• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Nilai Adat ‘Hibua Lamo’ dalam Upaya Masyarakat Pasca Perpecahan Jemaat: Studi Sosiologis Masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuyaabupaten Halmahera Utara T1 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Nilai Adat ‘Hibua Lamo’ dalam Upaya Masyarakat Pasca Perpecahan Jemaat: Studi Sosiologis Masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuyaabupaten Halmahera Utara T1 BAB V"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

33

BAB V

PEMAHAMAN DAN PRAKTEK NILAI HIBUA LAMO OLEH MASYARAKAT

DESA DUMA DAN DESA MAMUYA SEBELUM DAN SESUDAH PERPECAHAN JEMAAT

5.1. Hibua Lamo Sebagai Nilai Kehidupan.

Dalam pembahasan sub bab ini, peneliti akan membahasnya secara berurutan dalam empat (4) sub-sub bab, diantaranya: (1) Pemahaman dan Praktek Nilai Hibua Lamo dalam Kehidupan Warga Masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuya; (2) Nilai Hibua Lamo dalam Relasi Anak Muda di Desa Duma dan Desa Mamuya; (3) Nilai Hibua Lamo dalam Relasi Warga Jemaat di Desa Duma dan Desa Mamuya, dan; (4) Hibua Lamo dalam Relasi Warga Jemaat dan Pendeta di Desa Duma dan Desa Mamuya.

5.1.1.Pemahaman dan Praktek Nilai Hibua Lamo Dalam Kehidupan Warga Masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuya.

Nilai-nilai Hibua Lamo sebagaimana dipahami oleh warga masyarakat di wilayah Galela (termasuk Desa Duma dan Desa Mamuya) dapat ditemukan melalui berbagai tradisi yang dipraktekan oleh masyarakat setempat. Adapun tradisi saling hormat-menghormati adalah salah satunya. Tradisi hormat-menghormati tersebut dijelaskan oleh Bapak Y. Etha1, bahwa:

“Ketika orang sedang duduk maupun berjalan. Orang yang sedang berjalan diwajibkan memberi salam kepada siapa saja yang sedang duduk di depan rumah. Salam yang harus diucapkan adalah: “e ngohi ta ka hoko si... atau e ngohi ta ka hie si...” (saya mau ke Selatan ya... atau saya mau ke Utara ya).

Sedangkan orang yang duduk wajib menyambut dan membalas salam itu dengan mengucapkan “tulu kasi, ma suyu kasi, ma moku kasi” (mampir

sebentar, mari merokok, mari makan pinang)”.2

Tradisi hormat-menghormati ini merupakan ekspresi nyata dari pemahaman masyarakat akan nilai O‟Baliara (Pelihara/Peduli) dan O‟Hayangi (sayang). Makna dari nilai

O‟Baliara yang terekspresikan melalui tradisi tersebut menandakan adanya “rasa saling peduli” diantara mereka. Sedangkan nilai O‟Hayangi melalui tradisi ini merupakan sikap “saling sayang” yang diwujudkan melalui „tegur sapa, mampir walaupun hanya duduk sebentar saja, dan berbagi cerita tentang seputar kehidupan mereka‟.

1

Almarhum Bpk.Yosafat Etha seorang Tokoh Masyarakat Desa Duma – diakses dalam bukunya Sefnat Hontong tentang Eksistensi P usara Dodara , 2012.

(2)

34

Tradisi hormat-menghormati ini nampak dalam pola relasi dan interaksi yang terbangun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Adapun tujuannya adalah untuk saling menguatkan jalinan persaudaraan dan kekeluargaan diantara mereka, sehingga melalui tradisi ini, sikap penghormatan dan penghargaan terhadap sesama manusia mendapatkan tempatnya.

5.1.2.Nilai Hibua Lamo Dalam Relasi Pergaulan Anak Muda di Desa Duma dan Desa Mamuya.

Dalam relasi pergaulan anak muda di Desa Duma dan Desa Mamuya. Pemahaman dan praktek nilai Hibua Lamo dapat ditemukan melalui bentuk-bentuk relasi yang terbangun diantara pertemanan. Konkretnya berbentuk „sapaan atau panggilan nama‟ yang berbeda dari pemberian nama asli oleh orang tua. Misalkan saja, sapaan nama yang diberikan oleh teman-teman terhadap saya (peneliti), dimana nama asli saya adalah Roberto, namun dipanggil dengan sapaan nama, yakni „Boronto‟3. Kebiasaan dengan sapaan nama yang dilakukan ini telah terlembaga dalam jalinan pergaulan atau pertemanan yang terbangun diantara sesama teman4. Pemberian nama ini pastinya memiliki alasan-alasan, diantaranya: melihat ciri-ciri fisik, keunikan diri, dan hal unik lainnya yang dimiliki oleh seseorang.

Menurut hemat peneliti, kandungan makna yang terkandung dalam pola interaksi (relasi) pergaulan anak muda ini merupakan wujud nyata dari nilai O‟Hayangi (Sayang). Pemaknaan nilai O‟Hayangi tersebut diwujudkan melalui „sapaan atau panggilan nama‟ yang maknanya adalah ungkapan rasa sayang diantara sesama teman. Hal ini bertujuan untuk membangun kedekatan emosional dan kebersamaan. Sehingga, pergaulan anak muda yang didasarkan oleh sikap saling menyayangi ini semakin memperkuat relasi-relasi pertemanan, mengingat ada trust (kepercayaan) yang terbangun didalamnya.

5.1.3. Nilai Hibua Lamo Dalam Kehidupan Warga Jemaat di Desa Duma dan Desa Mamuya.

Dalam kehidupan warga jemaat di Desa Duma maupun Desa Mamuya, warga setempat mengenal suatu tradisi yang namanya „Babilang‟. Adapun bentuk dan makna dari

tradisi „Babilang‟ sebagaimana yang dijelaskan oleh Bapak J. Buladja5, bahwa:

3

‘Boronto‟ bermakna “gendut”– hal ini dikarenakan peneliti pada usia remaja secara fisik terlihat gendut dari teman-teman yang lain.

4

Kebiasaan „sapaan nama‟ tersebut pada umumnya dipraktekan oleh anak muda di Halmahera Utara - telah terbangun lama (dari orang tua-tua sebelumnya) – waktu penelitian dilapangan, peneliti juga masih merasakan pola tersebut ketika peneliti sedang duduk dan bercerita bersama teman-teman (anak muda).

(3)

35

“Torang di wilayah Galela kanal satu tradisi yang biasanya torang jaga bilang “Babilang”. Tradisi „Babilang‟ ini biasanya torang lia kalu ada orang mati maupun orang kawin. „Babilang itu maknanya torang saling baku peduli, saling baku tolong secara sukarela deng torang pe sesama. Babilang biasanya kase baras, doi, deng barang-barang yang dong butuh.

(Masyarakat di wilayah Galela mengenal suatu tradisi yang dinamakan dengan tradisi “Babilang” (dalam bahasa Galela). Tradisi „Babilang‟ ini

biasanya dipraktekan oleh masyarakat pada saat peristiwa kematian maupun pada acara pernikahan. Tradisi “Babilang” tersebut maknanya adalah sikap

kepedulian dan tolong-menolong (gotong royong) secara sukarela dengan sesama yang menimpah peristiwa duka maupun suka. Tradisi “Babilang”

biasanya dilakukan dalam bentuk memberikan beras, uang, maupun barang-barang dibutuhkan)”.

