2.1 Kanker Payudara
Tumor merupakan penyakit genetik yang kompleks, melibatkan kelainan
struktural dan kelainan ekspresi gen (coding dan noncoding). Selama hampir tiga dekade, perubahan protein yang mengkode onkogen dan/ atau tumour-suppressor genes dianggap sebagai penyebab tumorigenesis (Calin, et.al., 2006). Tumor ganas adalah sekelompok sel-sel kanker yang dapat tumbuh dan berkembang pada
jaringan dan/ atau menyebar ke daerah lain dari tubuh. Kanker payudara
merupakan keganasan yang berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan
penunjang payudara, tidak termasuk kulit payudara (DEPKES RI, 2009).
Kebanyakan kanker payudara dimulai pada sel-sel yang melapisi saluran (ductal cancers). Beberapa dimulai pada sel-sel yang melapisi lobulus (lobular cancers), sementara sejumlah kecil dimulai pada jaringan lain. Penyakit ini terjadi hampir
seluruhnya pada perempuan, tetapi pria bisa juga terkena (American Cancer Society, 2013).
2.1.1 Epidemiologi
Kanker merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit
payudara merupakan kanker kedua yang paling tinggi insidennya pada perempuan
di seluruh dunia setelah kanker rahim dan sekitar 7%-10% dari semua tumor
ganas.
Tingkat insiden sangat bervariasi di seluruh dunia mulai dari 19,3 per
100.000 perempuan di Afrika Timur hingga 89,7 per 100.000 perempuan di Eropa
Barat. Di sebagian besar negara sedang berkembang tingkat insiden di bawah 40
per 100.000 perempuan. Tingkat insiden terendah ditemukan di sebagian besar
negara-negara Afrika, akan tetapi angka kejadian kanker payudara di daerah
tersebut juga meningkat. Meskipun kanker payudara dianggap penyakit di negara
maju, akan tetapi hampir 50% kasus kanker payudara dan 58% kematian terjadi di
negara-negara sedang berkembang (WHO, 2013).
Sekitar 1 dari 8 perempuan memiliki risiko seumur hidup terkena kanker
payudara invasif (Mandal, 2013). Di Australia, pada tahun 2009 insidensi kanker
payudara sekitar 27,4% dari semua kasus baru kanker pada perempuan, dimana
sekitar 13.668 kasus baru kanker payudara pada perempuan dan 110 kasus baru
pada laki-laki (Australian Government, 2013). Di Inggris, pada tahun 2010 ada sekitar 49.961 kasus baru kanker payudara, 157 kasus baru kanker payudara untuk
setiap 100.000 perempuan (Mandal, 2013). Pada perempuan di Amerika Serikat,
tahun 2011, diperkirakan 230.480 kasus baru kanker payudara invasif dan 57.650
kasus baru kanker payudara non-invasif/ insitu (Mandal, 2013).
Risiko terkena kanker payudara meningkat seiring bertambahnya usia.
didiagnosis pada kelompok usia 50-69 tahun (Mandal, 2013). Hal ini sejalan
dengan angka kejadian kanker payudara di Australia, dimana pada tahun 2009,
51,4% kasus kanker payudara perempuan didiagnosis pada kelompok usia 50-69
tahun, 25,8% pada kelompok usia 70 tahun ke atas, dan sisanya 22,9% pada
kelompok usia lebih muda dari 50 tahun (Australian Government, 2013).
Tingkat kelangsungan hidup penderita kanker payudara sangat bervariasi
di seluruh dunia, mulai dari 80% atau lebih di Amerika Utara, Swedia dan Jepang,
hingga sekitar 60% di negara-negara berpenghasilan menengah, dan di bawah
40% pada negara-negara berpenghasilan rendah (WHO, 2013). Tingkat
kelangsungan hidup relatif setelah terdiagnosis kanker payudara pada perempuan
telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Antara periode 1982-1987 dan
2006-2010, kelangsungan hidup lima tahun relatif meningkat dari 72% menjadi
89,4% pada perempuan Australia (Australian Government, 2013). Tingkat kelangsungan hidup yang rendah di negara-negara sedang berkembang terutama
disebabkan oleh karena kurangnya program deteksi dini, sehingga lebih tinggi
proporsi perempuan dengan kanker payudara stadium lanjut, serta kurangnya
fasilitas diagnostik dan pengobatan yang memadai (WHO, 2013).
Diperkirakan bahwa di seluruh dunia lebih dari 508.000 perempuan
meninggal pada tahun 2011 disebabkan oleh kanker payudara (WHO, 2013),
karena kebanyakan perempuan dengan kanker payudara didiagnosis pada stadium
penyakit lanjut, dikarenakan gejala awal yang tidak khas (Zhao, et.al., 2012). Pada
tahun 2010, kanker payudara merupakan penyebab utama kedua kematian terkait
akibat kanker pada perempuan. Terdapat 2.864 kematian akibat kanker payudara
yaitu 2.840 perempuan dan 24 laki-laki (Australian Government, 2013). Pada tahun 2011, sekitar 39.520 perempuan di Amerika Serikat meninggal akibat
kanker payudara (Mandal, 2013).
Di Indonesia, berdasarkan data rekam medis RS Kanker Dharmais tahun
2010, kanker payudara menempati urutan pertama dari segi jumlah pasien yang
datang berobat. Di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, prevalensi kanker
payudara pada periode Januari-Desember 2009 adalah 275 kasus. Kanker
payudara ditemukan pada 0,36% pria dan 99,64% wanita. Golongan umur yang
paling banyak ditemukan adalah antara 40-49 tahun yaitu sebanyak 37,82%,
sedangkan yang paling sedikit adalah umur antara 70-79 tahun yaitu sebanyak
2,55%. Jenis histopatologi kanker payudara yang paling banyak ditemukan adalah
invasive ductal carcinoma mamae dengan persentase kasus sebesar 60,37%. Berdasarkan stadium kanker payudara, stadium yang paling banyak terjadi adalah
stadium IIIb sebanyak 37,82% dan yang paling sedikit ditemukan adalah stadium
II dengan persentase sebanyak 1,09%. Sementara itu, di RSUP. H. Adam Malik
Medan, berdasarkan data rekam medis pada tahun 2012, ada sebanyak 200 pasien
baru yang terdiagnosis kanker payudara yang datang berobat ke bagian bedah
onkologi RSUP. H. Adam Malik.
Di Indonesia, hampir 70% penderita kanker ditemukan pada stadium yang
sudah lanjut, dimana sebagian besar pasien kanker payudara yang berobat ke RS/
konsumsi alkohol, kegemukan atau obesitas dan kurangnya aktifitas fisik/
olahraga juga berperan dalam peningkatan angka kejadian kanker di Indonesia.
Berdasarkan kelompok umur, semakin tua usia maka risiko terkena penyakit
kanker semakin tinggi, mencapai puncaknya pada usia 35 sampai 44 tahun,
kemudian secara perlahan risikonya akan menurun dan akan terjadi peningkatan
kembali pada usia >65 tahun. Menurut jenis kelamin, risiko penyakit kanker lebih
tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (Oemiati, dkk., 2011).
2.1.2 Faktor risiko
Sulit untuk mengetahui berapa besar peran dari faktor risiko menyebabkan
munculnya kanker payudara. Ada perempuan yang memiliki satu atau lebih faktor
risiko tetapi tidak terkena kanker payudara, sementara ada perempuan tidak
memiliki faktor risiko yang jelas (selain karena faktor jenis kelamin dan usia)
tetapi terkena kanker payudara (American Cancer Society, 2013). Beberapa faktor risiko kanker payudara antara lain:
2.1.2.1 Jenis kelamin
Perempuan lebih berisiko 100 kali terkena kanker payudara dibandingkan
pria. Hal ini disebabkan karena pria hanya memiliki sedikit hormon estrogen dan
progesteron dibandingkan perempuan, yang dapat memicu berkembangnya kanker
2.1.2.2 Usia
Risiko terkena kanker payudara meningkat seiring dengan bertambahnya
usia. Risiko terkena kanker payudara terus meningkat setelah usia 30 tahun
sampai rentang usia 45-50 (Kumar, 2007; Ostad and Parsa, 2011). Sekitar 1 dari
8 kanker payudara invasif ditemukan pada perempuan berusia lebih muda dari 45
tahun, sementara sekitar 2 dari 3 kanker payudara invasif ditemukan pada
perempuan usia 55 tahun atau lebih (American Cancer Society, 2013).
2.1.2.3 Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang menderita kanker payudara merupakan faktor
risiko utama (Kumar, 2007; Ostad and Parsa, 2011). Mereka yang memiliki
riwayat keluarga penderita kanker payudara dua kali lipat berisiko terkena kanker
payudara. Sekitar 15% perempuan yang mendapat kanker payudara memiliki
anggota keluarga yang juga menderita kanker payudara. Sekitar 5-10 % dari
kanker payudara dikaitkan dengan mutasi gen (perubahan abnormal) diturunkan
dari ibu atau ayah (Mandal, 2013). Memiliki satu kerabat tingkat pertama (ibu,
saudara perempuan, atau anak perempuan) dengan kanker payudara membuat
seorang perempuan memiliki risiko dua kali lipat terkena kanker payudara.
