• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Pendapatan Perkapita di Pemko Pemkab Provinsi Sumatera Utara tahun 2011-2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Pendapatan Perkapita di Pemko Pemkab Provinsi Sumatera Utara tahun 2011-2013"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Pendapatan Perkapita

Pendapatan perkapita merupakan pendapatan rata-rata penduduk suatu negara pada periode tertentu (umumnya satu tahun).Pendapatan perkapita dipengaruhi oleh PDRB dan jumlah penduduk, dengan kata lain pendapatan perkapita mencerminkan pendapatan rata-rata yang diperoleh di suatu daerah, sehingga jika pendapatan tersebut besar masyarakat pun cenderung memiliki pengeluaran yang lebih besar untuk kebutuhannya, sehingga dapat memenuhi kebutuhannya (Kuncoro, 2004).

Selanjutnya menurut Kuncoro (2004), Gaspersz dan Feony (2003) dalam Harianto dan Adi (2007) indikator pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB) atau PDRB dianggap tidak selalu tepat karena tidak mencerminkan makna pertumbuhan yang sebenarnya. Lebih lanjut disebutkan bahwa indikator pendapatan perkapita lebih komprehensif dalam mengukur pertumbuhan ekonomi karena lebih menekankan kemampuan daerah untuk meningkatkan PDRB karena secara simultan menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi mampu meningkatkan kesejahteraan seiring dengan laju pertambahan penduduk.

(2)

Hukum tersebut dirumuskan sebagai berikut : ����

���� >

���� −1

���� −1 >⋯>

���� − � ���� − �

Keterangan :

Gp C = pengeluaran pemerintah perkapita

Yp C = produk atau pendapatan nasional perkapita T = indeks waktu (tahun)

Dalam hukum Wagner ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat yaitu tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, perkembangan demografi, dan ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintah (Dumairy, 1997). Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang (Boediono, 1999).Pengertian tersebut mencakup tiga aspek yaitu proses, output perkapita dan jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses bukan gambaran ekonomi pada suatu saat.Hal ini mencerminkan aspek dinamis dari suatu perekonomian yaitu melihat bagaimana perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output perkapita. Dalam hal ini berkaitan output total (Gross Domestic Product) dan jumlah penduduk karena output perkapita adalah total dibagi dengan jumlah penduduk. Jadi proses kenaikan output perkapita harus dianalisa dengan melihat apa yang terjadi dengan output total di satu pihak dan dan jumlah penduduk di pihak lain.

Musgrave (1991) menyatakan bahwa pendekatan alternatif penyebab semakin meningkatnya jumlah anggaran pemerintah antara lain adalah :

(3)

efisien menghendaki adanya peningkatan rasio pembelanjaan pemerintah terhadap gross national product (GNP).

b. Perubahan populasi penduduk; perubahan populasi bisa merupakan suatu penentu utama porsi pengeluaran pemerintah. Perubahan tingkat pertumbuhan populasi menyebabkan perubahan distribusi umur dan kecenderungan ini direfleksikan dalam perubahan pengeluaran seperti kebutuhan pendidikan, fasilitas perumahan, dan sebagainya. Oleh sebab itu kebutuhan akan pelayanan umum dipengaruhi pula oleh faktor-faktor seperti mobilitas penduduk yang dapat mendorong pertumbuhan kota-kota baru dan berakibat meningkatnya permintaan fasilitas publik.

2.1.2.Belanja Modal

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar (BAS) mendefinisikan belanja modal adalah pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja, bukan untuk dijual.

Belanja modal yang dilakukan pemerintah daerah diantaranya adalah pembangunan dan perbaikan sektor pendidikan, kesehatan dan transportasi, sehingga masyarakat juga memiliki manfaat dari pembangunan daerah.

Peraturan Direktorat Jenderal (Perdirjen) Perbendaharaan, suatu belanja dikategorikan sebagai belanja modal apabila :

a. Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya yang menambah masa umur, manfaat dan kapasitas.

b. Pengeluaran tersebut melebihi batasan minimum kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang telah ditetapkan pemerintah.

(4)

Pada Pasal 53 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.Nilai pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang dianggarkan dalam belanja modal hanya sebesar harga beli/bangun aset.