Melihat uraian penjelasan dari Bapak J. Buladja di atas, ditemukan bahwa ada kaitan erat antara tradisi “babilang” yang dipraktekan oleh sesama warga jemaat dengan nilai-nilai

Hibua Lamo yang adalah nilai O Hayangi (Sayang), O Baliara (Pelihara), dan O, Dora

(Kasih). Tradisi ini merupakan bentuk dari sikap kepedulian, saling menopang atau menunjang, serta saling melayani dengan tujuan untuk meringankan beban bagi keluarga yang menimpa peristiwa kematian (duka cita) maupun keluarga yang merayakan acara pernikahan (suka cita). Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap beberapa informan kunci di dua lokasi penelitian (Desa Duma dan Desa Mamuya), ditemukan bahwa tradisi “Babilang” ini masih sering dipraktekan oleh warga jemaat yang ada di dua Desa tersebut, mengingat bahwa latar belakang kesukuan warga jemaat adalah masyarakat suku Galela.

Relasi antara sesama warga jemaat dalam bentuk konkrit juga ditemukan melalui proses pembangunan gedung gereja6. Tentunya pembangunan gedung gereja membutuhkan kerja sama dari seluruh warga jemaat untuk dapat menyelesaikannya. Adapun bentuk kerja sama yang dilakukan oleh warga jemaat ini selalu didasarkan pada penggabungan beberapa lingkungan layanan (LIP), dengan pembagian tugasnya masing-masing. Peneliti menggambarkannya sebagai berikut:

“Warga jemaat laki-laki (kaum muda maupun kaum bapa) melakukan kerja, dengan pembagian kerja, diantaranya:LIP I – LIP III bertanggung jawab mengambilbahan-bahan seperti bambu (bulu), kayu-kayu besar, papan, balok dan bahan-bahan lainnya yang dibutuhkan guna membangun tiang penyangga(tiang uatama) bangunan dari gedung gereja; LIP IV – LIP VI

(4)

36

melakukancampuran dari bahan semen dan pasir untuk dimasukan dalam rangka tiang utama tersebut; LIP VII – LIP X melakukan kerja-kerja untuk melanjutkan kerja-kerja dari LIP sebelumnya. Sedangkan warga jemaat perempuan (kaum mudi maupun kaum ibu) bertugas untuk mempersiapkan makanan yang akan di makan oleh warga jemaat laki-laki yang sedang bekerja, baik pada waktu siang hari (waktu makan) tepatnya pada Pukul 12.00 WIB dan pada waktu sore hari yang berkisar pada pukul 15.00 - 17.00 WIB. Kerja-kerja ini dilakukan secara rutin sebagaimana ditetapkan melalui jadwal kerja dan pembagian tugas-tugas menurut LIP yang disepakati bersama oleh warga jemaat hingga pembangunan gedung gereja selesai”.7

Gambaran kerja pembangunan gedung gereja oleh warga jemaat merupakan bentuk gotong royong, dimana masyarakat setempat mengnyebutnya „Mabari‟ (dalam bahasa

Galela) atau „Hirono‟ (dalam bahasa Tobelo) yang artinya adalah suatu ajakan untuk melakukan pekerjaan secara bersama-sama dalam rangka untuk bahu-membahu atau bersama-sama meringankan beban kerja yang ada. Adapun tradisi Mabari dalam kaitanya dengan pembangunan gedung gereja merupakan wujud nyata dari nilai O‟Dora (Kasih) dan

O‟Hayangi (Sayang).

O Dora (Kasih) memiliki makna mendalam sebagai dasar (foundation) hubungan saling mengasihi antar sesama. Inilah unsur yang mengikat mereka ke dalam suatu hubungan yang arahnya membangun hidup bersama. Tentunya pembangunan gereja memerlukan semangat dasar. Semangat O‟Dora merupakan bentuk kecintaan atau rasa saling memiliki terhadap gedung gereja tersebut, sehingga O‟Dora ini merupakan nilai dasar yang melekat pada semua warga jemaat dalam upaya menyelesaikan kerja-kerja yang ada.

Sedangkan nilai O Hayangi, maknanya sama dengan kata „Sayang‟ yang artinya masih dekat pula dengan O Dora. Akan tetapi nilai O Hayangi lebih dekat maknanya pada tolong-menolong serta saling menjaga perasaan, dan tidak saling menyakiti. Sifat tolong menolong itu nampak saat membangun gedung gereja yang bertujuan untuk meringankan beban yang begitu besar; rasa saling menjaga perasaan dan tidak saling menyakiti mengindikasikan makna bahwa proses pekerjaan seharusnya dilakukan secara sungguh-sungguh serta tidak mengharapkan satu sama lain, mengingat semua warga jemaat memiliki tugas masing-masing. Sehingga melalui semangat O‟Hayangi itulah, beban yang begitu besar mampu dikerjakan dan dituntaskan.

7 Gambaran kerja sama oleh warga jemaat dalam proses pembangunan gedung gereja Nita Duma. Hasil

(5)

37

5.1.4.Nilai Hibua Lamo Dalam Relasi Antara Warga Jemaat dan Pendeta di Desa Duma dan Desa Mamuya.

Dalam relasi persekutuan yang dilakukan oleh warga jemaat dan pelayan (pendeta), ditemui adanya kerja sama dalam bentuk kerja „panen buah kelapa‟ (kopra)8

. Proses kerja sama ini dapat digambarkan sebagai berikut:

“Proses panen buah kelapa dimulai dari beberapa tahapan, yakni:„ba paras‟

(pembersihan rumput disekitar pohon kelapa); “ba nae‟(tahap pengambilan

buah kelapa, dengan cara memanjat pohon kelapa serta menjatuhkan buahnya); „ba balah‟ dan „ba kore‟ (tahapan membelah buah kelapa dan mengeluarkan isinya); „ba fufu‟ (tahapan memasak); sampai pada tahapan

penjualan kopra (kelapa yang telah matang) ke pembeli (pengusaha)”.

Bentuk kerja kelapa yang dilakukan oleh warga jemaat dan pimpinan (pendeta) ini merupakan tradisi „mabari‟9 (ajakan kerja sama). Melihat kerja kelapa sebagaimana digambarkan dalam tahapan-tahapan kerja tersebut, menunjukan kompleksitas dari pekerjaan yang ada, yang dimulai dari proses pembersihan rumput pada sekitaran pohon kelapa sampai pada tahapan untuk penjualan buah kelapa yang telah matang (kopra). Bentuk kerja ini memerlukan jumlah tenaga kerja yang banyak.

Selain membutuhkan tenaga kerja yang banyak, dalam prakteknya pekerjaan ini membutuhkan kerja sama yang baik, kompak dan tidak saling mengharapkan diantara tenaga kerja yang ada, sehingga tiap-tiap tahapan dari kerja tersebut dapat terselesaikan dengan baik dan tepat sesuai dengan waktu yang telah ditentukan bersama. Tentunya bentuk kerja sama ini mengindikasikan terbangunnya relasi yang sifatnya harmonis antara warga jemaat dan pimpinan jemaat.

Dalam konteks ini, peneliti melihat ada korelasi antara tradisi mabari dengan nilai

O‟Hayangi yang maknanya tolong-menolong. Perihal tolong menolong itu nampak dalam praktek kerja panen buah kelapa (kopra) anatar warga jemaat dan pimpinan jemaatnya. Bentuk kerja ini bertujuan untuk meringankan beban besar yang dihadapi oleh keluarga yang bersangkutan. Sehingga melalui semangat O‟Hayangi itulah, beban yang begitu besar mampu dikerjakan dan diselesaikan secara bersama-sama.

