• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Sebagai Pilihan Penyelesaian Sengketa Hutang Piutang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keberadaan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Sebagai Pilihan Penyelesaian Sengketa Hutang Piutang"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

30

A. Penyelesaian Sengketa Hutang Piutang

1. Pengertian Sengketa

Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa, perselisihan atau konflik yang sedang mereka hadapi. Penyelesaian perselisihan atau konflik dapat saja dilakukan oleh kedua belah pihak secara kooporatif, dibantu oleh orang lain atau pihak ketiga yang netral.39

Sengketa atau konflik itu sendiri bermula dari suatu situasi di mana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas akan muncul kepermukaan apabila terjadiconflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua. Apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, jika reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda, terjadi apa yang dinamakan konflik atau sengketa.40

39Gary Goodpaster,Arbitrase Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995), hal.1.

40Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong,Hukum Dalam Ekonomi,(Jakarta: Grasindo,

(2)

Menurut Yahya Harahap sengketa sebagai suatu perselisihan yang timbul dari perjanjian pokok.41 Selanjutnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbirtrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengartikan sengketa sebagai suatu perbedaan pendapat.

Istilah konflik sendiri berasal dari kata Bahasa Inggris Conflict dan Dispute, yang berarti perselisihan atau percekcokan, atau pertengahan. Perselisihan atau percekcokan tentang sesuatu terjadi antara dua atau lebih. Konflik nyaris tidak terpisahkan dari kehidupan manusia sehingga sulitlah membayangkan ada orang yang tidak pernah terlibat dalam konflik apapun di tempat kerja.42

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,43 kata konflik pada umumnya diartikan sebagai percekcokan, pertentangan. Konflik sosial berarti pertentangan antara golongan masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa pengertian kata konflik, atau sengketa atau percekcokan adalah pertentangan atau ketidaksesuaian antara pihak yang sedang mengadakan hubungan atau kerjasama. Bentuk konflik ini dapat berupa konflik kepentingan, hukum, sosial. Pada umumnya konflik akan terjadi di mana saja sepanjang terjadi interaksi atau hubungan antara sesama manusia, baik antara individu dengan individu maupun kelompok dengan kelompok dalam melakukan

41M. Yahya Harahap,Arbitrase, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal.62.

42 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2001), hal.19.

43Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

(3)

sesuatu termasuk diantaranya dalam hubungan antara kreditor dan debitor dalam perjanjian kredit.

Masyarakat dalam menyelesaikan sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara formal maupun informal. Penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses adjudikasi44 yang terdiri atas proses melalui pengadilan dan arbitrase serta proses penyelesaian-penyelesaian konflik secara informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui konsultasi, negosiasi, mediasi dan konsiliasi.

2. Pengertian Hutang Piutang

Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-Undang Kepailitan) pengertian hutang seringkali ditafsirkan berbeda oleh tiap-tiap hakim peradilan, ada kalangan hakim yang menafsirkan utang dalam arti sempit, bahwa yang dimaksud dengan utang adalah utang yang timbul dari perjanjian utang piutang uang saja, sementara ada sekelompok hakim niaga lain yang berpendapat bahwa utang adalah segala sesuatu prestasi yang timbul dari perikatan yang belum dibayar oleh debitor (utang dalam arti luas).

Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, yang diumumkan dalam Lembaran Negara Nomor 131 dan Tambahan Lembaran

44 Adjudikasi merupakan proses penyelesaian sengketa untuk menjamin suatu bentuk

(4)

Negara Nomor 444345definisi hutang selain mendapatkan kejelasan juga mengalami pergeseran makna di mana Undang-Undang Kepailitan ini telah memberikan pengertian baru tentang utang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 yaitu:

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.”

Hal ini sesuai dengan utang sebagaimana yang tersurat dalam antara lain dalam Pasal 1233 KUHPerdata, Karena Undang-Undang Kepailitan merupakan penjabaran lebih khusus dari KUHPerdata maka utang dalam Undang-Undang Kepailitan adalah prestasi sebagaimana diatur dalam KUHPerdata. Utang dalam kaitan dengan perikatan bisa timbul karena perjanjian dan bisa juga timbul karena undang. Utang yang timbul karena undang bisa timbul dari undang-undang saja dan bisa pula timbul dari undang-undang-undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang. Perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang bisa berupa perbuatan yang sesuai dengan undang-undang bisa pula perbuatan yang melanggar hukum (Onrechtmatige daad).46

Utang adalah suatu bentuk kewajiban untuk memenuhi prestasi dalam perikatan, dalam hal seseorang karena perbuatannya atau karena tidak melakukan

45M. Hadi Shubhan,Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,(Jakarta:

Kencana, 2008), hal.11.

(5)

sesuatu mengakibatkan bahwa ia mempunyai kewajiban membayar ganti rugi, memberikan sesuatu atau tidak memberikan sesuatu, maka pada saat itu juga ia mempunyai utang, mempunyai kewajiban melakukan prestasi.47

3. Sengketa Hutang Piutang

Sengketa hutang piutang timbul dari adanya perjanjian pinjam meminjam.48 Secara harafiah pengaturan sengketa hutang piutang tidak dijumpai dalam ketentuan KUHPerdata, namun apabila dihubungkan dengan ketidak sepakatan antara dua pihak yang sedang melakukan suatu hubungan hukum, KUHPerdata lebih cenderung memakai istilah wanprestasi. Oleh karena itu sengketa hutang piutang merupakan suatu sengketa perdata.

Apabila seseorang tidak melunasi hutangnya, maka dianggap telah melakukan suatu perbuatan cidera janji atau wanprestasi. Pasal 1243 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menyatakan:

“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.

Sesuai Pasal 1243 KUPerdata, bahwa seseorang dinyatakan telah melakukan cidera janji atau wanprestasi apabila tidak memenuhi kewajiban yang diwajibkan kepadanya padahal tenggang waktu yang diberikan kepadanya untuk melakukan kewajiban tersebut telah lewat.

47Ibid., hal.35

48 YLBHI, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan

(6)

Sengketa hutang piutang merupakan sengketa perdata dipertegas dalam beberapa yurisprudensi, antara lain berdasarkan yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 Maret 1970 Nomor 93K/Kr/1969 yang secara tegas menyatakan “Sengketa tentang hutang-piutang merupakan sengketa perdata”.

