• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SKRIPSI RETNO PURWANTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESPON PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KOKON ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) DENGAN RASIO PEMBERIAN PAKAN YANG BERBEDA SKRIPSI RETNO PURWANTI"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KOKON ULAT

SUTERA (Bombyx mori L.) DENGAN RASIO PEMBERIAN

PAKAN YANG BERBEDA

SKRIPSI RETNO PURWANTI

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

(2)

RINGKASAN

PURWANTI, RETNO. 2007. Respon Pertumbuhan dan Kualitas Kokon Ulat Sutera (Bombyx mori L.) dengan Rasio Pemberian Pakan yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Hotnida C.H.Siregar, MSi. Pembimbing Anggota : Dr. drh. Damiana R.Ekastuti, MS.

Kegiatan persuteraan alam dimulai dari penanaman pohon murbei sebagai pakan ulat sutera, penyediaan bibit, pemeliharaan ulat sutera, pengolahan kokon, pemintalan benang dan penenunan kain sutera. Ulat sutera (Bombyx mory L.) adalah serangga penghasil kokon yang mengandung serat sutera. Keberhasilan suatu pemeliharaan ulat sutera salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan daun murbei yang cukup kualitas maupun kuantitasnya. Pemberian pakan malam hari dapat meningkatkan produksi kokon 20-25%.

Penelitian ini mengenai rasio pemberian pakan antara pagi, siang, dan sore hari dengan malam hari yang berbeda, tepatnya rasio pemberian pakan di malam hari yang lebih banyak karena memungkinkan daun tersebut akan tetap segar sepanjang malam sehingga larva pun tetap menyukai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menentukan rasio pemberian pakan yang terbaik berdasarkan pengaruh pemberian pakan dengan beberapa rasio pemberian pakan yang berbeda terhadap pertumbuhan ulat sutera (Bombyx mori L.) dan kualitas kokon yang dihasilkan. Lokasi penelitian bertempat di Rumah Sutera Alam, jalan Ciapus Raya No.100 Km.8, Kabupaten Bogor, dan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Agustus sampai dengan Oktober 2006. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat taraf perlakuan yaitu rasio pemberian pakan saat malam hari sebanyak 55%, 60%, 65%, dan 70%. Pengelompokannya adalah tahap instar saat fase larva (instar II, III, IV, dan V) dan jenis kelamin saat fase pupa (jantan, dan betina). Masing-masing perlakuan terdiri dari lima ulangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio pemberian pakan yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap performa pertumbuhan fase larva (konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan, angka mortalitas larva instar II-V, dan rendemen pemeliharaan instar V) tetapi nyata mempengaruhi (P<0,05) kualitas kokon (bobot kokon segar, bobot kulit kokon, rasio kulit kokon, dan persentase kokon cacat berlapis). Rasio pemberian pakan yang terbaik adalah 45% untuk pagi, siang, dan sore hari serta 55% untuk malam hari, karena bobot kokon segar dan bobot kulit kokonnya tertinggi, dan kokon cacatnya (kokon cacat berlapis) berjumlah paling sedikit. Sebaliknya, rasio pemberian pakan 30% untuk pagi, siang, dan sore hari serta 70% untuk malam hari menghasilkan kualitas kokon terendah karena bobot kokon segar dan bobot kulit kokonnya terendah, dan kokon cacatnya (kokon cacat berlapis) berjumlah paling banyak. Disarankan untuk pemberian pakan saat malam hari dilakukan tidak lebih dari 55%.

(3)

ABSTRACT

The Growth and Cocoon Quality of Silkworm (Bombyx mori L.) with Difference Ration Ratio

Purwanti, R., H.C.H. Siregar, and D.R. Ekastuti

Larval phase in insect is a feeding phase. Silkworms are a nocturnal and diurnal animal so they eat all day long. Feeding in morning, daylight, and evening time caused the mulberry leaf to be come wither. Feeding more mulberry leaves might overcome this problem but it is necessary to study its effect on larval growth and cocoon quality. The aim of this research was to study the effect of ration ratio on silkworm’s (Bombyx mori L.) larval performance and cocoon quality then to choose the best ration ratio. This research used Randomized Block Design with four treatment stage. The treatment was different ration ratio namely 45% in morning, daylight, and evening time with 55% in night time (45%:55%), 40%:60%, 35%:65%, and 30%:70%. There were four block in larval phase or instar (2nd, 3rd, 4th, and 5th) and two block in pupa phase (male and female). Each treatment had five replications with 100 larvae for every experiment unit. The result showed that ration ratio was not significantly affected the larval performance (feed consumption, body weight increased, feed conversion, mortality score, and rendemen of 5th stadium) but significantly affected (P<0,05) the cocoon quality (cocoon weight, cocoon skin weight, ratio of cocoon skin, and flawed layer cocoon). The 55% night time ration ratio produced the highest cocoon quality (highest cocoon weight and cocoon skin weight, and lowest percentage of flawed layer cocoon). On the contrary, 70% night time ration ratio produced the lowest cocoon quality (lowest cocoon weight and cocoon skin weight, and highest percentage of flawed layer cocoon). It is suggested that feeding in the night time should not more than 55%.

(4)

RESPON PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KOKON ULAT

SUTERA (Bombyx mori L.) DENGAN RASIO PEMBERIAN

PAKAN YANG BERBEDA

RETNO PURWANTI D14103021

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

(5)

RESPON PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KOKON ULAT

SUTERA (Bombyx mori L.) DENGAN RASIO PEMBERIAN

PAKAN YANG BERBEDA

Oleh

RETNO PURWANTI D14103021

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 30 Maret 2007

Pembimbing Utama

Ir. Hotnida C.H.Siregar, MSi NIP. 131 881 141

Pembimbing Anggota

Dr. drh. Damiana R.Ekastuti, MS NIP. 131 578 837

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. NIP. 131 624 188

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Retno Purwanti, dilahirkan pada tanggal 12 Pebruari 1985 di Serang, Banten, dari ayah dan ibu yang bernama Djoko Yudo Purwanto (60) dan Endah Jubaedah (46), putri ke tiga dari empat bersaudara.

Pendidikan Penulis diawali dengan pendidikan dasar di SD III YPWKS Cilegon, Banten, selama 6 tahun dan lulus pada tahun 1997. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang tingkat pertama di SLTPN 3 Cilegon, Banten, selesai dalam 3 tahun dan lulus pada tahun 2000. Tamat dari pendidikan tingkat pertama, Penulis melanjutkannya ke jenjang menengah di SMUN 2 KS Cilegon, Banten, dan lulus pada tahun 2003. Pendidikan selanjutnya adalah jenjang perguruan tinggi. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa perguruan tinggi negeri Institut Pertanian Bogor (IPB), Fakultas Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, sejak tahun 2003 melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Penulis aktif dalam kegiatan Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak sebagai sekretaris di Animal Breeding Club periode 2003/2004. Selain itu Penulis lulus seleksi menjadi Pasukan Pengibar Bendera pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 2003 dan Hari Pendidikan Nasional pada tahun 2004 di Institut Pertanian Bogor.

Sebelum melakukan penelitian untuk skripsi tentang ulat sutera ini, Penulis telah melakukan praktek kerja mengenai pemeliharaan ulat sutera pada tanggal 27 Juni sampai dengan 9 Juli 2005 di Kebun Percobaan IPB, Petromat Agrotech, Sukamantri, Taman Sari, Bogor dan tanggal 26 Juni sampai dengan 31 Juli 2006 di Disiplin Persuteraan Alam Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Ciomas, Bogor.

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi dengan baik. Skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat kelulusan pendidikan Sarjana Peternakan di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Skripsi yang berjudul “Respon Pertumbuhan dan Kualitas Kokon Ulat Sutera (Bombyx mori L.) dengan Rasio Pemberian Pakan yang Berbeda” ini telah diselesaikan dengan segenap kemampuan yang telah Penulis dapatkan dari kegiatan belajar di Kampus Hijau tercinta.

Skripsi ini Penulis persembahkan sebagai tanda bakti kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta atas segala doa, pengorbanan, dan kasih sayangnya yang senantiasa mengiringi langkah Penulis dalam menyelesaikan studi dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna baik dari segi bentuk maupun isi, oleh karena itu segala kritik dan saran membangun akan Penulis terima dengan ikhlas.

Akhir kata, Penulis berharap tujuan penulisan skripsi ini mencapai sasaran dan dapat bermanfaat bagi dunia peternakan pada umumnya serta peternak-peternak ulat sutera pada khususnya. Amin ya robbal alamin.

Bogor, Maret 2007

(8)

Penimbangan Pakan ... 21

Pengoleksian Sisa Pakan ... 21

Analisa Bahan Kering Daun ... 21

Penimbangan Bobot Badan ... 21

Konsumsi dan Konversi Pakan ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

Konsumsi Pakan ... 22

Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan ... 24

Bobot Badan ... 24

Pertambahan Bobot Badan ... 25

Konversi Pakan ... 26

Angka Mortalitas ... 27

Rendemen Pemeliharaan Instar V ... 29

Kualitas Kokon ... 29

Bobot Kokon Segar ... 30

Bobot Kulit Kokon ... 32

Rasio Kulit Kokon ... 33

Kokon Cacat ... 34

Pemilihan Rasio Pemberian Pakan yang Terbaik Berdasarkan Pertumbuhan Larva Instar II-V dan Kualitas Kokon yang Dihasilkan ... 36

KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

Kesimpulan ... 38

Saran ... 38

UCAPAN TERIMA KASIH ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kebutuhan Suhu dan Kelembaban Udara untuk Setiap Fase ... 5 2. Persyaratan Kelas Mutu Kokon Normal ... 9 3. Hasil Analisa Proksimat Daun Murbei Jenis Morus cathayana

(dalam bahan kering) ... 12 4. Daun Murbei yang Dikonsumsi Ulat Sutera Jenis J.115

X C.180 ... 14 5. Konsumsi Daun Murbei pada Ulat Sutera instar II-V dengan

Rasio Pemberian Pakan yang Berbeda (dalam bahan kering) ... 22 6. Bobot Badan Awal dan Akhir Larva Instar II-V dengan Rasio

