218
Uji Antagonis Jamur Rizosfer Isolat Lokal terhadap
Phytophthora
sp.
yang Diisolasi dari Batang Langsat (
Lansium domesticum
Corr.)
Fety
1, Siti Khotimah
1, Mukarlina
11
Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, Jl. Prof. Dr. H. Hadari Nawawi,Pontianak Email korespondensi: fety200392@gmail.com
Abstract
Stem canker caused by the Phytophthora sp. fungus is one of the diseases in langsat (Lansium domesticum). The disease can be controlled using biological agents in the form a rhizosphere fungus which is antagonistic against pathogenic fungi. This research aims to identify the types of fungi from the rhizosphere of langsat and determine the ability of these fungi in slowing down the growth of Phytophthora sp. The isolation of
Phytophthora sp. fungus was done by the direct planting method, while the isolation of the rhizosphere fungi by the dilution method and the antagonistic test was performed with a paired method. The antagonistic fungi successfully isolated were Mucor sp.1 F1, Mucor sp.2 F2, Penicillium sp.1 F3, Penicillium sp.2 F4,
Penicillium sp.3 F5, Penicillium sp.4 F6, Trichoderma harzianum F7 dan T. viride F8. Based on the research
results, there of the growth of Phytophthora sp. was inhibited by the T. harzianum F7 with highest
antagonistic percentage 68,93%.
Kata kunci : antagonistic, Lansium domesticum, Phytophthora sp., stem canker, rhizosphere
PENDAHULUAN
Langsat (Lansium domesticum Corr.) merupakan salah satu komoditas buah unggulan Provinsi Kalimantan Barat terutama di Desa Punggur Kabupaten Kubu Raya. Tanaman ini termasuk tanaman musiman yang dapat menghasilkan buah yang bernilai ekonomis tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Kubu Raya (2011), produksi buah langsat Kabupaten Kubu Raya sangat melimpah hingga mencapai 6.274 ton per tahun.
Budidaya tanaman langsat mempunyai resiko tinggi akibat adanya serangan jamur patogen yang dapat menyebabkan penyakit tanaman. Penyakit tanaman dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produksi tanaman langsat. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Kubu Raya (2013), produksi buah langsat pada tahun 2013 mengalami penurunan hingga 955,30 ton per tahun. Menurunnya produksi tersebut disebabkan oleh serangan penyakit, salah satunya adalah penyakit kanker batang. Penyakit kanker batang merupakan penyakit yang menyerang tanaman secara lokal. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi (2009) menjelaskan bahwa penyakit kanker batang yang menyerang tanaman langsat (L. domesticum) disebabkan oleh jamur Phytophthora sp.
Salah satu cara pengendalian penyakit kanker batang tanaman langsat dilakukan dengan menggunakan fungisida sintetik. Namun penggunaan yang berlebihan dapat meninggalkan residu dalam tanaman dan membunuh organisme yang bukan sasarannya. Dampak negatif penggunaan fungisida sintetik tersebut dapat dikurangi dengan pemanfaatan agen hayati berupa jamur rizosfer. Jamur rizosfer banyak dijumpai di daerah perakaran atau rizosfer tanaman yang relatif kaya akan nutrisi. Jamur rizosfer merupakan salah satu faktor biotik yang dapat menginduksi ketahanan tanaman terhadap penyakit dan meningkatkan kesuburan pertumbuhan tanaman.
Penggunaan agen hayati berupa jamur rizosfer isolat lokal diharapkan lebih efektif untuk mengendalikan penyakit pada tanaman langsat di wilayah setempat. Oleh karena itu, upaya mendapatkan jamur rizosfer isolat lokal yang berpotensi sebagai agen hayati terhadap penyakit kanker batang tanaman langsat perlu untuk dilakukan.
Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui jenis-jenis jamur yang ditemukan dari rizosfer tanaman langsat (L. domesticum) dan mengetahui kemampuan jamur-jamur tersebut dalam mengendalikan jamur Phytophthora sp.
219 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, yaitu bulan Juli sampai Desember 2014. Pengambilan sampel tanah jamur rizosfer isolat lokal dan pengambilan sampel kulit batang tanaman langsat yang menunjukkan gejala terserang jamur
Phytophthora sp. dilakukan di areal perkebunan Desa Punggur Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya. Tahap isolasi, identifikasi dan uji antagonis dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura Pontianak.
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah dari rizosfer tanaman langsat (Lansium domesticum), batang langsat yang memperlihatkan gejala kanker batang, media
Czapek’s Yeast Agar (CYA), media Potato Dextrose Agar (PDA), akuades, alkohol 70%, asam laktat 5%, kloramfenikol, NaOCl 1%, spiritus.
