• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Motivasi Perawat dengan Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Motivasi Perawat dengan Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Motivasi Kerja

Menurut Robbins et al (1999), motivasi merupakan kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi untuk mencapai tujuan- tujuan keorganisasian, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya, untuk memenuhi kebutuhan individual tertentu. Sedangkan menurut Gray et al (1984), motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi dalam hal melaksanakan kegiatan- kegiatan tertentu (Winardi, 2011).

Chiselli dan Brown dalam Manullang (2004.193), menjelaskan motivasi dianggap sebagai suatu proses dengan mana keinginan dan kebutuhan itu ditimbulkan dan motif dianggap sebagai kebutuhan dan keinginan tertentu. Winardi dalam Manullang (2004.193), menyatakan motivasi adalah keinginan yang terdapat pada seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan- tindakan. Dan pengertian motivasi menurut Hasibuan (2003.219) adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan.

(2)

arah tekad tertentu (Stoner & Freman, 1995). Ngalim Purwanto (2000) menyatakan motivasi adalah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi adalah perasaan atau pikiran yang mendorong seseorang melakukan pekeerjaan atau menjalankan kekuasaan terutama dalam berprilaku (Shortell & Kaluzny, 1994).

Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi sesuatu yang bersifat dinamis dan merupakan suatu proses yang dapat menampilkan perilaku untuk mencapai tujuan dalam merumuskan kebutuhan-kebutuhan dirinya, hingga mendapatkan tujuan yang dikehendaki dan dapat selaras dengan waktu yang ada.

2.2. Aspek-Aspek Motivasi

Menurut Hasibuan (1996), motivasi dibagi menjadi dua aspek yaitu aspek aktif atau dinamis dan aspek pasif atau statis. (1) aspek aktif atau dinamis yaitu motivasi tampak sebagai usaha positif dalam menggerakkan dan mengarahkan sumber daya manusia agar secara produktif berhasil mencapai tujuan yang diinginkan; (2) aspek pasif atau statis yaitu motivasi akan tampak sebagai kebutuhan dan juga sekaligus sebagai perangsang untuk dapat mengarahkan dan menggerakkan potensi sumber daya manusia kearah tujuan yang diinginkan.

2.3. Motivasi Herzberg 2.3.1 Motivasi Intrinsik

(3)

motivasional. Menurut Herzberg yang dikutip oleh Luthans (1992 : 160 ), yang tergolong sebagai faktor motivasional antara lain ialah:

1. Achievement (Keberhasilan)

Keberhasilan seorang pegawai dapat dilihat dari prestasi yang diraihnya Agar sesorang pegawai dapat berhasil dalam melakasanakan pekerjaannya, maka pemimpin harus mempelajari bawahannya dan pekerjaannya dengan memberikan kesempatan kepadanya agar bawahan dapat berusaha mencapai hasil yang baik. Bila bawahan terlah berhasil mengerjakan pekerjaannya, pemimpin harus menyatakan keberhasilan itu.

2. Recognition (pengakuan/penghargaan)

Sebagai lanjutan dari keberhasilan pelaksanaan, pimpinan harus memberi pernyataan pengakuan trhadap keberhasilan bawahan dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu:

a) Langsung menyatakan keberhasilan di tempat pekerjaannya, lebih baik dilakukan sewaktu ada orang lain

b) Surat penghargaan

c) Memberi hadiah berupa uang tunai

d) Memberikan medali, surat penghargaan dan hadiah uang tunai e) Memberikan kenaikan gaji promosi

3. Work it self (Pekerjaan itu sendiri)

(4)

dari kebosanan dalam pekerjaan bawahan serta mengusahakan agar setiap bawahan sudah tepat dalam pekerjaannya.

4. Responsibility (Tanggung jawab)

Agar tanggung jawab benar menjadi faktor motivator bagi bawahan, pimpinan harus menghindari supervise yang ketat, dengan membiarkan bawahan bekerja sendiri sepanjang pekerjaan itu memungkinkan dan menerapkan prinsip partisipasi. Diterapkannya prinsip partisispasi membuat bawahan sepenuhnya merencanakan dan melaksanakan pekerjaannya.

5. Advencement (Pengembangan)

Pengembangan merupakan salah satu faktor motivator bagi bawahan. Faktor pengembangan ini benar-benar berfungsi sebagai motivator, maka pemimpin dapat memulainya dengan melatih bawahannya untuk pekerjaan yang lebih bertanggung jawab. Bila ini sudah dilakukan selanjutnya pemimpin member rekomendasi tentang bawahan yang siap untuk pengembangan, untuk menaikkan pangkatnya, dikirim mengikuti pendidikan dan pelatihan lanjutan.

