• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN PEMBAHARUAN DALAM PENGEMBANGAN. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MANAJEMEN PEMBAHARUAN DALAM PENGEMBANGAN. pdf"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN 1 MANAJEMEN PEMBAHARUAN

DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN

Bahrur Rosyidi Duraisy

Pembaharuan atau inovasi, seringkali diartikan penemuan dan pula ada yang mengaitkan dengan modernisasi. Inovasi memang berkait erat dengan penemuan dan modernisasi. Penggunaan kata perubahan dan inovasi seringkali juga tumpang tindih (Nicholls,1983:2). Pada dasarnya inovasi adalah ide, produk, kejadian atau metode yang dianggap baru bagi seseorang atau sekelompok orang atau unit adopsi yang lain, baik itu hasil invensi maupun hasil diskoveri (Ibrahim, 1998:1 ; Hanafi:1986:26; Rogers, 1983:11).

Bertolak dari definisi tersebut, maka inovasi pendidikan dan atau pembelajaran adalah ide, produk, metode, praktek yang dipandang baru oleh seseorang atau sekelompok orang yang diadakan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan dan atau pembelajaran. Pengertian baru dalam kaitan ini diukur berdasarkan individu atau unit adopsi pengguna inovasi. Oleh karena itu, sesuatu ide atau barang atau metode dipandang baru bagi sekelompok orang, tetapi tidak bagi sekelompok yang lain. Penggunaan modul pembelajaran misalnya, merupakan sebuah inovasi dalam pendidikan di Indonesia, namun bukan bagi pendidikan di negeri asalnya.

(2)

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN 2 1. PERENCANAAN PEMBAHARUAN

Perencanaan pembaharuan menunutut kepala sekolah untuk melakukan assesmen situasi dan mengidentifikasi tujuan perubahan. Tanpa perencanaan yang efektif, kemungkinan keberhasilan pembaharuan diragukan (Rossow, 1990:304).

a. Asesmen Situasi

Kepala sekolah harus mendapatkan informasi secara luas tentang kesiapan guru-guru untuk melaksanakan pembaharuan. Berkenaan dengan hal itu, ada sejumlah pertanyaan pemandu yang dapat digunakan, yakni: (1) adakah ketidakpuasan karena pembaharuan? (2) siapa guru-guru yang tidak puas? (3) Siapkah untuk pembaharuann? (4) Apakah guru-guru memiliki kesiapan? (5) apakah guru-guru memiliki penghargaan kepada yang lain yang siap untuk melaksanakan pembaharuan? (6) Dapatkah mereka dipersiapkan. Kepala sekolah perlu waktu yang memadai untuk mengidentifikasi masalah, karena kasalahan pemecahannya memiliki resiko terhadap pembaharuan.

b. Identifikasi Tujuan

Neagley dan Evan (1980: 164) mengajukan tujuh proposisi yang perlu dipikirkan kepala sekolah dalam menyusun perencanaan pembaharuan. Proposisi tersebut ialah: (1) perencanaan dan inisiasi pembaharuan lebih efektif, apabila tujuan dan kebijakan organisasi adalah jelas, realistik dan dimengerti, (2) pembaharuan lebih efektif apabila direncanakan secara hati-hati, memiliki tujuan yang pasti, dan menggunakan metode pemecahan masalah untuk mencapai tujuan yang diinginkan, (3) keefektifan pemba-haruan apabila guru-guru yang terterik dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, (4) pembaharuan akan berhasil apabila ada dukungan yang sesuai, sistematis, dan strategi yang menyeluruh, (5) pembahruan akan efektif apabila strategi yang dipilih sesuai dengan fokus usaha pemabaharuan yang dilakukan, (6) pembaharuan efektif apabila adanya keserasian dalam proses pembaharuan, usaha-usaha agen pembaharuan, (7) pembaharuan efektif apabila kelompok yang ada tidak saling kompetisi.

Mc Coy dalam Rossow, 1990:305,.mengembangkan model PIM (Purpose Identification Model) dalam mengidentifikasi tujuan. Model PIM tersebut meliputi enam langkah berikut ini: (1) memiliki steering committe untuk membimbing kegiatan identifikasi dan membuat rekomendasi, (2) survey semua kelompok populasi untuk melakukan assesmen terhadap perasaan mereka tentang apa yang akhir-akhir ini dikerjakan dan apa kebutuhan untuk mengerjakan dimasa depan, (3) menganalisis kerja mereka dan mengapa mengerjakan dengan cara tersebut, (4) mengkaji saran pengembangan dari populasi, (5) mengasimilasikan semua masukan dan merevisi proses pelaksanaan organisasi sekolah, (6) menilai secara periodik keefektifan proses pencapaian tujuan

2. IMPLEMENTASI PEMBAHARUAN a. Model Pembaharuan

Proses pembaharuan memiliki beberapa model. Rossow (1990:306-309) mengidentifikasi empat model, yaitu: (1) model interaksi sosial, (2) model pertalian (linkage), (3) model OD (Organizational Development), (4) RDD (Research Development and Diffusion)

1) Model Interaksi sosial

(3)

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN 3 baru, (2) pembangkitan minat terhadap perilaku baru, (3) penilaian, dimana mengarah untuk memutuskan tentang perilaku baru, dan (4) konfirmasi dari sejawat untuk mengadopsi atau menolak atas perilaku baru yang dimaksud.

