• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 ANALISIS DATA. sekarang, orang Jepang umumnya memakai pakaian biasa atau pakaian ala Barat sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 3 ANALISIS DATA. sekarang, orang Jepang umumnya memakai pakaian biasa atau pakaian ala Barat sebagai"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3 ANALISIS DATA

3.1 Analisis Kimono dan Jenis-jenisnya

Kimono pada zaman dahulu dipakai sebagai pakaian sehari-hari. Pada masa sekarang, orang Jepang umumnya memakai pakaian biasa atau pakaian ala Barat sebagai pakaian sehari-hari, sedangkan kimono hanya dipakai pada peristiwa-peristiwa tertentu misalnya resepsi pernikahan, matsuri (festival), kegiatan upacara ritual keagamaan, dan sebagainya.

Kimono berwarna cerah dan mempunyai gambar motif yang besar cenderung dipakai oleh wanita muda. Kimono berlengan menjuntai (furisode) memberikan kekontrasan yang besar dalam hal warna dan minimnya hiasan pada kimono berlengan pendek (kosode) yang dipakai oleh wanita yang sudah menikah. Kimono sutera merupakan harta warisan yang sangat bernilai harganya, yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dari tahun ke tahun, bentuk kimononya tidak berubah demi mempertahankan keindahannya. Pada Zaman Monarki, kimono sama sekali tidak diwariskan kepada anak-cucu, melainkan disumbangkan ke kuil setelah pemiliknya meninggal. Oleh karena itu, dokumentasi kostum pada periode-periode Zaman Monarki sangat minim karena ketiadaan barang-barang peninggalan dalam bentuk asli pada masa-masa tersebut yang mendukung dokumentasi akan kimono. (Minnich, 1986)

Yang dan Narasin (1989) mengemukakan pendapat mereka mengenai pemakaian kimono, adalah sebagai berikut:

(2)

The wearing of the kimono is both a state of mind and a state of dress. Grace and serenity accompany its presence and the beauty it evokes in our minds leaves a lasting image of the essence of Japan, while imprinting its elegant silhouette on our memories. (1989:13)

Memakai kimono merupakan pernyataan yang mewakili bagian dalam (perasaan, pikiran) dan luar (pakaian) seseorang. Keanggunan dan ketenangan menyertai kehadiran si pemakai, serta keindahannya tertinggal dalam benak kita akan intisari gambaran abadi Jepang, saat meninggalkan siluet elegan dalam ingatan kita.

Pada bab ini penulis mencoba menjabarkan jenis-jenis kimono yang telah berbentuk potongan kotak (square-cut kimono). Ada tiga jenis kimono yang berpotongan kotak dan dipakai untuk peristiwa-peristiwa tertentu, antara lain:

3.1.1 Osode「大袖」

Osode adalah kimono berlengan lebar yang biasanya dipakai sebagai pakaian luar hingga ketika kosode mulai populer sebagai pakaian luar yang digunakan sebagai pengganti osode yang besar dan tidak nyaman dipakai. Kimono jenis ini kini hanya dipakai pada upacara pernikahan dan upacara-upacara ritual. (gambar 2)

Arti kata osode secara umum berarti ‘lengan lebar’ atau ‘big-sleeved’. Menurut Souga (1973), definisi osode adalah:

衣服の幅の広い袖。 1. 朝廷の、即位・大嘗会(だいじょうえ)などもっとも重要な儀式に用 いる礼服 (らいふく)の上の衣。小袖の上に着し、袖口が広く、た もとが長い。 2. 中世の鎧(よろい)付属の袖。幅が広く大きく、鎧の肩から垂らして 二の腕を守る。室町末期から用いられた、広袖,壷袖に対していう。 3. 若衆(わかしゅ)の着る振袖など幅広く仕立てた袖。広袖。

(3)

Baju berlengan lebar menurut lebar baju.