8 Kopra adalah hasil buah kelapa yang telah matang (masak) dalam pengalaman hidup, peneliti pernah terlibat

dalam kerja-kerja seperti ini.

9 Tradisi „Mabari adalah suatu bentuk kerja sama yang dipraktekan oleh masyarakat suku Galela (termasuk

(6)

38

5.2. Implikasi Konflik GMIH Dalam Kehidupan Jemaat di Desa Duma.

Dalam sub bab ini, peneliti membaginya (klasifikasi) dalam empat (4) sub-sub bab, yang akan dibahas secara berurutan, diantaranya: (1) Jemaat yang retak dan Pecah di Desa Duma; (2) Posisi Hibua Lamo dalam Perpecahan Jemaat (Relasi Antar Warga dan Pimpinan Jemaat); (3) Hibua Lamo Menguat Melalui Basis Kekeluargaan; serta (4) Sentimen Kelompok (jemaat) Menguat Melalui Klaim Aset Gereja.

5.2.1. Jemaat yang Retak dan Pecah di Desa Duma.

Jemaat Nita Duma yang adalah tonggak awal dari perjalanan sejarah Kekristenan di Halmahera diperhadapkan dengan perpecahan jemaat akibat imbas dari adanya konflik kepentingan BPHS Sinode GMIH. Adapun kronologis perpecahan jemaat Di Desa Duma, dapat digambarkan oleh Bpk. Y.Sumtaki10, diantaranya bahwa:

“Awalnya konflik internal elit GMIH (Sinode) terasa tegang dan memanas. Maka pada saat itu dilakukanlah rapat jemaat11 pada tahun 2013. Hasil dari rapat jemaat adalah sebagian besar warga jemaat Nita Duma berpihak (mendukung) Sinode (GMIH) Pembaharuan. Sehingga muncul ketidak puasan dari sebagian kelompok warga jemaat yang tidak mendukung tersebut memilih berada pada status quo12. Akhirnya kelompok yang pro status quo tersebut memilih untuk membentuk jemaat dengan nama Hendrik van Dijken13 dan melakukan aktivitas persekutuan ibadah di lapangan Desa Duma. Terjasi saling curiga, fitnah, gosip, serta gesekan-gesekan fisik yang dilakukan antara warga jemaat yang telah berbeda tersebut. Pemerintah Desa (Pemdes) melihat kondisi inidapat memunculkan resiko-resiko sosial. Sehingga pada Februari 2014, Pemdes menginisiasi dan memfasilitasi dalam bentuk suatu pertemuan bersama yang melibatkan berbagai pihak diantaranya: kedua pihak jemaat di Desa Duma, Tokoh Masyarakat Desa Duma, Tokoh Pemuda Desa Duma, Tokoh Perempuan, Komandan Rayon Militer (Danramil) Galela, Kepala Kepolisian Sektor(Kapolsek) Galela, dan Camat. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan bersama bahwa kedua jemaat mengambil sikap netral, yakni tidak memihak ke Sinode Lama maupun Sinode Baru. Namun berlangsungnya persekutuan ibadah oleh warga jemaat yang mengambil sikap netral tersebut hanya bertahan dalam waktu dua minggu saja. Kelompok yang sebelumnya memisahkan diri, tetap mengambil sikap untuk berpihak kembali ke status quo (pro terhadap BPHS GMIH Lama). Begitu pula bagi sebagian warga jemaat yang memutuskan

10 Beliau adalah Kepala Desa Duma di wawancarai pada 22 Juni 2017.

11 Rapat jemaat dihadiri oleh warga jemaat dan pimpinan jemaat dengan agenda untuk mengambil sikap dalam

menghadapi dualisme BPHS Sinode GMIH pada waktu itu.

12Status quo berarti keadaan tetap tetap pada Sinode Lama (SSD).

(7)

39

untuk kembali berpihak pada BPHS Sinode GMIH Pembaharuan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar – kondisi internal Sinode yang sementara dilanda dualisme kepemimpinan”.

Mencermati konten wawancara ini, awalnya peneliti mengapresiasi sikap bijak dari warga dan pimpinan jemaat di Desa Duma yang mengadakan forum bersama (rapat jemaat) untuk membicarakan masalah yang ada. Hal ini menandakan bahwa ada kepedulian warga jemaat untuk turut menggumuli permasalahan yang terjadi dalam tubuh sinode GMIH.

Adapun yang disayangkan oleh peneliti adalah kenapa warga jemaat di Desa Duma bisa terpecah melalui sikap dan dukungan terhadap salah satu BPHS Sinode yang ada? Mengapa warga jemaat tidak mengambil sikap untuk berada pada posisi netral? Mengingat bahwa warga jemaat Nita Duma sebagai jemaat „mula-mula‟ yang bisa dikatakan dewasa dalam ke-Iman-an terhadap Kekristenan. Pertanyaan diatas tentunya sejalan dengan asumsi peneliti, bahwa konteks permasalahan yang ada, warga jemaat seharusnya mampu memposisikan dirinya secara netral dan tidak terkontaminasi oleh konflik kepentingan atau dualisme BPHS sinode GMIH. Tentunya, asumsi dari peneliti ini bertolak belakang dengan realitas yang terjadi, dimana fondasi jemaat mula-mula yang terbangun telah lama tersebut akhirnya juga mengalami keretakan dan pecah akibat ganasnya hantaman gelombang konflik kepentingan yang terjadi ditubuh elit sinodal.

Berselang waktu setahun, warga jemaat yang sebelumnya terpecah kemudian menyatakan sikap untuk kembali bersatu dengan posisi netral tanpa berpihak pada salah satu Sinode. Keputusan ini dihasilkan melalui forum (pertemuan) yang dimediasi oleh Pemerintah Desa (Pemdes) pada Februari 2014. Pernyataan sikap untuk kembali utuh menjadi satu jemaat merupakan kesepakatan yang manis dan membawa angin segar dalam kehidupan berjemaat di Desa Duma. Namun, potret dari penggalan kalimaat „cerai, kawin dan cerai lagi‟ merupakan realitas yang mewarnai kehidupan berjemaat di Desa Duma, dimana berselang hanya dalam waktu dua minggu, masing-masing jemaat tersebut bercerai lagi dengan menyatakan dukungan terhadap masing-masing BPHS Sinode GMIH.

(8)

40

mencari basis dan dukungan dari jemaat-jemaat di wilayah GMIH, termasuk jemaat di Desa Duma.

Perpecahan jemaat di Desa Duma tidak berhenti sampai disitu saja, tepatnya pada Mei 2017 terbentuk lagi jemaat ketiga14 hasil pemisahan diri dari jemaat Nita Duma (GMIH Pembaharuan) dengan nama jemaat yang sama, yakni jemaat “Nita Duma” (GMIH Lama). Adanya empat (4)15 orang Majelis, diantaranya; Bpk. Halen Tamera, Delfis Etha, Heryanda Imlalay, dan Nelman Tamera serta 47 jumlah kepala keluarga (KK) yang ada dalam jemaat ini. Berdasarkan observasi dilapangan, ditemukan sebuah Baliho16 yang telah terpasang (tertanam) tepatnya didepan rumahnya Bapak Halen Tamera, Sekretariat jemaat berada tepatnya dirumah Bapak Nelman Tamera, serta aktivitas persekutuan Ibadah Minggu Pagi biasanya dilakukan di rumah Bapak Indres Etha.

