• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Payudara - Korelasi Ekspresi MicroRNA-155 dengan Grade Histopatologi pada Jaringan Kanker Payudara Tipe Duktal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Payudara - Korelasi Ekspresi MicroRNA-155 dengan Grade Histopatologi pada Jaringan Kanker Payudara Tipe Duktal"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Kanker Payudara

Tumor merupakan penyakit genetik yang kompleks, melibatkan kelainan

struktural dan kelainan ekspresi gen (coding dan noncoding). Selama hampir tiga dekade, perubahan protein yang mengkode onkogen dan/ atau tumour-suppressor genes dianggap sebagai penyebab tumorigenesis (Calin, et.al., 2006). Tumor ganas adalah sekelompok sel-sel kanker yang dapat tumbuh dan berkembang pada

jaringan dan/ atau menyebar ke daerah lain dari tubuh. Kanker payudara

merupakan keganasan yang berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan

penunjang payudara, tidak termasuk kulit payudara (DEPKES RI, 2009).

Kebanyakan kanker payudara dimulai pada sel-sel yang melapisi saluran (ductal cancers). Beberapa dimulai pada sel-sel yang melapisi lobulus (lobular cancers), sementara sejumlah kecil dimulai pada jaringan lain. Penyakit ini terjadi hampir

seluruhnya pada perempuan, tetapi pria bisa juga terkena (American Cancer Society, 2013).

2.1.1 Epidemiologi

Kanker merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit

(2)

payudara merupakan kanker kedua yang paling tinggi insidennya pada perempuan

di seluruh dunia setelah kanker rahim dan sekitar 7%-10% dari semua tumor

ganas.

Tingkat insiden sangat bervariasi di seluruh dunia mulai dari 19,3 per

100.000 perempuan di Afrika Timur hingga 89,7 per 100.000 perempuan di Eropa

Barat. Di sebagian besar negara sedang berkembang tingkat insiden di bawah 40

per 100.000 perempuan. Tingkat insiden terendah ditemukan di sebagian besar

negara-negara Afrika, akan tetapi angka kejadian kanker payudara di daerah

tersebut juga meningkat. Meskipun kanker payudara dianggap penyakit di negara

maju, akan tetapi hampir 50% kasus kanker payudara dan 58% kematian terjadi di

negara-negara sedang berkembang (WHO, 2013).

Sekitar 1 dari 8 perempuan memiliki risiko seumur hidup terkena kanker

payudara invasif (Mandal, 2013). Di Australia, pada tahun 2009 insidensi kanker

payudara sekitar 27,4% dari semua kasus baru kanker pada perempuan, dimana

sekitar 13.668 kasus baru kanker payudara pada perempuan dan 110 kasus baru

pada laki-laki (Australian Government, 2013). Di Inggris, pada tahun 2010 ada sekitar 49.961 kasus baru kanker payudara, 157 kasus baru kanker payudara untuk

setiap 100.000 perempuan (Mandal, 2013). Pada perempuan di Amerika Serikat,

tahun 2011, diperkirakan 230.480 kasus baru kanker payudara invasif dan 57.650

kasus baru kanker payudara non-invasif/ insitu (Mandal, 2013).

Risiko terkena kanker payudara meningkat seiring bertambahnya usia.

(3)

didiagnosis pada kelompok usia 50-69 tahun (Mandal, 2013). Hal ini sejalan

dengan angka kejadian kanker payudara di Australia, dimana pada tahun 2009,

51,4% kasus kanker payudara perempuan didiagnosis pada kelompok usia 50-69

tahun, 25,8% pada kelompok usia 70 tahun ke atas, dan sisanya 22,9% pada

kelompok usia lebih muda dari 50 tahun (Australian Government, 2013).

Tingkat kelangsungan hidup penderita kanker payudara sangat bervariasi

di seluruh dunia, mulai dari 80% atau lebih di Amerika Utara, Swedia dan Jepang,

hingga sekitar 60% di negara-negara berpenghasilan menengah, dan di bawah

40% pada negara-negara berpenghasilan rendah (WHO, 2013). Tingkat

kelangsungan hidup relatif setelah terdiagnosis kanker payudara pada perempuan

telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Antara periode 1982-1987 dan

2006-2010, kelangsungan hidup lima tahun relatif meningkat dari 72% menjadi

89,4% pada perempuan Australia (Australian Government, 2013). Tingkat kelangsungan hidup yang rendah di negara-negara sedang berkembang terutama

disebabkan oleh karena kurangnya program deteksi dini, sehingga lebih tinggi

proporsi perempuan dengan kanker payudara stadium lanjut, serta kurangnya

fasilitas diagnostik dan pengobatan yang memadai (WHO, 2013).

Diperkirakan bahwa di seluruh dunia lebih dari 508.000 perempuan

meninggal pada tahun 2011 disebabkan oleh kanker payudara (WHO, 2013),

karena kebanyakan perempuan dengan kanker payudara didiagnosis pada stadium

penyakit lanjut, dikarenakan gejala awal yang tidak khas (Zhao, et.al., 2012). Pada

tahun 2010, kanker payudara merupakan penyebab utama kedua kematian terkait

(4)

akibat kanker pada perempuan. Terdapat 2.864 kematian akibat kanker payudara

yaitu 2.840 perempuan dan 24 laki-laki (Australian Government, 2013). Pada tahun 2011, sekitar 39.520 perempuan di Amerika Serikat meninggal akibat

kanker payudara (Mandal, 2013).

Di Indonesia, berdasarkan data rekam medis RS Kanker Dharmais tahun

2010, kanker payudara menempati urutan pertama dari segi jumlah pasien yang

datang berobat. Di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, prevalensi kanker

payudara pada periode Januari-Desember 2009 adalah 275 kasus. Kanker

payudara ditemukan pada 0,36% pria dan 99,64% wanita. Golongan umur yang

paling banyak ditemukan adalah antara 40-49 tahun yaitu sebanyak 37,82%,

sedangkan yang paling sedikit adalah umur antara 70-79 tahun yaitu sebanyak

2,55%. Jenis histopatologi kanker payudara yang paling banyak ditemukan adalah

invasive ductal carcinoma mamae dengan persentase kasus sebesar 60,37%. Berdasarkan stadium kanker payudara, stadium yang paling banyak terjadi adalah

stadium IIIb sebanyak 37,82% dan yang paling sedikit ditemukan adalah stadium

II dengan persentase sebanyak 1,09%. Sementara itu, di RSUP. H. Adam Malik

Medan, berdasarkan data rekam medis pada tahun 2012, ada sebanyak 200 pasien

baru yang terdiagnosis kanker payudara yang datang berobat ke bagian bedah

onkologi RSUP. H. Adam Malik.

Di Indonesia, hampir 70% penderita kanker ditemukan pada stadium yang

sudah lanjut, dimana sebagian besar pasien kanker payudara yang berobat ke RS/

(5)

konsumsi alkohol, kegemukan atau obesitas dan kurangnya aktifitas fisik/

olahraga juga berperan dalam peningkatan angka kejadian kanker di Indonesia.

Berdasarkan kelompok umur, semakin tua usia maka risiko terkena penyakit

kanker semakin tinggi, mencapai puncaknya pada usia 35 sampai 44 tahun,

kemudian secara perlahan risikonya akan menurun dan akan terjadi peningkatan

kembali pada usia >65 tahun. Menurut jenis kelamin, risiko penyakit kanker lebih

tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (Oemiati, dkk., 2011).

2.1.2 Faktor risiko

Sulit untuk mengetahui berapa besar peran dari faktor risiko menyebabkan

munculnya kanker payudara. Ada perempuan yang memiliki satu atau lebih faktor

risiko tetapi tidak terkena kanker payudara, sementara ada perempuan tidak

memiliki faktor risiko yang jelas (selain karena faktor jenis kelamin dan usia)

tetapi terkena kanker payudara (American Cancer Society, 2013). Beberapa faktor risiko kanker payudara antara lain:

2.1.2.1 Jenis kelamin

Perempuan lebih berisiko 100 kali terkena kanker payudara dibandingkan

pria. Hal ini disebabkan karena pria hanya memiliki sedikit hormon estrogen dan

progesteron dibandingkan perempuan, yang dapat memicu berkembangnya kanker

(6)

2.1.2.2 Usia

Risiko terkena kanker payudara meningkat seiring dengan bertambahnya

usia. Risiko terkena kanker payudara terus meningkat setelah usia 30 tahun

sampai rentang usia 45-50 (Kumar, 2007; Ostad and Parsa, 2011). Sekitar 1 dari

8 kanker payudara invasif ditemukan pada perempuan berusia lebih muda dari 45

tahun, sementara sekitar 2 dari 3 kanker payudara invasif ditemukan pada

perempuan usia 55 tahun atau lebih (American Cancer Society, 2013).

2.1.2.3 Riwayat keluarga

Riwayat keluarga yang menderita kanker payudara merupakan faktor

risiko utama (Kumar, 2007; Ostad and Parsa, 2011). Mereka yang memiliki

riwayat keluarga penderita kanker payudara dua kali lipat berisiko terkena kanker

payudara. Sekitar 15% perempuan yang mendapat kanker payudara memiliki

anggota keluarga yang juga menderita kanker payudara. Sekitar 5-10 % dari

kanker payudara dikaitkan dengan mutasi gen (perubahan abnormal) diturunkan

dari ibu atau ayah (Mandal, 2013). Memiliki satu kerabat tingkat pertama (ibu,

saudara perempuan, atau anak perempuan) dengan kanker payudara membuat

seorang perempuan memiliki risiko dua kali lipat terkena kanker payudara.