2.3.2 Motivasi Ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang bersumber dari luar diri yang turut menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang yang dikenal dengan teori hygiene factor. Menurut Herzberg yang dikutip oleh Luthans (1992 : 160 ), yang tergolong sebagai hygiene factor antara lain ialah berikut:

1. Policy and administration (Kebijakan dan administrasi)

(5)

tertulis adalah baik, karena itu yang utama adalah bagaimana pelaksanaan dalam praktek. Pelaksanaan kebijakasanaan dilakukan masing masing manajer yang bersangkutan. Dalam hal ini supaya mereka berbuat seadil-adilnya.

2. Quality supervisor (Supervisi)

Dengan technical supervisor yang menimbulkan kekecewaan dimaksud adanya kurang mampu dipihak atasan, bagaimana caranya mensupervisi dari segi teknis pekerjaan yang merupakan tanggung jawabnya atau atasan mempunyai kecakapan teknis yang lbih rendah dari yang diperlukan dari kedudukannya. Untuk mengatasi hal ini para pimpinan harus berusaha memperbaiki dirinya dengan jalan mengikuti pelatihan dan pendidikan.

3. Interpersonal relation (Hubungan antar prbadi)

Inteprsonal relation menunjukkan hubungan perseorangan antara bawahan dengan atasannya, dimana kemungkinan bawahan merasa tidak dapat bergaul dengan atsannya. Agar tidak menimbulkan kekecewaaan pegawai, maka minimal ada tiga kecakapan harus dimiliki setiap atasan yakni:

a. Technical skill (kecakapan terknis). Kecakapan ini sangat bagi pimpinan tingkat terbawah dan tingkat menengah, ini meliputi kecakapan menggunakan metode dan proses pada umumnya berhubungan dengan kemampuan menggunakan alat.

(6)

c. Conseptual skill (kecakapan konseptual) adalah kemampuan memahami kerumitan organisasi sehingga dalam berbagai tindakan yang diambil tekanan selalu dalam uasaha merealisasikan tujuan organisasi keseluruhan. 4. working condition (Kondisi kerja)

Masing-masing manejer dapat berperan dalam berbagai hal agar keadaan masing-masing bawahannya menjadi lebih sesuai. Misalnya ruangan khusus bagi unitnya, penerangan, perabotan suhu udara dan kondsi fisik lainnya. Menurut Hezberg seandainya kondisi lingkungan yang baik dapat tercipta, prestasi yang tinggi dapat tercipta, prestasi tinggi dapat dihasilkan melalui kosentrasi pada kebutuhan-kebutuhan ego dan perwujudan diri yang lebih tinggi.

5. wages (Gaji)

Pada umumnya masing-masing manajer tidak dapat menentukan sendiri skala gaji yang berlaku didalam unitnya. Namun demikian masing-masing manajer mempunyai kewajiban menilai apakah jabatan-jabatan dibawah pengawasannya mendapat kompensasi sesuai pekerjaan yang mereka lakukan. Para manajer harus berusaha untuk mengetahui bagaimana jabatan didalam kantor diklasifikasikan dan elemen-elemen apa saja yang menentukan pengklasidikasian itu (Brantas. 2009).

2.4 Motivasi Kerja Perawat

(7)

merujuk ke upaya yang dilakukan guna mencapai setiap sasaran, disini kita merujuk ke sasaran organisasi karena fokus kita adalah perilaku yang berkaitan dengan kerja. Unsur upaya merupakan ukuran intensitas atau dorongan. Seseorang yang termotivasi berusaha keras. Namun tingkat upaya yang tinggi tidak selalu menghasilkan kinerja yang menguntungkan, kecuali jika usaha disalurkan kearah yang menguntungkan organisasi. Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan mutu usaha itu beserta intensitasnya. Usaha yang diarahkan ke sasaran organisasi dan konsisten dengan sasaran organisasi merupakan jenis usaha yang harus kita cari. Akhirnya, kita akan memperlakukan motivasi sebagai proses memuaskan kebutuhan (Robbins & Coulter, 2007).

Motivasi kerja merupakan faktor utama individu dalam melakukan segala tindakan atau pekerjaan untuk mencapai hasil seoptimal mungkin. Motivasi kerja disini merupakan suatu kondisi atau keadaan yang mempengaruhi seseorang untuk terus meningkatkan, mengarahkan serta memelihara perilakunya yang berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan lingkungan kerjanya (Badi'ah & dkk, 2009).

(8)

berperan penting untuk meninjau permasalahan tersebut menurut teori kebutuhan dasar Maslow. Apakah kebutuhan tersebut sudah terpenuhi atau belum. Jika kebutuhan tersebut belum terpenuhi maka kemungkinan motivasi kerja menjadi buruk (Suyanto, 2009).