Prosedur Kerja
Pengambilan Sampel
Sampel yang diambil adalah tanah yang ada di sekitar perakaran tanaman langsat yang sehat. Lokasi sampling ditentukan secara acak pada 3 titik tanaman langsat dengan 3 kali pengulangan pada setiap titik. Pengambilan sampel tanah ±100 gram dilakukan dengan kedalaman 0-20 cm disekitar perakaran tanaman langsat. Sampel kulit batang tanaman langsat yang menunjukkan gejala penyakit kanker batang disayat, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik.
Isolasi Jamur
Isolasi jamur rizosfer tanaman langsat dilakukan dengan menggunakan metode pengenceran. Masing-masing sampel tanah dari 3 titik pengambilan sampel ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi akuades sebanyak 9 ml dan dihomogenkan. Sampel tanah kemudian diencerkan hingga tingkat pegenceran 10-5. Hasil dari tiap-tiap pengenceran 10-3, 10-4 dan 10-5 dipipet sebanyak 1 ml, kemudian dituang ke dalam media PDA dan CYA dengan metode pour plate. Media yang telah padat diinkubasi pada suhu 28°C selama 7 hari. Setiap seri pengenceran diulang sebanyak 3 kali (Purwantisari dan Rini, 2009). Setelah jamur
tumbuh, koloni masing-masing jamur diambil dengan ose, kemudian ditumbuhkan pada media PDA dan CYA baru untuk memperoleh biakan murni (Samson et al., 2010).
Isolasi jamur Phytophthora sp. dari batang tanaman langsat dilakukan dengan metode tanam langsung. Kulit batang diletakkan pada media PDA dan CYA kemudian diinkubasi pada suhu 28°C selama 7 hari (Agrios, 1996 dalam Ningsih et al., 2012; Sudarma dan Suprapta, 2011). Setelah jamur tumbuh, koloni jamur diambil dengan ose, kemudian ditumbuhkan pada media PDA dan CYA baru untuk memperoleh biakan murni (Samson et al., 2010).
Identifikasi Jamur
Biakan murni sel jamur hasil isolasi diambil secara aseptis menggunakan jarum preparat ke atas permukaan gelas objek yang telah ditetesi asam laktat. Setelah itu, preparat ditutup dengan cover glass dan diamati di bawah mikroskop (Pohan, 2011 dalam Ningsih et al., 2012).
Setiap jamur yang tumbuh diidentifikasi berdasarkan pada karakter koloni secara makroskopis seperti warna koloni, bentuk dan tekstur permukaan koloni, serta secara mikroskopis meliputi struktur hifa dan struktur reproduksi. Identifikasi jamur mengacu pada buku identifikasi
A Guide to Tropical Fungi (Sutton, 1990), Food and Indoor Fungi (Samson et al., 2010), Illustrated Genera of Imperfect Fungi (Barnett dan Hunter, 1998), Introductory Mycology (Alexopoulos et al.,
1996), Morphology and Taxonomy of Fungi
(Bessey, 1950), Pengenalan Kapang Tropik Umum (Gandjar et al., 1999) dan Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi (Watanabe, 2002).
Uji Antagonis
Uji antagonis secara in vitro dilakukan terhadap jenis jamur yang ditemukan dari rizosfer tanaman langsat. Pengujian dilakukan dengan cara menumbuhkan koloni jamur secara berpasangan. Biakan murni Phytophthora sp. dan jamur hasil isolasi dari rizosfer langsat masing-masing diambil 1 ose dan diinokulasi pada cawan petri yang telah berisi media CYA. Perlakuan kontrol negatif
Phytophthora sp. diinokulasikan ke permukaan media CYA pada bagian tengah (Santoso dan Sumarmi, 2008 dalam Aldjas, 2010).
Jarak peletakan antar jamur adalah 3 cm antar jamur dan 3 cm dengan bagian tepi cawan petri
220 (Gambar 1). Pengukuran diameter pertumbuhan
Phytophthora sp. mulai hari ke-1 setelah inokulasi sampai dengan hari ke-7. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali.
Gambar 1. Penempatan Jamur Antagonis Terhadap
Phytophthora sp. pada cawan Petri Pengukuran diameter jamur dilakukan dengan membuat garis horizontal (AA’), vertikal (BB’) dan diagonal (CC’ dan DD’) pada permukaan luar cawan petri Phytophthora sp. (Gambar 2).