Memiliki 2 kerabat tingkat pertama dengan kanker payudara meningkatkan risiko

sekitar 3 kali lipat (Loman, et.al., 2003). Secara keseluruhan, kurang dari 15%

perempuan penderita kanker payudara memiliki anggota keluarga yang menderita

(7)

terkena kanker payudara tidak memiliki riwayat keluarga penderita kanker

payudara (American Cancer Society, 2013).

2.1.2.4 Riwayat pribadi kanker payudara

Faktor risiko utama terkena kanker payudara primer adalah adanya riwayat

pribadi kanker sebelumnya pada sisi payudara yang lain. Seorang perempuan

dengan kanker pada satu sisi payudara memiliki 3-4 kali lipat peningkatan risiko

berkembangnya kanker baru pada payudara yang lain atau sisi lain dari payudara

yang sama (Armstrong, et.al., 2000). Hal ini berbeda dengan kondisi kekambuhan

(recurrence).

2.1.2.5 Ras dan etnis

Perbedaan etnis merupakan faktor lain yang mempengaruhi prevalensi

kanker payudara. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, kanker payudara lebih

umum terjadi pada orang kulit putih. Perbedaan ini kemungkinan besar

disebabkan oleh faktor gaya hidup dan kondisi sosial. Wanita yang memiliki

pendidikan, pekerjaan dan tingkat ekonomi yang lebih tinggi memiliki risiko yang

lebih besar terkena kanker payudara, dikarenakan pola reproduksi mereka,

termasuk kehamilan pertama. Perbedaan etnis dalam hal subtipe reseptor estrogen

dan progesteron juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi terjadinya

kanker payudara. Dalam Study kohort multietnis, dilaporkan berbagai status

(8)

ER-/PR+ dan ER+/PR- bervariasi secara signifikan di seluruh kelompok ras/ etnis

bahkan dalam stadium tumor yang sama (Ostad and Parsa, 2011).

2.1.2.6 Jaringan payudara yang padat

Payudara terdiri dari jaringan lemak, jaringan fibrosa, dan jaringan

kelenjar. Seseorang dikatakan memiliki jaringan payudara yang padat (seperti

yang terlihat pada mammogram) ketika mereka memiliki lebih banyak jaringan

kelenjar dan fibrosa serta jaringan lemak yang lebih sedikit. Perempuan dengan

jaringan payudara yang padat memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker

payudara dibandingkan perempuan dengan payudara kurang padat. Sayangnya,

jaringan payudara yang padat juga bisa membuat mammogram kurang akurat.

Sejumlah faktor dapat mempengaruhi kepadatan payudara, seperti usia, status

menopause, penggunaan obat-obatan (seperti terapi hormon menopause),

kehamilan, dan genetik (American Cancer Society, 2013).

2.1.2.7 Memiliki penyakit payudara yang bersifat jinak

Perempuan dengan penyakit payudara yang bersifat jinak memiliki

peningkatan risiko terkena kanker payudara (Kumar, 2007). Risiko ini bervariasi,

(9)

Penyakit payudara yang bersifat jinak dibagi menjadi 3 kategori, yaitu :

(American Cancer Society, 2013)

a. Lesi non-proliferasi

Kondisi ini tidak berhubungan dengan pertumbuhan jaringan payudara

yang berlebih. Kondisi payudara jenis ini tampaknya tidak mempengaruhi

risiko kanker payudara, atau jika berpengaruh, maka pengaruhnya sangat

kecil. Kondisi payudara yang termasuk dalam kelompok ini antara lain

fibrosis dan/ atau simpel kista (penyakit fibrokistik), hiperplasia ringan,

adenosis non-sklerosis, ductal ectasia, tumor phyllodes jinak, papilloma tunggal, fat necrosis, fibrosis periduktal, metaplasia skuamosa dan apokrin, kalsifikasi terkait epitel dan tumor jinak lainnya (lipoma,

hamartoma, hemangioma, neurofibroma, adenomyoepthelioma). Mastitis

(infeksi payudara) tidak meningkatkan risiko kanker payudara.

b. Lesi proliferatif non-atipia

Kondisi ini menunjukkan adanya pertumbuhan berlebihan dari sel-sel di

dalam saluran atau lobulus dari jaringan payudara. Kondisi meningkatkan

risiko seorang perempuan terkena kanker payudara sekitar 1½-2 kali lebih

tinggi dari normal (Kumar, 2007). Kondisi payudara yang termasuk dalam

kelompok ini antara lain hiperplasia duktal (non-atypia), fibroadenoma,

(10)

c. Lesi proliferatif atipia

Kondisi ini menunjukkan adanya pertumbuhan berlebihan dari sel-sel di

dalam saluran atau lobulus dari jaringan payudara, dengan beberapa sel

tidak lagi normal. Kondisi ini memberikan efek yang lebih kuat pada

risiko kanker payudara 3½ - 5 kali lebih tinggi dari normal (Kumar, 2007).

Kondisi payudara yang termasuk dalam kelompok ini antara lain

hiperplasia duktus atipikal (Atypical ductal hyperplasia/ ADH) dan hiperplasia lobular atipikal (Atypical lobular hyperplasia/ ALH). Perempuan dengan riwayat keluarga kanker payudara dengan hiperplasia

atau hiperplasia atipikal memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker

payudara.

Selain kondisi di atas, kondisi Lobular carcinoma in situ (LCIS) juga merupakan faktor risiko kanker payudara. Pada kondisi LCIS, sel-sel yang terlihat

seperti sel-sel kanker tumbuh di lobulus kelenjar penghasil susu dari payudara,

tetapi tidak tumbuh pada dinding lobulus. LCIS (juga disebut lobular neoplasia) kadang-kadang dikelompokkan dengan ductal carcinoma in situ (DCIS) sebagai kanker payudara non-invasif, tetapi berbeda dari DCIS tidak menjadi kanker

invasif meskipun tidak diobati. Perempuan dengan kondisi ini memiliki 7-12 kali

lipat peningkatan risiko kanker payudara yang invasif. Dengan alasan ini,

perempuan dengan LCIS harus melakukan mammografi reguler (Kumar, 2007;

(11)

2.1.2.8 Periode menstruasi

Perempuan yang memiliki siklus menstruasi lebih banyak, karena mereka

mulai menstruasi lebih awal (<13 tahun) dan/ atau mengalami menopause lebih

lama (>55 tahun), memiliki risiko yang lebih tinggi terkena kanker payudara

(Kumar, 2007; DEPKES RI, 2009). Peningkatan risiko mungkin karena paparan

seumur hidup lebih lama terhadap hormon estrogen dan progesteron

(Tryggvadottir, et.al., 2003; Wrensch, et.al., 2003; Ostad and Parsa, 2011).

2.1.2.9 Paritas, riwayat reproduksi, dan riwayat menyusui

Jumlah paritas yang banyak (multipara) erat kaitannya dengan penurunan

risiko kanker payudara (Tryggvadottir, et.al., 2003; Wrensch, et.al., 2003).

Perempuan yang tidak memiliki anak atau kelahiran hidup anak pertama setelah

usia 30 tahun memiliki risiko kanker payudara yang lebih tinggi (Kumar, 2007;

Ostad and Parsa, 2011). Kehamilan beberapa kali dan hamil pada usia muda

mengurangi risiko kanker payudara. Sebaliknya usia kehamilan penuh pertama

yang lebih tua mempunyai risiko lebih tinggi terkena kanker payudara (Ostad and

Parsa, 2011). Kehamilan mengurangi jumlah siklus menstruasi selama hidup,

yang mungkin menjadi alasan untuk efek ini (American Cancer Society, 2013). Beberapa studi menunjukkan bahwa menyusui dapat menurunkan risiko

kanker payudara, terutama jika dilanjutkan selama 1½-2 tahun, dikarenakan

berkurangnya jumlah total siklus menstruasi (Tryggvadottir, et.al., 2003;

(12)

2.1.2.10 Kontrasepsi

Hormon estrogen eksogen, baik dalam bentuk kontrasepsi oral kombinasi

(Combined Oral Contraception/ COC) atau terapi sulih hormon (Hormone Replacement Therapy/ HRT), juga mengakibatkan peningkatan risiko kanker payudara, namun hal ini tergantung pada durasi paparan dan apakah hormon

estrogen yang digunakan dalam bentuk tunggal atau dalam bentuk kombinasi

dengan progesteron (Wrensch, et.al., 2003)..

Data tentang efek kontrasepsi oral pada risiko terjadinya kanker payudara

masih kontroversial. Beberapa studi menunjukkan peningkatan risiko kanker

payudara pada pengguna kontrasepsi oral jangka panjang (>7 tahun) (DEPKES

RI, 2009), sedangkan pada beberapa penelitian lain, tidak ada terlihat perbedaan

yang signifikan. Penggunaan terapi hormon postmenopause jangka panjang

dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terkena kanker payudara (Kumar, 2007).

Sebaliknya, terapi hormon jangka pendek tampaknya tidak meningkatkan risiko

kanker payudara secara signifikan (Ostad and Parsa, 2011). Pada sebuah studi

yang dilakukan di Oxford yang meneliti 52.705 wanita yang menggunakan HRT ≥

5 tahun menunjukkan 3-9 kasus kanker payudara/ 1000 wanita yang

menggunakan HRT selama 10 tahun dan 5-20 kasus kanker payudara/ 1000

wanita yang menggunakan HRT selama 15 tahun (Connor and Stuenkel, 2001).