Memiliki 2 kerabat tingkat pertama dengan kanker payudara meningkatkan risiko
sekitar 3 kali lipat (Loman, et.al., 2003). Secara keseluruhan, kurang dari 15%
perempuan penderita kanker payudara memiliki anggota keluarga yang menderita
terkena kanker payudara tidak memiliki riwayat keluarga penderita kanker
payudara (American Cancer Society, 2013).
2.1.2.4 Riwayat pribadi kanker payudara
Faktor risiko utama terkena kanker payudara primer adalah adanya riwayat
pribadi kanker sebelumnya pada sisi payudara yang lain. Seorang perempuan
dengan kanker pada satu sisi payudara memiliki 3-4 kali lipat peningkatan risiko
berkembangnya kanker baru pada payudara yang lain atau sisi lain dari payudara
yang sama (Armstrong, et.al., 2000). Hal ini berbeda dengan kondisi kekambuhan
(recurrence).
2.1.2.5 Ras dan etnis
Perbedaan etnis merupakan faktor lain yang mempengaruhi prevalensi
kanker payudara. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, kanker payudara lebih
umum terjadi pada orang kulit putih. Perbedaan ini kemungkinan besar
disebabkan oleh faktor gaya hidup dan kondisi sosial. Wanita yang memiliki
pendidikan, pekerjaan dan tingkat ekonomi yang lebih tinggi memiliki risiko yang
lebih besar terkena kanker payudara, dikarenakan pola reproduksi mereka,
termasuk kehamilan pertama. Perbedaan etnis dalam hal subtipe reseptor estrogen
dan progesteron juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi terjadinya
kanker payudara. Dalam Study kohort multietnis, dilaporkan berbagai status
ER-/PR+ dan ER+/PR- bervariasi secara signifikan di seluruh kelompok ras/ etnis
bahkan dalam stadium tumor yang sama (Ostad and Parsa, 2011).
2.1.2.6 Jaringan payudara yang padat
Payudara terdiri dari jaringan lemak, jaringan fibrosa, dan jaringan
kelenjar. Seseorang dikatakan memiliki jaringan payudara yang padat (seperti
yang terlihat pada mammogram) ketika mereka memiliki lebih banyak jaringan
kelenjar dan fibrosa serta jaringan lemak yang lebih sedikit. Perempuan dengan
jaringan payudara yang padat memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker
payudara dibandingkan perempuan dengan payudara kurang padat. Sayangnya,
jaringan payudara yang padat juga bisa membuat mammogram kurang akurat.
Sejumlah faktor dapat mempengaruhi kepadatan payudara, seperti usia, status
menopause, penggunaan obat-obatan (seperti terapi hormon menopause),
kehamilan, dan genetik (American Cancer Society, 2013).
2.1.2.7 Memiliki penyakit payudara yang bersifat jinak
Perempuan dengan penyakit payudara yang bersifat jinak memiliki
peningkatan risiko terkena kanker payudara (Kumar, 2007). Risiko ini bervariasi,
Penyakit payudara yang bersifat jinak dibagi menjadi 3 kategori, yaitu :
(American Cancer Society, 2013)
a. Lesi non-proliferasi
Kondisi ini tidak berhubungan dengan pertumbuhan jaringan payudara
yang berlebih. Kondisi payudara jenis ini tampaknya tidak mempengaruhi
risiko kanker payudara, atau jika berpengaruh, maka pengaruhnya sangat
kecil. Kondisi payudara yang termasuk dalam kelompok ini antara lain
fibrosis dan/ atau simpel kista (penyakit fibrokistik), hiperplasia ringan,
adenosis non-sklerosis, ductal ectasia, tumor phyllodes jinak, papilloma tunggal, fat necrosis, fibrosis periduktal, metaplasia skuamosa dan apokrin, kalsifikasi terkait epitel dan tumor jinak lainnya (lipoma,
hamartoma, hemangioma, neurofibroma, adenomyoepthelioma). Mastitis
(infeksi payudara) tidak meningkatkan risiko kanker payudara.
b. Lesi proliferatif non-atipia
Kondisi ini menunjukkan adanya pertumbuhan berlebihan dari sel-sel di
dalam saluran atau lobulus dari jaringan payudara. Kondisi meningkatkan
risiko seorang perempuan terkena kanker payudara sekitar 1½-2 kali lebih
tinggi dari normal (Kumar, 2007). Kondisi payudara yang termasuk dalam
kelompok ini antara lain hiperplasia duktal (non-atypia), fibroadenoma,
c. Lesi proliferatif atipia
Kondisi ini menunjukkan adanya pertumbuhan berlebihan dari sel-sel di
dalam saluran atau lobulus dari jaringan payudara, dengan beberapa sel
tidak lagi normal. Kondisi ini memberikan efek yang lebih kuat pada
risiko kanker payudara 3½ - 5 kali lebih tinggi dari normal (Kumar, 2007).
Kondisi payudara yang termasuk dalam kelompok ini antara lain
hiperplasia duktus atipikal (Atypical ductal hyperplasia/ ADH) dan hiperplasia lobular atipikal (Atypical lobular hyperplasia/ ALH). Perempuan dengan riwayat keluarga kanker payudara dengan hiperplasia
atau hiperplasia atipikal memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker
payudara.
Selain kondisi di atas, kondisi Lobular carcinoma in situ (LCIS) juga merupakan faktor risiko kanker payudara. Pada kondisi LCIS, sel-sel yang terlihat
seperti sel-sel kanker tumbuh di lobulus kelenjar penghasil susu dari payudara,
tetapi tidak tumbuh pada dinding lobulus. LCIS (juga disebut lobular neoplasia) kadang-kadang dikelompokkan dengan ductal carcinoma in situ (DCIS) sebagai kanker payudara non-invasif, tetapi berbeda dari DCIS tidak menjadi kanker
invasif meskipun tidak diobati. Perempuan dengan kondisi ini memiliki 7-12 kali
lipat peningkatan risiko kanker payudara yang invasif. Dengan alasan ini,
perempuan dengan LCIS harus melakukan mammografi reguler (Kumar, 2007;
2.1.2.8 Periode menstruasi
Perempuan yang memiliki siklus menstruasi lebih banyak, karena mereka
mulai menstruasi lebih awal (<13 tahun) dan/ atau mengalami menopause lebih
lama (>55 tahun), memiliki risiko yang lebih tinggi terkena kanker payudara
(Kumar, 2007; DEPKES RI, 2009). Peningkatan risiko mungkin karena paparan
seumur hidup lebih lama terhadap hormon estrogen dan progesteron
(Tryggvadottir, et.al., 2003; Wrensch, et.al., 2003; Ostad and Parsa, 2011).
2.1.2.9 Paritas, riwayat reproduksi, dan riwayat menyusui
Jumlah paritas yang banyak (multipara) erat kaitannya dengan penurunan
risiko kanker payudara (Tryggvadottir, et.al., 2003; Wrensch, et.al., 2003).
Perempuan yang tidak memiliki anak atau kelahiran hidup anak pertama setelah
usia 30 tahun memiliki risiko kanker payudara yang lebih tinggi (Kumar, 2007;
Ostad and Parsa, 2011). Kehamilan beberapa kali dan hamil pada usia muda
mengurangi risiko kanker payudara. Sebaliknya usia kehamilan penuh pertama
yang lebih tua mempunyai risiko lebih tinggi terkena kanker payudara (Ostad and
Parsa, 2011). Kehamilan mengurangi jumlah siklus menstruasi selama hidup,
yang mungkin menjadi alasan untuk efek ini (American Cancer Society, 2013). Beberapa studi menunjukkan bahwa menyusui dapat menurunkan risiko
kanker payudara, terutama jika dilanjutkan selama 1½-2 tahun, dikarenakan
berkurangnya jumlah total siklus menstruasi (Tryggvadottir, et.al., 2003;
2.1.2.10 Kontrasepsi
Hormon estrogen eksogen, baik dalam bentuk kontrasepsi oral kombinasi
(Combined Oral Contraception/ COC) atau terapi sulih hormon (Hormone Replacement Therapy/ HRT), juga mengakibatkan peningkatan risiko kanker payudara, namun hal ini tergantung pada durasi paparan dan apakah hormon
estrogen yang digunakan dalam bentuk tunggal atau dalam bentuk kombinasi
dengan progesteron (Wrensch, et.al., 2003)..
Data tentang efek kontrasepsi oral pada risiko terjadinya kanker payudara
masih kontroversial. Beberapa studi menunjukkan peningkatan risiko kanker
payudara pada pengguna kontrasepsi oral jangka panjang (>7 tahun) (DEPKES
RI, 2009), sedangkan pada beberapa penelitian lain, tidak ada terlihat perbedaan
yang signifikan. Penggunaan terapi hormon postmenopause jangka panjang
dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terkena kanker payudara (Kumar, 2007).
