• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGKAJIAN INTENSIFIKASI DAN EKTENSIFIKASI PENDIDIKAN UNTUK MENGGAPAI LAYANAN PENDIDIKAN KEPADA PESERTA DIDIK YANG SELAMA INI BELUM TERLAYANI, 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGKAJIAN INTENSIFIKASI DAN EKTENSIFIKASI PENDIDIKAN UNTUK MENGGAPAI LAYANAN PENDIDIKAN KEPADA PESERTA DIDIK YANG SELAMA INI BELUM TERLAYANI, 2009"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENGKAJIAN INTENSIFIKASI DAN EKTENSIFIKASI PENDIDIKAN UNTUK MENGGAPAI LAYANAN PENDIDIKAN KEPADA PESERTA

DIDIK YANG SELAMA INI BELUM TERLAYANI, 2009

I. Pendahuluan

UUD 1945, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan beberapa dari banyak perundang-undangan yang menjamin bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pencanangan kebijakan wajib belajar 9 tahun pada tahun 1994 merupakan salah satu aktualisasi dari upaya pemerintah mewujudkan amanah perundang-undangan di atas. Ditargetkan bahwa pada tahun 2015 semua anak usia 7-15 tahun telah mendapatkan pelayanan pendidikan dasar.

Pada saat ini angka partisipasi murni untuk SD telah mencapai sekitar 95% dan angka partisipasi kasar SMP 92% (Depdiknas 2008). Di sisi lain cohort 1997/98 menunjukkan hanya 74.4% siswa yang mendaftar di SD yang akhirnya lulus setelah 6 tahun. Di tingkat SMP, hanya ada 47,9% yang lulus setelah 9 tahun (MONE 2005/06). Mereka yang selama ini tidak pernah bersekolah atau yang bersekolah tapi akhirnya drop-out dan tidak meneruskan pendidikannya adalah termasuk anak-anak yang selama ini belum terjangkau pelayanan pendidikan dasar. Deklarasi Dunia Jomtien tentang Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun 1990 menyebutnya sebagai anak-anak yang rawan termarjinalkan.

Menurut Deklarasi Dunia Jomtien tentang Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun 1990, anak-anak yang rawan/sepenuhnya termarjinalkan dapat berasal dari anak-anak yang memiliki kelainan fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik maupun kelainan lainnya, termasuk anak-anak jalanan, pekerja anak, anak-anak dari masyarakat terpencil atau berpindah-pindah tempat, dan anak-anak dari suku-suku yang berbahasa, etnik atau budaya minoritas. Pada saat itu istilah “inklusif” belum digunakan di Jomtien, namun terdapat beberapa pernyataan yang mengindikasikan pentingnya menjamin bahwa orang-orang dari kelompok marjinal mendapatkan akses ke pendidikan dalam sistem pendidikan umum. Istilah “inklusif” baru digunakan

(2)

2 dalam dokumen PBB tentang Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat tahun 1993.

Di Indonesia, anak-anak yang rawan/sepenuhnya termarjinalkan tersebut dapat kita temui di perkotaan maupun di pedesaan, di daerah yang mudah diakses maupun yang tidak mudah diakses (terpencil) seperti di hutan-hutan atau pulau-pulau terpencil. Pada tahun 2008 Puslitjaknov telah meneliti beberapa aspek pelayanan pendidikan untuk mereka yang selama ini tidak terjangkau pelayanan pendidikan dasar. Analisis awal dari data yang ditemukan di lapangan menunjukkan bahwa dari berbagai faktor penyebab sekelompok anak tidak terlayani pendidikan dasar adalah lokasi rumah tinggal anak dan sekolah yang jauh. Pengaruh jarak dari rumah ke sekolah menjadi lebih besar jika faktor lainnya ditemukan seperti kemiskinan, anak menyandang kelainan, tinggal lokasi bencana, dan atau/konflik sangat mempengaruhi belajar tidaknya anak di sekolah.