Model ini menyarankan, dalam penyampaian informasi perilaku baru tersebut dapat dikenalkan melalui kontak pribadi, dan juga selebaran. Kepala sekolah bertindak sebagai fasilitator melakukan persuasi dengan mengenalkan ide-ide baru. Lipham (1985), menyarankan, agar model ini dapat berhasil, memerlukan kondisi berikut ini, (1) adanya dukungan finansial untuk menetapkan sumber-sumber informasi dari luar, (2) sikap kosmopolitan dari staf, (3) adanya kesempatan untuk mengikuti pertemuan dan membaca jurnal, (4) adanya kesempatan untuk berdikusi diantara guru, (5) adanya keinginan guru untuk memperoleh status, pengenalan, pengaruh, (6) adanya dana untuk pembelian produk, (7) adanya kedekatan dengan sumber-sumber idea baru.

Berdasarkan uraian di atas, model interaksi sosial memerlukan kemampuan sosial yang tinggi bagi kepala sekolah. Di samping itu, ketersediaan waktu kepala sekolah untuk bertemu dan bertatap muka dengan guru sangat diperlukan untuk mengoperasikan model ini (Rossow, 1990:306-307).

2) Model Pertalian (Linkage Model)

Model pertalian menekankan pada komunikasi antara klien dengan sumber informasi. Model ini pengoperasiannya melalui perantaraan agen penghubung yang dalam hal ini dapat dikerjakan oleh kepala sekolah, supervisor, ataupun birokrat di atasnya yang memiliki kewenangan profesional maupun birokrasi dengan lembaga-lembaga pendidikan.

Kepala sekolah ataupun agen pembaharuan yang lain, dalam aplikasinya berperan agar mampu memahami sepenuhnya perubahan perilaku atau inovasi yang diharapkan. Fungsi utama kepala sekolah ataupun agen pembaharuan yang lain adalah melayani dan memudahkan keterlibatan guru dalam perubahan dengan menyediakan ide dan material yang relevan.

Crandall dalam Rossow (1990:307) menyarankan sepuluh peran agen penghubung yakni (1) penjual produk, (2) penghubung informasi, (3) fasilitator program, (4) pemermudah proses, (5) provokator pembaharuan, (6) penyusun sumber pembaharuan, (7) pembantu teknis, (8) peneliti tindakan, (9) pengumpan balik data, (10) pendidik.

Lipham dalam Rossow (1990:307) mempercayai bahwa model pertalian ini secara khusus berguna bagi kepala sekolah yang menghubungkan masyarakat pendidikan dan kunci agen pembaharuan internal untuk sekolah.

3) Model OD (Organizational Development)

Model OD bermula untuk pengembangan pembaharuan di bidang bisnis. Adopsi model ini di dunia sekolah secara luas dilakukan dalam tahun tahun 1960-an oleh Schmuck dan asosiasinya (Rossow, 1990: 308).

Konsep OD model bertolak dari konsepsi bahwa sekolah secara kelembagaan atau kelompok, merupakan sumber perubahan, dan bukanya individual. Dalam pada itu, Schmuck dalam Rossow, (1990: 308). berpendapat bahwa dinamika kelompok dan bukannya keterampilan individual yang merupakan sumber masalah dan penentu kualitas pemecahan.

(4)

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN 4 peacemaking, (10) coaching dan counceling, (11) life and career planning, (12) planing and goal setting

4) Model RDD (Research Development and Diffusion Model)

Model ini berkenaan dengan proses perubahan melalui tahap-tahap yang rasional suatu aktivitas dimana inovasi ditemukan kemudian dikembangkan, dihasilkan dan didesiminasikan ke pengguna. Havelock and Havelock dalam Rossow (1990:308) mengidentifikasi karakteristik RDD sebagai berikut ini: (1) tahapan rasional suatu aktivitas dari peneliti untuk mengembangkan dan kemudian mendesiminasikan, (2) perencanaan dengan skala luas, (3) melibatkan pembagian kerja, peranan dan fungsi yang jelas, (4) menganggap pengguna bersedia menerima pembaharuan, (5) melibatkan beaya pengembangan awal yang tinggi.

Owens (1991:214), mengklasifikasikan model RDD ke dalam empat fase kegiatan. Keempat fase tersebut meliputi fase penelitian, pengembangan, difusi dan adopsi. Pertama, fase penelitian, kualitas dan validitas penelitian adalah sangat penting. Pada fase ini merupakan fase dimana ditemukanya pengetahuan baru yang berupa invensi ataupun diskoveri. Kedua, fase pengembangan esensinya adalah menerjemahkan hasil penelitian dalam praktek di lapangan. Fase pengembangan RDD membutuhkan pemikiran yang mencakup disain pemecahan masalah, dan mempertimbangkan kelayakannya dengan kondisi nyata dalam implementasinya dilapangan maupun beaya. Fase pengembangan meliputi kegiatan : (1) temuan pemecahan masalah , (2) pengembangan dan evaluasi, (3) produksi hasil penelitian. Ketiga, fase difusi yang meliputi kegiatan (1) diseminasi hasil, dan (2) demonstrasi hasil. Keempat adalah fase adopsi yang meliputi kegiatan (1) uji coba terhadap produk baru dalam skala terbatas, (2) penginstalasian , proses perbaikan dan penyesuaian terhadap keadaan kondisi yang ada, (3) institusionalisasi, proses pengintegrasian inovasi ke dalam sistem.