1. Dipakai pada upacara penting seperti penobatan kaisar. Pakaian di atas baju non-formal. Dipakai di atas kosode, bukaan lengannya lebar, dan memiliki kantong lengan baju yang panjang.

2. Lengan tambahan pada baju zirah abad pertengahan. Lebarnya diperbesar dan diperlebar, menggantung dari bahu baju zirah dan melindungi kedua lengan. Baju berlengan lebar yang dipakai sejak akhir periode Muromachi, dikatakan berlawanan dengan baju berlengan kecil (tsubosode).

3. Lengan baju yang lebarnya diperlebar seperti furisode yang dipakai anak muda masa sekarang.

3.1.2 Kosode 「小袖」

Kosode adalah kimono berlengan pendek, yang biasanya dipakai sebagai baju dalam, kecuali kaum-kaum yang lebih rendah derajatnya seperti rakyat biasa, memakainya sebagai pakaian luar yang setara dengan osode. Kimono jenis ini dulunya dipakai sebagai pakaian sehari-hari. Namun pada masa sekarang, kimono jenis ini biasanya dipakai untuk chanoyu (upacara minum teh), menghadiri resepsi pernikahan dan sebagainya. (gambar 3)

This is the first literary mention of the kosode, which is the kimono we know today. Literally the word means “small sleeved”, indicating the difference between this erstwhile undergarment with a small sleeve opening and the “large sleeved” robe, the osode (with its large sleeve opening), which had been worn over it in so many layers during Fujiwara. In later centuries still another kosode type, the furisode or kosode with long “swinging sleeves” has come to be worn by children, unmarried girls, and apprentice geisha. (Minnich, 1986:122)

Gambaran umum mengenai kosode adalah kimono yang kita ketahui pada masa sekarang ini. Arti harafiahnya adalah “lengan pendek”, indikasi perbedaan antara baju dalam dengan bukaan lengan kecil dan kimono dengan lengan lebar, osode (dengan bukaan lengan lebar), yang banyak dipakai di lapisan atasnya pada sewaktu periode Fujiwara (periode Heian). Beberapa abad kemudian, masih tipe kosode yang sama yaitu, furisode atau kosode dengan lengan panjang menjuntai yang dipakai oleh anak-anak, gadis yang belum menikah dan para geisha.

(4)

Kosode memiliki arti harafiah ‘lengan kecil’ atau ‘small-sleeved’. Menurut Souga (1974), kosode adalah:

1. 袖口をせまくした1の長着(ながぎ)。肌着として用い、貴族も宿衣 (とのいぎぬ)のいちばん下に着けた。平安末から朝服の肌着に採用 され、重ね小袖として公武上下男女に広く用いれた。肌着として白絹 製を本義としたが、しだいに文綾、染文様と華麗になり、従来のあこ やうちきを省略して重ね小袖の上に直ちに上衣である4(ほう)や狩 衣,直垂(ひたたれ)の類をつけるのが普通になった。室町以来、女 子は着流しで重ね小袖の最上衣をはおった、打掛(うちかけ)の小袖 とし、帯の発達をみた。 2. 礼服の大袖の下に着る衣。筒袖(つつそで)による名称であるがまる えりとするのが特色であり、一般の小袖と相違する。 3. 絹の綿入れ。丸物。 4. 近世の具足の統制袖の一種。大袖に対していう。

1. Kantong lengan baju terusan yang bukaan lengannya telah diperkecil. Dikenakan sebagai baju dalam, baik kaum bangsawan maupun kaisar, yang dipakai di bagian paling bawah. Sejak akhir periode Heian, digunakan sebagai baju dalam pada pakaian istana, dikenakan secara meluas sebagai lapisan kimono berlengan pendek untuk para bangsawan dan prajurit, pemerintah maupun rakyat, pria atau wanita. Sebagai baju dalam, aslinya terbuat dari kain sutera putih polos tetapi design dan pewarnaannya menjadi semakain indah, dipotong menjadi kimono biasa dan akome (sejenis kimono untuk pakaian luar) pada zaman sekarang. Sejak periode Muromachi, wanita memakainya sebagai pakaian non-formal dan sebagai kimono berlengan pendek yang dipadukan dengan pakaian paling luar yaitu uchikake dan obi (semacam tali pinggang untuk kimono) semakin berkembang.

