• Tidak ada hasil yang ditemukan

BABAD SERENAN SEBAGAI BUKTI INOVASI PENULISAN BABAD DI JAWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BABAD SERENAN SEBAGAI BUKTI INOVASI PENULISAN BABAD DI JAWA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

DI JAWA

Oleh : Drs. Luwiyanto, M.Hum.

PENGANTAR

Dewasa ini kecenderungan orang memahami teks-teks lama semakin bertambah besar. Hal ini disebabkan karena timbulnya kesadaran mengkaji dan mengangkat nilai-nilai luhur yang dulu pernah menjadi pedoman hidup nenek moyang. Seperti dikatakan oleh Sartono Kartodirdjo (1968:7), bahwa masa sekarang ini sebenarnya tidak lain dari kelanjutan atau perpanjangn dari masa lampau yang dalam berbagai bentuk masih tampak di tengah-tengah kita. Bermacam-macam dan keadaan dewasa ini tidak mungkin dimengerti betul-betul, jikalau tidak diketahui latar belakang secara historis yaitu asal-usul dan perkembangan pada masa lalu. Pada hal rekaman kepercayaan dan pikiran orang masa lalu hanya dapat diketahui dari peninggalan-peninggalannya yang sampai pada kita, misalnya karya-karya yang berbentuk tulisan.

Atas dasar pertimbangan tersebut, kiranya dipandang perlu, bahkan mendesak untuk mengkaji teks-teks lama yang jumlahnya sangat banyak. Tidak sedikit naskah-naskah yang sampai sekarang belum pernah “dijamah” orang, menunggu tangan-tangan baik di antara kita. Naskah-naskah yang tersimpan di berbagai daerah pelosok tanah air Indonesia ini bermacam-macam isi dan jenisnya. Salah satu dari sekian banyak teks tersebut adalah yang disebut babad.

Babad adalah istilah yang digunakan untuk menyebut jenis karya sastra yang berkembang di daerah Jawa, Bali, dan Lombok, yang didalamnya

banyak memuat peristiwa-peristiwa yang bersifat sejarah (Darusuprapta, 1981:17). Dari segi isinya, babad terbentuk dari dua unsur pembentuk, yaitu fakta dan seni sastra. Dua unsur ini mempunyai titik temu, yaitu sejarah yang dibentuk, berupa cerita kenegaraan, cerita pendirian negara, peperangan, silsilah, dan sebagainya. Fakta-fakta tersebut diungkapkan lewat bahasa, sehingga terbentuklah cerita naratif. Antara fakta dan seni bahasa ini diramu sedemikian rupa sehingga menimbulkan seni sastra yang utuh dan bulat. Fakta –fakta yang terungkap dalam bangunan cerita barulah dapat dipahami berkat kesinambungan yang dibentuk oleh cerita (Wiryamartana, 1986:101). Adanya keterjalinan antara tradisi sastra dengan tradisi sejarah tersebut, maka babad disebut juga karya sastra sejarah. Bentuk karya sastra sejarah yang lain misalnya : di Melayu disebut kronik, di Sumatra Barat disebut tambo, di Sulawesi Selatan disebut lontara, dan sebagainya. Di pulau Roti ditemukan karya sastra sejenis babad yang disebut tutui teteek (Fox, 1986:14-22). Naskah-naskah babad yang tersimpan di Jawa dan di Bali dalam jumlah yang relatif besar belum banyak diteliti.

Dari sekian banyak babad yang tersimpan di museum-museum, perpustakaan-perpustakaan, dan lain-lain itu hanya beberapa babad saja yang sudah diteliti, misalnya : Babad Pacitan (Manu, 1982), Babad Clereng (Asri Sundari, 1982), Babad Onje (Endang Purwaningsih, 1986), Babad Maja (Sukamto, 1986), Babad Tuban (Edi Widodo, 1986), Babad

(2)

