• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIA TITER A TIBODI TERHADAP RABIES PADA A JI G YA G DILALULI TASKA MELALUI PELABUHA PE YEBERA GA MERAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIA TITER A TIBODI TERHADAP RABIES PADA A JI G YA G DILALULI TASKA MELALUI PELABUHA PE YEBERA GA MERAK"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIA TITER ATIBODI TERHADAP RABIES

PADA AJIG YAG DILALULITASKA

MELALUI PELABUHA PEYEBERAGA MERAK

JULIA ROSMAYA RIASARI

SEKOLAH PASCASARJAA

ISTITUT PERTAIA BOGOR

BOGOR

2009

(2)

PERYATAA MEGEAI TESIS DA

SUMBER IFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Titer Antibodi Terhadap Rabies pada Anjing yang Dilalulintaskan Melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Julia Rosmaya Riasari

(3)

ABSTRACT

JULIA ROSMAYA RIASARI. Study of Rabies Antibody Titters on Dogs which are transported through Merak Port. Under direction of EKO SUGENG PRIBADI and R. ROSO SOEJOEDONO

Amount of 184 serum samples were analyzed used SERELISATM Rabies Ab Mono Indirect/ASRAB3 (Synbiotics Europe) within January to July 2008. The aim of research is being observed protective antibody titer to rabies virus on dogs that transported at Merak Port. The result showed 76 serum samples (41.3 %) were protective level of antibody to virus rabies, respectively. A hundred and eight serum samples (58.7%) were not protective level of antibody to virus rabies. The interval between vaccination and sampling are influenced the observation result about protective level status of antibody. The opposite result will be shown for place of origin and the age of the dog.

(4)

RIGKASA

JULIA ROSMAYA RIASARI. Kajian Titer Antibodi Terhadap Rabies pada Anjing yang Dilalulintaskan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak. Dibimbing oleh EKO SUGENG PRIBADI dan R. ROSO SOEJOEDONO.

Pelabuhan Penyeberangan Merak Banten merupakan salah satu pelabuhan penyeberangan dengan frekuensi lalu lintas penyeberangan yang cukup tinggi di Indonesia. Pelabuhan ini memiliki nilai strategis karena menjadi pintu gerbang keluar masuk dari/ke Pulau Jawa. Berbagai jenis hewan dan produk hewan dengan jumlah yang beragam keluar masuk melalui Pelabuhan ini, termasuk anjing. Sejak tahun 2002, Pelabuhan Penyeberangan Merak merupakan salah satu wilayah kerja dari Stasiun Karantina Hewan Kelas II Merak yang sejak Juli 2008 berubah status menjadi Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon.

Sejak tahun 2001 sampai 2007 terjadi peningkatan jumlah anjing yang diseberangkan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak. Anjing-anjing yang menjadi hewan pembawa rabies (HPR) sebagian besar berasal dari beberapa wilayah di Propinsi Jawa Barat, misalnya Garut, Sumedang, Bandung, dan Indramayu. Sebagian lainnya berasal dari Propinsi DKI Jakarta dan Banten serta sebagian kecil dari Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Permasalahan yang terjadi saat ini adalah beberapa hasil pemeriksaan serologik pada anjing yang dilalulintaskan di pelabuhan Merak menunjukkan adanya titer antibodi yang tidak protektif terhadap rabies. Salah satu dampak dari adanya anjing yang tidak protektif tersebut adalah anjing tersebut akan rentan terhadap virus rabies. Dengan semakin banyaknya anjing rentan dikhawatirkan kasus rabies di Sumatra akan semakin meningkat sehingga akan mengganggu kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola titer antibodi terhadap rabies pada anjing yang dilalulintaskan dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak Banten yang merupakan wilayah kerja Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon.

Penelitian ini diharapkan dapat (1) Memberikan penjelasan tentang titer antibodi anjing terhadap rabies dan tingkat efektifitas vaksinasi rabies di daerah asal anjing; (2) Memberi masukan bagi pengambil kebijakan di Badan Karantina Pertanian khususnya dan Departemen Pertanian umumnya mengenai lalulintas anjing.

Dalam penelitian ini digunakan tiga variabel untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas vaksinasi dengan hasil uji ELISA rabies yang protektif yaitu (1) daerah asal anjing, (2) jarak vaksinasi dengan pengambilan serum contoh darah anjing dan (3) umur anjing saat dilakukan pengambilan contoh.

Sebanyak 188 contoh serum diperoleh selama bulan Januari-Juli 2008. Empat contoh serum mengalami lisis sehingga hanya 184 contoh yang dapat diuji. Dari data tersebut di atas terlihat bahwa lebih banyak contoh serum memiliki nilai titer yang tidak protektif yaitu 108 contoh dari 184 (58,7%) dibandingkan yang protektif yaitu 108 contoh dari 184 (41,3%).

(5)

Untuk mengetahui adanya hubungan antara daerah asal anjing dengan hasil uji ELISA rabies yang protektif, maka anjing dibagi atas kelompok anjing yang berasal dari daerah tanpa kasus rabies dalam dua tahun terakhir dan kelompok anjing yang berasal dari daerah dengan kasus rabies dalam dua tahun terakhir. Dari analisis statistika yang dilakukan memperlihatkan tidak adanya keterkaitan antara asal daerah pengambilan contoh dengan jumlah hasil pemeriksaan serologik yang protektif.

Keterkaitan antara jarak vaksinasi dengan pengambilan contoh serum pada data memperlihatkan bahwa anjing yang melewati pelabuhan Merak sebagian besar (55,9 %) divaksinasi 1-7 hari sebelum keberangkatan yaitu sejumlah 103 ekor. Tujuh puluh dua ekor (39,1 %) divaksinasi 8-14 hari sebelum keberangkatan dan hanya 9 ekor (4,9 %) yang divaksinasi lebih dari 15 hari sebelum keberangkatan.

Analisis statistika keterkaitan antara umur anjing dengan hasil pemeriksaan serologik memperlihatkan tidak adanya keterkaitan antara umur anjing saat dilakukan pengambilan contoh dengan jumlah hasil pemeriksaan serologik yang protektif.

Kesimpulan dari kajian ini adalah (1) dari 184 ekor anjing yang dilalulintaskan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak ke Sumatera yang diambil contoh serumnya memperlihatkan 58,7% memiliki titer antibodi tidak protektif terhadap rabies. (2) Adanya sejumlah besar anjing yang tidak protektif terhadap rabies menunjukkan bahwa program vaksinasi anjing di daerah asal kurang efektif. (3) Hasil pemeriksaan serologik yang tidak protektif tersebut juga kemungkinan mengakibatkan peningkatan kasus rabies di Sumatra.

Untuk itu (1) diperlukan kerjasama lebih lanjut antara Badan Karantina Pertanian dengan dinas terkait mengenai perlunya pelaksanaan vaksinasi rabies bagi anjing yang akan dilalulintaskan. (2) Keharusan untuk melalulintaskan anjing 1-2 minggu setelah vaksinasi rabies sebaiknya diberlakukan dengan lebih ketat. (3) Diperlukan pemantauan di daerah tujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah anjing dari pulau Jawa yang tidak protektif terhadap rabies dengan kasus kejadian rabies di Sumatra.

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(7)

KAJIA TITER ATIBODI TERHADAP RABIES

PADA AJIG YAG DILALULITASKA

MELALUI PELABUHA PEYEBERAGA MERAK

JULIA ROSMAYA RIASARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJAA

ISTITUT PERTAIA BOGOR

BOGOR

2009

(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS

(9)

Judul Tesis : Kajian Titer Antibodi Terhadap Rabies pada Anjing yang Dilalulintaskan Melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak Nama : Julia Rosmaya Riasari

NIM : B251064034

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS Drh. R. R. Soejoedono, MPH, DEA

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

HALAMA PERSEMBAHA

Tesis ini dipersembahkan untuk suamiku tercinta Sugiharto, SH, MM dan anak-anakku Reihan dan 'adia yang telah merelakan sebagian waktunya bersamaku terambil selama masa pembuatan tesis ini.

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam tesis ini adalah mengenai rabies.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS dan Drh. R. Roso Soejoedono, MPH, DEA selaku pembimbing tesis yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis. Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS atas kesempatan yang diberikan untuk menguji penulis. Ir. Syukur Iwantoro, MS, MBA Kepala Badan Karantina Pertanian periode 2005 - 2008 dan Ir. Hari Priyono, M.Si Kepala Badan Karantina Pertanian periode 2008- sekarang yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program beasiswa karantina ini.

Di samping itu penulis juga ingin memberikan penghargaan kepada drh. Bambang Haryanto, MM yang telah memberikan ijin, dorongan dan bimbingannya dari awal masa perkuliahan hingga akhir. Kepada drh. Arum Kusnila Dewi dan drh. Melani Wahyu Adiningsih yang telah bahu-membahu bersama penulis dalam suka duka antara tugas dan kuliah, drh. Agus Sunanto, MP, drh. Krisna Wibawa, beserta seluruh pegawai khususnya Narko, Tuti, Okie, Jahoras, Mesra, Pak Anjar, Andre, Syamsul, Lina, Wina, Irbi dan Rafi di Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon yang telah memberikan dukungan penuh selama masa-masa akhir penulisan tesis ini. Bapak Zainal yang telah membantu dalam melakukan analisa statistik dan Syelin atas bantuanya .

Juga kepada kepala dan seluruh pegawai Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian yang telah memfasilitasi penelitian ini. Sobat tercinta yang terus memberi semangat Drh. Sophia Setyawati, MP. Kepada seluruh teman seperjuangan, Muji, Nunung, Tatit, Era, Rita, Risma, Iswan, Endah, Mas Edi, Arief, Duma, Yoyok, atas kekompakannya. Terakhir terima kasih kepada papa almarhum, mama, adik-adikku Indra, Upik, Aan serta my dear Blues Sugiharto, Reihan dan Nadia..