2.5 Perawat

Keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dalam keadaan sakit maupun sehat.

Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi Keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit.

Praktik Keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk Asuhan Keperawatan.

Asuhan Keperawatan adalah rangkaian interaksi Perawat dengan Klien dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian Klien dalam merawat dirinya.

(9)

Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi Perawat yang telah lulus Uji Kompetensi untuk melakukan Praktik Keperawatan. Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik Keperawatan yang diperoleh lulusan pendidikan profesi.

Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Perawat yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta telah diakui secara hukum untuk menjalankan Praktik Keperawatan.

Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Keperawatan kepada Perawat yang telah diregistrasi (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014).

2.5.1. Peran Perawat

Peran perawat merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dalam sistem, dimana dapat dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari profesi perawat maupun dari luar profesi keperawatan yang bersifat konstan. Peran perawat menurut konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 terdiri dari peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, advokat pasien, pendidik, koordinator, kolaborator, konsultan dan peneliti (Hidayat, 2004).

(10)

diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks (Hidayat, 2004).

Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya hak atas informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian (Hidayat, 2006). 2.5.2. Fungsi Perawat

Fungsi perawat dalam melakukan pengkajian pada individu sehat maupun sakit dimana segala aktivitas yang dilaksanakan berguna untuk pemulihan kesehatan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, aktifitas ini dilakukan dengan berbagai cara untuk melakukan kemandirian pasien secara mungkin dalam bentuk proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

(11)

2.5.3. Tugas Perawat

2.5.3.1. Tugas perawat di rumah sakit

Seorang perawat mempunyai tugas dan bertanggungjawab penuh selama 24 jam terhadap asuhan keperawatan pasien mulai dari pasien masuk sampai keluar rumah sakit.

2.5.3.2. Tugas perawat di ruangan

Pelaksana perawatan di ruangan adalah tenaga perawat profesional yang diberi wewenang untuk melaksanakan pelayanan keperawatan di ruangan dengan persyaratan berijazah pendidikan formal keperawatan, semua jenjang yang disahkan oleh pemerintah atau yang berwenang (Dep.Kes RI, 1994).

Pelaksana perawatan bertanggungjawab secara administrasi fungsional kepada kepala ruangan, sedangkan secara teknis medis operasional bertanggungjawab kepada dokter ruang rawat / dokter penanggung jawab ruangan (Dep.Kes RI, 1994).

Tugas pokoknya adalah melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien di ruangan, dengan uraian tugas sebagai berikut :

1. Memelihara kebersihan ruang rawat dan lingkungannya.

2. Menerima pasien baru sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku.

3. Memelihara peralatan perawatan dan medis agar selalu dalam keadaan siap pakai.

(12)

5. Menciptakan hubungan kerjasama yang baik dengan pasien dan keluarganya.

6. Mengkaji kebutuhan dan masalah kesehatan pasien, sesuai batas kemampuannya.

7. Menyusun rencana keperawatan sesuai dengan kemampuannya.

8. Melaksanakan tindakan keperawatan kepada pasien sesuai kebutuhan dan batas kemampuannya.

9. Berperan serta melaksanakan latihan mobilisasi pada pasien agar dapat segera mandiri.

10.Melakukan pertolongan pertama kepada pasien dalam keadaan darurat secara tepat dan benar sesuai kebutuhan.

11.Melaksanakan evaluasi tindakan keperawatan sesuai batas kemampuannya.

12.Memantau dan menilai kondisi pasien.

13.Menciptakan dan memelihara suasana yang baik antara pasien dan keluarganya, sehingga tercipta ketenangan.

14.Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan di bidang keperawatan, antara lain, melalui pertemuan ilmiah dan penataran.

(13)

2.6 Infeksi Nosokomial

2.6.1 Pengertian Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial atau yang disebut sebagai hospital acquired infection (HAI) adalah infeksi yang didapatkan dan berkembang selama pasien dirawat di rumah sakit (WHO, 2002). Seseorang mendapatkan Infeksi nosokomial apabila penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinis infeksi tersebut (Depkes, 2003). Pada saat penderita dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam masa inkubasi penyakit, tanda-tanda klinis infeksi tersebut baru timbul sekurangkurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai perawatan. Infeksi tersebut bukan merupakan infeksi sisa dari infeksi sebelumnya. Apabila saat pasien dirawat di rumah sakit sudah terlihat adanya tanda-tanda infeksi dan terbukti infeksi didapat bukan dari rumah sakit, tidak bisa disebut sebagai infeksi nosokomial. Menurut Djojosugito (2001), suatu infeksi dikatakan didapat di rumah sakit apabila :

a. Waktu mulai dirawat tidak didapatkan tanda klinis infeksi dan tidak sedang dalam masa inkubasi infeksi tersebut

b. Infeksi sekurang-kurangnya 72 jam sejak mulai dirawat

c. Infeksi terjadi pada pasien dengan masa perawatan lebih lama dari waktu inkubasi infeksi tersebut

d. Infeksi terjadi setelah pasien pulang dan dapat dibuktikan berasal dari rumah sakit