Blambangan (Darusuprapta, 1984), Babad Arungbinang (Sarman, 1984), Babad Pakepung (Saparinah, 1991), dan sebagainya. Kalau kita hitung, babad-babad yang sudah diteliti lalu dibandingkan dengan yang masih terbengkalai di pusat-pusat penyimpanan naskah, maka angka perbandingannya jauh tidak seimbang. Beratus-ratus bahkan beribu-ribu naskah babad belum sempat ditangani, sementara alam terus menyengat, menghancurkan naskah-naskah tua. Naskah-naskah itu perlu segera diteliti, diungkapkan nilai-nilai yang terkandung sebelum lenyap dimakan oleh alam yang ganas ini. Oleh karena itu kita sebagai peneliti muda, amat berdosalah apabila membiarkan benda-benda berharga tersebut lenyap begitu saja. Pada kesempatan ini saya ingin melontarkan permasalahan kecil yang mungkin bermanfaat bagi para pecinta sastra babad. Permasalahan yang dimaksudkan adalah tentang pergeseran penulisan babad di Jawa, yang dalam hal ini diambil kasus Babad Serenan.

PENDAPAT PARA AHLI TENTANG

STRUKTUR BABAD

Sebelum masuk pada permasalahan pergeseran penulisan babad terlebih dahulu perlu diketahui beberapa pendapat mengenai babad. A. Teeuw dalam artikelnya yang diberi judul Indonesia as Narrative Texts as an Indonesia Literary Genre, mengatakan bahwa babad disusun dengan berdasarkan struktur genealogi (1984:41-45). Pendapat yang sama dikatakan oleh Kartodirdjo (1968:34), ia menandaskan bahwa genealogi merupakan permulaan dari semua penulisan sejarah, termasuk Babad Arungbinang, mengatakan bahwa unsur rekaan seperti simbolisme, legenda, hagiografi, mitologi, dan sebagainya merupakan tanda pengenal yang tetap

dalam konvensi sastra babad. Unsur tersebut berfungsi sebagai penggerak dan pendorong cerita lebih maju (Sarman, 1984:85-86). Pendapat yang sejalan dengan pendapat di atas, diungkapkan oleh Darusuprapta, bahwa unsur keindahan dan unsur khayalan (legenda, mitologi, hagiografi, dan sebagainya) pada sastra sejarah merupakan tuntutan yang harus dipenuhi sebagai halnya karya sastra pada umumnya, sedangkan unsur sejarah merupakan ciri pembeda khusus dari jenis-jenis karya sastra lain (Darusuprapta, 1976:36-42).

Dari beberapa pendapat di atas, rupanya mereka melihat babad dari segi struktur ceritanya. Di satu pihak menyimpulkan bahwa genealogi merupakan kerangka struktur pokok penulisan babad, di lain pihak unsur seperti mitologi, legenda, hagiografi, dan sebagainya merupakan pengisi pokok dari kerangka genealogi tersebut. Dengan demikian unsur khayalan mempunyai letak di selap-selip di antara genealogi. Untuk lebih jelasnya dibawah ini dikemukakan sebuah bagan struktur babad seperti yang dikatakan oleh para ahli di atas, sebagai berikut:

Bentuk Genealogi

Isi Mitologi, legenda, hagiografi, simbolisme, dan sebagainya

Demikianlah para ahli menanggapi karya sastra sejarah berjenis babad, bahwa unsur-unsur khayalan tersebut harus selalu ada pada babad. Bahkan kita pun sebagian besar jikalau mendengar atau melihat teks babad, dalam pikiran kita terbayangkan bahwa di dalamnya tentu berisi tentang genealogi dan unsur khayalan. Kita sering berapriori dahulu, padahal tidak seharusnya demikian, lebih baik dibaca dan dipahami terlebih dahulu. Itulah akibatnya apabila kita tidak berpikir secara kritis dan jeli, hanya menerima dengan

(3)

enaknya suatu pendapat “orang besar”, tanpa berpikir selektif. Akibat yang lebih parah, karena konvensi babad yang demikian maka apabila menemukan babad yang tidak sesuai dengan konvensi tersebut, lalu dikatakan bahwa itu bukan babad, padahal dengan jelas teks itu berjudul Babad… sebagai contoh dan sekaligus bukti adalah Babad Serenan. Adanya kasus ini untuk sementara bahwa tradisi penulisan babad mengalami pergeseran. Untuk memberi gambaran pergeseran penulisan babad, akan dikemukakan struktur Babad Serenan.