2. Pakaian yang dipakai di bawah osode. Merupakan sebutan berdasarkan baju berlengan ketat tetapi merupakan ciri khasnya jika dijadikan marueri (kimono yang kerahnya berbentuk agak bulat), berbeda dengan kosode pada umumnya.

3. Pakaian dengan lapisan lembut dari kain sutera.

(5)

Secara umum, kosode yang merupakan dasar dari kimono masa sekarang memiliki tujuh bagian potongan yaitu, antara lain: dua bagian potongan badan (migoro) yang panjangnya meliputi bukaan depan bagian tengah sampai jahitan belakang bagian tengah; dua buah potongan sambungan segitiga (okumi atau overlap); dua buah potongan bagian lengan (sode); dan satu potongan bagian kerah (eri). (gambar 4)

Cara membedakan osode dan kosode, bukan dengan cara membandingkan panjang lengan baju kimono dari bahu hingga pergelangan tangan. Sering kali orang salah persepsi mengenai hal ini. Perbandingan osode dan kosode, kenapa disebut sebagai kimono berlengan besar dan kecil terletak pada belahan yang terbuka di bawah pergelangan tangan. Secara otomatis, kimono yang memiliki belahan yang lebih panjang dan besar disebut osode. Hal ini bisa dilihat dari beberapa gambar yang terlampir di bagian lampiran.

3.1.3 Furisode 「振袖」

Furisode memiliki arti ‘lengan yang berayun atau bergelantung’ atau ‘swinging sleeved’. Definisi furisode menurut Souga (1975), adalah sebagai berikut:

振袖をやめて、留袖を着るようになる。成人した女の服装になる。一人 前の女になる。近世、女子は一五、六歳を過ぎると、振袖から留袖に着 かえたところからいう。

Setelah berhenti memakai furisode (kimono berlengan menjuntai), menjadi pakaian bagi wanita yang sudah dewasa. Pakaian bagi wanita yang masih gadis. Zaman sekarang, dikatakan bahwa apabila seorang anak perempuan berumur satu, lima, delapan, saatnya berganti dari pakaian berlengan menjuntai (furisode) menjadi memakai pakaian berlengan panjang (tomesode).

Pada masa Kamakura, kimono berjenis lengan seperti ini mulai dipakai oleh geisha (pekerja seni) dan gadis-gadis muda yang belum menikah. Sampai sekarang pun,

(6)

furisode masih dipakai oleh wanita Jepang yang belum menikah (gambar 5). Setelah menikah, mereka akan memotong furisode mereka menjadi kosode.

3.2 Analisis Perbandingan Bentuk Kimono Zaman Monarki dan Feodal serta Ciri Khasnya

Zaman Monarki merupakan masa di mana pusat pemerintahan berada ditangan kaisar dan sistem pemerintahan masih berupa kekaisaran. Sedangkan Zaman Feodal adalah hirarki militererisme di mana keshogunan yang memegang kekuasaan tertinggi di atas kaisar, didukung oleh penguasa tiap-tiap provinsi yang berupa daimyou (tuan tanah) dan para samurai yakni tentara-tentara sewaannya.

