• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang utuh, hal ini menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang utuh, hal ini menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk yang"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1. Permasalahan

Semua kehidupan pada masing-masing manusia dalam struktur eksistensi memiliki empat aspek yaitu kepercayaan, filsafat, ilmu dan seni. Keempat aspek tersebut saling berinteraksi dan saling melengkapi menjadi sebuah keseluruhan yang utuh, hal ini menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk yang bereksistensi selalu menyisihkan waktunya untuk memenuhi kepuasan batin melalui berbagai ungkapan dan kegiatan baik kepercayaan, filsafat, ilmu maupun seni.

Setiap bangsa di dunia mempunyai akar dan sejarah seni rupa masing-masing, tidak terkecuali Bangsa Indonesia; suku-suku bangsa, nasionalisme dan kebudayaan yang menjadi bagian bangsa Indonesia, sudah tentu mempengaruhi corak dan ciri khas seni rupa Indonesia. Hal ini membuat corak dan khas seni rupa Indonesia menjadi beragam dan menarik untuk bahan kajian.

Kajian seni rupa Indonesia masih sangat sedikit untuk ditemukan, bila ada pun hanya mencakup kajian historis. Melihat upaya tersebut, meminjam istilah Aminudin T.H Siregar yang mengidentikkan antara seni rupa dan sejarah. Seolah-olah jika mengkaji seni rupa Indonesia maka hanya akan menemukan deretan-deretan sejarah. Dibandingkan seni rupa di Eropa satu perkembangan ke

(2)

perkembangan seni rupa yang lain sudah tidak terjadi penyangkalan, misal pendapat mengenai Ekspresionisme lahir karena adanya Post Impresionisme, sebuah karya lahir didukung oleh kebebasan berekspresi meskipun berdasarkan konsep impresionisme, akan berbeda apabila tidak ada kehidupan seorang Vincent van Gogh yang penuh penderitaan dan emosi yang meluap karenanya. Bagi Van Gogh, realitas dan emosi dipersatukan. Objek adalah alamiah dan batiniah (Prawira, 2000:23-24). Van Gogh keluar dari kaidah seni akademik, dan membebaskan diri (individualisasi) dalam berekspresi. Sedangkan di Indonesia masih didapati kebingungan-kebingungan dan kepentingan di dalam menentukan perkembangan seni rupa, setiap era memandang periodenya sebagai seni rupa Indonesia sesuatu yang sedang menjadi, cikal bakal dan sesuatu yang menjadi asal usul.

Agus Sachari (2002:7) dalam bukunya Estetika, makna, Simbol dan Daya mempertanyakan sebuah pertanyaan. “Apakah penyadaran keindahan itu awalnya terbit di belahan Barat atau Timur?”. Barat selalu direpresantasikan sebagai peradaban gemilang yang rautnya hingga sekarang tetap berlangsung. Timur selalu disingkirkan dan diposisikan sebagai peradaban yang lebih rendah dari pada Barat, dan ditekstualisasi mengalami peradaban historis.

Pertentangan mengenai seni rupa Barat atau Timur terjadi di Indonesia. Seni rupa Barat yang didominasi oleh seniman yang berlatar belakang akademik Barat dengan seniman otodidak Indonesia. Keberadaan periode seni rupa modern Indonesia telah lama menjadi perdebatan di antara para seniman dan akademisi yang mengkajinya. Sejak penyangkalan J. Hopman (1947: -) dalam majalah

(3)

Uitzicht sampai Oesman Effendi (1969) dalam makalah diskusi Pesta Seni Jakarta II. Kedua orang ini meragukan seni rupa Indonesia itu benar-benar ada dan sindromnya berkembang sebagai wacana akademis seni rupa modern Indonesia sampai saat ini.

Menurut Aminudin T.H Siregar dalam sebuah orasi budaya (Dewan Kesenian Jakarta: 1994) mengatakan, kebingungan merumuskan akar seni rupa modern tidak hanya dialami oleh Indonesia, negara-negara di Asia juga mengalami permasalahan yang sama. Kebingungan tersebut menjadi masuk akal sebab secara politis seni rupa modern memang milik Barat.