Lipham dalam Rossow (1990:309) menyarankan delapan syarat dalam menggunakan model RDD untuk latar sekolah, (1) perlu adanya kerjasama institusional antara pengembang, distributor dan pemakai, (2) kepemimpinan yang mendorong dan menstimulasi pemakaiannya, (3) penerimaan hasil penelitian yang tepat untuk pemecahan masalah yang aktual, (4) adanya kejelasan komunikasi antara peneliti dengan pemakai, (5) audien yang penuh perhatian atas pesan dan material dari pengembang, (6) adanya waktu untuk penemuan dan penerapan hasil penelitian, (7) adanya dana untuk belajar dan pembelian hasil penelitian, (8) dukungan untuk mengadakan perubahan dari birokrasi.

b. Langkah-Langkah Pembaharuan

(5)

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN 5 inovasi, dan (4) tahap konfirmasi, dimana seseorang mencari penguat atas keputusan inovasi yang dibuatnya

Akhirnya Gorton, (1983:294-295) mengembangkan sintesis teori proses perubahan dengan tujuh langkah berikut ini.

Pertama, tahap asesmen kebutuhan terdiri atas kegiatan: (1) identifikasi kebutuhan untuk perubahan, (2) mengembangkan atau mengevaluasi dan memilih pendekatan baru.

Kedua, tahap orientasi bagi guru-guru, terdiri atas kegiatan: (1) membangkitkan kesadaran dan minat guru terhadap pembaharuan, (2) pengkajian terhadap kebaikan dan keburukan satuan pembaharuan, Menguji dan memperbaiki satuan inovasi, (3) membuat kesepakatan dengan guru-guru untuk mencari sumber-sumber, mengadakan program pelatihan dan mengadakan perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan untuk pembaharuan.

Ketiga, tahap keputusan pengenalan perubahan yang diusulkan, terdiri atas kegiatan, (1) identifikasi partisipan pengambilan keputusan, (2) memutuskan tentang proses pengambilan keputusan, (3) memutuskan apakah mengimplementasikan pembaharuan yang telah diusulkan. Keempat, tahap perencanaan program implementasi, terdiri atas kegiatan: (1) perencanaan dan pelaksanaan program pelatihan, (2) penyediaan sumber dan fasilitas yang diperlukan dalam pengenalan pembaharuan, (3) mengantisipasi dan mencoba memecahkan masalah yang mengganggu pelaksanaan program pembaharuan. Kelima, tahap implementasi program pembaharuan.

Keenam, tahap penilaian terdiri atas kegiatan, (1) disain dan sistem lembaga yang menyediakan umpan balik dimana pembaharuan mencapai tujuan, (2) diagnosis terhadap aspek-aspek implementasi yang masih memerlukan pengembangan.

Ketujuh, tahap modifikasi, perbaikan dan pelembagaan, terdiri atas kegiatan (1) revisi pembaharuan, jika diperlukan diselenggarakan pula orientasi tambahan, pelatihan, sumber-sumber, fasilitas, (2) pelembagaan inovasi sehingga inovasi menjadi bagian perilaku yang permanen dalam pembelajaran yang dilaksanakan guru.

c. Faktor-Faktor Penentu Pembaharuan

Aktualisasi pembaharuan keberhasilannya mempersyaratkan kondisi tertentu. Nicholls dalam studinya di United Kingdom terhadap sekolah komprehensive, berkesimpulan bahwa kondisi untuk mencapai keberhasilan implementasi pembaharuan meliputi: (1) guru dan staf memahami pembaharuan secara jelas, (2) guru-guru perlu memiliki pengetahuan untuk merencanakan, keterampilan dan kemampuan untuk mengembangkan dan melaksanakan pembaharuan, (3) memiliki kriteria untuk menilai pembaharuan, (4) antisipasi terhadap resistensi, (5) pengetahuan dan atau perhatian terhadap proses implementasi pembaharuan, (6) saluran komunikasi yang efektif untuk semua anggota yang terlibat dalam proses implementasi pembaharuan. Penyediaan kondisi-kondisi tersebut, merupakan tanggung jawab kepala sekolah (Nicholls, 1983: 48).

Gross dalam Nicholls, (1983: 48) menguraikan, bahwa kondisi untuk memudahkan implementasi pembaharuan adalah: (1) memperjelas pemahaman tentang pembaharuan yang dimaksud, (2) guru-guru memiliki kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan pembaharuan tersebut, (3) Material dan sumber-sumber yang diperlukan tersedia, (4) susunan organisasi cocok dengan pembaharuan, (5) personal sekolah bersedia untuk mencurahkan waktu dan tenaganya untuk keperluan tersebut di atas. Lebih lanjut dikatakan, persiapan kondisi tersebut di atas, merupakan fungsi manajemen dan hal itu menjadi tanggung jawab manajemen untuk menciptakan dan memeliharanya

(6)