Gambar 2. Pengukuran Rata-Rata Diameter Pertumbuhan Phytophthora sp. Rata-rata diameter pertumbuhan (d) Phytophthora
sp. dihitung dengan rumus (Davis, 1965 dalam
Nawawi, 2001):
d = (AA
′) + (BB′)+ (CC′)+ (DD′) 4
Perhitungan persentase antagonis jamur
Phytophthora sp. yang bersinggungan dengan agen antagonis hingga hari ke-7, menggunakan rumus (Skidmore, 1976 dalam Sudantha et al., 2011):
PA = d1−d2
d1 x 100%
Keterangan :
PA = Persentase Antagonis (%) d1 = Rata-rata diameter pertumbuhan
Phytophthora sp. pada kontrol (mm) d2 = Rata-rata diameter pertumbuhan
Phytophthora sp. pada perlakuan uji antagonis (mm)
Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari uji antagonis jamur rizosfer terhadap Phytophthora sp. disajikan dalam bentuk visual (foto) makroskopis, grafik diameter pertumbuhan jamur rizosfer dan Phytophthora sp., grafik persentase antagonis dan tabel data diameter pertumbuhan jamur Phytophthora sp. pada pengukuran hari ketujuh yang dianalisis menggunakan Analysis of Varians (ANOVA). Hasil yang menunjukkan beda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf kepercayaan
5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Koloni jamur rizosfer menunjukkan adanya diameter pertumbuhan yang berbeda antara masing-masing jamur. Pertambahan diameter pertumbuhan koloni Mucor sp.2 F2, Penicillium
sp.2 F4, T. harzianum F7 dan T. viride F8 lebih
cepat dibandingkan koloni jamur lainnya. Koloni jamur Mucor sp.2 F2 , Penicillium sp.2 F4,
T. harzianum F7 dan T. viride F8 mencapai
diameter pertumbuhan 90 mm pada hari ke-3 (Gambar 3).
Gambar 3. Grafik Pertumbuhan Jamur Antagonis dan
Phytophthora sp. Mucor sp.1 F1 Mucor sp.2 F2 Penicillium sp.1 F3 Penicillium sp.2 F4 Penicillium sp.3 F5 Penicillium sp.4 F6 T. harzianum F7 T. viride F8 Phytophthora sp.
Berdasarkan analisis data rerata diameter pertumbuhan koloni jamur Phytophthora sp. pada hari ke-7, menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap pertumbuhan koloni jamur Phytophthora
sp. (F8,18= 2,51, p=0,000; ANOVA). Hasil uji
lanjut diketahui bahwa antara perlakuan ada yang tidak berbeda nyata yang ditandai dengan huruf yang sama (Tabel 1).
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 6 7 D ia m e te r P e r tu m b u h a n (m m ) Hari ke-● ● 3cm 3cm 3cm Patogen Antagonis B B’ A A’ C C’ D D’
221 Tabel 1. Rerata Diameter Koloni Jamur Phytophthora sp. pada
hari ke-7
Perlakuan Rerata Diameter
Koloni Jamur (mm) Kontrol Negatif 69,78c Mucor sp.1 F1 vs Phytophthora sp. 62,95c Mucor sp.2 F2 vs Phytophthora sp. 26,9a Penicillium sp.1 F3 vs Phytophthora sp. 48,71b Penicillium sp.2 F4 vs Phytophthora sp. 28,16a Penicillium sp.3 F5 vs Phytophthora sp. 49,42b Penicillium sp.4 F6 vs Phytophthora sp. 49,93b T. harzianum F7 vs Phytophthora sp. 21,67a T. viride F8 vs Phytophthora sp. 28,85a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf kepercayaan 5%
Perlakuan Mucor sp.1 F1 menunjukkan bahwa
rerata diameter pertumbuhan Phytophthora sp. pada perlakuan tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol negatif. Perlakuan
Mucor sp.2 F2 , Penicillium sp.2 F4 , T. harzianum
F7 dan T. viride F8 menunjukkan hasil yang
berbeda nyata terhadap kontrol negatif, tetapi tidak beda nyata antar perlakuan. Perlakuan T. harzianum F7 menunjukkan penghambatan
tertinggi dengan menurunkan diameter pertumbuhan Phytophthora sp. yaitu 21,67 mm (Tabel 1).
