• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Antara Pt. Asusindo Servistama Dan Medan Selular (Studi Pada Pt. Asusindo Servistama Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Antara Pt. Asusindo Servistama Dan Medan Selular (Studi Pada Pt. Asusindo Servistama Medan)"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

16

A. Pengertian Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian Secara Umum

Untuk membuat suatu perjanjian hendaknya kita terlebih dahulu memahami arti dari perjanjian tersebut. Apabila dilihat dari literatur banyak kita temui beraneka ragam pengertian perjanjian, di mana masing-masing dari sarjana memberikan pengertian sendiri-sendiri, hal mana pengertian tersebut dibuat oleh pakar hukum, oleh karena hal inilah kita tidak menemukan keseragaman pengertian perjanjian.

Sebelum kita lebih jauh membahas tentang perjanjian ada baiknya kita terlebih dahulu membahas mengenai perikatan, sebab seperti yang kita ketahui perjanjian itu tidak terlepas dari perikatan. Di mana disini terlihat jelas bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji pada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal.12

12

R. Subekti, Hukum Perjanjian Cetakan ke-21, PT. Intermasa, Jakarta, 2005, hal. 1. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian tersebut menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

(2)

Dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena Undang-Undang“. Pasal ini seharusnya menerangkan tentang pengertian perikatan karena merupakan awal dari ketentuan hukum yang mengatur tentang perikatan. Namun, kenyataannya pasal ini hanya menerangkan tentang dua sumber lahirnya perikatan, yaitu :

a. Perjanjian; dan b. Undang-undang.

Perjanjian sebagai sumber perikatan ini, apabila dilihat dari bentuknya, dapat berupa perjanjian tertulis maupun perjanjian tidak tertulis.13

Subekti,memberikan rumusan perikatan sebagai berikut: “ Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”

Dari ketentuan ini, tidak dijelaskandefinisi perikatan, oleh karena itu para ahli memberikan rumusan tentang perikatan ini beraneka ragam. Dari hal ini para ahli memberikan rumusan masing-masing.

14

Hofman, memberikan pengertian tentang perikatan adalah : “Perikatan adalah suatu hubungan antara sejumlah subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur/para kreditur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian itu.“15

13

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hal. 3.

14

R. Subekti, loc. cit.

15

(3)

Wan Sadjaruddin Baros, dalam bukunya Sendi Hukum Perikatan menyatakan: “Perikatan itu ialah hubungan hukum antara dua orang (pihak) atau lebih dalam harta kekayaan yang menimbulkan hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain.”16

Dari beberapa pendapat para sarjana di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan (verbintenis) terkandung hal-hal sebagai berikut: 17

1. Adanya hubungan hukum

2. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda 3. Antara dua orang/pihak atau lebih

4. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditur 5. Meletakkan kewajiban pada pihak yang lain, yaitu debitur 6. Adanya prestasi

Setelah kita lebih mengetahui pengertian perikatan maka kita kembali pada pembahasan perjanjian, yang mana di atas telah dijelaskan bahwa perikatan bersumber pada perjanjian, dan selain perjanjian masih ada lagi sumber lain yang menerbitkan perikatan yaitu Undang-Undang.

Istilah perjanjian berasal dari bahasa inggris yaitu “contracts”.Sedangkan dalam bahasa belanda istilah perjanjian atau persetujuan disebut juga dengan “overeenkomst”.18

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan.”19

16

W.S.Baros, Sendi Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1997, hal. 12.

17

M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1996, hal. 6.

18

Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 3.

19

(4)

Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.”20

1. M. Yahya Harahap

Untuk memahami istilah mengenai perjanjian terdapat beberapa pendapat para sarjana, yaitu :

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak atau sesuatu untuk memperoleh prestasi atau sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk menunaikan kewajiban pada pihak lain untuk memperoleh suatu prestasi.

2. R. Subekti

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.21

3. Wirjono Prodjodikoro

Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.22

4. Hartono Suprapto

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang lain itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal.23

20

Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 363.

21

R. Subekti, loc. cit.

22

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, 1986, hal. 9.

23

(5)

5. Abdul Kadir Muhammad

Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.24

Pengertian ini sebenarnya seharusnya menerangkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri tentang sesuatu hal. Artinya kalau hanya disebutkan bahwa satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain, maka terlihat seolah-olah yang dimaksud hanyalah perjanjian sepihak, tetapi kalau disebutkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri, maka pengertian perjanjian ini meliputi baik perjanjian sepihak maupun perjanjian dua pihak.

Pengertian perjanjian juga diatur dalam Pasal 1313 Buku III KUHPerdata, yang selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang HukumPerdata (Burgerlijk Wetboek) menyebutkan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatuperbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satuorang lain atau lebih.”

Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri. Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap, tetapi dengan pengertian ini, sudah jelas bahwa dalam perjanjian itu terdapat satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain.

25

Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yangdiatur dalam ketentuan di atas yang membuat pengertian perjanjian menjadi luas, seperti yang

24

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 225.

25

(6)

di katakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa:

“Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidaklengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan didalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjianjuga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengankata lain dapat dinilai dengan uang.”26

Menurut Muhammad Abdul Kadir, Pasal 1313 KUHPerdata mengandung kelemahan karena : 27

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Dapat dilihat dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan” sifatnya hanya sepihak, sehingga perlu dirumuskan “kedua pihak saling mengikatkan diri” dengan demikian terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik.

b. Kata perbuatan “mencakup” juga tanpa consensus. Pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya digunakan kata “persetujuan”.

26

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hal. 65.

27

Damang, Perjanjian, Perikatan dan Kontrak,

(7)

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Hal ini disebabkan mencakup janji kawin (yang diatur dalam hukum keluarga), padahal yang diatur adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan. d. Tanpa menyebutkan tujuan. Rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tidak

disebut tujuan diadakannya perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak jelas untuk maksud apa.

Demikian halnya menurut Suryodiningrat, bahwa definisi Pasal 1313 KUHPerdata ditentang beberapa pihak dengan argumentasi sebagai berikut :28

1. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan, dan demikian pula tidak ada sangkut pautnya dengan setiap sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas, setiap janji adalah persetujuan; 2. Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan

akibat hukum tanpa dimaksudkan (misal: perbuatan yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum);

3. Definisi Pasal 1313 KUHPerdata hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi (misal: schenking atau hibah). Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pidak di mana para pihak saling berprestasi;

4. Pasal 1313 KUHPerdata hanya mengenal persetujuan obligatoir (melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis lainnya (misalnya: perjanjian liberatoir/membebaskan, perjanjian dilapangan hukum keluarga, perjanjian kebendaan, perjanjian pembuktian).

28

(8)

Berdasarkan alasan yang dikemukankan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dari definisi di atas, telah terlihat adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebihberdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatansebelumnya atau yang mendahuluinya.29

2. Pengertian Perjanjian Kerjasama

Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus terdapat dua pihak, di mana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu. Di mana dalam kesepakatan itu, satu pihak wajib melaksanakan sesuai dengan yang telah disepakati, dan pihak yang satunya berhak mendapatkan sesuai dengan apa yang telah disepakati.

Perjanjian kerjasama merupakan suatu bentuk kerjasama yang berlandaskan atas perjanjian-perjanjian yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak yang sepakat untuk melakukan kerjasama.

Perjanjian kerjasama tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, perjanjian ini merupakan perjanjian yang lahir berdasarkan asas kebebasan

29

(9)

berkontrak. Meskipun tidak diatur dalam KUHPerdata, namun perjanjian kerjasama ini tetap berpedoman pada KUHPerdata. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan “Semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu.”

Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, “Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak”.

Sedangkan menurut Subekti perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu yaitu majikan berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain yaitu buruh.

Berdasarkan Black’s Law Dictionary perjanjian kerjasama merupakan “Suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat suatu hal yang khusus”.30

Berdasarkan definisi perjanjian kerjasama di atas memiliki kesamaan dengan pengertian perjanjian, karena suatu perjanjian kerjasama tidak dapat dipisahkan dari syarat-syarat perjanjian yang sah menurut KUHPerdata. Dengan

30

Edy Suprapto, Artikel Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerjasama,

(10)

kata lain, perjanjanjian kerjasama memiliki dasar hukum yang sama dengan suatu perjanjian yang merupakan suatu perangkat kaidah hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara dua orang atau lebih untuk yang satu mengikat dirinya kepada yang lain, atau di antara keduanya saling mengikatkan diri yang menimbulkan hak dan kewajiban satu sama lain, untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Pada dasarnya perjanjian kerjasama ini berawal dari suatu perbedaan atauketidaksamaan kepentingan diantara para pihak yang bersangkutan. Perumusanhubungan kontraktual tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan prosesnegosiasi diantara para pihak. Melalui negosiasi para pihak berupayamenciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatuyang diinginkan melalui proses tawar-menawar.31

Salah satu unsur yang terdapat dalam perjanjian kerjasama adalah adanya subjek hukum. Subjek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban yaitu Berawal dari terjadinya perbedaan kepentingan para pihak akan dicobadipertemukan melalui adanya kesepakatan dari para pihak. Oleh karena itumelalui hubungan perjanjian perbedaan tersebut dapat diakomodir dan selanjutnyadapat dibingkai dengan sebuah perangkat hukum sehingga dapat mengikat para pihak. Mengenai sisi kepastian hukum dan keadilan justru akan tercapai apabilaperbedaan yang ada diantara para pihak dapat terakomodasi melalui suatumekanisme hubungan kontraktual yang bekerja secara proporsional. Perjanjian yang terbentuk dari kesepakatan para pihak ini akan bersifat mengikat dan berlaku sebagai undang-undang dan wajib dilaksanakan dengan iktikad baik.