Pemberian Pakan yang Berbeda ... 24 7. Rataan Pertambahan Bobot Badan Larva Instar II-V dengan

Rasio Pemberian Pakan yang Berbeda ... 25 8. Konversi Pakan Larva Instar II-V dengan Rasio Pemberian

Pakan yang Berbeda ... 26 9. Mortalitas Larva Instar II-V dengan Rasio Pemberian Pakan

yang Berbeda ... 28 10. Rataan Rendemen Pemeliharaan Instar V dengan Rasio

Pemberian Pakan yang Berbeda ... 29 11. Rataan Bobot Kokon Segar, Bobot Kulit Kokon serta Rasio

Kulit Kokon Ulat Sutera dengan Rasio Pemberian Pakan yang

Berbeda ... 30 12. Kokon Cacat Ganda dan Cacat Berlapis Hasil Pemeliharaan

Ulat Sutera dengan Rasio Pemberian Pakan yang Berbeda ... 35 13. Respon Pertumbuhan Larva Instar II-V dan Kualitas Kokon

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Siklus Hidup Ulat Sutera ... 6

2. Perkembangan Larva Menjadi Pupa Ulat Sutera ... 8

3. Daun Murbei Jenis Morus cathayana ... 11

4. Larva Instar V ... 15

5. Seriframe (alat pengokonan) ... 16

6. Total Konsumsi Pakan Larva Instar II-V dengan Rasio Pemberian Pakan yang Berbeda ... 23

7. Konsumsi Pakan Larva pada Instar II-V dengan Rasio Pemberian Pakan yang Berbeda ... 23

8. Hubungan Keeratan Bobot Badan Akhir Larva Instar V dengan Bobot Kokon Segar Pupa Jantan dan Betina ... 31

9. Hubungan Keeratan Bobot Kokon Segar dengan Bobot Kulit Kokon Pupa Jantan dan Betina ... 32

10. Kokon Normal, Kokon Cacat Berlapis, Kokon Cacat Ganda, dan Pupa ... 34

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Rataan Konsumsi Pakan (dalam bahan kering) ... 42 2. Input Data Program SAS Rancangan Acak Kelompok ... 42 3. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Konsumsi Pakan ... 43 4. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Instar terhadap Konsumsi Pakan .. 43 5. Rataan Pertambahan bobot badan (mg/ekor) ... 43 6. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Pertambahan Bobot Badan ... 44 7. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Instar terhadap Pertambahan Bobot

Badan ... 44 8. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Konversi Pakan ... 44 9. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Instar terhadap Konversi

Pakan ... 44 10. Rataan Angka Mortalitas (%) ... 45 11. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Mortalitas ... 45 12. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Instar terhadap Mortalitas ... 45 13. Rataan Rendemen Pemeliharaan Instar V ... 46 14. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Rendemen Pemeliharaan Instar V ... 46 15. Rataan Bobot Kokon Segar (mg/butir), Bobot Kulit Kokon

(mg/butir), dan Rasio Kulit Kokon (%) ... 47 16. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Bobot Kokon Segar ... 47 17. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Bobot Kokon Segar ... 48 18. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Bobot

Kokon Segar ... 48 19. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Bobot Kulit Kokon ... 48 20. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Bobot Kulit Kokon ... 48 21. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Bobot Kulit

(12)

22. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Rasio Kulit Kokon ... 49 23. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Rasio Kulit Kokon ... 49 24. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Rasio Kulit

Kokon ... 49 25. Rataan Bobot Pupa ... 50 26. Rataan Persentase Kokon Cacat Berlapis ... 51 27. Analisis Keragaman Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Persentase Kokon Cacat Berlapis ... 52 28. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Rasio Pemberian Pakan terhadap

Persentase Kokon Cacat Berlapis ... 52 29. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Persentase

Kokon Cacat Berlapis ... 52 30. Temperatur dan Pemberian Pakan Selama Pemeliharaan ... 53

(13)

sebanyak 60% memberikan hasil panen kokon yang lebih tinggi daripada rasio pemberian pakan pagi dan siang hari sebanyak 60% dengan sore dan malam hari sebanyak 40%, dapat disimpulkankan bahwa pemberian pakan dengan rasio pakan di malam hari yang lebih sedikit yaitu 60%:40% tidak memberikan hasil panen kokon yang lebih baik dari pemberian pakan dengan rasio pakan 40:60%.

Perumusan Masalah

Pemberian pakan dengan rasio pakan di malam hari yang lebih sedikit yaitu 60%:40% tidak memberikan hasil panen yang lebih baik dari pemberian pakan dengan rasio pakan 40:60%, hal ini terjadi karena pakan yang diberikan di siang hari menjadi cepat layu sehingga tidak termakan seluruhnya oleh larva. Kecukupan air dalam daun akan mempengaruhi pemilihan pakan bagi larva, larva kurang menyukai daun yang sudah layu. Selain itu, pemberian pakan dengan rasio pakan 60:40% menyebabkan larva kekurangan pakan di malam hari. Pada dasarnya selama larva masih aktif, larva akan terus memakan daun murbei baik saat pagi, siang, sore, dan malam hari.

Jika pemberian pakan dengan rasio pakan saat malam hari yang lebih banyak yaitu lebih dari 50%, maka ada kemungkinan bahwa daun tersebut akan tetap segar sepanjang malam sehingga larva pun tetap menyukai. Hal ini terjadi karena kesegaran daun murbei terjaga pada kondisi temperatur saat malam hari. Pemberian pakan dengan rasio saat malam hari yang lebih banyak ini dilakukan tanpa menambahkan jumlah pemberian pakan setiap satu harinya. Oleh sebab itu diperlukan penelitian mengenai pemberian pakan dengan rasio pakan malam hari yang lebih banyak.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan rasio pemberian pakan yang terbaik berdasarkan pengaruh pemberian pakan dengan beberapa rasio pakan di malam hari yang lebih banyak (55%, 60%, 65%, dan 70%) terhadap pertumbuhan ulat sutera (Bombyx mori L.) dan kualitas kokon yang dihasilkan.

(14)

Berdasarkan pergantian kulit terdapat :

a. Three molters, yaitu jenis yang mengalami tiga kali pergantian kulit semasa berbentuk larva.

b. Four molters, yaitu jenis yang mengalami empat kali pergantian kulit dan dianggap sebagai penghasil sutera terbaik sehingga paling banyak dipelihara. c. Five molters, yaitu jenis yang selama menjadi larva mengalami lima kali

pergantian kulit.

Pembagian berdasarkan asal negara induk dikenal :

a. Ras Jepang, dengan ciri umur larva panjang, rentan terhadap serangan penyakit, produksi kokon tinggi, kokon berwarna putih, bentuk kokon seperti kacang tanah dan ukurannya medium.

b. Ras Cina, dengan ciri umur larva pendek, daya tahan terhadap serangan penyakit baik, produksi kokon rendah, kokon oval berwarna putih dan kuning kehijauan. c. Ras Eropa, dengan ciri umur larva panjang, kokon besar dan tidak tahan

terhadap iklim panas dan lembab.

d. Ras Tropika, dengan ciri hidup di daerah tropis, tahan terhadap suhu panas, pertumbuhan sangat cepat, kokon berukuran kecil, mempunyai banyak serabut (floss) dan kulit kokonnya tipis sehingga produksi rendah.

Lingkungan

Ulat sutera merupakan hewan berdarah dingin (poikilotermik) yang pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh klimat lingkungan antara lain suhu, cahaya, kelembaban dan angin (sirkulasi udara). Pencahayaan yang paling baik untuk larva adalah penerangan selama sekitar 16 jam dan delapan jam dalam keadaan gelap. Suhu, kelembaban dan sirkulasi udara juga berpengaruh selama pengokonan. Apabila terjadi perubahan lingkungan seperti suhu dan kelembaban tinggi, serta sirkulasi udara tidak lancar, larva akan berhenti membuat kokon sehingga mengakibatkan daya pintal kokon menjadi rendah (Atmosoedarjo et al., 2000). Suhu yang semakin meningkat menyebabkan nafsu makan dan pertumbuhan hidup larva menjadi lebih pesat (Katsumata, 1964; Samsijah dan Kusumaputra, 1975).

Selama masa hidupnya, Bombyx mori L. membutuhkan suhu dan kelembaban optimum yang berbeda-beda setiap fasenya. Pada Tabel 1 disajikan suhu dan kelembaban optimum yang dibutuhkan oleh ulat sutera untuk setiap fasenya.

(15)

Tabel 1. Kebutuhan Suhu dan Kelembaban Udara untuk Setiap Fase Fase Suhu (0C) Kelembaban (%)

Telur 24-25 80-85

Larva instar I 27-28 85-90 Larva Instar II 26-27 80-85 Larva instar III 26-27 80-85 Larva instar IV 24-25 70-75 Larva instar V 23-24 65-70 Larva istirahat 24-25 66-70 Larva sedang mengokon 23-25 60-70 Sumber : Samsijah dan Andadari (1992a)

Kebutuhan ulat sutera akan suhu dan kelembaban adalah berbeda-beda setiap fasenya, tergantung pada kondisi fisiologisnya. Seperti tampak pada Tabel 1 yaitu suhu kelembaban optimum untuk ulat sutera kecil (larva instar I-III) lebih tinggi daripada ulat sutera besar (larva instar IV-V). Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1975) bahwa larva-larva muda pada umumnya lebih tahan terhadap suhu yang tinggi, nafsu makan dan pertumbuhannya akan didorong oleh suhu dan kelembaban yang tinggi. Suhu dan kelembaban yang terlalu rendah bagi ulat sutera kecil akan menyebabkan larva menjadi lemah dan mudah terserang penyakit. Suhu dan kelembaban yang terlalu tinggi bagi ulat sutera besar, nafsu makannya akan berkurang dan kesehatannya terganggu. Selain itu pengokonan menjadi kurang baik yaitu menghasilkan kokon kecil dan kadar sutera berkurang.

Siklus Hidup dan Pertumbuhan

Ulat sutera adalah serangga holometabola, serangga yang mengalami metamorfosa sempurna, yang berarti bahwa setiap generasi melewati 4 stadia, yaitu telur, larva, pupa, dan imago (ngengat). Selama metamorfosa, stadia larva adalah satu-satunya masa makan, merupakan masa yang sangat penting untuk sintesis protein sutera dan pembentukan telur (Atmosoedarjo et al., 2000).