3.2.1 Zaman Monarki (330 – 1185)

3.2.1.1 Analisis Kimono Wanita Bangsawan Periode Asuka (552 – 710)

Pada periode ini agama Buddha mulai masuk ke Jepang karena terjadinya transaksi dagang dengan kedua negara tetangganya yakni China dan Korea, memberi pengaruh yang sangat besar kepada kebudayaan dan tekstil Jepang. Agama Buddha diperkenalkan oleh rahib Korea atas perintah dari Raja Paekche, yang ingin menjadikan Jepang sebagai negara sekutunya dan menjadikan agama Buddha sebagai alat politik. Awalnya, masuknya agama Buddha ditentang oleh Klan Mononobe dan Nakatomi yang pro-Shinto hingga akhirnya Klan Soga yang menerima agama Buddha menguasai pemerintahan menjadikan agama Buddha sebagai salah satu agama baru. Akan tetapi, misionaris agama Buddha dari Korea tidak bisa memuaskan rasa keingintahuan kaisar

(7)

Jepang pada saat itu, Kaisar Shotoku, sehingga dia mengirim para pelajar ke China untuk melakukan studi keagamaan. (Covell dan Alan Covell, 1984)

Para pelajar yang telah melakukan studi China membawa kembali tidak hanya kitab-kitab suci, melainkan juga tekstil dan kimono prototipe China. Menurut analisa penulis, dari sinilah, Jepang mengenal kebudayaan China pada Dinasti Tang yang agung lalu segera menirunya. Proses akulturasi mulai berjalan. Hal ini terlihat dari timbulnya suatu proses sosial bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu (dalam kasus ini adalah Jepang) dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing (China) dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 1990). Jepang mulai mengadopsi kebudayaan China yang populer pada masa itu lalu memperkenalkannya ke negeri mereka sendiri.

Kimono wanita bangsawan yang berupa kimono prototipe yang diadopsi dari China pada periode ini (gambar 6), mempunyai gambaran bentuk sebagai berikut:

In cut these garments are cross between a modern kimono and the modern Chinese dress: a gown with a round neck, wide square sleeves, and a slit up from the ankles on each side to show a contrasting undergarment – softer but in cut very like what is still the official court dress of Japan. (Minnich, 1986:61)

Potongan pakaian tersebut merupakan persilangan antara kimono modern dan baju China modern: gaun dengan kerah bulat, lengan kotak lebar dan terdapat belahan di setiap sisi mata kaki untuk menunjukkan perbedaan baju dalam - yang lebih lembut tapi bentuk potongannya masih terlihat dalam pakaian bangsawan Jepang.

Tidak ada bukti sisa peninggalan kimono pada periode ini. Sejarah tekstil dan kimono tercatat dalam catatan sejarah Jepang yakni dalam nihon shoki (552) yang ditulis

(8)

atas perintah Kaisar Shotoku akibat munculnya keintelektualan mereka yang mulai bangkit karena terinspirasi oleh penerimaan Buddhisme secara resmi.

Dibandingkan dengan kimono periode-periode sebelumnya yang masih beragam dan terdiri dari bagian atasan dan bawahan, kimono pada masa ini lebih mengikuti tren China yang sedang populer karena Jepang telah mulai menjalin kontak dengan negara tetangganya dan melihat bahwa Dinasti Tang sedang dalam masa kejayaannya sehingga Jepang tidak mau ketinggalan untuk mengembangkan negeri mereka.

Yang menjadi ciri khas kimono wanita bangsawan pada periode ini adalah warna kimono dan jenis tali pada topi yang mereka pakai untuk mengidentifikasi tingkatan status sosial seseorang. Tren semacam ini juga ditiru dari China atas keputusan Kaisar Kotoku pada tahun 645 untuk mereorganisir dan mengatur istana dengan mengambil model struktur pemerintahan Dinasti Tang. Baik sistem tingkatan sosial maupun pakaian Dinasti Tang, keduanya merupakan peniruan yang persis sama dengan aslinya. Terdapat tujuh peringkat status sosial, namun enam peringkat dari ketujuh peringkat tersebut masih terbagi lagi menjadi bagian atas dan bagian rendah. Jadi, keseluruhan peringkat yang ada menjadi berjumlah tiga belas tingkatan status sosial.