(14)

Infeksi nosokomial mudah terjadi karena kondisi tertentu (Widodo, 2006), misalnya :

a. Rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang sakit sehingga jumlah dan jenis kuman penyakit yang ada lebih banyak daripada di tempat lain b. Orang sakit mempunyai daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah

tertular

c. Di rumah sakit, seringkali penderita dilakukan tindakan invasif mulai dari yang sederhana, misalnya pemberian obat suntikan sampai dengan tindakan yang lebih invasif misalnya operasi

d. Mikroorganisme yang ada cenderung lebih resisten terhadap antibiotika, akibat penggunaan berbagai macam antibiotika yang seringkali tidak rasional e. Adanya kontak langsung antar pasien, atau petugas dengan pasien yang dapat

menularkan kuman patogen

f. Penggunaaan alat/peralatan kedokteran yang telah terkontaminasi oleh kuman.

2.6.2 Sejarah Infeksi Nosokomial

(15)

a. Tahun 1818 – 1865 rumah sakit di Wina yang digunakan sebagai lahan praktik mahasiswa kedokteran didapatkan data peningkatan angka kematian ibu post partum, setelah diteliti ternyata diakibatkan karena tidak dilakukannya tindakan cuci tangan sebelum menolong persalinan (Widodo, 2006).

b. Tahun 1982 di Jepang, terjadi epidemi oleh kuman Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotika tertentu. Dugaan yang ada akibat penggunaa cephalosporine yang berlebihan (Widodo, 2006);

c. Tahun 1982, Halley dan kawan-kawan melaporkan adanya peningkatan kejadian infeksi oleh Methicillin Resistance Staphylococcus Aureus (MRSA). Di rumah sakit yang ada di Amerika Serikat yang kemungkinan terjadi karena transfer pasien dan karyawan rumah sakit ke rumah sakit lainnya (Widodo, 2006).

2.6.3 Insiden

(16)

orang diseluruh dunia menderita infeksi akibat perawatan di rumah sakit (WHO, 2002).

Hasil survey point prevalensi dari 11 Rumah Sakit di DKI Jakarta yang dilakukan oleh Perdalin Jaya dan Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta pada tahun 2003 didapatkan angka infeksi nosokomial untuk Infeksi Luka Operasi (ILO) 18.9%, Infeksi Saluran Kemih (ISK) 15.1%, Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) 26.4%, Pneumonia 24.5%, Infeksi Saluran Nafas lain 15.1% serta infeksi lain 32.1%. Namun angka kejadian nasional infeksi nosokomial belum diketahui secara pasti (Depkes R.I, 2008). Sedangkan pada tahun 2000 Departemen Kesehatan Inggris melaporkan 10% dari seluruh rumah sakit di Inggris terjangkit infeksi nosokomial. Angka rata-rata infeksi nosokomial terjadi 10% di rumah sakit umum, ICU 15-20% , PICU 20-30% (Chen & Chiang, 2007).

2.6.4 Jenis-Jenis Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien berpedoman dengan menggunakan kriteria yang dikeluarkan oleh CDC Atlanta (Boyce dan Pittet, 2003 dalam Astuti, 2004), meliputi:

a. Infeksi Luka Operasi (ILO)

(17)

profunda, infeksi yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 30 hari atau sampai dengan satu tahun pasca bedah, meliputi jaringan lunak yang dalam dari insisi.

b. Infeksi Saluran Kemih (ISK)

Adalah infeksi saluran kemih yang didapat sewaktu pasien dirawat atau sesudah pasien dirawat. Saat masuk rumah sakit pasien belum ada atau tidak dalam masa inkubasi.