Selanjutnya pengkajian ini akan difokuskan pada „the unreached groups‟ yang tidak terlayani pendidikan dasar di wilayah yang tidak terpencil. Fokus ini dipilih karena adanya kenyataan bahwa mereka yang tidak terlayani pendidikan dasar juga bisa berasal dari wilayah yang dari sisi jarak mudah terjangkau. Pekerja anak dan/atau anak jalanan dan penyandang cacat dan/atau yang mempunyai kebutuhan khusus merupakan kelompok yang bisa ada dimana saja, di desa maupun di kota, di daerah terpencil maupun tidak.

II. Hasil Kajian

A. Karakteristik Anak

Pekerja anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu dengan menerima imbalan atau tidak. Batas usia pekerja anak ditetapkan dari 4 tahun – 18 tahun. Sedangkan anak jalanan diartikan sebagai anak yang berkeliaran di jalan dan menghabiskan waktu mereka di jalan untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Jumlah pekerja anak/anak jalanan laki-laki tiga kali lipat dari jumlah pekerja anak/anak jalanan perempuan. Khusus pekerja anak, proporsi terbesar (35,48%) pekerja anak mulai bekerja di usia 12 tahun, dimana

(3)

pada usia tersebut mereka seharusnya mempersiapkan diri untuk UASBN SD. Jika dilihat dari jenis pekerjaannya, pekerja anak tidak hanya berada di perkotaan namun juga di pedesaan. Jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan pekerja anak antara lain penjual koran, pengantar koran, penjual es, pelayan rumah makan, penjaga biliard, pedagang asongan, penjaga WC di pasar, penjaga kios bensin, pembantu rumah tangga, pengangkut besi-besi, pemulung barang bekas, pemulung bawang, pendorong gerobak, penjual kantung plastik, penyadap karet penjaga ternak, pengamplas kayu (lapis), buruh serabutan baik di pasar, terminal maupun stasiun dan buruh di pelabuhan.

Tiga jenis pekerjaan orang tua dari anak jalanan/pekerja anak yang terbanyak adalah buruh sebesar 30,58 persen, petani sebesar 16,18 persen dan tukang sebesar 13,24 persen serta pengemis sebesar 13,24 persen. Jenis pekerjaan lainnya yaitu: pemulung, buruh bangunan, buruh tebang sagu, jaga malam, pembantu rumah tangga, montir, tambal ban, pedagang, nelayan, dan menganggur. Penghasilan orang tua pekerja anak/anak jalanan berkisar antara 175 ribu rupiah s.d. satu juta rupiah per bulan. Jika dilihat dari latar belakang pendidikan orang tuanya, lebih dari separuh (52,31%) orang tua pekerja anak dan anak jalanan tidak pernah bersekolah. Lebih dari separuh (65,06%) orang tua pekerja anak ini mendukung anaknya untuk bekerja yang menghasilkan uang.

Salah satu alasan anak bekerja adalah untuk mendapatkan uang. Perolehan pekerja anak berkisar dari Rp 10.000 – Rp 50.000 setiap harinya. Penghasilan yang paling banyak diterima oleh pekerja anak adalah Rp 20.000 – Rp 30.000. Adapun uang yang telah diperoleh digunakan oleh pekerja anak tersebut untuk berbagai keperluan seperti membeli beras, biaya sekolah, makan, membeli mainan, jajan, maupun membeli perlengkapan kebutuhan rumah.

Jumlah pekerja anak yang mendapatkan layanan pendidikan sebesar 53,85 persen dan sisanya, yaitu pekerja anak yang tidak mendapatkan layanan pendidikan sebesar 46,15 persen. Proporsi jumlah pekerja anak yang mengikuti layanan pendidikan pada jalur formal sebesar 38,46 persen. Sedangkan pada jalur nonformal (mengikuti program Paket A atau B) sebesar 7,69 persen.