Perkembangan agama Buddha di Jepang juga memberi pengaruh kepada kimono pada masa itu karena penganut Buddha pada masa itu meniru pakaian dari figur Dewi Kwan Im dan pakaian-pakaian upacara dalam agama Buddha. Menurut analisa penulis, agama Buddha yang diadopsi dari China ini adalah agama Buddha ortodok, berbeda dengan intisari murni agama Buddha sesungguhnya. Jepang pada masa itu cenderung lebih menekankan bentuk-bentuk tindakan religius daripada pengamalan ajaran agama Buddha itu sendiri. Dikatakan oleh Santina (2004) bahwa Buddhisme lebih menekankan

(9)

pada praktik dalam diri dibandingkan bentuk-bentuk tindakan religius yang diperlihatkan ke luar.

Selain itu, yang juga menjadi ciri khas yang dipadukan dalam pemakaian kimono wanita bangsawan ini adalah peraturan untuk mengikat rambut dan mereka sangat menaruh perhatian pada peraturan yang satu ini. Sesungguhnya, wanita Jepang terus menggeraikan rambut panjang mereka untuk beberapa abad ke depan. Dandanan mereka ditambah dengan pemakaian bedak dan lipstik, menghitamkan gigi mereka serta menambahkan sapuan berupa bulatan merah di bagian pipi dan kening.

Menurut Minnich (1986), bila semua itu digabungkan maka dapat diperoleh gambaran mengenai kaum wanita bangsawan dalam balutan kimono Dinasti Tang dengan rambut mereka yang digelung ke atas menjadi dua bagian dan sapuan bulatan merah di kedua pipi mereka. Jubah longgar yang mereka pakai berwarna merah dan dia memakai rok atasan berwarna garis-garis merah, ungu dan hijau, dengan tali, scarf dan sepatu kulit yang ringan.

Pada masa ini gaya China muncul dan dijiplak dengan sangat detil oleh Jepang. Pada masa Dinasti Sui (589-618), China mengubah cara mengancing pakaian mereka yang mirip kimono dari sebelah kiri ke sebelah kanan. Kemudian, langsung ditiru oleh Jepang dan hal ini merupakan kebiasaan yang diperbincangkan pada masa kini. Misalnya, ketika seorang wanita Barat mencoba memakai kimono Jepang, tanpa sadar dia pasti menyilangkan kimono itu ke sebelah kiri, namun orang Jepang akan segera menegurnya dengan mengatakan bahwa cara memakai kimono seperti itu hanya dipakai oleh orang yang sudah meninggal. (Yang dan Narasin, 1989)

Periode ini sejak masuknya agama Buddha hingga tahun 710 menandai bangkitnya perubahan dalam kehidupan kebudayaan Jepang. Tetapi dalam catatan

(10)

kesenian yang tertulis bahwa periode ini masih kalah sukses dibanding periode berikutnya yaitu periode Nara.

3.2.1.2 Analisis Kimono Wanita Bangsawan Periode Nara (710 – 785)

Pada periode ini, kebudayaan China mempengaruhi secara total kebudayaan Jepang, bahkan sampai sistem ketatanegaraan. Dengan adanya sistem ketatanegaraan ini, Jepang mulai membagi-bagi tingkatan lapisan sosial yang kemudian dicirikan dengan pakaian. Oleh karena itu, kimono yang dipakai oleh seseorang menjadi gambaran status sosial seseorang. Agama Buddha juga menjadi populer pada periode ini. Hal ini dapat dilihat pada bukti-bukti bangunan-bangunan kuil Buddha yang masih bertahan hingga masa kini dan juga pada nihon shoki atau nihongi yang tercatat.

Bejana indah yang terbuat dari perak atau giok, peti, meja dan kecapi yang bertatahkan batu permata, lebih dihargai dan berlimpah di Kuil Shousou daripada pakaian, yang membawa misteri metode-metode awal penenunan dan pewarnaan. Dari potongan-potongan kecil yang tersisa dan bisa direkonstruksi menjadi artifak yang menarik seperti panji yang digunakan dalam upacara keagamaan agama Buddha, pakaian-pakaian yang dipakai oleh kaum bangsawan, musisi-musisi dan lain-lain.