Gambar 4. Grafik Persentase Antagonis. Mucor
sp.1 F1 Mucor sp.2 F2 Penicillium sp.1 F3 Penicillium sp.2 F4
Penicillium sp.3 F5 Penicillium
sp.4 F6 T. harzianum F7 T. viride
F8
Hasil uji antagonis pada hari ke-7 menunjukkan persentase antagonis masing-masing jamur yaitu
Mucor sp.1 F1 9,78%, Mucor sp.2 F2 61,45%,
Penicillium sp.1 F3 30,19%, Penicillium sp.2 F4
59,64%, Penicillium sp.3 F5 29,18%, Penicillium
sp.4 F6 28,45%, T. harzianum F7 68,93% dan
T. viride F8 58,65%. Berdasarkan persentase
antagonis tersebut, jamur T. harzianum F7
memiliki penghambatan persentase tertinggi
dibandingkan jenis jamur lain, sedangkan jamur
Mucor sp.1 F1 memiliki penghambatan persentase
terendah (Gambar 4).
Koloni jamur Phytophthora sp. yang ditumbuhkan berpasangan dengan jamur antagonis dapat dilihat pada Gambar 5. A B C D E F G H I
Gambar 5. Koloni Jamur pada Uji Antagonis Hari ke-7.(A) Kontrol negatif (B) Mucor sp.1 F1 vs Phytophthora sp. (C) Mucor sp.2 F2 vs Phytophthora sp. (D) Penicillium sp.1 F3 vs Phytophthora sp. (E) Penicillium sp.2 F4 vs Phytophthora sp. (F) Penicillium F5 sp.3 vs Phytophthora sp. (G) Penicillium sp.4 F6 vs Phytophthora sp. (H) T. harzianum F7 vs Phytophthora sp. (I) T. viride F8 vs Phytophthora sp. A)Antagonis P)Patogen
0 10 20 30 40 50 60 70 80 1 2 3 4 5 6 7 P e r se n ta se A n ta g o n is (% ) Hari ke-P P A P A P A P A P A P A P A P A
222 Pembahasan
Hasil isolasi tanah rizosfer tanaman langsat ditemukan 8 jenis jamur yaitu Mucor sp.1 F1,
Mucor sp.2 F2, Penicillium sp.1 F3, Penicillium
sp.2 F4, Penicillium sp.3 F5, Penicillium sp.4 F6,
T. harzianum F7 dan T. viride F8 (Gambar 5).
Keberadaan jamur tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan di habitat jamur, karena sifat jamur yang saprofit bergantung pada lingkungan dan bahan organik substrat. Faktor lingkungan yang mempengaruhi diantaranya keasaman tanah (pH), suhu tanah dan kelembaban tanah.
Sutedjo et al. (1991) dalam Rosita et al. (2014) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi keberadaan jenis jamur adalah keasaman tanah. Derajat keasaman tanah penting untuk pertumbuhan jamur, karena enzim-enzim tertentu hanya akan menguraikan suatu substrat sesuai dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Hasil pengukuran pH tanah menunjukkan kisaran 5,4-6,8. Umumnya jamur tanah dapat tumbuh pada pH dibawah 7 (Gandjar et al., 1999). Waluyo (2007) juga menyatakan bahwa jamur memiliki rentang pH yang luas yaitu 2,0-8,5.
Pertumbuhan jamur memerlukan kisaran suhu dan kelembaban tertentu. Menurut Hasanudin (2003)
dalam Rosita et al. (2014), suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap pembentukan dan lama bertahan hidup spora jamur. Suhu dan kelembaban tanah hasil pengukuran menunjukkan kisaran 27°C dan 60-78%. Suhu dan kelembaban tanah menunjukkan kisaran yang baik bagi pertumbuhan jamur dan perkecambahan spora. Jumiyati et al.
(2012) dalam Rosita et al. (2014) menyatakan bahwa suhu lingkungan optimum untuk pertumbuhan jamur berkisar 25-30°C dan suhu maksimum 25-40°C sedangkan kelembaban yang optimal untuk pertumbuhan jamur yaitu di bawah 80%.
Keberadaan jamur-jamur yang diisolasi dari rizosfer tanaman langsat juga dapat disebabkan karena adanya eksudat akar berupa gula dan asam amino yang dihasilkan oleh tanaman langsat. Dermiyati (1997) dalam Sennang et al. (2012) menjelaskan bahwa gula, asam amino dan asam organik berfungsi sebagai sumber energi dan makanan bagi jamur tanah.
Rizosfer merupakan habitat yang sangat baik bagi pertumbuhan mikroba karena akar tanaman
menyediakan berbagai bahan organik yang merangsang pertumbuhan mikroba. Jamur-jamur rizosfer menghasilkan bahan organik yang dapat menstimulir pertumbuhan tanaman dan memiliki daya antagonis dalam menghambat pertumbuhan patogen. Menurut hasil penelitian Asnawi et al.