STRUKTUR BABAD SERENAN

Dari segi isinya Babad Serenan berisi tentang kisah perjalanan Pangeran Prangwadana ke desa Serenan dalam rangka bercengkrama. Dalam perjalanannya itu ia ditemani oleh beberapa abdinya. Mereka berangkat naik perahu. Setelah sampai di Serenan, mereka bersenang-senang menghibur diri mencari ikan di sebuah kedung yang terkenal banyak ikannya. Sehari kemudian setelah setelah selesai, mereka lalu pulang.

Demikian sedikit gambaran isi cerita Babad Serenan. Dari situ terlihat bahwa persoalan atau sesuatu yang diungkapkan hanyalah suatu persoalan kecil, masalah genealogi, dan unsur khayalan seperti legenda, mitologi, hagiografi, seperti terdapat pada babad pada umumnya, sama sekali tidak dijumpai dalam Babad Serenan. Ceritanya sangat lugu, datar tidak banyak ketegangan cerita sehingga ceritanya tidak begitu berkembang. Memang, Babad Serenan termasuk babad kecil hanya beberapa halaman saja. Babad ini bentuknya lebih dekat atau mirip dengan bentuk catatan harian yang terjadi di Sulawesi Selatan yang disebut lontara. Atau, karena kena pengaruh dari tradisi penulisan arsip-arsip Belanda.

Dari segi bentuknya, Babad Serenan berbentuk catatan kenangan hidup seorang tokoh, dalam istilah yang menthereng disebut memoirs. Unsur-unsur yang terungkap yang membangun cerita Babad Serenan meliputi topografi, waktu, sarana perjalanan, dan ungkapan keindahan alam. Unsur itu hadir bersamaan dan berkaitan erat membentuk sebuah cerita Babad Serenan secara utuh dan bulat. Untuk lebih jelasnya dibawah ini dikemukakan sebuah bagan struktur cerita Babad Serenan.

Bentuk Memoris

Isi Topografi, waktu, sarana perjalanan, dan keindahan alam

Setelah diperhatikan struktur cerita Babad Serenan diatas dan struktur babad pada umumnya seperti yang telah dikatakan oleh para ahli di atas, terlihat terjadi perbedaan, bahkan perbedaan itu bertolak belakang. Adanya kasus seperti ini tentunya kita tidak terus mengelak dari kenyataan lalu berapriori mengatakan bahwa itu bukan babad, karena isinya bukan genealogi dan unsur khayalan, tetapi hanya peristiwa kecil yang terjadi sehari-hari. Oleh karena itu berkenaan dengan konvensi babad tersebut di atas perlulah dibenahi, ditinjau kembali, dilengkapi agar konvensi tersebut benar-benar mencakup semua tipe babad termasuk sejenis Babad Serenan. Adanya kasus Babad Serenan ini dapat dijadikan bukti bahwa penulisan babad telah mengalami pergeseran. Oleh karena penulisannya bergeser, tentu saja pengertian berkenaan dengan babad akan bergeser pula. Sekarang yang menjadi masalah adalah mengapa tradisi penulisan babad dapat berubah atau bergeser? Untuk memecahkan permasalahan ini dirasa perlu mengetahui keadaan lingkungan sosial budaya tempat babad tersebut dihasilkan.

(4)