Modernisasi dalam bidang seni adalah pencerminan dari usaha-usaha pembaruan, pencarian kemungkinan-kemungkinan baru, suatu proses aksi reaksi yang tidak berkesudahan, betapa kokohnya suatu mazhab pada akhirnya akan digantikan oleh perkembangan baru dengan pemikiran yang berbeda dari yang sebelumnya. Demikian pula halnya dengan perkembangan seni rupa di Indonesia; mulai dari zaman Raden Saleh, Hindia Molek, PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), sampai kepada seni rupa Kontemporer, adalah periode yang lazim dalam menelusuri perkembangna seni rupa di Indonesia (Siregar, 2010: 39).

Berbicara mengenai seni rupa modern Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia). Sudjojono sebagai otak dan motor perkumpulan seni Indonesia pertama yang mencantumkan nama Indonesia tersebut. Sudjojono sendiri tidak mengatakan bahwa zamannya ialah zaman seni rupa modern, Sudjojono lebih suka istilah baru sebagai priodesasi zaman, seni rupa baru. Istilah “baru” dilihat dari konteks priode sesudah Hindia

(4)

molek, yang tidak lagi mengambarkan sawah, gunung dan pohon kelapa yang mengedepankan keindahan dan hanya mementingkan kemudahan berkarya untuk dijual pada penjajah. Sedangkan seni rupa baru yang digagas Sudjojono mencoba untuk mengajak para seniman untuk melihat keadaan dan konteks kemerdekaan yang sedang berlangsung, dengan semangat nasionalisme didalamnya. Sudjojono menginginkan agar seniman kembali ke realisme dan tidak lagi membohongi diri sendiri dengan lukisan yang serba indah alam Indonesia. Sudjojono berangapan bahwa lukisan yang dihasilkan ialah jiwa seorang seniman dalam karya, yaitu manifestasi isi jiwa seorang seniman, Sudjojono sendiri mengunakan istilah jiwa ketok, dalam menamakan keyakinan atau kredo tersebut. Sudjojono mengatakan kebenaran nomer satu baru keindahan.

Menurut Gilles Deleuze, seorang seniman dalam membuahkan karya, melampaui berbagai keadaan perseptual dan transisi afektif sesuatu yang dihidupkan (the lived). Deleuze mengatakan bahwa seorang seniman telah melihat sesuatu yang terlalu besar dalam kehidupan, juga terlalu tak tertahankan, dan rangkulan kehidupan yang timbal-balik dengan sesuatu yang mengancamnya. Sesuatu yang di lihat seniman seperti kota, desa, dan alam, mengkomposisi kehidupan, momen-momen tersebut kedalam bentuk-bentuk aliran. Deleuze sendiri mencontohkan seperti kubisme atau simultanisme, yang bercahaya tajam atau buram, yang ungu atau biru. Sudjojono sendiri lebih memilih Realis sebagai aliran untuk mengambarkan keadaan pada konteks zamannya. Sebagai seorang pemikir Sudjojono juga menyerukan pemikiran jiwa ketok yang diartikan sebagai kejujuran didalam karya. Pemikiran tersebut ditujukan kepada seniman pribumi

(5)

untuk melihat realitas perjuangan kemerdekaan. Sudjojono melalui jargon kembali ke realisme menyerukan pentingnya peran seniman untuk kembali kepada kejujuran dalam berkarya. Sudjojono menolak lukisan Mooi Indie jika lukisan- Mooi Indie berklise; gunung, sawah dan pohong kelapa dengan warna-warna yang sedikit gelap, objek lukisan Sudjojono berbeda, Sudjojono karya seninya mengambarkan objek sebagai realitas yang membawa warna sedikit terang, objek lukisan Sudjojono mengambarkan kenyataan perjuangan kemerdekaan di Indonesia. Karya-karya Sudjojono yang mengambarkan objek sebagai perjuangan kemerdekaan ialah Sekko (1950), Mengungsi (1951) dan Kawan-Kawan Revolusi (1947) (Bustam, 2013: 100-101). Melalui pemikiran dan karya Sudjojono tidak berlebihan bila Trisno Sumardjo dalam Mimbar Indonesia (8 Oktober 1949) menjuluksi Sudjojono sebagai bapak seni lukis Indonesia Modern.