(2012) ditemukan jamur rizosfer Trichoderma sp. sebagai agen antagonis terhadap Phytophthora palmivora penyebab gugur buah kelapa. Hasil penelitian Sunarwati dan Yoza (2010) juga menambahkan bahwa jamur rizosfer genus
Penicillium dan Trichoderma mampu menghambat pertumbuhan P. palmivora penyebab penyakit busuk akar durian.
Uji antagonis jamur rizosfer terhadap pertumbuhan
jamur Phytophthora sp. menunjukkan
pertumbuhan diameter koloni jamur patogen yang lebih kecil dibandingkan dengan diameter koloni jamur pada perlakuan kontrol negatif (Tabel 1). Pertumbuhan jamur patogen yang terhambat diduga karena adanya penghambatan pertumbuhan
Phytophthora sp. oleh jamur antagonis melalui mekanisme kompetisi, mikoparasitisme dan antibiosis.
Kompetisi antara jamur antagonis dan
Phytophthora sp. terjadi karena adanya persaingan untuk memperebutkan sumber makanan sehingga jamur yang lebih unggul dalam penguasaan ruang dan nutrisi maka akan mampu menekan pertumbuhan lawannya. Djafaruddin (2004) menyatakan bahwa berkurang atau bertambahnya diameter koloni jamur disebabkan adanya mekanisme kompetisi antara jamur patogen dan antagonis akibat persaingan dan perebutan ruang tumbuh. Kompetisi ruang tumbuh terjadi untuk memanfaatkan media tumbuh sebagai sumber makanan karena jamur antagonis dan patogen sama-sama membutuhkan nutrisi untuk tumbuh.
Mikoparasitisme pada uji antagonis jamur terjadi selama pertumbuhan jamur antagonis yang cepat dan tumbuh ke arah Phytophthora sp. serta adanya enzim yang dihasilkan oleh jamur antagonis sehingga menekan atau menghambat pertumbuhan jamur Phytophthora sp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soesanto (2008) bahwa mekanisme mikoparasitisme terjadi selama pertumbuhan jamur yang cepat. Jamur antagonis akan melilit hifa jamur patogen serta mengeluarkan enzim yang mampu merombak dinding sel hifa jamur patogen akibat adanya rangsangan kimia yang dikeluarkan oleh jamur patogen.
223 Mekanisme antibiosis terjadi karena adanya
metabolit sekunder yang dihasilkan oleh mikrobia berupa senyawa antibiotik. Secara alami, beberapa jenis jamur menghasilkan antibiotik selama proses metabolismenya. Menurut Santoso dan Sumarmi (2008), mekanisme antibiosis ditunjukkan dengan terbentuknya zona penghambatan pertumbuhan jamur. Zona penghambatan pada uji antagonis ditandai dengan adanya warna bening pada pertemuan miselium jamur antagonis dan jamur patogen.
Rerata diameter pertumbuhan jamur Phytophthora
sp. pada perlakuan T. harzianum F7 jauh lebih kecil
dibandingkan rerata diameter kontrol negatif yaitu sebesar 21,67 mm (Tabel 1). Jamur T. harzianum
F7 memiliki kemampuan tumbuh yang sangat cepat
dan mampu menguasai ruang tumbuh pada hari ke-3 (Gambar ke-3). Berdasarkan persentase antagonis, jamur T. harzianum F7 memiliki daya antagonis
yang tinggi dalam menekan pertumbuhan patogen
Phytophthora sp. sebesar 68,93% (Gambar 4). Hal ini ditunjukkan oleh kecepatan pertumbuhan
T. harzianum F7 yang lebih cepat dalam memenuhi
ruang tumbuh dibandingkan Phytophthora sp. Pertumbuhan hifa T. harzianum F7 dapat menahan
perkembangan Phytophthora sp. tanpa menutupi koloni jamur Phytophthora sp. (Gambar 5). Golfarb et al. (1989) dalam Purwantisari dan Rini (2009) menyatakan bahwa jamur yang memiliki pertumbuhan lebih cepat akan mampu menguasai ruang tumbuh dan akan menekan pertumbuhan jamur lawannya. Hasil penelitian Meiniwati et al.
(2014) menunjukkan bahwa jamur T. harzianum
memiliki daya antagonis yang tinggi dalam menghambat pertumbuhan jamur Pyricularia grisea penyebab blas pada tanaman padi.