Sebaliknya, terapi hormon jangka pendek tampaknya tidak meningkatkan risiko
kanker payudara secara signifikan (Ostad and Parsa, 2011). Pada sebuah studi
yang dilakukan di Oxford yang meneliti 52.705 wanita yang menggunakan HRT ≥
5 tahun menunjukkan 3-9 kasus kanker payudara/ 1000 wanita yang
menggunakan HRT selama 10 tahun dan 5-20 kasus kanker payudara/ 1000
wanita yang menggunakan HRT selama 15 tahun (Connor and Stuenkel, 2001).
Terapi hormon estrogen (sering dikombinasikan dengan progesteron) telah
digunakan selama bertahun-tahun untuk membantu meringankan gejala
menggunakan terapi kombinasi hormon (estrogen-progesteron) setelah menopause
meningkatkan risiko kanker payudara. Hal ini juga dapat meningkatkan
kemungkinan kematian akibat kanker payudara. Peningkatan risiko dapat dilihat
hanya dalam 2 tahun penggunaan. Risiko kanker payudara akan kembali seperti
populasi umum setelah 5-10 tahun menghentikan penggunaan terapi kombinasi
hormon (Connor and Stuenkel, 2001; Kumar, 2007).
2.1.2.11 Peminum alkohol
Penggunaan alkohol juga terkait dengan peningkatan risiko kanker
payudara (DEPKES RI, 2009). Data epidemiologis telah mengidentifikasi
konsumsi alkohol kronis sebagai faktor risiko yang signifikan untuk kanker.
Dibuktikan bahwa asetaldehida bertanggung jawab pada proses karsinogenesis
terkait alkohol. Asetaldehida merupakan karsinogenik dan mutagenik, berikatan
dengan DNA dan protein, merusak folat dan menyebabkan hiperproliferasi
sekunder (Poschl and Seitz, 2004).
Dibandingkan dengan yang tidak peminum, perempuan yang
mengkonsumsi minuman beralkohol dengan rutin lebih dari 3 kali sehari memiliki
risiko 3,6 kali terkena kanker payudara dibandingkan dengan perempuan yang
tidak mengkonsumsi alkohol (Wrensch, et.al., 2003).
2.1.2.12 Kelebihan berat badan atau obesitas
Kelebihan berat badan atau obesitas setelah menopause meningkatkan
menghasilkan hormon estrogen yang paling banyak, dan jaringan lemak
menghasilkan hormon estrogen dalam jumlah kecil. Setelah menopause (ketika
ovarium berhenti mensekresikan estrogen), sebagian besar dari estrogen
perempuan berasal dari jaringan lemak, sehingga memiliki lebih banyak jaringan
lemak setelah menopause dapat meningkatkan risiko kanker payudara
(McTiernan, et.al., 2003).
2.1.2.13 Kurangnya aktivitas fisik
Aktifitas fisik mengurangi risiko kanker payudara. Aktivitas fisik dapat
memodulasi kadar hormon reproduksi wanita dan mempengaruhi karakteristik
menstruasi. Selain itu, wanita yang aktif lebih mudah menjadi ramping, yang
berhubungan dengan rendahnya risiko kanker payudara pascamenopause (Lee,
et.al., 2001). Dalam sebuah penelitian Women's Health Initiative, jalan cepat sedikitnya selama 1,25-2,5 jam per minggu akan mengurangi risiko kanker
payudara sebesar 18% (American Cancer Society, 2013).
2.1.2.14 Bahan kimia di lingkungan
Senyawa pada lingkungan yang memiliki sifat seperti estrogen seperti zat
yang ditemukan pada plastik, kosmetik tertentu dan produk perawatan pribadi,
pestisida (seperti DDT), dan PCB (polychlorinated biphenyls), dapat tertimbun di jaringan adiposa, mempengaruhi risiko kanker payudara. Beberapa studi
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui lebih spesifik efek senyawa
tersebut atau sejenisnya terhadap kesehatan (Ostad and Parsa, 2011).
2.1.2.15 Asap rokok
Penelitian eksperimental telah menunjukkan bahwa asap tembakau
mengandung potensi karsinogen pada payudara manusia (termasuk hidrokarbon
polisiklik/ PAH, 2 amina aromatik, dan N-nitrosamin). Karsinogen yang
ditemukan dalam asap tembakau tersebut dapat melewati membran alveolar dan
masuk ke dalam aliran darah, yang kemudian dapat diangkut ke payudara melalui
lipoprotein plasma. Karena bersifat lipofilik, karsinogen yang terkait tembakau
tersebut dapat disimpan dalam jaringan adiposa payudara dan kemudian
dimetabolisme dan diaktivasi oleh sel epitel payudara (American Cancer Society, 2013; Terry and Rohan, 2002).
Temuan adanya mutasi gen p53 dalam jaringan payudara perokok
mendukung secara biologis adanya hubungan positif antara merokok dan kanker
payudara, seperti halnya deteksi aktifitas karsinogenik dalam cairan payudara.
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi mutasi
gen p53 yang lebih tinggi ditemukan dalam jaringan payudara perokok
dibandingkan dengan bukan perokok, yang secara biologis membuktikan adanya
hubungan positif antara merokok dan risiko kanker payudara. Peningkatan risiko
kanker payudara dapat terjadi bila merokok untuk jangka waktu yang lama,
Pada tahun 2009, Badan Internasional untuk Penelitian Kanker
menyimpulkan bahwa perempuan yang memiliki kebiasaan merokok ≥ 30 tahun
memiliki risiko terkena kanker payudara 2,4 kali dibandingkan dengan perempuan
yang tidak merokok (Wrensch, et.al., 2003).
2.1.3 Penyebab
Faktor genetik berkontribusi terhadap insiden kanker payudara.
Diperkirakan sekitar 5% dari semua kasus kanker payudara dan sekitar 25% dari
kasus yang terkait genetik didiagnosis pada usia muda (<30 tahun). Faktor genetik
yang paling sering menjadi penyebab terjadinya kanker payudara yaitu adanya
mutasi gen (Miki, et.al., 1994; Mattiske, et.al., 2012).
Mutasi gen yang dapat memicu berkembangnya kanker payudara antara
lain:
2.1.3.1 BRCA1 dan BRCA2
Penyebab paling umum berkembangnya kanker payudara adalah karena
mutasi gen BRCA1 dan BRCA2 yang diturunkan. Gen BRCA1 dan BRCA2
mengkode protein tumor suppressor, suatu protein yang bertindak sebagai
regulator negatif pertumbuhan tumor, yang terlibat dalam perbaikan kerusakan
DNA, apoptosis dan regulasi siklus sel (Miki, et.al., 1994; Beger, et.al., 2001;
Lee, et.al., 2011). Gen BRCA1 dan BRCA2 terbukti terlibat tidak hanya pada
Gen BRCA1 dan BRCA2 bertanggung jawab atas 80-90% dari semua
kanker payudara yang bersifat familial (Ergul and Sazci, 2000). Jika seseorang
telah mewarisi salinan gen yang bermutasi dari orang tua, memiliki risiko hingga
80% terkena kanker payudara selama masa hidup mereka (Ergul and Sazci, 2000;
Mandal, 2013). Seseorang yang memiliki mutasi gen BRCA1 berisiko terkena
kanker payudara sekitar 45-65% (tertinggi 80%), sedangkan yang memiliki mutasi
gen BRCA2 risiko lebih rendah, sekitar 45% (Miki, et.al., 1994). Terjadinya
mutasi pada gen BRCA1 atau BRCA2menyebabkan hilangnya atau berkurangnya
fungsi gen, yang menjadi predisposisi tumbuh dan berkembangnya kanker
payudara (Miki, et.al., 1994; Beger, et.al., 2001; Stefansson, et.al., 2012). Kanker
payudara terkait dengan mutasi gen ini terjadi lebih sering pada perempuan
dengan usia lebih muda dan lebih sering terjadi pada kedua payudara. Perempuan
dengan mutasi gen ini juga memiliki peningkatan risiko untuk terkena kanker
lainnya, seperti kanker ovarium (American Cancer Society, 2013).
Upaya untuk mengisolasi gen BRCA1 pertama sekali dilakukan pada
penelitian yang dilakukan oleh Hal, et al. pada tahun 1990. Gen BRCA1 dipetakan
pada kromosom 17q21.3 dengan panjang 100 kb dan mengkode protein yang
terdiri dari 1863 asam amino. Gen ini ditranskripsikan dalam beberapa jaringan,
paling banyak diekspresikan dalam thymus, testis, payudara dan ovarium. BRCA1
terlibat dalam perbaikan DNA, transaktivasi transkripsi, apoptosis dan kontrol
siklus sel (Miki, et.al., 1994; Ergul and Sazci, 2000; Kumar, 2007).
Stimulasi estrogen dari sel epitel payudara diduga menjadi faktor utama
mengatur respon seluler terhadap estrogen, dimana gen BRCA1 wild type
menghambat sinyal ER. Protein BRCA1 wild type berikatan pada sejumlah protein selular, termasuk DNA repair protein Rad 51, RNA polymerase II holoenzyme, RNA helicase A, CtBP-interacting protein, c-myc, BRCA1 -associated RING domain protein (BARD1), BRCA2 protein, dan sebagainya. Protein-protein tersebut memediasi fungsi BRCA1. Oleh karena itu, mutasi
BRCA1 dapat mempengaruhi komposisi kompleks tersebut dan disregulasi fungsi
protein tersebut pada akhirnya dapat mengakibatkan berkembangnya keganasan.