Sikap dari sebagian kelompok untuk membentuk jemaat ketiga tersebut mendapatkan respon dari kedua kelompok warga jemaat yang sebelumnya telah terpecah. Adapun respon warga jemaat lainya diantaranya; ada yang mendukung, ada pula yang tidak mendukung dengan menimbulkan sikap sinis, marah, perasaan negatif terhadap kelompok tersebut. Ditemukan juga letupan-letupan fisik yang ditimbulkan antara warga jemaat. Berdasarkan observasi dilapangan, ditemukan bahwa sebagian besar warga jemaat yang tidak mendukung adanya jemaat ketiga ini adalah kelompok warga jemaat Nita Duma (GMIH Pembaharuan).

Berdasarkan kondisi dari dinamika kehidupan bergereja yang ada di Desa Duma, peneliti hendak mempertanyakan kepada pihak Pemerintah Desa dalam satu konten pertanyaan, yakni: “apa peran yang pernah dilakukan oleh Pemerintah Desa dalam upaya untuk meredam resiko-resiko sosial yang mungkin saja akan terjadi? Adapun respon dari Bapak Y. Sumtaki saat diwawancarai adalah sebagai berikut:

“Munculnya jemaat ketiga ini tercipta sekat baru, dan menimbulkan potensi gesekan (konflik) baru, terlebih khususnya antara warga jemaat Nita Duma (GMIH Baru) dan jemaat Nita Duma (GMIH Lama). Gesekan ini baru saja

14 Jemaat ini terbentuk saat peneliti sedang melakukan penelitian. Anggota/warga jemaat adalah warga jemaat

Nita Duma (GMIH Pembaharuan) yang mengambil sikap keluar dan mengorganisir dirinya dalam satu jemaat. Penggunaan nama jemaat yang sama memiliki alasan-alasan substansi yang nantinya akan dibahas dalam bab pembahasan selanjutnya.

15(4) orang Majelis di jemaat Nita Duma (pro BPHS GMIH Lama) awalnya bertugas juga sebagai Majelis di

Jemaat sebelumnya – jemaat Nita Duma (pro BPHS GMIH Pembaharuan)

(9)

41

terjadi, yang menimbulkan perkelahian antara Bapak Ilu Watileo (warga jemaat Nita Duma GMIH Pembaharuan) dan Delfis Etha (Majelis Jemaat Nita Duma GMIH Lama – Jln. Kemakmuran), pada minggu 18 Juni 2017. Kami (Pemdes) memediasi penyelesaian masalah tersebut, dengan dilakukannya pola pendekatan secara kekeluargaan (adat), karena memang tidak ada pendekatan lain. Nah...ternyata mereka (kedua pihak) bukanlah orang lain, karena dari sisi adat mereka menyandang status papa mantu dan anak mantu yang telah diikat oleh ikatan adat, sehingga keduanya mengambil sikap untuk berdamai”.

Melihat realitas kehidupan bergereja yang ada di Desa Duma, ditemukan bahwa kondisi masyarakat tidak selalu berada dalam keadaan tetap (statis), melainkan berada dalam arus gonjang-ganjing seputar dinamika hidup bergereja. Sampai sekarang dinamika bergereja masih berlangsung, dimana klaim kebenaran terjadi diantara kelompok jemaat yang telah berbeda tersebut, sehingga pola relasi yang terbangun antara warga jemaat pun terkesan kaku, dengan adanya sentimen-sentimen hidup bergereja. Kondisi semacam ini sangat mempengaruhi hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan. Potret dari dinamika kehidupan bergereja seperti ini akan lebih menambah resiko kerusakan tatanan sosial yang ada, jika tidak dibendung oleh nilai-nilai kekeluargaan yang telah terbangun lama tersebut.

5.2.2.Posisi Hibua Lamo Dalam Perpecahan Jemaat di Desa Duma.

Tentunya, perpecahan yang terjadi pada jemaat di Desa Duma turut serta meretakan dan merusak relasi-relasi sosial. Hal ini dapat dilihat melalui pola relasi dan interaksi yang terbangun tidak lagi berjalan secara harmonis; diantaranya muncul sensitifitas antara sesama warga jemaat melalui rasa curiga yang mendalam, saling memfitnah, sehingga dalam hal ini posisi Hibua Lamo sebagai institusi sosial sebagai basis jalinan kekeluargaan juga diperhadapkan dengan keretakan-keretakan. Kondisi keretakan sosial yang terjadi pada warga masyarakat di Desa Duma digambarkan oleh Bapak S.P. Sumtaki17, yang pada intinya mengatakan bahwa:

“Kami selaku warga jemaat dan juga selaku tokoh adat sangat menyesalkan kenapa perpecahan ini bisa terjadi. Pada waktu awal perpecahan, hubungan-hubungan kekeluargaan mulai tercemar akibat adanya perbedaan jemaat ini. Hubungan saudara-bersaudara sudah tidak lagi baik seperti sebelumnya, muncul rasa saling curiga, rasa saling tidak percaya antara sesama keluarga mulai memudar karena alasan berbeda gereja. Waktu awal perpecahan pun

17

(10)

42

ada tindakan-tindakan kekerasan yang pernah terjadi. Namun yang terpenting bagi saya, walaupun kita sudah berbeda jemaat (gereja), kita tetap mempertahankan yang namanya jalinan kekeluargaan18, karena torang (kita) samua yang tinggal di Desa Duma ini adalah keluarga”.

Melihat konten wawancara pada kalimat kedua dan ketiga di atas, Hibua Lamo yang memuat nilai-nilai hidup bersama juga mengalami keretakan bahkan pecah akibat hantaman konflik internal gereja (jemaat) tersebut. Hubungan-hubugan kekeluargaan yang mulai tercemar merupakan indikasi dari retak dan rusaknya bangunan nilai Hibua Lamo. Pola relasi yang tidak lagi harmonis bahkan terjadinya gesekan-gesekan fisik (kekerasan) sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai Hibua Lamo yang menyimpan makna tentang indahnya hidup dalam rasa persaudaraan dan keluargaan.

Sedangkan kalimat terkahir dari Bapak S.P. Sumtaki merupakan suatu bentuk ungkapan hati, dimana terdapat harapan besar bagi warga masyarakat di Desa Duma untuk tetap hidup dan mempertahankan jalinan kekeluargaan guna dipersatukan dalam kondisi kekeluargaan yang damai, sebagaimana sebelumnya. Namun, harapan untuk hidup dan dipersatukan dalam kondisi yang damai itu telah diceraikan dengan sikap keberpihakan warga jemaat terhadap salah satu BPHS GMIH yang dilanda dualisme kepemimpinan tersebut. Misalkan, Bapak S.P. Sumtaki sebagai tokoh adat Desa Duma mampu memposisikan diri sebagai warga masyarakat Duma, namun pada sisi yang lain Bapak S.P. Sumtaki juga merupakan bagian dari warga jemaat Nita Duma (GMIH Pembaharuan). Konteks perbedaan jemaat inilah yang dimaksudkan oleh peneliti sebagai bentuk keretakan dan perceraian sosial yang terjadi antara sesama warga masyarakat di Desa Duma.

Adapun perbandingan kondisi sebelum dan sesudah perpecahan jemaat dalam kehidupan sosial di Desa Duma digambarkan oleh Bapak Y. Sumtaki, yakni bahwa:

“Ia memang sebelum dan setelah adanya persoalan gereja ini berbeda, walapun ini persolan agama tetapi punya dampak terhadap hubungan-hubungan sosial. Kalau dulunya dalam relasi sosial itu terjalin dengan baik, artinya tidak ada sekat-sekat, ketika adanya persoalan gereja seakan-akan ada tembok pemisah dalam hal ini semacam sentimen-sentimen organisasi yang terbangun sehingga terjadi pengelompokan-pengelompokan berdasarkan atribut organisasi, misalnya; klaim kebenaran „saya lama‟ dan „ngana (kamu) baru‟, saya yang

paling benar dan ngana salah. Dengan sendirinya masyarakat ini saling menghakimi; bahwa kelompok kalian salah dan kelompok kami benar.