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN 6 kerja), (2) sekolah (iklim, dan budaya sekolah), (3) alur kerja (workflow) (target pembaharuan, protokol pembaharuan, material kurikulum dan unit pengajaran), dan (4) sistem politik kerja (tindakan administrasi, sistem penghargaan, kesesuaian anggaran, penerimaan oleh kelompok guru, penerimaan oleh sponsor sekolah, komitmen administrasi, dan penerimaan oleh masyarakat). Rogers (1983: 210-232) menambahkan pula, bahwa karakteristik program pembaharuan menjadi faktor pula yang menentukan keberhasilan implementasi pembaharuan. Selanjutnya Rogers (1983: 210-232), mengidentifikasi lima karakteristik program pembaharuan, meliputi (1) kompatibilitas, (2) keuntungan relatif, (3) kompleksitas, (4) triabilitas, dan (5) observabilitas program. Sejalan dengan itu, Barnett dalam Hanafi (1985), menyatakan penerimaan ide baru tidaklah secara kebetulan dan tidak dapat diprediksi, hal itu kadang-kadang terjadi. Karakter ide baru itu sendiri, merupakan faktor penentu yang penting.

Berdasarkan perian kondisi tersebut, pada dasarnya keberhasilan pembaharuan ditentukan oleh : (1) perubahan struktural sekolah, (2) perubahan perilaku, modifikasi sikap dan peranan guru, dan (3) karakteristik program pembaharuan itu sendiri (Sergiovanni,1991: 256; Gorton, 1976:245; Bafadal,1995:50-56). Bertolak dari ketiga faktor tersebut, berikut dipaparkan syarat-syarat keberhasilan pembaharuan.

1) Perubahan Latar Pembaharuan

Faktor kedua, yang ikut menentukan keberhasilan implementasi pembaharuan, adalah kondisi latar pembaharuan. Dalam kaitan tersebut, Nicholls (1983: 62-75) menyebutkan ada empat latar pembaharuan yakni, (1) latar struktural organisasi sekolah, (2) iklim sekolah, (3) kesehatan organisasi sekolah, dan (4) komunikasi.

a) Perubahan Latar Struktural Sekolah

Pembaharuan mempersyaratkan perubahan latar struktural sekolah. Termasuk latar struktural sekolah meliputi, perancangan kembali pola kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan guru dalam pembelajaran, pemodifikasian srtruktur formal sekolah, perubahan norma, perubahan personal sekolah, pemodifikasian norma sekolah, pengadaan sumber belajar, dan alat-bantu belajar. Dalam kaitannya untuk pengimplementasian pola pembelajaran yang berorientasi pada CBSA, perubahan struktural sekolah yang dimaksud adalah perubahan pola pengorganisasian pembelajaran siswa, perubahan rincian tugas guru, tersediannya buku panduan guru untuk pembelajaran, pengadaan sumber belajar dan alat bantu belajar yang baru seperti tersediannya kit IPA, kit IPS, matematika dll. (Bafadal, 1995:51).

Nicholls (1983:63) menyebutkan bahwa kondisi struktural untuk implementasi pembaharuan meliputi pula susunan waktu untuk pembelajaran, kondisi ruang pembelajaran, pola ujian yang diterapkan, pendelegasian tanggungjawab dan saluran komunikasi. Pembaharuan pembelajaran menuntut perubahan peran guru dalam pembelajaran (Nicholls, 1983: 65). Implisit didalamnya termasuk perubahan peran siswa, perubahan pada dimensi program.

(7)

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN 7 b) Pengembangan Iklim Sekolah

Iklim sekolah berkenaan dengan : sikap siswa terhadap yang lain, hubungan antar staf dan hubungan antara staf dengan siswa, dan sikap kerja (Nicholls, 1983:65). Halpin dalam Nicholls,(1983:65), menglasifikasikan iklim sekolah dari yang terbuka ke yang tertutup dalan enam kelompok, yakni (1) terbuka, (2) otonom, (3) terkontrol, (4) kekeluargaan, (5) paternal (kebapakan), (6) tertutup.

Studi di Amerika dengan menggunakan kuesener Halpin hasilnya mem-perlihatkan bahwa iklim sekolah yang terbuka lebih inovatif. Studi lain yang dilakukan Hilfiker menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara keinovatifan dengan keterbukaan iklim organisasi (akses-bilitas, sikap kooperatif, toleran terhadap perubahan, permisif terhadap diversitas situasi sosial, dan keyakinan terhadap kemampuan (Nicholls, 1983:67).

c) Pengembangan kesehatan sekolah

Implementasi pembaharuan dapat berhasil manakala kesehatan organisasinya baik. Mile menglasifikasikan kesehatan sekolah dalam sepuluh dimensi, yani (1) fokus tujuan yang dapat diterima, dipahami anggota dan dapat dicapai secara tepat, (2) terdapat komunikasi multi arah yang tepat, (3) terdapat kesamaan kekuasaan yang optimal, (4) penggunaan sumber utamanya sumber daya manusia memiliki kontribusi terhadap organisasi, (5) kekohesifan, (6) moral kerja yang tinggi, (7) keinovatifan, (8) otonom, (9) adaptif, (10) problem solving secara tepat ( Nicholls, 1983:68-69).