BRCA1 juga berinteraksi dengan p53 secara in vitro dan in vivo, dimana protein
BRCA1 berfungsi sebagai co-aktivator p53 (Ergul and Sazci, 2000).
Selain gen BRCA1, mutasi gen kerentanan kanker payudara lainnya yaitu
gen BRCA2, dipetakan pada kromosom 13q12-13 (Miki, et.al., 1994; Ergul and
Sazci, 2000; Kumar, 2007). Gen BRCA2 lebih besar dari BRCA1, dengan 10.254
pasangan basa yang menkode 3418 asam amino. BRCA2 paling banyak
diekspresikan dalam thymus dan testis, sedangkan dalam kelenjar payudara dan
prostat diekspresikan pada level moderat. Protein BRCA2, seperti BRCA1,
memainkan peranan dalam regulasi transkripsi dan perbaikan DNA. Hal ini
menunjukkan bahwa BRCA2 berperan dalam perkembangan dan diferensiasi sel.
(Ergul and Sazci, 2000).
Kanker payudara terkait gen BRCA terkesan lebih agresif, disebabkan
oleh ketidakstabilannya dalam kromosom secara intrinsik, kegagalan perbaikan
Mutasi gen lain juga dapat menyebabkan kanker payudara yang bersifat
diturunkan, akan tetapi lebih jarang dan sering tidak meningkatkan risiko kanker
payudara seperti gen BRCA.
2.1.3.2 ATM
Gen ATM berperan dalam membantu memperbaiki kerusakan DNA.
Dalam studi terbaru, dibuktikan bahwa gen ataksia telangiektasia (AT), yang
disebut ATM, berperan dalam perkembangan kanker payudara (Ergul and Sazci,
2000). Bila mewarisi 2 salinan abnormal gen ini dapat menyebabkan timbulnya
penyakit ataksia- telangiektasia, bila mewarisi 1 salinan mutasi gen berisiko tinggi
terkena kanker payudara (American Cancer Society, 2013).
Gen ATM diidentifikasi berada pada kromosom 11q22 – 23, sebesar
13.000 bp yang mengkode protein yang terdiri dari 3.500 asam amino. Target
kunci ATM di downstream adalah p53, yang difosforilasi dan distabilkan oleh ATM, sebagai respon terhadap kerusakan DNA. Hilangnya fungsi ATM pada sel
menyebabkan gangguan dalam perbaikan DNA dan kontrol checkpoint siklus sel, hal ini menyebabkan berkembangnya kanker (Ergul and Sazci, 2000).
Pasien ataksia telangiektasia (AT) homozigot memiliki insiden kanker
yang sangat tinggi, dimana pasien AT dengan mutasi homozigot mengalami
peningkatan risiko kanker 100-200 kali lipat. Sementara pada pasien AT dengan
mutasi heterozigot mengalami peningkatan risiko terkena kanker payudara 3-5
tidak dapat bertahan hidup sampai usia di mana umumnya kanker payudara
terjadi. (de Jong, et.al., 2002)
2.1.3.3 Tp53
Gen Tp53 mengkode pembentukan protein p53 yang merupakan faktor
transkripsi dan juga memainkan peran penting dalam membantu menghentikan
pertumbuhan sel-sel abnormal (tumor supresor gen). Gen Tp53 terletak pada
kromosom 17p13.1, berisi 393 kodon dan mengkode protein inti 53.000 D (Ergul
and Sazci, 2000).
Mutasi yang menonaktifkan gen Tp53 terjadi pada berbagai jenis kanker,
termasuk kanker payudara (de Jong, et.al., 2002; Gasco, et.al., 2002; Ergul and
Sazci, 2000). Mutasi somatik gen Tp53 pada kanker payudara dilaporkan
mencapai 19%-57% (de Jong, et.al., 2002).
Mewarisi mutasi gen Tp53 secara autosomal dominan menyebabkan
sindrom Li-Fraumeni. Individu dengan sindrom ini memiliki peningkatan risiko terjadinya kanker payudara, serta beberapa jenis kanker lain seperti leukemia,
tumor otak, dan osteosarkoma, karsinoma adrenokortikal (de Jong, et.al., 2002;
Ergul and Sazci, 2000). Dalam sebuah penelitian terhadap 231 pasien dengan
mutasi germline p53, kanker payudara merupakan kanker yang paling umum
terjadi (Ergul and Sazci, 2000). Risiko terkena kanker payudara sebelum usia 45
tahun menjadi 18 kali lipat lebih tinggi untuk perempuan yang terkena sindrom ini
usia di bawah 20 tahun dan menurun seiring dengan bertambahnya usia ( de Jong,
et.al., 2002).
Pada kanker payudara, mutasi p53 dikaitkan dengan kondisi penyakit yang
lebih agresif dan prognosis buruk (Gasco, et.al., 2002; Ergul and Sazci, 2000).
Frekuensi mutasi p53 lebih rendah pada kanker payudara dibandingkan pada
tumor padat lainnya. Perubahan, baik genetik maupun epigenetik, mempengaruhi
pada pengendalian aktivitas p53 dan beberapa target transkripsi p53 di
downstream pada kanker payudara. Analisis patologi molekuler dari struktur dan
ekspresi konstituen jalur p53 bernilai dalam menentukan diagnosis, prognosis dan
penatalaksanaan kanker payudara (Gasco, et.al., 2002).
2.1.3.4 PTEN
Pada manusia gen PTEN dipetakan pada kromosom 10q23. PTEN
merupakan fosfatase, tetapi tidak seperti fosfatase lain. Bukan merupakan protein,
tetapi merupakan molekul lemak di sela membran sel. Target lipid adalah
phosphatidylinositol-3,4,5-trifosfat (PIP3) dan merupakan komponen kunci dari jalur utama kontrol pertumbuhan sel, bertindak untuk merangsang pertumbuhan
sel dan menghambat apoptosis. Dengan melepaskan satu dari tiga fosfat pada
PIP3, PTEN mengendalikan jalur pertumbuhan dan memungkinkan terjadinya proses kematian sel (Ergul and Sazci, 2000).
Mutasi gen PTEN pada proses tumorigenesis membuat jalur PIP3 tidak
tepat diaktifkan, yang memungkinkan sel-sel yang seharusnya mati bermutasi dan
80% penderita sindrom Cowden (kelainan autosomal dominan). Pada penderita
sindrom Cowden perempuan dengan mutasi gen PTEN memiliki risiko kanker
payudara 25-50% seumur hidupnya ( de Jong, et.al., 2002).
2.1.4 Gejala dan tanda
Skrining menggunakan mammogram telah meningkatkan jumlah kasus
kanker payudara yang terdeteksi sebelum menimbulkan gejala apapun. Namun,
masih ada beberapa jenis kanker payudara yang tidak terdeteksi oleh
mammogram. Gejala yang paling umum dari kanker payudara adalah adanya
benjolan atau massa yang tidak nyeri dan massa padat dengan tepi yang tidak
teratur. Tapi kanker payudara dapat juga berupa massa yang lembut dan berbatas
tegas dan sangat nyeri. Oleh karena itu, bila dijumpai massa di payudara harus
segera diperiksakan ke dokter yang ahli dan berpengalaman dalam mendiagnosis
penyakit payudara (DEPKES RI, 2009; American Cancer Society, 2013).
Kemungkinan tanda-tanda lain dari kanker payudara antara lain
pembengkakan seluruh atau sebagian dari payudara, iritasi kulit atau dimpling, nyeri payudara atau puting, retraksi puting (lipatan puting), kemerahan atau
penebalan pada puting atau kulit payudara, keluar cairan dari puting/ selain ASI (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004; DEPKES RI, 2009; American Cancer Society, 2013)
Kanker payudara dapat menyebar ke kelenjar getah bening di bawah
payudara cukup besar. Meskipun gejala-gejala tersebut dapat disebabkan oleh
hal-hal lain selain kanker payudara, jika seseorang memilikinya, mereka harus
melaporkan kepada dokter sehingga penyebabnya dapat ditemukan segera
(DEPKES RI 2009; American Cancer Society, 2013).
2.1.5 Penegakan diagnosis
Kanker payudara sering ditemukan setelah gejala muncul, karena
kebanyakan kanker payudara stadium dini tidak memiliki gejala. Jika ada sesuatu
yang mencurigakan ditemukan setelah dilakukan skrining, atau jika dijumpai
salah satu dari gejala kanker payudara seperti yang dijelaskan di atas, dokter akan
menggunakan satu atau beberapa metode pemeriksaan untuk mendeteksi kanker
payudara, antara lain sebagai berikut :
2.1.5.1 Riwayat medis dan pemeriksaan fisik
Riwayat medis meliputi gejala, masalah kesehatan lainnya, dan
faktor-faktor risiko yang mungkin untuk berkembangnya kanker payudara. Pemeriksaan
payudara untuk menilai tekstur, ukuran, dan hubungan dengan kulit dan otot dada,
perubahan pada puting atau kulit payudara. Kelenjar getah bening di aksila dan di
atas tulang selangka juga diraba, karena pembesaran kelenjar getah bening dapat
mengindikasikan penyebaran kanker payudara. Juga dilakukan pemeriksaan fisik
lengkap untuk menilai kesehatan secara umum dan membuktikan apakah kanker
telah menyebar. Jika dari gejala dan/ atau hasil pemeriksaan fisik mengarah
seperti tes pencitraan, pemeriksaan sampel nipple discharge, atau melakukan biopsi (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004).