(4)

4

1. Kebijakan Pemerintah Pusat

Kebijakan untuk memberikan layanan pendidikan kepada peserta didik yang selama ini tidak terlayani dalam usaha menuntaskan wajib belajar 9 tahun melalui pendidikan inklusi secara implisit telah diamanatkan dalam Undang-undang. Hal tersebut tertulis dalam Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan dan Pasal 32 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur mengenai pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.

Secara eksplisit, kebijakan yang berisi pendidikan inklusi terdapat dalam Permendiknas tentang Standar Isi yang menganjurkan peserta didik berkelainan tanpa disertai kemampuan intelektual di bawah rata-rata, yang berkeinginan untuk melanjutkan sampai ke jenjang pendidikan tinggi, semaksimal mungkin didorong untuk dapat mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan umum sejak Sekolah Dasar. (Permendiknas RI Nomor 22 tahun 2006). Setelah itu muncul Permendiknas RI Nomor 70 tahun 2009 untuk melengkapi Permendiknas sebelumnya. Dalam Permendiknas Nomor 70 tidak dibatasi pada anak-anak yang berkelainan tanpa disertai kemampuan intelektual di bawah rata-rata tetapi menekankan pada peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Sedangkan anak yang termarjinalkan, kurang beruntung atau tidak mampu dari segi ekonomi termasuk anak jalanan dan pekerja anak belum terakomodasi.

Kebijakan Pemerintah Pusat yang mengamanatkan pendidikan untuk semua sesuai dengan prinsip pendidikan inklusi telah didengungkan melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986 melalui pengembangan sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus.

Pendidikan inklusif sebagai wadah yang ideal, memiliki empat karakteristik makna yaitu: (1) Pendidikan Inklusif adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak, (2) Pendidikan inklusif berarti memperoleh cara-cara untuk mengatasi hambatan-hambatan anak dalam belajar, (3) Pendidikan inklusif membawa makna bahwa anak mendapat kesempatan utuk hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar

(5)

yang bermakna dalam hidupnya, dan (4) Pendidikan inklusif diperuntukkan bagi anak-anak yang tergolong marginal, esklusif dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar.

Pendidikan inklusif dalam pedoman umum dari Direktorat PSLB tahun 2007 merupakan salah satu model penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Model yang lain diantaranya adalah sekolah segregasi seperti SLB dan pendidikan terpadu yaitu sekolah yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan individual anak.

Pendidikan inklusif yang dijelaskan dalam pedoman umum Direktorat PSLB lebih mengarah pada anak berkebutuhan khusus. Hal ini merupakan rintisan awal menuju pendidikan inklusif. Sebenarnya sistem pendekatan pendidikan inklusif diharapkan dapat menjangkau semua anak yang tersebar di seluruh nusantara.

Kebijakan yang berkaitan dengan penanganan anak jalanan termasuk penanganan dalam bidang pendidikan diamanatkan dalam Keputusan Mendagri dan Otonomi Daerah Nomor 5 tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak. Program Khusus Penanggulangan Pekerja Anak yang dicanangkan meliputi : 1) Mengajak kembali pekerja anak yang putus sekolah ke bangku sekolah dengan memberikan bantuan bea siswa; 2) Pemberian pendidikan non formal dan 3) Pelatihan keterampilan bagi anak. Kebijakan dari Mendagri tersebut memberikan alternatif layanan pendidikan non formal seperti paket A dan B.

2. Kebijakan Pemerintah Daerah

Kebijakan pemerintah daerah berupa instruksi dan peraturan daerah sudah selaras dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri yaitu Keputusan Mendagri dan Otonomi Daerah Nomor 5 tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak. Pada prinsipnya kebijakan tersebut mengamanatkan untuk menanggulangi pekerja anak dari pekerjaan yang membebani mereka, memberikan kehidupan yang layak dan memberikan layanan pendidikan.