Terapi hormon estrogen (sering dikombinasikan dengan progesteron) telah

digunakan selama bertahun-tahun untuk membantu meringankan gejala

(13)

menggunakan terapi kombinasi hormon (estrogen-progesteron) setelah menopause

meningkatkan risiko kanker payudara. Hal ini juga dapat meningkatkan

kemungkinan kematian akibat kanker payudara. Peningkatan risiko dapat dilihat

hanya dalam 2 tahun penggunaan. Risiko kanker payudara akan kembali seperti

populasi umum setelah 5-10 tahun menghentikan penggunaan terapi kombinasi

hormon (Connor and Stuenkel, 2001; Kumar, 2007).

2.1.2.11 Peminum alkohol

Penggunaan alkohol juga terkait dengan peningkatan risiko kanker

payudara (DEPKES RI, 2009). Data epidemiologis telah mengidentifikasi

konsumsi alkohol kronis sebagai faktor risiko yang signifikan untuk kanker.

Dibuktikan bahwa asetaldehida bertanggung jawab pada proses karsinogenesis

terkait alkohol. Asetaldehida merupakan karsinogenik dan mutagenik, berikatan

dengan DNA dan protein, merusak folat dan menyebabkan hiperproliferasi

sekunder (Poschl and Seitz, 2004).

Dibandingkan dengan yang tidak peminum, perempuan yang

mengkonsumsi minuman beralkohol dengan rutin lebih dari 3 kali sehari memiliki

risiko 3,6 kali terkena kanker payudara dibandingkan dengan perempuan yang

tidak mengkonsumsi alkohol (Wrensch, et.al., 2003).

2.1.2.12 Kelebihan berat badan atau obesitas

Kelebihan berat badan atau obesitas setelah menopause meningkatkan

(14)

menghasilkan hormon estrogen yang paling banyak, dan jaringan lemak

menghasilkan hormon estrogen dalam jumlah kecil. Setelah menopause (ketika

ovarium berhenti mensekresikan estrogen), sebagian besar dari estrogen

perempuan berasal dari jaringan lemak, sehingga memiliki lebih banyak jaringan

lemak setelah menopause dapat meningkatkan risiko kanker payudara

(McTiernan, et.al., 2003).

2.1.2.13 Kurangnya aktivitas fisik

Aktifitas fisik mengurangi risiko kanker payudara. Aktivitas fisik dapat

memodulasi kadar hormon reproduksi wanita dan mempengaruhi karakteristik

menstruasi. Selain itu, wanita yang aktif lebih mudah menjadi ramping, yang

berhubungan dengan rendahnya risiko kanker payudara pascamenopause (Lee,

et.al., 2001). Dalam sebuah penelitian Women's Health Initiative, jalan cepat sedikitnya selama 1,25-2,5 jam per minggu akan mengurangi risiko kanker

payudara sebesar 18% (American Cancer Society, 2013).

2.1.2.14 Bahan kimia di lingkungan

Senyawa pada lingkungan yang memiliki sifat seperti estrogen seperti zat

yang ditemukan pada plastik, kosmetik tertentu dan produk perawatan pribadi,

pestisida (seperti DDT), dan PCB (polychlorinated biphenyls), dapat tertimbun di jaringan adiposa, mempengaruhi risiko kanker payudara. Beberapa studi

(15)

diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui lebih spesifik efek senyawa

tersebut atau sejenisnya terhadap kesehatan (Ostad and Parsa, 2011).

2.1.2.15 Asap rokok

Penelitian eksperimental telah menunjukkan bahwa asap tembakau

mengandung potensi karsinogen pada payudara manusia (termasuk hidrokarbon

polisiklik/ PAH, 2 amina aromatik, dan N-nitrosamin). Karsinogen yang

ditemukan dalam asap tembakau tersebut dapat melewati membran alveolar dan

masuk ke dalam aliran darah, yang kemudian dapat diangkut ke payudara melalui

lipoprotein plasma. Karena bersifat lipofilik, karsinogen yang terkait tembakau

tersebut dapat disimpan dalam jaringan adiposa payudara dan kemudian

dimetabolisme dan diaktivasi oleh sel epitel payudara (American Cancer Society, 2013; Terry and Rohan, 2002).

Temuan adanya mutasi gen p53 dalam jaringan payudara perokok

mendukung secara biologis adanya hubungan positif antara merokok dan kanker

payudara, seperti halnya deteksi aktifitas karsinogenik dalam cairan payudara.

Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi mutasi

gen p53 yang lebih tinggi ditemukan dalam jaringan payudara perokok

dibandingkan dengan bukan perokok, yang secara biologis membuktikan adanya

hubungan positif antara merokok dan risiko kanker payudara. Peningkatan risiko

kanker payudara dapat terjadi bila merokok untuk jangka waktu yang lama,

(16)

Pada tahun 2009, Badan Internasional untuk Penelitian Kanker

menyimpulkan bahwa perempuan yang memiliki kebiasaan merokok ≥ 30 tahun

memiliki risiko terkena kanker payudara 2,4 kali dibandingkan dengan perempuan

yang tidak merokok (Wrensch, et.al., 2003).

2.1.3 Penyebab

Faktor genetik berkontribusi terhadap insiden kanker payudara.

Diperkirakan sekitar 5% dari semua kasus kanker payudara dan sekitar 25% dari

kasus yang terkait genetik didiagnosis pada usia muda (<30 tahun). Faktor genetik

yang paling sering menjadi penyebab terjadinya kanker payudara yaitu adanya

mutasi gen (Miki, et.al., 1994; Mattiske, et.al., 2012).

Mutasi gen yang dapat memicu berkembangnya kanker payudara antara

lain:

2.1.3.1 BRCA1 dan BRCA2

Penyebab paling umum berkembangnya kanker payudara adalah karena

mutasi gen BRCA1 dan BRCA2 yang diturunkan. Gen BRCA1 dan BRCA2

mengkode protein tumor suppressor, suatu protein yang bertindak sebagai

regulator negatif pertumbuhan tumor, yang terlibat dalam perbaikan kerusakan

DNA, apoptosis dan regulasi siklus sel (Miki, et.al., 1994; Beger, et.al., 2001;

Lee, et.al., 2011). Gen BRCA1 dan BRCA2 terbukti terlibat tidak hanya pada

(17)

Gen BRCA1 dan BRCA2 bertanggung jawab atas 80-90% dari semua

kanker payudara yang bersifat familial (Ergul and Sazci, 2000). Jika seseorang

telah mewarisi salinan gen yang bermutasi dari orang tua, memiliki risiko hingga

80% terkena kanker payudara selama masa hidup mereka (Ergul and Sazci, 2000;

Mandal, 2013). Seseorang yang memiliki mutasi gen BRCA1 berisiko terkena

kanker payudara sekitar 45-65% (tertinggi 80%), sedangkan yang memiliki mutasi

gen BRCA2 risiko lebih rendah, sekitar 45% (Miki, et.al., 1994). Terjadinya

mutasi pada gen BRCA1 atau BRCA2menyebabkan hilangnya atau berkurangnya

fungsi gen, yang menjadi predisposisi tumbuh dan berkembangnya kanker

payudara (Miki, et.al., 1994; Beger, et.al., 2001; Stefansson, et.al., 2012). Kanker

payudara terkait dengan mutasi gen ini terjadi lebih sering pada perempuan

dengan usia lebih muda dan lebih sering terjadi pada kedua payudara. Perempuan

dengan mutasi gen ini juga memiliki peningkatan risiko untuk terkena kanker

lainnya, seperti kanker ovarium (American Cancer Society, 2013).

Upaya untuk mengisolasi gen BRCA1 pertama sekali dilakukan pada

penelitian yang dilakukan oleh Hal, et al. pada tahun 1990. Gen BRCA1 dipetakan

pada kromosom 17q21.3 dengan panjang 100 kb dan mengkode protein yang

terdiri dari 1863 asam amino. Gen ini ditranskripsikan dalam beberapa jaringan,

paling banyak diekspresikan dalam thymus, testis, payudara dan ovarium. BRCA1

terlibat dalam perbaikan DNA, transaktivasi transkripsi, apoptosis dan kontrol

siklus sel (Miki, et.al., 1994; Ergul and Sazci, 2000; Kumar, 2007).

Stimulasi estrogen dari sel epitel payudara diduga menjadi faktor utama

(18)

mengatur respon seluler terhadap estrogen, dimana gen BRCA1 wild type

menghambat sinyal ER. Protein BRCA1 wild type berikatan pada sejumlah protein selular, termasuk DNA repair protein Rad 51, RNA polymerase II holoenzyme, RNA helicase A, CtBP-interacting protein, c-myc, BRCA1 -associated RING domain protein (BARD1), BRCA2 protein, dan sebagainya. Protein-protein tersebut memediasi fungsi BRCA1. Oleh karena itu, mutasi

BRCA1 dapat mempengaruhi komposisi kompleks tersebut dan disregulasi fungsi

protein tersebut pada akhirnya dapat mengakibatkan berkembangnya keganasan.

BRCA1 juga berinteraksi dengan p53 secara in vitro dan in vivo, dimana protein

BRCA1 berfungsi sebagai co-aktivator p53 (Ergul and Sazci, 2000).