2.1.5.2 Tes Pencitraan
Tes pencitraan dapat dilakukan untuk untuk membantu mendiagnosis
kanker, mengetahui seberapa jauh kanker telah menyebar, dan untuk monitoring
terapi. Tes pencitraan yang dapat dilakukan antara lain : (Sjamsuhidajat dan de
Jong, 2004; DEPKES RI, 2009; American Cancer Society, 2013)
a. Rontgen dada
Tes ini dapat dilakukan untuk melihat apakah kanker payudara telah
menyebar ke paru-paru
b. Mammogram
Untuk mendeteksi area yang abnormal pada payudara
c. Scan tulang
Dapat membantu menunjukkan apakah kanker telah menyebar ke tulang.
d. Computed Tomography (CT)-Scan
Untuk melihat apakah kanker telah menyebar ke organ lain di luar
e. Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan
Menggunakan gelombang radio dan magnet yang kuat. Digunakan untuk
mencari kanker yang telah menyebar ke berbagai bagian tubuh, sama
seperti CT scan. MRI scan sangat membantu dalam melihat otak dan
tulang belakang.
f. Ultrasonography (USG)
Digunakan untuk mencari kanker yang telah menyebar ke beberapa bagian
tubuh yang lain, terutama untuk melihat organ di daerah perut seperti hati
atau organ perut lainnya.
g. Positron emission tomography (PET) scan
Sejauh ini, studi menunjukkan PET scan kurang membantu untuk kanker
payudara dini, tetapi dapat digunakan untuk mendeteksi tumor yang sangat
besar, kanker payudara inflamasi, atau untuk kanker payudara yang telah
menyebar.
Tes pencitraan terbaru yaitu scintimammography dan tomosynthesis, masih belum digunakan secara umum dan manfaatnya masih sedang terus dipelajari
2.1.5.3 Biopsi
Biopsi dilakukan ketika pada pemeriksaan dengan mammogram, tes
pencitraan lainnya, atau pemeriksaan fisik ditemukan adanya perubahan/ kelainan
pada payudara yang mungkin kanker. Hingga saat ini biopsi adalah satu-satunya
alat diagnostik untuk memastikan kanker atau tidak. Sampel diambil dari bagian
tubuh yang dicurigai, dalam bentuk sediaan hapusan jaringan untuk dilihat di
bawah mikroskop oleh dokter ahli patologi anatomi. Ada beberapa jenis biopsi,
seperti, biopsi aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy), biopsi jarum inti/ besar ( core /large needle biopsy) , dan biopsi bedah (surgical biopsy). Jenis biopsi yang digunakan tergantung pada kondisi khusus pasien, dimana
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Faktor-faktor yang menjadi
pertimbangan dalam pemilihan jenis biopsi adalah besar lesi yang dicurigai, posisi
lesi pada payudara, banyaknya lesi, dan sebagainya.
a. Biopsi aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy/ FNA),
Pada biopsi aspirasi jarum halus (FNA) digunakan jarum berongga sangat
tipis yang melekat pada jarum suntik untuk menarik (aspirasi) sejumlah
kecil jaringan dari daerah yang dicurigai, yang kemudian dilihat di bawah
mikroskop (Taghian AG, 2010). Biopsi FNA merupakan jenis biopsi yang
paling mudah, tetapi memiliki beberapa kelemahan. Hasil positif pada
pemeriksaan ini bukan indikasi untuk bedah radikal karena hasil positif
ditempatkan tidak tepat di antara sel-sel kanker. Bahkan jika sel-sel kanker
ditemukan, biasanya sulit ditentukan apakah kanker invasif. Jika hasil
biopsi FNA masih belum jelas, maka perlu dilakukan pemeriksaan biopsi
jenis lainnya untuk konfirmasi (Taghian AG, 2010).
b. Biopsi jarum inti ( core needle biopsy)
Biopsi inti menggunakan jarum yang lebih besar dibandingkan dengan
jarum untuk biopsi FNA untuk aspirasi sampel yang penentuan lokasinya
dipandu dengan menggunakan USG atau mammogram. Dikenal sebagai
stereotactic core needle biopsy. Potongan jaringan yang diambil lebih besar dari biopsi FNA, sehingga hasilnya lebih jelas untuk penegakan
diagnosis (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004; Taghian AG, 2010),
meskipun masih ada beberapa jenis kanker yang belum jelas dengan
menggunakan metode ini.
c. Biopsi bedah/ biopsi terbuka (surgical biopsy)
Kanker payudara biasanya dapat didiagnosis cukup dengan menggunakan
biopsi jarum. Operasi jarang dilakukan untuk membuat hapusan semua
atau sebagian dari benjolan untuk diperiksa di bawah mikroskop, tapi
kadang biopsi bedah (terbuka) diperlukan, tergantung lokasi lesi, bila
biopsi jarum tidak memberikan hasil yang jelas (Taghian AG, 2010;
d. Biopsi kelenjar getah bening
Jika kelenjar getah bening di bawah aksila membesar (baik dengan diraba
atau dengan tes pencitraan seperti mamografi atau USG), perlu diperiksa untuk mengetahui penyebaran kanker. Dilakukan dengan biopsi kelenjar
getah bening sentinel (sentinel lymph node biopsy) dan / atau diseksi kelenjar getah bening aksila (American Cancer Society, 2013).
Sampel biopsi jaringan payudara diperiksa di laboratorium untuk
menentukan ada atau tidaknya kanker, menentukan jenis sel kanker, grading
kanker, menilai status reseptor estrogen dan progesteron, serta status HER2/neu.
2.1.5.4 Tumor Marker
Tumor marker adalah suatu zat yang dijumpai pada urin, darah, atau
jaringan orang normal, yang dapat diproduksi lebih banyak pada penderita kanker.
Zat tersebut dapat berupa enzim, hormon, oncofetal antigen atau reseptor (Duffy
and McGing, 2010; American Cancer Society-tumor marker, 2013). Tumor marker dapat dihasilkan baik oleh kanker sendiri ataupun oleh tubuh sebagai
respon terhadap kanker. Secara umum, peningkatan kadar tumor marker masih
sedikit pada tahap awal penyakit (tapi lebih tinggi dari normal) dan semakin
meningkat pada penyakit tahap lanjut. Selanjutnya, kadarnya akan menurun
sebagai respon terhadap pengobatan dan meningkat kembali ketika kanker
The American Society of Clinical Oncology (ASCO) mengadakan panel ahli yang pertama kali menerbitkan panduan mengenai rekomendasi penggunaan
tumor marker berbasis jaringan dan darah untuk kanker payudara pada tahun 1996
dan kemudian panduan tersebut diperbarui pada tahun 2001 (Henry and Hayes,
2006). Tabel 2.1, menunjukkan tumor marker yang lazim diperiksa untuk
membantu menegakkan diagnosis pada sangkaan kanker payudara.
Tabel 2.1 Tumor marker kanker payudara
Sumber: Henry and Hayes, 2006.
a. Tumor marker berbasis darah
Panel ASCO mengevaluasi beberapa tumor marker serum untuk kanker
payudara, termasuk tes CA15-3/ CA27.29, carcinoembryonic antigen
(CEA), dan HER-2/neu domain ekstraselular yang bersirkulasi. Panel tidak
merekomendasikan pemeriksaan tumor marker tersebut untuk skrining,
diagnosis, penentuan stadium, atau monitoring kondisi pasien.
Pemeriksaan CA15-3 atau CA27.29 dan/ atau CEA direkomendasikan,
metastasis dan akan menjalani terapi paliatif (Henry and Hayes, 2006;
Harris, et.al., 2007). Hal tersebut dikarenakan oleh peningkatan level
CA15-3 <10% pada pasien kanker payudara dini dan sekitar 70% pada
pasien stadium lanjut, sedangkan CA27.29 tidak lebih baik dari CA15-3,
karena tidak selalu meningkat pada setiap pasien kanker payudara. Kadar
CA15-3, CA27.29 dan CEA tidak hanya meningkat dalam darah penderita
kanker payudara saja, tetapi juga meningkat pada darah penderita kanker
lainnya seperti kanker paru, hati, ovarium, pankreas, saluran pencernaan,
bahkan dapat juga meningkat pada kondisi non-keganasan seperti
endometriosis dan hepatitis, sehingga tidak cukup spesifik sebagai marker
untuk mendeteksi kanker payudara (Duffy and McGing, 2010; American Cancer Society-tumor marker, 2013).
b. Tumor marker berbasis jaringan
Pemeriksaan rutin beberapa tumor marker berbasis jaringan juga dibahas
dalam panel ASCO. Panel merekomendasikan pemeriksaan rutin estrogen
reseptor (ER) dan progesteron reseptor (PgR) untuk mengidentifikasi
pasien yang potensial mendapat terapi endokrin, baik dalam stadium awal
penyakit ataupun kondisi metastasis. (Henry and Hayes, 2006).