3. Kebijakan di Dinas Pendidikan

Secara umum, dinas pendidikan di masing-masing daerah telah melaksanakan tugas pokok dan fungsinya untuk melayani pendidikan masyarakat, baik pendidikan khusus, kejuruan dan pendidikan umum. Namun secara khusus, pihak dinas

(6)

6 pendidikan belum menangani anak jalanan dan pekerja anak sesuai dengan yang diamanatkan oleh Mendagri dan Otonomi Daerah Nomor 5 tahun 2001tentang Penanggulangan Pekerja Anak.

4. Kebijakan di Dinas Sosial

Kebijakan yang ada di Dinas sosial daerah mengacu pada Kepres Nomor: 59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional: Penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Sedangkan UU Nomor 13 tahun 2003, pasal 68 tentang Ketenagakerjaan. Program yang disusun oleh Dinas Sosial Kota Kupang untuk mendukung kebijakan yang berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan bagi anak usia sekolah yang sampai saat ini telah dicanangkan dan dilaksanakan adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Sebagian besar kebijakan tersebut mengamanatkan untuk memperhatikan anak jalanan dan pekerja anak dalam hal memberikan keterampilan produktif dan kewirausahaan khusus bagi anak-anak usia produktif. Sedangkan layanan pendidikan untuk anak jalanan dan pekerja anak diharapkan untuk ditangani oleh dinas pendidikan.

5. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan tentang layanan pendidikan oleh dinas pendidikan bagi anak-anak yang belum terlayani termasuk anak jalanan dan pekerja anak bervariasi di setiap daerah. Secara umum anak jalanan dan pekerja anak ditampung di layanan pendidikan non formal berupa PKBM dengan program paket A dan paket B. Dalam sistem pendidikan, pendidikan non formal merupakan pendidikan alternatif yang disediakan pemerintah dalam memberikan pendidikan kepada semua orang. Prinsip “pendidikan untuk semua” melalui pendidikan inklusif sudah berjalan walaupun melalui pendidikan non formal. Sedangkan pendidikan inklusif yang berada di sekolah formal, baru dilaksanakan di beberapa daerah dengan KTSP yang belum disesuaikan dengan kebutuhan anak.

Penanganan anak jalanan dan pekerja anak di beberapa kota oleh Dinas Sosial , lebih diarahkan pada rehabilitasi anak dan mengajarkan keterampilan. Sedangkan layanan pendidikan untuk mendapatkan ijazah SD dan SMP lebih diharapkan dari pihak Dinas Pendidikan. Implementasi kebijakan penanganan anak jalanan dan pekerja anak di kota besar seperti Sulawesi Selatan lebih mudah dilakukan karena fasilitas yang lengkap. Implementasi kebijakan penanganan anak jalanan dan pekerja

(7)

anak sulit dilakukan di Kalimantan Barat dan Maluku Utara yang belum memiliki rumah singgah dan pusat pendidikan dan pelatihan.

C. Bentuk Layanan Pendidikan

Bentuk layanan pendidikan yang dijumpai di daerah penelitian bermacam-macam antara lain pendidikan formal misalnya sekolah inklusif, pendidikan layanan khusus (PLK), dan pendidikan non formal misalnya pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM).

Salah satu bentuk pengembangan pendidikan inklusif di daerah penelitian yakni gabungan sekolah inklusif dengan PLK (Diagram-1). Pendidikan inklusif terjadi saat, peserta didik yang semula drop out dari sekolah karena harus bekerja, „didaftarkan‟ kembali ke sekolah yang sama. PLK dilaksanakansebelum resmi bersekolah, peserta didik yang pernah menjadi „pekerja anak‟ tersebut mengikuti latihan dasar persiapan „bersekolah lagi‟ seperti calistung, berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dan cara memegang pensil. Selain itu, mereka juga diajak mendatangi calon sekolah mereka untuk menghilangkan rasa rendah diri.

Keterangan Diagram-1:

1) Seluruh siswa ikut kegiatan pendidikan di SD formal.