Selain gen BRCA1, mutasi gen kerentanan kanker payudara lainnya yaitu

gen BRCA2, dipetakan pada kromosom 13q12-13 (Miki, et.al., 1994; Ergul and

Sazci, 2000; Kumar, 2007). Gen BRCA2 lebih besar dari BRCA1, dengan 10.254

pasangan basa yang menkode 3418 asam amino. BRCA2 paling banyak

diekspresikan dalam thymus dan testis, sedangkan dalam kelenjar payudara dan

prostat diekspresikan pada level moderat. Protein BRCA2, seperti BRCA1,

memainkan peranan dalam regulasi transkripsi dan perbaikan DNA. Hal ini

menunjukkan bahwa BRCA2 berperan dalam perkembangan dan diferensiasi sel.

(Ergul and Sazci, 2000).

Kanker payudara terkait gen BRCA terkesan lebih agresif, disebabkan

oleh ketidakstabilannya dalam kromosom secara intrinsik, kegagalan perbaikan

(19)

Mutasi gen lain juga dapat menyebabkan kanker payudara yang bersifat

diturunkan, akan tetapi lebih jarang dan sering tidak meningkatkan risiko kanker

payudara seperti gen BRCA.

2.1.3.2 ATM

Gen ATM berperan dalam membantu memperbaiki kerusakan DNA.

Dalam studi terbaru, dibuktikan bahwa gen ataksia telangiektasia (AT), yang

disebut ATM, berperan dalam perkembangan kanker payudara (Ergul and Sazci,

2000). Bila mewarisi 2 salinan abnormal gen ini dapat menyebabkan timbulnya

penyakit ataksia- telangiektasia, bila mewarisi 1 salinan mutasi gen berisiko tinggi

terkena kanker payudara (American Cancer Society, 2013).

Gen ATM diidentifikasi berada pada kromosom 11q22 – 23, sebesar

13.000 bp yang mengkode protein yang terdiri dari 3.500 asam amino. Target

kunci ATM di downstream adalah p53, yang difosforilasi dan distabilkan oleh ATM, sebagai respon terhadap kerusakan DNA. Hilangnya fungsi ATM pada sel

menyebabkan gangguan dalam perbaikan DNA dan kontrol checkpoint siklus sel, hal ini menyebabkan berkembangnya kanker (Ergul and Sazci, 2000).

Pasien ataksia telangiektasia (AT) homozigot memiliki insiden kanker

yang sangat tinggi, dimana pasien AT dengan mutasi homozigot mengalami

peningkatan risiko kanker 100-200 kali lipat. Sementara pada pasien AT dengan

mutasi heterozigot mengalami peningkatan risiko terkena kanker payudara 3-5

(20)

tidak dapat bertahan hidup sampai usia di mana umumnya kanker payudara

terjadi. (de Jong, et.al., 2002)

2.1.3.3 Tp53

Gen Tp53 mengkode pembentukan protein p53 yang merupakan faktor

transkripsi dan juga memainkan peran penting dalam membantu menghentikan

pertumbuhan sel-sel abnormal (tumor supresor gen). Gen Tp53 terletak pada

kromosom 17p13.1, berisi 393 kodon dan mengkode protein inti 53.000 D (Ergul

and Sazci, 2000).

Mutasi yang menonaktifkan gen Tp53 terjadi pada berbagai jenis kanker,

termasuk kanker payudara (de Jong, et.al., 2002; Gasco, et.al., 2002; Ergul and

Sazci, 2000). Mutasi somatik gen Tp53 pada kanker payudara dilaporkan

mencapai 19%-57% (de Jong, et.al., 2002).

Mewarisi mutasi gen Tp53 secara autosomal dominan menyebabkan

sindrom Li-Fraumeni. Individu dengan sindrom ini memiliki peningkatan risiko terjadinya kanker payudara, serta beberapa jenis kanker lain seperti leukemia,

tumor otak, dan osteosarkoma, karsinoma adrenokortikal (de Jong, et.al., 2002;

Ergul and Sazci, 2000). Dalam sebuah penelitian terhadap 231 pasien dengan

mutasi germline p53, kanker payudara merupakan kanker yang paling umum

terjadi (Ergul and Sazci, 2000). Risiko terkena kanker payudara sebelum usia 45

tahun menjadi 18 kali lipat lebih tinggi untuk perempuan yang terkena sindrom ini

(21)

usia di bawah 20 tahun dan menurun seiring dengan bertambahnya usia ( de Jong,

et.al., 2002).

Pada kanker payudara, mutasi p53 dikaitkan dengan kondisi penyakit yang

lebih agresif dan prognosis buruk (Gasco, et.al., 2002; Ergul and Sazci, 2000).

Frekuensi mutasi p53 lebih rendah pada kanker payudara dibandingkan pada

tumor padat lainnya. Perubahan, baik genetik maupun epigenetik, mempengaruhi

pada pengendalian aktivitas p53 dan beberapa target transkripsi p53 di

downstream pada kanker payudara. Analisis patologi molekuler dari struktur dan

ekspresi konstituen jalur p53 bernilai dalam menentukan diagnosis, prognosis dan

penatalaksanaan kanker payudara (Gasco, et.al., 2002).

2.1.3.4 PTEN

Pada manusia gen PTEN dipetakan pada kromosom 10q23. PTEN

merupakan fosfatase, tetapi tidak seperti fosfatase lain. Bukan merupakan protein,

tetapi merupakan molekul lemak di sela membran sel. Target lipid adalah

phosphatidylinositol-3,4,5-trifosfat (PIP3) dan merupakan komponen kunci dari jalur utama kontrol pertumbuhan sel, bertindak untuk merangsang pertumbuhan

sel dan menghambat apoptosis. Dengan melepaskan satu dari tiga fosfat pada

PIP3, PTEN mengendalikan jalur pertumbuhan dan memungkinkan terjadinya proses kematian sel (Ergul and Sazci, 2000).

Mutasi gen PTEN pada proses tumorigenesis membuat jalur PIP3 tidak

tepat diaktifkan, yang memungkinkan sel-sel yang seharusnya mati bermutasi dan

(22)

80% penderita sindrom Cowden (kelainan autosomal dominan). Pada penderita

sindrom Cowden perempuan dengan mutasi gen PTEN memiliki risiko kanker

payudara 25-50% seumur hidupnya ( de Jong, et.al., 2002).

2.1.4 Gejala dan tanda

Skrining menggunakan mammogram telah meningkatkan jumlah kasus

kanker payudara yang terdeteksi sebelum menimbulkan gejala apapun. Namun,

masih ada beberapa jenis kanker payudara yang tidak terdeteksi oleh

mammogram. Gejala yang paling umum dari kanker payudara adalah adanya

benjolan atau massa yang tidak nyeri dan massa padat dengan tepi yang tidak

teratur. Tapi kanker payudara dapat juga berupa massa yang lembut dan berbatas

tegas dan sangat nyeri. Oleh karena itu, bila dijumpai massa di payudara harus

segera diperiksakan ke dokter yang ahli dan berpengalaman dalam mendiagnosis

penyakit payudara (DEPKES RI, 2009; American Cancer Society, 2013).

Kemungkinan tanda-tanda lain dari kanker payudara antara lain

pembengkakan seluruh atau sebagian dari payudara, iritasi kulit atau dimpling, nyeri payudara atau puting, retraksi puting (lipatan puting), kemerahan atau

penebalan pada puting atau kulit payudara, keluar cairan dari puting/ selain ASI (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004; DEPKES RI, 2009; American Cancer Society, 2013)

Kanker payudara dapat menyebar ke kelenjar getah bening di bawah

(23)

payudara cukup besar. Meskipun gejala-gejala tersebut dapat disebabkan oleh

hal-hal lain selain kanker payudara, jika seseorang memilikinya, mereka harus

melaporkan kepada dokter sehingga penyebabnya dapat ditemukan segera

(DEPKES RI 2009; American Cancer Society, 2013).

2.1.5 Penegakan diagnosis

Kanker payudara sering ditemukan setelah gejala muncul, karena

kebanyakan kanker payudara stadium dini tidak memiliki gejala. Jika ada sesuatu

yang mencurigakan ditemukan setelah dilakukan skrining, atau jika dijumpai

salah satu dari gejala kanker payudara seperti yang dijelaskan di atas, dokter akan

menggunakan satu atau beberapa metode pemeriksaan untuk mendeteksi kanker

payudara, antara lain sebagai berikut :

2.1.5.1 Riwayat medis dan pemeriksaan fisik

Riwayat medis meliputi gejala, masalah kesehatan lainnya, dan

faktor-faktor risiko yang mungkin untuk berkembangnya kanker payudara. Pemeriksaan

payudara untuk menilai tekstur, ukuran, dan hubungan dengan kulit dan otot dada,

perubahan pada puting atau kulit payudara. Kelenjar getah bening di aksila dan di

atas tulang selangka juga diraba, karena pembesaran kelenjar getah bening dapat

mengindikasikan penyebaran kanker payudara. Juga dilakukan pemeriksaan fisik

lengkap untuk menilai kesehatan secara umum dan membuktikan apakah kanker

telah menyebar. Jika dari gejala dan/ atau hasil pemeriksaan fisik mengarah

(24)

seperti tes pencitraan, pemeriksaan sampel nipple discharge, atau melakukan biopsi (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004).