Dalam sebuah persengketaan, perbedaan pendapat dan perbedaan yang berkepanjangan biasanya menyebabkan kegagalan proses mencapai kesepakatan. Keadaan seperti ini biasanya menyebabkan putusnya jalur komunikasi yang sehat sehingga masing-masing pihak mencari jalan keluar tanpa mementingkan nasib ataupun kepentingan pihak lainnya. Agar dapat tercipta proses penyelesaian sengketa yang efektif, prasyarat yang harus dipenuhi adalah kedua belah pihak harus sama-sama memperhatikan atau menjunjung tinggi hak untuk mendengar dan didengar. Dengan demikian proses dialog dalam pencarian titik temu (common ground) yang akan menjadi panggung proses penyelesaian sengketa baru dapat berjalan. Jika tahap kesadaran tentang pentingnya langkah ini, maka proses penyelesaian sengketa tidak berjalan dalam arti yang sebenarnya.49

Pada waktu akan menyelesaikan sengketa yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat khususnya yang berkaitan dengan lalu-lintas bisnis dan perdagangan, mereka diberikan kebebasan untuk mencari penyelesaian sengketa yang paling sesuai dengan kepentingannya. Secara umum penyelesaian sengketa dikategorikan menjadi dua yaitu:

49Suyud Margono (b),ADR & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum(Bogor:

(7)

a. penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, dan b. penyelesaian lewat non-litigasi.

Pemeriksaan perkara melalui litigasi merupakan penyelesaian sengketa secara konvensional yang dilakukan dimuka pengadilan (adversarial). Para pihak yang bersengketa diposisikan sebagai antagonis satu sama lain, sedangkan yang dimaksud dengan non-litigasi adalah penyelesaian masalah di luar pengadilan yang mana para pihak dilibatkan secara langsung untuk mencari jalan keluar yang sifatnya win-win solution.50

Banyak sengketa khususnya dalam lingkup perdagangan yang diselesaikan melalui jalur di luar pengadilan sebab proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan membutuhkan waktu yang lama karena ada upaya hukum hingga tingkat Mahkamah Agung, merugikan salah satu pihak yang kalah karena sifat penyelesaiannya tidak win-win solution dan proses peradilannya bersifat terbuka untuk umum sehingga kerahasiaannya tidak terjaga.51

4. Pengaturan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Di Indonesia sulit untuk mendapatkan pengaturan yang memadai (lengkap) mengenai penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa (APS). Dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan: “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur

50Ibid., hal.35.

51 Suyud Margono (c), Alternative Dispute Resolution dan Arbitrase, Cet. ke-1, (Bogor:

(8)

yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”52

Dalam Pasal 1 tidak memberikan penjelasan lebih lanjut apa dan bagaimana prosedur APS. Tidak disebutkan pengertian dari konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Padahal masing-masing cara penyelesaian tersebut seharusnya diatur secara rinci untuk menghindari kesalahan subjektivitas di dalam penafsiran. Dari 82 Pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 hanya ada 1 Pasal yaitu Pasal 6 yang hanya menjelaskan proses penyelesaian sengketa melalui APS.53

Hal ini sangat mungkin menimbulkan kebingungan di dalam praktik. Misalnya, dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa : “Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.” Tidak ada penjelasan lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan pertemuan langsung itu. Jadi, secara subjektif dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dengan cara bertemu secara langsung tersebut disebut negosiasi.54

52 Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Utama, 2006), hal.4.

(9)

Pada prinsipnya undang-undang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan sendiri acara dan proses arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, bahwa para pihak bebas untuk menentukan acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan sengketa. Pilihan acara dan proses pemeriksaan tersebut harus dinyatakan secara “tegas” dan “tertulis” dalam suatu perjanjian (arbitrase), dengan syarat sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.55

Kata-kata yang tertuang dalam rumusan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 memiliki makna dan obyektif yang hampir sama dengan yang diatur dalam pasal 1851 Kitab undang-undang Hukum Perdata, hanya saja, “negosiasi” menurut rumusan pasal 6 ayat (2) undang-undang No. 30 tahun 1999 tersebut :

a. Diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari dan

b. Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk “pertemuan langsung” oleh dan antara para pihak yang bersengketa.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, menentukan kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tertulis tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan dan wajib dilaksanakan dalam waktu paling lama 30

(10)

(tiga puluh) hari sejak pendaftaran. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 membedakan mediator ke dalam :

a. Mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak (Pasal 6 ayat (3)); dan b. Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif

penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak (Pasal 6 ayat (4)).

Pranata alternatif penyelesaian sengketa yang diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagaimana diatur dalam Pasal 6 terdiri dari:56 a. Penyelesaian yang dapat dilaksanakan sendiri oleh para pihak dalam bentuk

“negosiasi”;

b. Penyelesaian sengketa yang diselenggarakan melalui (dengan bantuan) pihak ketiga yang netral di luar para pihak yaitu dalam bentuk mediasi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999;

c. Penyelesaian melalui arbitrase Pasal 6 ayat (9) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

Meskipun diberikan suatu “time-frame” (jangka waktu) yang jelas, kedua ketentuan tersebut terkesan memperpanjang jangka waktu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Tidak ada suatu kejelasan apakah ketentuan tersebut bersifat memaksa atau dapat disimpangi oleh para pihak. Walau demikian dengan

56Sudargo Gautama,Hukum Dagang & Arbitrase Internasional, (Bandung: PT. Citra Aditya

(11)

prinsip efisiensi waktu tentunya para pihak dapat mempergunakan hanya salah satu dari kedua macam “mediator” tersebut.

Pendapat hukum yang diberikan oleh lembaga arbitrase, bersifat “mengikat” guna menyelesaikan suatu bentuk perbedaan paham, atau perselisihan pendapat ataupun mengenai suatu “ketidakjelasan” akan suatu hubungan hukum ataupun rumusan dalam perjanjian, yang dihadapi oleh para pihak dalam suatu perjanjian dengan “klausula” arbitrase, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan altenratif penyelesaian sengketa.

Rumusan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, menyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari pengertian tentang lembaga arbitrase yang diberikan dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa “Lembaga arbitrase adalah hukum badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa”.

(12)

terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract-wanprestasi).

Jika suatu penyelesaian sengketa dilakukan melalui suatu lembaga arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, maka proses penyelesaian sengketanya akan dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih oleh para pihak, kecuali oleh para pihak ditetapkan lain. Hal ini berarti, para pihak diberikan kebebasan oleh undang-undang untuk memilih peraturan dan acara yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa yang terjadi tanpa harus menggunakan peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang telah mereka pilih tersebut.57

5. Bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa

a. Konsultasi

Konsultasi merupakan suatu tindakan personal antara pihak klien dengan pihak konsultan yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam konsultasi peran konsultan tidak dominan karena hanya memberikan pendapat hukum sedangkan keputusan mengenai penyelesaian tersebut diambil oleh para pihak yang bersengketa.

b. Negoisasi

Negosiasi merupakan komunikasi langsung yang didesain untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak mempunyai kepentingan yang sama atau berbeda. Komunikasi tersebut dibangun oleh para pihak tanpa keterlibatan pihak

57 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, Sekretaris Badan Arbitrase Nasional

(13)

ketiga sebagai penengah.58Negosiasi menurut Fisher dan Ury adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda.59

Negosiasi dilakukan apabila digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang tidak terlalu rumit, di mana para pihak berkeinginan untuk memecahkan masalahnya. Dengan adanya itikad baik dan rasa saling percaya para pihak berusaha untuk dapat memecahkan masalahnya agar tercapai kesepakatan.

c. Mediasi

Mediasi merupakan penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.

d. Konsiliasi

Apabila pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa, proses ini disebut konsiliasi. Penyelesaian sengketa model konsiliasi mengacu pada pola proses penyelesaian sengketa secara konsensus antar pihak, di mana pihak netral dapat berperan secara aktif maupun tidak aktif. Pihak-pihak yang bersengketa harus menyatakan persetujuan atas usulan pihak ketiga tersebut dan menjadikannya sebagai kesepakatan penyelesaian sengketa.