Telur yang berasal dari ngengat dalam perkembangannya mengalami dua macam kondisi, yaitu hibernasi (diapause) dan non hibernasi (non diapause). Larva akan keluar dari telur non hibernasi pada hari kesepuluh sampai dengan hari kedua belas setelah telur dikeluarkan oleh ngengat. Perkembangan embrio telur hibernasi (diapause) mengalami masa istirahat. Pada saat istirahat telur tidak mengalami banyak perubahan sampai periode hibernasinya selesai (Krishnaswami et al., 1973). Telur hibernasi dapat diubah menjadi telur non hibernasi melalui perlakuan khusus

(16)

yaitu dengan penyimpanan pada kondisi lingkungan tertentu kemudian dilakukan penetasan buatan (Brasla dan Matei, 1997).

Inkubasi telur yaitu penyimpanan telur pada kondisi lingkungan yang diatur sampai saat penetasan. Kaomini (2002) menyatakan bahwa saat inkubasi, telur disimpan dalam ruang yang bersuhu 24-25o C, kelembaban 75-85 % dan pemberian cahaya 18 jam per hari. Inkubasi telur bertujuan agar pertumbuhan embrio sempurna dan penetasan telur serentak. Sekitar dua hari sebelum menetas, terlihat bintik gelap (head pigmentasian stage) dan sehari sebelum menetas bintik gelap berubah menjadi bintik biru yang disebut body pigmentation stage.

Telur-telur yang sudah menetas akan mengalami perkembangan menjadi larva, pupa kemudian ngengat. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Siklus Hidup Ulat Sutera (JICA, 1985)

Perkembangan ulat sutera dibedakan dalam tiga fase, yaitu fase ulat sutera kecil, fase ulat sutera besar, dan fase pengokonan. Ulat sutera kecil adalah larva yang berumur 1 hingga 11 atau 12 hari dan pada fase ulat sutera kecil dapat dibagi lagi menjadi tiga instar, yaitu instar I (larva berumur 1-4 hari), instar II (larva berumur 5-7 hari), dan instar III (larva berumur 8-11 hari). Ulat sutera besar adalah

Ganti Kulit 3 Ganti Kulit 2 N

Noonn HHiibbeerrnnaassii

Ngengat kopulasi Larva mengokon

Larva Instar II Ngengat betina bertelur Larva instar I P Puuppaa N Nggeennggaatt I InnssttaarrII I InnssttaarrIIII I InnssttaarrIIIIII I InnssttaarrVV M Meennggookkoonn B Beerrtteelluurr P Peerrkkaawwiinnaann 3 3--44 HHaarrii 2 2--44 HHaarrii 3 3--44 HHaarrii 4 4--55 HHaarrii 6 6 HHaarrii Ganti Kulit 4 7 7--99 HHaarrii 9 9--1122 HHaarrii 3 3--44 HHaarrii Larva Instar V I InnssttaarrIIVV Ganti Kulit 1

(17)

larva yang sudah mencapai instar IV dan V (stadium akhir), yaitu mulai umur 12 atau 13 hari hingga umur sekitar 22-25 hari, sedangkan fase pengokonan adalah fase larva akan berubah bentuk menjadi pupa (Guntoro, 1994).

Larva yang baru menetas mempunyai panjang tubuh sekitar 3 mm dan bobot tubuh sekitar 0,5 mg (Kaomini, 2002). Pertambahan berat tubuh sangat pesat pada masa larva. Larva mencapai berat maksimum pada tahap instar V sekitar 1 atau 1,5 hari sebelum mengokon, menjadi sekitar 10.000-12.000 kali berat larva yang baru menetas (Atmosoedarjo et al., 2000). Menurut Ekastuti et al. (1995) bahwa rataan pertambahan bobot badan larva yang mengkonsumsi daun murbei jenis Morus cathayana setiap instarnya adalah 6,26 mg/ekor untuk instar I, 38,42 mg/ekor untuk instar II, 167,85 mg/ekor untuk instar III, 775,26 mg/ekor untuk instar IV, dan 2745,61 mg/ekor untuk instar V. Larva instar V yang sudah matang akan membentuk kokon sebagai tempat metamorfosis dari larva menjadi pupa.

Ciri-ciri Larva akan Mengokon

Menurut Kaomini (2002), tanda-tanda larva matang yaitu (a) tubuh memendek dan terlihat gemuk, (b) segmen dada tembus cahaya, (c) kotoran berwarna hijau dan lembek, (d) bergerak mengelilingi rak ulat, (e) mengangkat kepala dan dadanya, dan (f) telah mengeluarkan banyak serat dari mulutnya.

Pembentukan Kokon

Menurut Krishnaswami et al. (1972), setelah berada pada alat pengokonan ulat sutera mula-mula akan berputar-putar untuk mencari tempat pengokonan yang baik. Jika sudah mendapat tempat yang cocok untuk mengokon, larva akan menggerakkan kepalanya seperti angka delapan dan mengulurkan filamennya. Beberapa waktu kemudian larva akan membuat lapisan kokon tipis-tipis. Selanjutnya larva akan menurunkan bagian ekornya keluar kokon untuk membuang kotoran dan urin yang terakhir kalinya, setelah itu larva mulai memasuki tingkat pengokonan utama sampai proses pembuatan kokon selesai.

Cadangan pakan yang telah diperoleh akan digunakan sebagai bahan pembuat serat sutera (Rangaswami et al., 1976), jika memperoleh pakan dalam jumlah yang cukup maka larva akan membentuk jalinan kokon dengan baik. Pada Gambar 2 tampak perkembangan larva menjadi pupa ulat sutera.

(18)

Gambar 2. Perkembangan Larva Menjadi Pupa Ulat Sutera (Atmosoedarjo et al., 2000)

Larva akan berhenti mengeluarkan serat sutera kurang lebih dua hari setelah mulai mengokon dan sekitar 24 jam kemudian larva telah berubah menjadi pupa (Tajima, 1978). Setelah terjadi ekdisis (ganti kulit) dari larva menjadi pupa, kulit pupa masih lunak dan berwarna kuning muda. Namun 2-3 jam kemudian kulit pupa menjadi keras dan berwarna coklat seperti tampak pada Gambar 2 (Atmosoedarjo et al., 2000). Selama proses perkembangan larva menjadi pupa ini berlangsung, kokon tidak boleh terguncang karena dapat menyebabkan pupa mati di dalam kokon dan memberikan noda pada kokon bagian dalam.

Panen Kokon

Kokon merupakan produk akhir dari budidaya ulat sutera, yang kemudian dapat diolah menjadi benang dan kain sutera. Waktu panen kokon dapat mempengaruhi kualitas kokon. Panen kokon dilakukan pada waktu yang tepat, tidak terlalu cepat atau terlalu lambat. Jika terlalu cepat maka pupa yang belum keras akan mudah hancur (terluka) bila tertekan dan menyebabkan kokon kotor di dalam. Apabila lebih lambat dipanen maka pupa di dalam kokon akan berubah menjadi ngengat, yaitu 12 hari sesudah mulai mengokon.

Pemanenan yang tepat yaitu pada saat pupa telah terbentuk, badannya sudah menjadi coklat dan kulitnya sudah cukup keras. Apabila suhu lingkungan berada diantara 24-27oC, maka waktu panen yang tepat yaitu pada hari ke enam dan ke tujuh sesudah mulai mengokon (Atmosoedarjo et al., 2000).

(19)

Kualitas Kokon

Kualitas kokon ditentukan oleh sifat keturunan dari jenis ulat sutera dan keadaan luar seperti keadaan selama pemeliharaan, pengokonan dan lain-lain. Syarat kokon yang baik adalah sehat (tidak cacat), bersih (putih bersih, kuning bersih atau warna-warna lainnya), bagian dalam (pupa) tidak rusak atau hancur, bagian kulit kokon (lapisan serat-serat suteranya) keras dan kalau ditekan sedikit berat (Samsijah dan Andadari, 1992b).

Kokon cacat harus dipisahkan dari kokon normal karena merupakan kokon yang berkualitas rendah. Kokon cacat misalnya kokon yang rangkap, kokon berlubang, kokon kotor pada bagian dalamnya, kokon kotor bagian luar, kokon kulit tipis, kokon berbentuk aneh, kokon berbulu, kokon kulit berlapis, kokon berlekuk, kokon berujung tipis, kokon tergencet dan bentuk kokon yang abnormal (Samsijah dan Andadari, 1992b; Atmosoedarjo et al., 2000).

Apabila tempat pengokonan tidak baik atau cara-cara pengokonan kurang hati-hati , ataupun pengurusan selama pengokonan itu kurang, maka biasanya kokon-kokon yang dihasilkannya pun kualitasnya tidak baik (Katsumata, 1964). Dijelaskan pula bahwa walaupun pemeliharaan baik dan larva-larva sehat tapi apabila pekerjaan pengokonan tidak baik atau keadaan iklim saat larva-larva itu mengokon tidak baik, maka mungkin juga larva-larva itu tidak dapat membuat kokon dan dengan demikian maka pemeliharaannya tidak dapat menghasilkan kokon-kokon yang baik.

Kualitas kokon yang dihasilkan merupakan sumbangan dari cadangan makanan yang berhasil ditimbun larva selama periode makan (Ekastuti et al., 1995). Tabel 2 berikut ini merupakan persyaratan mutu kokon normal menurut Standar Nasional Indonesia (2002).

Tabel 2. Persyaratan Kelas Mutu Kokon Normal

Parameter yang diuji Dalam bentuk A B C D Bobot Kokon Gram/ butir ≥ 2,0 1,7 - 1,9 1,3 - 1,6 < 1,3 Rasio kulit kokon % ≥ 23,0 20,0 - 22,9 17,0 - 19,9 <17,0 Kokon cacat % ≤ 2,0 2,0 - 5,0 5,1 - 8,0 > 8,0 Sumber : Standar Nasional Indonesia (2002)

Tampak pada Tabel 2 bahwa semakin tinggi bobot kokon dan rasio kulit kokon serta semakin rendah jumlah kokon yang cacat maka mutu kokon tersebut semakin baik.