c. Infeksi Saluran Pernafasan/ Pneumonia

Infeksi saluran pernafasan/ pneumonia adalah infeksi saluran nafas bagian bawah yang didapat penderita selama penderita dirawat di rumah sakit. Infeksi ini tidak ada sebelumnya atau tidak dalam masa inkubasi pada saat penderita masuk rumah sakit. Angka kejadian nosokomial pneumonia menduduki urutan pertama infeksi nosokomial yang menyebabkan kematian di Intensive Care Unit (ICU) dan penyebabnya adalah penggunaan ventilator yang lama. Sedangkan untuk seluruh rumah sakit, infeksi saluran napas/pneumonia menduduki urutan kedua/ketiga dari semua jenis infeksi nosokomial. Tindakan medis yang dapat menyebabkan terjadinya nosokomial pneumonia antara lain pemberian enteral feeding, prosedur suction, penggunaan ventilator pada saat intubasi yang memungkinkan terdorong flora kuman di orofaring ke trakea, dan trauma pada saat tindakan suction.

d. Infeksi luka infus

(18)

2.6.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial Secara umum faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial pada diri pasien terdiri dari 2 (dua) faktor, yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen meliputi usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, daya tahan tubuh, kondisi-kondisi lokal. Faktor eksogen meliputi lama penderita dirawat, kelompok yang merawat, alat medis, serta lingkungan (Parhusip, 2005). WHO (2004) faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi nosokomial adalah tindakan invasif yang dapat menembus barier, contohnya pemasangan infus, kateterisasi, intubasi, ruangan yang terlalu penuh dengan pasien, kurangnya staf perawat, penyalahgunaan antibiotik, prosedur sterilisasi yang tidak sesuai prosedur, dan ketidakpatuhan petugas kesehatan terhadap prosedur pencegahan infeksi, khususnya mencuci tangan.

Secara umum, faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi nosokomial adalah sebagai berikut :

1. Usia

Yelda (2003) dalam penelitiannya tentang faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian infeksi nosokomial di beberapa rumah sakit di DKI Jakarta menemukan tidak adanya hubungan yang bermakna antara usia terhadap kejadian infeksi nosokomial.

2. Jenis kelamin

(19)

dibandingkan dengan bayi dengan berat badan rendah yang berjenis kelamin perempuan (Nguyen, 2009).

3. Lama hari rawat

Menurut Yelda (2003) lama hari rawat inap merupakan faktor yang cukup dominan yang dapat mempengaruhi angka kejadian infeksi nosokomial di RSUP Haji Adam Malik Medan.

4. Kelas ruang rawat

Kelas ruang rawat merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh latar belakang dan kondisi kemampuan ekonomi pasien. Lingkungan rumah sakit yang buruk, seperti ventilasi yang tidak adequat, kerapatan antara satu pasien ke pasien lainnya yang tidak sesuai standar, cahaya yang kurang bisa menjadi sumber infeksi nosokomial (Ahmad, 2002).

5. Komplikasi dan penyakit penyerta

Pasien dengan komplikasi penyakit penyerta sangat rentan mendapatkan infeksi nosokomial, hal ini dihubungkan dengan penurunan daya tahan tubuh (Parhusip, 2005).

6. Penggunaan alat invasif

(20)

7. Pemakaian antibiotik

Penggunaan antibiotik baik jenis maupun jumlah yang irasional tanpa menunggu hasil kultur dapat menyebabkan timbulnya infeksi nosokomial. Penelitian Sax (2002, dalam Yelda, 2003) menemukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara infeksi nosokomial dan pemaparan antibiotika. Ada hubungan bermakna antara kejadian infeksi nosokomial dengan pemaparan terhadap antibiotik beresiko mendapatkan infeksi 3,45 kali (Yelda, 2003). Adanya organisme patogen yang resisten terhadap antibiotik tertentu akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi nosokomial.

8. Mikroorganisme

Dari sisi organisme hal yang harus diperhatikan adalah virulensi dari organism tersebut karena tidak semua organisme memberikan akibat yang sama dan juga kolonisasi, dosis dan infeksi sekunder pada terapi antibiotik dan rendahnya pertahanan tubuh. Kemampuan mikroorganisme untuk dapat menyebabkan infeksi nosokomial tergantung pada virulensi, ketahanan host dan lokasi bagian tubuh yang diakibatkannya (Potter & Perry, 1993).

2.6.6 Pengendalian Infeksi Nosokomial

(21)

penting mengingat infeksi nosokomial ini merupakan masalah utama yang harus dicegah karena angka nosokomial yang tinggi menunjukkan indikator mutu rumah sakit yang buruk.

Selain itu program pengendalian infeksi merupakan program yang kontinue yang sangat bergantung pada kesadaran dan minat yang terus menerus dari seluruh karyawan rumah sakit.