58Rachmadi Usman, Op.Cit., hal.123.

59 Suyud Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta :

(14)

e. Arbitrase

Kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan“. Dikaitkannya istilah arbitrase dengan kebijaksanaan seolah-olah member petunjuk bahwa majelis arbitrase tidak perlu memerhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak, tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan. Pandangan tersebut keliru karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.60

Secara umum arbitrase adalah suatu proses di mana dua pihak atau lebih menyerahkan sengketa mereka kepada satu orang atau lebih yang imparsial (disebut arbiter) untuk memperoleh suatu putusan yang final dan mengikat. Dari pengertian itu terdapat tiga hal yang harus dipenuhi, yaitu: adanya suatu sengketa; kesepakatan untuk menyerahkan ke pihak ketiga; dan putusan final dan mengikat akan dijatuhkan.

Menurut Mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter.61

Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 disebutkan: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa“. Dari pengertian Pasal 1 butir 1 tersebut diketahui pula bahwa dasar dari arbitrase adalah perjanjian di antara para pihak sendiri, yang didasarkan

60Subekti,Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Binacipta, 1981), hal.1-3.

61 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu pengantar, (Yogyakarta: Penerbit

(15)

pada asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak mengikat mereka sebagai undang-undang.

Pranata arbitrase di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang dianggap merupakan sumber pokok dapat dilaksanakannya arbitrase sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 337 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941: 44) atau pasal 705 Reglemen Acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927: 227). Kedua ketentuan dasar tersebut, dianggap menjadi sumber dari berlakunya ketentuan arbitrase yang diatur pranatanya secara cukup lengkap dalam ketentuan pasal 615 sampai dengan pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847: 52) bagi seluruh golongan penduduk Hindia Belanda waktu itu. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 maka seluruh ketentuan tersebut di atas, yaitu Pasal 337 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941: 44), Pasal 705 Reglemen Acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927: 227) dan Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847: 52) dinyatakan tidak berlaku lagi.

(16)

mediasi, konsiliasi, pemberian pendapat (hukum) yang mengikat maupun perdamaian tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrasead-hoc. Ini berarti arbitrase dapat dikatakan merupakan pranata alternatif penyelesaian sengketa terakhir dan final bagi para pihak.

Dalam hukum acara, dikenal adanya istilah kompentensi relatif dan kompetensi absolut. Kedua istilah tersebut atas hubungan dengan masalah kewenangan dari pranata peradilan atau pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para pihak. Pada kompetensi relatif, kewenangan tersebut berhubungan dengan lokasi atau letak pengadilan yang berwenang. Sedangkan penyelesaian kompetensi absolut mempersoalkan kewenangan dari pranata penyelesaian sengketa yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi.

(17)

Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 mensyaratkan bahwa perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis. Syarat “tertulis dari perjanjian arbitrase dapat berwujud suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah menimbulkan sengketa. Adanya perjanjian arbitrase tertulis ini berarti meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang dimuat dalam perjanjian (pokok) ke Pengadilan Negeri. Demikian juga kiranya Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Ini berarti suatu perjanjian arbitrase melahirkan kompetensi absolut bagi para pihak untuk menentukan sendiri cara penyelesaian sengketa yang dikehendakinya.

Fokus perjanjian arbitrase ditujukan kepada masalah penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian. Perjanjian ini bukan perjanjian “bersyarat”. Pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak digantungkan pada sesuatu kejadian tertentu di masa mendatang. Perjanjian ini tidak mempersoalkan masalah cara dan pranata yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara pihak. Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi suatu kesatuan dengan materi pokok perjanjian. Perjanjian arbitrase yang lazim disebut “klausula arbitrase” merupakan tambahan yang diletakkan pada perjanjian pokok.

(18)

mempengaruhi atau di pengatuhi oleh keabsahan maupun pelaksanaan pemenuhan perjanjian pokok. Arbitrase lahir dengan maksud dan tujuan untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau sengketa yang ada di luar pengadilan.

B. Klausula Arbitrase Dalam Perjanjian

1. Arti Klausul Arbitrase

Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengartikan perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan berupa:

a. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau

b. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa.

Dengan demikian, klausula atau perjanjian arbitrase dibuat secara tertulis oleh para pihak. Contoh klausula arbitrase adalah sebagai berikut:

“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( BANI ) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir “.62

62 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, Sekretaris Badan Arbitrase Nasional

(19)

Tanpa perjanjian arbitrase, perjanjian pokok dapat berdiri dengan sempurna. Sebaliknya, tanpa adanya perjanjian pokok, para pihak tidak mungkin mengadakan ikatan perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase tidak bisa berdiri sendiri dan tidak bisa mengikat para pihak jika perjanjian arbitrase tidak berbarengan dengan perjanjian pokok. Karena yang akan ditangani oleh perjanjian arbitrase adalah mengenai perselisihan-perselisihan yang timbul dari perjanjian pokok, bagaimana mungkin mengadakan ikatan perjanjian arbitrase jika perjanjian pokok tidak ada.63

2. Bentuk Klausul Arbitrase

Tanpa adanya perjanjian arbitrase, maka para pihak tidak dapat menyelesaikan perkara mereka melalui arbitrase. Pengaturan mengenai klausul arbitrase dapat dilihat melalui Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu “Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.” Perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk suatu kesepakatan berupa:

a. Klausul arbitrase atau pactum de compromittendo, merupakan suatu ketentuan yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis bahwa para pihak akan membawa setiap perselisihan yang timbul di kemudian hari sehubungan dengan perjanjian yang telah dibuat pada arbitrase. Sungguhpun istilah “pactum de compromittendo” secara harfiah berarti “akta kompromis”. Tetapi dalam

(20)

beberapa literatur Indonesia dibedakan antara keduanya. Jadi perbedaannya semata-mata pada pemakaiannya saja.64

Perjanjian arbitrase berbentuk pactum de compromittendo ini dinyatakan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu “Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase”.

b. Akta kompromis yaitu suatu perjanjian di antara para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase setelah timbulnya sengketa. Istilah akta kompromis dipakai pada perjanjian tertulis yang berisi kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase setelah sengketa itu terjadi.

Pengaturan pembuatan akta kompromis diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu:

(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.