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat khususnya bagi Badan Karantina Pertanian.

Jakarta, Januari 2009

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1972 dari ayah (almarhum) Drh. H. Rustam Ali Syawiyah dan ibu Dra. Hj. Soem Amariyah, MM dan merupakan putri pertama dari empat bersaudara.

Masa SD hingga SMA penulis habiskan di Jakarta, pada tahun 1991 penulis menempuh pendidikan sarjana di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 1996 serta gelar dokter hewan pada tahun 1998. Kesempatan untuk meraih gelar magister di Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh dengan beasiswa dari Badan Karantina Pertanian .

Penulis bekerja sebagai dokter hewan karantina di Stasiun Karantina Hewan Kelas II Merak sejak tahun 2004 hingga tahun 2008. Dilanjutkan bekerja pada Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon sejak tahun 2008 hingga sekarang.

Penulis menikah pada tahun 1999 dengan Sugiharto, SH, MM dan merupakan ibu dari 2 orang putri bernama Tamara Nur Al Fathi Reihan dan Amerya Al Fitra Nadia.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 5 Tujuan Penelitian ... 6 Manfaat Penelitian ... 6 TINJAUAN PUSTAKA ... 7 Etiologi ... 10 Penyebaran Rabies ... 11 Cara Penularan ... 12 Hewan Rentan ... 14 Patogenesis ... 14 Gejala Klinis ... 15

Diagnosis Rabies Pada Manusia ... 16

Diagnosis Rabies Pada Hewan ... 17

Vaksinasi Rabies Pada Hewan... 18

BAHAN DAN METODE ... 22

Waktu dan Tempat Penelitian ... 22

Materi Penelitian ... 22

Metode Penelitian ... 22

Rancangan Penelitian ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

Hasil Pemeriksaan ELISA ... 26

Daerah Asal Anjing... 29

Jarak Vaksinasi Dengan Pengambilan Serum Contoh Darah Anjing .... 32

Umur Anjing ... 33

SIMPULAN DAN SARAN ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 36

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Jumlah anjing yang dilalulintaskan dari pulau Jawa ke Sumatera

(domestik keluar) melalui Stasiun Karantina Hewan Kelas II

Merak tahun 2001-2007 ... 1

2 Jumlah Anjing yang Dilalulintaskan dari Jawa ke Sumatera (Domestik Keluar) melalui Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon Bulan Januari-Juli 2008 ... 1

3 Laporan kasus positif rabies pada hewan pembawa rabies di Indonesia 10 tahun terakhir (1997-2007)... 4

4 Kasus kematian manusia akibat rabies di Indonesia tahun 1990-2000... 8

5 Pengenceran serum baku OIE ... 24

6 Pengenceran akhir serum baku OIE ... 24

7 Hasil uji ELISA bulan Januari – Juli 2008 ... 27

8 Hasil pemeriksaan serologik contoh serum anjing berdasarkan data daerah asal anjing selama periode Januari-Juli 2008 ... 30

9 Perbandingan hasil pemeriksaan serologik contoh serum dari daerah asal anjing yang tidak mempunyai dan mempunyai kasus rabies dalam 2 tahun terakhir dan hasil pemeriksaan serologik ... 31

10 Jarak pengambilan serum contoh pasca vaksinasi dengan hasil pemeriksaan serologik ... 32

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Peta penyebaran rabies di Indonesia tahun 2003 ... 2

2 Peta kasus rabies pada manusia di Indonesia tahun 2000 ... 8

3 Virus rabies ... 11

4 Diagram melintang virus rabies ... 11

5 Grafik hasil uji ELISA terhadap titer antibodi rabies bulan Januari - Juli 2008 ... 28

(16)

DAFTAR LAMPIRA

Halaman 1 Data berdasarkan variabel ... 40 2 Hasil pengolahan data ... 45 3 Hasil pemeriksaan serologik serum contoh anjing bulan Januari-Juli

(17)

PEDAHULUA

Latar Belakang

Pelabuhan Penyeberangan Merak Banten merupakan salah satu pelabuhan penyeberangan dengan frekuensi lalu lintas penyeberangan yang cukup tinggi di Indonesia. Pelabuhan ini memiliki nilai strategis karena menjadi pintu gerbang keluar masuk dari/ke Pulau Jawa. Berbagai jenis hewan dan produk hewan dengan jumlah yang beragam keluar masuk melalui pelabuhan ini, termasuk anjing. Sejak tahun 2002, Pelabuhan Penyeberangan Merak merupakan salah satu wilayah kerja dari Stasiun Karantina Hewan Kelas II Merak yang sejak Juli 2008 berubah status menjadi Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon.

Sejak tahun 2001 sampai 2007 terjadi peningkatan jumlah anjing yang diseberangkan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak, seperti yang terlihat pada Tabel di bawah ini (Anonim 2007).

Tabel 1 Jumlah anjing yang dilalulintaskan dari pulau Jawa ke Sumatera (domestik keluar) melalui Stasiun Karantina Hewan Kelas II Merak Tahun 2001-2007 (Anonim 2007)

Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Jumlah

(Ekor) 2871 2726 1212 1930 3388 4606 12.925

Dari bulan Januari hingga Juli 2008 jumlah anjing yang dilalulintaskan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak adalah 11.431 ekor seperti yang terlihat pada Tabel 2 di bawah ini (Anonim 2008).

Tabel 2 Jumlah anjing yang dilalulintaskan dari pulau Jawa ke Sumatera (domestik keluar) melalui Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon Bulan Januari-Juli 2008 (Anonim 2008)

Bulan Jan Feb Maret April Mei Juni Juli

Jumlah 1579 1690 1789 1884 1872 1441 1176 (ekor)

(18)

Anjing-anjing yang menjadi hewan pembawa rabies (HPR) sebagian besar berasal dari beberapa wilayah di Propinsi Jawa Barat, misalnya Garut, Sumedang, Bandung, dan Indramayu. Sebagian lainnya berasal dari Propinsi DKI Jakarta dan Banten serta sebagian kecil dari Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Anjing tersebut umumnya ras lokal berusia 1-2 tahun yang akan dilatih berburu babi hutan. Anjing-anjing tersebut dikirim untuk berburu babi hutan di beberapa daerah di Pulau Sumatra, seperti di Sumatera Barat (Padang, Solok, Bukittinggi), Jambi dan Bengkulu.

Di Indonesia, rabies sudah lama berjangkit di beberapa daerah. Sejak pendokumentasian penyakit ini di Indonesia, daerah yang secara historis bebas adalah Nusa Tenggara Barat, Bali, Kepulauan Maluku, Irian Jaya dan Nusa Tenggara Timur. Namun pada akhir tahun 1997, pulau Flores telah dinyatakan tertular dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 756/Kpts/TN 510/98 tanggal 8 September 1998. Demikian pula dengan pulau Bali yang dinyatakan tertular pada akhir tahun 2008.

Gambar 1 Peta penyebaran rabies di Indonesia tahun 2003. (Ditjen Peternakan 2006)

(19)

Pulau Jawa dibebaskan secara bertahap dari penyakit rabies. Untuk Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta dinyatakan bebas sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian no. 892/Kpts/TN/560/9/97. Sedangkan Propinsi DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat dinyatakan bebas dari rabies berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 566/Kpts/PD/PD640/10/2004.

Situasi terakhir saat ini hanya 9 provinsi merupakan daerah bebas rabies yaitu NTB, Papua, Irian Jaya Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Sedangkan 24 provinsi lainnya termasuk Jawa Barat dan Banten merupakan daerah tertular rabies dengan masih ditemukannya penderita rabies pada manusia dan adanya spesimen positif pada hewan. Baru-baru ini pulau Bali dinyatakan tertular rabies dengan adanya korban kematian pada manusia. Pernyataan mengenai berjangkitnya wabah penyakit anjing gila (rabies) di kabupaten Badung provinsi Bali tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian no 1637.1/Kpts/PD.610/12/2008 tanggal 1 Desember 2008.

Kasus rabies pada hewan di Indonesia cukup tinggi, demikian pula pada manusia. Departemen Kesehatan pada tahun 2000 menyatakan terjadi 16.000 kasus gigitan hewan pada manusia per tahun. Pada tahun 1997-1999 terjadi 88 kasus positif rabies pada manusia dan 2002 spesimen hewan yang diperiksa pada periode tersebut memperlihatkan 55,5 % di antaranya positif rabies (Ditjen PPM dan PLP 2000). Data kasus rabies pada hewan di Indonesia selama 10 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

Selain itu Direktorat Jenderal Peternakan (2008) menyatakan bahwa di pulau Sumatera selama Januari hingga November 2008 terjadi 1029 kasus gigitan dengan 314 kasus diantaranya dinyatakan positif rabies. Walau kasus gigitan 5 tahun terakhir ini mengalami penurunan 9,9 % dan kasus rabies positif turun 25,07 %, jumlah kasus rabies yang besar di Sumatera tetap harus diwaspadai.