Gross dalam studinya menghasilkan kesimpulan bahwa tujuan yang jelas merupakan kondisi yang diperlukan untuk memahami pembaharuan. Demikian pula, studi Nicholls, komunikasi yang tepat merupakan prasyaratan pembaharuan. Problem solving, kohesif dan, kesamaan kekuasaan berkenaan dengan partisipasi

dalam pengambilan keputusan (Nicholls,1983:69).

d) Komunikasi organisasi sekolah

Hasil studi Nicholls menyimpulkan bahwa komunikasi yang tepat merupakan prasyaratan pembaharuan (Nicholls,1983:69). Dalam kaitan ini, pola komunikasi dan juga jaringan komunikasi menjadi faktor penting dalam pelaksanaan program pembaharuan.

Pola komunikasi dalam kajian ini, berkenaan dengan orientasi gaya komunikasi yang dikembangkan oleh pimpinan organisasi. Pada hakekatnya tentang orientasi komunikasi, dapat dibedakan dalam dua tipe utama. Tipe komunikasi yang berorientasi pada tugas, dan tipe komunikasi yang berorientasi pada hubungan manusiawi (human relationship). Tipe komunikasi yang berorientasi pada tugas, lebih menekankan pada terselesaikannya tugas. Tipe komunikasi ini, dari segi hubungan antara pemimpin dengan bawahan bersifat fungsional-formal. Sementara gaya komunikasi yang berorientasi pada human relationship, lebih menekankan pada hubungan manusiawi. Interaksi pemimpin dan bawahan lebih fleksibel, dan kesejawatan, saling menghargai (Soetopo,1990:37).

(8)

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN 8 Proses pembaharuan organisasi, di samping memerlukan pola komunikasi yang efektif dalam organisasi, juga membutuhkan jaringan komunikasi yang luas. Utama sekali adalah membuka jaringan komunikasi dengan agen-agen pembaharuan. Dalam kaitan ini, pimpinan organisasi berperan sebagai penghubung (Linker) yang berperan untuk membuka jalur komunikasi antara anggota organisasi dengan agen pembaharuan (Bafadal, 1995).

Pembaharuan organisasi mempersyaratkan pimpinan organisasi yang bertipe inovator. Pimpinan yang bertipe inovator dari segi perilaku komunikasinya menurut Rogers (1983: 210-232) memiliki ciri : (1) partisipasi sosialnya tinggi, (2) lebih sering mengadakan komunikasi dengan orang di luar sistem. (3) sering mengadakan komunikasi interpersonal dengan anggota sistem, (4) sering melakukan komunikasi dengan agen pembaharuan, (5) lebih sering bertatap muka dengan media massa, (6) mencari informasi sebanyak-banyaknya, (7) tinggi tingkat kepemimpinannya, (8) memiliki norma yang lebih modern.

2) Pengubahan Tingkah laku

Setiap pembaharuan berarti adanya perubahan. Akibat adanya perubahan tersebut, berimplikasi pada perlunya perubahan pula pada pelaku pembaharuan. Perubahan pada pelaku perubahan, menyangkut perubahan sikap, keterampilan, pengetahuan dan peran (Sergiovanni, 1991:256).

Nicholls, (1983: 39) menyebutkan faktor-faktor perubahan perilaku yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembaharuan, adalah reaksi individu terhadap pembaharuan. Dalam kaitan ini, Nicholls (1983:39) mempertimbangkan dua hal yakni (1) inovator dan resister, (2) partisipasi dalam pengambilan keputusan. Sedangkan

Rogers (1983:248-250), mengategorikan reaksi individu dengan menyebutnya keinovatifan terhadap pembaharuan, yang dalam kaitan ini mengategorikan ke dalam lima tipe yang meliputi tipe: (1) inovator, (2) adopter awal (pelopor), (3) pengikut dini, (4) pengikut akhir (skeptis), dan (5) tradisional. Kategori inovator, merupakan tipe individu yang ideal dalam penerimaan pembaharuan. Kepribadian inovator menurut Rogers (1983) memiliki ciri-ciri: (1) memiliki emphati yang tinggi, (2) kurang dogmatis, (3) kemampuan abstraksi yang tinggi, (4) rasional, (5) inteligen, (6) memiliki sikap terbuka terhadap perubahan, (7) mau mengambil resiko, (8) tidak mudah menyerah, (9) sikap terbuka terhadap pengetahuan dan pendidikan, (10) motivasinya tinggi, (11) aspirasinya tinggi.

Guru menjadi faktor dasar pelaksanaan pembaharuan pembelajaran. Berjalan tidaknya pembaharuan pembelajaran ada di tangan guru. Oleh karena itu, keberhasilan pembaharuan tidak saja ditentukan oleh jaringan komunikasi yang ada, tetapi utama sekali adalah kesediaan guru untuk memerima perubahan (Rich, 1974:79). Kepastian tentang kesediaan guru itu penting mengingat apa bila dilakukan pembaharuan fenomena umum yang ada di antara anggota organisasi, termasuk guru, adalah sikap resisten dan menolak (Rich, 1974:79; Nicholls, 1983:39). Di samping kesediaan guru, adalah pengetahuan guru, dan keterampilannya.

Kegagalan dalam pengimplementasian suatu pembaharuan, sering disebabkan oleh karena pengetahuan guru dan keterampilannya kurang memadai (Gorton, 1976:246-247; Neagley,1980:179-180). Oleh karena itu maka peran kepala sekolah sangat penting bagi terjadinya perubahan perilaku guru ke arah penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk pelaksanaan pembaharuan.