Sel payudara normal dan beberapa sel kanker payudara mempunyai
reseptor yang berikatan dengan estrogen dan progesteron. Kedua hormon
melakukan pemeriksaan reseptor estrogen dan progesteron dari sel kanker
payudara hasil biopsi. Sel kanker bisa tidak memiliki kedua reseptor
tersebut (/PgR-), bisa hanya memiliki salah satu (ER+/PgR- atau
ER-/PgR+), atau memiliki kedua reseptor tersebut (ER+/PgR+). Kanker
payudara dengan reseptor hormon-positif cenderung tumbuh lebih lambat
dan berespon baik terhadap terapi hormon dibandingkan kanker payudara
tanpa reseptor ini. Peran utama dari reseptor steroid, seperti estrogen
reseptor (ER), adalah untuk mengatur laju transkripsi gen tertentu dengan
berikatan sebagai kompleks reseptor hormon ke sekuensi DNA tertentu
yang disebut hormone response element (HRE). Interaksi antara reseptor steroid dengan HRE dapat mengakibatkan perubahan regulasi transkripsi,
tergantung pada ikatan dan aktivitas faktor spesifik tambahan terhadap gen
target dan jaringan. Polimorfisme gen ER dapat mempengaruhi ikatan
estrogen dan transkripsi berikutnya dalam gen target (Ergul and Sazci,
2000). Status ER dan PgR telah lama dijadikan sebagai marker patologi
kanker payudara dan sekarang menjadi gold standar dalam menentukan
terapi adjuvant (Kon, 2010).
Fitur lain yang diuji untuk kanker payudara adalah amplifikasi Human Epidermal growth factor Receptor 2 (HER2/neu), merupakan reseptor yang mengaktifkan tirosin kinase, terikat pada permukaan membran sel.
HER2 merupakan famili reseptor epidermal growth factor (ErbB), terlibat dalam jalur transduksi sinyal yang memicu pertumbuhan sel dan
banyak protein pemicu pertumbuhan sel yang disebut HER2/neu (sering
disingkat menjadi hanya HER2). Gen HER2/neu memberi perintah kepada
sel untuk membentuk protein ini. Tumor dengan peningkatan kadar
HER2/neu disebut sebagai HER2–positif. Perempuan penderita kanker
payudara dengan HER2-positif memiliki banyak salinan gen HER2/neu,
sehingga jumlah protein HER2/neu lebih besar dari perempuan normal.
Kanker ini cenderung tumbuh dan menyebar lebih agresif daripada kanker
payudara lainnya. Semua kanker payudara yang baru didiagnosis harus
dilakukan pemeriksaan HER2/neu, untuk menentukan jenis terapi yang
akan diberikan, dimana kanker payudara dengan HER2-positif, jauh lebih
efektif pengobatan bila diberikan terapi yang targetnya protein HER2/neu
yaitu trastuzumab (Herceptin ®), antibodi monoklonal yang menghambat
HER-2/neu (Henry and Hayes, 2006).
Untuk tumor marker berbasis jaringan lainnya seperti p53 dan cathepsin, tidak cukup data untuk merekomendasikan penggunaannya dalam praktek
klinis rutin (Henry and Hayes, 2006).
2.1.6 Jenis kanker payudara
Jenis kanker payudara terdiri dari : (American Cancer Society, 2013)
2.1.6.1 Karsinoma duktal in situ
invasif. Perbedaan antara DCIS dengan kanker invasif adalah bahwa sel belum
menyebar (menginvasi) melalui dinding duktus ke sekitar jaringan payudara.
2.1.6.2 Karsinoma lobular in situ
Jenis ini bukan kanker atau pre - kanker
2.1.6.3 Karsinoma duktal invasif (infiltratif)
Jenis ini yang paling umum dari kanker payudara. Karsinoma duktal
invasif/ infiltratif (Invasive Ductal Carcinoma /IDC ) dimulai pada saluran susu dari payudara, menerobos dinding duktus , dan berkembang ke dalam jaringan
lemak payudara. Dapat menyebar (bermetastasis) ke bagian lain dari tubuh
melalui sistem limfatik dan aliran darah. Sekitar 8 dari 10 kanker payudara invasif
merupakan IDC.
2.1.6.4 Karsinoma lobular invasif (infiltratif)
Karsinoma lobular invasif (Invasive lobular carcinoma/ ILC ) dimulai pada kelenjar yang memproduksi susu (lobulus). Seperti IDC, dapat menyebar
(metastasis) ke bagian lain dari tubuh. Sekitar 1 dari 10 kanker payudara invasif
merupakan ILC. Karsinoma lobular invasif lebih sulit dideteksi oleh mammogram
2.1.7 Klasifikasi kanker payudara
Manajemen kanker payudara bergantung pada ketersediaan faktor
prognostik dan prediktif patologis dan klinis yang baik untuk memandu
pengambilan keputusan terhadap pasien dan pemilihan jenis terapi. Pada kanker
payudara tiga faktor penentu prognostik utama yang digunakan dalam praktek
rutin adalah status keterlibatan kelenjar getah bening (lymph node/ LN), ukuran tumor, dan grade histopatologi (Rakha, et.al., 2010; Dağlar, et.al., 2010).
Ada banyak faktor prognostik yang digunakan untuk menilai
kelangsungan hidup pasien kanker payudara. Beberapa faktor prognostik telah
digabungkan ke dalam klasifikasi TNM atau yang terbaru dengan Nottingham Prognostic Index (NPI), keduanya sangat baik sebagai prediktif untuk memperkirakan kelangsungan hidup jangka panjang. Penentuan stadium sistem
TNM berdasarkan ukuran tumor primer, keterlibatan kelenjar getah bening
regional, dan adanya metastasis jauh, sedangkan untuk sistem NPI berdasarkan
ukuran tumor, grade, dan keterlibatan kelenjar getah bening. Identifikasi faktor
prognostik yang berhubungan dengan metastasis atau potensi pertumbuhan tumor
primer dapat membantu dokter dalam menentukan terapi adjuvant dan
memprediksi kelangsungan hidup pasien. Terapi adjuvant pada pasien berisiko
tinggi dapat meningkatkan hasil secara keseluruhan (Dağlar, et.al., 2010).
2.1.7.1 Klasifikasi berdasarkan grading histopatologi
irisan tipis dari jaringan di bawah mikroskop cahaya (mikroskop optik) atau
mikroskop elektron. Setelah urutan prosedur teknis untuk persiapan jaringan
(fiksasi, dehidrasi, clearing, infiltrasi, embedding, sectioning, dan staining), gambar histologi dapat dihasilkan dengan teknik pencitraan yang berbeda-beda,
didasarkan pada analisis manual atau otomatis yang dapat dilakukan untuk
mendeteksi jaringan yang abnormal. Grading histopatologi umumnya dianggap
sebagai standar emas untuk diagnosis klinis kanker dan identifikasi target
terapeutik dan prognostik (He, et.al., 2014).
Grading tumor secara histopatologi didasarkan pada derajat diferensiasi
dari jaringan tumor. Pada kanker payudara, mengacu pada evaluasi
semi-kuantitatif karakteristik morfologi dan merupakan metode yang relatif sederhana
dan lowcost. Irisan jaringan tumor diwarnai dengan hematoxylin-eosin, dinilai oleh ahli patologi anatomi yang terlatih menggunakan protokol standar (Rakha,
et.al., 2010).
Grading tumor tidak sama dengan stadium kanker. Stadium kanker
mengacu pada ukuran dan/ atau batas lokasi tumor primer dan apakah sel kanker
telah menyebar di dalam tubuh. Stadium kanker didasarkan pada faktor-faktor
seperti lokasi tumor primer, ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening
regional (penyebaran kanker ke kelenjar getah bening di dekatnya), dan jumlah
tumor yang hadir (Rakha, et.al., 2010). Sedangkan grading tumor merupakan
deskripsi tumor yang didasarkan pada bagaimana kondisi abnormal sel-sel tumor
dan jaringan tumor yang terlihat di bawah mikroskop. Hal ini merupakan
susunan jaringan tumor mendekati sel-sel dan jaringan normal, tumor ini disebut
"berdiferensiasi baik" (well-differentiated). Tumor ini cenderung tumbuh dan menyebar lebih lambat dari tumor yang "berdiferensiasi buruk" (undifferentiated/ poorly differentiated) yang memiliki lebih banyak sel-sel abnormal dan sedikit atau bahkan tidak memiliki struktur jaringan normal (Rakha, et al., 2010).