Daya antagonis yang tinggi dari T. harzianum F7
diduga karena jamur tersebut menghasilkan enzim yang mampu merusak dinding sel jamur patogen dan menghambat pertumbuhan jamur patogen. Menurut hasil penelitian Salma dan Gunarto (1999) dalam Purwantisari dan Rini (2009), genus
Trichoderma mampu menghasilkan selulase untuk menguraikan selulosa menjadi glukosa. Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel jamur patogen Phytophthora sp. Menurut Benitez
et al. (2004) dalam Sudarma dan Suprapta (2011), jamur T. harzianum juga menghasilkan enzim kitinase, β-1,3-glukanase, β-1,4-glukanase dan lipase yang dapat memecah senyawa kitin, glukan dan lipid dari dinding sel jamur patogen.
Penghambatan pertumbuhan koloni jamur
Phytophthora sp. oleh jamur antagonis
T. harzianum F7 diduga juga melibatkan
mekanisme antibiosis. Hal ini didukung oleh pernyataan Suwahyono (2000) dan Soesanto (2008) bahwa jamur T. harzianum menghasilkan senyawa antibiotik berupa furanon, trichotoksin dan peptaibol yang mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen.
Berdasarkan hasil pengamatan, rerata diameter
pertumbuhan jamur Phytophthora sp.
menunjukkan hasil jauh lebih kecil pada perlakuan
T. viride F8 dibandingkan kontrol negatif (Tabel 1).
Jamur T. viride F8 memiliki kemampuan tumbuh
yang sangat cepat dan mampu memenuhi ruang tumbuh pada hari ke-3 (Gambar 3). Jamur T. viride
F8 yang termasuk dalam genus Trichoderma
memiliki daya antagonis tinggi dalam menekan pertumbuhan Phytophthora sp. yaitu sebesar 58,65% (Gambar 4). Daya antagonis yang tinggi dari T. viride F8 disebabkan adanya
mekanisme penghambatan berupa kompetisi ruang dan nutrisi. Pertumbuhan T. viride F8 semakin
cepat dengan diameter pertumbuhan yang hampir memenuhi ruang tumbuh sehingga Phytophthora
sp. semakin terdesak. Menurut Djarir (1993) dalam
Sunarwati dan Yoza (2010), genus Trichoderma
juga mampu menghambat pertumbuhan hifa patogen dengan menghasilkan antibiotik gliotoksin dan viridin. Hasil penelitian Aldjas (2010) menyatakan bahwa jamur T. viride memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghambat pertumbuhan Fusarium moniliforme penyebab busuk buah nenas.
Jamur genus Penicillium mampu menghambat pertumbuhan Phytophthora sp., namun daya antagonis yang dihasilkan berbeda (Gambar 4). Diameter pertumbuhan masing-masing genus
Penicillium ini juga berbeda. Jamur Penicillium
sp.2 F4 memiliki kemampuan tumbuh yang lebih
cepat sehingga mampu memenuhi ruang tumbuh pada hari ke-3. Sedangkan Penicillium sp.1 F3,
Penicillium sp.3 dan Penicillium sp.4 memiliki pertumbuhan yang lebih lambat (Gambar 3). Menurut Adam (1990) dalam Nurhayati (2011), beberapa jamur genus Penicillium menghambat pertumbuhan patogen hanya melalui mekanisme kompetisi dan antibiosis.
Penicillium sp.2 F4 memiliki daya antagonis tinggi
224 59,64%. Penicillium sp.1 F3, Penicillium sp.3 F5
dan Penicillium sp.4 F6 memiliki penambahan
persentase antagonis yang rendah dari hari ke-1 sampai hari ke-7 (Gambar 4). Hal ini karena adanya perbedaan kemampuan tumbuh dari masing-masing jenis jamur Penicillium.
Penicillium sp.2 F4 lebih mampu menguasai ruang
tumbuh dan nutrisi lebih cepat dibandingkan jenis
Penicillium lain sehingga dapat menghambat pertumbuhan Phytophthora sp. Menurut Deacon (2006) dalam Arisanti et al. (2012), mekanisme penghambatan oleh genus Penicillium juga diduga oleh adanya senyawa antibiotik penisilin yang mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen.
Rerata diameter pertumbuhan jamur patogen pada perlakuan Mucor sp.2 F2 jauh lebih kecil
dibandingkan kontrol negatif yaitu sebesar 26,9 mm. Sedangkan rerata diameter pertumbuhan jamur patogen pada perlakuan Mucor sp.1 F1 tidak
berbeda dibandingkan kontrol negatif yaitu sebesar 62,95 mm (Tabel 1). Pertumbuhan koloni Mucor
sp.1 lebih lambat dibandingkan Mucor sp.2 F2.