31

(11)

para pihak yang terkait dalam perjanjian kerjasama tersebut. Adapun pihak-pihak yang bersangkutan dalam perjanjian kerjasama antara lain, pihak yang berhak atas sesuatu dari pihak lain dan pihak yang berkewajiban memenuhi sesuatu kepada pihak yang satu.

Pada prinsipnya perjanjian kerjasama dibedakan dalam 3 pola yaitu: 4. Usaha Bersama (Joint Venture)

Joint venture adalah merupakan bentuk kerjasama umum dapat dilakukan pada semua bidang usaha, di mana para pihak masing-masing menyerahkan model untuk membentuk badan usaha yang mengelola usaha bersama.

5. Kerjasama Operasi (Joint Operation)

Joint operation adalah bentuk kerjasama khusus, di mana bidang usaha yang dilaksanakan merupakan bidang usaha yang merupakan hak atau kewenangan salah satu pihak. Bidang usaha itu sebelumnya sudah ada dan sudah beroperasi, di mana pihak investor memberikan dana untuk melanjutkan atau mengembangkan usaha yang semula merupakan hak atau wewenang pihak lain, dengan membentuk badan usaha baru sebagai pelaksana kegiatan usaha.

6. Operasi Sepihak (Single Operational)

(12)

mengoperasionalkan bangunan komersial tersebut untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian fee tertentu selama jangka waktu operasional dan setelah jangka waktu operasional berakhir investor wajib mengembalikan tanah beserta bangunan komersial di atasnya kepada pihak pemilik/yang menguasai tanah. Bentuk kerjasama ini lasimnya disebut : BOT (Build, Operate and Transfer), dan variannya adalah : BOOT (Build, Own, Operate and Transfer), BLT (Build,

Lease and Transfer) dan BOO (Build, Own and Operate).32

32

Raimond Flora Lamandasa, loc.cit.

Jumlah dari perjanjian ini tidak terbatas namun disesuaikan dengan kebutuhan para pihak yang mengadakan perjanjian ini, dan lahirnya perjanjian ini merupakan praktik nyata dari asas kebebasan berkontrak.

(13)

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan dipenuhinya empat syarat yang disebutkan dalam pasal tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.33

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Empat syarat sahnya perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah sebagai berikut :

2. Kecakapan untuk membuat perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, syarat-syarat tersebut dibagi kedalam dua kelompok besar, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.Dua syarat pertama dinamakan syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.34

Tidak terpenuhinya salah satu syarat dari keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, dapat mengakibatkan cacat dalam perjanjian dan perjanjian tersebut diancam dengan pembatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (apabila terdapat pelanggaran terhadap syarat subjektif), maupun batal demi hukum (dalam hal

33

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 14.

34

(14)

tidakterpenuhinya syarat objektif), dalam pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.35

1. Syarat Subjektif36

Syarat subjektif dalam syarat sahnya perjanjian, meliputi dua macam keadaan yaitu :

a. Terjadinya kesepakatan secara bebas diantara para pihak yang melangsungkan suatu perjanjian.

b. Adanya kecakapan untuk bertindak diantara para pihak yang melangsungkan suatu perjanjian.

Ad.a. Kesepakatan Bebas

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan.37Para pihak yang mengadakan perjanjian harus bersepakat dan setuju mengenai hal-hal pokok yang diadakan dalam perjanjian itu.38 Sepakat dan setuju itu sifatnya bebas, artinya benar-benar atas kemauan sukarela diantara para pihak artinya tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun. Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya bersifat mengancam.39

35

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op. cit., hal. 94.

36

(15)

Menurut ketentuan yang diatur di dalam KUHPerdata secara a contrario

dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan, maupun penipuan sebagaimana dituliskan dalam Pasal 1321 KUHPerdata.40

1. Tentang kekhilafan dalam perjanjian

Masalah kekhilafan diatur dalam Pasal 1322 KUHPerdata. Ada dua hal pokok dan prinsipil dari rumusan pasal 1322 KUHPerdata, yaitu :

a. Kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian;

b. Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan perjanjian karena kekhilafan yaitu, mengenai :

(1) Hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya (error in substantia). Misalnya seseorang menganggap bahwa ia membeli lukisan yang asli, ternyata kemudian mengetahui bahwa lukisan yang dibelinya adalah tiruan.

(2) Terhadap orang yang dibuatnya suatu perjanjian (error in persona). Misalnya, seorang penyelenggara konser menandatangi perjanjian dengan seorang penyanyi sebagai salah satu pengisi acara. Namun setelah penandatanganan perjanjian tersebut, baru diketahui bahwa orang yang menandatangani perjanjian bukanlah orang yang dimaksud hanya saja karena namanya sama.