Dalam penelitian ini, peneliti mencoba menggali pemikiran Sudjojono mengenai kredo jiwa ketok. Peneliti ingin memaparkan latar belakang dan pengaruh pemikiran jiwa ketok Sudjojono terhadap perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia. Analisis terhadap jiwa ketok Sudjojono ditinjau dengan pemikiran salah satu filsuf post-modern Gilles Deleuze.

2. Rumusan masalah

a. Apa hakikat seni menurut Gilles Deleuze?

b. Apa yang dimaksud dengan Kredo Jiwa ketok Sudjojono?

(6)

3. Keaslian penelitian

Sejauh pengamatan yang dilakukan peneliti belum pernah menemukan tulisan, jurnal atau buku-buku yang membahas secara terperinci mengenai kredo jiwa ketok Sudjojono yang ditinjau dari filsafat seni Gilles Deleuze. Sejauh ini penelusuran yang terkait dengan penelitian yang berhubungan dengan Jiwa ketok Sudjojono dan filsafat seni Gilles Deleuze adalah:

a. Suluh Pamuji. 2014. Relasi filsafat dan Sinema: Sebuah Proyeksi Atas Pemikiran Gilles Deleuze Dalam Cinema 1, Cinema 2 dan What Is Philosophy?. Skripsi. Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Skripsi ini mengunakan pemikiran Deleuze dalam tiga bukunya yaitu Cinema 1, Cinema 2 dan What Is Philosophy? untuk melihat relasi antara filsafat dan sinema.

b. Stanislaus Yangni. 2014. Estetika Seni Rupa Indonesia, Sebuah Jalan Putar: Studi Kasus terhadap Sudjojono, Affandi, dan Nashar. Penelitian ini pernah dipresentasikan pada Equator Symposium tahun 2014 yang diselengaraan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta di Gedung Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Presentasi tersebut membahas tentang bagaimana estetika pada lukisan-lukisan Sudjojono, Affandi, dan Nashar, secara estetika dan teknis seperti sapuan kuas atau teknis pelukis.

c. Anastasia Jessica Adinda S. 2013. Hakekat Seni dalam Pemikiran Sudjojono dan Relevansinya dengan Seni Rupa Kontemporer di Indonesia. Tesis. Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada,

(7)

Yogyakarta. Tesis ini menjelaskan tentang Hakekat seni Sudjojono melalui pemikiran dan karya seni Sudjojono.

d. Farah Wardani. 1985 Jurnal dengan judul Sudjojono, Seni Rupa yang Menjawab Tantangan Masa Kini. Jurnal tersebut membahas teknis lukisan Sudjojono yang diangap sebagai salah satu lukisan pelopor seni rupa modern Indonesia yang menggabungkan teknik dan gaya seni rupa modern dengan jiwa/nuansa lokal seperti dalam seni tradisi.

Sejauh penelusuran yang peneliti lakukan sampai saat ini, peneliti belum melihat dan menemukan adanya kemungkinan sumber yang sama mencatat secara khusus tentang kredo jiwa ketok Sudjojono yang ditinjau mengunakan filsafat seni Gilles deleuze.

4. Manfaat penelitian a. Bagi filsafat:

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana baru bagi kajian filsafat seni di Indonesia dan membuka wawasan baru mengenai kajian seni menurut salah satu pemikir postmodern Gilles Deleuze.

b. Bagi bangsa dan negara

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan kajian seni rupa modern Indonesia yang masih sangat sukar ditemukan dan bagi perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia.

(8)

c. Bagi peneliti:

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti. Pertama, selain menambah wawasan penelitian ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran untuk membiasakan diri berfikir secara sistematis dan filosofis dalam mengkaji suatu permasalahan seputar seni rupa modern dan memahami alur pikir tokoh dalam hal ini Gilles Deleuze. Harapan kedua, peneliti dapat menemukan inti permasalahan dan kemudian dapat menyumbangkan pemikiran baru dalam perkembangan filsafat seni di Indonesia.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab persoalan yang ada pada rumusan masalah, yaitu:

1. Memaparkan dan menjelaskan Kredo Jiwa ketok Sudjojono. 2. Menjelaskan pemikiran Gilles Deleuze mengenai filsafat seni.