2) Sebagian kecil siswa keluar dari SD untuk menjadi pekerja anak. 3) Pekerja anak calon peserta didik di SD Formal mengikuti PLK

4) Setelah mengikuti PLK, peserta didik yang pernah keluar dapat kembali belajar di SD formal.

Bentuk pengembangan layanan pendidikan inklusif lainnya yang dijumpai yakni PLK yang berafiliasi dengan sekolah formal (Diagram-2). PLK ini berada di dalam

SD Formal

1 2 3 4

Diagram-1 Gabungan pendidikan inklusif dan pendidika layanan khusus

x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x SD Formal Kepala SD dan Ya yasan x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x PLK o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o x x x x x Tempat Bekerja

(8)

8 pasar untuk menampung pekerja anak di sekitarnya. Pembelajaran berlangsung di dalam suatu ruangan dengan warga belajar yang berasal dari berbagai usia, mulai pukul 08.00-10.30 dan sesudahnya mereka mendapat makan siang sebelum bekerja. Materi pembelajaran sebagian besar bersifat penanaman moral, etika dan semangat juang disamping mata pelajaran yang sama dengan di sekolah formal. Warga belajar yang sudah mencapai tingkat setara kelas-6, dapat mengikuti UASBN pada SD formal yang menjadi afiliasinya dan mendapat ijazah dengan syarat harus lulus dari tes prasyaratnya. Rasa rendah diri warga belajar diatasi dengan mengikutkan mereka pada aktivitas di sekolah induk. Pengelola dan tenaga pendidik PLK berstatus PNS pada SD induk yang memudahkan pengelola melibatkan warga belajar pada PLK pada sekolah induk.

Jalur pendidikan lainnya yang ada di lapangan yakni program kesetaraan melalui PKBM. Waktu kegiatan dilakukan sore hari setelah warga belajar bekerja dan memperoleh ijazah kesetaraan setelah mengikuti ujian nasional.

Keseluruhan jenis layanan pendidikan yang terjadi di daerah pengumpulan data dapat disajikan dalam diagram-3 sebagai berikut.

Diagram-2: Pendidikan Layanan Khusus Berafiliasi dengan SD Formal Tes Kemampuan akademis PEKERJA ANAK (usia 7-18 tahun) AFILIASI KELAS KHUSUS Layanan pendidikan Moral, etika &

motivasi PEKERJA ANAK (usia 7-18 tahun) PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

SDN Formal (Induk) Aktivitas Sekolah UASBN & UAN PENDIDIKAN FORMAL

PEKERJA ANAK (usia 7-18 tahun)

Diagram-3: Berbagai Jenis Layanan Pendidikan Bagi Anak Jalanan dan Pekerja Anak PESERTA DIDIK (7-18 Tahun) Pembelajaran di PKBM Pembelajaran di PLK Pembelajaran di SD & SMP (se-kolah Inklusif) Persiapan di PLK Ujian Kesetaraan UASBN di SD dan UAN di SMP Tes Kemampuan akademis

(9)

D. Konsep Model Pengembangan Pendidikan Inklusi untuk Anak Jalanan dan Pekerja Anak

1. Pelayanan Pendidikan untuk Anak Jalanan

Untuk mewujudkan kewajiban pemerintah memenuhi hak anak jalanan dalam memperoleh layanan pendidikan dasar diperlukan mekanisme dan prosedur kerja, serta peraturan perundangan yang jelas yang melibatkan berbagai pihak. Gambar --- menunjukkan tahap-tahap yang menggambarkan upaya yang dilakukan agar seorang anak jalanan bisa bersekolah serta pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam setgiap tahapan itu.