(20)

Perbedaan Jantan dan Betina

Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), larva jantan mempunyai satu titik dari kelenjar Herold pada abdomen perbatasan antara segmen ke-11 dan 12, sedangkan larva betina mempunyai sepasang bintik kecil pada bagian abdomen segmen ke-11 dan ke-12. Bintik-bintik tersebut disebut kelenjar Ishiwata depan dan kelenjar Ishiwata belakang.

Secara morphologi, antara pupa betina dan jantan nampak jelas perbedaannya. Pada betina terdapat garis vertikal yang memotong pusat dari bagian ventral segmen ke-8 , sedang alat kelamin nampak di segmen ke-9. Pada jantan, alat kelamin hanya ada di segmen ke-9. Kecuali itu pupa betina biasanya lebih besr daripada pupa jantan.

Daun Murbei (Morus sp.)

Daun murbei merupakan pakan tunggal dengan tingkat palatabilitas tinggi bagi Bombyx mori L. Pada daun murbei terdapat suatu zat perangsang yaitu glukosida dan penolakan memakan daun tumbuhan lain karena tidak adanya zat perangsang tersebut (Sunanto, 1997). Menurut Sangaku (1975) bahwa ulat sutera menggunakan indera penciumnya dalam memilih-milih daun untuk dikonsumsi.

Klasifikasi tanaman murbei menurut Samsijah dan Kusumaputra (1975) adalah sebagai berikut :

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Classis : Dicotyledoneae Ordo : Urticalis Familia : Moraceae Genus : Morus Species : Morus sp.

Tanaman murbei berbentuk semak (perdu) yang tingginya sekitar 5-6 m, dapat juga berbentuk pohon yang tingginya mencapai 20-25 m. Tanaman murbei yang dipangkas dan dipelihara dengan baik akan tumbuh tunas-tunas baru (muda) yang berjumlah banyak. Batang dari tanaman ini memiliki warna bermacam-macam tergantung pada spesiesnya dan memiliki percabangan banyak yang arahnya dapat

(21)

tegak, mendatar dan menggantung. Bentuk dan ukuran daun bermacam-macam tergantung pada jenis atau varietasnya (Rustini, 2002).

Kini dikenal ratusan jenis murbei, namun hanya beberapa jenis saja yang digunakan sebagai makanan ulat sutera. Atmosoedarjo et al., (2000) menyatakan bahwa beberapa jenis murbei di Indonesia adalah Morus nigra, Morus multicaulis, Morus australis, Morus alba, Morus bombycis, dan Morus cathayana. Gambar 3 merupakan gambar daun murbei jenis Morus cathayana.

Gambar 3. Daun Murbei Jenis Morus cathayana (Sericulum, 2003)

Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa ciri-ciri fisik yang membedakan tanaman murbei jenis Morus cathayana dengan tanaman murbei jenis lainnya adalah batang berwarna coklat tua, pucuk berwarna kuning kemerahan, daun berwarna hijau (tidak gelap), bentuknya berlekuk dengan tepi bergerigi.

Morus cathayana memiliki produksi daun yang baik (Atmosoedarjo et al., 2000; Ekastuti et al., 1995) dan baik digunakan sebagai pakan ulat sutera karena daun ini lunak, lemas, dan tidak berbulu (Samsijah dan Kusumaputra 1975).

Samsijah (1992) menyatakan bahwa kadar air dari daun murbei jenis ini adalah 79,55%. Selain itu mengandung 12,89% protein kasar, 18,53% serat kasar, 14,84% lemak kasar, 3,69% abu, 11,62% karbohidrat, 38,43% kalsium, dan 0,36% fosfor. Kadar air dalam pakan merupakan faktor penting dalam kehidupan serangga, rendahnya kadar air pakan menyebabkan pertumbuhan larva terhambat, karena larva perlu membentuk air baru untuk mencukupi kebutuhan air dengan melakukan katabolisme (Martin dan Van’t Hof, 1988). Rendahnya kadar air pakan dalam daun akan menurunkan laju pertumbuhan (Ekastuti, 2005). Menurut Ekastuti et al. (1995) bahwa daun murbei yang memberikan pertumbuhan terbaik dan kualitas kokon

(22)

tertinggi adalah daun murbei jenis Morus cathayana. Hasil analisa proksimat daun jenis ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Analisa Proksimat Daun Murbei Jenis Morus cathayana (dalam bahan kering)

Nutrisi Daun Muda Daun Tua

Kadar air (%) 73,90 70,78 Bahan kering (%) 26,31 29,22 Protein kasar (%) 19,09 16,39 Lemak kasar (%) 3,71 5,16 Serat kasar (%) 8,45 16,80 BETN (%) 59,53 47,61 Abu (%) 9,22 14,03 Energi (kal/g) 4.406,00 4.246,00 Vitamin A (mg%) 5.671,31 5.736,85 Vitamin C (mg%) 11,70 13,37 Calcium (%) 1,53 2,99 Fosfor (%) 0,36 0,33 Aspartat (%) 0,41 0,59 Threonin (%) 0,32 0,32 Serin (%) 0,14 0,23 Glutamat (%) 0,58 0,76 Glisin (%) 0,17 0,25 Alanin (%) 0,28 0,35 Valin (%) 0,22 0,31 Methionin (%) 0,05 0,07 Isoleusin (%) 0,16 0,22 Leusin (%) 0,30 0,41 Titosin (%) 0,18 0,24 Fenilalanin (%) 0,20 0,28 Histidin (%) 0,09 0,12 Lisin (%) 0,24 0,27 Arginin (%) 0,20 0,22

Sumber : Ekastuti et al. (1995)

Tampak pada Tabel 3 bahwa kadar air pada daun muda lebih tinggi daripada daun tua. Terdapat 15 macam asam amino, asam amino yang terbanyak terdapat di daun murbei ini adalah glutamat; setelah itu aspartat, dan lain-lainnya.

Konsumsi Pakan

Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1975) bahwa pakan yang paling baik adalah daun murbei yang sudah berumur 2,5-3 bulan setelah pangkas. Kebutuhan pakan untuk larva instar I-III adalah 5-8 % dari kebutuhan, sedangkan untuk larva instar IV-V adalah 92-95 % dengan pemberian pakan dilakukan 4 kali sehari yaitu

(23)

pagi, siang, sore dan malam (Guntoro, 1994). Pada instar V hari ke-3 dan selanjutnya, kelenjar sutera di dalam tubuh berkembang sehingga harus diberi daun murbei yang cukup banyak (Kaomini, 2002). Samsijah dan Kusumaputra (1979) menyatakan bahwa jumlah daun yang diberikan serta ketepatan waktunya mempengaruhi mutu kokon yang dihasilkan.

Daun-daun pucuk sebaiknya tidak dipakai pada pemeliharaan larva. Pengambilan daun untuk larva instar I dengan cara memetik 4-5 lembar daun dari pucuk, untuk instar II dipetik 6-7 lembar daun dari pucuk dan untuk instar III bisa sampai 7-8 lembar daun dari pucuk. Daun tersebut kemudian dirajang untuk memudahkan larva makan. Untuk instar IV dan V (ulat sutera besar) dapat diberikan semua daun yang ada pada tanaman murbei, kecuali daun-daun yang terkena hama/ penyakit, kotoran tanah, kering atau kuning (Samsijah dan Kusumaputra, 1975).

Ukuran baku dari potongan-potongan daun untuk metode rajang adalah instar I antara 0,5-1 cm, instar II antara 1,5-2 cm, dan instar III antara 3-4 cm sedangkan pemberian pakan pada larva instar IV dan V tergantung pada manajemen pemeliharaan, daun bisa diberikan secara utuh (tidak dirajang), dalam bentuk tunas, ataupun dengan potongan tunas kira-kira 10-20 cm (Atmosoedarjo et al., 2000).

Ditinjau dari tingkat makannya untuk setiap instar maka dapat dibedakan menjadi first feeding stage (masa makan pertama), sparse eating stage (masa kurang aktif makan), moderate eating stage, active eating stage (masa aktif makan), premoulting stage (masa persiapan pergantian kulit), last feeding stage (masa makan akhir), dan moulting stage (masa pergantian kulit). Nafsu makannya baik sekali pada saat makan pertama dan berkurang pada sparse eating stage dan moderate eating stage. Kemudian meningkat lagi pada active eating stage sampai last feeding stage. Kemudian larva tidak makan lagi sampai berganti kulit (Samsijah dan Kusumaputra, 1975). Katsumata (1964) menyatakan bahwa pada setiap instar, mula-mula makannya sedikit lalu semakin bertambah sedangkan lamanya waktu yang digunakan larva-larva itu untuk makan berangsur-angsur menjadi panjang. Banyaknya daun yang dimakan ulat sutera berangsur-angsur bertambah sesuai dengan perkembangan hidupnya. Samsijah dan Kusumaputra (1978) menyatakan bahwa konsumsi pakan larva meningkat pesat dari instar IV ke instar V, hal ini dihubungkan dengan

(24)

pembentukan kelenjar sutera. sPada Tabel 4 disajikan jumlah daun murbei yang dikonsumsi oleh 1000 ekor ulat sutera jenis J.115 X C.180.

Tabel 4. Daun Murbei yang Dikonsumsi Ulat Sutera Jenis J.115 X C.180 (ras Jepang X ras Cina)

Instar Jumlah daun (%) Banyak daun yang (%) Persentase banyak yang diberikan dikonsumsi tiap instar daun yang dikonsumsi (gram/100 ekor) (gram/100 ekor) (%)

A B (B/A)*100 I 77,5 0,22 18,52 0,09 23,9 II 314,6 0,91 82,45 0,38 33,9 III 965,0 2,81 418,81 1,89 43,4 IV 4.183,0 12,19 2.250,45 9,97 53,8 V 28.800,0 83,87 18.023,75 87,67 62,5 Jumlah 34.339,1 100,00 20.793,38 100,00 60,5 Sumber : Katsumata (1964)

Tampak pada Tabel 4 bahwa baik jumlah daun yang diberikan, yang dikonsumsi, maupun persentase daun yang dikonsumsi adalah semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur, terutama dari larva instar IV ke instar V.