(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat : a) masalah yang dipersengketakan;

b) nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;

c) nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase; d) tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e) nama lengkap sekretaris;

f) jangka waktu penyelesaian sengketa; g) pernyataan kesediaan dari arbiter; dan

(21)

h) pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

(4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.

Apabila dalam perjanjian pokok para pihak terdapat perjanjian arbitrase, maka Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa di antara mereka.65Hal ini diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Perjanjian arbitrase tidak akan gugur meski ada novasi, insolvensi, pewarisan, meninggal atau bangkrutnya salah satu pihak, berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok, berakhir atau batalnya perjanjian pokok, dan jika pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut.

3. Isi Klausul Arbitrase

Para pihak pada waktu membahas perjanjian perlu dengan cermat menyusun klausula arbitrase yang komprehensif. Klausula tersebut tidak harus panjang dan rumit tetapi harus memuat komitmen yang jelas terhadap arbitrase serta pernyataan tentang sengketa apa yang diselesaikan secara arbitrase agar menjadi efektif. Secara umum, klausula-klausula arbitrase akan mencakup:66

a. komitmen/kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase; b. ruang lingkup arbitrase ;

65 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, Sekretaris Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI) Perwakilan Medan, tanggal 05 Mei 2014

66 Gary Goodpaster, Felix Oentoeng Soebagjo dan Fatmah Jatim, Arbitrase di Indonesia:

(22)

c. apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau ad hoc. Apabila memilih bentukad hoc, maka klausula tersebut harus merinci metode penunjukan arbiter atau majelis arbitrase;

Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam penunjukan arbiter adalah umur, pengalaman, pengetahuan dan latar belakangnya di bidang yang dipersengketakan serta latar belakang bidang hukum yang menjadi pekerjaannya. Seandainya para pihak tidak memilih arbitrase ad hock tetapi arbitrase institusional maka menunjuk badan arbitrase yang sudah ada sebagai tempat penyelesaian sengketa dengan menyebutkan badan arbitrase mana yang dimaksud.

d. aturan prosedural yang berlaku ;

e. tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase ;

Tempat arbitrase turut menentukan mengenai terlibatnya pengadilan nasional dalam proses arbitrase baik dalam membantu lancarnya proses arbitrase tersebut maupun intervensi pengadilan, manakala terjadi hal-hal yang bertentangan undang-undang atau pelaksanaan putusan arbitrase nantinya. Sedangkan penentuan bahasa menjadi penting mengingat penterjemahan segala hal dalam proses arbitrase, bila dilakukan dalam lebih dari satu bahasa, akan memperpanjang waktu dan menambah biaya.67

f. pilihan terhadap hukum substantif yang berlaku bagi arbitrase ;

(23)

Mengingat sistem hukum nasional yang beragam, seharusnya di dalam klausul pilihan hukum disebutkan secara tegas dan tertulis hukum mana yang akan berlaku atas perjanjian tersebut.

g. Klausula-klausula stabilitasi dan hak kekebalan (imunitas), jika relevan.

Karena hukum dalam suatu yuridiksi dapat berubah setiap saat, para pihak kadangkala menuntut adanya klausul stabilisasi yang menetapkan majelis arbitrase untuk mengabaikan perubahan-perubahan pasca kontrak dalam undang-undang negara tersebut. Hal ini melindungi kepentingan para pihak dari perubahan-perubahan hukum yang mungkin sangat mempengaruhinya. Bilamana salah satu pihak yang mengadakan kontrak adalah pemerintah atau badan/ lembaga pemerintah, para pihak sebaiknya mempertimbangkan penambahan suatu klausul yang menetapkan pelepasan hak kekebalan pemerintah yang sesuai bagi pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase, dan pelepasan hak kekebalan yang sama terhadap penyitaan atau eksekusi.68

4. Kompetensi Arbitrase dan Pengadilan

Mengenai kompetensi arbitrase dan pengadilan diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Selanjutnya Pasal 11 ayat (1) menekankan lagi bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke

(24)

Pengadilan Negeri. Ayat (2) kemudian menyebutkan, Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

Campur tangan pengadilan dalam hal-hal tertentu tersebut adalah diperkenankan sepanjang tindakan tersebut untuk memperlancar proses arbitrase, pelaksanaan putusan arbitrase, atau putusan arbitrase telah diambil berdasarkan salah satu hal-hal berikut:69

a. Putusan tidak sesuai dengan perjanjian;

b. Putusan dijatuhkan berdasarkan dokumen palsu;

c. Ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan pihak lawan; d. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat (Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999).

Kewenangan absolut arbitrase menyelesaikan perselisihan, baru dapat disingkirkan oleh pengadilan dalam hal:70

a. Perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak “batal demi hukum” atau null and void,; atau

b. Perjanjian itu sendiri tidak mungkin dilakukan atau inoperative incapable of being performed.

69 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, Sekretaris Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI) Perwakilan Medan, tanggal 05 Mei 2014

(25)

Lembaga arbitrase sebagai suatu badan swasta yang berdiri sendiri masih belum sepenuhnya terlepas dari ketergantungan terhadap lembaga pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Putusan arbitrase yang telah dijatuhkan memang berlaku mengikat bagi para pihak yang bersengketa, namun demikian pelaksanaan putusan tersebut dilakukan secara sukarela. Dalam hal salah satu pihak tidak mau melaksanakan putusan tersebut, maka untuk memaksakan putusan kepada pihak yang tidak mau melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan harus didaftarkan ke pengadilan negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan, sebagai syarat untuk memperoleh kekuatan eksekutorial.

Peranan lain dari pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasarkan Undang-Undang Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan, yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Undang-Undang Arbitrase mengatur pelaksanaan putusan arbitrase nasional dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 64.71

C. Arbitrase Penyelesaian Sengketa

1. Pengaturan Arbitrase di Indonesia

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

(26)

Penyelesaian Sengketa, ketentuan-ketentuan tentang arbitrase tercantum dalam Pasal 615 sampai Pasal 651 dari Reglement op de Rechtsvorderin (Rv), yang merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata untuk penduduk Indonesia yang berasal dari Golongan Eropa atau yang disamakan dengan mereka.72

a. Pasal 377 HIR

Tata hukum Indonesia memiliki aturan mengenai arbitrase. Landasan hukumnya bertitik tolak dari Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.

Pasal ini menegaskan hal-hal sebagai berikut :

1) Pihak-pihak yang bersangkutan diperbolehkan menyelesaikan sengketa melalui juru pisah atau arbitrase.

2) Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk keputusan.

3) Untuk itu, baik para pihak maupun arbiter “wajib“ tunduk menuruti peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa bangsa atau golongan Eropa.

b. Pasal 615-651 Rv

Landasan aturan keberadaan arbitrase berpijak pada ketentuan pasal 377 HIR. Akan tetapi, HIR maupun RBG tidak memuat aturan lebih lanjut tentang arbitrase.