18

(11)

43

Ahh...disinilah hubungan-hubungan kekeluargaan mulai renggang. Jadi perbedaannya sangat signifikan sebelum dan sesudah persoalan ini terjadi. Adapun pengaruhnya ketika saling klaim kebenaran oleh masing-masing kubu tersebut, berpengaruh pada proses sehar-hari, yakni sering terjadi saling menyinggung, saling memprovokasi. Akibat sentimen tersebut, meledaklah resiko sosial dalam bentuk saling memfitnah, baku mumake (saling memaki dengan kata-kata kotor), bahkan saling baku pukul (berkelahi). Dengan sendirinya laporan ke pihak Pemerintah Desa juga meningkat terkait dengan persoalan-persolan sosial ini, oleh karena persoalan gereja, sehingga persoalan sosial ini secara statistik terus mengalami peningkatan”.

Gambaran dari kondisi sebelum dan sesudah perpecahan gereja (jemaat) di Desa Duma memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Permasalahan yang terjadi dalam ranah gereja (agama) telah merambat dan melibas pada hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan. Hal ini mengindikasikan bahwa persoalan internal gereja mampu mempengaruhi serta melampaui batas-batas dimensi bidang sosial budaya yang mengakibatkan teretaknya jalinan kebersamaan dan kekeluargaan yang sudah terbangun sejak lama. Ditengah-tengah permasalahan ini, Hibua Lamo yang memuat nilai-nilai ideal yang arahnya menciptakan keharmonisan hidup bersosial seakan-akan tidak bermakna lagi. Terkesan adanya tembok pemisah, dikarenakan adanya egoistik kelembagaan gereja yang terbangun diantara kelompok jemaat tersebut.

5.2.3. Hibua Lamo Menguat Melalui Basis Kekeluargaan (Adat).

Berjalannya waktu, relasi sosial antara kedua kelompok jemaat yang awalnya renggang bahkan retak tersebut mulai menemukan titik terangnya. Hal ini ditandai dengan terbangunnya kembali pola relasi diantara kedua pimpinan jemaat (pendeta), seperti yang diungkapkan oleh Pdt. R. Tukang19, bahwa:

“Berjalannya waktu 3 tahun perpecahan jemaat ini, saya masuk, dan saya berupaya supaya kehadiran saya disini bisa mengubah kondisi ini. Kita berupaya supaya keadaan ini bisa kembali seperti semula, seperti sebelum perpecahan ini terjadi. Sekalipun kondisi perbaikan ini belum 100 % namun itu dalam upaya saya, sekalipun telah terbentuk dua bahka tiga jemaat (gereja), akan tetapi hubungan sebagai masyarakat itu harus menjadi baik”. Adapun komunikasi yang pernah kami lakukan bersama Pdt. M. Bahagia selaku pimpinan jemaat Nita Duma, baik itu di rumah sakit waktu beliau sakit dan juga pertemuan waktu itu dikantor camat. Bentuk lainnya ketika ada

19 Beliau adalah Pimpinan Jemaat Hendrik van Dijken (GMIH Lama) yang mulai bertugas pasca perpecahan

(12)

44

peristiwa kematian, kami saling melayat, sama-sama menaruh krans bunga di makam/pekuburan sebagai bukti kepedulian diantara kami, selanjutnya acara perkawinan kami juga sama-sama hadir. Jadi sepertinya kalau saya melihat hubungan komunikasi ini semakin mempererat relasi kami selaku pimpinan jemaat dan tentunya ini adalah pertanda semakin membawa hasil baik dalam kehidupan berjemaat di Desa Duma ini.”

Hal yang sama juga disampaikan oleh Pdt. M. Bahagia20 yang diwawancarai oleh peneliti pada tanggal 24 Juni 2017. Beliau menggambarkan diantaranya adalah:

“Walaupun kami bertugas disini dalam kondisi jemaat telah pecah, namun selama kami disini melihat kondisi persekutuan budaya, misalnya persekutuan masyarakat saat orang kawin (nikah) atau orang mati (meninggal) sangat luar biasa. Orang kawin (menikah) misalnya, masing-masing torang (kami) membawa „babilang‟ dalam bentuk finansial”. Memang kondisi awal perpecahan tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan pastinya renggang dan berpengaruh pada hubungan persekutuan. Namun berselangnya waktu, kami yang mulai bertugas juga sudah membangun komunikasi dengan warga jemaat maupun pimpinan jemaat Hendrik van Dijken; yakni, baku maso (saling bertemu), duduk bersama, dan melakukan aktivitas persekutuan secara bersama-sama. Contohnya pada waktu kami merayakan acara pernikahan anak kami yang bernama Nona, justru dari jemaat van Dijken juga datang untuk

babilang dengan memberikan sumbangan. Jadi, memang nilai-nilai kehidupan budaya ditemukan mulai membaik, sekalipun kondisi gereja sudah seperti ini”.

Mencermati hasil wawancara dengan kedua pimpinan jemaat di Desa Duma tersebut, dipandang bahwa kondisi sosial masyarakat pasca perpecahan jemaat bisa dikatakan mulai membaik kembali yang tergambarkan melalui bentuk perjumpaan serta pola komunikasi yang intens dilakukan oleh kedua pimpinan jemaat tersebut. Hal ini mengindikasikan adanya keterbukaan antara kedua pimpinan jemaat untuk saling menerima dan melayani warga jemaat tanpa memandang latar belakang jemaat yang telah terpecah. Pola relasi seperti ini patut untuk diapresiasi dan dipertahankan sehingga dapat dijadikan contoh oleh warga jemaat.

Tentunya relasi yang mulai terbangun membaik diantara kedua pimpinan jemaat tersebut berpengaruh pula pada membaiknya relasi diantara warga jemaatnya. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai-nilai Hibua Lamo masih tetap hidup, eksis serta posisinya mulai menguat dalam relasi-relasi sosial pasca perpecahan jemaat. Jika dikaitkan dengan perspektif nilai Hibua Lamo, maka pola relasi sebagaimana tergambarkan melalui hasil

20 Beliau mulai bertugas pada bulan Juli 2015 sebagai Pimpinan Jemaat (Pendeta) Nita Duma (GMIH

(13)

45

wawancara oleh kedua pimpinan jemaat tersebut memiliki korelasi baik dengan nilai O‟Dora (Kasih)dan O‟Baliara (Pelihara/Peduli).

Dalam konteks ini, nilai O‟Dora yang artinya „Kasih‟ terhadap sesama manusia dipraktekan oleh kedua pimpinan jemaat tanpa mengenal perbedaan latar belakang jemaatnya. Nilai O‟Dora diwujudkan melalui tradisi babilang, dimana saat peristiwa kematian keduanya saling melayat; sama-sama menaruh krans bunga di makam/pekuburan. Adapun perjumpaan-perjumpaan serta pola komunikasi yang terbangun merupakan keterpanggilan akan sikap saling melayani diantara kedua pimpinan jemaat tersebut. Sehingga, dalam konteks yang demikian kedua jemaat melalui pimpinan jemaatnya diikat dalam suatu jalinan hubungan yang bisa dikatakan harmonis.