Frekuensi pemberian pakan tergantung pada ketersediaan tenaga kerja, biasanya 3-4 kali sehari (Kaomini, 2002). Menurut Nurdin (1980), pemberian pakan empat kali dalam sehari akan menghasilkan rendemen dan mutu kokon yang baik. Pemberian pakan pada malam hari dimaksudkan supaya kebutuhan daun segar bagi larva selalu tersedia (Gitosewojo, 1995) serta dapat meningkatkan produksi kokon 20-25%. Pada dasarnya selama masih aktif, larva akan terus memakan daun murbei.

Berdasarkan hasil penelitian Maharani (2002) pemberian pakan 100% dari pemberian normal berdasarkan pemeliharaan ulat sutera semusim (25% pagi, 25% siang, dan 50% malam serta modifikasinya disesuaikan dengan umur larva) memberikan hasil yang lebih baik terhadap laju pertumbuhan larva dibandingkan dengan pemberian pakan 75% dan 125%. Selain itu penelitian Aryanti (2003) menyatakan bahwa pemberian pakan 75% dan 125% tidak dianjurkan karena pada pemberian pakan 75% menghasilkan kualitas kokon yang rendah sedangkan pada 125% menghasilkan kualitas kokon yang tidak berbeda nyata dengan 100%. Rasio pemberian pakan pagi dan siang hari 40% dengan sore dan malam hari 60% memberikan hasil panen kokon yang lebih tinggi daripada rasio pemberian pakan pagi dan siang 60% dengan sore dan malam 40% (Kaomini, 2002).

(25)

Berikut merupakan seriframe yang digunakan sebagai alat pengokonan ulat

sutera pada peternak pada umumnya.

Gambar 5. Seriframe (alat pengokonan)

(Dok : Purwanti, 2007) Desinfektan

Campuran lima gram kaporit dan satu liter air digunakan untuk mendesinfeksi seluruh bagian dalam rumah ulat sutera beserta rak, sehari sebelum telur datang. Setiap satu liter campuran tadi cukup untuk disemprotkan pada ruangan

seluas dua m2. Campuran tersebut digunakan pula untuk mendesinfeksi seriframe,

1-2 hari sebelum waktu mengokon serta digunakan untuk mencuci tangan dan kaki sebagai suatu cara pencegahan bibit penyakit yang masuk dari luar kandang (rumah ulat sutera). Peralatan yang berhubungan langsung dengan larva didesinfeksi pula dengan campuran tersebut. Bubuk pafzol digunakan sebagai disinfektan ulat sutera setelah berganti kulit (molting).

Rancangan Perlakuan

Rancangan percobaan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari empat taraf perlakuan; yaitu P1 adalah pemeliharaan dengan rasio pemberian pakan 45% saat pagi, siang, dan sore hari serta 55% saat malam hari, P2 adalah 40% saat pagi, siang, dan sore hari serta 60% saat malam hari, P3 adalah 35% saat pagi, siang, dan sore hari serta 65% saat malam hari, dan P4 adalah 30% saat pagi, siang, dan sore hari serta 70% saat malam hari. Masing-masing perlakuan terdiri dari lima ulangan. Pada fase larva dikelompokkan berdasarkan instar yaitu instar II, III, IV, dan V. Sedangkan pada fase pupa dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Setiap satu satuan percobaan terdiri dari 100 ekor ulat sutera.

(26)

Model

Model matematika yang digunakan (Mattjik dan Sumertajaya, 2002) : Yijk = µ +

τ

i+ Kj +

ε

ijk

Keterangan :

i = 1, 2, 3, dan 4.

j = 1, 2, 3, 4, dan 5.

Yijk = Pengamatan pada ulangan ke-j dan kelompok ke-k dari rasio pemberian

pakan ke-i.

µ = Rataan umum.

τ

i = Pengaruh rasio pemberian pakan ke-i.

Kj = Kelompok ke-j (fase larva: 4 = instar II, III, IV, dan V; fase pupa : 2 =

jantan dan betina).

ε

ijk = Pengaruh acak pada ulangan ke-j dan kelompok ke-k dari rasio

pemberian pakan ke-i.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisa keragaman (Analyses of Variance/ ANOVA) dan bila terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan Uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.

Peubah

Peubah-peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Konsumsi pakan

Konsumsi pakan diperoleh dari selisih antara bahan kering daun yang diberikan dengan bahan kering daun sisa kemudian dibagi jumlah larva.

larva Jumlah %BK) x sisa (Berat -%BK) x pemberian (Berat (mg/ekor) BK Konsumsi =

2. Pertambahan bobot badan

Pertambahan bobot badan (PBB) diperoleh dari selisih antara bobot akhir larva dengan bobot awal larva pada setiap instar.

larva Jumlah (mg) instar awal Bobot -(mg) instar akhir Bobot (mg/ekor) PBB =

(27)

3. Konversi pakan

Konversi pakan diperolah dari pembagian bahan kering konsumsi pakan dengan pertambahan bobot badan larva.

PBB pakan Konsumsi BK pakan Konversi = 4. Mortalitas

Mortalitas diperoleh dari pembagian antara selisih dari jumlah larva pada awal instar dan akhir instar dengan jumlah larva awal instar dikalikan 100%.

100% x instar awal Larva instar akhir Larva -instar awal Larva (%) instar tiap Mortalitas

= 5. Rendemen pemeliharaan

Rendemen pemeliharaan diperoleh dari pembagian jumlah kokon dengan jumlah larva awal pemeliharaan dikalikan 100%.

x100% an Pemelihara Awal Larva Kokon an Pemelihara Rendemen

=

6. Bobot kokon segar

Bobot kokon segar (mg) diperoleh dengan cara menimbang kokon segar yang masih berisi pupa.

7. Bobot kulit kokon

Bobot kulit kokon diperoleh dari bobot kokon tanpa pupa.

(mg) pupa Bobot (mg) segar kokon Bobot (mg) kokon kulit Bobot = −

8. Rasio kulit kokon

Rasio kulit kokon diperoleh dari pembagian bobot kulit kokon dengan bobot kokon segar dikalikan 100%.

100% x (mg) segar kokon Bobot (mg) kokon kulit Bobot (%) kokon kulit Rasio = 9. Kokon cacat

Persentase kokon cacat diperoleh dari pembagian kokon cacat dengan kokon keseluruhan dikalikan 100%. x100% Kokon cacat Kokon (%) cacat Kokon

=

(28)

Prosedur Pencatatan Suhu dan Kelembaban

Pencatatan suhu dan kelembaban dilakukan setiap hari hingga panen kokon, yaitu pada setiap pukul 07.00-08.00, 11.00-12.00, 15.00-16.00, dan 19.00-20.00

WIB. Pencatatan suhu dan kelembaban ini menggunakan termometer dry-wet.

Rataan Suhu dan kelembaban selama pemeliharaan adalah 21,46±1,43oC dan

73,47±9,27% (07.00-08.00 WIB), 25,93±1,95oC dan 65,97±16,64% (11.00-12.00

WIB), 25,65±1,43oC dan 58,32±12,70% (15.00-16.00 WIB), 23,95±0,97oC dan

67,12±8,48% (19.00-20.00 WIB).

Penetasan Telur dan Penanganan Larva pada Hari Pertama (Hakitate)

Telur yang baru datang diangin-anginkan selama 10 menit untuk penyesuaian diri terhadap suhu dan kelembaban pada tempat yang baru, kemudian dimasukkan ke inkubator. Telur akan menetas setelah mengalami masa inkubasi selama kurang lebih satu minggu. Satu hari sebelum tanggal penetasan, inkubator ditutup dengan

kain hitam. Pencahayaan (lampu lima watt) dilakukan selama kurang lebih satu jam

setelah 90% telur menetas.

Telur-telur yang sudah menetas dipindahkan ke rak pemeliharaan kemudian larva yang baru menetas dipindahkan dari kotak penetasan dengan jaring kelambu. Sebelum diberi pakan pertama, larva didesinfeksi dengan bubuk pafzol agar bakteri atau kuman mati dan tidak mengganggu pertumbuhan kulit larva yang masih baru. Pengurusan larva-larva kecil yang baru keluar dari telur sampai pemberian pakan

pertama disebut hakitate. Pekerjaan ini merupakan permulaan dari pemeliharaan ulat

sutera.

Jaring kelambu diletakkan di bawah irisan daun murbei (pada mulut kotak penetasan) sekitar 15 menit setelah pemberian bubuk pafzol merupakan suatu usaha untuk mempermudah pemindahan larva ke media pemeliharaan yang baru (kertas

parafin). Umumnya kertas parafin yang digunakan berukuran 0,75x1 m2 untuk

25.000 ekor selama pemeliharaan larva instar I. Pemeliharaan ini memerlukan dua lembar kertas parafin, satu lembar digunakan sebagai alas dan satu lembar digunakan sebagai tutup. Penggunaan kertas parafin dapat mempertahankan kelembaban di dalam kertas tersebut serta menghambat pengeringan daun.

(29)

Pemberian pakan yang dilakukan pada larva instar I adalah pemberian pakan

menurut Atmosoedarjo et al. (2000). Larva ditaburi kapur tohor setelah 90% larva

mulai berhenti makan (akan molting) dan didesinfeksi setelah selesai molting.

Pemberian kapur tohor bertujuan agar daun cepat mengering dan menghindari larva yang masih makan, sehingga larva yang berhenti makan (tidur) menjadi seragam dan

proses molting pun berlangsung seragam. Pemberian desinfektan bertujuan untuk

mencegah kuman atau bakteri dan sumber penyakit lainnya supaya mati sehingga tidak mengganggu pertumbuhan kulit baru. Desinfektan yang digunakan adalah bubuk pafzol (campuran dari kapur dan kaporit).

Membuat 20 unit percobaan yang diletakkan pada rak atas sebanyak tujuh unit, rak tengah sebanyak tujuh unit, dan rak bawah sebanyak enam unit. Larva yang digunakan sebanyak 100 ekor/unit percobaan. Kertas parafin digunakan hingga larva instar IV. Media pemeliharaan dibersihkan setelah pemberian pakan. Perlakuan pemberian pakan dimulai saat larva memasuki instar II.