2.1.5.2 Tes Pencitraan

Tes pencitraan dapat dilakukan untuk untuk membantu mendiagnosis

kanker, mengetahui seberapa jauh kanker telah menyebar, dan untuk monitoring

terapi. Tes pencitraan yang dapat dilakukan antara lain : (Sjamsuhidajat dan de

Jong, 2004; DEPKES RI, 2009; American Cancer Society, 2013)

a. Rontgen dada

Tes ini dapat dilakukan untuk melihat apakah kanker payudara telah

menyebar ke paru-paru

b. Mammogram

Untuk mendeteksi area yang abnormal pada payudara

c. Scan tulang

Dapat membantu menunjukkan apakah kanker telah menyebar ke tulang.

d. Computed Tomography (CT)-Scan

Untuk melihat apakah kanker telah menyebar ke organ lain di luar

(25)

e. Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan

Menggunakan gelombang radio dan magnet yang kuat. Digunakan untuk

mencari kanker yang telah menyebar ke berbagai bagian tubuh, sama

seperti CT scan. MRI scan sangat membantu dalam melihat otak dan

tulang belakang.

f. Ultrasonography (USG)

Digunakan untuk mencari kanker yang telah menyebar ke beberapa bagian

tubuh yang lain, terutama untuk melihat organ di daerah perut seperti hati

atau organ perut lainnya.

g. Positron emission tomography (PET) scan

Sejauh ini, studi menunjukkan PET scan kurang membantu untuk kanker

payudara dini, tetapi dapat digunakan untuk mendeteksi tumor yang sangat

besar, kanker payudara inflamasi, atau untuk kanker payudara yang telah

menyebar.

Tes pencitraan terbaru yaitu scintimammography dan tomosynthesis, masih belum digunakan secara umum dan manfaatnya masih sedang terus dipelajari

(26)

2.1.5.3 Biopsi

Biopsi dilakukan ketika pada pemeriksaan dengan mammogram, tes

pencitraan lainnya, atau pemeriksaan fisik ditemukan adanya perubahan/ kelainan

pada payudara yang mungkin kanker. Hingga saat ini biopsi adalah satu-satunya

alat diagnostik untuk memastikan kanker atau tidak. Sampel diambil dari bagian

tubuh yang dicurigai, dalam bentuk sediaan hapusan jaringan untuk dilihat di

bawah mikroskop oleh dokter ahli patologi anatomi. Ada beberapa jenis biopsi,

seperti, biopsi aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy), biopsi jarum inti/ besar ( core /large needle biopsy) , dan biopsi bedah (surgical biopsy). Jenis biopsi yang digunakan tergantung pada kondisi khusus pasien, dimana

masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Faktor-faktor yang menjadi

pertimbangan dalam pemilihan jenis biopsi adalah besar lesi yang dicurigai, posisi

lesi pada payudara, banyaknya lesi, dan sebagainya.

a. Biopsi aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy/ FNA),

Pada biopsi aspirasi jarum halus (FNA) digunakan jarum berongga sangat

tipis yang melekat pada jarum suntik untuk menarik (aspirasi) sejumlah

kecil jaringan dari daerah yang dicurigai, yang kemudian dilihat di bawah

mikroskop (Taghian AG, 2010). Biopsi FNA merupakan jenis biopsi yang

paling mudah, tetapi memiliki beberapa kelemahan. Hasil positif pada

pemeriksaan ini bukan indikasi untuk bedah radikal karena hasil positif

(27)

ditempatkan tidak tepat di antara sel-sel kanker. Bahkan jika sel-sel kanker

ditemukan, biasanya sulit ditentukan apakah kanker invasif. Jika hasil

biopsi FNA masih belum jelas, maka perlu dilakukan pemeriksaan biopsi

jenis lainnya untuk konfirmasi (Taghian AG, 2010).

b. Biopsi jarum inti ( core needle biopsy)

Biopsi inti menggunakan jarum yang lebih besar dibandingkan dengan

jarum untuk biopsi FNA untuk aspirasi sampel yang penentuan lokasinya

dipandu dengan menggunakan USG atau mammogram. Dikenal sebagai

stereotactic core needle biopsy. Potongan jaringan yang diambil lebih besar dari biopsi FNA, sehingga hasilnya lebih jelas untuk penegakan

diagnosis (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004; Taghian AG, 2010),

meskipun masih ada beberapa jenis kanker yang belum jelas dengan

menggunakan metode ini.

c. Biopsi bedah/ biopsi terbuka (surgical biopsy)

Kanker payudara biasanya dapat didiagnosis cukup dengan menggunakan

biopsi jarum. Operasi jarang dilakukan untuk membuat hapusan semua

atau sebagian dari benjolan untuk diperiksa di bawah mikroskop, tapi

kadang biopsi bedah (terbuka) diperlukan, tergantung lokasi lesi, bila

biopsi jarum tidak memberikan hasil yang jelas (Taghian AG, 2010;

(28)

d. Biopsi kelenjar getah bening

Jika kelenjar getah bening di bawah aksila membesar (baik dengan diraba

atau dengan tes pencitraan seperti mamografi atau USG), perlu diperiksa untuk mengetahui penyebaran kanker. Dilakukan dengan biopsi kelenjar

getah bening sentinel (sentinel lymph node biopsy) dan / atau diseksi kelenjar getah bening aksila (American Cancer Society, 2013).

Sampel biopsi jaringan payudara diperiksa di laboratorium untuk

menentukan ada atau tidaknya kanker, menentukan jenis sel kanker, grading

kanker, menilai status reseptor estrogen dan progesteron, serta status HER2/neu.

2.1.5.4 Tumor Marker

Tumor marker adalah suatu zat yang dijumpai pada urin, darah, atau

jaringan orang normal, yang dapat diproduksi lebih banyak pada penderita kanker.

Zat tersebut dapat berupa enzim, hormon, oncofetal antigen atau reseptor (Duffy

and McGing, 2010; American Cancer Society-tumor marker, 2013). Tumor marker dapat dihasilkan baik oleh kanker sendiri ataupun oleh tubuh sebagai

respon terhadap kanker. Secara umum, peningkatan kadar tumor marker masih

sedikit pada tahap awal penyakit (tapi lebih tinggi dari normal) dan semakin

meningkat pada penyakit tahap lanjut. Selanjutnya, kadarnya akan menurun

sebagai respon terhadap pengobatan dan meningkat kembali ketika kanker

(29)

The American Society of Clinical Oncology (ASCO) mengadakan panel ahli yang pertama kali menerbitkan panduan mengenai rekomendasi penggunaan

tumor marker berbasis jaringan dan darah untuk kanker payudara pada tahun 1996

dan kemudian panduan tersebut diperbarui pada tahun 2001 (Henry and Hayes,

2006). Tabel 2.1, menunjukkan tumor marker yang lazim diperiksa untuk

membantu menegakkan diagnosis pada sangkaan kanker payudara.

Tabel 2.1 Tumor marker kanker payudara

Sumber: Henry and Hayes, 2006.

a. Tumor marker berbasis darah

Panel ASCO mengevaluasi beberapa tumor marker serum untuk kanker

payudara, termasuk tes CA15-3/ CA27.29, carcinoembryonic antigen

(CEA), dan HER-2/neu domain ekstraselular yang bersirkulasi. Panel tidak

merekomendasikan pemeriksaan tumor marker tersebut untuk skrining,

diagnosis, penentuan stadium, atau monitoring kondisi pasien.

Pemeriksaan CA15-3 atau CA27.29 dan/ atau CEA direkomendasikan,

(30)

metastasis dan akan menjalani terapi paliatif (Henry and Hayes, 2006;

Harris, et.al., 2007). Hal tersebut dikarenakan oleh peningkatan level

CA15-3 <10% pada pasien kanker payudara dini dan sekitar 70% pada

pasien stadium lanjut, sedangkan CA27.29 tidak lebih baik dari CA15-3,

karena tidak selalu meningkat pada setiap pasien kanker payudara. Kadar

CA15-3, CA27.29 dan CEA tidak hanya meningkat dalam darah penderita

kanker payudara saja, tetapi juga meningkat pada darah penderita kanker

lainnya seperti kanker paru, hati, ovarium, pankreas, saluran pencernaan,

bahkan dapat juga meningkat pada kondisi non-keganasan seperti

endometriosis dan hepatitis, sehingga tidak cukup spesifik sebagai marker

untuk mendeteksi kanker payudara (Duffy and McGing, 2010; American Cancer Society-tumor marker, 2013).

b. Tumor marker berbasis jaringan

Pemeriksaan rutin beberapa tumor marker berbasis jaringan juga dibahas

dalam panel ASCO. Panel merekomendasikan pemeriksaan rutin estrogen

reseptor (ER) dan progesteron reseptor (PgR) untuk mengidentifikasi

pasien yang potensial mendapat terapi endokrin, baik dalam stadium awal

penyakit ataupun kondisi metastasis. (Henry and Hayes, 2006).