Dalam PSAP 07/PP/No.71/2010, aset tetap di neraca diklasifikasikan menjadi enam akun sebagaimana dirinci dalam penjelasan berikut ini:

a. Tanah

Tanah yang dikelompokkan dalam aset tetap adalah tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum dan dalam kondisi siap digunakan.Tanah yang digunakan untuk bangunan, jalan, irigasi, dan jaringan tetap dicatat sebagai tanah yang terpisah dari aset tetap yang dibangun di atas tanah tersebut.

b. Peralatan dan Mesin

(5)

dan pemancar; alat kedokteran dan kesehatan; alat laboratorium; alat persenjataan; komputer; alat eksplorasi; alat pemboran; alat produksi, pengolahan, dan pemurnian; alat bantu eksplorasi; alat keselamatan kerja; alat peraga; dan unit peralatan proses produksi.

c. Gedung dan Bangunan

Gedung dan bangunan yang dikelompokkan dalam aset tetap adalah gedung dan bangunan yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum dan dalam kondisi siap digunakan.Termasuk dalam jenis gedung dan bangunan ini antara lain: bangunan gedung, monumen, bangunan menara, dan rambu-rambu.

d. Jalan, Irigasi, dan Jaringan

Jalan, irigasi, dan jaringan yang dikelompokkan dalam aset tetap adalah jalan, irigasi, dan jaringan yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum dan dalam kondisi siap digunakan. Contoh aset tetap yang termasuk dalam klasifikasi ini mencakup antara lain: jalan dan jembatan, bangunan air, instalasi, dan jaringan.

e. Aset Tetap Lainnya

Aset tetap lainnya mencakup aset tetap yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam kelompok aset tetap di atas, tetapi memenuhi definisi aset tetap.Aset tetap lainnya ini dapat meliputi koleksi perpustakaan/buku dan barang bercorak seni/budaya/olah raga.

(6)

Konstruksi dalam pengerjaan mencakup aset tetap yang sedang dalam proses pembangunan, yang pada tanggal neraca belum selesai dibangun seluruhnya.

2.1.3. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah adalah salah satu sumber penerimaan yang harus selalu terus-menerus di pacu pertumbuhannya.Dalam otonomi daerah ini kemandirian pemerintah daerah sangat dituntut dalam pembiayaan pembangunan daerah dan pelayaan kepada masyarakat. Oleh sebab itu pertumbuhan investasi di pemerintah kabupaten dan kota di Sumatera Utara perlu diprioritaskan karena diharapkan memberikan dampak positif terhadap peningkatan perekonomian regional.

Halim (2001), Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pasal 157 UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2004 menjelaskan bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri:

a. Pajak Daerah.

Sesuai UU Nomor 34 Tahun 2000 jenis pendapatan pajak untuk kabupaten/kota terdiri dari:

1) Pajak hotel, 2) Pajak restoran, 3) Pajak hiburan, 4) Pajak reklame,

5) Pajak penerangan jalan,

(7)

b. Retribusi Daerah.

Retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi.Terkait dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 jenis pendapatan retribusi untuk kabupaten/kota meliputi objek pendapatan yang terdiri dari 29 objek.

c. Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan.

Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup:

1) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD. 2) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/BUMD. 3) Bagian labapenyertaan modal pada perusahaan milik swasta swasta atau

kelompok usaha masyarakat. d. Lain-lain PAD yang sah.

(8)

melakukan analisis elastisitas PAD terhadap PDRB menunjukkan bahwa setiap terjadi perubahan PDRB akan memberikan dampak yang positip dan signifikan terhadap perubahan PAD.

Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Pasal 1, Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang asli digali di daerah yang digunakan untuk modal dasar Pemerintah daerah dan membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan terhadap pemerintah pusat.

Saragih (2006) dalam Harianto dan Adi (2007) menyatakan bahwa peningkatan PAD harus berdampak pada perekonomian daerah.Peningkatan PAD menunjukkan adanya peningkatan partisipasi publik terhadap jalannya pemerintahan di daerahnya.Pemda yang salah satu tugasnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat memerlukan PAD sebagai bentuk kemandirian di era otonomi daerah.

2.1.4 Dana Perimbangan

2.1.4.1 Pengertian Dana Perimbangan

Dana Perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik (Widjaja, 2002).

(9)

1. Sebagai tindakan nyata untuk mengurangi ketimpangan pembagian "kue nasional", baik vertikal maupun horisontal.

2. Suatu upaya untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran pemerintah dengan menyerahkan sebagian kewenangan dibidang pengelolaan keuangan negara dan agar manfaat yang dihasilkan dapat dinikmati oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Namun selama ini sumber dana pembangunan daerah di Indonesia mencerminkan ketergantungan terhadap sumbangan dan bantuan dari pemerintah pusat (Sumiyarti dan Imamy, 2005). Sejalan dengan itu, Elmi (2002) juga menyatakan bahwa ketidakseimbangan fiskal (fiscal inbalance) yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah selama ini telah menyebabkan ketergantungan keuangan pemerintah daerah kepada bantuan dari pemerintah pusat yang mencapai lebih dari 70 persen kecuali Propinsi DKI Jakarta. Pemerintah daerah kepada bantuan dari pemerintah pusat yang mencapai lebih dari 70 persen kecuali Propinsi DKI Jakarta. Padahal sebenarnya bantuan dana dari pemerintah pusat tersebut hanyalah untuk rangsangan bagi daerah agar lebih meningkatkan sumber penerimaan pendapatan asli daerahnya, yang merupakan bagian penting dari sumber penerimaan daerah, bukan menjadikannya sebagai prioritas utama dalam penerimaan daerah.