BABAD SERENAN SEBAGAI PRODUK TRADISI BUDAYA

Di dalam lingkungan budaya tertentu hiduplah sebuah tradisi. Kalau kita meminjam istilah Redfield mengenai tradisi, maka menurut pendapatnya bahwa tradisi dapat dibagi dua, yaitu Tradisi Besar dan Tradisi Kecil. Tradisi besar terdapat di istana dan kota-kota, sedangkan Tradisi kecil terdapat di daerah pedesaan (Kartodirdjo, 1986:409). Di sisi lain dikatakan, bahwa babad diperkirakan muncul pada abad XVII, berarti sekitar jaman Kartasura (Darusuprapta, 1984:40-69). Sementara itu dalam bukunya yang lain, Kartodirdjo pernah mengungkapkan pembagian wilayah kerajaan seputar jaman kerajaan Mataram. Adapun masing-masing wilayah atau daerah kerajaan yang dimaksud adalah daerah inti atau daerah kota kerajaan yang dinamakan negara atau kuthagara, negara agung yang menjadi palungguh (= a panage) kaum bangsawan dan pembesar-pembesar di istana, mancanegara ialah daerah yang terletak di luar negara agung dan yang diperintah oleh bupati-bupati yang berkedudukan sebagai raja bawahan kerajaan Mataram, dan pasisir ialah daerah mancanagara di pantai Utara Jawa yang memanjang dari Cirebon sampai Surabaya (Kartodirdjo, 1986:103). Rupanya daerah kuthagara dan nagara agung inilah yang termasuk dalam lingkungan Tradisi Besar, sedangkan daerah mancanagara dan pasisir termasuk dalam lingkungan Tradisi Kecil. Sistem pembagian wilayah kerajaan seperti ini pada prinsipnya sudah berlangsung sejak jaman Majapahit (Moertono, 1985:118-119). Rupanya sistem pembagian wilayah kerajaan seperti ini masih berlaku sampai jaman Surakarta (Mangkunegara).

Dalam perkembangannya selama beberapa abad, kebudayaan Jawa telah mengalami proses yang saling mempengaruhi antara kedua subkultur itu, sehingga timbul aliran ke atas unsur Tradisi Kecil pada satu pihak dan aliran ke bawah unsur Tradisi Besar. Dalam lingkungan Tradisi Besar, kecenderungan untuk menciptakan orde sebaik-baiknya dengan strukturisasi kelakukan, pikiran, dan segala ekspresi hidup manusia lebih kuat. Manusia–manusia penghuni atau pendukungnya lebih bersifat agresif ke suatu perubahan. Mereka tidak tanggung-tanggung menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Hal itu bisa dimaklumi karena di dalam lingkungan tradisi besar masyarakatnya termasuk orang-orang terpandang/bangsawan, sehingga tidak mengherankan apabila di Surakarta khususnya Mangkunegaran pada waktu Belanda berpengaruh di sana terjadi proses akulturasi budaya yang menyebabkan timbulnya tradisi penulisan sejarah yang mirip dengan arsip-arsip Belanda. Sementara itu di lingkungan Tradisi Kecil walaupun strukturasi juga terjadi, tetapi hanya pada derajat rendah, lagi pula masih bersifat sentimentalitas dan emosionalitas (Kartodirdjo, 1986:409). Hal yang terjadi dalam dua subkultur di atas dapat dilihat sisa-sisanya pada jaman sekarang, bahwa proses perubahan di kota lebih kuat dibandingkan dengan di desa. Masyarakat kota lebih bersifat rasial sedangkan masyarakat yang jauh dari pusat keramaian lebih bersifat klasik, lambat perubahannya.

Akibat dari proses akulturasi tersebut menyebabkan perubahan pola berpikir masyarakat pendukungnya. Di dalam Tradisi besar yang proses akulturasinya lebih intensif tersebut menyebabkan perubahan pola berpikir yang dulunya masih dalam taraf mitis menjadi taraf ontologis. Pola berpikir taraf mitis maksudnya sikap manusia yang merasakan

(5)

dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kekuasaan kesuburan seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi, legenda-legenda dan sejenisnya. Sedangkan yang dimaksud taraf ontologis ialah sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Di sini manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu) (Peursen, 1976:18). Sementara itu di Tradisi kecil proses akulturasinya kurang intensif, pola berpikir masyarakat lambat berubah, mereka masih dalam taraf berpikir mitis.