Menurut Depkes (2009) kewaspadaan standar untuk pelayanan bagi pasien, kategori I artinya sangat direkomendasikan untuk seluruh rumah sakit. Kategori I meliputi :

1. Kebersihan tangan/ hand hygiene

2. Penggunaan alat pelindung diri, meliputi penggunaan sarung tangan, masker, goggle (kaca mata pelindung), face shield (pelindung wajah), gaun

3. Kebersihan peralatan perawatan pasien 4. Pengendalian lingkungan

5. Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen 6. Kesehatan karyawan/ perlindungan petugas kesehatan 7. Penempatan pasien

(22)

2.6.7 Peran Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial

Menurut Depkes (1998), upaya pencegahan terhadap terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit dimaksudkan untuk menghindarkan kejadian infeksi selama pasien dirawat di rumah sakit. Dibutuhkan peran petugas kesehatan khususnya perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial dengan menerapkan kewaspadaan umum yang dilakukan melalui tindakan perawat dalam mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, penggunaan alat pelindung diri, dekontaminasi alatalat, dan pengelolaan limbah padat di ruang rawat inap.

Untuk mengetahui betapa pentingnya upaya pencegahan infeksi nosokomial, berikut ini dijelaskan peran perawat dalam melaksanakan tindakan pencegahan infeksi nosokomial yaitu antara lain mencuci tangan, proses dekontaminasi, dan pengelolaan limbah padat (Depkes, 2009).

2.6.7.1 Cuci tangan

Dari sudut pandang pencegahan dan pengendalian infeksi, cuci tangan adalah cara sederhana pencegahan infeksi yang penting dilakukan pada saat sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. Cuci tangan merupakan proses secara mekanik melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun dan air (Depkes, 2009). Berikut ini dijelaskan tujuan, indikasi, dan prosedur standar cuci tangan.

1. Tujuan :

a. Menghilangkan seluruh kotoran dan debris serta menghambat atau membunuh mikroorganisme pada kulit

(23)

c. Menurunkan jumlah kuman yang tumbuh dibawah sarung tangan 2. Indikasi :

a. Segera : setelah tiba di tempat kerja

b. Sebelum : kontak langsung dengan pasien, menggunakan sarung tangan, menyiapkan obat-obatan, menyiapkan makanan, memberi makan pasien, dan meninggalkan rumah sakit

c. Setelah : kontak dengan pasien, melepas sarung tangan, melepas alat pelindung diri, kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi, eksudat, luka, kontak dengan peralatan yang diketahui atau mungkin terkontaminasi dengan darah, cairan tubuh, menggunakan toilet

3. Prosedur standar :

a. Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir b. Tuangkan sabun cair 3-5 cc di bagian telapak tangan yang basah c. Ratakan dengan kedua telapak tangan

d. Gosok punggung tangan dan sela-sela jari tangan kiri dan tangan kanan dan sebaliknya

e. Gosok kedua telapak dan sela-sela jari

f. Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci

g. Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan sebaliknya

h. Gosok dengan memutar ujung jari-jari di telapak tangan kiri dan sebaliknya.

(24)

j. Keringkan dengan handuk sekali pakai atau tissue towel sampai benar-benar kering

k. Gunakan handuk sekali pakai atau tissue towel untuk menutup kran

l. Pada cuci tangan aseptik dilarang menyentuh permukaan tidak steril, waktu yang dibutuhkan untuk mencuci tangan antara 5-10 menit

Untuk menghindari tumbuhnya mikroorganisme berkembang biak pada keadaan lembab, maka :

a. Dispenser sabun harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum pengisian ulang

b. Jangan menambahkan sabun cair kedalam tempatnya bila masih ada isinya, penambahan ini dapat menyebabkan kontaminasi bakteri pada sabun yang dimasukkan

c. Jangan gunakan baskom isi air untuk mencuci tangan walaupun didalamnya telah diberikan antiseptik, karena mikroorganisme dapat bertahan dan berkembang biak dalam larutan ini.

2.6.7.2 Penggunaan Alat Pelindung Diri

Peran perawat dalam upaya pencegahan infeksi nosokomial dilakukan melalui penggunaan alat pelindung diri saat melakukan tindakan atau kontak dengan pasien. Alat pelindung diri ini meliputi sarung tangan, masker, alat pelindung mata (pelindung wajah dan kaca mata), topi, gaun, apron dan pelindung lainnya. 2.6.7.3 Dekontaminasi

(25)

melakukan dekontaminasi dengan benar, berikut ini dijelaskan tujuan, indikasi, dan prosedur standar dekontaminasi alat kesehatan.