Sel payudara normal dan beberapa sel kanker payudara mempunyai

reseptor yang berikatan dengan estrogen dan progesteron. Kedua hormon

(31)

melakukan pemeriksaan reseptor estrogen dan progesteron dari sel kanker

payudara hasil biopsi. Sel kanker bisa tidak memiliki kedua reseptor

tersebut (/PgR-), bisa hanya memiliki salah satu (ER+/PgR- atau

ER-/PgR+), atau memiliki kedua reseptor tersebut (ER+/PgR+). Kanker

payudara dengan reseptor hormon-positif cenderung tumbuh lebih lambat

dan berespon baik terhadap terapi hormon dibandingkan kanker payudara

tanpa reseptor ini. Peran utama dari reseptor steroid, seperti estrogen

reseptor (ER), adalah untuk mengatur laju transkripsi gen tertentu dengan

berikatan sebagai kompleks reseptor hormon ke sekuensi DNA tertentu

yang disebut hormone response element (HRE). Interaksi antara reseptor steroid dengan HRE dapat mengakibatkan perubahan regulasi transkripsi,

tergantung pada ikatan dan aktivitas faktor spesifik tambahan terhadap gen

target dan jaringan. Polimorfisme gen ER dapat mempengaruhi ikatan

estrogen dan transkripsi berikutnya dalam gen target (Ergul and Sazci,

2000). Status ER dan PgR telah lama dijadikan sebagai marker patologi

kanker payudara dan sekarang menjadi gold standar dalam menentukan

terapi adjuvant (Kon, 2010).

Fitur lain yang diuji untuk kanker payudara adalah amplifikasi Human Epidermal growth factor Receptor 2 (HER2/neu), merupakan reseptor yang mengaktifkan tirosin kinase, terikat pada permukaan membran sel.

HER2 merupakan famili reseptor epidermal growth factor (ErbB), terlibat dalam jalur transduksi sinyal yang memicu pertumbuhan sel dan

(32)

banyak protein pemicu pertumbuhan sel yang disebut HER2/neu (sering

disingkat menjadi hanya HER2). Gen HER2/neu memberi perintah kepada

sel untuk membentuk protein ini. Tumor dengan peningkatan kadar

HER2/neu disebut sebagai HER2–positif. Perempuan penderita kanker

payudara dengan HER2-positif memiliki banyak salinan gen HER2/neu,

sehingga jumlah protein HER2/neu lebih besar dari perempuan normal.

Kanker ini cenderung tumbuh dan menyebar lebih agresif daripada kanker

payudara lainnya. Semua kanker payudara yang baru didiagnosis harus

dilakukan pemeriksaan HER2/neu, untuk menentukan jenis terapi yang

akan diberikan, dimana kanker payudara dengan HER2-positif, jauh lebih

efektif pengobatan bila diberikan terapi yang targetnya protein HER2/neu

yaitu trastuzumab (Herceptin ®), antibodi monoklonal yang menghambat

HER-2/neu (Henry and Hayes, 2006).

Untuk tumor marker berbasis jaringan lainnya seperti p53 dan cathepsin, tidak cukup data untuk merekomendasikan penggunaannya dalam praktek

klinis rutin (Henry and Hayes, 2006).

2.1.6 Jenis kanker payudara

Jenis kanker payudara terdiri dari : (American Cancer Society, 2013)

2.1.6.1 Karsinoma duktal in situ

(33)

invasif. Perbedaan antara DCIS dengan kanker invasif adalah bahwa sel belum

menyebar (menginvasi) melalui dinding duktus ke sekitar jaringan payudara.

2.1.6.2 Karsinoma lobular in situ

Jenis ini bukan kanker atau pre - kanker

2.1.6.3 Karsinoma duktal invasif (infiltratif)

Jenis ini yang paling umum dari kanker payudara. Karsinoma duktal

invasif/ infiltratif (Invasive Ductal Carcinoma /IDC ) dimulai pada saluran susu dari payudara, menerobos dinding duktus , dan berkembang ke dalam jaringan

lemak payudara. Dapat menyebar (bermetastasis) ke bagian lain dari tubuh

melalui sistem limfatik dan aliran darah. Sekitar 8 dari 10 kanker payudara invasif

merupakan IDC.

2.1.6.4 Karsinoma lobular invasif (infiltratif)

Karsinoma lobular invasif (Invasive lobular carcinoma/ ILC ) dimulai pada kelenjar yang memproduksi susu (lobulus). Seperti IDC, dapat menyebar

(metastasis) ke bagian lain dari tubuh. Sekitar 1 dari 10 kanker payudara invasif

merupakan ILC. Karsinoma lobular invasif lebih sulit dideteksi oleh mammogram

(34)

2.1.7 Klasifikasi kanker payudara

Manajemen kanker payudara bergantung pada ketersediaan faktor

prognostik dan prediktif patologis dan klinis yang baik untuk memandu

pengambilan keputusan terhadap pasien dan pemilihan jenis terapi. Pada kanker

payudara tiga faktor penentu prognostik utama yang digunakan dalam praktek

rutin adalah status keterlibatan kelenjar getah bening (lymph node/ LN), ukuran tumor, dan grade histopatologi (Rakha, et.al., 2010; Dağlar, et.al., 2010).

Ada banyak faktor prognostik yang digunakan untuk menilai

kelangsungan hidup pasien kanker payudara. Beberapa faktor prognostik telah

digabungkan ke dalam klasifikasi TNM atau yang terbaru dengan Nottingham Prognostic Index (NPI), keduanya sangat baik sebagai prediktif untuk memperkirakan kelangsungan hidup jangka panjang. Penentuan stadium sistem

TNM berdasarkan ukuran tumor primer, keterlibatan kelenjar getah bening

regional, dan adanya metastasis jauh, sedangkan untuk sistem NPI berdasarkan

ukuran tumor, grade, dan keterlibatan kelenjar getah bening. Identifikasi faktor

prognostik yang berhubungan dengan metastasis atau potensi pertumbuhan tumor

primer dapat membantu dokter dalam menentukan terapi adjuvant dan

memprediksi kelangsungan hidup pasien. Terapi adjuvant pada pasien berisiko

tinggi dapat meningkatkan hasil secara keseluruhan (Dağlar, et.al., 2010).

2.1.7.1 Klasifikasi berdasarkan grading histopatologi

(35)

irisan tipis dari jaringan di bawah mikroskop cahaya (mikroskop optik) atau

mikroskop elektron. Setelah urutan prosedur teknis untuk persiapan jaringan

(fiksasi, dehidrasi, clearing, infiltrasi, embedding, sectioning, dan staining), gambar histologi dapat dihasilkan dengan teknik pencitraan yang berbeda-beda,

didasarkan pada analisis manual atau otomatis yang dapat dilakukan untuk

mendeteksi jaringan yang abnormal. Grading histopatologi umumnya dianggap

sebagai standar emas untuk diagnosis klinis kanker dan identifikasi target

terapeutik dan prognostik (He, et.al., 2014).

Grading tumor secara histopatologi didasarkan pada derajat diferensiasi

dari jaringan tumor. Pada kanker payudara, mengacu pada evaluasi

semi-kuantitatif karakteristik morfologi dan merupakan metode yang relatif sederhana

dan lowcost. Irisan jaringan tumor diwarnai dengan hematoxylin-eosin, dinilai oleh ahli patologi anatomi yang terlatih menggunakan protokol standar (Rakha,

et.al., 2010).

Grading tumor tidak sama dengan stadium kanker. Stadium kanker

mengacu pada ukuran dan/ atau batas lokasi tumor primer dan apakah sel kanker

telah menyebar di dalam tubuh. Stadium kanker didasarkan pada faktor-faktor

seperti lokasi tumor primer, ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening

regional (penyebaran kanker ke kelenjar getah bening di dekatnya), dan jumlah

tumor yang hadir (Rakha, et.al., 2010). Sedangkan grading tumor merupakan

deskripsi tumor yang didasarkan pada bagaimana kondisi abnormal sel-sel tumor

dan jaringan tumor yang terlihat di bawah mikroskop. Hal ini merupakan

(36)

susunan jaringan tumor mendekati sel-sel dan jaringan normal, tumor ini disebut

"berdiferensiasi baik" (well-differentiated). Tumor ini cenderung tumbuh dan menyebar lebih lambat dari tumor yang "berdiferensiasi buruk" (undifferentiated/ poorly differentiated) yang memiliki lebih banyak sel-sel abnormal dan sedikit atau bahkan tidak memiliki struktur jaringan normal (Rakha, et al., 2010).

Metode untuk grading histopatologi pada kanker payudara pertama kali

dijelaskan pada tahun 1957 oleh Bloom dan Richardson. Tiga faktor histopatologi

yang menjadi penentu grade kanker payudara, yaitu formasi tubulus,

pleomorfisme nukleus dan aktivitas mitosis. Meskipun banyak bukti studi

menunjukkan sistem grading Bloom-Richardson (BRG), yang didasarkan pada

penilaian formasi tubulus, pleomorfisme nukleus, dan aktivitas mitosis,

memberikan informasi prognostik independen yang penting untuk pasien kanker

payudara, akan tetapi sistem ini tidak diterima secara universal, terutama karena

bersifat subjektif (Grazio and Bracko, 2002; Rakha, et.al., 2010). Kemudian

dilakukan perbaikan oleh Elston dan Ellis dengan memodifikasi sistem grading

BRG, yang mendefinisikan kriteria dengan jelas, terutama dengan menerapkan

batas numerik untuk pengukuran formasi tubulus dan jumlah mitosis. Jumlah

relatif dari hiperkromatik nukleus dan tingkat mitosis dianalisis dengan

menggunakan sistem BRG yang asli, sementara tingkat mitosis yang

teridentifikasi dengan jelas dievaluasi dengan sistem baru. Modifikasi BRG ini,

(37)

terendah adalah 3 (1 +1 +1 = 3), merupakan tumor yang well differentiated, bahwa semua bentuk tubulus dan memiliki tingkat mitosis rendah (< 10/10 hpf).