(9)

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN 9 dilihat oleh sejumlah penulis merupakan fenomena yang sering tampak dan kuat diantara anggota organisasi. Selain itu, resistensi merupakan fenomena yang kompleks. Owens dalam Gorton, (1976: 247) menyatakan bahwa resistensi bukanlah fenomena yang sederhana. Menanggulangi sikap resisten ini merupakan tugas yang berat bagi kepala sekolah. Kepala sekolah perlu membuat pertimbangan dengan serius dalam mendiagnosis sumber penyebabnya

Timbulnya sikap resistensi merupakan campuran antara ketidakpahaman terhadap pembaharuan dan pengabaian. Di samping itu adalah adanya rasa takut, dan dilihat sebagai beban yang berat. Gejala yang tampak pada perilaku resister menurut Lippit dalam Nicholls, (1983: 41) menyatakan bahwa resister tampak mengabaikan perubahan, merasa tidak cocok, dan senang dengan keadaan yang ada. Sedangkan Gorton, (1976:245) melihat resistensi terjadi karena pembaharuan dilihat resister akan mengubah kebiasaan yang ada.

Berkait dengan faktor resistensi tersebut, untuk tercapainya keberhasilan pembaharuan, kepala sekolah sejak awal sudah harus mengantisipasi dan memperhitungkannya (Gorton, 1976:68; Nicholls, 1983:42). Gorton, (1983:245) menjelaskan bahwa usulan pembaharuan ada kemungkinannya untuk di tolak.

Penolakan itu dapat terjadi oleh yayasan, siswa, guru, orang tua, atasan. Beberapa alasan penolakan yang perlu diwaspadai oleh kepala sekolah adalah berikut ini : (1) pembaharuan menyebabkan perubahan kebiasaan, (2) perubahan mempengaruhi stabilitas lembaga, (3) ketidakmampuan sekolah memberi insentif yang diperlukan berkenaan dengan tambahan beban kerja akibat perubahan, (4) karakteristik program dianggap kompleks, tidak cocok, tidak aman, (5) adopsi terhadap pembaharuan oleh guru di pandang sebagai tantangan bagi otonomi profesionalitasnya, sementara masyarakat melihat bahwa dengan perubahan akan berimplikasi terhadap peningkatan beaya pendidikan maupun stabilitas kekuasaan dalam hubungannya dengan masyarakat, (6) penolakan terjadi karena ketidakpahaman terhadap pembaharuan, (7) pembaha-ruan ditolak karena berbeda dengan opni yang berkembang, (8) pembaharuan ditolak karena tidak adanya keterampilan untuk menjalankan pembaharuan tersebut.

Pelibatan partisipasi guru dalam pengambilan keputusan inovasi sangat diperlukan dalam kaitannya dengan implementasi pembaharuan (Nicholls, 1983:61). Pelibatan partisipasi guru dalam pengambilan keputusan tersebut, dapat mengurangi timbulnya faktor resistensi (Robbins,1990: 531; Nicholls, 1983: 42). Beberapa penulis seperti Argyle, 1967; Coch dan French, 1948; Johns, 1973 dalam Nicholls, (1983:42), menegaskan pula pentingnya partisipasi dalam pengambilan keputusan untuk menghindari resistensi terhadap pembaharuan

Roobins (1990:531), menyebutkan ada enam taktik yang dapat digunakan kepala sekolah untuk menghadapi sikap resistensi guru-guru dan atau staf yang lain terhadap pembaharuan yang diprogramkannya. Ke enam taktik tersebut adalah berikut ini: (1) pendidikan dan komunikasi, apabila sumber resistensi adalah pengetahuan dan keterampilan yang kurang serta misinformasi dan kurang komunikasi, (2) partisipasi, pelibatan menimbulkan rasa ikut memiliki, karena itu merasa ikut bertanggungjawab, (3) Fasilitasi dan dukungan, hal ini bertolak dari asumsi bahwa resistensi bersumber dari ketakutan dan kecemasan staf terhadap pembaharuan akibatketerampilannya yang kurang, (4) negosiasi, hal ini dapat dilakukan dengan pemberian penghargaan misalnya bilamana berhasil dalam pelaksanaan pembaharuan, (5) manipulasi dan kooptasi, dan (6) pemaksaan.

3) Karakteristik Program Pembaharuan

(10)

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN 10 pembaharuan. Barnett dalam Rogers (1983:210-232) menyatakan penerimaan ide baru tidaklah secara kebetulan dan tidak dapat diprediksi, hal itu kadang-kadang terjadi. Karakter ide baru itu sendiri, merupakan faktor penentu yang penting. Selanjutnya Rogers (1983: 210-232), mengidentifikasi lima karakteristik program pembaharuan, meliputi (1) kompatibilitas, (2) keuntungan relatif, (3) kompleksitas, (4) triabilitas, dan (5) observabilitas program.

3. EVALUASI PEMBAHARUAN

Evaluasi terhadap proses pembaharuan yang dilaksanakan sangat penting. Evaluasi mempunyai peranan kontrol, oleh karena itu, evaluasi dapat dikenakan pada proses dan juga pada hasil. Berkenaan dengan hal itu, evaluasi dikenakan pada perencanaan, implementasi, dan institusionalisasi pembaharuan.