Nilai O‟Baliara diartikan sebagai sikap tolong-menolong yang bertujuan untuk meringankan beban orang lain. Adapun perwujudan dari nilai O‟Baliara dapat ditemui melalui tradisi babilang, dimana warga jemaat jemaat Hendrik van Dijken juga turut mendukung dan meringankan beban dalam perayaan pernikahan seorang anak perempuan dari Pimpinan Jemaat Nita Duma (GMIH Pembaharuan). Sehingga melalui tradisi babilang

inilah semua warga jemaat di Desa Duma yang telah berbeda jemaat (gereja) dapat dipertemukan dan dipersatukan.

Selama melakukan observasi dilapangan, peneliti melihat bahwa pola relasi dan interaksi yang terbangun melalui tradisi babilang dalam peristiwa kematian maupun pernikahan oleh keluarga tertentu bisa dikatakan cukup harmonis, dimana perjumpaan-perjumpaan yang melibatkan dua kelompok jemaat tersebut semacam tidak ada persoalan atau gesekan yang sebelumnya pernah terjadi.21

5.2.4.Sentimen Kelompok (Jemaat) Menguat Melalui Basis Aset Gereja.

Relasi sosial warga jemaat yang semakin menguat sebagaimana terjelaskan dalam sub bab (5.2.3), tentunya tidak selalu berada dalam keadaan tetap (statis). Dinamika kehidupan bergereja kembali memanas dengan adanya aksi tuntutan yang dilakukan oleh jemaat Hendrik van Dijken. Aksi tuntutan tersebut berlokasi didepan gereja miliki jemaat Hendrik van Dijekan, tepatnya pada tanggal 13 Mei 2017. Adapun tuntutan dari warga jemaat adalah menuntut kepemilikan aset gereja (GMIH) di Desa Duma, diantaranya adalah Gedung Gereja Nita Duma dan Tanjung Wisata Duma yang sekarang ini digunakan dan dikelola oleh jemaat

21Hasil observasi lapangan peneliti melihat aktifitas (interaksi dan relasi) masyarakat yang berbeda jemaat saat

(14)

46

Nita Duma (GMIH Pembaharuan). Situasi aksi kelompok (jemaat) pada saat itu bisa digambarkan oleh peneliti, diantaranya:

“Ketika mendengar suara keributan dengan nada yang lantang dan keras, peneliti keluar dari rumah dan mendekatkan diri pada sumber suara keributan tersebut. Jarak dari rumah peneliti ke lokasi aksi kelompok tersebut berjarak sekitar 100 Meter. Peneliti mulai berjalan dan mendapatkan massa (warga jemaat) yang kelihatannya cukup banyak sedang berkumpul ramai dalam badan jalan tepatnya didepan gereja Hendrik van Dijken dengan posisi menghadap ke arah Selatan Desa Duma atau menghadap ke arah gedung gereja jemaat Nita Duma. Adapun yang dilihat peneliti saat aksi berlangsung adalah, warga jemaat mengelilingi Bapak Lodewik Sumtaki yang sedang berorasi dalam posisi berdiri didalam mobil “open cap” disertai dengan

memegang sebuah “Mic” dan “TOA” sebagai alat pengeras suara. Adapun 4 orang (ibu-ibu) yang sedang memegang bendera Merah Putih berdiri di samping kanannya Bapak L. Sumtaki yang sangat lantang menyuarakan tuntutan yang ada. Adapun pihak aparat keamanan (Tentara dan Polisi) berada didepan para kelompok aksit tersebut. Peneliti dengan serius mendengar tuntuan yang disampaikan melalui orasi dari para kelompok aksi tersebut. Namun yang terdengar sepintas ditelinga peneliti adalah: „pemilik sah aset, yakni gedung gereja Nita Duma dan Tanjung Wisata adalah jemaat Hendrik vann Dijken‟. Tuntutan tersebut disuarakan dan diteriakan kepada pihak jemaat Nita Duma (Pembaharuan), disertai dengan ungkapan-ungkapan akan melakukan tindakan penyegelan gedung gereja Nita Duma, sebagaimana yang di klaim oleh kelompok aksi tersebut. Pengklaiman akan aset gereja tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa jemaat Nita Duma yang secara organisatoris berada dibawah payung Sinode GMIH Pembaharuan (BPHS GMIH Hasil SSI) telah „kalah‟ dan dinyatakan ilegal, sehingga yang pantas (sah) menggunakan aset GMIH adalah jemaat Hendrik van Dijken selaku jemaat yang sah dibawah payung Sinode GMIH Jalan Kemakmuran – Tobelo”.

Melihat kondisi aksi tuntutan kelompok (jemaat) tersebut, maka Bapak Y. Sumtaki selaku Kepala Desa dalam responnya mengatakan bahwa:

(15)

47

Sebagaimana ungkapan Bapak Y. Sumtaki, aksi kelompok (jemaat) tersebut didasarkan pada keputusan Pengadilan Negeri Tobelo, dimana menurut kelompok aksi, bahwa yang sah menggunakan dan mengelola aset-aset GMIH adalah Sinode GMIH Lama – Jln. Kemakmuran Tobelo, yang dalam hal ini adalah jemaat Hendrik van Dijken. Bagi peneliti, terlepas dari benar atau tidaknya tuntutan tersebut, siapa yang pantas atau tidaknya menggunakan aset GMIH yang ada, bahwa aspirasi (tuntutan) ada baiknya jika ditempatkan dan disampaikan melalui suatu wadah yang sifatnya lebih etis lagi. Misalkan saja, melalui “pertemuan bersama” dimana pihak Pemerintah Desa sebagai mediator dengan melibatkan pihak penuntut dan pihak yang dituntut. Sehingga aspirasi tersebut tidak melebar dan menimbulkan bias tafsiran oleh pihak yang menjadi sasaran aksi ini, mengingat ada muatan kata-kata yang kurang enak didengar dalam seruan orasi tersebut.

Menjadi pertanyaan adalah apa makna gedung Gereja dan Tanjung Wisata bagi warga jemaat di Desa Duma? sehingga melalui aset tersebut menimbulkan sentimen-sentimen yang kemudian meledak dalam bentuk aksi tuntutan oleh kelompok warga jemaat Hendrik van Dijken. Bagi peneliti, terlepas dari aspek legalitas terkait siapa yang berhak menggunakan dan mengelola aset GMIH di Desa Duma, „gedung gereja dan tanjung wisata‟ memiliki makna tersendiri bagi kehidupan warga jemaat di Desa Duma.

Gedung Gereja Nita Duma merupakan bangunan yang penting bagi warga jemaat di Desa Duma. Mengingat bahwa sebelum perpecahan jemaat, semua warga jemaat terorganisir dalam satu jemaat, yaitu jemaat Nita Duma. Seluruh bentuk aktivitas persekutuan ibadah dilaksanakan dalam gedung gereja Nita Duma ini. Proses pembangunan gedung gereja Nita Duma, yang mulai dibangun pada saat „pemulangan‟22 sampai ditahbiskannya (diresmikan) pada tanggal 19 Juni 201323 adalah hasil upaya kerja sama dan tanggung jawab oleh seluruh warga jemaat pada saat itu. Adapun tanggung jawab finansial (uang)24 yang dibebankan kepada setiap kepala keluarga (KK) serta adanya sistem pembagian kerja berdasarkan lingkungan pelayanan (LIP) pada waktu itu25. Gedung gereja Nita Duma adalah buah dari upaya dan kerja keras seluruh warga jemaat di Desa Duma, sehingga bisa dikatakan bahwa melalui aksi tuntutan kelompok (jemaat) tersebut, terselip suatu sikap bahwa gedung gereja Nita Duma adalah “milik kita bersama”.