Skor tertinggi yang mungkin adalah 9 (3 +3 +3 = 9) ( Grazio and Bracko, 2002;

Tavassoli F.A, 2003).

Relevansi prognostik NGS pada kanker payudara pertama sekali

ditunjukkan pada tahun 1991 dan kemudian divalidasi dalam beberapa studi

independen. Selanjutnya NGS digabungkan dengan status keterlibatan LN dan

ukuran tumor yang tergabung menjadi Nottingham Prognostic Index (NPI). Beberapa studi independen telah menunjukkan bahwa NGS memiliki nilai

prognostik yang setara dengan status LN dan memiliki nilai prognostik yang lebih

besar dari ukuran tumor. Informasi prognostik sistem NGS dijadikan pedoman

dalam menentukan kemoterapi adjuvan. (Rakha, et.al., 2010).

Saat ini, NGS menjadi sistem penilaian yang direkomendasikan oleh

berbagai badan profesional internasional (World Health Organization/WHO, American Joint Committee on Cancer/AJCC, European Union/EU, dan the Royal College of Pathologists/UK RCPath), dan konsensus internasional menyatakan bahwa sistem NGS dianggap sebagai 'standar emas' (gold standard) untuk grading kanker payudara (Rakha, et.al., 2010). Modifikasi ini telah meningkatkan

(38)

Gambar 2.1 Gambaran histopatologi irisan jaringan kanker payudara pada

Nottingham Grading System (Sumber: Rakha, et.al., 2010)

(39)

Menurut hasil penelitian terbaru, ada korelasi yang sangat signifikan

antara grading histopatologi dengan prognosis, bila grade tumor meningkat maka

kelangsungan hidup menurun. Grading histopatologi telah terbukti berpotensi

menjadi faktor prognostik independen yang penting pada pasien kanker payudara.

Ketika dikombinasikan dengan ukuran patologis tumor dan keterlibatan kelenjar

getah bening, NPI, menjadi sangat baik untuk dijadikan pedoman manajemen

pasien. Terapi adjuvan bisa direncanakan lebih tepat dengan menggunakan

indikator grade tumor dan keterlibatan kelenjar getah bening (Dağlar, et.al., 2010).

Analisis manual histopatologi jaringan pada saat ini masih tetap menjadi

cara utama untuk mengidentifikasi jaringan kanker, yang sangat tergantung pada

keahlian dan pengalaman masing-masing ahli patologi anatomi, sehingga hasilnya

sangat subjektif (He, et.al., 2014).

2.1.7.2 Klasifikasi berdasarkan stadium (sistem TNM)

Dalam penegakan diagnosis, gambaran klinis standar seperti ukuran

tumor, keterlibatan kelenjar getah bening, dan metastasis jauh, semuanya telah

diintegrasikan dalam klasifikasi TNM, yang berperan dalam menentukan

prognosis dan pilihan terapi (Kon, 2010). American Joint Committe on Cancer Staging System (AJCC) merekomendasikan cara penentuan stadium dengan sistem TNM. Penentuan stadium kanker dengan sistem TNM, adalah sebagai

berikut: (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004; Tavassoli FA, 2003; Taghian AG,

(40)

a. T = Primary Tumor (0-4)

Menunjukkan ukuran tumor dan penyebarannya. Jika nilainya tinggi

berarti ukuran tumor lebih besar dan sudah menyebar ke jaringan sekitar

payudara. Kategorinya sebagai berikut :

Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai.

T0 : Tidak ada tumor primer.

Tis : Karsinoma in situ (DCIS, LCIS, atau Paget disease of the nipple tanpa terkait massa tumor).

T1 : (T1a, T1b, dan T1c) Ukuran tumor 2 cm atau kurang.

T2 : Ukuran Tumor lebih dari 2 cm tapi tidak lebih dari 5 cm.

T3 : Ukuran Tumor lebih dari 5 cm.

T4 : (T4a, T4b, T4c, dan T4d) Tumor dari berbagai ukuran tumbuh ke

dalam dinding dada atau kulit. Pada kategori ini termasuk kanker

payudara inflamasi.

b. N = Nearby lymph nodes (0-3)

Menunjukkan apakah kanker payudara telah menyebar ke kelenjar getah

bening di sekitar payudara. Jika ada, berapa banya kelenjar getah bening

yang terkena. Kategorinya sebagai berikut :

Nx : Kelenjar getah bening terdekat tidak dapat dinilai

N0 : Kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya.

(41)

pewarnaan khusus. Area penyebaran kanker pada kelenjar getah

bening kurang dari 200 sel atau lebih kecil dari 0,2 mm.

N0 (mol +): Sel-sel kanker tidak dapat dilihat pada kelenjar getah bening aksila (bahkan dengan menggunakan pewarnaan khusus),

namun terdeteksi menggunakan RT-PCR.

N1 : Kanker telah menyebar ke 1 sampai 3 kelenjar getah bening aksila

dan/ atau dalam jumlah kecil kanker ditemukan pada kelenjar

getah bening mamaria interna (dekat tulang dada ) dengan sentinel lymph node biopsy.

N1mi : mikrometastasis, sel kanker dijumpai pada 1 sampai 3 kelenjar getah bening di aksila. Area penyebaran kanker pada

kelenjar getah bening 2 mm atau kurang (sedikitnya 200 sel

kanker atau sekitar 0.2mm ).

N1a : Kanker telah menyebar ke 1-3 kelenjar getah bening aksila dengan setidaknya satu area penyebaran kanker lebih besar dari 2

mm.

N1b : Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening mamaria interna, tetapi penyebaran ini hanya bisaditemukan pada sentinel

lymph node biopsy.

N1c : Gabungan kriteria N1a dan N1b.

N2 : Kanker telah menyebar ke 4-9 kelenjar getah bening aksila, atau

kanker telah membesar pada kelenjar getah bening mamaria

(42)

N2a : Kanker telah menyebar ke 4-9 kelenjar getah bening aksila, dengan setidaknya satu area penyebaran kanker lebih besar

dari 2 mm.

N2b : Kanker telah menyebar ke satu atau lebih kelenjar getah bening mamaria interna dan membesar.

N3 : Salah satu dari berikut,

N3a : Kanker telah menyebar ke 10 atau lebih kelenjar getah bening aksila dengan setidaknya satu area penyebaran kanker

lebih besar dari 2mm, atau kanker telah menyebar ke kelenjar

getah bening di bawah tulang selangka (klavikula) dengan

setidaknyasatu area penyebaran kanker lebih besar dari 2mm.

N3b : Kanker ditemukan setidaknya pada satu kelenjar getah bening aksila (dengan setidaknya satu area penyebaran kanker

lebih besar dari 2 mm) dan kelenjar getah bening mamaria interna

telah membesar, atau kanker telah menyebar ke 4 atau lebih

kelenjar getah bening aksila (dengan setidaknya satu area

penyebaran kankerlebih besar dari 2 mm), dan sejumlah kecil

kanker ditemukan di kelenjar getah bening mamaria interna pada

sentinel lymph node biopsy.

N3c : Kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di atas tulang selangka (klavikula) dengan setidaknya satu area

(43)

c. M = Metasiasis (0-1)

Menunjukkan apakah kanker telah menyebar ke organ jauh, misalnya ,

paru-paru atau tulang.

Kategorinya sebagai berikut :

Mx : Metastasis tidak dapat dinilai.

M0 : Tidak ada ditemukan penyebaran jauh dengan menggunakan

sinar-x (atau prosedur pencitraan lain) atau dengan pemeriksaan

fisik.

cM0 (i+) : Sejumlah kecil sel kanker ditemukan dalam darah atau sumsum tulang (hanya ditemukan dengan tes khusus), atau

area penyebaran kanker yang kecil (tidak lebih dari 0,2 mm)

ditemukan pada kelenjar getah bening yang jauh dari payudara.

M1 : Kanker telah menyebar ke organ yang jauh dari payudara. (organ

yang paling umum adalah tulang, paru-paru, otak, dan hati.)

Pengelompokan stadium kanker payudara berdasarkan TNM: (American Cancer Society, 2013; Kumar, 2007; Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004).

Stadium 0 = Tis, N0, M0

Stadium Ia = T1, N0, M0

Stadium Ib = T0 atau T1, N1mi, M0

Stadium IIa = T0/ T1, N1 (N1a/ N1b/ N1c, tapi bukan N1mi), M0 atau T2, N0,

M0

(44)

Stadium IIIa = T0/ T1/ T2, N2, M0 atau T3, N1/ N2, M0

Stadium IIIb = T4, N0/ N1/ N2, M0

Stadium IIIc = T1-4, N3, M0

Stadium IV = T1-4, N1-3, M1

Berdasarkan data AJCC, angka harapan hidup selama 5 tahun penderita kanker payudara berdasarkan stadium, yaitu : (American Cancer Society, 2013).