Metode untuk grading histopatologi pada kanker payudara pertama kali
dijelaskan pada tahun 1957 oleh Bloom dan Richardson. Tiga faktor histopatologi
yang menjadi penentu grade kanker payudara, yaitu formasi tubulus,
pleomorfisme nukleus dan aktivitas mitosis. Meskipun banyak bukti studi
menunjukkan sistem grading Bloom-Richardson (BRG), yang didasarkan pada
penilaian formasi tubulus, pleomorfisme nukleus, dan aktivitas mitosis,
memberikan informasi prognostik independen yang penting untuk pasien kanker
payudara, akan tetapi sistem ini tidak diterima secara universal, terutama karena
bersifat subjektif (Grazio and Bracko, 2002; Rakha, et.al., 2010). Kemudian
dilakukan perbaikan oleh Elston dan Ellis dengan memodifikasi sistem grading
BRG, yang mendefinisikan kriteria dengan jelas, terutama dengan menerapkan
batas numerik untuk pengukuran formasi tubulus dan jumlah mitosis. Jumlah
relatif dari hiperkromatik nukleus dan tingkat mitosis dianalisis dengan
menggunakan sistem BRG yang asli, sementara tingkat mitosis yang
teridentifikasi dengan jelas dievaluasi dengan sistem baru. Modifikasi BRG ini,
terendah adalah 3 (1 +1 +1 = 3), merupakan tumor yang well differentiated, bahwa semua bentuk tubulus dan memiliki tingkat mitosis rendah (< 10/10 hpf).
Skor tertinggi yang mungkin adalah 9 (3 +3 +3 = 9) ( Grazio and Bracko, 2002;
Tavassoli F.A, 2003).
Relevansi prognostik NGS pada kanker payudara pertama sekali
ditunjukkan pada tahun 1991 dan kemudian divalidasi dalam beberapa studi
independen. Selanjutnya NGS digabungkan dengan status keterlibatan LN dan
ukuran tumor yang tergabung menjadi Nottingham Prognostic Index (NPI). Beberapa studi independen telah menunjukkan bahwa NGS memiliki nilai
prognostik yang setara dengan status LN dan memiliki nilai prognostik yang lebih
besar dari ukuran tumor. Informasi prognostik sistem NGS dijadikan pedoman
dalam menentukan kemoterapi adjuvan. (Rakha, et.al., 2010).
Saat ini, NGS menjadi sistem penilaian yang direkomendasikan oleh
berbagai badan profesional internasional (World Health Organization/WHO, American Joint Committee on Cancer/AJCC, European Union/EU, dan the Royal College of Pathologists/UK RCPath), dan konsensus internasional menyatakan bahwa sistem NGS dianggap sebagai 'standar emas' (gold standard) untuk grading kanker payudara (Rakha, et.al., 2010). Modifikasi ini telah meningkatkan
Gambar 2.1 Gambaran histopatologi irisan jaringan kanker payudara pada
Nottingham Grading System (Sumber: Rakha, et.al., 2010)
Menurut hasil penelitian terbaru, ada korelasi yang sangat signifikan
antara grading histopatologi dengan prognosis, bila grade tumor meningkat maka
kelangsungan hidup menurun. Grading histopatologi telah terbukti berpotensi
menjadi faktor prognostik independen yang penting pada pasien kanker payudara.
Ketika dikombinasikan dengan ukuran patologis tumor dan keterlibatan kelenjar
getah bening, NPI, menjadi sangat baik untuk dijadikan pedoman manajemen
pasien. Terapi adjuvan bisa direncanakan lebih tepat dengan menggunakan
indikator grade tumor dan keterlibatan kelenjar getah bening (Dağlar, et.al., 2010).
Analisis manual histopatologi jaringan pada saat ini masih tetap menjadi
cara utama untuk mengidentifikasi jaringan kanker, yang sangat tergantung pada
keahlian dan pengalaman masing-masing ahli patologi anatomi, sehingga hasilnya
sangat subjektif (He, et.al., 2014).
2.1.7.2 Klasifikasi berdasarkan stadium (sistem TNM)
Dalam penegakan diagnosis, gambaran klinis standar seperti ukuran
tumor, keterlibatan kelenjar getah bening, dan metastasis jauh, semuanya telah
diintegrasikan dalam klasifikasi TNM, yang berperan dalam menentukan
prognosis dan pilihan terapi (Kon, 2010). American Joint Committe on Cancer Staging System (AJCC) merekomendasikan cara penentuan stadium dengan sistem TNM. Penentuan stadium kanker dengan sistem TNM, adalah sebagai
berikut: (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004; Tavassoli FA, 2003; Taghian AG,
a. T = Primary Tumor (0-4)
Menunjukkan ukuran tumor dan penyebarannya. Jika nilainya tinggi
berarti ukuran tumor lebih besar dan sudah menyebar ke jaringan sekitar
payudara. Kategorinya sebagai berikut :
Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai.
T0 : Tidak ada tumor primer.
Tis : Karsinoma in situ (DCIS, LCIS, atau Paget disease of the nipple tanpa terkait massa tumor).
T1 : (T1a, T1b, dan T1c) Ukuran tumor 2 cm atau kurang.
T2 : Ukuran Tumor lebih dari 2 cm tapi tidak lebih dari 5 cm.
T3 : Ukuran Tumor lebih dari 5 cm.
T4 : (T4a, T4b, T4c, dan T4d) Tumor dari berbagai ukuran tumbuh ke
dalam dinding dada atau kulit. Pada kategori ini termasuk kanker
payudara inflamasi.
b. N = Nearby lymph nodes (0-3)
Menunjukkan apakah kanker payudara telah menyebar ke kelenjar getah
bening di sekitar payudara. Jika ada, berapa banya kelenjar getah bening
yang terkena. Kategorinya sebagai berikut :
Nx : Kelenjar getah bening terdekat tidak dapat dinilai
N0 : Kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya.
pewarnaan khusus. Area penyebaran kanker pada kelenjar getah
bening kurang dari 200 sel atau lebih kecil dari 0,2 mm.
N0 (mol +): Sel-sel kanker tidak dapat dilihat pada kelenjar getah bening aksila (bahkan dengan menggunakan pewarnaan khusus),
namun terdeteksi menggunakan RT-PCR.
N1 : Kanker telah menyebar ke 1 sampai 3 kelenjar getah bening aksila
dan/ atau dalam jumlah kecil kanker ditemukan pada kelenjar
getah bening mamaria interna (dekat tulang dada ) dengan sentinel lymph node biopsy.
N1mi : mikrometastasis, sel kanker dijumpai pada 1 sampai 3 kelenjar getah bening di aksila. Area penyebaran kanker pada
kelenjar getah bening 2 mm atau kurang (sedikitnya 200 sel
kanker atau sekitar 0.2mm ).
N1a : Kanker telah menyebar ke 1-3 kelenjar getah bening aksila dengan setidaknya satu area penyebaran kanker lebih besar dari 2
mm.
N1b : Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening mamaria interna, tetapi penyebaran ini hanya bisaditemukan pada sentinel
lymph node biopsy.
N1c : Gabungan kriteria N1a dan N1b.
N2 : Kanker telah menyebar ke 4-9 kelenjar getah bening aksila, atau
kanker telah membesar pada kelenjar getah bening mamaria
N2a : Kanker telah menyebar ke 4-9 kelenjar getah bening aksila, dengan setidaknya satu area penyebaran kanker lebih besar
dari 2 mm.
N2b : Kanker telah menyebar ke satu atau lebih kelenjar getah bening mamaria interna dan membesar.
N3 : Salah satu dari berikut,
N3a : Kanker telah menyebar ke 10 atau lebih kelenjar getah bening aksila dengan setidaknya satu area penyebaran kanker
lebih besar dari 2mm, atau kanker telah menyebar ke kelenjar
getah bening di bawah tulang selangka (klavikula) dengan
setidaknyasatu area penyebaran kanker lebih besar dari 2mm.
N3b : Kanker ditemukan setidaknya pada satu kelenjar getah bening aksila (dengan setidaknya satu area penyebaran kanker
lebih besar dari 2 mm) dan kelenjar getah bening mamaria interna
telah membesar, atau kanker telah menyebar ke 4 atau lebih
kelenjar getah bening aksila (dengan setidaknya satu area
penyebaran kankerlebih besar dari 2 mm), dan sejumlah kecil
kanker ditemukan di kelenjar getah bening mamaria interna pada
sentinel lymph node biopsy.
N3c : Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di atas tulang selangka (klavikula) dengan setidaknya satu area
c. M = Metasiasis (0-1)
Menunjukkan apakah kanker telah menyebar ke organ jauh, misalnya ,
paru-paru atau tulang.
Kategorinya sebagai berikut :
Mx : Metastasis tidak dapat dinilai.
M0 : Tidak ada ditemukan penyebaran jauh dengan menggunakan
sinar-x (atau prosedur pencitraan lain) atau dengan pemeriksaan
fisik.
cM0 (i+) : Sejumlah kecil sel kanker ditemukan dalam darah atau sumsum tulang (hanya ditemukan dengan tes khusus), atau
area penyebaran kanker yang kecil (tidak lebih dari 0,2 mm)
ditemukan pada kelenjar getah bening yang jauh dari payudara.
M1 : Kanker telah menyebar ke organ yang jauh dari payudara. (organ
yang paling umum adalah tulang, paru-paru, otak, dan hati.)