22 Pemulangan adalah kembalinya warga jemaat Nita Duma dari tempat pengungsian di Tobelo pasca konflik

Agama (Islam-Kristen), yakni pada oktober 2003.

23 Tanggal 19 Juni merupakan moment peringatan Pekabaran Injil oleh Hendrik van Dijken pada tahun 1866. 24

Tanggung jawab Finansial (uang) dilaksanakan dalam 6 tahap. Besaran uang dari masing-masing KK berbeda-beda tergantung dari latar belakang ekonomi – PNS, pemiliki lahan (inikator besar atau kecil), dll.

(16)

48

Sedangkan tanjung wisata memiliki nilai sejarah yang sifatnya penting bagi masyarakat setempat, dimana pada lokasi ini terdapat beberapa pohon mangga yang merupakan bentuk peninggalam sejarah yang ditanam langsung oleh Hendrik van Dijken pada tahun 1866. Pada sisi lainnya, tanjung wisata Duma merupakan salah satu tempat wisata di Halmahera Utara, yang cukup ramai dikunjungi oleh para wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan asing. Sehingga tanjung wisata Duma merupakan tempat yang strategis sekaligus potensial bagi masyarakat di Desa Duma. Bertolak dari hal itulah, maka tanjung wisata Duma merupakan suatu “basis aset” yang menimbulkan sentimen-sentimen antara kelompok (jemaat) tersebut.

Gambar 5.2.4.

Aksi Tuntutan kelompok (Jemaat) Hendrik van Dijken

Dokumentasi foto oleh peneliti pada 13 Mei 2017

5.3. Implikasi Konflik GMIH Pada Kehidupan Jemaat di Desa Mamuya.

Dalam sub bab ini, peneliti membaginya dalam tiga (3) sub-sub bab, yang akan dibahas secara berurutan, diantaranya: (1) Realitas Konflik di Mamuya; (2) Posisi Hibua Lamo dalam Konflik Jemaat Imanuel Mamuya; Sentimen Agama (Gereja) Menguat Menghancurkan Nilai „Rumah Bersama‟, serta; (3) Eksodus sebagian Warga Jemaat.

5.3.1. Realitas Perpecahan Jemaat di Desa Mamuya.

(17)

49

jemaat ini ditandai dengan adanya dua jemaat, yaitu jemaat “Imanuel Mamuya” (pro BPHS GMIH Lama) dan jemaat “Imanuel Baru Mamuya” (pro BPHS GMIH Pembaharuan). Adapun perbandingan kondisi sebelum dan sesudah adanya perpecahan jemaat di Desa Mamuya tersebut dapat digambarkan oleh Bpk. Kalvin Kololi26, bahwa:

“Berbicara tentang kondisi sebelum dan sesudah perpecahan, secara kekeluargaan dulunya memang luar biasa sangat akrab sekali, ketika terjadi perpecahan soal gereja ini justru perbedaanya sangat jauh. Kondisinya tidak seperti dulu lagi. Saya bisa katakan bahwa perpecahan gereja yang parah itu ada di Mamuya ini. Sekian lama kondisi seperti ini tidak pernah terjadi dan kondisinya tidak seburuk seperti ini”.

Perpecahan jemaat ini tentunya mencerai-beraikan kehidupan warga jemaat yang sebelumnya tergabung dalam satu jemaat (gereja). Perceraian pada ruang lingkup bergereja turut menyumbang (berdampak) pada retaknya hubungan-hubungan sosial yang tidak lagi harmonis seperti sebelumnya. Adapun bentuk kekerasan fisik, pengrusakan rumah dan indikasi pembakaran satu rumah milik warga jemaat Imanuel Baru merupakan hal yang tidak dihindarkan dari adanya perpecahan jemaat di Desa Mamuya. Kondisi ini lebih jelasnya akan dibahas secara mendalam pada sub bab berikutnya.

Gambar 5.3.1.

Salah Satu Rumah Rusak di Desa Mamuya.

Dokumentasi foto oleh peneliti pada 4 Mei 2017

26 Beliau adalah tokoh adat Desa Mamuya, dan juga sebagai warga jemaat Imanuel Mamuya diwawancarai

(18)

50

5.3.2.Posisi Hibua Lamo Dalam Konflik Jemaat di Desa Mamuya

Kondisi perpecahan jemaat turut meretakan dan merusak jalinan relasi antara warga jemaat serta saudara-bersaudara di Desa Mamuya. Jalinan relasi-relasi yang retak dan rusak tersebut digambarkan oleh Bapak Kalvin Kololi, bahwa:

”Persoalan ini membuat hubungan antara orang tua dan anak sudah kurang baik; baik itu papa (ayah) dengan anak , mama (Ibu) dengan anak sudah tidak mengenal lagi; Baku pukul (Saling berkelahi), baku dusu (kejar mengejar) dengan menggunakan parang. Ada juga tindakan-tindakan pengrusakan dan pembakaran rumah. Setelah konflik mereka (warga jemaat Imanuel Baru Mamuya) melaporkan diri untuk keluar dari masyarakat Desa Mamuya, dan sekarang menetap di wilayah Desa Wari”.

Dalam konteks perpecahan jemaat yang menimbulkan bentuk-bentuk kekerasan antara warga jemaat, posisi nilai „hidup bersama‟ (Hibua Lamo) melalui jalinan “orang

bersaudara” atau “kekeluargaan” di Desa Mamuya juga mengalami goncangan, bahkan mengalami kerusakan akibat ganasnya hantaman konflik gereja (jemaat) tersebut. Adapun rusaknya jalinan kekeluargaan dapat dilihat pada tidak ada lagi sikap saling menghargai dan menghormati antara anak dan orang tua.

Pada posisi ini slogan Ngone O Ria de O Nongoru yang artinya „kita semua

bersaudara‟ seakan-akan tidak bermakna lagi. Eksodusnya sebagian warga masyarakat yang tergabung dalam jemaat Imanuel Baru Mamuya ke wilayah (desa) lain menandakan bahwa jalinan kekeluargaan di Desa Mamuya diperhadapkan dengan kondisi yang fatal dan memprihatinkan. Hal ini lebih jelasnya akan dibahas dalam sub bab berikutnya.

5.3.3.Eksodus Sebagian Warga Jemaat Imanuel Mamuya

Adanya perpecahan dan tindakan-tindakan kekerasan fisik antara kelompok (jemaat) membuat sebagian warga masyarakat di Desa Mamuya yang tergabung dalam jemaat Imanuel Baru Mamuya memutuskan untuk keluar dan berdomisili di salah satu wilayah RT – Desa Wari. Adapun yang menjadi alasan kelompok jemaat tersebut adalah sebagaimana yang di jelaskan oleh Bapak. Cornelius Jai27, sebagai berikut:

“Kami yang meminta sendiri kepada pihak Kepala Desa selaku Pemerintah Desa. Alasannya bahwa mereka (warga jemaat Imanuel Mamuya) tidak menginjinkan kami membangun gereja di Desa Mamuya; dapat aturan dari

27 Beliau adalah Tokoh Masyarakat Desa Mamuya dan juga warga jemaat Imanuel Baru Mamuya Sekarang

(19)

51

mana sehingga kami tidak bisa membangun gereja di wilayah Desa Mamuya? Ini yang kitorang (kami) tidak suka sekali. Pemerintah Desa pun dilematis terhadap hal ini. Maka dari itu, kami tidak senang, dan kami tetap mempertahankan sikap kami untuk tidak mau lagi bergabung dengan saudara-saudara kita disana dalam satu gereja. Yang namanya prinsip tetaplah prinsip, jangan mengekor dan lain sebagainya. Maka pada akhirnya kami sudah tinggal disini, dan kami sudah berdomisili disini. Sekarang kami disini menjadi satu RT sebagai bagian dari wilayah administratif Desa Wari. Kami disini sekitar 52 KK28. Harapan dan rencana kedepan kami, kami akan berupaya untuk membentuk satu Desa defenitif”.