Adanya keadaan yang demikian itu berakibat pula pada hasil-hasil karyanya. Pada dasarnya suatu cipta karya, misalnya karya sastra, adalah merupakan ungkapan batin yang diujudkan dalam jalinan bahasa. Dengan demikian pola berpikir dan budaya akan sangat menentukan corak hasil ciptanya. Rupanya hal yang demikian itu terjadi dalam tradisi penulisan babad di Jawa. Dalam Tradisi besar corak penulisan babad terus mengalami pergeseran atau perubahan ke arah perkembangan dalam penulisan sejarahnya. Hal-hal yang dipandang kurang penting seperti mitologi, legenda, dan sejenisnya tidak diungkapkan dalam tulisan sejarahnya. Kesadaran bersejarah terus berkembang dengan pesat, hal-hal yang menyangkut kehidupannya berusaha ditulis sebagai catatan, sehingga tidak berarti mustahil catatan harian dimasukkan ke dalam penulisan babad, seperti yang terjadi dalam Babad Serenan. Jadi dalam babad tidak harus berisi genealogi, mitologi, legenda, dan hagiografi. Unsur khayalan baginya berusaha

dihilangkan. Sementara itu dalam Tradisi Kecil unsur khayalan dan genealogi masih dianggap penting dan harus ada dalam penulisan babad. Dengan demikian sebagai akibatnya muncul dua tradisi penulisan babad yang bercorak berbeda, yakni corak babad yang berkembang di Tradisi Besar dan corak babad yang berkembang di Tradisi Kecil. Lebih jelasnya dibawah ini dikemukakan bagan tradisi dan pengaruhnya terhadap penulisan babad.

Tradisi Besar

Kuthagara dan Neg.Agung

Ontologis

Berubah/bergeser

Babad versi Tradisi Besar

Memoirs

Tradisi Kecil

Mancanegara&Pasisiran

Mitis

Tetap

Babad versi Tradisi Kecil

Genealogis - mitologis

Ontologis Mitis

Tetap

Memoirs

Tradisi Penulisan Babad

PENUTUP

Setelah memperhatikan bagan di atas dan sedikit keterangan sebelumnya, timbullah anggapan bahwa para ahli terdahulu yang selalu mengatakan bahwa setiap babad tentu tersusun oleh kerangka genealogi dan unsur mitologi, legenda, dan hagiografi, rupanya mereka berpijak pada babad-babad yang

(6)

dihasilkan dari lingkungan masyarakat yang taraf berpikirnya mitis. Dalam kaitannya dengan konvensi babad pada umumnya haruslah dipikirkan juga babad-babad yang berasal dari Tradisi Besar seperti Babad Serenan yang dihasilkan oleh masyarakat yang taraf berpikirnya ontologis. Pengertian babad yang sudah dirumuskan dirasa perlu dilengkapi, dibenahi sehingga pengertian babad benar-benar melingkupi seluruh tradisi penulisan babad. Di sini diusulkan perubahan pengertian babad, yaitu karya sastra yang berisi rekaman sejarah suatu masyarakat yang penulisannya disesuaikan dengan tingkat pikir masyarakat dan tradisinya.

Oleh karena pengertiannya berubah, maka sebagai akibatnya fungsinya pun berubah. Kiranya penetapan fungsi babad ini ditentukan oleh tipe babad itu, karena tipe ini akan menentukan isi babad yang bersangkutan. Sementara itu tipe tersebut dapat ditentukan dengan melihat kerangka yang membentuk babad. Sebagai akibatnya pendapat C.C. Berg yang telah ditentang oleh Supomo itu tidaklah salah sama sekali, tetapi memang, bahwa babad berfungsi sebagai magi-religi tidak dapat diterima secara luas. Lingkup fungsinya menjadi terbatas, pendapat itu kiranya hanya berlaku untuk babad yang berisi mitologi, legenda, hagiografi, dan sebagainya.

Perubahan pengertian babad berakibat juga terhadap historiografi tradisional. Seperti telah dikemukakan oleh para ahli sejara yang terdahulu, bahwa dalam menggunakan sumber-sumber karya sastra sejarah, khususnya babad untuk kepentingan sejarah itu sendiri, orang harus mempertimbangkan dan memperhitungkan mitologi, legenda, dan sebagainya. Namun dengan adanya perubahan di atas, para ahli sejarah yang akan memakai karya sastra

sejarah khususnya babad perlu memperhatikan tipe babad yang dipergunakanya.