2.1.4.2. Pembagian Dana Perimbangan 2.1.4.2.1. Dana Alokasi Umum(DAU)

(10)

keuangan antara pusat dan daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Alokasi Umum ini bersifat Block Grant yang berarti penggunaan dana ini diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dimana dasar hukum pengalokasian dana ini sesuai dengan Undang-undang nomor 33 tahun 2003 tentang perimbangan dana antara pusat dan daerah besaran Dana Alokasi Umum (DAU) ini sekurang-kurangnya 26 % dari pendapatan dalam negeri (PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN. Sedangkan proporsi DAU untuk daerah Propinsi danKabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan dan kewenangan antara propinsi dan Kabupaten/kota formula DAU menggunakan pendekatan celah fiskal (fiskal gap) yaitu selisih antara kebutuhandaerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capasity) (Sutedi, 2009).Penyaluran DAU,DAK dan DBH disalurkan dengan cara pemindah bukuan dari rekening Kas Umum Negara ke Kas Umum Daerah. Hal ini berkaitan dengan perimbangan antara pusat dan daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan antara pusat dan daerah (Darwanto dan Yustikasari, 2007) lebih lanjut menurut Darwoto dan Yustikasari (2007) hal tersebut menunjukkan terjadinya transfer yang cukup signifikan di dalam APBN dari Pemerintah Pusat dan Daerah, dimana dana tersebut secara leluasa dapat dipergunakan untuk pelaksanaan desentralisasi.

Peraturan terkait mengenai dana alokasi umum antara lain : 1.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005

(11)

2.1.4.2.2. Dana Alokasi Khusus

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan menyebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) ádalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanaikegiatan khusus yang merupakan urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional yang dilaksanakan di tingkat daerah.Kegiatan khusus ini sulit untuk diperkirakan dengan rumus alokasi khusus.DAK ditujukan untuk daerahkhusus yang terpilih untuk tujuan khusus.Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pernerintah pusat sepenuhnya merupakanwewenang pemerintah pusat untuk tujuan nasional Kebutuhan khusus alokasi DAK meliputi :

1) Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak rnempunyai akses yang memadai ke daerah lain.

2) Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang menampung transmigrasi. 3) Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah pesisir kepulauan

dan tidak mempunyai prasarana dan sarana yang rnemadai.

4) Kebutuhan prasarana dansarana fisik di daerah guna mengatasi dampak Kerusakan lingkungan.

(12)

Pembiayaan yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) ini bisa disamakan dengan belanja pembangunan karena digunakan untuk mendanai peningkatan kwalitas pelayanan publik berupa pembangunan sarana dan prasana publik ( Ndadari dan Adi, 2008).Halim dan Abdullah (2006) aset tetap yang dimiliki dari penggunaan belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintahan daerah.Abimanyu (2005) yang dikutip oleh Harianto dan Adi (2007) infrastruktur dan sarana prasana yang ada di daerah akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Jika sarana prasana yang memadai di daerah itu maka masyarakat akandapat melaksanakan aktivitas pekerjaan sehingga akan berdampak positif terhadap roda perekonomian sehingga akan berpengaruh pada produktifitas yang semakin meningkat.

Peraturan terkait mengenai dana alokasi khusus antara lain: 1.UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah

2.UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah 3.PP No.55/2005 tentang Dana Perimbangan.

2.1.4.2.3. Dana Bagi Hasil

(13)

penerimaan tersebut dilakukan dengan presentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil.

Penerimaan DBH pajak bersumber dari: 1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),

2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

3) Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh WPOPDN) dan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21).

Sedangkan penerimaan DBH SDA bersumber dari: Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan, Pertambangan Minyak Bumi, Pertambangan Gas Bumi, dan Pertambangan Panas Bumi.

Pada umumnya setiap daerah memiliki sektor unggulan sendiri-sendiri dalam hal keuangan dan hal ini sangat bergantung pada pemerintah daerah itu sendiri dalam menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang ada.Demikian halnya dalam sistem DBH yang bersumber dari pajak dan SDA.Mekanisme bagi hasil SDA dan pajak bertujuan untuk mengurangi ketimpangan vertikal pusat-daerah.Namun, pola bagi hasil tersebut dapat berpotensi mempertajam ketimpangan horisontal yang dialami antara daerah penghasil dan non penghasil.horisontal tersebut disebabkan karena dalam kenyataannya karakteristik daerah di Indonesia sangat beraneka ragam.