(20)

Tabel 3 Laporan kasus positif rabies pada hewan pembawa rabies di Indonesia 10 tahun terakhir (1997-2007) o PROVI SI TAHU 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 1. NAD 15 5 5 3 9 11 3 5 TAD 4 5 2. Sumut 110 107 91 13 94 150 89 110 60 83 101 3. Sumbar 352 368 385 233 198 178 34 114 TAD 125 4. Riau 206 187 190 164 177 190 148 16 46 TAD 140 5. Jambi 161 120 80 37 86 124 85 14 37 69 88 6. Sumsel 16 16 20 6 15 8 10 45 2 TAD 3 7. Bengkulu 69 37 50 29 56 28 12 12 6 TAD 31 8. Lampung 30 27 21 14 19 28 12 12 11 3 50 Sumatera 959 867 842 609 689 737 545 295 276 159 543 9. Jabar 20 1 1 0 2 0 0 0 1 1 6 Jawa 20 1 1 0 2 0 0 0 1 1 6 10. Kalteng 12 11 16 24 10 7 18 9 46 46 18 11. Kalsel 11 25 30 3 13 9 9 17 30 7 16 12. Kaltim 4 0 4 3 0 2 2 4 1 9 13. Kalbar - - - 1 - - Kalimantan 27 36 50 30 23 18 29 26 81 69 43 14. Sulut 190 203 177 203 324 394 573 627 7 32 509 15. Sulteng 32 54 42 37 66 135 61 71 2 3 96 16. Sulsel 83 90 52 42 145 142 175 63 102 263 14 17. Sultra 6 9 3 0 42 29 19 33 10 32 2 18. Gorontalo 4 2 4 6 - - 2

19. Sul. Barat 1 3 TAD

Sulawesi 311 356 274 282 581 702 832 800 122 333 623

20. NTT 20 50 23 31 10 10 16 17 42 TAD

21 Maluku 12 2 18 12 TAD

22 Mal. Utara 8 5 TAD

ASIOAL 1317 1280 1217 944 1326 1467 1428 1139 523 621 1215

Sumber : Ditkeswan (2008)

Menurut Surat Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian no 344.b//kpts/P.D.670.370/L/12/06 tentang petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas hewan penular rabies (anjing, kucing, kera dan sebangsanya), uji serum netralisasi (Serum 'eutralization Test/SN Test) diterapkan bagi hewan yang berasal dari wilayah asal bebas rabies dan tidak ada

(21)

kegiatan vaksinasi. Titer antibodi terhadap rabies yang didapatkan harus kurang dari 0,1 IU/ml. Bila hewan berasal dari daerah asal bebas rabies dan ada kegiatan vaksinasi maka nilai titer antibodi terhadap rabies lebih besar atau sama dengan 0,5 IU/ml.

Perumusan Masalah

Permasalahan yang terjadi saat ini adalah beberapa hasil pemeriksaan serologik pada anjing yang dilalulintaskan di pelabuhan Merak menunjukkan adanya titer antibodi yang tidak protektif terhadap rabies. Salah satu dampak dari adanya anjing yang tidak protektif tersebut adalah anjing tersebut akan rentan terhadap virus rabies. Dengan semakin banyaknya anjing rentan dikhawatirkan kasus rabies di Sumatra akan semakin meningkat sehingga akan mengganggu kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Selain itu pada tahun 2007 dan 2008 terjadi beberapa kasus rabies di Jawa Barat dan Banten. Berdasarkan data yang ada di Stasiun Karantina Hewan Kelas II Merak, sebagian besar anjing tersebut berasal dari provinsi Jawa Barat, sehingga dikhawatirkan anjing-anjing tersebut membawa penyakit rabies ke pulau Sumatera.

Kewaspadaan terhadap penyebaran penyakit rabies tetap terus dilakukan untuk mempertahankan status bebas dari suatu daerah melalui, salah satu diantaranya, dengan pengawasan lalu lintas yang ketat terhadap anjing dan Hewan Penular Rabies (HPR) lainnya.

(22)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola titer antibodi terhadap rabies pada anjing yang dilalulintaskan dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak Banten yang merupakan wilayah kerja Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat (1) Memberikan penjelasan tentang titer antibodi anjing terhadap rabies dan tingkat efektifitas vaksinasi rabies di daerah asal anjing; (2) Memberi masukan bagi pengambil kebijakan di Badan Karantina Pertanian dan Departemen Pertanian mengenai lalulintas anjing.

(23)

TIJAUA PUSTAKA

Rabies atau penyakit anjing gila, dikenal juga dengan nama Lyssa (Inggris), Rage (Perancis), dan Tolwut (Jerman), adalah infeksi viral akut pada susunan syaraf yang ditandai dengan kelumpuhan yang progresif dan berakhir dengan kematian. Penyakit ini adalah zoonosis yang menyerang hewan berdarah panas dan manusia. Secara umum, anjing merupakan hewan penular terpenting di kasus rabies pada manusia. Manusia biasanya tertular melalui gigitan hewan terinfeksi (WHO 2006).

Kasus rabies pada manusia di Asia adalah yang tertinggi di dunia. Di Banglades, India dan Pakistan lebih dari 40.000 orang meninggal akibat rabies setiap tahun dan pada umumnya 94-98 % kasus terjadi akibat gigitan anjing. Jumlah sesungguhnya dari manusia yang meninggal akibat rabies ditaksir lebih tinggi di negara berkembang karena diduga lebih banyak kasus yang tidak dilaporkan ke aparat yang berwenang. Di Cina, kasus kematian akibat rabies adalah kasus tertinggi nomor 2 di dunia (Tang et al. 2005).

Laporan World Health Organization tahun 1998 menyatakan bahwa di Indonesia hingga tahun 1989 terdapat kurang lebih 250 kasus rabies pada manusia dan 1500 kasus rabies pada hewan setiap tahun dengan kasus gigitan anjing yang tercatat sejumlah 22.000-24.000. Anjing merupakan hewan penular pada 98 % kasus rabies di manusia. Pengendalian rabies dilakukan dengan membunuh anjing dan vaksinasi massal pada anjing walaupun hasilnya tidak terlihat secara maksimal hingga pada tahun 1989 dilakukan kerjasama antara Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan dan Departemen Dalam Negeri. Sejak saat itu lebih dari dua juta vaksin telah disebarkan ke seluruh Indonesia. Pada tahun 1990 hingga 1997, jumlah kasus kematian rabies pada manusia menurun dari 62 menjadi 43 kasus dengan kasus rabies pada hewan yang telah diteguhkan di laboratorium menurun dari 1570 menjadi 859 kasus. Kasus gigitan hewan yang pada tahun 1990 terjadi lebih dari 17.000 kasus menurun menjadi di bawah 15.000 kasus di tahun 1997. Selain itu perlakuan pasca gigitan menurun dari sekitar 11.000 menjadi kurang dari 7000 kasus pada tahun 1997 (WHO 1998).

(24)

Laporan WHO tahun 2005 menyatakan bahwa terjadi peningkatan kasus dari tahun 1998 hingga tahun 2000, yaitu dari 83 menjadi 110 kasus. Seperti yang terpapar pada Tabel dan penyebaran kasus di Indonesia terlihat pada Gambar 2 di bawah ini.

Tabel 4 Kasus kematian manusia akibat rabies di Indonesia tahun 1990-2000.

Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Jumlah

kasus 62 93 58 93 115 75 65 50 83 144 110

Sumber : WHO/CDS-Zoonosis 2005

Gambar 2 Kasus rabies pada manusia tahun 2000 (WHO 2005a)

Menurut WHO (2005a), beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kejadian rabies yang tinggi di Indonesia antara lain jumlah anjing yang cukup besar, baik anjing peliharaan maupun anjing liar, dan kurangnya fasilitas untuk penanganan kasus gigitan anjing. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penanganan kasus gigitan serta terbatasnya jumlah vaksin pasca gigitan dan obat-obat lainnya (seperti immunoglobulin) membuat tingkat kematian manusia semakin tinggi.

(25)

Rabies di sebagian besar negara di Asia, terutama Bhutan, India, Indonesia, Nepal dan Myammar, bukan merupakan penyakit prioritas dengan penanganan utama. Hal ini ditenggarai dengan kurangnya strategi penanganan dari pemerintah, tidak memadainya pengobatan, lemahnya koordinasi antar departemen, kurangnya kerjasama masyarakat, ditambah dengan mitos serta faktor budaya dan agama yang menghambat program vaksinasi. Di Indonesia ini terlihat dengan munculnya rabies di beberapa daerah yang semula bebas dari penyakit ini, serta meningkatnya kasus rabies secara nasional (WHO 2005b).

WHO (2005b) menyarankan strategi pemberantasan rabies harus dilakukan secara nasional di seluruh negeri, terutama di daerah tertular. Strategi yang dilakukan antara lain menghindari kontak dengan hewan terduga rabies atau HPR liar, mencegah kasus rabies pada hewan dengan program vaksinasi menyeluruh, mempermudah akses untuk mendapatkan post exposure prophylaxis (PEP) pada kasus gigitan, meningkatkan komunikasi antar departemen terkait dan memperkuat survei dan pemantauan untuk mencegah terjadinya wabah.

Rabies di Indonesia, menurut Office International des Epizooties (OIE) atau

World Organization for Animal Health, merupakan penyakit golongan B yang termasuk diantaranya antara lain infectious bursal disease (IBD), anthrax,

haemorrhagis septicaemia, bruselosis, pullorum dan infectious bovine rhinotracheitis (OIE 2004).

Menurut OIE (2004) kasus rabies pada hewan di Indonesia pada tahun 2002 adalah 500 kasus, tahun 2003 adalah 893 kasus dan tahun 2004 adalah 473 kasus. Pada tahun 2003 terjadi wabah di Ambon Maluku yang mulanya merupakan daerah yang secara historis bebas dari rabies. Wabah ini menyebabkan 4 orang meninggal dan 408 kasus gigitan pada manusia. Pemberantasan rabies dilakukan dengan menutup area dari lalulintas HPR dan vaksinasi massal untuk anjing, kucing dan kera. Tidak ada kasus rabies yang dilaporkan dari Ambon sejak tahun 2004.

Pada bulan Febuari 2008 dilaporkan adanya 40 kasus gigitan dengan 2 kasus kematian pada manusia di daerah Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur. Semua kasus terjadi akibat gigitan anjing. Jumlah yang besar dari anjing yang tidak divaksinasi (diduga berjumlah 50.000 ekor di Flores dan Lembata) dan tidak

(26)

berhasilnya eradikasi anjing geladak merupakan faktor utama terjadinya wabah ini (ISR 2008).