72Suyud Margono,ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,(Jakarta:

(27)

Untuk mengisi kekosongan aturan tentang arbitrase, Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG langsung menunjuk aturan pasal-pasal arbitrase yang terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata(Reglement op de Bergelijke Rechtsvordering,disingkat Rv, S 1847-52jo.1849-63). Hal itu jelas terbaca dalam kalimat “wajib memenuhi peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”).

Sebagai pedoman umum aturan arbitrase yang diatur dalam Reglemen Acara Perdata meliputi lima bagian pokok berikut :

1) Bagian pertama (615-623) : Persetujuan arbitrase dan pengangkatan arbiter. 2) Bagian kedua (624-630) : Pemeriksaan di muka badan arbitrase.

3) Bagian ketiga (631-640) : Putusan arbitrase.

4) Bagian keempat (641-647) : Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase. 5) Bagian kelima (647-651) : Berakhirnya acara-acara arbitrase.73

Penggunaan Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staadblad 1847: 52), Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement Staadblad 1941: 44), dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement of de Buistengewesten, staatsblad 1927: 227) sebagai pedoman arbitrase sudah tidak memadai lagi dengan ketentuan dagang yang bersifat internasional. Pembaharuan pengaturan mengenai arbitrase sudad merupakanconditio

(28)

sine qua non dan perlu perubahan secara substantif dan filosofis atas pengaturan mengenai arbitrase yang ada.74

Pada tanggal 12 Agustus 1999, telah disahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang ini merupakan perubahan atas pengaturan mengenai arbitrase yang sudah tidak memadai lagi dengan tuntutan perdagangan Internasional. Ketentuan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering, Staadblad1847: 52), Pasal 377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement Staadblad 1941: 44), dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buistengewesten, staatsblad1927: 227), sudah tidak berlaku.

2. Jenis Arbitrase

Jenis-jenis arbitrase menurut Rv (Reglement op de Rechtsvordering) yaitu : a. ArbitraseAd Hoc(VolunterArbitrase)

Disebut dengan arbitrase ad hoc atau volunteer arbitrase karena sifat dari arbitrase ini yang tidak permanan atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutuskan dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad hoc inipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. (para) arbiter yang menangani penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian pula tata cara pengangkatan (para) arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang

(29)

waktu penyelesaian sengketa tidak memiliki bentuk yang baku. Hanya saja dapat dijadikan patokan bahwa pemilihan-pemilihan dan penentuan hal-hal tersebut terdahulu tidak boleh menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh undang-undang.

b. Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase)

Arbitrase Institusional ini merupakan suatu lembaga arbitrase yang khusus didirikan untuk menyelesaikan sengketa yang terbit dari kalangan dunia usaha. Hampir pada semua negara-negara maju terdapat lembaga arbitrase ini, yang pada umumnya pendiriannya diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri Negara tersebut. Lembaga arbitrase ini mempunyai aturan main sendiri-sendiri yang telah dibakukan. Secara umum dapat dikatakan bahwa penunjukan lembaga ini berarti menundukkan diri pada aturan-aturan main dari dan dalam lembaga ini.75 Untuk jelasnya, hal ini dapat dilihat dari peraturan-peraturan yang berlaku untuk masing-masing lembaga tersebut.

Arbitrase Institusional adalah arbitrase yang melembaga yang didirikan dan melekat pada suatu badan atau lembaga (Institution)tertentu. Sifatnya permanen dan sengaja dibentuk guna menyelesaikan sengketa yang terjadi sebagai akibat pelaksanaan perjanjian. Setelah selesai memutus sengketa, arbitrase institusional tidak berakhir. Pada umumnya, arbitrase institusional memiliki prosedur dan tata cara pemeriksaan sengketa tersendiri. Selain itu Arbiternya ditentukan dan diangkat oleh

75 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, Sekretaris Badan Arbitrase Nasional

(30)

lembaga arbitrase institusional itu sendiri. Lembaga arbitrase institusional ini di Indonesia dikenal sebagai Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).76

3. Syarat-Syarat Arbitrase

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dapat diselesaikan melalui Arbitrase atau Alternatif penyelesaian Sengketa adalah sengketa atau perbedaan pendapat yang timbul atau mungkin timbul antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah diperjanjikan sebelumnya bahwa penyelesaiannya akan ditentukan dengan cara arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan perjanjian tertulis arbitrase harus memuat :

a. Masalah yang dipersengketakan

b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;

c. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter; d. Tempat arbiter atau majelis arbiter akan mengambil keputusan; e. Nama lengkap Sekretaris;

f. Jangka waktu penyelesaian sengketa; g. Pernyataan kesediaan dari arbiter, dan

h. Pernyataan kesediaan dari para pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

76 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, Sekretaris Badan Arbitrase Nasional

(31)

Apabila perjanjian yang dibuat tidak memuat syarat-syarat seperti yang disebutkan di atas, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, akan tetapi dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal dengan alasan-alasan sebagai berikut :

a. Meninggalkan salah satu pihak; b. Bangkrutnya salah satu pihak; c. Novasi;

d. Insolvensi salah satu pihak; e. Pewarisan;

f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok

g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Dalam hal para pihak sudah memperjanjikan bahwa sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase, maka apabila timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, email atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.77

77 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, Sekretaris Badan Arbitrase Nasional

(32)

Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase tersebut harus memuat dengan jelas;78

a. Nama dan alamat;

b. Penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku c. Perjanjian atau masalah yang terjadi sengketa;

d. Dasar gugatan dan jumlah yang digugat, apabila ada; e. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan

f. Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbitrase atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.

4. Mekanisme Arbitrase

Pada prinsipnya para pihak yang bersengketa bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, penentuan acara arbitrase ini harus diperjanjikan secara tegas dan tertulis. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.

Apabila sudah ditentukan lembaga yang dipilih, maka penyelesaian sengketa dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga yang dipilih kecuali ditetapkan lain oleh para pihak. Dalam perjanjian tersebut harus ada kesepakatan mengebnai

78 Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana

(33)

ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase. Apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, maka arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila:79

a. Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu, misalnya karena adanya gugatan antara atau gugatan insidentil di luar pokok sengketa, seperti permohonan jaminan;

b. Sebagai akibat ditetapkan putusan provisional atau putusan sela lainnya, atau c. Dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase untuk kepentingan

pemeriksaan.

Sebaliknya apabila para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan dan arbiter atau majelis arbitrase telah terbentuk baik yang ditunjuk oleh para pihak, atau diperiksa dan diputus menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan secara tertulis tetapi tidak menutup kemungkinan pemeriksaan sengketa dilakukan secara lisan apabila hal ini disetujui oleh para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.80

Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase dalam pemeriksaan sengketa, para pihak yang bersengketa diberi

79 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, Sekretaris Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI) Perwakilan Medan, tanggal 05 Mei 2014

80 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, Sekretaris Badan Arbitrase Nasional

(34)

kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat masing-masing dan para pihak dapat diwakili oleh kuasanya yang dikuasakan dengan kuasa khusus.

Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat gugatannya kepada arbiter atau majelis arbitrase. Surat gugatan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya:81

a. Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak ;

b. Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti, dalam hal ini salinan perjanjian arbitrase harus juga diajukan sebagai lampiran ;

c. Isi gugatan yang jelas. Apabila isi gugatan berupa uang, harus disebutkan jumlahnya yang pasti.

Setelah menerima surat gugatan dari pemohon, arbiter atau majelis arbitrase menyampaikan satu salinan gugatan tersebut kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan gugatan tersebut oleh termohon. Apabila setelah 14 (empat belas) hari, termohon tidak menyampaikan jawabannya, maka termohon akan dipanggil untuk menghadap dimuka sidang arbitrase selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak dikeluarkannya perintah itu.82

81 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, Sekretaris Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI) Perwakilan Medan, tanggal 05 Mei 2014

82 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, Sekretaris Badan Arbitrase Nasional

(35)

Kepada termohon akan diperintahkan untuk menyerahkan salinan jawaban kepada pemohon, arbiter atau majelis arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka menghadap dimuka sidang arbitrase selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak dikeluarkannya perintah itu. Apabila selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan dilakukan, termohon masih juga tidak datang ke muka persidangan tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan akan diteruskan tanpa kehadiran termohon dan gugatan pemohon dikabulkan seluruhnya kecuali apabila gugatan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum. Apabila para pihak datang menghadap pada hari sidang yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase akan mengusahakan perdamaian dan apabila usaha perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase akan membuat akta perdamaian. Akta perdamaian yang dikeluarkan oleh arbiter atau majelis arbitrase, bersifat final dan mengikat para pihak. Sebaliknya apabilla usaha perdamaian yang dilakukan arbiter atau majelis arbitrase tidak berhasil, maka pemeriksaan terhadap pokok sengketa akan dilanjutkan.83

Kepada para pihak akan diberi kesempatan terakhir untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka wakyu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter atau arbitrase juga berhak untuk meminta kepada para pihak guna mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya

83Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, Sekretaris Badan Arbitrase Nasional

(36)

yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Selama pemeriksaan sengketa, pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturut-sertaanya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. Selama pemeriksaan sengketa atas permohonan satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisional atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa tersebut :

a. Penetapan sita jaminan;

b. Memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga; c. Menjual barang yang mudah rusak.

Pemeriksaan atau sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk, namun dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang.84

D. Keberadaan BANI Dalam Penyelesaian Sengketa Hutang Piutang

Hukum arbitrase di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah arbitrase di negeri Belanda, Arbitrase di Indonesia berkembang sejak tahun 1977 dengan

84 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, Sekretaris Badan Arbitrase Nasional

(37)

dibentuknya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan.

Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Buitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglement op Burgerlijke de Rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999. Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui artibrase tetap dipebolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.

(38)

pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada tiga badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda, yaitu :85

1. Badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia 2. Badan arbitrase tentang kebakaran

3. Badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan.

Dalam Rv terdapat ketentuan yang menyatakan sebagai berikut : “Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit”.86

Kemudian berdasarkan Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg maka ketentuan tentang arbitrase yang terdapat dalam Rv dinyatakan berlaku juga untuk golongan bumiputera. Selengkapnya Pasal 377 HIR menyatakan sebagai berikut : “Bilamana orang bumiputera dan Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah atau arbiter, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan untuk perkara yang berlaku bagi orang Eropa”.87

Dengan adanya pasal ini, maka sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda sebenarnya telah terdapat landasan hukum bagi golongan Bumiputera untuk dapat menggunakan sistem pemeriksaan perkara lewat arbitrase secara Prosedural, sementara secara material, dasar hukum berlakunya arbitrase adalah lewat prinsip

85Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja,Seri Hukum Bisnis : Hukum Arbitrase,(Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2000), hal.13

86HMN. Purwosutjipto,Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia : Perwasitan,

Kepailitan, dan Penundaan Pembayaran, cet. 3, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 75.

(39)

kebebasan berkontrak seperti terdapat dalam Pasal 1320 juncto Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

Badan arbitrase di Indonesia adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan di Indonesia atas prakarsa Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia pada tanggal 3 Desember 1977. Berdirinya BANI telah direstui oleh Menteri Keuangan, Ketua Mahkamah Agung, Ketua BAPPENAS, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian dan Presiden Republik Indonesia.

BANI telah menjalin kerjasama dan juga joint arbitration dengan Badan-badan Arbitrase Jepang, Korea Selatan, Belanda dan Australia. Sedangkan kerjasama dengan Jerman, USA, Hongkong, Taiwan masih dalam tahap penyelesaian. Telah diadakan pula pembicaraan dengan World Bank dan Asian Development Bank (ADB).88

Daftar anggota BANI yang ada sekarang berisikan nama-nama para ahli seperti ahli teknik, konstruksi, maritim/perkapalan, asuransi, perbankan, ekonomi, internasional, franchise, lingkungan, penerbangan, “commercial utilization of outer space" dan hukum. Kini sedang diproses duduknya tenaga ahli asing dalam daftar arbiter yang ada dalam BANI.

Pengetahuan para penegak hukum Indonesia tentang alternative dispute resolution(ADR) dirasa masih belum memadai dan masih perlu diberi penjelasan dan pengertian yang lebih mendalam mengenaialternative dispute resolution ini. Hal ini

88 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, Sekretaris Badan Arbitrase Nasional

(40)

perlu dilakukan mengingat bahwa sekian banyak perjanjian-perjanjian internasional kini mengarah kepada penyelesaian sengketa komersial melalui ADR ini, khususnya arbitrase dan mengingat bahwa di masa-masa mendatang GATT/GATS (Pasal XXIII), APEC, NAFTA, dan lain-lain memprioritaskan penyelesaian sengketa komersial yang mungkin terjadi melalui cara-cara di luar pengadilan.

1. Tujuan Pendirian BANI

Tujuan pendirian BANI seperti disebutkan dalam Anggaran Dasar BANI Pasal 1 adalah memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional.

2. Landasan Hukum BANI

Pada umumnya hampir semua negara di dunia memiliki lembaga arbitrase yang diatur dengan undang-undang. Indonesia sampai saat ini belum mempunyai Undang-Undang Arbitrase yang dibuat sendiri oleh pemerintah Indonesia, sehingga landasan hukum berdirinya BANI dan jalannya proses arbitrase di Indonesia ini didasarkan pada pasal 615-651 Rv, yang merupakan ketentuan peninggalan Belanda.