40

(16)

2. Tentang paksaan dalam perjanjian

Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian diatur dalam lima pasal, yaitu dari Pasal 1323 KUHPerdata hingga Pasal 1327 KUHPerdata. Ketentuan dalam Pasal 1323 KUHPerdata merujuk pada subjek yang melakukan pemaksaan, yang dilakukan oleh pihak di dalam perjanjian, orang yang bukan pihak dalamperjanjian tetapi memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat tersebut.Selanjutnya berdasarkan rumusan Pasal 1325 KUHPerdata, dapat diketahui bahwa subjek terhadap siapa paksaan dilakukan ternyata tidak hanya meliputi orang yang merupakan pihak dalam perjanjian, melainkan juga termasuk didalamnya suami atau istri dan keluarga dalam garis keturunan ke atas maupun ke bawah.

Pasal 1324 KUHPerdata dan Pasal 1326 KUHPerdata berbicara mengenai akibat paksaan atau ancaman yang dilakukan, yang dapat dijadikan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang telah dibuat (dibawah paksaan atau ancaman tersebut).Jika merujuk pada rumusan Pasal 1324 KUHPerdata dan Pasal 1326 KUHPerdata, dapat diketahui bahwa paksaan yang dimaksud dapat terwujud dalam dua bentuk kegiatan atau perbuatan. Perbuatan yang dimaksud berupa :

a. Paksaan fisik, dalam pengertian kekerasan;

b. Paksaan psikis, yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis atau kejiwaan.

Selain itu, paksaan tersebut juga mencakup dua hal yaitu :

(17)

b. Harta kekayaan dari pihak-pihak yang disebut dalam Pasal 1325 KUHPerdata.

Paksaan terjadi, jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Paksaan yang dimaksud dalam KUHPerdata tidak hanya berarti tindakan kekerasan saja tetapi paksaan dalam arti yang lebih luas yaitu meliputi ancaman terhadap kerugian kepentingan hukum seseorang. Intinya,bukan kekerasan itu sendiri tetapi rasa takut yang ditimbulkan oleh adanya kekerasan tersebut.

3. Tentang penipuan dalam perjanjian

Penipuan sebagai alasan pembatalan suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata yang terdiri dari dua ayat. Dari rumusan pasal ini dapat dilihat, bahwa penipuan mempunyai unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam perjanjian untuk mengelabui pihak lawannya sehingga pihak yang satunya memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat antara mereka. KUHPerdata menyatakan bahwa masalah penipuan yang berkaitan dengan kesengajaan ini harus dapat dibuktikan dan tidak diperbolehkan hanya dengan adanya persangkaan saja.

Ad.b. Kecapakan Untuk Bertindak

(18)

21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah :41

1. Anak dibawah umur (minderjarigheid)

2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan, dan

3. Istri (Pasal 1330 KUHPerdata). Akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 3 Tahun 1963.

Mengenai kewenangan melakukan perbuatan hukum atau kewenangan untuk membuat perjanjian, dikatakan ada kewenangan apabila ia mendapat kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yaitu membuat perjanjian. Dikatakan tidak ada kewenangan apabila ia tidak mendapat kuasa untuk itu.42

2. Syarat Objektif

Syarat objektif adalah syarat mengenai perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.Tidak dipenuhinya dua syarat ini bisa mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Syarat objektif dalam syarat sahnya perjanjian meliputi dua macam hal yaitu :

a. Mengenai suatu hal tertentu

Suatu perjanjian haruslah memiliki objek tertentu sekurang-kurangnya dapat ditentukan jenisnya.43

41

Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 34.

42

Abdulkadir Muhammad, op. cit., hal. 93.

43

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op. cit., hal. 154.

(19)

KUHPerdata.Jika melihat kepada rumusan pasal tersebut, KUHPerdata hanya menekankan pada perikatan untuk menyerahkan sesuatu. Namun jika diperhatikan lebih lanjut, rumusan dari pasal tersebut hendak menegaskan bahwa apapun jenis perikatannya baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. KUHPerdata hendak menjelaskan bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan dari suatu kebendaan yang tertentu.44

b. Adanya sebab (causa) yang halal

Kebendaan yang diperjanjikan tersebut harus cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.Syarat bahwa kebendaan itu harus dapat ditentukan jenisnya, gunanya untuk menetapkan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari kedua belah pihak itu apabila timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian.

Sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, atau yang mendorong orang untuk membuat suatu perjanjian. Tetapi didalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Hukum pada dasarnya tidak menghiraukan apa yang ada dalam gagasan atau pemikiran seseorang, yang diperhatikan adalah tindakan yang nyata dan dilakukan dalam masyarakat. Dalam Pasal 1335 KUHPerdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah :

1. Bukan tanpa sebab;

44

(20)

2. Bukan sebab yang palsu; 3. Bukan sebab yang terlarang.

Di dalam Pasal 1336 KUHPerdata, dapat dilihat bahwa yang diperhatikan oleh undang-undang adalah “isi perjanjian” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah bertentangan dengan undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak dalam pelaksanaan suatu perjanjian.

Sementara didalam Pasal 1337 KUHPerdata hanya disebutkan causa yang terlarang.Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebab yang halal adalah prestasi yang wajib dilakukan oleh para pihak sebagaimana yang telah diperjanjikan, tanpa adanya prestasi yang telah diperjanjikan untuk dilakukan maka perjanjian tidak akan ada diantara para pihak.45

Akibat hukum dari perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal adalah perjanjian itu batal demi hukum.Dengan demikian tidak ada yang menjadi dasar untuk menuntut pemenuhan prestasi karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.Dan begitu pula sebaliknya apabila perjanjian itu tanpa sebab maka perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.46

C. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian

Asas-asas dalam perjanjian merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip hukum yang masih bersifat abstrak atau dapat dikatakan bahwa

45

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit.,hal. 164.

46

(21)

asas dalam perjanjian merupakan dasar yang melatarbelakangi suatu peraturan yang bersifat konkret dan bagaimana perjanjian itu dibentuk dan dilaksanakan.

Menurut Rutten, asas-asas Hukum Perjanjian yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata ada 3 (tiga), yaitu :47

1. Asas Konsensualisme, bahwa perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara formil tetapi konsensual, artinya perjanjian itu selesai karena persetujuan kehendak atau konsensus semata-mata.

2. Asas kekuatan mengikat dari perjanjian, bahwa pihak-pihak harusmemenuhi apa yang telah diperjanjikan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal1338 KUHPerdata; bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-Undangbagi para pihak yang membuatnya.

3. Asas kebebasan berkontrak, dalam hal ini orang bebas membuat atau tidakmembuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syaratperjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih Undang-Undang mana yang akan dipakai untuk perjanjian itu.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, sistem hukum kontrak memiliki sejumlah asas umum sebagai berikut :

1. Asas Kebebasan Berkontrak48

Asas kebebasan berkontrak (partij autonomi, freedom of contract, contractvrijheid) yang mengakibatkan sistem hukum perjanjian terbuka. Peraturan-peraturannya bersifat melengkapi (aanvullen, regulatory).

47

Purwahid Patrik, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1986, hal. 3.

48

(22)

Kebebasan berkontrak artinya bebas menentukan isi perjanjian dan dengan siapa mengadakan perjanjian.

Sepakat mereka yang mengikat diri adalah asas esensial dari Hukum Perjanjian. Asas ini dinamakan asas partij autonomi, yang menentukan “adanya” (raison d’etre, het bestaanwaarde) dari suatu perjanjian.

Asas kebebasan berkontrak bersifat universal yang merujuk pada adanya kehendak yang bebas dari setiap orang untuk membuat kontrak atau tidak membuat kontrak, pembatasannya hanyalah untuk kepentingan umum dan di dalam kontrak itu harus ada keseimbangan yang wajar.

Asas ini merupakan salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.

Dengan adanya asas kebebasan berkontrak maka sistem hukum perjanjian terbuka. Pihak-pihak bebas untuk mengadakan perjanjian sepanjang memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Di dalam perkembangannya asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit dilihat dari beberapa segi, yaitu :

a. Dari segi kepentingan umum;

b. Dari segi perjanjian baku (standar); dan

c. Dari segi perjanjian dengan pemerintah (Perjanjian Publik).

2. Asas Konsensualisme (Persesuaian Kehendak)49

49

(23)

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang merefleksikan asas kebebasan berkontrak dan merupakan dasar-dasar dari sistem Hukum Perjanjian yang bersifat terbuka.

Arti “kemauan, kehendak” (will) di sini ialah bahwa ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kemauan ini didasarkan pada kepercayaan (trust,

vertrouwen)bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini

merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.

Falsafah ini tergambar juga dalam sebuah pantun Melayu yang mengatakan, “kerbau dipegang talinya, manusia dipegang kata-katanya.”

3. Asas Kepercayaan50

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan (trust) di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya. Dengan kata lain, akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan tersebut, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.

Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

4. Asas Kekuatan Mengikat51

Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang

50

Ibid., hal. 89.

51

(24)

diperjanjikan, tetapi sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan, dan kebiasaan yang mengikat para pihak.

5. Asas Persamaan Hukum52

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain lain.

Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

6. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur. Namun, kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan iktikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.53

7. Asas Kepastian Hukum54

52

Ibid.