1. Tujuan :

a. Mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan

b. Mematikan mikroorganisme misalnya HIV, HBV, dan kotoran lain yang tidak tampak

c. Melindungi petugas dan pasien dari kuman patogen 2. Indikasinya adalah sebagai proses awal :

a. Alat kesehatan bekas pakai sebelum dicuci dan diproses lebih lanjut b. Penanganan tumpahan darah atau cairan tubuh lain

c. Dekontaminasi meja atau permukaan lain yang mungkin tercemar darah atau cairan tubuh lain

3. Prosedur standar : a. Cuci tangan

b. Kenakan sarung tangan rumah tangga, masker, kaca mata/ pelindung wajah

c. Rendam alat kesehatan segera setelah dipakai dalam larutan desinfektan (klorin 0.5%) selama 10 menit. Seluruh alat harus terendam dalam larutan klorin

d. Segera bilas dengan air sampai bersih e. Lanjutkan dengan pembersihan

(26)

g. Cuci tangan

2.6.7.4 Pengelolaan limbah padat

Pengelolaan limbah padat di ruang perawatan merupakan bagian dari pencegahan infeksi nosokomial. Berikut ini dijelaskan tentang jenis limbah, cara pengelolaan dan penanganan limbah.

1. Jenis limbah

Limbah yang ada di rumah sakit dapat dibagi dua yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat yang berasal dari rumah sakit secara umum dibedakan atas :

a. Limbah medis, yaitu limbah yang kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien dan dikategorikan sebagai limbah risiko tinggi. Limbah medis terdiri dari limbah klinis dan limbah laboratorium. Contoh limbah klinis antara lain kasa, pembalut wanita, potongan tubuh, jarum bekas pakai dan alat infuse bekas pakai, dan kantong drain bekas pakai

b. Limbah non medis atau limbah rumah tangga yaitu limbah yang tidak kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien, sehingga disebut sebagai limbah risiko rendah

2. Cara pengelolaan limbah

(27)

3. Cara penanganan limbah

a. Sebelum dibawa ke tempat pembuangan akhir semua jenis limbah klinis ditampung dalam kantong kedap air, biasanya kantong berwarna kuning b. Ikat rapat kantong yang sudah terisi 2/3 penuh

4. Prosedur pengelolaan limbah

a. Pemilahan limbah sesuai jenis risiko limbah

b. Semua limbah risiko tinggi harus dilabelkan dengan jelas

c. Menggunakan kode kantong plastic berbeda warna untuk setiap jenis limbah, misalnya kuning untuk limbah medis dan hitam untuk limbah non medis

d. Penyimpanan limbah

e. Apabila 2/3 kantong telah terisi maka kantong harus diikat kuat dan diberi label

f. Kantong dikelompokkan pada tempat pengumpulan kantong sewarna g. Semua tempat sampah yang digunakan untuk meletakkan limbah harus

dikosongkan dan dicuci setiap hari 5. Pemisahan limbah

(28)

6. Indikator penanganan limbah tajam yang aman dan benar, adalah sebagai berikut :

a. Selalu dibuang ke tempat penampungan sementara

b. Tidak menyerahkan limbah tajam secara langsung dari orang ke orang c. Lindungi jari tangan terhadap bahaya tusukan, contoh dengan

menggunakan penjepit

d. Tidak menyarungkan kembali jarum suntik bekas pakai

e. Menempatkan segera jarum suntik setelah dipakai pada wadah tahan tusukan sebelum siap dibawa ke tempat pembuangan akhir

f. Letakkan wadah penampung jarum bekas dekat dengan lokasi tindakan misalnya di ruang tindakan

g. Tidak meletakkan limbah tajam kedalam wadah lain selain yang tahan tusukan

h. Menjauhkan tempat penampungan limbah tajam jauh dari jangkauan anak-anak

i. Agar jangan sampai tumpah, kirim wadah penampung limbah sebelum penuh (2/3 penuh) untuk didekontaminasi atau untuk diinserasi

2.6.8 Pencegahan Infeksi Nosokomial

(29)

1. Cuci tangan

Cuci tangan merupakan standar utama bagi pencegahan infeksi nosokomial.

Kegiatan cuci tangan ini dilakukan pada saat :

a. Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, dalam hal ini saat melakukan tindakan medik dan tindakan keperawatan

b. Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dan benda-benda yang terkontaminasi (baik menggunakan sarung tangan maupun tidak) c. Gunakan sabun biasa untuk cuci tangan secara rutin selama sedikitnya 15

detik dengan menggunakan air mengalir

d. Gunakan antiseptik dalam keadaan tertentu, misalnya pada saat kejadian luar biasa.

2. Penggunaan sarung tangan

Sarung tangan adalah alat yang melindungi tangan dari bahan yang dapat menularkan penyakit dan melindungi pasien dari mikroorganisme yang berada ditangan petugas kesehatan. Gunakan sarung tangan pada prosedur yang kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dan benda-benda yang terkontaminasi. Setelah sarung tangan dilepas, segera lakukan cuci tangan.

