

(17)

saat ini belum ditemukan alternatif lain sebagai penggantinya.Tujuan hukuman mati berdasarkan teori yang bersifat preventif-intimidatif dan yang sekaligus bersifat represif-depresif, yaitu upaya mengembalikan rasa keadilan masyarakat. Pelaku kejahatan harus ditimpa derita yang berupa pidana atau hukuman yang sekaligus sebagai pengajaran agar pelaku kejahatan menjadi jera.45

Hukuman mati juga mencegah adanya tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat kepada pelaku kejahatan. Terakhir, hukuman mati berfungsi sebagai pelajaran bagi setiap anggota masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan, agar tidak ditimpakan hukum yang setimpal dengan perbuatannya. Sementara itu, menurut teori persuasif-preventif, hukuman mati merupakan upaya mendidik pelaku kejahatan agar ia menyadari kesalahan dan mau bertobat serta mendidik masyarakat agar tidak mencoba melakukan kejahatan yang akan merugikan dirinya sendiri serta orang lain.46

Dan Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, bahwa 47: “pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.jadi seharusnya kita tidak boleh melanggar hak asasi manusia apapun sebabnya.48

16

BAB III PENUTUP

1657 Yon Artiono Arba’I,AKU MENOLAK HUKUMAN MATI, (Jakarta: KPG(Kepustakaan Populer

Gramedia), 2012).Hlm 5

58 Ibid

(18)

C. Kesimpulan

Dari penjelasan dan pemaparan dalam bab pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa HAM merupakan hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat pemberian Tuhan semesta alam, sesungguhnnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnnya oleh karena itu setiap manusia berhak mendapat kehidupan yang layak, kebebesan, keselamatan dan kebahagiaan.

Dan benar apa yang dikatakan oleh Emile Durkheim menyatakan bahwa kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia. Segala aktivitas manusia baik politik, sosial dan ekonomi,dapat menjadi kausa kejahatan. Sehingga keberadaan kejahatan tidak perlu disesali, tapi harus selalu dicari upaya bagaimana menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan kuantitasnya serendah mungkin, maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Dan dalam sebuah aturan menurut Hans Kelsen Sendiri, suatu aturan hukum harus dalam keadaan valid terlebih dahulu baru diketahui apakah aturan tersebut dapat efektif. Jika setelah diterapkan ternyata peraturan yang sebenarnya sudah valid tersebut ternyata tidak dapat diterapkan atau tidak dapat diterima oleh masyarakat secara maluas, dan atau secara terus-menerus, maka ketentuan hukum tersebut menjadi hilang unsur validitanya, sehingga berubah sifat dari aturan yang valid menjadi aturan yang tidak valid.

Jadi Sebenarnya Pidana Mati juga tidak valid, karena merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini juga merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.

(19)

mati, berpendapat bahwa pidana mati secara hukum adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan konstitusi. Dalam tata urutan peraturan perundangan di Indonesia, setiap peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Undang-undang yang memuat pidana mati bertentangan dengan konstitusi yang mengakui hak hidup. Karena konstitusi dalam tata hukum Indonesia lebih tinggi dibanding dengan undang-undang, maka pidana mati dalam undang-undang itu harus diamandemen. Pro kontra penerapan Pidana Hukuman Mati di Indonesia secara garis besar mengerucut ke dalam dua bagian besar yaitu;

1) Bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM karena pelaku telah melanggar HAM korban dan HAM masyarakat. Parahnya tudingan mengenai hukuman mati melangar HAM dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak melihat bagaimana HAM korban kejahatan itu dilanggar.

2) Hukuman mati dinilai melanggar HAM karena dicabutnya hak hidup seseorang yang sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang boleh mencabutnya. Oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam perundang-undangan yang ada.

3) Nilai-Nilai Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada Pancasila. Hak Asasi Manusia mendapat jaminan yang kuat dari falsafah bangsa, yaitu Pancasila. Selain itu Konstitusi yang ada di Indonesia pada dasarnya mengatur hak asasi manusia yang bersumber pada Pancasila dan perkembangan pengaturan secara umum

4) Penerapan Hukuman Mati dalam sistem hukum di Indonesia bertentangan dengan hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup yang tercantum dalam nilainilai pancasila dan dijamin oleh UndangUndang Dasar 1945

(20)

1. Perlu dilakukan kajian mendalam sehubungan dengan sinkronisasi antara penerapan Hukuman Mati dengan pengaturan HAM dalam sistem konstitusi Indonesia.

2. Hukuman Mati sebaiknya diganti dengan penjara seumur hidup yang lebih relevan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan lebih memposisikan manusia itu sendiri sebagai makluk yang mulia

3. Bagi aparat penegak hukum, khususnya bagi para pembuat produk hukum hendaknya lebih memperhatikan aspek kemanusiaan dalam hal membuat suatu rumusan yang berisi tentang pidana mati, dan juga terhadap aparat penegak hukum harus lebih memperhatikan aspek kedepan beserta alasan tentang penerapan pidana mati.