53

Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 507.

54

(25)

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

8. Asas Moral55

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, di mana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur. Juga, hal ini terlihat di dalam mengurus kepentingan orang lain, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan “kesusilaan” (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya.

9. Asas Kepatutan56

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Asas kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Menurut hemat seorang penulis, asas kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

10.Asas Kebiasaan57

55

Ibid.

56

Ibid., hal. 91.

57

(26)

Asas ini diatur dalam Pasal 1338 jo. 1347 KUHPerdata, yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas dinyatakan.

Asas-asas hukum bersifat abstrak, yang terdiri dari nilai (value) yang merupakan akar dari hukum positif lembaga legislatif dan pengadilan wajib berupaya menentukan bahwa hukum positif berupa perundang-undangan dan putusan pengadilan wajib mampu mewujudkan asas-asas tersebut.

Harlien Budiono mengemukakan adanya hubungan timbal balik antara asas-asas hukum dan aturan-aturan hukum. Dapat dikatakan bahwa asas hukum diakui keberadaan dan pengaruhnya oleh pembuat undang-undang.58

D. Asas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya dengan Klausula

Perjanjian Kerjasama PT. Asusindo Servistama dan Medan Selular

1. Pengertian Asas Kebebasan Berkontrak

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya pahamindividualisme yang secara embrional lahir pada zaman Yunani yang diteruskankaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisans

melalui, antara lainajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan Rosseau. Menurutpaham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yangdikehendakinya.59

58

Harlien Budiono, op. cit., hal. 89.

59

(27)

Kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebasyang dipelopori oleh Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya berdasarkanpemikirannya pada ajaran hukum alam. Hal yang sama menjadi dasar pemikiranJeremy Bentham yang dikenal dengan utilitarianism. Utilitarianism dan teori ekonomiklasik laissez faire dianggap saling melengkapi dan sama-sama menghidupkanpemikiran liberal modernsilistis.60

Asas kebebasan berkontrak mengandung arti bahwa seseorang bebasmembuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi berlakunya dansyarat-syarat perjanjian dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih Undang-Undang mana yang akan dipakainya untuk perjanjian itu.61

Dalamperkembangannya, kebebasan berkontrak hanya bisa mencapai tujuan bila para pihakmempunyai kedudukanyang seimbang. Jika salah satu pihaklemah makapihak yang memiliki kedudukan lebih kuat dapat memaksakan kehendaknyauntuk menekan pihak lain demi keuntungan dirinya sendiri.

Asas kebebasanberkontrak (freedom of contract) dapat di simpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang di buat secara sahakan mengikat sebagai Undang-undang bagi para pembuatnya.

Perkembangan kebebasan berkontrak dapat mendatangkan ketidakadilankarena prinsip ini hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkankesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki kedudukanyangseimbang. Dalam kenyataan hal tersebut sering tidak terjadi demikian sehingganegara menganggap perlu campur tangan untuk melindungi pihak yang lemah.

60

P.S. Atiyah, Hukum Kontrak, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1979, hal. 324.

61

(28)

syarat atauketentuan dalam kontrak/perjanjian untuk waktu tertentu yang semacam itu akhirnyaakan melanggar aturan-aturan yang adil dan layak.

Keadaan tersebut di atas bisa berlaku dalam hubungan perjanjian antaramajikan dengan buruh yang kemudian menimbulkan hal-hal yang negatif dalam artipihak yang mempunyai kedudukan yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, dan pihak yang kuat mendapat keuntungan dari tindakannya tersebut. Asas kebebasan berkontrak ini terkandung dalam Pasal1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sahberlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Denganmenekankan pada perkataan semua, maka Pasal tersebut seolah-olah berisikansuatupernyataan kepada masyarakat untuk diperbolehkan membuat perjanjian yangberupa danberisi tentang apa saja dan diperbolehkan pula membuat undang-undang sendiri,asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Lebih tegasnya para pihak yang membuat perjanjian dapat menciptakan suatuketentuan sendiri untuk kepentingan mereka sesuai dengan apa yang dikehendaki.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa asaskebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada parapihak untuk: 62

1. membuat atau tidak membuat perjanjian; 2. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; 4. menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.

62

(29)

Ad.1. Kebebasan bagi para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian Kebebasan ini mengandung pengertian bahwa para pihak bebas untukmembuat atau tidak membuat perjanjian, tidak ada paksaan bagi para pihakuntuk membuat atau tidak membuat perjanjian. Dikatakan tidak ada paksaan,apabila pihak yang membuat perjanjian tidak berada di bawah ancaman, baikdengan kekerasan jasmani maupun upaya yang bersifat menakut-nakuti,misalnya akan membuka rahasia atau merusak hartanya, sehingga dengan demikian yang bersangkutan terpaksa menyetujui perjanjian tersebut (Pasal 1324 KUHPerdata).