Rabies di Flores bermula dari didatangkannya 3 ekor anjing dari Sulawesi yang merupakan daerah tertular rabies ke Flores. Sebelum tahun 1997, Flores merupakan daerah bebas rabies. Masuknya anjing-anjing tersebut yang kemudian mati menyebabkan kasus kematian akibat rabies pada anjing-anjing di sekitar wilayah tempat tinggal anjing dari Sulawesi tersebut. Kemudian muncullah kasus rabies pada manusia di Flores Timur yaitu 10 kasus pada tahun 1998, 13 kasus di tahun 1999, 1 kasus di tahun 2000 dan 2 kasus di tahun 2001. Pemusnahan anjing secara massal tidak berjalan dengan sukses dikarenakan beberapa pemilik menjual anjingnya ke daerah lain dan mengakibatkan rabies mewabah di daerah tersebut. Pada tahun 2000 seluruh Flores telah tertular rabies walaupun lebih dari 40 % populasi anjing telah dibunuh. Program vaksinasi massal tidak dilakukan karena situasi politik dan ekonomi Indonesia saat itu yang mengakibatkan kurangnya vaksin rabies, kurangnya vaksinator yang terampil serta tidak adanya fasilitas pendukung, seperti alat angkutan dan kotak pendingin untuk menyimpan vaksin. Dapat disimpulkan bahwa pemusnahan anjing yang tidak disertai dengan vaksinasi massal pada wabah rabies tidak membantu menurunkan jumlah kasus rabies baik pada hewan maupun manusia (Windiyaningsih et al.2004).

Vaksinasi massal dan pemusnahan anjing liar tanpa pemilik dilakukan pada semua daerah yang terinfeksi dimulai pada tahun 1989 di pulau Jawa dan Kalimantan dilanjutkan ke pulau Sumatra dan Sulawesi pada tahun 1994. Jumlah kasus rabies pada hewan diharapkan semakin menurun pada seluruh area di Indonesia (OIE 2004).

Etiologi

Rabies disebabkan oleh virus golongan Mononegavirales, famili Rhabdoviridae, genus Lyssavirus. Rhabdovirus merupakan virus dengan panjang kira-kira 180 nm dan lebar 75 nm. Genom virus ini mempunyai lima jenis protein, yaitu nukleoprotein (N), phosphoprotein (P), matrik protein (M), glikoprotein (G) dan polimerase (L). Semua rhabdovirus mempunyai komponen struktur helical ribonucleoprotein core (RNP) dan amplop di sekelilingnya. Pada

(27)

RNP, RNA dilekatkan oleh nukleoprotein. Protein virus lainnya yaitu phosphoprotein dan protein besar (L-protein atau polimerase) berhubungan dengan RNP. Bentuk glikoprotein rata-rata terdiri dari 400 trimeric spike yang melekat di permukaan virus. Protein M dihubungkan dengan amplop dan RNP atau protein pusat rhabdovirus. Gambar 3 menggambarkan virus rabies dengan bentuk seperti peluru yang dikelilingi oleh glikoprotein. Ribonukleoproteinnya tersusun dari RNA yang terdiri dari nukleoprotein, phosphoprotein dan polimerase. Sedangkan, Gambar 4 memperlihatkan diagram melintang virus rabies yang menunjukkan lapisan konsentrik yaitu amplop dengan membran ganda dan protein M yang digulung ke dalam RNA (Ruprecht 2007).

Gambar 3 Virus rabies (Ruprecht 2007). Gambar 4 Diagram melintang virus rabies (Ruprecht 2007).

Virus rabies dapat bertahan pada karkas selama 24 jam pada suhu 20 °C, dan bertahan lebih lama pada karkas beku. Virus rabies dapat bertahan lebih lama pada jaringan yang disimpan dalam 50% gliserol pada suhu 25-27 °C atau pada gliserol murni pada suhu 4 °C (Kaplan et al. 1986).

Amplop virus rabies dapat dengan mudah diinaktivasi dengan deterjen atau fenol. Virus rabies juga sangat labil ketika terpapar sinar ultraviolet dan panas (Kaplan et al. 1986; Greene dan Dreesen 1990).

Penyebaran Rabies

Rabies tersebar di seluruh dunia dengan hanya beberapa negara yang dinyatakan bebas rabies, antara lain Barbados, Jamaika, beberapa pulau di

Amplop Glikoprotein Ribonukleoprotein Amplop Ribonukleo -protein RNA Protein Matriks Matriks Protein Protein matriks

(28)

kepulauan Karibia, Uruguay, Jepang, Bulgaria, Irlandia, Belanda, Portugal, Spanyol, Inggris dan beberapa negara Skandinavia di Eropa. Hampir seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah tertular rabies dengan hanya sembilan provinsi yang masih merupakan daerah bebas rabies, yaitu NTB, Papua, Irian Jaya Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur.

Definisi daerah bebas rabies adalah daerah yang belum pernah tertular rabies; daerah yang tertular rabies dan dalam satu bulan terakhir tidak ada kasus rabies dan tidak melakukan vaksinasi; atau daerah yang tertular rabies tetapi melaksanakan vaksinasi dan dalam 12 bulan berikutnya tanpa vaksinasi tidak terjadi kasus rabies. Daerah tertular rabies (endemic/enzootic) adalah daerah yang masih terjadi kasus rabies dan dalam 30 hari terakhir sejak kasus rabies terakhir tidak ada lagi kasus serta belum dinyatakan bebas rabies. Daerah yang dinyatakan wabah rabies adalah daerah yang semula berstatus bebas rabies kemudian terjadi kasus rabies; atau daerah yang semula berstatus tertular rabies kemudian terjadi letupan (wabah) rabies yang meluas secara cepat (Barantan 2006)

Cara Penularan

Virus ditularkan ke hewan lain dan manusia melalui kontak langsung dengan saliva dari hewan terinfeksi yaitu melalui gigitan, goresan, jilatan pada kulit yang terluka dan membrana mukosa. Bila hewan dan manusia terkena rabies, akibatnya akan fatal karena dapat menyebabkan kematian. Pengeluaran virus rabies sangat penting dalam penularan rabies. Virus rabies dapat dikeluarkan melalui air liur hewan yang terinfeksi untuk beberapa hari setelah gejala klinis terlihat. Virus rabies juga pernah ditemukan pada air liur anjing selama tujuh hari sebelum terlihat gejala klinis yang diamati. Bahkan, virus rabies masih bisa diisolasi dari palatine tonsil anjing yang diinfeksi buatan dengan virus rabies sampai dengan 305 hari setelah masa penyembuhan (Ruprecht 2007).

Virus rabies dapat juga dikeluarkan dari air liur kucing selama tiga hari dan sapi selama dua hari sebelum onset gejala klinis. Virus lebih cepat terlacak pada hewan liar dibandingkan anjing, yaitu empat hari pada skunk, 1-2 hari pada serigala dan 12 hari pada kelelawar sebelum gejala klinis nampak. Virus dapat

(29)

juga dikeluarkan melalui urin dan hal ini menyebabkan penularan rabies dari serigala dan kelelawar melalui udara. Susu juga dapat mengeluarkan virus rabies, tetapi tidak menjadi bahaya yang besar karena partikel virus akan dihancurkan oleh enzim-enzim yang ada di dalam susu susu (Kaplan et al. 1986; Beran dan Steele 1994).

Terdapat 3 katagori kasus rabies pada manusia berdasarkan tipe kontak dengan hewan pembawa rabies, yaitu katagori I, II dan III. Suatu kasus dianggap sebagai katagori I bila kontak yang terjadi terbatas pada memegang atau terjilat oleh hewan tersangka rabies. Penanganan yang dilakukan hanya terbatas membasuh kulit yang kontak dengan hewan (WHO 2005a). Katagori II atau katagori ringan terjadi bila hewan tersangka mencakar tanpa adanya luka terbuka atau perdarahan. Penanganan dilakukan dengan segera membersihkan bekas cakaran dan memberikan vaksin anti rabies. Penanganan dihentikan bila 10 hari kemudian hewan tetap terlihat sehat atau bila hasil laboratorium menyatakan hewan negatif terhadap rabies (WHO 2005a). Katagori III atau katagori berat terjadi bila hewan tersangka mencakar pada kulit yang luka atau cakaran tersebut menyebabkan luka berdarah atau adanya gigitan yang cukup dalam atau adanya kontak membrana mukosa oleh saliva dan kasus gigitan oleh kelelawar. Tindakan yang harus dilakukan adalah dengan segera memberikan vaksin dan immunoglobulin anti rabies. Penanganan dihentikan bila 10 hari pasca gigitan hewan tetap terlihat sehat atau bila hasil laboratorium menyatakan hewan negatif terhadap rabies (WHO 2005a).

Tidak ada penanganan yang efektif untuk rabies bila gejala klinis telah terjadi. Penanganan yang terlambat terhadap rabies akan memberikan akibat yang fatal. Cara paling efektif untuk menangani rabies pasca gigitan pada manusia adalah dengan segera mencuci luka gigitan dengan air kemudian bubuhkan alkohol atau yodium. Vaksin anti rabies diberikan untuk kasus katagori II dan III dan immunoglobulin anti rabies hanya diberikan untuk katagori III. Sebaiknya menghindari untuk menjahit luka. Selain itu disarankan untuk memberi suntikan anti tetanus, anti mikroba dan antibiotika untuk mencegah infeksi lain selain rabies yang akan memperparah kondisi penderita (WHO 2005a).

(30)

Hewan Rentan

Rabies menyerang hewan berdarah panas seperti anjing, kucing, kera, sapi, kuda, babi, dan domba. Hewan liar seperti serigala, skunk, racoon dan kelelawar juga dapat tertular rabies.

Menurut laporan dari Krebs et al. (2003), penularan rabies di Amerika bagian Utara umumnya disebabkan oleh hewan karnivora liar, seperti serigala,

racoon dan kelelawar. Hanya 7 % kasus rabies pada manusia disebabkan oleh hewan domestik, seperti anjing, sedang kasus yang diakibatkan hewan liar mencapai 91 %. Hal ini disebabkan salah satu program vaksinasi bagi hewan peliharaan atau domestik telah berjalan dengan baik.

Penelitian Sudarjat (1990) menyatakan bahwa di Indonesia pada umumnya kasus rabies terjadi pada anjing (97 %), terutama anjing liar, dan sisanya terjadi pada kucing, kera dan hewan lainnya. Kasus gigitan umumnya disebabkan oleh anjing geladak. Sudarjat mendefisinikan anjing geladak sebagai anjing liar, setengah liar atau berkeliaran. Dengan demikian, anjing geladak merupakan hewan yang berperan sebagai penular rabies yang potensial, baik ke hewan lain maupun ke manusia. Tipe ekologi rabies di Indonesia adalah tipe rural, yaitu rabies yang menyangkut anjing geladak di pedesaan.

Sudarjat (1990) juga menyatakan bahwa sera yang berasal dari anjing geladak yang tidak divaksinasi dari berbagai daerah tertular rabies di Indonesia sebagian mengandung antibodi terhadap rabies. Terdapatnya antibodi terhadap rabies pada anjing geladak selain akibat penularan di alam juga kemungkinan besar akibat gigitan hewan penderita rabies atau oleh hewan yang mengandung virus rabies.

Patogenesis

Virus rabies mempunyai tempat predileksi di jaringan syaraf yang dari sini virus tersebut dapat bergerak ke sistem syaraf pusat dan menimbulkan gejala klinis yang sangat parah. Diawali dengan luka gigitan, virus kemudian memperbanyak diri di jaringan syaraf lokal yang ada di sekitar gigitan. Virus kemudian menyebar melalui neuromuscular junction dan neurotendinal spindle

(31)

gerakan sentripetal atau aksoplasmik virus melalui syaraf perifer dan dalam waktu 21 hari virus mencapai sistem syaraf pusat (SSP) (Greene dan Dreesen 1990).

Setelah mencapai SSP, virus kemudian berpindah dengan cepat ke otak. Virus masuk ke spinal cord atau pada batang otak ipsilateral. Infeksi menyebar pada neuron contralateral dan ascend bilateral spinal cord atau batang otak pada otak bagian depan. Infeksi virus menyebabkan peradangan dan degenerasi pada jaringan syaraf. Virus kemudian menyebar secara sentrifugal dari SSP ke berbagai organ tubuh, seperti jantung, kornea, kelanjar adrenal, dan lain-lain melalui syaraf sensorik dan motorik di periferal. Kondisi viremia tidak dapat terlacak. Efek virus pada sistem syaraf menghasilkan perubahan mental dan kegagalan pernafasan yang sangat fatal (Greene dan Dreesen 1990).

Gejala Klinis

Gejala klinis rabies diklasifikasikan menjadi tiga stadium, yaitu prodromal, eksitasi dan paralisis. Gejala klinis yang ditimbulkan berbeda-beda, baik pada manusia, anjing, sapi bahkan pada hewan liar lainnya.

Pada stadium prodormal, saat virus mencapai sistem syaraf pusat, gejala klinis pertama yang dijumpai pada manusia yaitu perasaan secara umum tidak baik, kehilangan nafsu makan, sakit kepala, demam, mudah marah, gelisah, dan cemas. Kemudian sakit pada seluruh otot, salivasi, muntah dan kemudian berlanjut pada stadium selanjutnya. Beberapa hari atau beberapa minggu setelah gejala klinis awal, pasien terlihat eksitasi dengan rasa sakit yang berlebihan pada otot. Terjadi hidrophobia, aerophobia dan periode eksitasi yang sangat parah.

Bentuk ini terjadi satu dari 5 kasus pada manusia, tetapi lebih umum terjadi pada hewan. Pasien terlihat menjadi bodoh, terdapat paralisa dari otot laryngeal dan terjadi perubahan patologik pada bagian medulla oblongata.

Gejala klinis pada hewan terutama anjing dan kucing sama seperti manusia. Yang terlihat pertama biasanya gerakan refleks yang abnormal, seperti menjilat, mencakar, menggosok, menggigit-gigit bagian luka bahkan jika luka tersebut hampir sembuh. Gejala klinik prodomal adalah kesakitan pada syaraf, diam, demam dan perubahan tingkah laku. Tampak juga dilatasi pupil dengan atau tanpa terjadi refleks kornea. Hewan yang semula baik menjadi mudah marah dan dapat

(32)

menggigit. Sebaliknya, hewan-hewan yang semula galak menjadi lebih jinak. Hewan kemudian menjadi kurang rileks, terjadi hipersensitivitas pada pendengaran dan penglihatan, fotopobia, menggonggong, berimajinasi menggigit suatu obyek. Anjing biasanya berjalan tanpa tujuan dan menggigit sesuatu yang tidak umum, menghindari kontak dengan orang dan lebih senang bersembunyi ditempat yang gelap dan tenang. Anjing dapat mencoba menggigit, menyerang ketika dikandangkan, terjadi inkoordinasi otot, disorientasi dan penyerangan. Kemudian terjadi paralisis dan bahkan kematian.

Periode dari tahap prodomal sampai kematian jarang mencapai sepuluh hari. Kucing yang terserang rabies lebih ganas dan berbahaya dari anjing (Kaplan et. al.

1986). Fase ganas pada kucing memperlihatkan gerakan yang aneh dan tingkah laku yang tidak biasanya. Kucing menggigit atau mencakar obyek yang berpindah-pindah. Tremor otot dan kelemahan atau terjadi inkoordinasi, berlari terus menerus sampai akhirnya mati dalam keletihan (Greene dan Dreesen 1990).

Periode inkubasi pada rabies adalah 6 bulan dan periode infeksi pada hewan karnivora domestik dimulai 15 hari sebelum munculnya gejala klinis dan berakhir saat hewan mati (OIE 2008). Periode inkubasi 8,5 hingga 12 bulan pasca gigitan dilaporkan terjadi pada beberapa anjing. Sehingga disarankan untuk memperlama masa karantina pada hewan tersangka hingga sembilan bulan (Aubert 2008).

OIE (2008) mensyaratkan adanya vaksinasi rabies minimum 6 bulan sebelumnya dan tidak lebih dari satu tahun bila memasukkan anjing dan kucing dari negara/daerah tertular rabies. Pemeriksaanantibodi terhadap rabies dilakukan tidak kurang dari tiga bulan dan tidak lebih dari 24 bulan sebelum keberangkatan dengan hasil uji positif tidak kurang dari 0,5 IU/ml.

Diagnosis Rabies Pada Manusia

Menurut WHO (2006), Diagnosis rabies pada hewan dan manusia di beberapa bagian di dunia masih didasarkan pada gejala klinis. Secara umum Diagnosis laboratorium seharusnya digunakan untuk menguji, sehingga hasil Diagnosis positif rabies dapat diinformasikan secara cepat kepada petugas yang bertanggungjawab memberikan pengobatan. Hasil negatif pada pengujian rabies berguna dalam menekan biaya pengobatan dan menghilangkan cekaman fisiologik

(33)

terhadap kemungkinan terinfeksi rabies. Identifikasi laboratorium juga sangat penting dalam upaya surveilan penyakit untuk menentukan pola epidemiologik rabies dan program pengendalian rabies di suatu negara.

Deteksi virus rabies pada manusia dilakukan dengan cara isolasi virus, ulasan kornea dan biopsi kulit, direct fluorescent antibody test (dFA atau FAT), histopatologik, metode immunohistokimiawi dan metode amplifikasi (WHO 2006).

Deteksi antibodi rabies (serologik) digunakan untuk menegaskan virus yang telah diisolasi dan menilai tanggap kebal hasil vaksinasi pada manusia, atau infeksi yang tidak fatal dan pada percobaan yang melibatkan gambaran patogenesa penyakit. Pengujian serologik tersebut antara lain uji netralisasi serum. Metode ini merupakan metode serologik yang pertama kali dikembangkan dan sebagai metode baku untuk membandingkan metode serologik lainnya. Pengujian ini mengukur antibodi IgG dengan pengenceran serial dari serum yang diinaktivasi dengan pemanasan. Selanjutnya, serum dicampur dengan jumlah virus yang sama. Campuran tersebut diinokulasikan secara intraserebral pada tikus atau pada kultur jaringan. Titer antibodi dihitung dengan sejumlah tikus yang masih hidup atau adanya bentuk plak pada jaringan kultur (WHO 2006). Enzyme-linked immunosorbent essay (ELISA) mempunyai kepekaan (sensitivitas) yang tinggi dengan kekhasan (spesifisitas) yang baik untuk melacak antibodi IgM dan IgG.

Diagnosis Rabies Pada Hewan

Teknik klasik mendiagnosa keberadaan virus rabies adalah pemeriksaan histopatologik terhadap otak (bagian hypocampus) menggunakan pewarnaan Seller. Pewarnaan otak dengan pewarna Seller, yang tersusun atas 1% larutan

basic fuchsin dan biru methilen (methylene blue) dalam methanol absolut, dapat memperlihatkan adanya badan negri. Badan negri berbentuk oval spesifik seperti sitoplasmik, berukuran sekitar 0,25-27 µm dan berwarna ungu dengan pewarnaan Seller’s. Metode ini sangat cepat (± 2 jam), tidak mahal dan tidak membutuhkan peralatan khusus. Peneguhan dengan dFA akan memberikan hasil yang lebih baik (Greene dan Dreesen 1990).

(34)

Teknik lain yang digunakan untuk mendiagnosa rabies adalah direct fluorescent antibody test (dFA atau FAT), mouse inoculation test (MIT) yang merupakan teknik “gold standard”, dan rapid rabies enzyme immunodiagnostic

(RREID).

Pada uji RREID, jaringan tersangka dihomogenisasi dan diuji dengan rabies antigen nucleucapsid menggunakan purified hyperimmune globulin dan diikuti oleh peroxidase conjugated immune globulin dan chromagen substrate. Perubahan warna kuning digunakan untuk melacak contoh positif. Metode ini merupakan metode cepat walaupun mempunyai kepekaan yang rendah dibandingkan dangan dFA (Greene dan Dreesen 1990).

Pelacakan antibodi digunakan untuk mengukur keberhasilan vaksinasi atau tanggap kebal terhadap hewan yang divaksinasi, atau adanya infeksi pada hewan liar. Metode yang banyak digunakan yaitu fluorescent antibody virus neutralisation (FAVN) test, rapid fluorescent focus inhibition test (RFFIT), enzim linked immunosorbant assay (ELISA), mouse neutralization test (MNT) (Greene dan Dreesen 1990).

Virus rabies baku galur challenge virus standar (CVS) untuk penelitian dan diagnosis rabies terdapat di Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor. Dengan tersedianya virus positif baku galur CVS, pemeriksaan dengan metoda FAT di Balitvet dapat terus dilakukan (Kurniadhi 2005).

Vaksinasi Rabies Pada Hewan

Langkah pertama untuk mencegah penyakit rabies adalah tindakan vaksinasi pada hewan. Vaksinasi rabies sangat efektif, harganya tidak terlalu mahal dan biasanya diberikan setahun sekali. Vaksin yang diberikan adalah vaksin inaktif (killed virus) secara intramuskular atau intradermal dan vaksin aktif (live virus) secara injeksi atau peroral. Hewan yang divaksinasi dan kebal dengan titer antibodi > 0,5 IU/ml tidak mengandung virus rabies walaupun berasal dari daerah endemik (Barantan 2006).

Vaksin rabies menimbulkan kekebalan aktif berupa tanggap kebal selular dan humoral. Peredaran antibodi virus rabies atau rabies virus neutralizing antibodies (RVNA) akan terlacak pada 7-10 hari setelah penyuntikan vaksin dan

(35)

akan bertahan 2 tahun atau lebih. Selain itu, saat vaksin diberikan pada hewan yang sudah pernah divaksinasi sebelumnya akan menginduksi tanggap anamnestik yang diakibatkan produksi besar dari RVNA sehubungan dengan kehadiran sel kebal (CDC 2007).

Menurut lampiran Surat Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian no 344.b//kpts/P.D.670.370/L/12/06 tentang petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas hewan penular rabies (anjing, kucing, kera dan sebangsanya), uji netralisasi serum (Serum 'eutralizing Test/SN Test) pada hewan yang berasal dari wilayah asal bebas rabies dan tidak ada kegiatan vaksinasi memiliki titer antibodi rabies kurang dari 0,1 IU/ml. Bila berasal dari daerah asal bebas rabies dan ada kegiatan vaksinasi maka nilai titer antibodi terhadap rabies lebih besar atau sama dengan 0,5 IU/ml.

Reaksi imunologik yang mengikuti proses vaksinasi dapat dikatagorikan dalam empat tipe reaksi hipersensitivitas. Tipe I muncul karena terjadi interaksi antara sitopilik IgE dan antigen yang menyebabkan degranulasi basofil yang beredar dan dan sel jaringan. Tipe II muncul karena akibat dari kerusakan sel yang menghasilkan reaksi autoimmune hemolytic anemia (AIHA) dan autoimmune nonregenerative anemias. Tipe III muncul karena adanya pembentukan kompleks dan deposisi sistem kebal. Tipe IV muncul dan menyebabkan granuloma pada tempat suntikan dan polyradiculneuritis (Greene 2003). Reaksi lokal yang terjadi pada anjing setelah menerima vaksinasi biasanya eritrema, rasa sakit pada daerah suntikan, iritasi dan terbentuknya abses. Reaksi biasanya terjadi beberapa menit hingga beberapa hari pasca suntikan. Selain itu, biasanya terjadi demam akibat perbanyakan virus vaksin dalam jaringan limphoid. Umumnya demam hanya terjadi tidak lebih dari 1-2 hari setelah suntikan. Gejala lain adalah anoreksia dan depresi pada sebagian hewan (Greene 2003).

Hanlon et al. (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pemberian vaksin saja pada anjing yang terpapar berat virus rabies (gigitan dengan adanya luka terbuka) tidak dapat melindungi hewan dari infeksi rabies lebih lanjut. Sedangkan vaksin yang digabung dengan antibodi monoklonal (mAb) dapat melindungi hewan dari infeksi lebih lanjut.

(36)

Program vaksinasi pada anjing di Sumatra Barat dan Kalimantan, terutama pemberian secara parenteral, agak terhambat dengan adanya anggapan yang salah tentang efek samping dari vaksinasi. Mereka menganggap anjing yang menerima vaksinasi akan menjadi lemah dan tidak dapat digunakan untuk berburu. Untuk itu, vaksinasi secara peroral disarankan di daerah-daerah tersebut untuk memperkecil efek dari suntikan (WHO 1998).

Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan vaksinasi, antara lain rute vaksinasi, umur hewan saat divaksinasi, tipe vaksin, jadwal vaksinasi; daerah asal dan status kesehatan hewan (Wunderli et al. 2003; Mansfiled et al. 2004; Pavlinic et al. 2006; Aubert 2008). Vaksin yang diberikan secara intramuskular terbukti memberikan tanggap titer antibodi yang lebih baik dari pada secara subkutan (Aubert 2008). Sedang pada manusia, tipe vaksin dan jadwal vaksinasi berpengaruh terhadap tanggap antibodi yang dihasilkan (Pavlinic

et al. 2006). Anjing yang menerima vaksin pada umur kurang dari tiga bulan akan mengakibatkan antibodi pasif dari induk dan antibodi aktif dari hasil vaksinasi saling berinteraksi sehingga memberikan hasil yang kurang efektif. Pada umur 10-12 minggu, tidak lagi ditemukan antibodi maternal sehingga hasilnya akan lebih efektif (Aubert 2008). Mansfield (2004) menyatakan bahwa umur paling efektif untuk memvaksinasi rabies adalah antara tiga bulan sampai dengan satu tahun. Bila anjing menerima vaksinasi pada umur kurang dari 10 minggu tidak akan memberikan hasil yang optimal karena adanya antibodi maternal dari induk. Selain itu kemampuan anjing untuk mengembangkan titer antibodi yang memadai setelah menerima vaksinasi akan semakin menurun sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini mungkin disebabkan karena sistem kekebalan tubuh semakin kurang efisien.

Anjing yang sedang mengalami anemia berat atau adanya parasit akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh secara keseluruhan sehingga titer antibodi yang diperoleh kemungkinan tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan. Adanya antibodi netralisasi terhadap rabies pada anjing setelah vaksinasi tidak berarti hewan terlindungi sepenuhnya dari rabies. Sedang tidak adanya antibodi netralisasi juga tidak berarti bahwa hewan tidak terlindungi terhadap rabies. Tetapi dapat dikatakan bahwa hewan yang mempunyai antibodi netralisasi

(37)

terlindungi lebih baik dibandingkan hewan tanpa antibodi netralisasi (Aubert 2008). Seperti yang terlihat di Thailand bahwa sembilan persen anjing yang positif terkena rabies telah divaksinasi 1-2 tahun sebelumnya. Survei terhadap 2500 ekor anjing yang telah divaksinasi di Nigeria menunjukkan adanya empat kasus rabies walaupun anjing tersebut telah divaksinasi 3-6 bulan sebelumnya. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keadaan ini antara lain beratnya tipe gigitan, status kesehatan dan kekebalan dari anjing, serta adaptasi virus pada inangnya (Aubert 2008).

Tanggap antibodi yang diuji tiga bulan pasca vaksinasi pada vaksinasi ulangan (booster vaccination) lebih tinggi dibandingkan tanggap yang diberikan pada vaksinasi pertama (primary vaccination). Anjing yang telah divaksinasi sebelumnya memiliki tanggap anamnestik terhadap vaksinasi ulangan, walaupun antibodi dari vaksinasi pertama tidak terlacak dalam tubuhnya sebelum vaksinasi diberikan (Derbyshire dan Mathews 1984).

(38)

BAHA DA METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil contoh darah anjing yang dilalulintaskan dari Pulau Jawa ke Sumatera melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak-Banten yang merupakan wilayah kerja Balai Karantina Pertanian Kelas II Cilegon. Serum contoh akan diperiksa menggunakan teknik uji ELISA Rabies di Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian (BBUSKP) Jakarta. Penelitian dilakukan selama bulan Januari hingga Juli 2008.

Materi Penelitian

Sebanyak 1-2 ml serum darah anjing diambil dari vena femoralis atau vena saphena menggunakan syringe sucihama berukuran tiga mililiter. Syringe yang telah berisi darah dibiarkan pada suhu ruang yaitu pada suhu 25-27° C sampai terjadi pemisahan antara serum dan bekuan sel darah. Cairan serum dipindahkan ke tabung gelas/tabung plastik sucihama. Tabung berisi serum disimpan di dalam kotak yang berisi es batu dengan suhu -4 °C atau langsung dimasukkan ke dalam lemari pendingin bersuhu –20 ˚C sampai serum tersebut akan diperiksa. Cairan serum diinaktivasi terlebih dahulu sebelum pemeriksaan dengan cara menempatkannya pada penangas air (waterbath) bersuhu 56 ˚C selama 30 menit.

Metode Penelitian

Contoh serum darah anjing diperiksa menggunakan kit ELISA SERELISATM Rabies Ab Mono Indirect/ASRAB3 (Synbiotics Europe) dengan kepekaan sebesar 76,2 % dan spesifisitas 97,2 %. Prinsip kerja dari ELISA adalah berdasarkan atas ikatan antigen (Ag) yang melapisi bagian dasar sumur cawan mikro (microplate) dengan antibodi (Ab) dari serum dan konjugat yang ditandai dengan adanya perubahan warna karena adanya penambahan substrat.

Titer serum ditentukan berdasarkan optical density (OD) dalam bentuk equivalen unit terhadap serum baku OIE. Hasil titer protektif harus menunjukkan nilai ≥ 0,6 EU/ml yang nilainya equivalen dengan ≥ 0,5 IU/ml sebagai baku

(39)

protektif titer antibodi menurut OIE. Sedangkan nilai kurang dari nilai baku akan dianggap tidak protektif.

Alat dan Bahan

Biosafety cabinet kelas II, ELISA reader, ELISA washer, mikroplat dasar V, mikropipet multi 20 -200 µI, mikropipet tunggal 5-50 µI, mikroplat dasar V (kit berjumlah 6 @ 16 sumur), Konjugat 2,5ml (tutup oranye) yang berisi Protein A/Peroksidase dengan kadar 10x, Konjugat pengencer 50 ml (Ready to Use), Buffer Peroksidase Substrat 50 ml (Ready to Use), Kontrol Negatif 2,5 ml (tutup hijau) dengan kadar 10x, Kontrol Positif 2,5ml (tutup merah) dengan kadar 10x,

Sample Diluent/SD 50 ml (Ready to Use), Wash Solution 200ml dengan kadar 10x, Stop Solution 25 ml (Ready to Use), 6 Adhesive film.

Cara Kerja

Kit ELISA, contoh dan serum baku OIE disiapkan pada suhu 27 oC (suhu ruang) selama satu jam. Pengenceran dilakukan dengan larutan pencuci (wash solution) satu bagian (20 ml) + sembilan bagian (180 ml) air suling. Satu cawan dasar V disiapkan untuk pengenceran dan diisi 90 µI SD pada AI-GI untuk serum baku OIE dan sumur-sumur selanjutnya sesuai dengan jumlah contoh yang akan diuji. Pengisian contoh dilakukan tanpa penggandaan/tidak duplo.

Sebelumnya tablet serum OIE dilarutkan dalam air suling 0,5 ml (batas garis pada vial) dan kemudian dilakukan pengenceran serum baku OIE seperti yang terpapar pada Tabel 5 di bawah ini.

Sebanyak 10 µl serum contoh dimasukkan ke dalam sumur-sumur yang sudah terisi SD dan dicampur mulai dari sumur H1, A2, B2, C2, dan seterusnya sesuai dengan jumlah contoh. Plate Kit ELISA disiapkan sesuai dengan jumlah serum contoh. Sebanyak 90 µl SD dimasukkan ke dalam sumur A1 dan A2 untuk kontrol negatif dan sumur B1 dan B2 untuk kontrol positif. Kemudian sebanyak 90 µl SD dimasukkan ke dalam sumur C1, D1, E1, F1, G1, H1, dan C2, D2, E2, F2, G2, H2, dan A3, A4 untuk serum baku OIE dan sumur-sumur selanjutnya sesuai dengan jumlah serum contoh yang akan diuji (DUPLO).

(40)

Tabel 5 Pengenceran serum baku OIE Kadar Jumlah 1 : 10 10 µl OIE + 90µl SD 1 : 30 10 µl OIE + 290µl SD 1 : 100 10 µl 1/10 + 90µl SD 1 : 150 10 µl 1/30 + 80µl SD 1 : 300 10 µl 1/30 + 90µl SD 1 : 1000 10 µl 1/100 + 90µl SD 1 : 3000 10 µl 1/300 + 90µl SD Ket. SD : Sample Diluent

OIE : Serum baku OIE

Sebanyak x10 µl kontrol negatif dimasukkan ke dalam sumur A1 dan A2; sebanyak 10 µl kontrol positif ke dalam sumur B1 dan B2; sebanyak 10 µl serum baku OIE yang telah diencerkan ke dalam sumur C1, D1, E1, F1, G1, H1 dan C2, D2, E2, F2, G2, H2 dan A3, A4 dan sumur-sumur selanjutnya sesuai dengan jumlah serum contoh yang akan diuji dan lakukan secara duplo.

Pengenceran akhir akan diperoleh seperti yang terpapar dalam Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6 Pengenceran akhir serum baku OIE

1 2 3 4 A N 1 : 10 N 1 : 10 OIE 1 : 30000 OIE 1 : 30000 B P 1 : 10 P 1 : 10 S1 1 : 100 S1 1 : 100 C OIE 1 : 100 OIE 1 : 100 S2 1 : 100 S2 1 : 100 D OIE 1 : 300 OIE 1 : 300 S3 1 : 100 S3 1 : 100 E OIE 1 : 1000 OIE 1 : 1000 S4 1 : 100 S4 1 : 100 F OIE 1 : 1500 OIE 1 : 1500 S5 1 : 100 S5 1 : 100 G OIE 1 : 3000 OIE 1 : 3000 S6 1 : 100 S6 1 : 100 H OIE 1 : 10000 OIE 1 : 10000 S7 1 : 100 S7 1 : 100

Mikroplat ditutup dengan adhesive film dan lalu diletakkan di atas pengocok. Mikroplat kemudian diinkubasi pada suhu 37± 3 oC selama 1 jam ± 5 menit. Setelah masa inkubasi tercapai, cairan dibuang dan dicuci sebanyak 4 kali masing-masing selama tiga menit. Pengenceran konjugat dilakukan dengan perbandingan 1 : 9, yaitu 250 µl konjugat + 2250 µl pelarut. Sebanyak 100 µl konjugat ditambahkan ke dalam semua sumur dan diinkubasi pada suhu 37 ± 3 oC selama 1 jam ± 5 menit. Setelah masa inkubasi tercapai, cairan dibuang dan cuci empat kali masing-masing tiga menit. Sebanyak 100 µl substrat buffer peroksidase ditambahkan ke dalam semua sumur. Mikroplat tidak ditutup

(41)

adhesive film dan diletakkan di atas pengocok. Mikroplat diinkubasi pada suhu 20 ± 5 oC selama 30 menit ± 5 menit sehingga warna larutan akan berubah menjadi biru. Sebanyak 50 µl stop solution ditambahkan sehingga warna berubah menjadi kuning, diletakkan di atas pengocok dan terakhir diletakkan pada mesin ELISA reader untuk membaca hasil dengan OD pada 450 nm/630 nm.

Nilai valid jika OD positif kontrol ≥ 0,300, OD negatif kontrol < 0,50 x OD positif kontrol, koefisien korelasi diantara Ln ODs dan Ln Rabies Ab untuk serum baku OIE > 0,95. Titer kalkulasi dilakukan dengan menggunakan:

-Ln [Rab Ab Concentration (EU/ml)] = a+b * Ln OD

-Contoh Rab Ab Concentration ( EU/ml ) = e (a=b * Ln OD )

-Jika titer kalkulasi > 0,6 artinya hewan protektif < 0,6 artinya hewan tidak protektif

Rancangan Penelitian Penentuan contoh

Jumlah contoh serum darah yang akan diperoleh ditentukan berdasarkan rumus Leech dan Seller (1979) :

n = 4 pq L² Untuk:

n = besaran contoh, p = asumsi prevalensi, q = 1-p, dan L² = galat yang diinginkan.

Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu populasi contoh merupakan satu kedatangan rombongan anjing yang akan dibawa ke Pulau Sumatera. Penentuan contoh di alat angkut dilakukan secara acak.

Analisis Data

Nilai hasil yang didapat dimasukkan ke dalam program dari kit ELISA SERELISA Rabies Ab Mono Indirect/Asrab3® (Synbiotic Europe) yang ada dan akan dihasilkan titer antibodi rabies dari contoh serum darah tersebut. Bila titer antibodi rabies lebih dari 0,6 EU/ml maka hewan yang diuji protektif terhadap

(42)

rabies dan bila nilainya kurang dari 0,6 EU/ml berarti hewan tersebut tidak protektif terhadap rabies.

Data-data penunjang tentang berbagai faktor yang dapat menjadi faktor resiko infeksi seperti umur, ras, riwayat vaksinasi dan asal daerah diperoleh dari Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH). Data-data ini digunakan untuk menentukan hubungan kejadian penyakit dengan parameter yang dilihat.

Dalam penelitian ini digunakan tiga variabel untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas vaksinasi dengan hasil uji ELISA rabies yang protektif yaitu (1) daerah asal anjing, (2) jarak vaksinasi dengan pengambilan serum contoh darah anjing dan (3) umur anjing saat dilakukan pengambilan contoh.

(43)

HASIL DA PEMBAHASA

Hasil Pemeriksaan ELISA

Sebanyak 188 contoh serum diperoleh selama bulan Januari-Juli 2008. Jumlah contoh tersebut sudah dianggap cukup karena dalam penelitian ini menggunakan asumsi prevalensi sebesar 2%, galat yang diinginkan sebesar 5% dan tingkat kepercayaan yang diinginkan sebesar 95% (Leech dan Seller 1979).

Empat serum contoh mengalami lisis sehingga hanya 184 contoh yang dapat diuji. Berdasarkan uji ELISA dengan kit ELISA SERELISA Rabies Ab Mono Indirect/Asrab3® (Synbiotic Europe) nilai titer antibodi disebut protektif terhadap rabies adalah bila nilainya lebih dari 0,6 EU. Sedang titer antibodi disebut tidak protektif terhadap rabies bila nilainya kurang dari 0,6 EU/ml. Hasil pemeriksaan ELISA terhadap contoh-contoh tersebut terpapar dalam Tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7 Hasil pemeriksaan ELISA bulan Januari – Juli 2008

o Bulan Jumlah

contoh

Contoh Lisis

Hasil Uji ELISA Protektif Tidak protektif 1. Januari 22 - 19 3 2. Febuari 25 - 3 22 3. Maret 31 - 11 20 4. April 51 4 15 32 5. Mei 45 - 23 22 6. Juni 11 - 4 7 7. Juli 3 - 1 2 Total jumlah 188 4 76 108

Dari data tersebut di atas terlihat bahwa lebih banyak contoh serum memiliki nilai titer yang tidak protektif yaitu 108 contoh dari 184 (58,7%) dibandingkan yang protektif yaitu 76 contoh dari 184 (41,3%). Hasil ini lebih jelas terlihat pada Gambar 4 di bawah ini.

(44)

HASIL UJI LABORATORIUM TERHADAP TITER ANTIBODI RABIES BULAN JANUARI-JULI 2008

TIDAK PROTEKTIF 108 (58,7 %)

PROTEKTIF, 76 (41,3 %)

Gambar 4 Grafik hasil uji ELISA terhadap titer antibodi rabies bulan Januari - Juli 2008.

Adanya antibodi netralisasi terhadap rabies (antibodi antirabies) pada anjing setelah vaksinasi tidak berarti hewan terlindungi sepenuhnya dari rabies. Sedang tidak adanya antibodi netralisasi juga tidak berarti bahwa hewan tidak terlindungi terhadap rabies. Tetapi dapat dikatakan bahwa hewan yang mempunyai antibodi netralisasi terlindungi lebih baik dibandingkan hewan tanpa antibodi netralisasi (Aubert 2008). Sehingga dapat dikatakan bahwa 58,7 % anjing yang tidak protektif dari data di atas mempunyai kemungkinan terlindungi dari virus rabies. Masih ada kemungkinan anjing-anjing tersebut terlindungi walaupun hasil pemeriksaan serologik menunjukkan hasil yang tidak protektif. Demikian pula dengan 41,3 % anjing yang protektif tidak berarti bahwa anjing tersebut terlindungi sepenuhnya dari virus rabies.

Pelacakan antibodi digunakan untuk mengukur keberhasilan vaksinasi atau tanggap kebal terhadap hewan yang divaksinasi, atau adanya infeksi pada hewan liar (Greene dan Dreesen 1990). Sehingga hasil pemeriksaan antibodi yang tidak protektif juga dapat berarti adanya kegagalan vaksinasi. Faktor yang berpengaruh antara lain vaksinasi anjing di daerah asal tidak berjalan secara efektif. Adanya kendala di lapangan saat pemberian vaksin akan berpengaruh terhadap keberhasilan vaksinasi. Kemungkinan lain, vaksin yang diberikan sudah rusak karena penyimpanan yang kurang benar.

(45)

Seperti yang dikatakan Aubert (2008) bahwa kegagalan vaksinasi dapat terjadi karena pemberian vaksinasi yang kurang tepat akibat kesalahan pemberian atau penyimpanan vaksin yang tidak benar. Sedang Wunderli et al. (2003) menyatakan jumlah vaksin yang diberikan berpengaruh terhadap tanggap antibodi dan perlindungan terhadap rabies. Penyuntikan vaksin yang tidak benar dapat terjadi di lapangan, sehingga vaksin yang berhasil disuntikkan tidak sesuai dengan volume yang dipersyaratkan. Selain itu bila pemilik anjing memiliki anjing dalam jumlah besar, ada kemungkinan tidak semua anjing di vaksin hanya beberapa saja yang mudah dijangkau. Anjing-anjing yang tidak divaksinasi di dalam serum darahnya tidak ditemukan titer antibodi protektif saat dilakukan pemeriksaan.

Aubert (2008) juga menyatakan pemberian vaksin pada masa inkubasi penyakit atau saat terjadi tanggap kebal akibat virus juga mengakibatkan kegagalan vaksinasi. Gejala klinis pada masa inkubasi penyakit tidak atau belum terlihat sehingga tidak diketahui pada saat penyuntikan vaksin apakah anjing tersebut telah atau tidak terpapar virus rabies.

Aubert (2008) dan Wunderli et al (2003) menyatakan bahwa vaksin yang diberikan secara intramuskular memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pemberian subkutan. Data rute pemberian vaksin pada anjing yang dilalulintaskan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak tidak dapat diperoleh karena tidak dituliskan di kartu vaksinasi maupun surat keterangan kesehatan hewan. Tetapi, pada umumnya vaksinasi di Indonesia dilakukan secara subkutan karena lebih mudah, terutama di lapangan.

Daerah Asal Anjing

Bila anjing berasal dari daerah asal bebas rabies dan ada kegiatan vaksinasi maka nilai titer antibodi terhadap rabies lebih besar atau sama dengan 0,5 IU/ml (Barantan 2006). Jawa Barat dan Banten sampai saat ini secara legal masih ditetapkan sebagai daerah bebas rabies berdasarkan keputusan Menteri Pertanian 566/Kpts/PD/PD640/10/2004 walaupun di kedua daerah tersebut telah terjadi wabah rabies.

Sebaran data hasil pemeriksaan serologik berdasarkan asal daerah contoh serum terpapar pada Tabel 8 berikut ini. Rasio persentase tidak protektif adalah

(46)

persentase jumlah serum contoh yang tidak protektif dibandingkan dengan jumlah keseluruhan serum yang diperiksa.

Tabel 8 Hasil pemeriksaan serologik contoh serum anjing berdasarkan data daerah asal anjing selama periode Januari-Juli 2008

o Daerah Asal Jumlah Contoh

Contoh Lisis

Hasil Pemeriksaan Rasio Persenta-se Tidak Protektif (%) Protektif Tidak Protektif 1. Garut 86 2 30 54 29,34 2. Sumedang 26 - 11 15 8,15 3. Jakarta 24 - 13 11 5,97 4. Bandung 19 - 9 10 5,43 5. Cianjur 13 - 5 8 4,34 6. Purwakarta 4 1 2 1 0,54 7. Kuningan 4 1 2 1 0,54 8. Tasikmalaya 3 - - 3 1,63 9. Bogor 2 - 1 1 0,54 10. Cilegon 2 - 1 1 0.54 11. Majalengka 1 - - 1 0,54 12. Brebes 1 - 1 - - 13. Tangerang 1 - - 1 0,54 14. Sukabumi 1 - - 1 0,54 15. Indramayu 1 - 1 - - Jumlah 188 4 76 108 58,69

Sebagian besar anjing yang dilalulintaskan berasal dari Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat. Sekali pengiriman biasanya dapat mencapai jumlah lebih dari 30 ekor dalam satu kendaraan untuk sekali pengiriman ke Padang Sumatra Barat. Anjing-anjing tersebut dikumpulkan dari beberapa tempat di Garut. Mereka dipelihara selama dua minggu hingga satu bulan di Garut sebelum dikirim ke Sumatera. Selama dalam pengumpulan, beberapa anjing diberi pelatihan berburu babi hutan untuk meningkatkan nilai jualnya. Anjing yang telah dilatih biasanya diberangkatkan dalam rombongan tersendiri. Berdasarkan wawancara dengan pemilik, tidak semua anjing yang dikirim menerima vaksinasi, sehingga kemungkinan hal inilah yang membuat sebagian besar jumlah anjing yang berasal dari Garut memberikan hasil yang tidak protektif. Tetapi yang mengherankan, semua anjing yang dikirim mendapatkan surat keterangan telah divaksinasi oleh dinas yang berwenang. Padahal, dengan adanya beberapa kasus rabies di Garut,

Gambar

Tabel  1   Jumlah    anjing  yang    dilalulintaskan    dari    pulau   Jawa    ke     Sumatera  (domestik  keluar)      melalui      Stasiun      Karantina      Hewan      Kelas      II   Merak Tahun 2001-2007 (Anonim 2007)
Gambar 1  Peta penyebaran rabies di Indonesia  tahun  2003.
Tabel 3  Laporan kasus positif rabies pada  hewan pembawa rabies di Indonesia  10 tahun terakhir (1997-2007)   o  PROVISI  TAHU  1997  1998  1999  2000  2001  2002  2003  2004  2005  2006  2007  1
Tabel 4   Kasus kematian manusia akibat rabies di Indonesia tahun 1990-2000.
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat (1) huruf d angka 18) serta ayat (3) Peraturan Daerah dimaksud huruf a, perlu menetapkan Kedudukan, Susunan

Berdasarkan pen jelasan dari hasil pen elitian dapat disim pulkan bahwa pem berdayaan ekon om i m asyarakat m elalui kom oditi sawit di Kabupaten Aceh Tim ur yan g difokuskan

Hasilnya, data-data yang sesuai akan tersaring dan dibawa ke proses selanjutnya yaitu pengolahan data handphone dengan metode fuzzy logic guna mendapatkan hasil rekomendasi

Sistem ini menggunakan algoritma FP -Growth untuk menemukan pola berupa item yang dibeli bersamaan dengan parameter minimum support (nilai penunjang) 0,2 dan

Antena microstrip ini dapat diimplementasikan pada satelit ITS-sat dengan dimensi 10 cm × 10 cm dengan asumsi bentuk kubus Cube-sat.Antena menggunakan dual coaxial

Bila Kontraktor bermaksud menempatkan beberapa Pekerjaan Sementara di luar batas Lapangan seperti terlihat pada Gambar, usulan tersebut merupakan pilihaannya, tetapi semua

Dari hasil perhitungan tersebut, untuk mendapatkan nilai sigma dikonvesikan dari hasil perhitungan DPMO dengan tabel six sigma yaitu untuk DPMO 76000 nilai six sigma nya

Hasil analisis infrensial data menunjukkan bahwa nilai t yang diperoleh = 0,83 dalam artian bahawa t hitung &gt; t tabel yaitu 0,83 &gt; 0.05 ini menunjukkan