Stadium 0 = 100%

Stadium I = 100%

Stadium II = 93%

Stadium III = 72%

Stadium IV = 22%

2.2 MicroRNA (miRNA/ miR) 2.2.1 Definisi miRNA

Dogma sentral dalam biologi molekuler menjelaskan bahwa DNA

mereplikasikan informasi genetik yang terkandung dalam urutan nukleotida dan

mentranskripsikannya menjadi mRNA. MRNA dimodifikasi dengan cara splicing

dan ditransport dari nukleus ke sitoplasma. MRNA membawa informasi kode

nukleotida ke ribosom. Ribosom menterjemahkan kode tersebut untuk sintesis

protein. Beberapa studi yang berbeda telah mengidentifikasi sejumlah besar gen

(45)

dalam mengarahkan modifikasi RNA. RNA yang berasal dari intron ini

tampaknya memberikan sinyal internal yang mengontrol berbagai tingkat ekspresi

gen. Ribosomal RNA (rRNA), transfer RNA (tRNA), small nuclear RNA dan

small nucleolar RNA, interference RNA (RNAi), short interfering RNA (siRNA)

dan microRNA (miRNA) termasuk kedalam golongan ncRNA (Sen, et.al., 2009;

Esteller, 2011).

MicroRNA(miRNA/miR) merupakan noncoding-RNA pendek yang terdiri dari sekitar 18-22 nukleotida, yang ditranskripsi dari regio intergenik dan genic

pada genom, yang merupakan regulator gen yang baru (Rodriguez, et.al., 2004).

MiRNA pertama, lin-4 (Lee, et.al., 1993) dan let-7 (Reinhart, et.al., 2000),

ditemukan selama pengembangan Caenorhabditis elegans (Valencia-Sanchez, et.al., 2006; Huntzinger, et.al., 2011). MiRNA mengikat target gen nya di

3'-untranslated regio (3'-UTRs), menyebabkan degradasi langsung mRNA atau represi translasi (Huntzinger, et.al., 2011; Mendes, et.al., 2009; Valencia-Sanchez,

et.al., 2006). Pada manusia, setidaknya 10% mRNA pengkode protein merupakan

target langsung dari miRNA (Blenkiron, et.al., 2007). Ini berarti bahwa miRNA

mampu meregulasi ekspresi ratusan bahkan ribuan gen. Dengan demikian, tidak

mengherankan bahwa miRNA terlibat dalam regulasi dari semua fungsi selular

utama.

Baru-baru ini, identifikasi target miRNA mendapat banyak perhatian.

Memahami mekanisme kerja dan mengidentifikasi target mRNA fungsional dari

miRNA yang spesifik sangat penting untuk mengetahui fungsi biologis miRNA

(46)

(Martinez-Sanchez, et.al., 2013). Strategi untuk menentukan target miRNA termasuk

prediksi bioinformatika dan tes eksperimental. Metode prediksi bioinformatika

terutama didasarkan pada konsep konfirmasi interaksi antara miRNA dan

targetnya, dan dilakukan oleh program, seperti miRanda, TargetScan,

TargetScanS, RNAhybrid, DIANA-microT, PicTar, RNA22 and FindTar, yang

mengikuti prinsip yang dikenal. Alat tes eksperimen untuk menemukan target

miRNA menggunakan imunopresipitasi protein AGO untuk mengidentifikasi

mRNA yang berinteraksi, atau analisis level mRNA atau protein untuk

mengidentifikasi gen yang dapat diregulasi oleh miRNA (Xia, et.al., 2009).

Bentwich et.al. mengembangkan pendekatan integratif menggabungkan prediksi

bioinformatika dengan analisis microarray dan sequence-directed cloning, yang mengungkapkan bahwa lebih dari 800 miRNA ada pada manusia. Saat ini, lebih

dari 45.000 lokus gen miRNA pada 3'UTR telah diidentifikasi pada manusia.

MiRNA diperkirakan mengatur translasi lebih dari 60% gen penyandi protein.

MiRNA terlibat dalam mengatur banyak proses, termasuk proliferasi, diferensiasi,

apoptosis dan perkembangan, sehingga kuncinya, miRNA meregulasi tingkat

ekspresi ratusan gen secara bersamaan, dan berbagai jenis miRNA meregulasi

targetnya secara kooperatif (Esteller, 2011; Friedman, et.al., 2009). Dengan terus

bertambahnya daftar miRNA, muncul kesadaran akan potensial dan pentingnya

(47)

2.2.2 Biogenesis MicroRNA

2.2.2.1 MicroRNA primer (primary miR/ pri-miR)

MicroRNA berada di daerah intron, yang menjadi bagian dari gen mRNA.

MiRNA dapat ditranskripsi bersama dengan promoter gen induk atau memiliki

promoter spesifik sendiri (Saini, et.al., 2007). Promoter miRNA intergenik,

khusus lokasi awal transkripsi (Transcriptional Start Site/TSS), telah dipetakan pada jarak sekitar 1-100 kb jauhnya dari lokus miRNA yang matur (Ozsolak,

et.al., 2008). MiRNA ditranskripsikan oleh RNA polimerase II (pol II) di dalam

nukleus. Hasil biogenesis molekul regulator RNA yang kecil ini keluar sebagai

transkrip primer yang disebut miRNA primer /pri-miR (Sen, et.al., 2009; Bartel,

et.al., 2004). Pri-miR memiliki struktur capped dan polyadenylated (poli A) tails, ciri khas sifat transkrip gen kelas II. Aspek kunci dari proses awal pri-miR adalah

proses melipatnya regio tertentu menjadi struktur seperti jepit rambut (hairpin structure). Selain pol II, Borchert et.al. menemukan bahwa miR C19MC, termasuk miR-515, miR-517a, miR-517c dan miR-519a, diekspresikan oleh RNA

polimerase III (pol III).

2.2.2.2 Prekursor microRNA (pre-miR)

Setelah ditranskripsi oleh pol II atau pol III, pri-miR yang dibentuk

dibelah oleh kompleks mikroprosesor inti untuk menghasilkan prekursor-miRNA

(pre-miR), yang merupakan dsRNA hairpin structure tunggal yang terdiri dari 60-100 nukleotida. Mikroprosesor kompleks ini dibentuk oleh RNase III enzim

(48)

sebagai Pasha (Pertner of Drosha) yang diteliti pada D. melanogaster dan C. elegans. Setelah proses di nukleus, pre-miR diekspor ke sitoplasma oleh Ran-GTP yang bergantung pada enzim exportin-5. (Sen, et.al., 2009; Han, et.al., 2006)

2.2.2.3 MicroRNA matur (mature miR)

Pre-miR lebih lanjut diproses di sitoplasma oleh RNase III DICER, yang

membentuk kompleks RISC (RNA Induced Silence Complex) dengan Argonaute 2

(Ago2) dan TRBP (Tar RNA binding protein), yang memotong hairpin loop pre-miR untuk menghasilkan untaian duplex pre-miR dengan 22-nukleotida. (Gregory,

et.al., 2005). Duplex miR ini berupa miR matur yang disebut sebagai untaian

pemandu (guide strand) dan untaian pelengkap (complementary strand) yang disebut sebagai passenger strand (miR*). Setelah pengolahan, satu untaian duplex miR/ miR* (biasanya untai pemandu) dimasukkan ke dalam miR-inducer silencing complex (miRISC) yang terdiri dari DICER dan protein terkait lainnya, sedangkan miR* dilepaskan dan cepat terdegradasi. Sebagai bagian dari miRISC, miR adalah pasangan basa dari mRNA target untuk menginduksi represi translasi

(49)

Gambar 2.3 Jalur biogenesis miRNA (Sumber: Chen L.J., et.al., 2012)

2.3 MicroRNA dan Kanker Payudara

2.3.1 MicroRNA sebagai biomarker baru kanker payudara

Biomarker merupakan indikator biologis suatu penyakit yang digunakan

untuk menentukan jenis tumor (Hui, et.al., 2011). Biomarker yang efektif dan

relevan secara klinis sangat penting untuk penentuan terapi (Hauptman, et.al.,

2013) serta menilai efektivitas terapi (Hui, et.al., 2011).

Meskipun saat ini banyak dilakukan penelitian mencari biomarker yang

tepat sebagai alat diagnostik dan prognostik kanker, akan tetapi masih belum

Gambar

Tabel 2.1 Tumor marker kanker payudara
Gambar 2.1 Gambaran histopatologi irisan jaringan kanker payudara pada
Gambar 2.3 Jalur biogenesis miRNA (Sumber: Chen L.J., et.al., 2012)
Tabel 2.2 MicroRNA dari sampel jaringan dan darah yang potensial sebagai
+3

Referensi

Dokumen terkait

Model penyuluhan berbasis kecakapan hidup memberikan kemampuan untuk dapat mengenali dan menyadari mengenai apa yang dibutuhkan dalam menghadapi masalah kesehatan

Data yang dikumpulkan berupa hasil belajar siswa (nilai afektif, kognitif, dan psikomotorik), data tanggapan siswa dan guru. Data hasil belajar siswa dianalisis menggunakan

Proses pembuatan alat shot peening dimulai dengan membentuk plat sesuai dengan box plastik kemudian dirakit dengan menggunakan las listrik.. Pada kerangka baja

Berdasarkan uji F, diperoleh nilai F hitung sebesar 97,945 &gt; F tabel = 3,038 dan nilai signifikansi F = 0,000 &lt; 0,05, maka model regresi dapat digunakan untuk

Group_ID varchar 10 Groups Group_No Transform Group_Name varchar 20 Groups Group_Name Transform Address varchar 50 Groups Address Transform City varchar 20 Groups City

[r]

Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu “sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus kepercayaan-kepercayaan

Anugerah Hero memeriksan sendiri produk sepatu hasil buatannya dan langsung melakukan perbaikan bila ada cacat dan kekurangan dalam hal kerapihan kerja, (b) Produk