3. Kedudukan dan Fungsi BANI

Kedudukan BANI adalah otonom dan bebas.89 Kedudukan yang otonom dan bebas itu adalah suatu konsekuensi dari fungsi BANI sebagai “Peradilan Wasit” atau “Arbitration Court”yang kadang-kadang juga disebut “Peradilan Swasta” disamping

89 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, Sekretaris Badan Arbitrase Nasional

(41)

Peradilan Umum, atau Peradilan Sipil yang lebih dikenal dengan nama Peradilan Negeri dengan segala tingkatannya.

BANI dalam fungsinya sebagai lembaga peradilan mempunyai azas-azas yang sama dengan lembaga peradilan yang didirikan oleh Negara, yaitu mempunyai kedudukan yang otonom, bebas dan merdeka, tidak dipengaruhi oleh siapapun, kekuatan dari luar manapun dan kekuasaan apapun bentuk dan sifatnya.

Azas otonomi, kemerdekaan dan kebebasan ini penting untuk menjamin bahwa arbitrase sebagai lembaga peradilan wasit, sama seperti peradilan umum, dapat berdiri diatas atau di samping semua pihak yang bersengketa, bersikap objektif, adil, dan jujur, atas dasar keyakinan sendiri yang bersih dan murni.

4. Kompetensi dan Wewenang BANI

Dalam Pasal 1 Anggaran Dasar BANI dirumuskan bahwa BANI diberi wewenang oleh para pihak yang bersengketa untuk memeriksa dan mengadili semua sengketa perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan dan lain-lain baik yang bersifat nasional maupun internasional.

Syarat utama agar sengketa hutang piutang dapat diselesaikan melalui badan aritrase adalah adanya persetujuan pihak-pihak yang bersengketa bahwa sengketa mereka akan diselesaikan melalui arbitrase. Hakikat dari arbitrase adalah yurisdiksi.90

(42)

yurisprudensi Mahkamah Agung yang berlaku tetap, perkara-perkara di mana terdapat klausula arbitrase di mana para pihak telah sepakat untuk menyerahkan perkara yang mungkin terjadi kepada BANI, tidak bisa lagi diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri.91

Tidak semua sengketa hutang piutang dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya sengketa yaang memungkinkan dicapainya perdamaian saja yang dapat diselesaikan melalui arbitrase,92 dengan kata lain hanya sebatas sengketa yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta sengketa yang dapat diadakan perdamaian, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi :

(1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. (2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa

yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

E. Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia

1. Kesepakatan Arbitrase

Apabila para pihak dalam suatu perjanjian atau transaksi bisnis secara tertulis sepakat membawa sengketa yang timbul diantara mereka sehubungan dengan perjanjian atau transaksi bisnis yang bersangkutan ke arbitrase di hadapan Badan

91 Hasil wawancara dengan Bapak Azwir Agus, Sekretaris Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI) Perwakilan Medan, tanggal 05 Mei 2014

92 Salim HS., Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar

(43)

Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau menggunakan Peraturan Prosedur BANI, maka sengketa tersebut diselesaikan dibawah penyelenggaraan BANI berdasarkan Peraturan tersebut, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan khusus yang disepakati secara tertulis oleh para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa dan kebijaksanaan BANI. Penyelesaian sengketa secara damai melalui Arbitrase di BANI dilandasi itikad baik para pihak dengan berlandasan tata cara kooperatif dan non-konfrontatif.93

2. Prosedur Yang Berlaku di BANI

a. Pengajuan, Pemberitahuan Tertulis dan Batas Waktu

Semua pengajuan komunikasi tertulis yang akan disampaikan setiap pihak, bersamaan dengan setiap dan seluruh dokumen lampirannya, harus diserahkan kepada Sekretariat BANI untuk didaftarkan dengan jumlah salinan yang cukup untuk memungkinkan BANI memberikan satu salinan kepada masing-masing pihak, arbiter yang bersangkutan dan untuk disimpan di Sekretariat BANI. Untuk maksud tersebut, para pihak dan/atau kuasa hukumnya harus menjamin bahwa BANI pada setiap waktu memiliki alamat terakhir dan nomor telepon, faksimili, e-mail yang bersangkutan untuk komunikasi yang diperlukan. Setiap komunikasi yang dikirim langsung oleh Majelis kepada para pihak haruslah disertai salinannya kepada Sekretariat dan setiap

93Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), “Prosedur Arbitrase: Peraturan Prosedur

(44)

komunikasi yang dikirim para pihak kepada Majelis harus disertai salinannya kepada pihak lainnya dan Sekretariat.94

b. Komunikasi dengan Majelis.

Apabila Majelis Arbitrase telah dibentuk, setiap pihak tidak boleh melakukan komunikasi dengan satu atau lebih arbiter dengan cara bagaimanapun sehubungan dengan permohonan arbitrase yang bersangkutan kecuali: (i) dihadiri juga oleh atau disertai pihak lainnya dalam hal berlangsung komunikasi lisan; (ii) disertai suatu salinan yang secara bersamaan dikirimkan ke para pihak atau pihak-pihak lainnya dan kepada Sekretariat (dalam hal komunikasi tertulis).95

c. Pemberitahuan.

Setiap pemberitahuan yang perlu disampaikan berdasarkan Peraturan Prosedur ini, kecuali Majelis menginstruksikan lain, harus disampaikan langsung, melalui kurir, faksimili atau e-mail dan dianggap berlaku pada tanggal diterima atau apabila tanggal penerimaan tidak dapat ditentukan, pada hari setelah penyampaian dimaksud.96Mengenai pemberitahuan ini menurut ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail atau dengan buku ekspedisi kepada

(45)

termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.97

Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.98 Namun apabila para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.99

d. Perhitungan Waktu.

Jangka waktu yang ditentukan berdasarkan Peraturan Prosedur ini atau perjanjian arbitrase yang bersangkutan, dimulai pada hari setelah tanggal dimana pemberitahuan atau komunikasi dianggap berlaku, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Prosedur Pasal 4 ayat (3) Peraturan Prosedur Arbitrase BANI. Apabila tanggal berakhirnya suatu pemberitahuan atas batas waktu jatuh pada hari Minggu atau hari libur nasional di Indonesia, maka batas waktu tersebut berakhir pada hari kerja berikutnya setelah hari Minggu atau hari libur tersebut.100

97Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 8 ayat (1)

98Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 7

99Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 9.

100Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), “Prosedur Arbitrase: Peraturan Prosedur

(46)

e. Hari-Hari Kalender.

Penunjukan pada angka-angka dari hari-hari dalam Peraturan Prosedur BANI menunjuk kepada hari-hari dalam kalender.101

f. Penyelesaian Cepat.

Dengan mengajukan penyelesaian sengketa kepada BANI sesuai Peraturan Prosedur, semua pihak sepakat bahwa sengketa tersebut harus diselesaikan dengan itikad baik secepat mungkin dan bahwa tidak akan ditunda atau adanya langkah-langkah lain yang dapat menghambat proses arbitrase yang lancar dan adil.102

g. Batas Waktu Pemeriksaan Perkara.