Pada tahap awal, upaya untuk melepaskan anak-anak dari kehidupan di jalanan adalah dengan melakukan pendekatan pribadi atau dialog mereka. Informasi tentang berbagai layanan yang ada agar mereka tidak hidup di jalan lagi harus dengan sangat jelas diberikan ke anak-anak. Ini menjadi tanggung jawab pekerja sosial yang bekerja untuk Dinas Sosial Kabupaten/Kota. Pendekatan yang sangat berbeda bisa terjadi dimana pelaksanaannya dilakukan oleh Satpol PP. Dalam tugasnya melakukan penertiban di jalan misalnya dari pedagang asongan, pedagang kaki lima, maupun bangunan liar, seringkali ikut ditangkap mereka yang masih pada usia pendidikan dasar. Bersama yang lain biasanya mereka ditangkap dan ditampung di Panti Sosial yang dikelola oleh Dinas Sosial. Dalam melaksanakan pendekatan pada anak jalanan, termasuk ketika mereka sudah di Panti Sosial, pekerja sosial bisa dibantu oleh berbagai pihak baik yang secara sukarela membantu maupun pekerja sosial yang merupakan pekerja honorer Dinas Sosial. Pendekatan dengan anak jalanan tentu saja memerlukan waktu yang cukup lama untuk sampai akhirnya seorang anak bersedia tidak hidup di jalan lagi.

Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi ketika seorang anak sanggup untuk tidak hidup di jalanan lagi. Kemungkinan pertama adalah bahwa anak itu akan langsung diantar ke orangtuanya. Kemungkinan itu karena berbagai alasan tidak bisa dilakukan sehingga harus dipertimbangkan untuk mempercayakan pengasuhan anak ke anggota keluarga yang sanggup. Kemungkinan lainnya adalah dengan melalui

(10)

10 program orangtua asuh (foster parent). Program ini berbeda dengan praktik orangtua asuh yang selama ini ada di masyarakat dimana orang yang mampu memberi sumbangan dana untuk dikelola orangtua anak yang miskin atau lembaga tertentu. Pengertian orangtua asuh dalam hal ini adalah pasangan orang tua yang diberi amanah untuk mengasuh satu atau lebih anak jalanan secara langsung, termasuk mengurus pendidikan mereka. Biaya untuk itu ditanggung oleh negara. Mereka mengasuh anak itu secara temporer. Jika pada titik tertentu anak jalanan sudah bisa bergabung dengan orang tua kandung atau anggota keluarga anak itu, maka tugas orang tua asuh telah selesai. Tugas juga dianggap sudah selesai ketika anak sudah mencapai usia tertentu dan sudah dianggap mandiri. Demikian juga, jika seorang anak diadopsi oleh orang lain, maka tugas orang tua asuh juga sudah selesai. Orang tua asuh juga bisa menghentikan komitmennya jika mereka merasa tidak sanggup mengasuh anak itu. Adalah tugas pekerja sosial untuk mencarikan orang tua asuh lainnya.

Kecuali tinggal dengan orangtua atau anggota keluarga sendiri maupun dengan orang tua asuh, pesantren merupakan salah lembaga lain yang mungkin bisa diberi amanah untuk mengasuh anak jalanan. Lembaga ini bisa menjadi suatu alternatif yang bisa dipilih bagi anak jalanan. Sama seperti dengan yang lain, biaya hidup anak ini menjadi tanggungan negara yang dikelola oleh Dinas Sosial. Juga sama dengan yang lain, ada kewajiban pada pesantren untuk memastikan bahwa anak itu bersekolah, baik di sekolah umum maupun madrasah.

Perubahan perlu dilakukan di tingkat sekolah untuk mengakomodasi anak-anak dengan kondisi sulit ini. Sebagai contoh, dalam hal waktu pendaftaran, anak-anak jalanan yang kemungkinan tidak bisa masuk sekolah sama seperti anak lainnya. Selain itu karena kehidupan keras yang mereka alami di jalanan sebelumnya, ada layanan-layanan khusus yang perlu dipertimbangkan sekolah untuk diberikan ke anak-anak itu. Sekolah yang ramah anak dan inklusif merupakan konsep sekolah yang diupayakan untuk direalisir agar semua anak merasa nyaman di sekolah, bisa berpartisipasi dalam pembelajaran yang ada, serta bisa mendapatkan manfaat dari proses itu.