Nicholls (1983:80) mengidentifikasi kerangka penilaian yang mencakup: (1) penilaian terhadap persiapan, yang meliputi keinginan untuk mengadakan pembaharuan, keberadaan pembaharuan, latar dan personal, (2) penilaian perencanaan meliputi, penilaian terhadap proses pengenalan, proses perencanaan, (3) penilaian terhadap implementasi, meliputi, penilaian terhadap aplikasi program pembaharuan, penilaian terhadap program penilaian itu sendiri.

4. INSTITUSIONALISASI PEMBAHARUAN

Kepala sekolah berperan penting agar pembaharuan tersebut berlangsung secara permanen. Artinya pembaharuan tersebut melembaga. Pelembagaan atau institusionalisasi, menurut Miles dalam Sergiovanni, (1991: 256) berarti bahwa pembaharuan tersebut telah menjadi bagian dari perilaku pembelajaran yang dilaksanakan guru di sekolah. Untuk itu, diperlukan susunan srtuktural baru yang cocok dan juga pola perilaku baru dari staf yang di dukung melalui pemberian kompensasi yang berupa finansial, dan non finansial, termasuk pemberian penghargaan). Semuanya itu menjadi tantangan kepala sekolah dalam proses pembaharuan pembelajaran di sekolah.

Rubin dalam Nicholls (1983:36) menyatakan untuk melembagakan pembaharuan secara efektif mempersyaratkan tiga tahap, (1) analisis awal, (2) pemilihan strategi, dan (3) Implementasi. Tiap-tiap tahap terdiri atas sejumlah langkah. Tahap analisis awal terdiri atas langkah-langkah (1) diagnosis kelemahan, (2) analisis faktor-faktor kemungkinan, (3) membandingkan alternatif-alternatif yang baik, (4) pemilihan alternatif terbaik. Tahap pemilihan strategi, terdiri atas langkah: (1) macam pembaharuan yang dilembagakan, (2) siapa yang merencanakan pelembagaan, (3) karakteristik kondisi lingkungan yang diharapkan. Tahap implementasi, terdiri atas langkah: (1) analisis persyaratan inovasi dalam pelatihan, material dan pertalian dengan keberadaan sistem, (2) inisiasi tekanan untuk memotivasi melalui cara yang menyebabkan rasa tidak senang dan menjelaskan penghargaan, (3) inisiasi strategi untuk mempengaruhi, (4) inisiasi untuk persiapan aktivitas, (5) pelembagaan inovasi, (6) dukungan transisi dari yang lama ke yang baru, (7) mempertalikan inovasi dalam sistem yang tetap.

(11)

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN 11 5. PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM PROSES PEMBAHARUAN

a. Rasional pentingnya Peran Kepala Sekolah

Keberhasilan dan kegagalan pembaharuan pembelajaran tidak dapat dilepaskan dari peranan kepala sekolah. Sebagaimana diuraikan dalam latar belakang, kepala sekolah bertanggung jawab terhadap pencapaian tujuan sekolah (Gorton, 1976:4). Maka dari itu, keberhasilan dan kegagalan implementasi suatu program pembaharuan pembelajaran di sekolah, juga menjadi tanggung jawab kepala sekolah (Gorton, 1976:244).

Peranan penting kepala sekolah dalam tercapainya keberhasilan pembaharuan dikemukakan oleh beberapa penulis. DeRoche, (1985:24), bertolak dari beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa (1) kepemimpinan sekolah yang efektif berasal dari kepala sekolah yang mampu menciptakan perubahan, (2) tanpa keterlibatan guru dan kepala sekolah secara langsung dan berkesinambungan dalam pembaharuan, perubahan-perubahan yang signifikan tidak pernah terjadi, (3) kepala sekolah dan guru-guru, harus mengubah keterampilan, kebiasaan dan sikapnya apabila organisasi sekolah ingin berubah.

Hoyle dalam Nicholls, (1983: 47), dalam pandangannya juga menyatakan bahwa kepala sekolah memiliki otoritas untuk mengenalkan pembaharuan di sekolah. Kepala sekolah mampu melihat sekolah secara keseluruhan, mampu-mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan akan pembaharuan, dan dapat mengontrol sumber daya yang dimiliki untuk mengimplementasikan pembaharuan. Kepala sekolah tidak saja mampu memprakarsai pembaharuan, tetapi juga mampu memberikan dukungan yang diperlukan guru secara individual atau kelompok dalam implementasi pembaharuan. Demikian pula, Mac Donald dan Rudduck dalam Nicholls, (1983: 47) menyatakan, kepala sekolah merupakan figur kunci untuk memahami pembaharuan agar supaya dapat membuat keputusan yang tepat dalam implementasi pembaharuan dan dapat menyiapkan kemampuan guru untuk implementasi pembaharuan. Beberapa penulis seperti: Hoyles; Richardson, dalam Nicholls, (1983: 47) mengakui pentingnya dukungan kepala sekolah tersebut dalam implementasi pembaharuan.