3. Menganalisis Kredo Jiwa ketok Sudjojono ditinjau dari filsafat seni Gilles Deleuze.

C. Tinjauan Pustaka

Seni merupakan salah satu bagian penting dalam pengungkapan eksistensi manusia. Seni telah menjadi bagian dari bahasa manusia yang mendunia. Menurut Kattsoff (2003:366) dalam bukunya Pengantar Filsafat jika membicarakan tentang seni yang hanya mengungkapkan keindahan, sebenarnya berbicara

(9)

mengenai teori estetika yang dewasa ini mendapatkan banyak tantangan. Kaum seniman ada yang mengatakan bahwa seni merupakan bahasa perasaan. Seni sendiri telah menjadi bagian penting dalam dunia filsafat karena sifatnya yang tidak lagi sekedar bentuk sebagai karya seni yang estetis tetapi, lebih sebagai nilai untuk sampai kepada manusia, dari itu Sumardjo (2000: 7) mengolongkan seni sebagai lembaga kebenaran yang bersifat spiritual, sejajar dengan agama dan filsafat.

Usaha pendefinisian seni sebagai sesuatu yang estetis telah lama ditinggalkan bahwa dalam perkembangan seni rupa „kekinian‟ mengenai persoalan seni telah bergeser menjadi persoalan “apakah seni itu bernilai?” dengan pertanyaan lanjutan “apakah yang ingin disampaikan seniman?”. Penciptaan karya seni, oleh seorang seniman yang baik tentu saja dalam setiap karya yang dihasilkan membawa nilai. Dharsono (2003: 23) dalam Tinjauan Seni Rupa Modern, mengungkapkan bahwa karya seni lahir dari seniman yang kreatif, artinya seniman selalu berusaha meningkatkan sensibilitas dan persepsi terhadap dinamika kehidupan masyarakat bukan hanya itu seniman yang baik pula memiliki kemampuan untuk membawa masyarakat kedalam selera seni yang lebih dalam, bukan selera yang mengarah kepada kedangkalan seni. Hal tersebut membutuhkan kreatifitas seniman dalam proses cipta seni.

Pemikir seni rupa Indonesia salah satunya ialah Sudjojono, buah pikirannya ialah kredo jiwa ketok. Jiwa ketok merupakan term dalam bahasa jawa yang berarti jiwa nampak, dalam bahasa Inggris Visible soul. Jiwa yang nampak disini bukan jiwa yang nampak secara kasat mata karena jiwa sendiri bersifat

(10)

batiniah, sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata. Simon Blackburn (2013: 821) dalam Kamus Filsafat mencatat jiwa sebagai “aku” yang non-materi, memiliki pengalaman sadar, pengendalian hasrat, keinginan dan tindakan, dan mengandung identitas sempurna sejak lahir (atau sebelumnya) hingga kematian (atau sesudahnya). Jiwa ada dalam setiap manusia, baik sebelum menjadi manusia ataupun selepas manusia, walaupun jiwa bersifat batiniah secara entitas aktual jiwa bersifat ada sebagai kenyataan dasar manusia.

Pemikiran Sudjojono mengenai jiwa ketok lahir pada masa pencarian kebribadian Indonesia tahun 1930-an. Pada saat itu Sudjojono menolak lukisan yang dikatakan sebagai Mooi Indie (Hindia Molek), yang menurut Sudjojono merupakan lukisan yang serba bagus dan romantis bagai di surga, serba enak, tenang, dan damai namun mengesampingkan realitas kemerdekaan yang tidak seindah digambarkan, lukisan Mooi Indie ini identik dengan gambar pemandangan alam Indonesia (dengan kecenderungan gaya naturalis-romantis) yang digemari para turis asing. Jenis lukisan Mooi Indie marak di era antara Raden Saleh (1807-1880) dan Sudjojono (1913-1985) (Yangni, 2012: 15).

R. Saleh Syarif Bustaman (1807-1880) atau bisa dikenal sebagai Raden Saleh tercatat sebagai pelukis pertama yang berkarya sejak awal abad-20. Meskipun demikian, mereka tidak mempunyai banyak penerus setelah Republik Indonesia berdiri, dalam perkembangan seni rupa yang disebut seniman Mooi-Indie atau Hindia molek dan penerus-penerusnya disingkirkan dari pembicaraan seni rupa modern Indonesia. Bapak-bapak seni rupa modern Indonesia baru muncul pada generasi kedua yang rata-rata kelahiran tahun belasan abad-20.

(11)

Generasi keduanya ini antara lain Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan, Sudarso, Surono (Sumardjo, 2009: 67-68).

Sejarah seni lukis Indonesia mencatat bahwa Raden Saleh sebagai perintis seni lukis modern Indonesia bisa dibenarkan dalam versi Barat, namun Sudjojono yang pertama memiliki kesadaran sejarah, bahwa ada bahaya yang harus segera diselesaikan olah para seniman yaitu ancaman Mooi Indie. Selain pelukis, Sudjojono juga pemikir. Sudjojono menangkap kondisi kurang sehat praktik berkesenian di kalangan seniman. Ketika itu, pelukis Indonesia „membeo‟ pelukis asing dengan karya-karya mereka yang berciri turistik, seniman tak punya kekuatan sendiri untuk mencipta yang berbeda (Yangni, 2012: 14). Sudjojono adalah orang yang benar-benar lantang menyuarakan penolakan terhadap lukisan-lukisan Mooi Indie yang diangapnya „membohongi diri sendiri‟ karena menuruti permintaan pasar dan mengesampingkan realitas kehidupan pada konteks zaman kemerdekaan.

Pada 1937, bersama Agus Djajasoeminta dan rekan-rekan pelukis lain seperti Henk Ngantung, Suromo, Surono, Abdulsalam, Hutagalung, Tutur dan Sudiardjo, Sudjojono mendirikan PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia). PERSAGI didirikan sebagai sikap tegas penolakan terhadap aliran seni lukis “Mooi Indie”, yang semata-mata didirikan untuk memenuhi minat orang-orang Barat yang datang sebagai turis, pejabat-pejabat Belanda atau tuan-tuan perkebunan yang setelah pensiun pulang ke negerinya, ingin mempunyai kenangan dari negeri indah jajahannya yang telah membuat mereka kaya (Bustam, 2013: 240). Sudjojono sendiri mengaku menuliskan pikiran-pikiran seni rupanya

(12)

atas kehendak pribadi bukan mengatas namakan PERSAGI (Sumardjo, 2009: 71). PERSAGI di samping melukis bersama juga menyelengarakan diskusi, ceramah, dan pameran. Organisasi pelukis yang letaknya di Jakarta ini berada di pusat kegiatan seni rupa kolonial dengan oposisinya Bataviasche Kunstkring. Tantangan hidupnya lebih keras bersaing dengan pelukis-pelukis kolonial yang rata-rata lulusan akademis (Sumardjo, 2009: 71).

Menurut Pirous (2003:59) penolakan terhadap generasi pertama sebenarnya lebih merupakan akibat saja. Generasi pertama ini dibesarkan dalam iklim seni rupa modern kolonial yang lulusan akademis Eropa, sedangkan generasi kedua ini tidak pernah duduk di bangku akademis manapun. Senada dengan Pirous, Dharsono (2003:140) mengungkapkan bahwa sejarah mencatat, perkembangan seni rupa Indonesia pada tiap zamannya banyak dipengaruhi oleh kolonialisme terutama pada perkembangan seni rupa modern Indonesia yang selalu terkait dengan perubahan sosial dan juga memuat konteks-konteks sosial, ekonomi maupun kebudayaan. Hal ini dapat dibenarkan bahwa dalam periodesasi seni rupa Indonesia terdapat perubahan yang signifikan dari zaman Hindia molek atau Mooi Indie ke zaman PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) karena pengaruh Nasionalisme yang merebak pada tahun 1930an.

Secara umum, kelahiran PERSAGI merupakan bagian dari kebangkitan nasionalisme kebudayaan. Tahun 1930-an adalah masa-masa perdebatan mengenai masalah yang mengitari bentuk dan arah yang cocok bagi perkembangan kepribadian Indonesia dan pengungkapannya dalam suatu kebudayaan nasional.

(13)

Kalangan nasionalis dari para pengarang, pelukis dan kaum intelektual melibatkan diri kedalam permasalahan yang diperdebatkan itu (Miklouho-Maklai, 1998: 11).

D. Landasan Teori

Pertanyaan yang menarik untuk diperbincangkan adalah tentang arti seni. Terlebih bila dilihat bukan hanya dari asal bahasa melainkan juga dari fungsi seni tersebut. Menurut Jakob Sumardjo (2000: 41) kata „seni‟ telah umum dipakai sebagai padanan kata Inggris art, tetapi kapankan sebenarnya kata seni itu mulai dipakai dalam pengertian tersebut? kata seni berasal dari bahasa Melayu-tinggi, untuk membedakan dengan Melayu-rendah di zaman kolonial, yang berarti kecil, tetapi dalam majalah Pujangga Baru, 10 April 1935, telah dipakai kata seni dalam pengertian seperti yang sekarang dipakai, yaitu art.

Kattsoff (2003: 368) mempertanyakan “Apakah seorang seniman berusaha memberitahukan sesuatu?”,jika demikian apakah yang hendak diberitahukan? dan apakah seni adalah bahasa tertentu? mempertanyakan kembali pertanyaan diatas akan memahami bahwa seni rupa merupakan salah satu bahasa universal manusia. Menurut The Liang Gie (1996: 41) sedikitnya seni memiliki lima ciri atau dikatakan Gie sebagai sifat dasar seni. Pertama, sifat kreatif dari seni yaitu seni sebagai rangkaian kegiatan manusia selalu menciptakan sesuatu realitas yang baru. Kedua, individualisasi, seni senantiasa dihasilkan individu maka seni merupakan individualitas yang khas. Ketiga, seni ialah menyangkut perasaan manusia yaitu karya seni adalah emosi yang muncul atau diperoleh dari pengalaman hidup seniman. Keempat, keabadian, setelah diciptakan dan

(14)

menciptakan realitas baru, karya seni bertahan walaupun penciptanya/seniman sudah tidak ada lagi. Kelima, sifat semesta seni yang hadir dimanapun dan tumbuh sepanjang masa, karena manusia memiliki perasaan dan seni menjadi bahasanya. (Gie, 1996: 41-46).

Deleuze mengatakan bahwa, melukis, ialah merangkai atau mengambar sensasi. Sensasi bukanlah persepsi yang mengacu pada sebuah objek (referensi), maka Deleuze menolak lukisan yang sama persis, lebih lanjut Deleuze mengatakan bahwa jika sensasi menyerupai sesuatu, itu terjadi dengan suatu keserupaan yang dihasilkan melalui metodenya sendiri. Hal ini metode merupakan kekhasan seniman dalam penciptaan suatu karya. Misal lukisan Sudjojono mengenai Gunung atau pemandangan akan berbeda dengan lukisan Raden saleh atau Basuki Abdullah karena setiap seniman diharapkan mempunyai ciri khas dalam dirinya. Kalau keserupaan sering membayangi karya seni, hal itu karena sensasi hanya mengacu pada material-materialnya, karya seni adalah persep dan afek dari material itu sendiri (Deleuze, 2010: 184). Seniman yang menciptakan persep dan afek pada lukisan, jadi persep bukan lagi persepsi pada penonton karya, persep independen dari keadaan penonton yang mengalaminya, persep juga bukan lagi persepsi yang diberikan seniman, persep melampaui persepsi. Dengan kata lain penonton seni tidak memberikan persepsinya terhadap karya seni, melainkan karya senilah yang meberikan sensasinya. Karya seni yang bebas dari persepsi dan afeksi merupakan cara untuk membuat karya seni menjadi abadi.

Deleuze (2010: 185) mengatakan selama material bertahan, sensasi dalam karya seni menikmati keabadian dalam momen kebertahanan. Sensasi tidak

(15)

terealisasi pada bahan-material tanpa material itu sendiri sepenuhnya melintas masuk kedalam sensasi seluruh material dalam karya seni menjadi ekspresif. Setelah seni telah menjadi karya seni (sensasi), karya seni berdiri dalam dirinya sendiri terlepas dari persepsi seniman dan penonton karya, oleh karena itu sensasi tidaklah diwarnai melainkan mewarnai.

Deleuze berangapan bahwa seorang pelukis ialah seorang yang “Membawakan di depan kanvas-kanvas yang terpancing” bukan sebuah keserupaan melainkan sensasi murni, Deleuze sendiri mengatakan seperti “sekuntum bunga yang tersiksa, lanskap yang tersayat, tertekan dan terbajak,” (Deleuze, 2010: 185).

E. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian ini adalah penelitian sosial-humaniora dengan bidang ilmu filsafat. Penelitian ini berjenis penelitian kepustakaan (Library research), seluruh bersumber dari literatur kepustakaan, baik buku maupun artikel-artikel yang dimuat di berbagai jurnal ilmiah.

2. Bahan dan materi penelitian

Bahan dan materi penelitian diperoleh dari pustaka yang membahas tentang kredo Jiwa ketok Sudjojono dan pemikiran Gilles Deleuze mengenai filsafat seni. Data ini dibagi dua yaitu pustaka primer dan sekunder.

(16)

a. Data primer

Data primer dalam penelitian ini adalah buku-buku yang berkaitan dengan seni rupa modern Indonesia dalam hal ini pemikiran S Sudjojono. Selain itu buku-buku yang terkait filsafat seni juga akan peneliti gunakan dalam keperluan analisis.

Data primer yang peneliti dapatkan diantaranya adalah:

1) Sudjojono, S, 2000. Seni Lukis, Kesenian dan seniman. Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia

2) Sudjojono, S, 1948. Kami Tahu Kemana Seni Rupa Indonesia Akan Kami Bawa

3) Deleuze, Gilles, & Felix Guattari, 2010, What is Philosophie? Reinterpretasi atas filsafat, Sains, dan Seni, Penerjemah. Indra Purnama, Yogyakarta: Jalasutra

4) Deleuze, Gilles, 1981, Francis Bacon, The Logic of Sensation, Penerjemah dari Prancis ke Inggris. daniel W. Smith, London: Continuum

b. Data sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah berbagai tulisan maupun artikel yang terkait dengan tema penelitian, baik yang berhubungan dengan objek material maupun objek formal penelitian. Tulisan-tulisan tersebut akan peneliti gunakan sebagai bahan pelengkap dan data-data tambahan penelitian.

(17)

3. Jalan penelitian

Adapun jalannya penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Inventarisasi data

Pada tahapan ini pertama ini dilakukan upaya pengumpulan data kepustakaan sebanyak mungkin, baik secara konvensional maupun secara online. Data terkait dengan tema penelitian, baik itu berhubungan dengan objek formal maupun objek material. Hal ini dimaksudkan mempermudah alur berfikir peneliti.

b. Analisis data

Tahap ini ialah tahap inti penelitian yaitu menganalisis data sistematis yang telah dikumpulkan dan diklasifikasi dengan seksama. c. Evaluasi kritis

Evaluasi kritis dilakukan pada tahap terakhir setelah kedua tahapan sebelumnya telah dilalui. Evaluasi kritis digunakan oleh peneliti untuk memberikan penerapan hasil yang lebih kritis secara berimbang dan objektif.

4. Analisis hasil

Analisis data pada penelitian ini mengacu pada buku karangan Anton Bakker dan Ahmad Charis Zubair (1990) dengan menggunakan metode hermeneutik dengan langkah metodis sebagai berikut:

(18)

a. Deskripsi: melalui unsur metodis data-data mengenai Kredo Jiwa ketok Sudjojono. Tujuannya adalah memperoleh gambaran yang jelas mengenai topik penelitian.

b. Interpretasi: dengan unsur metodis ini, peneliti berusaha menangkap serta memahami isi atau makna dari data yang telah ditemukan, kemudian menguraikan makna dari data tersebut.

c. Koherensi Intern: peneliti mencari keterkaitan antara objek materi dan objek formal, yakni kredo Jiwa ketok Sudjojono dan filsafat seni Gilles Deleuze.

d. Refleksi: dengan unsur metodis ini peneliti akan berupaya merefleksikan secara kritis mengenai kredo Jiwa ketok Sudjojono yang ditinjau dengan filsafat seni Gilles Deleuze, yang sesuai dengan pemahaman peneliti berdasarkan data-data yang telah diuraikan secara lengkap, kemudian menguraikan pandangan khas peneliti untuk menghasilkan pandangan baru.

F. Hasil Yang Ingin Dicapai

1. Memperoleh penjelasan dan pemahaman tentang kredo Jiwa ketok Sudjojono. 2. Memperolah pemahaman tentang pemikiran Gilles Deleuze mengenai filsafat

seni.

3. Menganalisis bagaimana kredo Jiwa ketok Sudjojono dilihat dari filsafat seni Gilles Deleuze

(19)

G. Sistematika Penelitian

Penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang ingin dicapai, dan sistematika penelitian.

Bab kedua, Menguraikan objek formal dalam penelitian ini yang berisi uraian mengenai pemikiran Gilles Deleuze yang diawali dengan riwayat hidup, dan priodesasi pemikiran Gillez Deleuze, pemikiran filsafat seni Gillez Deleuze dan sensasi sebagai tujuan seni

Bab ketiga, menggali pemikiran Sudjojono mengenai kredo Jiwa Ketok. Dalam bab ketiga ini akan memaparkan antara lain: Pengertian jiwa ketok, latar belakang pemikiran Sudjojono yaitu, bagaimana terbentuknya pemikiran Sudjojono mengenai kredo jiwa ketok, dan pemikiran Sudjojono mengenai Jiwa Ketok. Bab keempat, berisi tentang analisis kredo jiwa ketok Sudjojono yang dilihat dari pemikiran Gilles Deleuze mengenai filsafat seni.

Bab kelima, berisi penutup yang memuat kesimpulan dengan meringkas secara garis besar pembahasan penelitian dan saran dari peneliti.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa berdasarkan hasil penelitian di Dusun Polaman Argorejo dari 90 responden yang diteliti, responden yang tidak aktif mengikuti senam

S.E., M.Si Chaidir Iswanaji, S.E., M.Akt 14 Dina Febriyanti Bank Mandiri Syariah KCP.. Temanggung Chaidir Iswanaji, S.E., M.Akt Supanji Setyawan, S.Pd.,

3.1. Logo Simbol, yaitu logo berupa ‘tanda’ yang sudah dikenal dan dipahami oleh banyak komunitas bahkan antara bangsa karena sudah menjadi kesepakatan bersama, dima- na

Pola komunikasi yang dibangun Pemkot Cimahi kepada dua target audiens yaitu pelaku UMKM dan masyarakat dalam kampanye perubahan merek Kota Cimahi sebagai Creative City terbagi

Dalam struktur kurikulum hasil pengembangan, pengajian kitab kuning terintegrasi dengan komponen mata pelajaran PAI (al-Quran, Hadis, Tauhid/Aqidah, Akhlak, Fiqih, SKI, dan

BAB III: Kendala Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) Dalam Memerangi Cyber Crime : Aspek Koordinasi dan Kerjasama Internasional... Beberapa Penanggulangan Global

Fraksi terpenoid daun katuk memiliki pengaruh baik terhadap profil lipid yang dapat menurunkan kadar kolesterol total, trigliserida, LDL, dan meningkatkan kadar HDL dengan dosis

Strategi STP (Segmentasi, Targeting, Positioning ) Salon Karisma Jember Jember dalam Menghadapi Persaingan ; Nur Shaila, 100210301105; 2014: 70 halaman; Program Studi Pendidikan