Pengelompokan stadium kanker payudara berdasarkan TNM: (American Cancer Society, 2013; Kumar, 2007; Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004).
Stadium 0 = Tis, N0, M0
Stadium Ia = T1, N0, M0
Stadium Ib = T0 atau T1, N1mi, M0
Stadium IIa = T0/ T1, N1 (N1a/ N1b/ N1c, tapi bukan N1mi), M0 atau T2, N0,
M0
Stadium IIIa = T0/ T1/ T2, N2, M0 atau T3, N1/ N2, M0
Stadium IIIb = T4, N0/ N1/ N2, M0
Stadium IIIc = T1-4, N3, M0
Stadium IV = T1-4, N1-3, M1
Berdasarkan data AJCC, angka harapan hidup selama 5 tahun penderita kanker payudara berdasarkan stadium, yaitu : (American Cancer Society, 2013).
Stadium 0 = 100%
Stadium I = 100%
Stadium II = 93%
Stadium III = 72%
Stadium IV = 22%
2.2 MicroRNA (miRNA/ miR) 2.2.1 Definisi miRNA
Dogma sentral dalam biologi molekuler menjelaskan bahwa DNA
mereplikasikan informasi genetik yang terkandung dalam urutan nukleotida dan
mentranskripsikannya menjadi mRNA. MRNA dimodifikasi dengan cara splicing
dan ditransport dari nukleus ke sitoplasma. MRNA membawa informasi kode
nukleotida ke ribosom. Ribosom menterjemahkan kode tersebut untuk sintesis
protein. Beberapa studi yang berbeda telah mengidentifikasi sejumlah besar gen
dalam mengarahkan modifikasi RNA. RNA yang berasal dari intron ini
tampaknya memberikan sinyal internal yang mengontrol berbagai tingkat ekspresi
gen. Ribosomal RNA (rRNA), transfer RNA (tRNA), small nuclear RNA dan
small nucleolar RNA, interference RNA (RNAi), short interfering RNA (siRNA)
dan microRNA (miRNA) termasuk kedalam golongan ncRNA (Sen, et.al., 2009;
Esteller, 2011).
MicroRNA(miRNA/miR) merupakan noncoding-RNA pendek yang terdiri dari sekitar 18-22 nukleotida, yang ditranskripsi dari regio intergenik dan genic
pada genom, yang merupakan regulator gen yang baru (Rodriguez, et.al., 2004).
MiRNA pertama, lin-4 (Lee, et.al., 1993) dan let-7 (Reinhart, et.al., 2000),
ditemukan selama pengembangan Caenorhabditis elegans (Valencia-Sanchez, et.al., 2006; Huntzinger, et.al., 2011). MiRNA mengikat target gen nya di
3'-untranslated regio (3'-UTRs), menyebabkan degradasi langsung mRNA atau represi translasi (Huntzinger, et.al., 2011; Mendes, et.al., 2009; Valencia-Sanchez,
et.al., 2006). Pada manusia, setidaknya 10% mRNA pengkode protein merupakan
target langsung dari miRNA (Blenkiron, et.al., 2007). Ini berarti bahwa miRNA
mampu meregulasi ekspresi ratusan bahkan ribuan gen. Dengan demikian, tidak
mengherankan bahwa miRNA terlibat dalam regulasi dari semua fungsi selular
utama.
Baru-baru ini, identifikasi target miRNA mendapat banyak perhatian.
Memahami mekanisme kerja dan mengidentifikasi target mRNA fungsional dari
miRNA yang spesifik sangat penting untuk mengetahui fungsi biologis miRNA
(Martinez-Sanchez, et.al., 2013). Strategi untuk menentukan target miRNA termasuk
prediksi bioinformatika dan tes eksperimental. Metode prediksi bioinformatika
terutama didasarkan pada konsep konfirmasi interaksi antara miRNA dan
targetnya, dan dilakukan oleh program, seperti miRanda, TargetScan,
TargetScanS, RNAhybrid, DIANA-microT, PicTar, RNA22 and FindTar, yang
mengikuti prinsip yang dikenal. Alat tes eksperimen untuk menemukan target
miRNA menggunakan imunopresipitasi protein AGO untuk mengidentifikasi
mRNA yang berinteraksi, atau analisis level mRNA atau protein untuk
mengidentifikasi gen yang dapat diregulasi oleh miRNA (Xia, et.al., 2009).
Bentwich et.al. mengembangkan pendekatan integratif menggabungkan prediksi
bioinformatika dengan analisis microarray dan sequence-directed cloning, yang mengungkapkan bahwa lebih dari 800 miRNA ada pada manusia. Saat ini, lebih
dari 45.000 lokus gen miRNA pada 3'UTR telah diidentifikasi pada manusia.
MiRNA diperkirakan mengatur translasi lebih dari 60% gen penyandi protein.
MiRNA terlibat dalam mengatur banyak proses, termasuk proliferasi, diferensiasi,
apoptosis dan perkembangan, sehingga kuncinya, miRNA meregulasi tingkat
ekspresi ratusan gen secara bersamaan, dan berbagai jenis miRNA meregulasi
targetnya secara kooperatif (Esteller, 2011; Friedman, et.al., 2009). Dengan terus
bertambahnya daftar miRNA, muncul kesadaran akan potensial dan pentingnya
2.2.2 Biogenesis MicroRNA
2.2.2.1 MicroRNA primer (primary miR/ pri-miR)
MicroRNA berada di daerah intron, yang menjadi bagian dari gen mRNA.
MiRNA dapat ditranskripsi bersama dengan promoter gen induk atau memiliki
promoter spesifik sendiri (Saini, et.al., 2007). Promoter miRNA intergenik,
khusus lokasi awal transkripsi (Transcriptional Start Site/TSS), telah dipetakan pada jarak sekitar 1-100 kb jauhnya dari lokus miRNA yang matur (Ozsolak,
et.al., 2008). MiRNA ditranskripsikan oleh RNA polimerase II (pol II) di dalam
nukleus. Hasil biogenesis molekul regulator RNA yang kecil ini keluar sebagai
transkrip primer yang disebut miRNA primer /pri-miR (Sen, et.al., 2009; Bartel,
et.al., 2004). Pri-miR memiliki struktur capped dan polyadenylated (poli A) tails, ciri khas sifat transkrip gen kelas II. Aspek kunci dari proses awal pri-miR adalah
proses melipatnya regio tertentu menjadi struktur seperti jepit rambut (hairpin structure). Selain pol II, Borchert et.al. menemukan bahwa miR C19MC, termasuk miR-515, miR-517a, miR-517c dan miR-519a, diekspresikan oleh RNA
polimerase III (pol III).
2.2.2.2 Prekursor microRNA (pre-miR)
Setelah ditranskripsi oleh pol II atau pol III, pri-miR yang dibentuk
dibelah oleh kompleks mikroprosesor inti untuk menghasilkan prekursor-miRNA
(pre-miR), yang merupakan dsRNA hairpin structure tunggal yang terdiri dari 60-100 nukleotida. Mikroprosesor kompleks ini dibentuk oleh RNase III enzim
sebagai Pasha (Pertner of Drosha) yang diteliti pada D. melanogaster dan C. elegans. Setelah proses di nukleus, pre-miR diekspor ke sitoplasma oleh Ran-GTP yang bergantung pada enzim exportin-5. (Sen, et.al., 2009; Han, et.al., 2006)
2.2.2.3 MicroRNA matur (mature miR)
Pre-miR lebih lanjut diproses di sitoplasma oleh RNase III DICER, yang
membentuk kompleks RISC (RNA Induced Silence Complex) dengan Argonaute 2
(Ago2) dan TRBP (Tar RNA binding protein), yang memotong hairpin loop pre-miR untuk menghasilkan untaian duplex pre-miR dengan 22-nukleotida. (Gregory,
et.al., 2005). Duplex miR ini berupa miR matur yang disebut sebagai untaian
pemandu (guide strand) dan untaian pelengkap (complementary strand) yang disebut sebagai passenger strand (miR*). Setelah pengolahan, satu untaian duplex miR/ miR* (biasanya untai pemandu) dimasukkan ke dalam miR-inducer silencing complex (miRISC) yang terdiri dari DICER dan protein terkait lainnya, sedangkan miR* dilepaskan dan cepat terdegradasi. Sebagai bagian dari miRISC, miR adalah pasangan basa dari mRNA target untuk menginduksi represi translasi
Gambar 2.3 Jalur biogenesis miRNA (Sumber: Chen L.J., et.al., 2012)
2.3 MicroRNA dan Kanker Payudara
2.3.1 MicroRNA sebagai biomarker baru kanker payudara
Biomarker merupakan indikator biologis suatu penyakit yang digunakan
untuk menentukan jenis tumor (Hui, et.al., 2011). Biomarker yang efektif dan
relevan secara klinis sangat penting untuk penentuan terapi (Hauptman, et.al.,
2013) serta menilai efektivitas terapi (Hui, et.al., 2011).
Meskipun saat ini banyak dilakukan penelitian mencari biomarker yang
tepat sebagai alat diagnostik dan prognostik kanker, akan tetapi masih belum