Akibat lain yang lebih luas yang menyangkut masalah penelitian babad adalah teori dan metodologi. Untuk menentukan teori dan metodologi penelitan babad, orang harus juga memperhatikan tipe babad. Rupanya tipe yang bermacam-macam itu mempunyai teori dan metodologi penelitian yang berbeda pula. Dengan tepatnya menentukan teori dan metodologi penelitian babad akan diperoleh pula hasil yang memuaskan sesuai dengan tujuan penelitian itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Darusuprapta

1976 “Pola Unsur Struktur Sastra Sejarah pada Sastra Sejarah”, Bahasa dan Sastra.

Nomor 5 Tahun III.

1986 “Jejering Pujangga ing Kasusastran Jawi”, Widya Parwa. Nomor 18. Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta.

1984 “abad Blambangan : Suntingan Naskah, Terjemahan, dan Pembahasan” Disertasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Fox, James J.

1986 Bahasa, Sastra dan Sejarah : Kumpulan Karangan mengenai Masyarakat Pulau Roti. Diterjemahkan Sapardi Djoko Damono dan Ratna Saptari. Penerbit Djambatan Jakarta.

(7)

1968 “Beberapa Fatsal tentang Historiografi Indonesia”, Lembaran Sejarah. Nomor 2. Seksi Penelitian Fakultas Sastra dan Kebudayaan Yogyakarta.

1968 “Segi-segi Strukturil Historiografi Indonesia”, Lembaran Sejarah. Nomor 3. Seksi Penelitian Fakultas Sastra dan Kebudayaan Yogyakarta.

1986 “Suatu Tinjauan Fenomenologis tentang Foklor Jawa”, Kesenian, Bahasa, dan Foklor Jawa. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta.

1986 Laporan Penelitian tentang Perkembangan Peradaban Priyayi. November.

Moertono, Soemarsaid

1985 Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau : Studi tentang Masa Mataram II, Abad XIV sampai XIX.Penerbit Yayasan Obor Indonesia Jakarta.

1976 Strategi Kebudayaan. Diterjemahkan Dick Hartoko. Penerbit Kanisius Yogyakarta.

Sarman Am.A.

1984 “Babad Arungbinang : Analisis Struktur dan Fungsi” Tesis S.2 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Teeuw, A.,

1984 “Indonesia as a Field of Literary Study, a Case Study : Genealogical Narrative Texts as an Indonesian Literary Genre”, dalam : Unity in University. Edited by Josselin de Jong Wordrecht-Holland/Cinnaminson USA, Foris Publication.

Wiryamartana, I. Kuntara

1986 “Tradisi Sastra Jawa dan Hakikat Kisah Sejarah”, Basis, Nomor 3. Tahun XXXV

Referensi

Dokumen terkait

Anugerah Cendekia Bitara adalah anugerah yang diberikan kepada warga UMP di atas pengiktirafan, penghargaan dan kecemerlangan dalam pelbagai bidang ataupun kategori iaitu

Praktikan melakukan prosedur pengolahan dengan kurang baik dan kurang lancar dengan sedikit kesalahan ketika melakukan persiapan maupun proses pengolahan dan

Dalam tulisan ini, penulis memilih Lape Sitepu sebagai objek penelitian, dikarenakan beliau mampu memainkan dan membuat alat musik tradisional Karo Jahe diantaranya adalah: (a)

[r]

Bantuan diberikan dengan tujuan mendorong peningkatan peran Bunda PAUD Tingkat Provinsi untuk melakukan advokasi ke berbagai pemangku kepentingan di daerah dalam

Pada kondisi stres oksidatif, imbangan normal antara produksi radikal bebas atau senyawa oksigen reaktif dengan kemampuan antioksidan alami tubuh untuk

Kata ciduk memiliki padanan kata razia (nomina) yang berarti penangkapan ramai-ramai. Pemunculan kata ciduk dalam kalimat berita tersebut mengacu pada makna yang lebih

Sasaran Bantuan Keuangan khusus untuk program pembangunan kantor desa adalah tercapainya implementasi pemberian dana stimulan dengan syarat tertentu secara