b. Peran kepala sekolah sebagai Pemimpin Pembelajaran

Kepala sekolah adalah pemimpin instruksional , dalam hal ini, peranan kepala sekolah adalah (1) menstimulasi dan memotivasi staf secara maksimum, (2) bersama staf mengembangkan sistem obyektif dan realistik tentang pertanggungjawaban untuk belajar, (3) mengembangkan secara bersama-sama prosedur assesmen yang dapat dioperasionalkan untuk melaksanakan program belajar guna mengidentifikasi alternatif perbaikan bidang yang lemah, (4) bekerja sama dalam mengembangkan dan mengimplementasikan evaluasi staf, (5) bekerja sama untuk memformulasikan dan mengimplementasikan rencana untuk mengevaluasi dan melaporkan kemajuan belajar murid, (6) menyediakan saluran komunikasi sekolah dengan masyarakat, (7) mendorong studi kurikuler dan inovasi pembelajaran, (8) melengkapi kepemimpinan siswa, (9) menyediakan pusat sumber belajar profesional dan kelancaran penggunaannya (Arifin,1999:63).

c. Peran Kepala sekolah sebagai Agen Pembaharuan

(12)

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN 12 mengembangkan dan menyeleksi pembaharuan, (3) memberikan orientasi kepada guru-guru, (4) mengantisipasi masalah dan resistensi terhadap perubahan, (5) implementasi pembaharuan, dan (6) mengevaluasi implementasi pembaharuan dan perbaikan jika diperlukan, (Gorton, 1976: 68).

d. Peranan Kepala sekolah sebagai Fasilitator Pembaharuan

Kepala sekolah merupakan kunci keberhasilan bagi perencanaan pembaharuan (Rossow, 1990: 313). Gaya kepala sekolah sebagai agen pembaharuan dikaji oleh Hall dan Hord. Kepala sekolah perlu menyadari variasi gaya sebagai fasilitator. Gaya sebagai fasilitator menurut Hall dan Hord dalam Rossow, 1990:313), meliputi : (1) inisiator, (2) responder, (3) manager

Gambar : Model Paradigma Manajemen Proses Pembaharuan

(13)

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN 13 Gambar : Model Manajemen Pembaharuan Pembelajaran

(14)

BAHRUR ROSYIDI | MANAJEMEN PEMBAHARUAN 14 DAFTAR PUSTAKA

DeRoche, E.F., 1985.How School Administrators Solve Problems, Practical Solution to Common Problems Based on a nationalwidwe Survey of 2000 School Executives, Englewood Cliffs,New Jersey: Printice-Hall, Inc.

Evans, Jack M. and Brueckner, Martha M., 1992.Teaching and You, Committing, preparing and succeeding, Needham Heights, Massachusetts: Allyn and Bacon A Division of Simon and Schuster, Inc.

Gorton, R.A.,1976. School Administration, Challenge and Opportunity for Leadership. Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown Company Publishers.

Gorton, R.A., 1983.Scholl Administration And Supervision. 2nd ed, Bubuque,Iowa: Wm, C. Brown Company Publisher

Lipham, Rankin, Hoeh,1985. The Principalship Concept, competencies, and Case. New-York : Longman

Neagley, R.L., and Evans, N.D., 1980. Handbook For Effective Supervision of Instructioal, Third edition, Englewood Cliffs, New Jersey: Printice-Hall,Inc

Nicholls A., 1983. Managing Educational Innovations, London: George Allen & Uwin Ltd. Rich, J. Martin, 1974. New Direction in Educational Policy, Lincoln, Nebraska: Profesional

Educators Publications, Inc.

Robbins, S.P.,1990. Organizational Behavior, concept, controversies, and application, fourth edition, New Delhi: Printice-hall of India Private limited.

Rogers, E.M.,1983. Diffusion of Innovations , Third Edition, New York The Free Press, A Division of Macmillan Publishing Co, Inc.

Rossow, L.F.,1990. The Principalship, Dimensions in Instructional Leadership,Englewood Cliffs, New Jersey : Printice-Hall, Inc.

Gambar

Gambar : Model Paradigma Manajemen Proses  Pembaharuan
Gambar :   Model Manajemen  Pembaharuan Pembelajaran

Referensi

Dokumen terkait

Melalui program rangka kerjasama serantau dan antarabangsa seperti Perjanjian Kerjasama Serantau bagi Penyelidikan, Pembangunan dan Latihan berkaitan Sains dan Teknologi Nuklear

Jadi judul skripsi “ Pendidikan Model Halaqoh Dalam Meningkatkan Pendidikan Agama Islam, (Studi Pendidikan Nonformal di Desa Pilang, Kec. Sragen) “ maksudnya adalah studi

bahwa semua anak, baik laki-laki maupun perempuan adalah ahli waris dari ibu dan bapaknya serta kerabatnya, mereka berhak mendapatkan bagian harta warisan sesuai

Nilai OR yang diperoleh yaitu 4,444 (95% CI= 1,855-10,648) sehingga dapat diartikan bahwa ibu yang terpapar asap rokok selama hamil memiliki risiko untuk mengalami kematian

Dari uraian tersebut hasil observasi atau pengamatan tersebut terlihat bahwa: (a) Guru melakukan apersepsi diawal kegiatan pembelajaran (b) Guru menggunakan metode

No Nama No Peserta Asal Instansi Alamat Instansi Kecamatan Kota/Kab.. Raya

Selain koefisien perpindahan panas, hasil simulasi kondisi operasi aktual menggunakan Hysys juga mendapatkan nilai perpindahan panas yang terjadi pada alat penukar