4. Bagi seluruh masyarakat hendaknya mematuhi hukum yang bertujuan untuk mencapai keadilan dal ketertiban, karena dengan tertibnya hukum dapat tercipta suatu kondisi yang nyaman, serta memperhatikan ketentuan internasional hak asasi manusia dalam penerapan pidana mati.

5. Pemerintah Indonesia sebelum membuat undang-undang harus memperhatikan hak-hak yang melekat disetiap diri manusia.

(21)

Dari http://amcran.org/ATLaws/Anti_Terror_Laws_3rd_Ed_Bahasa_2up.pdf, diakses 18 desember 2017

Studi Kriminologi Masalah Penyimpangan Sosial di kuti dari

http://studi-kriminologi-masalah-penyimpangan.html, diakses 18 Desember 2017

Sahlan Albone.S.H., M.H. , Jurnal Penerapan Hukuman Mati Dalam prespektif HAM,

(Jogjakarta, FH UII, 2013) hlm 2

Jawahir Thontowi, Sosiologi Hukum (Jogjakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia 2012)

Umar Sholahudin Hukum dan Keadilan Masyarakat: Perspektif Kajian Sosiologi Hukum, di kutip dari http:// hukum-dan-keadilan-masyarakat.html, diakses pada tanggal 3 Agustus 2012

Muhammad Siddiq Tgk, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum,(Jakarta, Pradnya Paramita, 2008), Hal. 9

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Dr. Soedikno Mertokusumo,SH., Disertasi “Sejarah Peradilan & Perundangundangan di Indonesia sejak tahun 1942 dan apakah manfaatnya bagi kita bangsa Indonesia” hlm 18

Agung Nugroho, Hukuman Mati di Negara Pancasila, di kutip dari

http://atristiyo.multiply.com/journal/item/74/Agung-Nugroho-Hukuman-Mati dan Pancasila?

&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem, diakses

Mardjono Reksodiputro, Catatan perkuliahan ‘HAM danam SPP” ( Kuliah Ketiga Magister hukum UI 21 September 2017)

Dari www.kompas.com, diakses 17 Desember 2017

TAP MPR No. VXII/MPR/198 tentang sikap dan pandangan bangsa Indonesia mengenai Hak-hak Asasi Manusia dan juga terangkat dalam Amandemen ke-2 UUD 1945 pasal 28A

Bima Putra, Penolakan Terhadap Hukuman Mati, di kutip dari

http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=999, diakses 20 desember 2017

Dari,

(22)

DR. Munir Fuady, S.H., M.H. LL.M, Teori-teori Besar Dalam Hukum: Grand Theory ,

(Jakarta, Prenada Media, 2014), hlm 117

A. Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985), hlm 25 & 26

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm 89

Dicky Putra, Skripsi Hukuman Pidana Mati Dalam Perspektif Ham, (Surakatra, FH UMS, 2015), Diakses 19 Desember 2017

Yon Artiono Arba’I,AKU MENOLAK HUKUMAN MATI, (Jakarta: KPG(Kepustakaan Populer Gramedia), 2012).Hlm 5

Referensi

Dokumen terkait

41 Kendati demikian, dalam pemaparan ini, penulis tidak membatasi pengulasan menurut kronologis periodisasi tersebut, namun ~sesuai dengan pendekatan fenomenologis

dan tarif Kelas VIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) ditetapkan dengan Keputusan Kepala Badan Layanan Umum Rumah Sakit Bhayangkara

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pembelajaran matematika yang biasa berlangsung di SMP PGRI Ciawigebang Kabupaten Kuningan , mengetahui apakah

Tabel 5.. Pengertian data tersebut si subjek meminta turunnya hujan di tempat yang diminta. Larik ke-20 dan larik ke-30 berbunyi Lailaha illallah Muhammadurrasulullah

Data yang diperoleh dalam penelitian ini terkait dengan potensi dan ketersediaan bahan pangan lokal sumber karbohidrat non beras, yang meliputi : jenis sumber pangan

Pengertian seni adalah suatu ekspresi perasaan manusia yang memiliki unsur keindahan di dalamnya dan diungkapkan melalui suatu media yang sifatnya nyata, baik itu dalam

Menurut Najahan Musyafak metode ceramah di acara dakwahtainmen cukup bagus tetapi lebih bagus jika tidak hanya melalui ceramah namun melalui tindakan nyata sesuai

This segment of the enterprise data architecture has a number of critical requirements, which include the ability to ingest and interact with the data feed(s), make decisions on