Untuk keberhasilan yang lebih besar, upaya untuk membantu anak-anak supaya tidak hidup di jalan lagi adalah dengan melakukan law enforcement terhadap orang tua atau orang dewasa yang mengeksploitas anak-anak tersebut. Kenyataan bahwa sebagian anak-anak yang hidup di jalanan dan mencari penghidupan di sana

(11)

disebabkan karena adanya orang tua atau orang dewasa lain yang mengeksploitasi anak-anak itu untuk keuantungan mereka sendiri. Pada aspek ini peran pekerja sosial dan lembaga peradilan menjadi sangat penting.

Diagram 4. Prosedur Pelayanan Pendidikan untuk Anak Jalanan

Dinas Sosial/

Pekerja sosial - Anak Jalanan  Panti Sosial  Panti Asuhan / 

Rumah Singgah

Satpol PP/

Aparat lain

2. Pelayanan Pendidikan untuk Pekerja Anak Lingkup Sasaran

Pekerja anak pada sektor formal maupun informal, meliputi anak-anak yang :  Dieksploitasi orangtuanya dan atau orang dewasa lain sehingga harus bekerja;  Orangtuanya memang sangat miskin sehingga anak harus membantu mencari

nafkah;

 Karena satu dan lain hal harus mandiri sehingga harus bekerja mencari nafkah. Untuk seorang pekerja anak bisa bersekolah kembali, banyak hal yang harus dilakukan yang bertujuan untuk mengubah sikap baik birokrat maupun anggota masyarakat lain. Hal lain adalah upaya penegakan hukum atas peraturan-peraturan yang selama ini dilanggar sehingga hak anak untuk belajar dan menikmati masa kecil dan remajanya bisa mereka dapatkan. Hal yang perlu dilakukan pada dasarnya meliputi:

 Pencerahan di kalangan birokrasi pemerintahan daerah terutama Dinas Pendidikan, Dinas Sosial dan Dinas Tenaga Kerja menyangkut peran dan

Kancab Dinas Pendidikan/Sekolah atau Kandepag / Madrasah

Dinas Pendidikan/PKBM - Orang tua - Saudara - Orangtua asuh - Pesantren

(12)

12 tanggung jawab pemerintah dalam memenuhi kewajiban terhadap terpenuhinya hak anak mendapat layanan pendidikan dasar (Mengacu pada UUSPN, UU Perlindungan Anak, UU Ketenagakerjaan);

 Pencerahan di kalangan masyarakat termasuk pekerja anak pada sektor formal maupun informal serta pihak yang mempekerjakan mengenai ketersediaan layanan pendidikan dan mekanisme cara memperolehnya;

 Penegakan hukum dikalangan pihak-pihak yang memanfaatkan anak-anak untuk kepentingan mereka;

 Pencerahan di kalangan masyarakat mengenai kemungkinan peran yang dapat dimainkan dalam menyikapi permasalahan pekerja anak misalnya dengan

berperan sebagai penyandang dana pendidikan anak (dalam pengertian orangtua asuh seperti dikenal selama ini), orangtua asuh (menampung dan memelihara anak dalam rumahtangganya untuk jangka waktu tertentu dengan dukungan dana dari pemerintah), pengelola pesantren atau lembaga pendidikan yang

mengakomodasi kebutuhan pekerja anak dan sebagainya.