Jamur Mucor sp.2 F2 mampu memenuhi ruang
tumbuh dan nutrisi pada hari ke-3 (Gambar 3). Berdasarkan uji antagonis, jamur Mucor sp.1 F1
dan Mucor sp.2 F2 menunjukkan daya antagonis
berbeda dalam menghambat pertumbuhan jamur
Phytophthora sp. Mucor sp.2 F2 memiliki daya
antagonis yang tinggi sebesar 61,45% dibandingkan Mucor sp.1 F1 yang memiliki daya
antagonis sangat rendah sebesar 9,78% (Gambar 4). Menurut Carrol (1988) dalam
Rakasiwi et al. (2013), beberapa genus Mucor
memiliki mekanisme antagonis tinggi karena adanya mekanisme kompetisi ruang tumbuh dan nutrisi, mikoparasitisme dan antibiosis.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada COMDEV dan OUTREACHING UNTAN yang telah memberikan beasiswa Program BIDIKMISI.
DAFTAR PUSTAKA
Aldjas, FH, 2010, Uji Antagonis Jamur Rizosfer Isolat Lokal Rasau Jaya Terhadap Fusarum moniliforme (Sheldon) Penyebab Penyakit Busuk Buah Nenas (Ananas comosus (L) Merr.), Skripsi, Universitas Tanjungpura, Pontianak
Alexopoulos, CJ, Mims, CW, & Blackwell, M, 1996, Introductory Mycology, Fourth Edition, John Wiley and Sons, Canada Arisanti, S, Kuswytasari, ND & Shovitri, M, 2012,
‘Uji Antimikroba Isolat Kapang Tanah Wonorejo Surabaya’, diakses pada tanggal 7 Februari 2014, http://digilib.its.ac.id/public/ ITS-Undergraduate-17615-Paper-pdf.pdf Asnawi, Iswati, R, & Motulo, HFJ, 2012,
‘Eksplorasi Agens Biokontrol Phytophthora palmivora Penyebab Penyakit Gugur Buah Kelapa’, Jatt, vol. 1, no. 2, hal. 61-66,
diakses pada 14 Maret 2014,
http://download.portalgaruda.org/article.php ?article=40702&val=3589&title=Eksplorasi %20Agens%20Biokontrol%20Phytophthora %20Palmivora%20Penyebab%20Penyakit% 20Gugur% 20 Buah%20Kelapa
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kubu Raya, 2011,
Statistik Pertanian Tanaman Hortikultura Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat Badan Pusat Statistik Kabupaten Kubu Raya, 2013,
Statistik Pertanian Tanaman Hortikultura Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, 2009,
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jambi, Jambi, diakses pada 10 Desember 2013, http://jambi.lit bang.pertanian.go.id/ind/images/PDF/leaflet duku09.pdf
Barnett, HL, & Hunter, BB, 1998, Illustrated Genera of Imperfect Fungi, Fourth Edition, Burgess Publishing Company
Bessey, EA, 1950, Morphology and Taxonomy of Fungi, Edisi ke-3, Vikas Publishing House PVT LTD, New Delhi
Djafaruddin, 2004, Dasar-Dasar Pengendalian Penyakit Tanaman, Bumi Aksara, Jakarta Gandjar, I, Samson, RA, Vermeulen, K, Oetari, A,
& Santoso, I, 1999, Pengenalan Kapang Tropik Umum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Meiniwati, Khotimah, S & Mukarlina, 2014, ‘Uji Antagonis Pyricularia grisea Sacc. Penyebab Blas Tanaman Padi Menggunakan Jamur Rizosfer Isolat Lokal’, Protobiont, vol. 3, no. 1, hal. 17-24, diakses pada 14 Maret 2014, http://jurnal.untan.ac.id/index. php/jprb/article/view/4576/4665
Nawawi, G, 2001, Mengukur Jarak dan Sudut, Modul Program Keahlian Mekanisasi Pertanian, Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan,Jakarta, diakses pada 12
225 Nopember 2013, http://mirror.unpad.ac.id/
orari/pendidikan/materikejuruan/pertanian /mekanisasi-pertanian/mengukurjarak_dan_ sudut.pdf
Ningsih, R, Mukarlina & Linda, R, 2012, ‘Isolasi dan Identifikasi Jamur Dari Organ Bergejala Sakit Pada Tanaman Jeruk Siam (Citrus nobilis var. microcarpa)’, Protobiont, vol. 1, no. 1, hal. 1-7, diakses pada 18 Januari 2014, http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jprb/ article/view/586/608
Nurhayati, 2011, ‘Penggunaan Jamur dan Bakteri Dalam Pengendalian Penyakit Tanaman Secara Hayati Yang Ramah Lingkungan’,