Pemberian kapur tohor, desinfektan, dan pembersihan media rutin dilakukan hingga larva instar V. Pembersihan media untuk ulat sutera besar dilakukan setiap dua hari sekali untuk instar IV dan setiap hari untuk instar V. Larva yang sudah

memasuki instar V dipindahkan ke kardus ukuran 24 x 36 cm2 setelah pemberian

desinfektan.

Pada akhir instar V, larva-larva yang sudah matang (siap mengokon)

dipindahkan ke seriframe secara manual kemudian dibiarkan mengokon. Panen

kokon dilakukan tujuh hari setelah larva membentuk kokon kemudian dilakukan

flossing yaitu pembersihan floss (serabut) pada kokon secara manual. Seluruh kokon

(normal dan cacat) dihitung untuk mendapatkan rendemen pemeliharaan. Setelah itu penyeleksian kokon normal (kokon yang tidak cacat) dan penimbangan kokon segar secara satu per satu (kokon beserta pupa di dalamnya). Kokon segar yang sudah ditimbang, ditimbang pula kulitnya saja (kokon tanpa pupa) untuk mendapatkan rasio kulit kokon. Cara memperoleh kulit kokonnya saja yaitu dengan menyayat salah satu

bagian ujung kokon menggunakan cutter tanpa mengenai pupa di dalamnya dan

mengeluarkan pupa tersebut, setelah itu dapat dihitung rasio kulit kokonnya. Penimbangan kulit kokon diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin pupa (jantan dan betina).

(30)

Penimbangan Pakan

Sebelum diberikan, daun ditimbang terlebih dahulu sesuai dengan perlakuan penelitian. Daun yang diberikan merupakan daun segar, untuk mempertahankan kesegaran daun dapat digunakan tempat penyimpanan daun yang terbuat dari karung goni atau sejenisnya.

Pengoleksian Sisa Pakan

Pengoleksian sisa pakan dilakukan dua kali sehari (setiap 12 jam sekali) yaitu setiap sebelum pemberian pakan pagi dan malam hari. Jaring dibutuhkan sebagai pembatas antara pakan yang diberikan saat pagi, siang, dan sore hari dengan pakan yang diberikan saat malam hari. Tujuan pengoleksian sisa pakan adalah untuk mengetahui konsumsi pakan larva.

Analisa Bahan Kering Daun

Sisa pakan dianalisa untuk mengetahui bahan keringnya. Sisa pakan dijemur hingga kering matahari kemudian dimasukkan ke dalam oven hingga air dalam daun sudah menguap semua. Tujuan dari analisa bahan kering daun adalah untuk mengetahui banyaknya konsumsi bahan kering pakan larva.

Penimbangan Bobot Badan

Penimbangan bobot badan larva dilakukan setelah pemberian disinfektan

pada larva yang memasuki instar II, III, dan IV dan sebelum molting ke instar

berikutnya, sedangkan larva instar V ditimbang setelah molting dari instar

sebelumnya dan sebelum mulai mengokon yaitu sebelum larva mengeluarkan cairan/ kotoran terakhir sebelum mengokon. Penghitungan jumlah larva dilakukan sesaat sebelum dilakukannya penimbangan. Penghitungan jumlah larva ini dilakukan untuk mengetahui mortalitas tiap instarnya.

Konsumsi dan Konversi Pakan

Konsumsi pakan dapat dihitung setelah diketahui jumlah sisa daun murbei dari jumlah pemberian. Kemudian dilanjutkan dengan menghitung konversi pakan karena konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan telah diketahui.

(31)

Suhu yang semakin meningkat menyebabkan nafsu makan dan pertumbuhan hidup larva menjadi lebih pesat (Katsumata, 1964; Samsijah dan Kusumaputra, 1975). Total konsumsi pakan larva instar II-V dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Total Konsumsi Pakan Larva Instar II-V dengan Rasio Pemberian Pakan yang Berbeda.

Konsumsi pakan larva nyata dipengaruhi (P<0,05) oleh instar. Rataan konsumsi pakan larva pada instar II-V berturut-turut adalah 30,74 mg/ekor, 214,58 mg/ekor, 1198,91 mg/ekor, dan 5507,93 mg/ekor. Semakin tinggi tahap instar maka semakin banyak pakan yang dikonsumsi oleh larva, karena waktu makan larva semakin panjang dengan semakin bertambahnya tahap instar sehingga jumlah daun yang dikonsumsi larva berangsur-angsur bertambah sesuai dengan perkembangan hidupnya. Rataan konsumsi pakan larva pada instar II-V disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Konsumsi Pakan Larva pada Instar II-V dengan Rasio Pemberian Pakan yang Berbeda.

Pada Gambar 7 terlihat konsumsi pakan larva meningkat drastis saat instar V. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) bahwa larva pada instar V mengkonsumsi pakan kira-kira sebanyak 90% dari keperluan seluruh pakan untuk seluruh instar, hal ini dihubungkan dengan cadangan makanan yang akan digunakan untuk pembentukan

0 2 4 6 8 K ons um si P aka n (gram/eko r) Instar II-V P1 P2 P3 P4 0 1 2 3 4 5 6 K o n sum si Pakan (gram/ ekor) II III IV V Instar P1 P2 P3 P4

(32)

kelenjar sutera (Katsumata, 1964). Kelenjar sutera tumbuh sangat cepat pada saat instar V (Samsijah dan Kusumaputra, 1978).

Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Bobot Badan

Menurut Rangaswami et al. (1976) dan Ekastuti et al. (1995) yaitu berat ringannya tubuh ulat sutera tergantung pada sedikit banyaknya menyimpan cadangan pakan. Bobot badan larva terus meningkat dengan semakin bertambahnya umur. Bobot badan awal dan akhir larva pada instar II-V dengan rasio pemberian pakan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Bobot Badan Awal dan Akhir Larva Instar II-V dengan Rasio Pemberian Pakan yang Berbeda.

Instar P1 P2 P3 P4

Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir

...(mg/ekor)... I 0,50 - 0,50 - 0,50 - 0,50 - II 5,52 33,84 5,54 34,24 5,36 33,52 5,44 31,76 III 32,47 181,88 33,23 180,63 32,12 181,10 30,91 187,76 IV 157,13 803,91 152,73 797,20 155,90 807,96 156,23 823,02 V 741,28 3653,69 717,16 3554,56 731,24 3530,07 751,44 3503,12 Keterangan :

P1 = Pemberian pakan 45% (pagi, siang, dan sore hari) serta 55% (malam hari) P2 = Pemberian pakan 40% (pagi, siang, dan sore hari) serta 60% (malam hari) P3 = Pemberian pakan 35% (pagi, siang, dan sore hari) serta 65% (malam hari) P4 = Pemberian pakan 30% (pagi, siang, dan sore hari) serta 70% (malam hari)

Pencapaian bobot badan akhir instar V perlu untuk diperhatikan karena berhubungan dengan bobot kokon segar maupun bobot kulit kokon. Biasanya bobot badan akhir instar V yang lebih berat akan menghasilkan bobot kokon segar dan bobot kulit kokon yang lebih berat pula.

Tajima (1972) menyatakan bahwa waktu makan larva semakin panjang dengan semakin bertambahnya tahap instar sehingga bobot badannya meningkat pesat terutama saat instar V, yaitu 8.000-10.000 kali lipat dari bobot badan larva instar I. Pada penelitian ini, kelipatan bobot badan dari awal instar I hingga akhir instar V berturut-turut dari P1 hingga P4 (bobot badan akhir larva instar V dibagi dengan bobot badan awal larva instar I) adalah 7307,38 kali, 7109,12 kali, 7060,14 kali, dan 7006,24 kali lipat dari bobot badan larva instar I. Peningkatan bobot badan larva pada pemeliharaan penelitian ini sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan pustaka karena kondisi dan tempat pemeliharaan yang berbeda antara keduanya.

(33)

Berdasarkan pencapaian bobot badan akhir larva instar V yang tertinggi maka pemberian pakan 45% (pagi, siang, dan sore hari) serta 55% (malam hari) merupakan rasio pemberian pakan yang paling baik diantara rasio lainnya.

Pertambahan Bobot Badan

Rasio pemberian pakan tidak mempengaruhi secara nyata (P<0,05) pertambahan bobot badan larva, artinya bahwa rasio pemberian pakan yang diberikan pada penelitian menghasilkan pertambahan bobot badan yang tidak berbeda nyata. Hal ini terjadi karena pakan yang dikonsumsi oleh larva pada setiap perlakuan tidak berbeda secara nyata, sehingga respon terhadap pertambahan bobot badannya pun akan sama, didukung oleh pernyataan pustaka yang telah disebutkan sebelumnya yaitu berat ringannya tubuh ulat sutera tergantung pada sedikit banyaknya menyimpan cadangan pakan (Rangaswami et al., 1976 dan Ekastuti et al., 1995).

Pada Pertambahan bobot badan larva instar II-V dengan rasio pemberian pakan yang berbeda telah disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Pertambahan Bobot Badan Larva Instar II-V dengan Rasio Pemberian Pakan yang Berbeda.

Instar P1 P2 P3 P4 Rataan

Rataan KK Rataan KK Rataan KK Rataan KK

...(mg/ekor)... II 28,32 2 28,70 6 28,16 6 26,32 5 28,32D III 149,41 3 147,40 2 148,99 1 156,85 4 149,41C IV 646,78 5 644,47 2 652,06 3 666,79 2 646,78B V 2912,41 3 2837,40 5 2798,83 5 2751,68 2 2912,41A Keterangan :

A, B, C, D = Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan nilai peubah yang berbeda nyata (P<0,05)

(A>B>C>D)

KK = Koefisien keragaman (%)

P1 = Pemberian pakan 45% (pagi, siang, dan sore hari) serta 55% (malam hari) P2 = Pemberian pakan 40% (pagi, siang, dan sore hari) serta 60% (malam hari) P3 = Pemberian pakan 35% (pagi, siang, dan sore hari) serta 65% (malam hari) P4 = Pemberian pakan 30% (pagi, siang, dan sore hari) serta 70% (malam hari)

Sama halnya dengan konsumsi pakan, ternyata tahap instar nyata mempengaruhi (P<0,05) pertambahan bobot badan. Semakin tinggi tahap instar maka semakin tinggi pertambahan bobot badannya karena bobot badan, konsumsi pakan, dan kebutuhan cadangan pakannya pun semakin meningkat dengan semakin bertambahnya tahap instar. Berdasarkan pertambahan bobot badan larva yang paling

(34)

tinggi, terutama saat instar V, maka pemberian pakan 45% (pagi, siang, dan sore hari) serta 55% (malam hari) merupakan rasio pemberian pakan yang paling baik.