(14)

kaya. (Astuti dan Joko, 2005) menyatakan bahwa potensi penerimaan daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Pajak Penghasilan dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa daerah saja Berdasarkan Undang-Undang PPh yang baru (UU Nomor 17 Tahun 2000), mulai tahun anggaran 2001 Daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax), yaitu PPh Pasal 21 serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi.Ditetapkannya PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN).Volume perolehan pajak di daerah berasosiasi kuat dengan besarnya tingkat pendapatan sebagai basis pajak. Dengan demikian, daerah dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi cenderung akan memperoleh DBH pajak yang lebih tinggi pula.DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakansalah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan danmemenuhi belanja daerah yang bukan berasal dari Pendapatan Asli Daerah selain Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu

(15)

diperoleh dari hasil pembagian PDRB dengan jumlah penduduk. Variabel independen penelitian ini adalah PAD, transfer pemerintah pusat, dan belanja modal. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa secara individual hanya PAD yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan perkapita sedangkan transfer pemerintah pusat dan belanja modal secara individual berpengaruh positif tidak signifikan terhadap pendapatan perkapita. Kesimpulan berdasarkan uji simultan diperoleh hasil bahwa PAD, transfer pemerintah pusat, dan belanja modal berpengaruh signifikan terhadap pendapatan perkapita kabupaten/kota se-Sumatera Utara.

Walidi (2009) meneliti pengaruh DAU terhadap pendapatan perkapita dengan belanja modal sebagai variabel intervening.Populasi yang digunakan adalah seluruh kabupaten/kota yang terdapat di Sumatera Utara dengan rentang waktu tahun 2004 – 2006.Metode analisis yang digunakan adalah regresi bertingkat.Data sekunder diperoleh dari BPS dan situs Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.Kesimpulan penelitian ini yaitu secara individual DAU berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan perkapita dan belanja modal secara individual berpengaruh positif tidak signifikan terhadap pendapatan perkapita.Kesimpulan berdasarkan uji simultan ditemukan bahwa DAU dan belanja modal berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan perkapita kabupaten/kota se-Sumatera Utara.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Nama peneliti dan Tahun penelitian

Judul penelitian

Variabel penelitian

Metode yang digunakan

(16)

1. Irawan

(17)

2.3. Kerangka Konseptual

H1 H1

g

H2

H4

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Dari semua penjelasan tinjauan teoritis peneliti menyusun kerangka konseptual seperti gambar di atas.Kerangka konseptual adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor yang penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Kerangka konseptual akan menghubungkan secara teoritis antara variabel-variabel penelitian yaitu variabel bebas dan variabel terikat.Kerangka

Pendapatan asli daerah (PAD)

(X2)

Dana perimbangan:

DAU

DAK

DBH

(X3)

Pendapatan perkapita

(Y) Belanja modal

(X1)

(18)

konseptual di atas menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara semua variabel bebas dengan variabel terikat baik secara parsial maupun secara simultan.

2.4. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konseptual, maka hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1) Hipotesis 1 (H1) : Belanja Modal berpengaruh secara parsial terhadap pendapatan perkapita.

2) Hipotesis 2 (H2) : Pendapatan asli daerah berpengaruh secara parsial terhadap pendapatan perkapita

3) Hipotesis 3(H3) : Dana perimbangan berpengaruh secara parsial terhadap pendapatan perkapita

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Ketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi kewajiban pembayaran klaim ( schedule f) 0 4 Jumlah dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin

Karenanya, penulis membuat sebuah media pembelajaran dengan tujuan untuk memberikan kemudahan bagi orang tua untuk mengenalkan cerita rakyat Pulau Jawa kepada anak melalui

Banyuwangi Jember Bondowoso Situbondo Lumajang Probolinggo Sumenep Sampang Pamekasan Bangkalan Tuban Bojonegoro Lamongan Gresik Surabaya Sidoarjo Pacitan Trenggalek Tulungagung

Dalam penulisan ini penulis membuat website profile perusahaan sebagai salah satu sarana informasi untuk masyarakat, khususnya mitra perusahaan atau orang-orang yang terkait

Disini, penulis akan membahas langkah-langkah dalam membuat database untuk suatu kegiatan reservasi dalam kapal pesiar (Cruise Ship), bagaimana cara pemesanan (reservasi) secara

KEPALA BAPPEDA PROVINSI JAWA TIMUR PADA RAPAT KOORDINASI DAN SINKRONISASI.. PERENCANAAN PEMBANGUNAN DENGAN PEMERINTAH KAB/KOTA SE

[r]

Masalah yang kami kaji dalam penelitian ini adalah melakukan perbaikan prototipe protesa yang dilakukan pada penelitian sebelumnya baik dari segi desain dan