Berbagai upaya yang dilakukan baik berupa langkah-langkah awal pencerahan terhadap berbagai kalangan maupun rencana langkah konkrit yang bersifat segera menyebabkan perlunya dipertimbangkan sejumlah hal sebagai implikasinya:  Perlu dirumuskannya kembali tugas pokok dan fungsi pekerja sosial sehingga

mencakup subyek sasaran yang lebih luas seperti pekerja anak;

 Perlu dijajaginya kemungkinan berperannya lembaga pendidikan di bawah naungan Departemen Agama (Madrasah, Pesantren) maupun Departemen Pendidikan Nasional termasuk lembaga pendidikan non formal seperti PKBM sebagai alternatif tindak lanjut yang harus dijalani pekerja anak*);

 Pada lembaga pendidikan manapun anak disekolahkan, perlu diupayakan pengkondisian agar anak memperoleh haknya dalam hal pendidikan secara nyaman, aman dari keterkucilan maupun pelecehan dari sesama siswa;

 Perlunya dijajagi kemungkinan turut berperannya relawan maupun LSM dalam menghadapi masalah terkait;

 Perlunya peninjauan terhadap struktur organisasi perangkat daerah yang mungkin akan harus memberdayakan tenaga khusus, maupun mengoptimalkan tenaga yang ada untuk menangani masalah pekerja anak;

(13)

 Perlunya peningkatan koordinasi antara Dinas Sosial dengan Dinas Pendidikan (seperti diwujudkan melalui program ”Keluarga Harapan”).

Sehubungan dengan hal ini tidak sedikit ketentuan formal baik bersifat

nasional maupun lokal yang selama ini diberlakukan perlu ditinjau kembali, misalnya mengenai diterimanya seorang anak sebagai siswa yang lazimnya hanya pada awal tahun ajaran.

Alur Penanganan Pekerja Anak

Dinas sosial / Pekerja Anak

Pekerja Sosial

Dinas Tenaga kerja

Penjelasan :

 Dari operasi yang dilakukan secara berkala, pihak Dinas Sosial/Pekerja Sosial maupun Dinas Tenaga Kerja secara sendiri-sendiri atau berkoordinasi

menemukan pekerja anak;

 Anak yang teridentifikasi diupayakan dikembalikan kepada orangtua atau walinya, sekaligus penyampaian pencerahan mengenai hak anak dan kewajiban pemerintah maupun orangtua untuk memenuhi hak anak tersebut;

Kancab Dinas Pendidikan/Sekolah atau Kandepag / Madrasah

Kancab Dinas Pendidikan/PKBM - Orang tua - Saudara - Orangtua asuh - Pesantren

(14)

14  Dalam hal tidak dapat dikembalikan kepada orangtua maupun wali, diupayakan

adanya orangtua asuh, penyandang dana pendidikan bagi anak, maupun pesantren yang dapat mewujudkan layanan pendidikan bagi anak;

Gambar

Diagram 4.  Prosedur Pelayanan Pendidikan untuk Anak Jalanan

Referensi

Dokumen terkait

Jika dari lembaga yang bapak/ ibu pimpin tertaruk dengan catering kami, bisa menghubungi melaui kontak yang tercantum pada kop surat ini. atas perhatian dan kerjasama kami

Yang dimakannya adalah kembang-kembang dan tidak seperti semut yang menumpuk-numpuk makanannya, lebah mengolah makanannya dan hasil olahannya itulah

Gejala-gejala tersebut telah dipelajari sebelumnya oleh Newton sehingga menghasilkan Hukum II Newton, yang menyatakan bahwa jika resultan gaya yang bekerja pada suatu benda

“Mekanisme Pembentukan Komite Reviewer Dan Tata Cara Penilaian Usulan Dana Bantuan Penelitian Dan Publikasi Ilmiah.” Pusat Penelitian dan Penerbitan UIN Sunan Gunung Djati

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk- bentuk komunikasi yang dilakukan pedagang pakaian bekas dalam proses komunikasi dengan pembeli, untuk mengetahui

Bila kemudian terbukti bahwa saya ternyata melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, berarti gelar dan ijazah yang

perjuangan untuk hak-hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan sipil dalam konteks konflik dan pasca konflik masyarakat.Kegiatan- kegiatan yang dilakukan oleh Institut

Perseroan menyelenggarakan RUPST dengan hasil keputusan antara lain: Menyetujui dan mengesahkan Laporan Tahunan untuk tahun buku yang berakhir pada tanggal 31 Desember