Konversi Pakan

Nilai konversi pakan ulat sutera lebih kecil dari nilai konversi pakan hewan ternak lainnya. Konversi pakan larva instar II-V selama pemeliharaan penelitian berkisar antara 0,90 -1,99 seperti tampak pada Tabel 8, sedangkan konversi pakan untuk hewan ternak lainnya seperti domba adalah 4 (NRC, 1981), kambing adalah 4 (NRC, 1985), ayam pedaging (umur 5 minggu) adalah 1,98 (North dan Bell, 1990), maka dapat dilihat bahwa nilai konversi pakan ulat sutera (serangga) lebih rendah dari hewan ternak lainnya selain serangga. Hal ini dikarenakan ulat sutera (serangga) merupakan hewan poikilotermik (hewan berdarah dingin), sehingga ulat sutera tidak membutuhkan energi ekstra dari pakan untuk mempertahankan suhu tubuhnya.

Tabel 8. Konversi Pakan Larva Instar II-V dengan Rasio Pemberian Pakan yang Berbeda. Instar P1 P2 P3 P4 Rataan KK II 0,94 1,26 1,30 0,90 1,10C 21 III 1,41 1,50 1,42 1,37 1,43B 5 IV 1,88 1,87 1,83 1,77 1,84A 5 V 1,94 1,92 1,99 1,95 1,95A 3 Keterangan :

A, B, C = Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan nilai peubah yang berbeda nyata (P<0,05)

(A>B>C)

KK = Koefisien keragaman (%)

P1 = Pemberian pakan 45% (pagi, siang, dan sore hari) serta 55% (malam hari) P2 = Pemberian pakan 40% (pagi, siang, dan sore hari) serta 60% (malam hari) P3 = Pemberian pakan 35% (pagi, siang, dan sore hari) serta 65% (malam hari) P4 = Pemberian pakan 30% (pagi, siang, dan sore hari) serta 70% (malam hari)

Konversi pakan tidak dipengaruhi oleh rasio pemberian pakan melainkan nyata dipengaruhi (P<0,05) oleh tahap instarnya. Setiap perlakuan menghasilkan nilai konversi pakan yang cukup beragam namun tidak berbeda secara nyata, hal ini merupakan respon fisiologis setiap individu yang pada prinsipnya sama.

Semakin besar tahap instar larva maka semakin tinggi pula nilai konversi pakannya, yang berarti bahwa larva tersebut semakin tidak efisien dalam menggunakan pakan untuk pertambahan bobot badannya. Hal ini diduga karena kecernaan pakannya semakin rendah. Penyebab-penyebab semakin rendahnya kecernaan pakan adalah daun murbei yang diberikan sebagai pakan larva semakin

(35)

tinggi kandungan seratnya. Daun yang diberikan pada larva kecil (instar I-III) adalah daun yang muda sedangkan daun yang diberikan pada larva besar (instar IV dan V) adalah daun tua. Selain faktor ini terjadi pula aktivitas metabolisme ekstra yaitu konversi berbagai bahan menjadi protein serat sutera

Angka Mortalitas

Faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas larva yaitu kebersihan media hidup, suhu, kelembaban, cahaya, dan pertukaran udara ruangan selama pemeliharaan hingga panen kokon. Selama pemeliharaan penelitian, faktor-faktor tersebut dalam kondisi yang tidak membahayakan kesehatan larva. Pada ventilasi ruang pemeliharaan diberi tirai yang dapat dibuka dan ditutup, tergantung kondisi pancaran cahaya dan sirkulasi udara setempat.

Menurut Samsijah dan Kusumaputra (1975), kondisi suhu dan kelembaban sangat mempengaruhi kesehatan larva. Suhu dan kelembaban yang tidak berada pada kisaran toleransi larva akan menyebabkan larva kurang nafsu makan, dan kekurangan makan menyebabkan larva mudah terserang penyakit. Menurut pengamatan ulat sutera dalam semua instar dapat hidup normal pada suhu maksimum kira-kira 30 oC dan minimum kira-kira 20oC, dan bahkan dapat bertahan pada suhu setinggi 33-35oC, tanpa akibat buruk, bila pengaruh-pengaruh itu tidak lama (Krishnaswami et al., 1973). Rataan suhu selama pemeliharaan adalah 21,46±1,43oC (07.00-08.00 WIB), 25,93±1,95oC (11.00-12.00 WIB), 25,65±1,43oC (15.00-16.00 WIB), dan 23,95±0,97oC (19.00-20.00 WIB). Rataan suhu tersebut berada pada kisaran toleransi larva sehingga larva mampu hidup normal.

Angka mortalitas yang diperoleh dapat ditekan seminimal mungkin karena larva terhindar dari serangan predator dan penyakit yang mewabah, telah dilakukan berbagai upaya pencegahan agar angka mortalitas tidak tinggi. Usaha yang telah dilakukan adalah dengan cara pemberian lem dan racun tikus di sekitar rak pemeliharaan serta mengeluarkan larva yang tampak tidak sehat dari media. Selain itu, menjaga sanitasi ruang pemeliharaan dengan cara mendesinfeksi semua benda yang akan bersentuhan langsung dengan larva. Pencegahan yang paling awal dilakukan sebelum pemeliharaan dimulai adalah fumigasi ruang pemeliharaan. Mortalitas larva instar II-V dengan rasio pemberian pakan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 9.

(36)

Tabel 9. Mortalitas Larva Instar II-V dengan Rasio Pemberian Pakan yang Berbeda. Instar P1 KK P2 KK P3 KK P4 KK Rataan KK ... (%) ... II 3,20 118 3,40 71 2,20 118 3,40 92 3,05A 19 III 1,46 98 1,04 99 0,62 148 1,06 126 1,05B 33 IV 1,64 94 1,46 186 4,11 37 2,54 51 2,44AB 50 V 1,20 91 1,60 105 3,60 91 2,80 96 2,30AB 48 Keterangan :

A, B = Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan angka mortalitas yang nyata (P<0,05)

(A>B) R2 = 17,67%

KK = Koefisien keragaman (%)

P1 = Pemberian pakan 45% (pagi, siang, dan sore hari) serta 55% (malam hari) P2 = Pemberian pakan 40% (pagi, siang, dan sore hari) serta 60% (malam hari) P3 = Pemberian pakan 35% (pagi, siang, dan sore hari) serta 65% (malam hari) P4 = Pemberian pakan 30% (pagi, siang, dan sore hari) serta 70% (malam hari)

Sama seperti peubah-peubah lainnya, mortalitas tidak nyata dipengaruhi oleh rasio pemberian pakan, tetapi nyata dipengaruhi (P<0,05) oleh tahap instar. Total pakan yang dikonsumsi (pada Tabel 5 konsumsi bahan kering = 6797,47 hingga 7100,92 mg/ekor) setiap perlakuan memiliki jumlah yang mencukupi kebutuhan kira-kira 5000 mg/ekor (Atmosoedarjo et al., 2000) sehingga larva tidak kekurangan pakan dan angka mortalitas tidak meningkat. Larva yang kekurangan pakan akan mudah terserang penyakit flacheri (Samsijah dan Kusumaputra, 1975).

Selain dua faktor di atas, ternyata terdapat banyak faktor lainnya yang mempengaruhi mortalitas larva yang diindikasikan oleh nilai R2 yang sangat rendah yaitu 17,67% yang berarti hanya 17,67% dari mortalitas larva yang dipengaruhi oleh rasio pemberian pakan dan instar sedangkan 82,33% dipengaruhi oleh faktor yang tidak diamati. Misalnya yaitu persaingan dalam memperoleh pakan sehingga larva tersebut tertimbun di dalam tumpukan daun, menjadi kerdil, kemudian mati.

Angka mortalitas yang dihasilkan pada larva instar II-V berturut-turut adalah 3,05%, 1,05%, 2,44%, dan 2,30%. Menurut hasil penelitian Maharani (2002), angka mortalitas larva instar I-V yang diberi pakan dengan jumlah pemberian berdasarkan cara pemeliharaan ulat sutera semusim (25% pagi, 25% siang, dan 50% malam serta modifikasinya disesuaikan dengan umur larva) berturut-turut adalah <18%, <5%, <3%, <1%, dan <3%. Jika angka mortalitas kedua penelitian ini dibandingkan, tampak tidak berbeda jauh.

(37)

Rendemen Pemeliharaan Instar V

Rendemen pemeliharaan yang dihitung adalah rendemen pemeliharaan instar V karena saat memasuki instar V dilakukan penyeleksian sebanyak 50 ekor/unit perlakuan secara acak. Penyeleksian ini sebagai upaya yang dilakukan terhadap kendala yang terjadi di lapangan yaitu kurangnya pakan.

Pada dasarnya cadangan pakan yang telah diperoleh akan digunakan larva sebagai bahan sintesa protein serat sutera (Rangaswami et al., 1976). Jika memperoleh pakan dalam jumlah yang cukup maka larva akan membentuk kokon berkualitas baik. Pada Tabel 10 disajikan rataan rendemen pemeliharaan instar V dengan rasio pemberian pakan yang berbeda.