3. Penggunaan masker, pelindung mata dan pelindung wajah

(30)

dikenakan bila diperkirakan ada percikan atau semprotan dari darah atau cairan tubuh ke wajah. Selain itu, masker menghindari perawat menghirup mikoorganisme dari saluran pernapasan klien dan mencegah penularan patogen dari saluran pernapasan perawat ke klien. Masker bedah melindungi pemakai dari menghirup partikel-besar aerosol yang melintas dalam jarak yang pendek.

Pelindung mata dan pelindung wajah digunakan untuk melindungi petugas dari percikan darah atau cairan tubuh lain. Pelindung mata umumnya terbuat dari plastik bening yang di bagian sisi kanan kirinya terdapat pelindung untuk memastikan tidak ada cairan yang dapat terpercik ke mata petugas.

4. Penggunaan gaun atau apron

(31)

5. Pengelolaan peralatan pasien

Peralatan pasien, linen yang terkontaminasi dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan ekskresi harus diperlakukan dengan hati-hati untuk mencegah perpindahan mikroorganisme dari pasien ke petugas dan lingkungan. Sebelum dibawa ke tempat pencucian linen dibersihkan terlebih dahulu dari sampah padat yang menempel, di klasifikasikan sesuai dengan tingkat infeksi, dimasukkan ke dalam kantong tertutup dan diantar ke tempat pencucian linen.

6. Pengelolaan benda tajam yang terkontaminasi

Semua benda tajam yang terkontaminasi dengan darah, harus diperlakukan dengan hati-hati. Hal ini untuk mencegah terlukanya diri sendiri oleh tusukan jarum atau sejenisnya. Jangan biarkan jarum tanpa tutup, dilepaskan dari semprit atau jangan bengkokan jarum, melainkan harus dibuang ke dalam sharp containers yang disediakan.

7. Teknik steril

Semua prosedur steril harus menggunakan teknik aseptik tanpa sentuh (non touch).

8. Pengelolaan sampah medik

(32)

2.7 Landasan Teori

Teori motivasi dua faktor dikembangkan oleh Frederick Herzberg dimana dia meyakini bahwa karyawan dapat termotivasi oleh pekerjaannya sendiri dan didalamnya terdapat kepentingan yang disesuaikan dengan tujuan organisasi. Dari penelitiannya, Herzberg menyimpulkan bahwa ketidakpuasan dalam bekerja muncul dari dua faktor yang terpisah.

Faktor yang paling penting adalah kebijakan perusahaan yang dinilai oleh banyak orang sebagai penyebab utama ketidakefisienan dan ketidakefektifan. Penilaian positif terhadap berbagai faktor ketidakpuasan ini tidak menyebabkan kepuasan kerja tetapi hanya menghilangkan ketidakpuasan. Secara lengkap, beberapa faktor yang membuat ketidakpuasan adalah kebijakan perusahaan dan administrasi, supervisi, hubungan dengan supervisor, kondisi kerja, gaji, hubungan dengan rekan sejawat, kehidupan pribadi, hubungan dengan bawahan, status, dan keamanan.

(33)

2.5Kerangka Konsep

Kerangka konseptual adalah kerangka hubungan antarvariabel yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo,2003). Kerangka konsep terdiri dari variabel independent dan variabel dependent.

Adapun kerangka konsep penelitian tentang hubungan motivasi dengan upaya pencegahan infeksi nosokomial di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2016.

Variabel Independent Variabel Dependent

Referensi

Dokumen terkait

Sony Kurniawan 091 BANYUWANGI... SHOHIBUL FARIZ

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) bentuk kesalahan penggunaan bahasa Indonesia yang meliputi kesalahan ejaan, diksi, kalimat, dan paragraf;

Pelaksanaan Tanggung Jawab Perusahaan BUMN dalam Bentuk Hibah Kredit Usaha Rakyat Berdasarkan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003... Kendala dalam Pelaksanaan Hibah

Salah satu kumpulan cerita pendek ditinjau dari kajian stilistika guna mengetahui diksi, majas, dan citraan yang digunakan dalam kumpulan cerita pendek yang digunakan

Alat pengumpulan data adalah studi kepustakaan (library research). Seluruh data dianalisis secara kuantitatif. Hasil penelitian menerangkan bahwa Hibah KUR di Indonesia

hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan; (4) bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar

Penurunan kadar Fe dan Mn juga dapat menggunakan media karbon aktif dan zeolit. seperti yang telah uji oleh Hardini dan

Hasil penelitian menunjukkan upaya yang dilakukan oleh IKIP PGRI Semarang untuk menerapkan pendidikan karakter melalui terpaan kampanye sosial dan role model