Adapun alasan-alasan lainnya yang membuat sebagian warga jemaat Imanuel Mamuya tidak mau kembali lagi untuk tinggal di wilayah Desa Mamuya disampaikan oleh Bapak M. Selong,29 adalah sebagai berikut:

“Saya salah satunya korban dari peristiwa ini. Rumah saya hancur; kaca-kaca rumah habis, seng rumah juga „tatarabe” (robek) akibat dihantam

menggunakan batu-batu besar. Dan rumah itu sudah saya jual kepada saudara saya. „Hati sakit‟ kalau tinggal dibawah (Desa Mamuya) deng lia-lia (dengn melihat kondisi rumah yang ada). Jadi memang niat untuk tinggal di Mamuya itu so tarada sudah (sudah tidak ada). „Kasihan...kitorang lihat anak-anak sekolah kong kamari ancam pa torang, ngoni tra inga so jadi orang itu kalau sapa kong? Yang urus kamu kalau bukan torang ini?‟ (kasihan...saya lihat anak-anak sekolah datang dan ancam sama kami, kalian tidak ingat siapa yang membuat kalian sampai sukses sekarang ini? Yang mengurusi kalian kalau bukan kami ini?) Hanya karena masalah gereja kita harus begini?.”

Mencermati alasan-alasan yang di sampaikan oleh Bpk. C. Jai dan Bpk. M. Selong di atas, bahwa perpecahan dan tindakan kekerasan fisik yang terjadi diantara kedua warga jemaat merupakan peristiwa pahit yang sangat dirasakan oleh warga jemaat Imanuel Baru Mamuya. Munculnya ungkapan rasa sakit hati serta trauma tersebut merupakan potret dari kekecewaan mereka atas semua tindakan-tindakan kekerasan yang dialami. Selain itu, alasan tidak diberikan restu oleh warga jemaat Imanuel Mamuya untuk dibangunnya gedung gereja milik jemaat Imanuel Baru Mamuya memperkuat sikap mereka untuk tidak berkeinginan kembali, sehinga memilih tinggal dan berdomisili ditempat lain.

Berdasarkan observasi lokasi tempat tinggal dari warga jemaat Imanuel Baru Mamuya, peneliti melihat sudah dibangunnya rumah-rumah warga, adanya sarana dan

28

Jumlah 52 KK tersebut sudah ditambahkan dengan beberapa KK dari jemaat Desa Ruko yang mengalami kasus yang sama.

29 Beliau adalah seorang Guru dan juga warga jemaat Imanuel Baru Mamuya di wawancarai pada tanggal 4

(20)

52

prasarana umum; diantaranya berupa 1 gedung Sekolah Dasar (SD) darurat, 1 gedung gereja darurat Imanuel Baru Mamuya, serta sementara berlangsungnya pembangunan 1 gedung Gereja jemaat Imanuel Baru Mamuya.

Gambar 5.3.3.

Bangunan Gereja Darurat, Bangunan SD Darurat, dan Proses Pembangunan Gedung Gereja Milik Jemaat Imanuel Mamuya

Dokumentasi oleh peneliti pada 4 Mei 2017

Bapak Sefnat Dawile selaku Kepala Desa Mamuya yang diwawancarai pada tanggal 4 Mey 2017 juga memberikan informasi seputar warganya yang memutuskan untuk tidak lagi berkeinginan pulang ke Desa Mamuya, diantaranya sebagai berikut:

“Berkaitan dengan hal itu adalah pilihan dan hak sebagai masyarakat untuk tinggal dimana saja, dan itu pilihan mereka dan sudah ada permintaan pemutasian penduduk secara kolektif. Jadi kami sudah mengeluarkan surat mutasi penduduk, dan kurang lebih 40 KK sudah masuk di Desa Wari. Dan „terus terang‟ ini sebuah kerugian, kerugian besar untuk kami. Hal ini berpengaruh terhadap hubungan saudara-bersaudara, dimana saudara-saudara kami meninggalkan rumah dan kampung (desa) ini. Alasan lainnya, mereka

(21)

53

listrik karena kan lampu mati, namun kecurigaannya dibakar, tetapi pelakunya kami tidak tahu sampai sekarang ini. Awalnya ada 67 KK yang keluar, dan yang kembali hampir 20 KK, sisanya ada sekitar 40-an lebih KK masih tetap bertahan. Tetapi sekarang hubungan sudah mulai membaik, dimana ada acara malam penghiburan bagi keluarga yang lagi berduka itu sudah mulai saling „baku maso‟ (bertemu). Namun kami tetap memiliki kerinduan besar kalau saudara-saudara kami bisa kembali, kami terima sebagai keluarga dan masyarakat, karena mutasi penduduk ini kan tidak mutlak mereka menetap seumur hidup ditempat itu. Jika suatu saat kalau mereka menginginkan untuk mutasi penduduk di desa tersebut, dan kembali bersama kami, kami tetap menerima mereka, karena mereka adalah keluarga kami, dan juga rumah mereka masih ada disini”.

Adapun upaya-upaya yang pernah dilakukan, baik oleh Pemerintah Desa melalui pertemuan, serta pendekatan oleh sesama keluarga dari jemaat Imanuel Mamuya (GMIH Lama) dengan maksud untuk bernegosiasi memulangkan mereka. Hasilnya, ada yang mau kembali dengan jumlah sedikit, namun dalam jumlah yang besar, yakni sekitar 40-an KK mengambil sikap untuk tidak mau kembali lagi ke Mamuya.

Gambar

Gambar 5.2.4. Aksi Tuntutan kelompok (Jemaat) Hendrik van Dijken
Gambar 5.3.1.  Salah Satu Rumah Rusak di Desa Mamuya.
Gambar 5.3.3. Bangunan Gereja Darurat, Bangunan SD Darurat, dan Proses Pembangunan Gedung Gereja

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pencapaian tahap berpikir geometri menurut Teori van Hiele dari 60 anak secara rata-rata didapatkan

Selain itu dengan mempertimbangkan Hasil Pemeriksaan Tim Asesmen Terpadu dengan hasilkesimpulan bahwa Tim Medis Asesmen menyatakan terperiksa (pelaku)

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan”. Jadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

telah tepat dengan mempertimbangkan seluruh alat bukti yang ada di dalam persidangan, namun hakim memutus pidana terhadap terdakwa terlalu rendah jika dilihat dari

Isu adalah suatu hal atau trending topic yang sedang di bicarakan saat ini yang bersifat kekinian, atau sementara tetapi jika di respon dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan

Untuk mendeskripsikan apakah ada pengaruh yang signifikan model pembelajaran problem posing dan pemberian motivasi terhadap kreatifitas berfikir matematika siswa

Ada beberapa hambatan dalam upaya penanggulangan kejahatan kasus pemalsuan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor(BPKB). Diantaranya kurangnya pemahaman Lembaga Penjaminan

Ulama kibar turut menjadi hukum jihad itu wajib, namun begitu, perkara yang penting diambil kira adalah kadar kemampuan yang melibatkan aspek fizikal