Tabel 10. Rataan Rendemen Pemeliharaan Instar V dengan Rasio Pemberian Pakan yang Berbeda

Perlakuan Rendemen Pemeliharaan KK

... (%) ... P1 95,6 3 P2 94,4 3 P3 90,8 5 P4 94,4 3 Keterangan : KK = Koefisien keragaman (%) R2 = 43,10%

P1 = Pemberian pakan 45% (pagi, siang, dan sore hari) serta 55% (malam hari) P2 = Pemberian pakan 40% (pagi, siang, dan sore hari) serta 60% (malam hari) P3 = Pemberian pakan 35% (pagi, siang, dan sore hari) serta 65% (malam hari) P4 = Pemberian pakan 30% (pagi, siang, dan sore hari) serta 70% (malam hari)

Rendemen pemeliharaan instar V tidak dipengaruhi oleh rasio pemberian pakan. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, pakan yang dikonsumsi larva pada setiap perlakuan memiliki jumlah yang sama secara statistik, sehingga larva tidak kekurangan pakan dan mampu menjalin serat sutera menjadi kokon yang berkualitas baik. Selain itu, berdasarkan nilai R2 sebesar 43,10% maka rendemen pemeliharaan lebih besar dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diamati.

Kualitas Kokon

Kokon hasil pemeliharaan penelitian ini adalah kokon persilangan yang memiliki bentuk antara kedua ras tetua yaitu berbentuk semi kacang tanah dan semi oval (Atmosoedarjo et al., 2000) seperti yang tampak pada Gambar 10 (3). Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kokon adalah kualitas bibit, kualitas daun,

(38)

musim pemeliharaan, kondisi lingkungan, saat mengokon, seleksi kokon, penyimpanan, dan pengangkutan kokon (Kaomini, 2002). Baik buruknya kualitas kokon yang telah diseleksi secara fisik, diindikasikan oleh bobot kokon segar (bagi peternak ulat sutera), bobot kulit kokon (bagi pemintal benang sutera) dan rasio kulit kokon. Pada Tabel 11 disajikan bobot kokon segar, bobot kulit kokon serta rasio kulit kokon ulat sutera dengan rasio pemberian pakan yang berbeda.

Tabel 11. Rataan Bobot Kokon Segar, Bobot Kulit Kokon serta Rasio Kulit Kokon Ulat Sutera dengan Rasio Pemberian Pakan yang Berbeda.

JK Peubah P1 P2 P3 P4 Rataan KK Jantan BKS 1603,79 1591,20 1562,06 1527,55 1571,15B 4 BKK 401,72 391,24 395,28 383,16 392,85B 4 RKK 25,07 24,64 25,34 25,08 25,03A 4 Betina BKS 2030,21 2026,20 1939,39 1928,03 1980,96A 4 BKK 429,97 419,79 418,15 401,14 417,26A 2 RKK 21,25 20,75 21,61 20,84 21,11B 2 Keterangan :

A, B, C = Superskrip huruf yang berbeda pada baris yang sama menyatakan nilai peubah berbeda nyata (P<0,05) (A>B>C)

A, B = Superskrip huruf yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan nilai peubah berbeda nyata (P<0,05) (A>B)

KK = Koefisien keragaman (%) JK = Jenis Kelamin

BKS = Bobot Kokon Segar (mg/butir) BKK = Bobot Kulit Kokon (mg/butir) RKK = Rasio Kulit Kokon (%)

P1 = Pemberian pakan 45% (pagi, siang, dan sore hari) serta 55% (malam hari) P2 = Pemberian pakan 40% (pagi, siang, dan sore hari) serta 60% (malam hari) P3 = Pemberian pakan 35% (pagi, siang, dan sore hari) serta 65% (malam hari) P4 = Pemberian pakan 30% (pagi, siang, dan sore hari) serta 70% (malam hari)

Bobot kokon segar, bobot kulit kokon maupun rasio kulit kokon secara nyata dipengaruhi (P<0,05) oleh rasio pemberian pakan dan jenis kelamin. Hal ini akan dijelaskan pada pembahasan berikut.

Bobot Kokon Segar

Rasio pemberian pakan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bobot kokon segar. Rataan bobot kokon segar pupa jantan dan betina P1 (1817,00 mg/butir) sama dengan P2 (1808,70 mg/butir), kemudian semakin menurun pada P3 (1750,73 mg/butir) dan P4 (1727,79 mg/butir) dengan semakin meningkatnya rasio pemberian pakan saat malam hari. Kokon-kokon yang berat biasanya berasal dari larva-larva yang berat pula, pernyataan itulah yang sering diungkapkan oleh peternak-peternak

(39)

3200 3300 3400 3500 3600 3700 3800 1600

1700 1800 1900

Bobot Badan Akhir Larva Instar V (mg/ekor)

B o bo t K o k on S e g a r ( m g/ bu ti r)

ulat sutera dan akan dibuktikan secara statistik dalam pembahasan ini. Pada penelitian, bobot badan akhir larva instar V dapat dilihat pada Tabel 6.

Perhitungan koefisien korelasi (r) antara bobot badan akhir larva instar V dengan bobot kokon segar menghasilkan nilai 84,9% berarti hubungan antara kedua peubah tersebut erat sehingga pendugaan bobot kokon segar bisa berdasarkan bobot badan akhir larva instar V-nya. Hubungan keeratan ini dapat dilihat pada Gambar 8.

Keterangan :

P1 = Pemberian pakan 45% (pagi, siang, dan sore hari) serta 55% (malam hari) P2 = Pemberian pakan 40% (pagi, siang, dan sore hari) serta 60% (malam hari) P3 = Pemberian pakan 35% (pagi, siang, dan sore hari) serta 65% (malam hari) P4 = Pemberian pakan 30% (pagi, siang, dan sore hari) serta 70% (malam hari)

Gambar 8. Hubungan Keeratan Bobot Badan Akhir Larva Instar V dengan Bobot Kokon Segar Pupa Jantan dan Betina

Hubungan antara bobot badan akhir larva instar V dengan bobot kokon segar mengikuti persamaan linear Y (mg) = 26,6112 + 0,491368X (mg) yang artinya bahwa setiap kenaikan satu satuan bobot badan akhir larva instar V akan meningkatkan bobot kokon segar sebesar 0,491368 satuan. Persamaan ini hanya dapat memprediksikan bobot kokon segar yang dihasilkan dari larva dengan pakan daun murbei jenis Morus cathayana dan memiliki bobot badan akhir instar V antara 3503,12 - 3653,69 mg/ekor.

Selain dipengaruhi oleh rasio pemberian pakan, bobot kokon segar nyata dipengaruhi (P<0,05) pula oleh jenis kelamin. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa bobot kokon segar pupa betina lebih berat daripada kokon segar pupa jantan, didukung oleh pernyataan Atmosoedarjo et al. (2000) bahwa kokon dengan pupa

(40)

1600 1700 1800 1900 380 385 390 395 400 405

Bobot Kokon Segar (mg/butir)

B o b o t K u lit K oko n ( m g/ bu ti r)

betina biasanya lebih berat daripada kokon dengan pupa jantan. Bobot pupa betina lebih berat dari jantan karena pada pupa betina telah berkembang dengan pesat alat reproduksinya (pada pupa betina telah terbentuk telur). Berdasarkan rataan bobot kokon segar tertinggi, maka rasio pemberian pakan yang paling baik adalah pemberian pakan 45% (pagi, siang, dan sore hari) serta 55% (malam hari).

Bobot Kulit Kokon

Bobot kulit kokon nyata dipengaruhi (P<0,05) oleh rasio pemberian pakan. Rataan bobot kulit kokon yang tertinggi terdapat pada kokon P1 (415,84 mg/butir) sedangkan yang terendah pada kokon P4 (392,15 mg/butir). Menurut Katsumata (1964) bahwa larva yang berat akan menghasilkan kokon dengan serat sutera yang tebal. Sama halnya dengan bobot kokon segar, bobot kulit kokon akan semakin meningkat jika bobot badan akhir larva instar V-nya semakin meningkat. Bobot kulit kokon dan bobot badan akhir larva instar V berkorelasi sebesar 53,3%.

Keterangan :

P1 = Pemberian pakan 45% (pagi, siang, dan sore hari) serta 55% (malam hari) P2 = Pemberian pakan 40% (pagi, siang, dan sore hari) serta 60% (malam hari) P3 = Pemberian pakan 35% (pagi, siang, dan sore hari) serta 65% (malam hari) P4 = Pemberian pakan 30% (pagi, siang, dan sore hari) serta 70% (malam hari)

Gambar 9. Hubungan Keeratan Bobot Kokon Segar dengan Bobot Kulit Kokon Pupa Jantan dan Betina

Jika dibandingkan dengan koefisien korelasi (r) antara bobot kokon segar dan bobot kulit kokon sebesar 61,8%, maka untuk pendugaan bobot kulit kokon akan lebih baik berdasarkan pada bobot kokon segarnya karena memiliki hubungan yang lebih erat terhadap bobot kulit kokon (Gambar 9)

Gambar

Tabel 1.  Kebutuhan Suhu dan Kelembaban Udara untuk Setiap Fase
Gambar 1.  Siklus Hidup Ulat Sutera  (JICA, 1985)
Gambar 2.  Perkembangan Larva Menjadi Pupa Ulat Sutera         (Atmosoedarjo et al., 2000)
Tabel 2 berikut ini merupakan persyaratan mutu kokon normal menurut Standar  Nasional Indonesia (2002)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi virus tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva artinya sedikit atau banyak jumlah virus akan berpotensi menimbulkan infeksi

Media hidup serbuk gergaji dan sekam menghasilkan larva yang mengkonsumsi pakan lebih rendah, namun memberikan pertambahan bobot badan dan pertambahan panjang

[r]

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi virus tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva artinya sedikit atau banyak jumlah virus akan berpotensi menimbulkan infeksi

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa konsumsi pakan berbeda nyata (P&lt;0,05), sedangkan untuk pertambahan bobot badan, pertambahan bobot badan harian dan

Kesimpulan dari hasil penelitian adalah waktu penggantian pakan starter ke pakan finisher memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi pakan dan pertambahan bobot

Larva ulat sutera instar V yang diperoleh pada tahap ke -6 diberi perlakuan pakan buatan yang telah ditambahkan antimikroba (sesuai perlakuan) sampai pada fase kokon dan

Hasil menunjukkan bahwa pemberian kadar protein dan rasio energi protein pakan berbeda, memberikan pengaruh nyata (P&lt;0,05) terhadap kinerja pertumbuhan (jumlah konsumsi pakan,