Prosiding Semirata, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan, hal. 316-321, diakses pada 23 Pebruari 2013, http:// eprints .unsri.ac.id/1068/2/penggunaan_jamur_dan_ Bakteri_pdf.pdf
Purwantisari, S, & Rini, BH, 2009, ‘Uji Antagonisme jamur Patogen Phytophthora infestans Penyebab Penyakit Busuk Daun dan Umbi Tanaman Kentang Dengan Menggunakan Trichoderma spp. Isolat Lokal’, Bioma, vol. 11, no. 1, hal. 24-32,
diakses pada 18 Januari 2014,
http://eprints.undip.ac.id/2000/1/Bioma _Susiana_Juni_2009_.pdf
Rakasiwi, R, Suswanto, I & Sarbino, 2013, ‘Eksplorasi Cendawan Endofit Sebagai Antagonis Terhadap Patogen Hawar Beludru (Septobasidium sp.)’, Sains Mahasiswa Pertanian, vol. 2, no. 2, hal. 1-11, diakses pada 14 Desember 2014, http://jurnal.untan. ac.id/index.php/ jspp/article/view/2490 Rosita, E, Linda, R & Khotimah, S, 2014, ‘Kapang
pada tingkat kematangan gambut yang berbeda di Kawasan Hutan Lindung Gunung Ambawang’, Protobiont, vol. 3, no. 3, hal. 10-16, diakses pada tanggal 1 Maret 2015, http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jprb/articl e/view/7122/7306
Samson, RA, Houbraken, J, Thrane, JC, Frisvad, & Andersen, F, 2010, Food and Indoor Fungi, Fungal Biodiversity Centre Utrecht, Netherlends
Santoso, SJ & Sumarmi, 2008, ‘Uji Antagonisme
Mikroba Filoplen Terhadap
Helminthosporium sorokinianum Penyebab Bercak Daun Tanaman Gandum’, Inovasi Pertanian, vo. 7, no. 1, hal. 86-94, diakses pada 30 April 2014, http:// ejournal. unisri.ac.id/index.php/innofarm/article/view/ 239
Sennang, NR, Syam’un, E, & Dachlan, A, 2012, ‘Pertumbuhan dan Produksi Padi yang Diaplikasi Pupuk Organik dan Pupuk Hayati’, Agrivigor, vol. 11, no. 2, hal. 161-170, diakses pada tanggal 1 Maret 2015, http://download.portalgaruda.org/article.php ?article=29694&val=2165
Soesanto, 2008, Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman, Rajawali Pers, Jakarta Sudantha, IM, Kusnarta, IGM & Sudana, IN, 2011,
Uji Antagonisme Beberapa Jenis Jamur Saprofit Terhadap Fusarium oxysporum f. sp. cubense Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Pisang Serta Potensinya Sebagai Agen Pengurai Serasah, Agroteksos, vol 21, no. 2, hal. 106-119, http://lemlit.uho.ac.id/ jtt/359.pdf, diakses tanggal 14 Maret 2014 Sudarma, IM & Suprapta, DN, 2011, ‘Potensi
Jamur Antagonis Yang Berasal Dari Habitat Tanaman Pisang Dengan dan Tanpa Gejala Layu Fusarium Untuk Mengendalikan
Fusarium oxysporum f.sp. cubense Secara In Vitro’, The Excellence Research Universitas Udayana, hal.161166, diakses pada 14 Maret 2014, http://lppm.unud.ac.id/wp-content/up
loads/Potensi-Jamur-Antagonis-yang- berasal-dari-habitat-tanaman-pisang-oleh-Made-Sudarma.pdf
Sunarwati, D & Yoza, 2010, ‘Kemampuan
Trichoderma dan Penicillium Dalam
Menghambat Pertumbuhan Cendawan
Penyebab Penyakit Busuk Akar Durian (Phytophthora palmivora) Secara In Vitro’, Seminar Nasional Program dan Strategi Pengembangan Buah Nusantara Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, hal. 176-189, diakses pada 1 April 2014, http://balitbu.litbang.pertanian.go.id/ind/ima ges/filepdf/26.pdf
Sutton, BC, 1990, A Guide to Tropical Fungi, Singapore Science Centre, Singapore
Suwahyono, U, 2000, ‘Pengendalian Penyakit Tanaman Secara Mikrobiologis Menuju
Komunitas Berkelanjutan’, Need,
Lingkungan Manajemen Ilmiah, vol. 2, no.8,
diakses pada 18 Januari 2014,
http://library.um.ac.id/majalah/printmajalah. php/11651.html
Watanabe, T, 2002, Pictorial Atlas of Soal and Seed Fungi, Second Edition, CRC Press, United States of America
Waluyo, L, 2007, Mikrobiologi Umum, UMM Press, Malang