Kecuali secara tegas disepakati para pihak, pemeriksaan perkara akan diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal Majelis selengkapnya terbentuk. Dalam keadaan-keadaan khusus dimana sengketa bersifat sangat kompleks, Majelis berhak memperpanjang batas waktu melalui pemberitahuan kepada para pihak.103

3. Perwakilan Para Pihak

a. Para Pihak dapat diwakili dalam penyelesaian sengketa oleh seseorang atau orang-orang yang mereka pilih. Dalam pengajuan pertama, yaitu dalam Permohonan Arbitrase Pemohon dan demikian pula dalam Jawaban Termohon atas Permohonan tersebut, masing-masing pihak harus mencantumkan nama, data alamat dan keterangan-keterangan serta kedudukan setiap orang yang mewakili

(47)

pihak bersengketa dan harus disertai surat kuasa khusus asli bermaterai cukup serta dibuat salinan yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Prosedur Arbitrase BANI yang memberikan hak kepada orang tersebut untuk mewakili pihak dimaksud.104

b. Namun demikian, apabila suatu pihak diwakili oleh penasehat asing atau penasehat hukum asing dalam suatu perkara arbitrase mengenai sengketa yang tunduk kepada hukum Indonesia, maka penasehat asing atau penasehat hukum asing dapat hadir hanya apabila didampingi penasehat atau penasehat hukum Indonesia.105

4. Peraturan Prosedur Penyelesaian Sengketa di BANI

a. Permohonan Arbitrase

Prosedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran dan penyampaian Permohonan Arbitrase oleh pihak yang memulai proses arbitrase (Pemohon) pada Sekretariat BANI.106Dalam Permohonan Arbitrase Pemohon dan dalam Jawaban Termohon atas Permohonan tersebut Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan penunjukan tersebut kepada Ketua BANI.107

Permohonan Arbitrase harus disertai pembayaran biaya pendaftaran dan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan BANI. Biaya administrasi meliputi biaya administrasi Sekretariat, biaya pemeriksaan perkara dan biaya arbiter serta biaya

(48)

Sekretaris Majelis. Apabila pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase seperti yang dimaksud oleh Pasal 30 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka pihak ketiga tersebut wajib untuk membayar biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya sehubungan dengan keikutsertaannya tersebut.108 Pemeriksaan perkara arbitrase tidak akan dimulai sebelum biaya administrasi dilunasi oleh para pihak sesuai ketentuan BANI.109

Surat Permohonan Arbitrase, yang berisi Tuntutan Pemohon yang disampaikan kepada BANI, oleh BANI, setelah Majelis terbentuk, diteruskan kepada setiap anggota Majelis dan pihak lain (para pihak). Syarat-syarat Surat Permohonan Arbitrase harus memuat sekurang-kurangnya:110

1) Nama dan alamat para pihak;

2) Keterangan tentang fakta-fakta yang mendukung Permohonan Arbitrase; 3) Butir-butir permasalahannya; dan

4) Besarnya tuntutan kompensasi yang dituntut.

Pemohon harus melampirkan pada Surat Permohonan tersebut suatu salinan perjanjian bersangkutan atau perjanjian-perjanjian yang terkait sehubungan sengketa yang bersangkutan dan suatu salinan perjanjian arbitrase (jika tidak termasuk dalam perjanjian dimaksud), dan dapat pula melampirkan dokumen-dokumen lain yang oleh Pemohon dianggap relevan. Apabila dokumen-dokumen tambahan atau bukti lain

(49)

dimaksudkan akan diajukan kemudian, Pemohon harus menegaskan hal itu dalam Surat Permohonan tersebut.111

b. Pendaftaran

Setelah menerima Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen serta biaya pendaftaran yang disyaratkan, Sekretariat harus mendaftarkan Permohonan itu dalam register BANI.112Badan Pengurus BANI akan memeriksa Permohonan tersebut untuk menentukan apakah perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase dalam kontrak telah cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk memeriksa sengketa tersebut.113

c. Tanggapan Termohon

Apabila Badan Pengurus BANI menentukan bahwa BANI berwenang memeriksa, maka setelah pendaftaran Permohonan tersebut, seorang atau lebih Sekretaris Majelis harus ditunjuk untuk membantu pekerjaan administrasi perkara arbitrase tersebut.114 Sekretariat harus menyampaikan satu salinan Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen lampirannya kepada Termohon, dan meminta Termohon untuk menyampaikan tanggapan tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.115

Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah menerima penyampaian Permohonan Arbitrase, Termohon wajib menyampaikan Jawaban. Dalam Jawaban

(50)

itu, Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan penunjukan itu kepada Ketua BANI. Apabila, dalam Jawaban tersebut, Termohon tidak menunjuk seorang Arbiter, maka dianggap bahwa penunjukan mutlak telah diserahkan kepada Ketua BANI.116

Ketua BANI berwenang, atas permohonan Termohon, memperpanjang waktu pengajuan Jawaban dan atau penunjukan arbiter oleh Termohon dengan alasan-alasan yang sah, dengan ketentuan bahwa perpanjangan waktu tersebut tidak boleh melebihi 14 (empat belas) hari.117

d. Pengangkatan Majelis Arbitrase

Setelah terbentuk atau ditunjuk, Majelis Arbitrase akan memeriksa dan memutus sengketa antara para pihak atas nama BANI dan karenanya dapat melaksanakan segala kewenangan yang dimiliki BANI sehubungan dengan peme-riksaan dan pengambilan keputusan-keputusan atas sengketa dimaksud. Sebelum dan selama masa persidangan Majelis dapat mengusahakan adanya perdamaian di antara para pihak. Upaya perdamaian tersebut tidak mempengaruhi batas waktu pemeriksaan di persidangan.118

e. Tempat Sidang

Seluruh persidangan dilakukan tertutup untuk umum, dan segala hal yang berkaitan dengan penunjukan arbiter, termasuk dokumen-dokumen, laporan/catatan sidang-sidang, keterangan-keterangan saksi dan putusan-putusan, harus dijaga

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian menunjukaan bahwa tidak berdayanya Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dikarenakan

Kewenangan peninjauan putusan arbitrase secara formal tersebut diberikan kepada ketua pengadilan negeri berdasarkan pasal 26 ayat (2) UU. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan

Mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui badan arbitrase Syariah dengan pedoman pada undang- undang nomor 30 tahun 1999 menunjukkan bahwa arbitrase

Ketentuan dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur mengenai pilihan dalam penyelesaian sengketa

Berdasarkan hasil penelitian menunjukaan bahwa tidak berdayanya Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dikarenakan

Sedangkan proses penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase menurut Pasal 27 sampai dengan 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan memiliki keputusan lembaga

Pengertian arbitrase juga termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999 yaitu: “Lembaga Arbitrase adalah badan

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum, Pasal 1 angka 1: Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar