• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya. 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya. 1"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran dikala usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status sosial orang tua.

Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih hidup anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun rendah, anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya.1

Anak adalah amanah sekaligus karunia Allah SWT, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggungjawab menyediakan fasilitas sarana dan

1Makalah Hukum Waris Islam, Masalah Kewarisan Anak Dalam Kandungan, Anak Zina dan

Anak Li’an, Anak Tiri dan Anak Angkat Beserta Contoh-contoh Penyelesaiannya, Program Pasca

(2)

prasarana bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.2

Anak juga merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga, dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, anak adalah amanah Allah SWT dan tidak bisa dianggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak hati oleh orang tua. Sebagai amanah, anak harus dijaga sebaik mungkin oleh yang memegangnya, yaitu orang tua. Anak adalah manusia yang memiliki nilai kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan oleh alasan apapun.

Begitu pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah SWT mensyari’atkan adanya perkawinan. Pensyari’atan perkawinan memiliki tujuan antara lain untuk berketurunan (memiliki anak) yang baik, memelihara nasab, menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan keluarga yang sakinah.3 Sebagaimana firman Allah SWT, dalam Al-Qur’an surah Al-Rum ayat 21:

“Dan diantara tanda-tanda kekuasannya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang sedemikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

2M. Hasballah Thaib dan Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, hlm. 5

(3)

Nikah atau perkawinan adalah akad (ijab dan qobul) yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrim, yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.4

Perkawinan bukan untuk keperluan sesaat tetapi untuk seumur hidup karena perkawinan mengandung nilai luhur. Dengan adanya ikatan lahir bathin antara pria dan wanita yang dibangun diatas nilai-nilai sakral karena berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama Pancasila, maksudnya adalah bahwa perkawinan tidak cukup hanya dengan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja tetapi harus kedua-duanya, terjalinnya ikatan lahir bathin merupakan fondasi dalam membentuk keluarga bahagia dan kekal.5

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia yang menimbulkan akibat hukum baik terhadap hubungan antara pihak yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, maupun dengan pihak lain yang mempunyai kepentingan tertentu. Apabila dari perkawinan tersebut dilahirkan anak, maka timbul hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

Anak sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga menurut hukum Islam. Sebagai amanah Allah SWT, maka orang tuanya mempunyai tanggung jawab untuk mengasuh, mendidik, dan memenuhi keperluannya sampai dewasa. Berdasarkan Pasal 45 dan 46 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, hubungan hukum antara orang

4 http://sman1jember.sch.id/materipai/XII.1.5%20MUNAKAHAH.pdf, diakses pada tanggal 20 Februari 2012

(4)

tua dengan anak menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya, antara lain dalam Pasal 45 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Bahkan kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.6Sebaliknya, anak juga mempunyai kewajiban terhadap orang tuanya, yang diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yakni anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik, dan jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuan. Hal ini membuktikan adanya hubungan hukum dengan timbulnya hak dan kewajiban antara orang tua dan anak dari suatu perkawinan.

Anak juga merupakan salah satu ahli waris yang berhak menerima warisan. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan adalah ahli waris dari orang tuanya, bahkan ia adalah ahli waris yang paling dekat dengan pewaris. Hubungan kewarisan antara orangtua dengan anaknya ini didasarkan pada adanya hubungan darah atau yang disebut juga sebagai hubungan nasab, karena telah terjadi hubungan biologis antara suami istri dalam ikatan perkawinan tersebut dan kemudian lahirlah anak. Namun, yang menjadi masalah disini adalah anak yang lahir diingkari oleh ayahnya dalam satu sumpah li’an.

Sumpah li’an adalah sumpah suami kepada istrinya yang dia tuduh berbuat zina. Suami harus mendatangkan empat saksi untuk membuktikan tuduhannya.

(5)

Apabila terbukti, maka terjadi perceraian untuk selamanya dan anak bukan anak suami.7 Sedang, menurut istilah syar’i, li’an adalah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa istrinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari istrinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian si istri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong.8

Li’an suami-istri disyariatkan dalam Islam, apabila suami menuduh istrinya

berzina, atau suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’ansurat An-Nuur ayat 6-9:9

"Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak

mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (Sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar."

Sebab turunnya ayat ini dikaitkan dengan kekhususan hukum li’anyang terjadi antara suami istri adalah firman Allah yang menyebutkan tentang sanksi orang yang menuduh wanita mukminah, yaitu dalam Al-Qur’ansurat An-Nuur ayat 4:10

"Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)

dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik."

7Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hlm. 65-66 8Makalah Hukum Waris Islam, Op.Cit., hlm. 10

9Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum

Waris, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004, hlm.403

(6)

Berdasarkan uraian diatas, maka anak yang dilahirkan dari seorang istri yang sah, dimana suami tersebut tidak mengakuinya sebagai anaknya, karena suami tersebut telah menuduh sang istri telah berzina dengan lelaki lain dinamakan dengan anak li’an. Sang suami telah bersumpah bahwa istrinya telah berzina dengan lelaki lain di depan hakim, begitu pula istrinya telah bersumpah dengan tujuan membela diri, bahwa tuduhan suaminya adalah dusta. Maka jika sang istri mengandung, anak tersebut disebut sebagai anak li’an.11

Anak li’an ini mempunyai status hukum yang sama dengan anak zina, yaitu sama-sama menjadi anak luar kawin. Namun perbedaan antara keduanya adalah bahwa anak zina telah jelas statusnya sejak awal, seperti lahir dari perempuan yang tidak bersuami sedangkan anak li’an lahir dari perempuan yang bersuami, namun anak tersebut tidak diakui oleh suaminya.12

Putusan Pengadilan AgamaNomor 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo telah memutus perkara tentang perceraian sekaligus pengingkaran anak yang dilahirkan oleh istrinya dalam suatu ikatan perkawinan yang sah.

Dalam duduk perkara putusan tersebut menjelaskan bahwa antara Pemohon dengan Termohon sebelumnya telah dilangsungkan perkawinan yang sah sesuai dengan agama dan kepercayaannya serta telah pula dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi sebelum melangsungkan perkawinan sah tersebut Pemohon dengan Termohon telah lebih dahulu melakukan hubungan badan

11http://opi.11omb.com/faraidweb/12hakwarisanakhasilzinadanlian.htm, diakses pada tanggal 21 Februari 2012.

(7)

yang menurut pengakuan Pemohon dilakukan dengan cara coitus interuptus yaitu saat Pemohon merasa air maninya akan keluar Pemohon mengeluarkan alat kelaminnya dari kelamin Termohon dan Pemohon mengeluarkan air maninya di luar kelamin Termohon. Dengan cara ini Pemohon yakin bahwa hubungan badan yang dilakukan tersebut tidak akan menyebabkan kehamilan. Kemudian selang beberapa lama, Termohon mengatakan kepada Pemohon bahwa dirinya telah hamil dan meminta kepada Pemohon untuk segera menikahi Termohon. Dengan keadaan terpaksa, Pemohon pun menikahi Termohon. Namun Pemohon yakin bahwa anak yang dikandung Termohon bukanlah darah dagingnya. Kemudian setelah anak tersebut lahir, Pemohon mengingkari atau menyangkal anak yang telah dilahirkan oleh Termohon bukanlah darah daging Pemohon, sehingga Pemohon merasa memiliki cukup alasan untuk mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim untuk meneguhkan pengingkaran atau penyangkalannya terhadap anak tersebut dengan mengucapkan sumpah li’an. Demikian pula Termohon telah mengangkat sumpah

nukul (sumpah balik) untuk menegaskan bahwa Termohon tidak pernah melakukan

zina, sebagai balasan atas sumpah li’an yang diucapkan Pemohon yang mengingkari anak tersebut dengan menuduh Termohon melakukan perbuatan zina. Sehingga dengan adanya putusan tersebut putuslah perkawinan antara si Pemohon dengan Termohon sekaligus hubungan antara anak tersebut dengan ayahnya (Pemohon).

Tentu dalam perkara di atas yang menjadi korban adalah anak tersebut. Akibatnya akan ada hak-haknya sebagai anak yang tidak dapat ia peroleh. Yang paling jelas adalah bahwa hubungan nasab dan perwalian antara anak dengan

(8)

ayahnya tersebut tentulah menjadi tidak sama dengan anak-anak lainnya yang lahir dari perkawinan yang aman dan tentram. Anak tersebut juga tidak berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya. Kedudukan hukum anak tersebut juga dipertanyakan.

Di dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 mengenai kedudukan anak diatur dalam Bab IX Pasal 42 sampai Pasal 43. Masalah kedudukan anak ini, terutama dalam hubungannya dengan pihak ayahnya, sedangkan dalam hubungannya dengan pihak ibunya dapat dikatakan tidak terlalu susah untuk mengetahui siapa ibu dari anak yang dilahirkan tersebut. Sedangkan untuk mengetahui siapa ayah dari seorang anak, masih dapat menimbulkan kesulitan. Bagi seseorang, anak dianggap selalu mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Dengan pihak ayah, anak tidaklah demikian.13

Tetapi kemudian angin segar datang terhadap kedudukan anak yang digolongkan ke dalam anak luar kawin, salah satunya adalah anak li’an, dengan ditetapkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam hal pengujian materi, khususnya dalam hal ini materi Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Norma yang muncul dari perubahan Pasal 43 (1) Undang-Undang Perkawinan yang semula berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan

13Murdiningsih Hayuperwitasari, Tesis Peranan Notaris Dalam Proses Pengakuan Anak luar

kawin Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,

(9)

ibunya dan keluarga ibunya“, kini harus dibaca menjadi:“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.Dengan adanya Putusan Mahkamah Kontitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut, akibat yang timbul salah satunya adalah mengenai waris, yang mana salah satu sebab terjadinya kewarisan dalam hukum Islam adalah melalui hubungan kenasaban.

Namun Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut kemudian memunculkan berbagai komentar dan kontroversi. Menurut Ketua MUI, KH Ma’ruf Amin, putusan ini mengesankan adanya pertalian

nasab antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya, sehingga berdampak

konsekuensi yang luas termasuk dapat ditafsirkan mengesahkan hubungan nasab, waris, wali, dan nafkah antara anak luar kawin dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. Akibatnya dari putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tersebut dapat ditafsirkan pula bahwa kedudukan anak luar kawin dijadikan sama dengan kedudukan anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang sah, terutama hak waris, dan ini tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.14 Kemudian MUI memandang perlu mengeluarkan Fatwa Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil

14Idrus Syah, MUI: Putusan MK Soal Status Anak di Luar Nikah Melampaui

(10)

Zina dan Perlakuan Terhadapnya berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an, Hadist dan pendapat-pendapat para Jumhur Ulama, dan menetapkan bahwa anak luar kawin hanya mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafkah dengan ibu dan keluarga ibunya, tidak dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. Untuk tetap melindungi anak yang lahir dari hasil hubungan luar kawin tersebut MUI menetapkan pula bahwa Pemerintah berwenang untuk menjatuhkan hukuman bagi laki-laki yang menyebabkan lahirnya anak luar kawin tersebut dengan mewajibkannya untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut dan memberikan harta setelah ia meninggal dengan wasiat wajibah. Jadi bukan dengan jalan mengesahkan hubungan

nasab, wali nikah, waris, dan nafkah antara anak luar kawin dengan laki-laki yang

menyebabkan kelahirannya seperti yang tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut di atas.

Gambaran di atas tentunya melahirkan pertanyaan mengenai kedudukan hukum dan hak-hak anak li’an tersebut. Terutama mengenai hak kewarisan antara si anak dengan ayah yang telah mengingkarinya, oleh karena hubungan nasab yang seharusnya menjadi benang merah antara ayah dengan anaknya dalam hal kewarisan menjadi rusak dengan adanya li’an yang dilakukan seorang suami kepada istrinya, yang kemudian disusul pula dengan keluarnya Putusan Mahkamah Kontitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 dalam kaitannya dengan perkara li’andi atas dengan tetap berdasarkan pada hukum Islam.

(11)

Untuk itu, berdasarkan uraian latar belakang di atas tersebut maka akan dilakukan penelaahan lebih lanjut mengenai kewarisan anak li’an. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Anak Li’an Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan AgamaNomor 1595/Pdt.G/2010/PA. Sidoarjo)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut : 1. Mengapa li’an dapat mencegah hak waris anak dari ayah biologisnya ?

2. Bagaimana hubungan kenasaban dan kewarisan bagi anak li’an dalam perspektif hukum Islam pada Putusan Pengadilan Agamaperkara Nomor 1595/PDT. G/2010/PA Sidoarjo yang dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa MajelisUlama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya ?

3. Mengapa dalam Putusan Pengadilan AgamaNomor 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo dapat dilakukan sumpah li’an terhadap anak luar kawin yang lahir dalam perkawinan yang sah?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

(12)

1. Untuk mengetahui alasan li’an dapat mencegah hak waris anak dari ayah biologisnya.

2. Untuk mengetahui hubungan kenasaban dan kewarisan bagi anak li’an dalam perspektif hukum Islam pada Putusan Pengadilan AgamaNomor 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo yang dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya.

3. Untuk mengetahui sebab dapat dilakukannya sumpah li’an terhadap anak luar kawin yang lahir dalam perkawinan yang sah dalam Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis yang didasarkan pada tujuan penelitian15, yaitu :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta mendorong para pembacanya untuk dapat lebih mengerti dan memahami tentang pengetahuan mengenai hukum kewarisan terhadap anak khususnya dalam hal ini anak li’an dalam perspektif hukum Islam.

15 Calire Seltz et.,al : 1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian

(13)

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi aparat hukum dan masyarakat terkait dalam menghadapi perkara atau masalah yang berhubungan dengan kewarisan anak li’an. Selain itu, juga dapat memberi masukan bagi profesi Notaris, akademisi, pengacara dan mahasiswa.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Anak Li’an dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/Pdt.G/2010/PA Sidoarjo)” belum pernah ditemukan judul atau penelitian tentang judul di atas sebelumnya.

Dari hasil penelusuran keaslian penelitian, ada beberapa penelitian yang menyangkut tentang Kedudukan Anak luar kawin yang pernah dilakukan oleh Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dilakukan dengan pendekatan masalah yang berbeda, yaitu :

1. Judul Tesis “Perbandingan Status Hak Waris Anak luar kawin Antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan Hukum Perdata (BW)” yang ditulis oleh Fitri Zakiyah, NIM 087011044, Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, perumusan masalahnya adalah :

a. Bagaimana status hak waris anak luar kawin menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ?

(14)

b. Bagaimana status hak waris anak luar kawin menurut Hukum Perdata (BW) ?

c. Bagaimana perbandingan status hak waris anak luar kawin antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan Hukum Perdata (BW) ?

2. Judul Tesis “Analisis Yuridis Kedudukan Anak luar kawin Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata” yang ditulis oleh Ayu Yulia Sari, NIM 097011052, perumusan masalahnya adalah :

a. Bagaimana kriteria anak luar kawin dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?

b. Bagaimana kedudukan anak luar kawin berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?

c. Bagaimana akibat hukum anak luar kawin berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?

Oleh karena itu judul tesis ini dapat dijamin keasliannya sepanjang mengenai judul dan permasalahan seperti yang diuraikan di atas. Hal ini juga menambah keyakinan bahwa penelitian ini akan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam perkembangannya, ilmu hukum tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu termasuk ketergantungannya pada metodologi, karena aktivitas penelitian hukum dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.

(15)

Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.16

Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonan. Dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), dan juga simbolis.17

Menurut W.I. Neuman, yang pendapatnya dikutip dari Otje Salman dan Anton F. Susanto, menyebutkan bahwa :

“teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.18

Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukkan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variabel bersangkutan memang dapat mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab.

Menurut M. Solly Lubis, bahwa :

16J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting : M. Hisyam, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hlm. 203

17H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 21

(16)

“teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau begaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.”19

Malcom Walters, yang pendapatnya dikutip dari Otje Salman dan Anton F. Susanto, menyebutkan bahwa teori hendaknya meliputi semua pernyataan yang disusun dengan sengaja yang memenuhi semua kriteria :20

a. Pernyataan itu harus abstrak, yaitu harus dipisahkan dari praktek-praktek sosial yang dilakukan. Teori biasanya mencapai abstraksi melalui pengembangan konsep teknis yang hanya digunakan dalam komunitas sosiologis dan sosial. b. Pernyataan itu harus tematis. Argumentasi tematis tertentu harus diungkapkan

melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan pernyataan itu koheren dan kuat.

c. Pernyataan itu harus konsisten secara logika. Pernyataan-pernyataan itu tidak boleh saling berlawanan satu sama lain dan jika mungkin dapat ditarik kesimpulan dari satu dan lainnya.

d. Pernyataan itu harus dijelaskan. Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistensinya.

e. Pernyataan itu harus umum pada prinsipnya. Pernyataan itu harus dapat digunakan dan menerangkan semua atas contoh fenomena apapun yang mereka coba terangkan.

f. Pernyataan-pernyataan itu harus independen. Pernyataan itu tidak boleh dikurangi hingga penjelasan yang ditawarkan para partisipan untuk tingkah laku mereka sendiri.

g. Pernyataan-pernyataan itu secara substansi harus valid. Pernyataan itu harus konsisten tentang apa yang diketahui dunia sosial oleh partisipan dan ahli-ahli lainnya. Minimal harus ada aturan-aturan penerjemahan yang dapat menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lainnya.

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dan permasalahan yang dianalisis.

19M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 27 20H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto., Op.Cit., hlm. 23

(17)

Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum waris (faraidh), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui yang merupakan masukan bagi penulisan tesis ini.

Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah suatu keharusan. Hal ini dikarenakan kerangka teori itu digunakan sebagai landasan berfikir untuk menganalisis permasalahan yang dibahas.

Adapun teori yang dapat dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini adalah teori Maqashid al-Syariah. Dari segi bahasa Maqashid al-Syariah berarti maksud atau tujuan disyari’atkan hukum Islam. Oleh karena itu, yang menjadi bahasan utama didalamnya adalah mengenai masalah hikmat dan illat ditetapkannya suatu hukum. Dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, perlu diteliti lebih dahulu hakekat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap kasus yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya dalam menetapkan nash dalam suatu kasus yang baru, kandungan nash harus diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan disyari’atkan hukum tersebut.21

21 Fitri Zakiyah,Tesis Perbandingan Status Hak Waris Anak luar kawin Antara Kompilasi

Hukum Islam (KHI) Dengan Hukum Perdata (BW), Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan

(18)

Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqih, unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, yaitu :22 a. Memelihara agama b. Memelihara jiwa c. Memelihara akal d. Memelihara harta e. Memelihara keturunan f. Memelihara kehormatan23

Teori berikutnya yang menjadi teori pendukung dari teori Maqashid

al-Syari’ah adalah teori Mashlahah Mursalah, yang dalam Bahasa Indonesia kata mashlahah dikenal dengan maslahat. Mashlahah ini secara bahasa atau secara

etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan.24 Sedangkan menurut istilah atau epistemology, mashlahah diartikan oleh para ulama Islam dengan rumusan hampir bersamaan, diantaranya Al-Khawarizmi yang menyebutkan mashlahah adalah al-marodu bil-maslahatil-mukhaafazatu ‘ala maqsudi-syar’i bidaf’i-l mufaasidi ‘ani-l- kholqi, yaitu memelihara tujuan hukum

Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan diri manusia (makhluk). Sedangkan ulama telah berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan atau kehormatan, dan harta.25

22Ibid.

23M. Hasballah Thaib, Falsafah Hukum Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 1993, hlm. 6

24Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ke II, Balai Pustaka, Jakarta, 1996, hlm. 634.

25Mahmuzar, Maslahah-Mursalah; Suatu Metode Istinbath Hukum, http://www.fush.uin-suska.ac.id/attachments/073_Mahmuzar.pdf, diakses pada tanggal 1 mei 2012.

(19)

Tidak jauh berbeda dengan Al-Khawarizmi di atas, Al-Ghazali merumuskan

maslahah sebagai suatu tindakan memelihara tujuan syara’ atau tujuan hukum Islam,

sedangkan tujuan hukum Islam menurut Al-Ghazali adalah memelihara enam hal di atas. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari enam hal di atas disebut maslahah, dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadah, dan menolak mafsadah disebut maslahah.26

Dapat dilihat, bahwa memelihara kehormatan dan keturunan merupakan salah satu tujuan hukum Islam. Islam sangat melindungi kehormatan seorang muslim dan tidak membenarkan menuduh orang lain melakukan kejahatan tanpa adanya suatu bukti yang benar, tuduhan tanpa alasan berarti penghinaan. Tuduhan yang paling berat adalah menuduh orang berzina, baik yang tertuduh laki-laki ataupun perempuan.27 Larangan menuduh orang berzina telah jelas diatur dalam Al-Qur’an surah An-Nur (24) ayat 5 yang menyebutkan :

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik28 (berbuat

zina) dan tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Seperti halnya terhadap kasus li’an di atas, menuduh orang lain berzina, terlebih terhadap istri sendiri, akan berdampak besar, salah satunya terhadap keturunan yang lahir dalam perkawinan tersebut.

26Ibid.

27M. Hasballah Thaib, Falsafah Hukum Islam, Op.Cit., hlm. 9

28Yang dimaksud wanita-wanita yang baik-baik disini adalah wanita-wanita yang suci, akhil

(20)

Islam menganjurkan memelihara keturunan, bahkan salah satu dari hikmah perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan. Ditinjau dari tingkat kebutuhannya, memelihara keturunan dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :29 a. Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah

dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.

b. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq kepadanya.

c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’atkan khitbah atau walimat dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan.

Kaitan kedua teori di atas terhadap kasus li’ansekaligus pengingkaran anak yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya adalah bahwasanya bagaimanapun anak adalah darah daging orang yang membenihkannya, anak

li’antidak dapat disalahkan, tetapi yang salah adalah ibu/bapaknya berdasarkan benar

atau tidaknya tuduhan zina (li’an) yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya tersebut. Sehingga dengan demikian anak tersebut juga dapat diberikan kelonggaran untuk memperoleh hak-hak yang sama seperti anak-anak lain dalam perkawinan yang harmonis atau sekurang-kurangnya dapat diakui juga sebagai anak. Demikian juga dalam hal warisan hendaknya diberikan juga kepadanya bagian warisan dari pihak ayahnya yang mengingkarinya walaupun tidak sebesar bagian anak yang sah.

Anak merupakan anugerah yang sangat besar dari Allah SWT, oleh karena itu hendaknya juga dilahirkan dalam ikatan suci perkawinan. Namun, dalam

(21)

kenyataannya ada anak-anak yang diingkari oleh orangtuanya, terutama dalam hal ini adalah ayahnya, melalui sumpah li’an yang dijatuhkan kepada istrinya. Bagaimanapun juga anak adalah seorang manusia yang mempunyai harkat dan martabat yang harus dihormati dan memerlukan perlindungan, terutama dari kedua orang tuanya.

Salah satu contohnya adalah perlindungan terhadap asal usul anak. Seperti yang telah diuraikan di atas, sebelum terlahirkannya anak dalam keluarga maka harus dilakukan perkawinan, perkawinan itu sendiri menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk tangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ikatan lahir bathin yang disebut dengan perkawinan ini sudah tentu menimbulkan akibat hukum, baik bagi suami istri yang melakukan perkawinan itu sendiri maupun bagi anak-anak yang akan dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Salah satunya adalah hubungan kewarisan.

Menurut ketentuan hukum kewarisan untuk memperoleh warisan harus didasarkan atas hubungan antara ahli waris dengan si pewaris. Adapun faktor yang menjadi sebab terjadinya kewarisan dalam Al-Qur’an, faktornya ada tiga, yakni hubungan perkawinan, hubungan nasab, dan hubungan wala’.30

1. Hubungan Perkawinan

30Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir

(22)

Hubungan perkawinan adalah suami istri saling mewarisi karena mereka telah melakukan akad perkawinan secara sah. Dengan demikian, suami dapat menjadi ahli waris dari istrinya, demikian pula sebaliknya istri dapat menjadi ahli waris dari suaminya.

Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan yang sah adalah bilamana dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya itu dan perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan. Menurut agama islam, perkawinan baru dapat dikatakan sah apabila akad nikah dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan. Rukun perkawinan adalah hadirnya calon suami dan istri dalam akad nikah, ijab-qabul, dan adanya saksi. Sedangkan syarat yang harus dipenuhi dalam setiap unsur akad perkawinan dibagi tiga bagian. Pertama, syarat peristiwa hukumnya, yakni hadirnya pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan akad, baik dari pihak calon suami, calon istri, atau yang mewakili. Kedua, syarat sahnya, yakni hadirnya dua saksi di tempat calon istri diakadkan. Ketiga, syarat kemutlakan, yang harus ada untuk tidak terjadi fasakh atau dibatalkan akad itu, yakni calon suami dan istri sudah dewasa, suami tidak cacat jasmani, wali cakap, ada mahar dan calon suami tidak dipaksa.31

Sebaliknya, akad perkawinan yang tidak sah dalam segala bentuknya tidak akan menyebabkan adanya peristiwa hubungan kewarisan. Meskipun begitu, akan tetapi masih perlu dicatat bahwa pewarisan karena hubungan perkawinan akan berlaku, sepanjang suami atau istri yang wafat masih dalam batas-batas kewajaran,

(23)

yakni ia masih dalam talaq raj’i dan ahli waris antara keduanya masih ada. Dalam hal ini, Muhammad Abduh menafsirkan Al-Qur’ansurat An Nisa’ ayat 33 bahwa istri-istri adalah ahli waris bagi suaminya, bukan perjanjian menjadi sebab perkawinan.32 2. Hubungan Nasab

Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa sebab pertama terjadinya kewarisan adalah adanya hubungan perkawinan. Apabila perkawinan telah berlangsung, maka resmilah ada suami dan istri. Dari pasangan ini, lahir pula keturunan yakni anak. Apabila anak kawin dan mempunyai juga anak, maka anaknya itu disebut cucu. Begitulah seterusnya ke bawah.

Selanjutnya dari pasangan suami istri itu masing-masing mempunyai orang tua, dan orang tua itu, masing-masing juga mempunyai orang tua yang disebut kakek dan nenek. Demikian pula suami dan istri itu mempunyai saudara-saudara dan saudara-saudara tersebut masing-masing juga mempunyai keluarga sendiri. Lahirlah istilah sepupu, dan sebagainya.

Sahnya hubungan nasab, bukan saja karena telah terjadi akad perkawinan. Tetapi harus pula terjadi hubungan biologis antara suami istri. Meskipun begitu yang berlaku secara umum adalah bahwa hubungan nasab tetap sah tanpa terjadi hubungan biologis antara suami istri itu.33

Berdasarkan Al-Qur’an surat An Nisa’ ayat 11, ayat 12 dan ayat 176 bahwa yang berhak mendapat harta warisan karena hubungan nasab adalah 12 jenis ahli

32Ibid., hlm. 65 33Ibid.

(24)

waris yakni anak laki-laki, anak perempuan, suami, istri, ayah, ibu, saudara laki-laki sekandung, saudara perempuan sekandung, saudara laki-laki seayah, saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seibu, dan saudara perempuan seibu.

3. Hubungan Wala’

Yang dimaksud dengan hubungan wala’ adalah seseorang menjadi ahli waris karena ia telah memerdekakan budaknya. Jadi apabila seseorang telah dimerdekakan oleh tuannya, maka ketika ia wafat, ahli warisnya adalah bekas tuannya itu.

Perbedaan yang menonjol antara hubungan nasab dan hubungan wala’ adalah terletak pada ahli waris. Pada hubungan nasab, ahli waris adalah dari dalam lingkungan keluarga dekat. Sedangkan hubungan wala’, ahli waris adalah dari luar, yakni bekas tuannya.

Dasar yang dipegangi sehingga hubungan wala’ dapat menjadi ukuran terjadinya kewarisan adalah Al-Qur’ansurat An Nisa’ ayat 33.

2. Konsepsi

Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksidan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.34

34

(25)

Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.35

Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau yang akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini perlu dirumuskan serangkaian definisi operasional atas beberapa variabel yang digunakan, sehingga dengan demikian tidak akan menimbulkan perbedaan penafsiran atas sejumlah istilah dan masalah yang dibahas. Di samping itu, dengan adanya penegasan kerangka konsepsi ini, diperoleh suatu persamaan pandangan dalam menganalisis masalah yang diteliti, baik dipandang dari aspek yuridis, maupun dipandang dari aspek sosiologis.36

Definisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas masalah yang dibahas, karena istilah yang digunakan untuk membahas suatu masalah, tidak boleh memiliki makna ganda, perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :

a. Waris

35Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 7

(26)

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang diatur oleh hukum waris, dan hukum waris yang akan dipergunakan sebagai dasar untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah hukum kewarisan Islam.

Peraturan atau sistem waris yang diajarkan Islam merupakan sistem yang adil dan selaras dengan fitrah serta realitas kehidupan rumah tangga dan kemanusiaan pada setiap kondisi. Sistem waris yang ditetapkan dalam Islam, atas dasar kemanusiaan berupaya mengayomi asal pembentukan keluarga dari jiwa yang satu. Keistimewaan hukum Islam dalam masalah waris seluruhnya tampak jelas di hadapan mata laksana benda yang terlihat di siang hari. Islam menyampaikan hak-hak waris kepada orang-orang yang memang berhak menerimanya (mustahiqqin).37

Dalam hukum Islam, istilah ilmu waris dikenal dengan ilmu faraidh. Adapun yang dimaksud dengan faraidh adalah masalah-masalah pembagian harta warisan. Kata faraidh adalah bentuk jamak dari al-faridhah yang bermakna al-mafrudhah atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah ditentukan kadarnya.38

b. Li’an

Berasal dari kata la’an (mengutuk). Li’an adalah tuduhan suami terhadap istrinya bahwa ia telah berzina, misalnya dengan berkata : “Aku melihatnya sedang berzina!”, atau suami menolak janin yang dikandung istrinya sebagai anaknya.39

37Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Op.Cit., hlm. 7 38Ibid., hlm. 11

39Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim (Minhajul Muslim) Mu’amalah, Alih Bahasa : Rachmat Djatnika dan Sumpeno, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hlm. 216

(27)

c. Anak

Anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan. Di dalam Al-Qur’an anak sering disebutkan dengan kata walad-al walad yang berarti anak yang dilahirkan orang tuanya, laki-laki maupun perempuan, besar atau kecil, tunggal maupun banyak. Kata al walad dipakai untuk menggambarkan adanya hubungan keturunan.40

d. Anak Sah

Anak yang sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah :41

1) Anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah. 2) Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah.

Anak yang sah menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah :42 1) Anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah.

2) Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah.

3) Anak yang dilahirkan dari hasik pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri yang bersangkutan.

e. Anak Tidak Sah

Anak tidak sah adalah anak yang lahir dari hubungan perkawinan yang belum sah baik secara agama maupun secara hukum.43

40

Rudiansyah Pulungan, Paper Hak dan Kedudukan Anak Akibat Putusnya Perkawinan

Orang Tua, Sekolah Pascasarjana Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan,

2009, dc315.4shared.com/doc/bat7FjWp/preview.html, diakses pada tanggal 19 Maret 2012.

41Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam, Jilid II, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2007, hlm. 11.

42Ibid., hlm. 11-12

43Rinta Yani, Anak luar kawin,kompasiana.com/post/sosok/2012/01/28/anak-tidak-sah/, 2012, diakses pada tanggal 19 Maret 2012.

(28)

f. Anak Luar Kawin

Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam suatu ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya.44

g. Anak Li’an

Anak li’an adalah anak yang dilahirkan dari seorang istri yang sah, dimana suami tersebut tidak mengakuinya sebagai anaknya, karena suami tersebut telah menuduh sang istri telah berzina dengan lelaki lain. Sang suami telah bersumpah bahwa istrinya telah berzina dengan lelaki lain di depan hakim, begitu pula istrinya telah bersumpah dengan tujuan membela diri, bahwa tuduhan suaminya adalah dusta. Maka jika sang istri mengandung, anak tersebut disebut sebagai anak li’an.45

h. Nasab

Nasab adalah legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pertalian

darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama syubhat (zina). Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak

44Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 80.

(29)

itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab. Seperti hukum waris, pernikahan, perwalian dan lain sebagainya.46

i. Hukum Islam

Pengertian hukum Islam adalah hukum yang bersumber pada nilai-nilai keislaman yang berasal dari dalil-dalil agama Islam yakni Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ Ulama dan Qiyas. Bentuk hukumnya dapat berupa kesepakatan, larangan, anjuran, ketetapan, dan sebagainya.47

G. Metode Penelitian

Penelitian adalah pencarian atas sesuatu secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan.48

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.49

1. Sifat dan Jenis Penelitian

46Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Penerjemah : AM. Basalamah, Gema Insani Press, Bandung, t.th., hlm. 39

47Teguh Santoso, Hukum Islam:Pengertian dan Sumbernya, www.teguhsantoso.com, 2011, diakses pada tanggal 19 Maret 2012.

48Mohd. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 10 49Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 43

(30)

Sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif analitis. Bersifat deskriptif

analitis maksudnya penelitian ini termasuk penelitian yang menggambarkan,

menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya sekaligus menganalisis tentang kewarisan anak li’an berdasarkan pandangan hukum waris islam.

Jenis penelitian yang digunakan disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian dilakukan dengan cara menganalisis hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data skunder belaka yang lebih dikenal dengan nama bahan hukum skunder dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.50

Penelitian ini adalah untuk menganalisis kaedah hukum tentang kewarisan anak li’an ditinjau dari sudut pandang hukum waris Islam yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang berkaitan dengan kewarisan anak li’an, berdasarkan Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Kompilasi Hukum Islam yang pemberlakuannya didasarkan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1999, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, serta peraturan-peraturan perundangan lainnya yang terkait, sehingga diharapkan dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan mengenai

(31)

kewarisan anak li’an tersebut. Penelitian normatif ini mengutamakan penelitian kepustakaan (library research).51

Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan peraturan perundang-undangan yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan khususnya Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, kemudian menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku, Al-Qur’an, Hadist, dan Ijma’, melakukan pengkajian melalui peraturan perundang-undangan, Al-Qur’an, Hadist, dan Ijma’ yang berhubungan dengan pengaturan hukum dan implikasi pelaksanaannya di Indonesia maupun hukum yang diputuskan melalui proses pengadilan, khususnya dalam penelitian ini Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/Pdt. G/2010/PA Sidoarjo. Dalam hal ini penelitian dilakukan untuk menemukan hukum in-konkrito dan juga penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal.52

2. Sumber Data

Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, maka data yang digunakan sebagai data primer adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan antara lain meliputi bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tertier.

a. Bahan Hukum Primer

51Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 82

(32)

Bahan hukum primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, dan peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer bersifat autoriatif, artinya mempunyai otoritas, mempunyai kekuatan yang mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, 53 yaitu Al-Qur’an Hadist’, Ijma’, Kompilasi Hukum Islam yang pemberlakuannya didasarkan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan peraturan-peraturan perundangan lainnya, serta Putusan Pengadilan Agama Nomor 1595/Pdt. G/2010/PA Sidoarjo.

b. Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer yang berupa buku-buku fiqh, serta hasil penelitian dan atau karya ilmiah dari kalangan hukum tentang kewarisan terhadap anak li’an yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan juga penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder yang berupa kamus hukum, kamus fiqh, ensiklopedia, majalah, surat kabar, internet, jurnal-jurnal, yang akan dianalisis dengan tujuan untuk lebih memahami dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif, maka teknik

(33)

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) yakni upaya untuk memperoleh data dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, artikel, jurnal, dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian.54Dengan penelitian kepustakaan dikumpulkan data, membaca, dan mempelajari bahan-bahan kepustakaan yang terkait dengan judul.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.55

Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.56

Analisis data yang digunakan adalah secara kualitatif yang diartikan sebagai kegiatan menganalisis data secara komprehensif, yaitu data skunder dari berbagai kepustakaan dan literatur baik yang berupa buku, peraturan perundangan, tesis, disertasi, dan hasil penelitian atau karya ilmiah lainnya. Analisis data dilakukan setelah terlebih dahulu diadakan pemeriksaan, pengelompokkan, pengolahan dan evaluasi sehingga diketahui reabilitas data tersebut, lalu dianalisis secara kualitatif

54Sumandi Suryabrata, Metodologi Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 16 55

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hlm. 101

56

(34)

untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Adapun tahap-tahap dalam melakukan analisis secara kualitatif ini adalah :57

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian. c. Mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, azas, atau doktrin.

d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal, atau doktrin yang ada.

e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.

Dengan demikian kegiatan analisis data ini diharapkan akan dapat memberikan kesimpulan dari permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat serta dapat dipresentasikan dalam bentuk deduktif.

57 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 45.

Referensi

Dokumen terkait

The exact syntax of this file tends to vary from version to version of Drupal and is slightly different for modules and themes, so check the online documentation, or copy a file from

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat dikeluarkan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan mendukung

[r]

Sejarah awal pendidikan Islam mencatat bahwa kuttab terbagi atas dua karakteristik, yaitu: pertama , kuttab berfungsi sebagai tempat pendidikan yang memfokuskan

Merujuk pada penelitian sebelumnya yaitu Gokulakrishnan (2013) menyatakan minyak atsiri nilam mampu memberikan perlindungan 100% selama 280 menit, selain itu penelitian Ridwan

berghei sebesar 30,198% (Hapsari, 2012) sedangkan secara in vitro konsentrasi inhibitory concentration 50 (IC50) terhadap P. Berdasarkan temuan kebiasaan masyarakat di atas,

Perencanaan penilaian hasil belajar PPKn terdapat sepuluh indikator, yaitu guru memiliki dokumen, guru mencantumkan kompetensi dasar yang dinilai dalam kisi-kisi,