Ad.2. Kebebasan untuk menentukan dengan siapa para pihak akan mengadakan perjanjian

KUH Perdata maupun ketentuan perundang-undangan lainnya tidak melarangbagi seseorang untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun juga yang dikehendakinya. Undang-undang (KUHPerdata) hanya menetukan bahwa orang-orangtertentu tidak cakap untuk membuat perjanjian sebagaimana di aturdalam Pasal 1330 KUHPerdata. Oleh karena itu, kita bebas untuk menentukan dengan siapa kita akan mengadakan perjanjian.

Ad.3. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan perjanjian dengan bentuk tertentu atau tidak

(30)

tertulis dapat dengan mudah di jadikan sebagai alat bukti apabila sampai terjadipersengketaan.63

Mengenai perjanjian tersebut Mariam Darus Badrulzaman mencontohkan padaperjanjian untuk mendirikan Perseroan Terbatas yang harus dengan aktaNotaris (Pasal 38 Kitab Undang-undang Hukum Dagang).

Sedangkan perjanjian secara tidak tertulis/lisan akan lebih sulitpembuktiannya apabila terjadi persengketaan karena di samping harus dapatmenunjukan saksi-saksi, juga harus dibuktikan dengan adanya iktikad baik daripihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila salah satu pihakmempunyai iktikad tidak baik (misalnya mengingkari kesepakatan), maka halini akan menyulitkan pihak lain dalam membuktikan keabsahan perjanjianyang di maksud.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, untuk beberapa perjanjian tertentuUndang-undang menentukan adanya suatu bentuk tertentu (tertulis). Apabilabentuk tertentu itu tidak di ikuti, maka perjanjian menjadi tidak sah. Dengandemikian, perjanjian secara tertulis tidaklah hanya semata-mata merupakan alatpembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian itu.

64

Secara yuridis, eksistensi perjanjian baku masih dipertanyakan karena masihada yang setuju dengan adanya perjanjian tersebut, tetapi juga ada sarjana yangmenolak perjanjian jenis tersebut. Menurut Stein dalam Hasanudin Rahman, Ad.4. Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan isi, berlaku dan syarat-syarat perjanjian

63

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hal. 65.

64

(31)

bahwa dasar berlakunya perjanjian baku (standar) ini adalah berdasarkan fiksi, adanya kemauan dan kepercayaanyangmembangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri padaperjanjian itu. Jika dia menerima perjanjian itu, berarti dia secara sukarelasetuju pada isi perjanjian itu.65

Hondius juga menyatakan bahwa suatu perjanjian baku mempunyai kekuatanhukum berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang berlaku dalam masyarakat.

Selanjutnya, Asser–Rutten dalam Munir Fuady menyatakan bahwa seseorangmengikat diri pada perjanjian baku karena dia sudah menandatangani perjanjiantersebut, sehingga dia harus di anggap mengetahui, serta menghendaki dankarenanya bertanggungjawab kepada isi perjanjian tersebut. Senada dengan itu,

66

2. Kaitan Asas Kebebasan Berkontrak dengan Klausula Perjanjian Kerjasama Antara PT. Asusindo Servistama dan Medan Selular

Setiap Perjanjian Kerjasama pasti terbentuk berdasarkan asas kebebasan berkontrak maupun asas keseimbangan. Hal yang sama juga berlaku terhadap perjanjian tentang kerjasama antara PT. Asusindo Servistama dengan Medan Selular. Dilihat dari pengertian asas kebebasan berkontrak di atas, suatu perjanjian baik perjanjian kerjasama tidaklah luput dari yang namanya asas kebebasan berkontrak dan asas keseimbangan.

65

Hasanudin Rahman, diakses pada tanggal 07 April 2017.

66

(32)

Yang dibahas disini adalah, apakah perjanjian ini telah memenuhi asas kebebasan berkontrak dan asas keseimbangan sesuai dengan asas perjanjian yang ada ?

Setelah meneliti dan mempelajari lebih jauh mengenai Perjanjian Kerjasama Antara PT. Asusindo Servistama dan Medan Selular, dapat dilihat bahwa bentuk perjanjian kerjasama ini adalah perjanjian baku (standar) yang dimana isi klausula perjanjian ditentukan secara sepihak oleh PT. Asusindo Servistama yang secara sengaja maupun tidak sengaja telah mengabaikan asas kebebasan berkontrak serta asas keseimbangan para pihak yang dimana suatu kontrak/perjanjian yang dibuat secara sepihak pasti menguntungkan pihak pertama atau pihak yang membuat isi klausula dari perjanjian tersebut.

Walaupun perjanjian kerjasama ini adalah perjanjian baku (standar), yang juga isi klausula ditentukan secara sepihak, hal ini tidak lantas membuat perjanjian ini cacat hukum (dapat dibatalkan ataupun batal demi hukum) dikarenakan perjanjian ini sama sekali tidak melanggar syarat-syarat perjanjian yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

(33)

Setelah mewawancara owner/pemilik toko Medan Selular yaitu Bapak Edy Santo, akhirnya dapat diketahui bahwa perjanjian kerjasama ini adalah suatu perjanjian yang mau tidak mau harus di sepakati, atau sering disebut dengan istilah asing “take it or leave it” yang artinya bahwa jika tidak disepakati maka silahkan melepaskan benefit (keuntungan) yang didapat dari perjanjian kerjasama tersebut. Jika perjanjian kerjasama ini tidak disepakati maka ketika Medan Selular menjual produk Asus, maka mereka tidak akan mendapatkan benefit(keuntungan) tambahan dari PT. Asusindo Servistama. Benefit (Keuntungan) tambahan yang ditawarkan oleh PT. Asusindo Servistama ini adalah berupa insentif uang tunai apabila mencapai target sesuai dengan yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kerjasama tersebut.

Dari hal segi kedudukan keseimbangan dalam perjanjian ini pun sangat memberatkan posisi pihak kedua, dikarenakan dalam klausula perjanjian hanya di bahas mengenai kewajiban dari pihak kedua yaitu Medan Selular, sedangkan kewajiban dari pihak pertama yaitu PT. Asusindo Servistama tidak dijelaskan sama sekali. Adapun beberapa pasal/point pada perjanjian ini hanya memberatkan perjanjian kepada pihak kedua seperti yang tertera pada point 7.2 “ASUS mempunyai hak untuk memodifikasi ataupun menghentikan program dengan pemberitahuan terlebih dahulu 30 hari sebelumnya kepada AP (ASUS Partner)67

67

Yang dimaksud dengan AP (ASUS Partner) disini adalah pihak kedua yaitu Medan Selular.

(34)

penipuan terhadap informasi/dokumen yang diberikan AP (ASUS Partner) akan berakibat segera dihentikannya program ini”.68

Dalam hal ini isi klausula perjanjian kerjasama ini sesungguhnya telah mengabaikan asas kebebasan berkontrak dan asas keseimbangan sesuai dengan asas hukum perjanjian yang terlihat secara jelas dan nyata. Namun kekuasaan

(power) dari kedudukan PT. Asusindo Servistama sangat besar, sehingga akan sangat sulit atau hampir tidak mungkin (mustahil) untuk membuat isi klausula perjanjian kerjasama secara bersama dalam menentukan isi pasal/point dalam perjanjian kerjasama ini. Seharusnya dalam suatu perjanjian tercantum hak dan

Dikaji dari 2 (dua) point tersebut, hal ini tentu memberatkan salah satu pihak yaitu pihak kedua, kedua point ini hanya membahas mengenai bagaimana kekuasaan yang dapat dilakukan pihak pertama yaitu PT. Asusindo Servistama terhadap pihak kedua yaitu Medan Selular selaku AP (ASUS Partner) apabila pihak kedua melanggar ketentuan point tersebut, maka dapat dihentikan secara sepihak perjanjian kerjasama tersebut dan pihak pertama juga berhak secara sepihak memodifikasi ataupun menghentikan program tersebut secara sepihak dengan pemberitahuan terlebih dahulu. Disini sangat terlihat jelas ketimpangan atau ketidakseimbangan kedudukan dalam perjanjian kerjasama ini.

Namun seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa perjanjian kerjasama ini mau tidak mau, suka tidak suka harus disepakati dan ditandatangani. Karena apabila tidak diambil/disepakati, maka sepertinya yang dikatakan sebelumnya,

benefit (keuntungan) tambahan apabila menjual produk ASUS tidak akan di dapatkan oleh pihak Medan Selular.

68

(35)

Referensi

Dokumen terkait

Pengetahuan dan pemahaman - menjelaskan - mengidentifikasi Siswa mampu:  Menjelaskan prosedur keamanan dan kesehatan kerja di bidang pekerjaan elektromekanik Siswa

Ekosistem mangrove juga, merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis organismelainnya, sehingga hutan mangrove menyediakan keanekaragaman

Peserta didik mampu menganalisis tentang penggunaan pelbagai media digital untuk penyampaian materi tertentu dalam buku

Prinsip Bagi Hasil (Syirkah) Produk pembiayaan syariah yang didasarkan atas prinsip bagi hasil adalah sebagai berikut : 1) Pembiayaan Musyarakah dalam pernyataan Standar

Apabila dalam keadaan yang sangat memaksa perkawinan di bawah umur dapat dilakukan dengan mengajukan dispensasi ke pengadilan agama yang telah ditunjuk oleh kedua orang tua dari

[r]

Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 1

“ Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita