• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI ORANGTUA- REMAJA DENGAN REGULASI EMOSI PADA REMAJA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS DKI JAKARTA. Bestari Wahyuning Putri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI ORANGTUA- REMAJA DENGAN REGULASI EMOSI PADA REMAJA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS DKI JAKARTA. Bestari Wahyuning Putri"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KOMUNIKASI

ORANGTUA-REMAJA DENGAN REGULASI EMOSI PADA ORANGTUA-REMAJA DI

SEKOLAH MENENGAH ATAS

DKI JAKARTA

Bestari Wahyuning Putri

bestariwp@yahoo.com

Dosen Pembimbing : Katarina Ira Puspita, S.Psi., M.Psi

Binus University : Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11530. Telp. (62-21) 535 0660 Fax. (62-21) 535 0644

ABSTRACT

The research was conduct on students aged 15-18 years of high school students in Jakarta, the

previous research has found that there is a relationship between bad emotion regulation with

juvenile delinquency. The purpose of this study is to investigate the relationship between parents

communication with emotion regulation in adolescence on High School Student in Jakarta.

Research sample is 250 students aged 15-18 of high school students in Jakarta. The data was

collected using an emotion regulation questionnaire by Gross and communication questionnaire by

Barnes. the data then analyzed using Pearson correlation product moment. Accidental sampling is

used as the technique sampling. Based on this research, it is known that there is a positive

relationship between parent communication with Emotion Regulation in adolescence on High

School Student in Jakarta.

Keywords:

(2)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan pada siswa berusia 15-18 tahun pada siswa SMU di DKI Jakarta. Tujuan

dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara komunikasi orangtua dengan regulasi

emosi di Sekolah Menengah Atas DKI Jakarta, karena menurut penelitian sebelumnya terdapat

hubungan antara regulasi emosi yang kurang baik dengan kenakalan remaja. Sampel penelitian ini

sejumlah 250 orang siswa berusia 15-18 tahun yang merupakan siswa SMU di DKI Jakarta.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner regulasi emosi milik Gross, dan

kuesioner komunikasi dari Barnes. data yang didapat kemudian diolah dengan menggunakan teknik

korelasi pearson. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa ada hubungan positif antara Komunikasi Orangtua

dengan regulasi emosidi Sekolah Menengah Atas DKI Jakarta.

Kata Kunci :

Komunikasi Orangtua, regulasi emosi

PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini kenakalan pada remaja semakin meningkat. Kapolda Metro Jaya Irjen Putut

Bayu Ajiseno mengatakan bahwa terjadi peningkatan kenakalan remaja sebanyak 11 kasus atau

36.66% di tahun 2012. Total kasus kenakalan remaja yang terjadi selama 2012 mencapai 41 kasus,

sementara pada tahun 2011 hanya 30 kasus (http://news.detik.com). Situs Badan Kependudukan dan

Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memberitakan bahwa dari 2.4 juta kasus aborsi, 700.000

hingga 800.000 pelakunya adalah remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional

(BNN) dan Universitas Indonesia (UI) juga menemukan bahwa jumlah pengguna narkoba sebesar

1.5% dari populasi remaja Indonesia yang mencapai 30% dari jumlah penduduk indonesia atau 3.2

juta orang (

http://ntb.bkkbn.go.id

).

Tingginya angka kenakalan remaja di Indonesia cukup menghawatirkan. Menurut Data Biro

Statistik Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, 5 provinsi di Indonesia yang memiliki angka

kenakalan remaja yang tinggi adalah Provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa

(3)

Data yang dihimpun oleh Komnas Anak menunjukkan, jumlah tawuran pelajar sudah

memperlihatkan kenaikan pada enam bulan pertama tahun 2012. Hingga bulan Juni, sudah

terjadi 139 tawuran kasus tawuran di wilayah Jakarta. Sebanyak 12 kasus menyebabkan

kematian. Sementara pada 2011, ada 339 kasus tawuran menyebabkan 82 anak meninggal

dunia. Berdasarkan data kasus tawuran pelajar 2012 di wilayah hukum Polda Metro Jaya,

sudah terjadi puluhan kasus tawuran pelajar yang menimbulkan korban luka dan meninggal

dunia (

http://metro.news.viva.co.id

).

Terdapat dua faktor yang dapat memicu seorang anak melakukan kenakalan remaja,

baik internal maupun eksternal. Faktor internal didalamnya termasuk krisis identitas dan

kurangnya kontrol diri. Sedangkan faktor eksternal meliputi perceraian orang tua, tidak

adanya komunikasi didalam keluarga dan perselisahan antar anggota keluarga (Marhaeni,

2012). Penelitian yang dilakukan oleh Faridh (2008) yang dilakukan pada pelajar Sekolah

Menengah Atas PIRI 2 Yogyakarta, dengan rentang usia 15-17 tahun menunjukkan bahwa

semakin tinggi regulasi emosi seorang remaja maka akan semakin sedikit kecenderungan

remaja untuk melakukan kenakalan.

Pada penelitian sebelumnya ditemukan bahwa, emosi yang negatif secara konsisten

mengarah pada kegagalan kontrol diri. faktanya, kegagalan ini terjadi karena emosi negatif

yang dirasakan oleh individu memprioritaskan tujuan dari regulasi emosi itu sendiri daripada

kontrol diri (Rugar, 2013).

Penelitian lain menemukan bahwa terdapat hubungan antara regulasi emosi yang

rendah pada awal masa remaja dengan perilaku seksual berbahaya (Crocket, Raffelli, & Shen,

dalam Smith-Israel, 2009). Remaja yang kurang memiliki kemampuan meregulasi emosi

cenderung lebih mudah untuk mengeluarkan emosi yang biasanya menghasilkan gejala lebih

lanjut, seperti agresi, depresi dan penggunaan obat-obatan (Smith-Israel, 2009). Hasil ini

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara regulasi emosi dengan berbagai perilaku

remaja, salah satunya kenakalan yang dilakukan oleh remaja.

Regulasi emosi adalah kemampuan seseorang dalam menyesuaikan intensitas atau

durasi dari reaksi emosional, baik yang positif maupun negatif ke tahap yang lebih

menyenangkan sehingga dapat mencapai tujuan (Gross, 2007). Menurut Salovey dan Sluyter

(Kartika, 2004) Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi regulasi emosi. Pertama adalah usia

dan jenis kelamin. Anak perempuan yang berusia 7 hingga 17 tahun lebih mampu meluapkan

emosi jika dibandingkan dengan anak laki-laki, dan anak perempuan mencari dukungan lebih

banyak jika dibandingkan dengan anak laki-laki yang lebih memilih untuk meluapkan

emosinya dengan melakukan latihan fisik (Santrock,2003). Kedua adalah hubungan

interpersonal. hubungan interpersonal dan regulasi emosi berhubungan dan saling

mempengaruhi (Salovey dan Sluyter, dalam Kartika, 2004). Jika individu ingin mencapai

suatu tujuan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan individu lainnya, maka emosi akan

meningkat. Biasanya emosi positif meningkat bila individu mencapai tujuannya dan emosi

negatif meningkat bila individu menemui kesulitan dalam mencapai tujuannya. (Kartika,

2004) Ketiga adalah hubungan antara orang tua dengan anak, dikemukakan oleh Banerju

(dalam Kartika, 2004).

Orang tua memiliki pengaruh dalam emosi anak-anaknya. Orang tua menetapkan dasar

dari perkembangan emosi anak dan hubungan antara orangtua dan anak menentukan konteks

untuk tingkat perkembangan emosi di masa remaja (Israel, 2009). Regulasi emosi yang

dimiliki orangtua juga dapat mempengaruhi hubungan orangtua dan anak karena tingkat

(4)

kontrol dan kesadaran diri mereka ditiru oleh anak yang sedang berkembang. Penelitian yang

dilakukan oleh UCR Social Development Project menyatakan bahwa strategi yang digunakan

oleh orang tua dalam mengatur emosi negatif yang keluar dari anak memiliki keterkaitan

dengan reaktitivitas, coping dan kompetensi sosial dalam emosi anak (Snyder, 2006).

Pengekspresian emosi yang lebih teregulasi dan penerimaan ekspresi emosi anak

diasosiasikan dengan kemampuan remaja untuk memahami dan mengatasi emosi (Yap et al,

dalam Israel, 2009).

Hubungan yang baik antara orang tua dengan remaja lebih sulit dicapai tanpa

keterbukaan dalam proses komunikasi, yang memegang peranan penting dalam fungsi

keluarga bagi para remaja (Clarks, & Shield, dalam Xia, 2004). Komunikasi merupakan

sebuah proses interaksi dan pembagian makna yang terkandung dalam gagasan maupun

perasaan (Verdeber dalam Rahkmat, 2011). Komunikasi yang dilakukan dalam keluarga

membuat para individunya mengerti tentang bagaimana kehidupan keluarga itu sendiri.

Komunikasi yang dilakukan membuat individu mengerti akan keluarga dan pengalamannya

baik yang positif maupun negatif (Arnold, 2008).

Komunikasi yang terbentuk diantara anggota keluarga merupakan salah satu hal yang

amat penting dalam hubungan interpersonal dan menjadi kunci pemahaman akan dinamika

yang terdapat dalam sistem keluarga. (Clarks, & Shield, dalam Xia, 2004). Durkin (Widuri,

2011) menyatakan bahwa komunikasi yang dilakukan antara anak dengan ibu berkaitan

dengan permasalahan interpersonal, sedangkan komunikasi dengan ayah berkaitan dengan

persiapan anak menghadapi dunia luarnya.

Komunikasi antara orang tua dan remaja merujuk pada hubungan antara anggota

keluarga yang semakin dekat dan membantu mengembangkan kasih sayang dan lebih

fleksibel ketika menyelesaikan suatu permasalah dalam keluarga (Barnes, & Olson, dalam

Xia, 2004). Pemahaman akan pola komunikasi mempermudah dalam memahami

pengambilan keputusan, peraturan dalam keluarga dan harapan akan peran dari setiap anggota

keluarga. (Clarks & Shields, dalam Xia, 2004). Keluarga dengan gaya komunikasi yang baik

dapat membantu remaja dalam mengembangkan diri sendiri secara lebih baik. (Barnes &

Olson, dalam Xia, 2004).

Komunikasi yang memadai antara orang tua dan remaja dimana anak dapat

mengekspresikan opini dan perasaannya secara bebas secara efektif akan mengurangi stres

yang dialami oleh remaja dalam kehidupannya sehari-hari. Perasaan bahwa remaja kesepian

dan menderita saat menghadapi dunia luar akan berkurang ketika mereka mengetahui bahwa

ada dukungan dan bantuan yang datang dari seseorang yang selalu ada untuk mereka

dirumah. (Marta, dalam Xia, 2004).

Komunikasi yang efektif didalam rumah akan membantu remaja mengembangkan empati agar

identitas diri remaja secara efektif dan menyeimbangkan perasaan individualitas dan

keterhubungan. Dengan komunikasi yang baik, remaja memiliki kemajuan dalam kemampuan

sosialnya yang berkorelasi positif dengan self-esteem, well-being, coping dan dukungan sosial

(Bistra, Bosma, & Jackson, dalam Xia, 2004).

METODE PENELITIAN

(5)

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah accidental sampling. Dimana peneliti mengambil sampel dari populasi secara langsung dari lokasi. lalu memberikan instrument alat ukur yang sudah disiapkan oleh peneliti. Menurut Sugiyono (2004:77) accidental sampling adalah mengambil responden sebagai sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila orang yang kebetulan ditemui cocok sebagai sumber daya dengan kriteria utamanya yaitu pria maupun wanita berusia 15-18 tahun sebanyak 250 siswa yang terdaftar sedang mengambil pendidikan di Sekolah Menengah Umum di DKI Jakarta.

Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan peneliti adalah penelitian kuantitatif korelasional. Menurut Arikunto (2006:10) penelitian kuantitatif adalah penelitian yang banyak menggunakan angka-angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data serta penampilan dari hasil-hasilnya.

Menurut Danim dan Darwis (2002) mengenai penelitian kuantitatif yang diklasifikasikan menjadi tujuh kategori, yaitu penelitian deskriptif, penelitian perkembangan, penelitian tindakan, penelitian perbandingan kausal, penelitian korelasional, penelitian eksperimental-semu, dan penelitian eksperimental. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bersifat non-eksperimental/ex post facto.

Alat Ukur Penelitian

Setiap alat ukur menggunakan skala likert. Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan skala likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen berupa pernyataan (Sugiyono, 2012).

Alat Ukur Komunikasi Orangtua-Remaja

Dengan menggunakan “The Parent-Adolescent Communication Scale” Barnes & Olson (1982) yang telah peneliti adaptasi kedalam bahasa indonesia, mengukur 2 skala yaitu derajat keterbukaan dalam komunikasi dalam keluarga, dan mengukur masalah yang ada dalam komunikasi (Barnes,1985). Kuesioner ini memiliki 20 item yang diisi berdasarkan skala Likert mulai dari Sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju, dan sangat setuju. Hasil dari kuesioner ini akan menggambarkan kondisi komunikasi keluarga yang manakah yang dimiliki oleh responden.

Dalam penelitian ini menggunakan skala sikap model likert yang berisi pernyataan-pernyataan sikap (attitude statement), yaitu suatu pernyataan mengenai objek sikap. Pernyataan sikap terdiri dari dua macam, yaitu pernyataan yang favourable (mendukung atau memihak pada objek sikap) dan pernyataan unfavourable (tidak mendukung objek sikap). Favourable merupakan pernyataan sikap yang berisi atau mengatakan hal-hal positif mengenai objek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada objek sikap. Bentuk skala psikologi Favourable Komunikasi Orangtua dalam penelitian ini adalah pilihan dengan menggunakan 4 alternatif jawaban, yaitu: Sangat tidak setuju (STS) = 1, Tidak setuju (TS) = 2, Setuju (S) = 3, Sangat setuju (SS) = 4. Unfavourable artinya pernyataan sikap mungkin pula berisi hal-hal yang negatif mengenai objek sikap, yaitu yang bersifat tidak mendukung ataupun kontra terhadap sikap yang hendak diungkap. Untuk skala Unfavourable komunikasi orangtua penelitian ini juga menggunakan 4 alternatif jawaban, yaitu: Sangat tidak setuju (STS) = 4, Tidak setuju (TS) = 3, Setuju (S) = 2, Sangat setuju (SS) = 1.

(6)

Alat Ukur Regulasi Emosi

Dengan menggunakan Emotion Regulation Questionnaire yang dikemukakan oleh Gross dan John (2003), dan telah peneliti adaptasi sendiri dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kuesioner ini terdiri dari 10 item, dengan menggunakan 7 skala dari Sangat setuju sampai sangat tidak setuju. Hasil dari kuesioner regulasi emosi akan menunjukkan kecenderungan regulasi emosi yang manakah yang paling menonjol dari responden.

Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

Uji validitas content (Validitas isi) penulis akan mengkonsultasikan instrumen dengan faktor-faktor variabel yang bersangkutan. Uji coba secara empirik menggunakan korelasi product moment dengan bantuan fasilitas SPSS for Windows Realease 21. Adapun rumus korelasi product moment Suatu kuesioner dinyatakan valid apabila nilai r yang diperoleh dari hasil perhitungan (rxy) lebih

besar daripada nilai rtabel dengan taraf signifikan 5%. Dengan nilai rtabel untuk N = 250 yaitu sebesar

0.12.

Menurut Sugiyono (2005) reliabilitas adalah serangkaian pengukuran atau serangkaian alat ukur yang memiliki konsistensi bila pengukuran yang dilakukan dengan alat ukur itu dilakukan secara berulang. Kondisi itu ditengarai dengan konsistensi hasil dari penggunaan alat ukur yang sama yang dilakukan secara berulang dan memberikan hasil yang relatif sama dan tidak melanggar kelaziman. Untuk pengukuran subjektif, penilaian yang dilakukan oleh minimal dua orang bisa memberikan hasil yang relatif sama (reliabilitas antar penilai). Pengertian Reliabilitas tidak sama dengan pengertian validitas. Artinya pengukuran yang memiliki reliabilitas dapat mengukur secara konsisten, tapi belum tentu mengukur apa yang seharusnya diukur.

Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan teknik rumus Cronbach Alpha dan dibantu fasilitas SPSS 21 for Mac, Tingkat reliabilitas koefisien korelasi dilakukan dengan membandingkan nilai koefisien korelasi hitung (rh) dibandingkan dengan nilai r table (rt) Product Moment pada taraf signifikasi 5%. Aplikasi pengujian akan dilakukan dengan mengunakan program SPSS Versi 21.00. Suatu kuesioner dinyatakan reliable apabila nilai rhitung lebih besar daripada nilai rtabel dengan taraf

signifikan 5%. Dengan nilai rtabel untuk N = 250 yaitu sebesar 0.12.

Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian meliputi aktivitas persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian dan teknik pengolahan data. Tahap persiapan dilakukan sejak Januari 2013, dimana peneliti memilih tema penelitian yaitu mengenai Regulasi Emosi. Selanjutnya peneliti membaca jurnal, literatur untuk mendalami topik tersebut. Berdasarkan referensi yang didapat dari jurnal dan buku, peneliti menentukan fokus masalah mengenai hubungan komunikasi orangtua-remaja dengan regulasi emosi pada remaja.

Dalam penelitian ini, peneliti mengadaptasi alat ukur yang sudah ada, lalu diterjemahkan dalam bahasa indonesia. dimana peneliti membuatnya dalam bentuk kuesioner yang dapat mengukur variabel penelitian hubungan komunikasi orangtua-remaja dengan regulasi emosi pada remaja.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada responden dan data sekunder diperoleh dari studi literatur dan analisa dokumen penunjang. Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli 2013.

(7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

.

Dengan menggunakan perhitungan analisis SPSS Versi 21.00, maka nilai korelasi (rhitung) untuk

variabel X1 (Komunikasi Ibu) adalah sebesar 0.638, sedangkan nilai rtabel untuk N = 250 adalah sebesar 0.12.

Jadi 0.638 > 0.12, dapat disimpulkan bahwa variabel Komunikasi Ibu memang mempunyai hubungan yang positif dengan Regulasi Emosi Pada Remaja. dengan menggunakan perhitungan analisis SPSS Versi 21.00, maka nilai korelasi (rhitung) untuk variabel X2 (Komunikasi Ayah) adalah sebesar 0.672, sedangkan nilai rtabel

untuk N = 250 adalah sebesar 0.12. Jadi 0.672 > 0.12, dapat disimpulkan bahwa variabel Komunikasi Ayah memang mempunyai berhubungan yang positif dengan Regulasi Emosi Pada Remaja.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pembahasan mengenai Hubungan Antara Komunikasi Orangtua Dengan Regulasi Emosi Pada Remaja di Sekolah Menengah Atas DKI Jakarta maka kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan antara komunikasi ibu (X1) dengan regulasi emosi pada remaja (Y).

Berdasarkan perhitungan analisis Korelasi dengan menggunakan SPSS Versi 21.00, diperoleh nilai korelasi

(rhitung) untuk variabel X1 (Komunikasi Ibu) adalah sebesar 0.638, sedangkan nilai rtabel untuk N = 250 adalah

sebesar 0.12. Jadi 0.638 > 0.12, dapat disimpulkan bahwa secara parsial variabel Komunikasi Ibu memang mempunyai hubungan yang positif dengan Regulasi Emosi Pada Remaja. Ada Hubungan antara Komunikasi Ayah (X2) dengan Regulasi Emosi Pada Remaja (Y). Berdasarkan perhitungan analisis Korelasi dengan

menggunakan SPSS Versi 21.00, diperoleh nilai korelasi (rhitung) untuk variabel X2 (Komunikasi Ayah) adalah

sebesar 0.672, sedangkan nilai rtabel untuk N = 250 adalah sebesar 0.12. Jadi 0.672 > 0.12, dapat disimpulkan

bahwa variabel Komunikasi Ayah memang mempunyai berhubungan yang positif dengan Regulasi Emosi Pada Remaja.

Saran

Saran Teoritis

Dalam penelitian selanjutnya, peneliti bisa lebih spesifik dalam pengambilan sampel, seperti melihat bentuk regulasi emosi pada responden yang keluarganya telah bercerai atau juga dilihat bentuk regulasi emosi dengan komunikasinya pada ayah saja, maupun pada ibu saja. Peneliti bisa mendapatkan hasil yang lebih dalam dengan menggunakan data kualitatif. Dengan melakukan wawancara maka akan mendapatkan gambaran yang lebih lengkap. Penelitian bisa dilakukan pada tahap perkembangan yang berbeda seperti masa anak-anak. sehingga bisa terlihat apakah terdapat perbedaan regulasi emosinya.

Peneliti dapat menggunakan teknik sampling seperti non-random sampling dengan tujuan pengambilan data yang lebih mudah dan tidak memakan waktu dan tenaga sebanyak teknik accidental.

Peneliti sebaiknya mengetahui jadwal kegiatan belajar mengajar di sekolah apabila subjek yang dipilih oleh peneliti adalah para siswa yang sedang duduk di bangku sekolah. Hal ini agar dapat memudahkan peneliti dalam pengambilan data.

Saran Praktis

Ada kemungkinan anak enggan menceritakan masalah pada ibu karena merasa malu, maka ada baiknya bagi para ibu untuk dapat mengambil inisiatif untuk memulai percakapan serta meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan remaja. Untuk itu ibu bisa mengembangkan sikap yang lebih bersahabat agar remaja mau terbuka terhadap ibunya. Adanya kecakapan dalam mendengar, tutur kata yang cakap dan juga adanya sikap menghargai yang diberikan akan membuat remaja lebih bersedia untuk menceritakan apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Diperlukan peningkatan waktu bersama-sama dan berkomunikasi antara ayah dan anak. Hal ini dapat dilakukan dengan berbincang-bincang pada saat makan pagi ataupun makan malam. Cara lainnya adalah menggunakan akhir minggu atau hari libur untuk bersama-sama dengan keluarga. Walaupun dengan waktu yang sedikit, bila digunakan secara maksimal untuk berkomunikasi dan bertukar

(8)

pikiran dapat menumbuhkan rasa saling pengertian. Antara orang tua dan remaja harus dapat saling menerima satu sama lainnya agar tercipta hubungan yang harmonis. Sebaiknya keluarga lebih dianggap penting, dan hal-hal terkait dengan permasalahan keluarga seharusnya tidak dianggap remah dan dinomor dua kan dibandingkan dengan pekerjaan.

Upaya yang dapat dilakukan siswa untuk meningkatkan regulasi emosi antara lain yaitu dengan mengekspresikan emosi pada hal-hal yang bersifat positif seperti melakukan hobi, mengontrol emosi yang keluar khususnya emosi negatif dan mengevaluasi setiap emosi yang muncul sehingga siswa tahu strategi untuk menghadapi emosi tersebut. Beberapa upaya yang dapat dilakukan siswa untuk meningkatkan religiusitas antara lain yaitu dengan bergabung dalam organisasi disekolah atau berpartisipasi dalam akivitas keagamaan seperti pengajian atau kegiatan hari besar keagamaan baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat.

REFERENSI

Anastasi, A. & Urbina, S. (2007). Psychological Testing. New Jersey: Prentice. Hall Inc Arikunto, S (2002). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Arikunto, Suharsimi. 1999. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. ed. Rev. IV. Yogyakarta: Rineka Cipta.

_____. (2003). Prosedur Penelitian, Suatu Praktek. Jakarta:Bina. Aksara.

_____. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta. Arnold, L.R. (2008). Family Communication: Theory and research. USA: Pearson

Barnes, L.H. Olson, H.D. (1985). Parent-Adolescent Communication and The circumplex model. Child

Development: Family Development And The Child. 56(2), 438-447

Berk, L.E. (2004). Child Development. (8th Edition). USA: Pearson

Danim, Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: Pustaka Setia,. 2002

Farida Hidayah Dkk. Peran Ayah Dalam Pengasuhan Anak. Jurnal Psikologi Undip. Vol. 9. No. 1 April 2011.

Gravetter, F.J. Wallnau, B.L. (2009). Statistics for the Behavioral Science. USA: Wadsworth Gross, J.J. (2007). Handbook of Emotion Regulation. New York: The Guillford Press _____. (2003). Individual Differences in Two emotions. New York: The Guillford Press Gunarsa YSD, editor. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta (ID) : Gunung Mulia Husein Umar. (2001). Riset Sumber Daya Manusia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Israel, S.S. (2009). Creative Therapy and Adolescents: Emotion Regulation and Recognition in a

(9)

Kartika, Y. Nisfiannoor, M. (2004). Hubungan antara Regulasi Emosi dan Penerimaan kelompok Teman Sebaya pada Remaja. Jurnal Psikologi, 2(2).

Marhaeni, D.P. (2012). Intensitas Peran Komunikasi Interpersonal dalam Keluarga untuk Mencegah Kenakalan Remaja. Acta Diurna, 8(2).

Moh. Nazir. Ph.D,( 2005). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Bogor.

Nora, A.C. Widuri, E.L. (2011). Komunikasi ibu dan anak dengan depresi Pada Remaja. Humanitas, 7(1) Priyanto,Agus.2013.Laporan Praktek Kerja Industri. Semarang :Erlangga Diakses dari

http://aghavan.blogspot.com/ Lampiran.

Rakhmat, J. (2009). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Santrock, J.W. (2003). Adolescence: Perkembangan remaja. Jakarta: Erlangga

Snyder, D.K, Simpson, J.A, Hughes, J.N. (2006). Emotion Regulation in Couples and Families. Washington: American Psychological Association

Sugiyono. (2003). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. ______. (2004). Metode Penelitian Bisnis. Alfabeta, CV. Bandung.

______. (2005) Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABET

______. (2007). “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Bandung: Alfabeta.

Turner, R.L., West, R. (2006). The Family Communication sourcebook. USA: Sage Publications. Inc Xia Y, Tang N, Du H, Ye H, Xiong L. 2008. Characterization of OsbZIP23 as a key player of the basic

leucine zipper transcription factor family for conferring abscisic acid sensitivity and salinity and drought tolerance in rice. Plant physiol 148:1938-1952

Zhao, Y. (2012). Emotion Regulation at School: Proactive Coping, Achievement, Goals, and School Context in Explaining Adolescent Well Being and School Success. EC: Utz verlag

(10)

Referensi

Dokumen terkait

Dari Kode Sumber 2.2 dapat dilihat terdapat sebuah sprite yang disebut agent. Objeknya merupakan gambar yang diambil sesuai dengan nama yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK

Persoalan dan membuat keputusan-keputusan , Fungsi yang paling dominan dalam komunikasi kelompok disinilah tempat atau sarana yang tepatd. dalam menentukan keputusan (

Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan: makna masalah, klasifikasi masalah, pembelajaran pemecahan masalah matematika, metode dan teknik

Dalam perkuliahan ini dibahas konsep dasar gizi seimbang, pencernaan dan metabolism makanan dan pendidikan gizi di lembaga PAUD ciri khas anak dari sudut pandang medis

1) Populasi wilayah yaitu wilayah penggunaan lahan pertanian sawah di Kota Bandung. Persebaran lahan pertanian di Kota Bandung yang tersebar di 19 Kecamatan. Lebih

[r]

Alat analisis yang digunakan yaitu analisis kuantitatif menggunakan model analisis regresi linier berganda karena model ini dipilih dengan tujuan ingin mengetahui