Menurut analisa penulis, dari proses akulturasi, Jepang mulai menuju proses asimilasi karena peniruan total akan kebudayaan China. Hal ini bisa dilihat dari Jepang yang ingin meniru China habis-habisan sehingga kebudayaan Jepang mulai melebur dengan kebudayaan China secara total, seperti pakaian, sistem ketatanegaraan, bangunan, dan sebagainya. Dalam suatu proses asimilasi, golongan-golongan minoritas (Jepang) mengubah sifat khas dari unsur-unsur kebudayaannya, dan menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan mayoritas (China) sedemikian rupa sehingga lambat

(11)

laun kehilangan kepribadian kebudayaannya, dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas. (Koentjaraningrat, 1990)

Menurut analisa penulis, setelah mengalami proses asimilasi, Jepang yang pada awalnya hanya ingin mencoba-coba dan meniru kebudayaan China, kini mulai tertarik untuk semakin mengembangkannya seiring dengan kuatnya pengaruh agama Buddha. Dikatakan bahwa periode Nara yang pendek ini merupakan periode di mana Jepang paling bergaya China karena selain mengadopsi sistem ketatanegaraan versi China yang menerapkan sistem pemusatan birokrasi, meniru tradisi upacara-upacara China seperti tanabata, tsukimi (festival melihat bulan), serta menjadikan agama Buddha sebagai agama nasional menggantikan agama Shinto. (Mason, 1993:62)

Salah satu hasil dari proses asimilasi tersebut adalah perubahan bentuk kimono wanita bangsawan yang mulai terlihat. Hal ini disebabkan karena para pelajar yang melakukan studi agama Buddha di China juga membawa kembali pakaian mode baru yang dihias dengan tenunan ajaib, kain celup dan sulaman dengan proses yang masih asing bagi seniman Jepang pada masa itu. Pada masa ini, gaya maupun design dan kain China telah berasimilasi total dengan Jepang. Selain itu, juga telah didirikan badan pusat yang ditugaskan untuk mengkoordinasi bidangnya masing-masing. Singkatnya, segala sesuatu yang diputuskan oleh pemerintah akan dilanjutkan kepada rakyatnya

Kimono wanita bangsawan pada periode di mana agama Buddha memiliki pengaruh yang kuat ini mempunyai ciri-ciri, antara lain: potongan lurus dengan lengan baju yang lembut dan lebar, dan jatuh dengan lembut dari bahu hingga pergelangan tangan serta ditambah beberapa aksesoris sebagai variasi misalnya syal atau ikat pinggang. Walaupun kimono jenis ini masih berdasarkan pada Tanginu namun bentuknya cukup berbeda. Hal ini dapat dilihat dari bahan yang digunakan dan

(12)

pelengkap atau hiasan yang ditambahkan seperti seshi (mirip seperti rompi), membungkus bahu mereka dengan scarf yang disebut hire dan memegang sebuah kipas berbentuk bulat yang biasanya sering muncul di film-film silat Mandarin modern. (gambar 7)

Kimono pada periode ini, menurut analisa penulis, berbentuk lebih kompleks dan terbuat dari bahan yang lebih lembut seiring dengan berkembangnya hubungan transaksi dagang dengan China. Berbeda dengan kimono prototipe China yang diadopsi pada periode sebelumnya karena pada saat itu Jepang baru mulai mencoba-coba meniru kebudayaan China, kimono periode ini mulai lebih menunjukkan variasi dan kreativitas busana. Dapat dikatakan, sebagai contoh, kimono pada periode Asuka cenderung lebih mirip baju shanghai pada masa sekarang. Sedangkan kimono pada periode Nara ini, lebih mirip baju pada film-film silat Mandarin yang serba indah, terkesan mewah dan memiliki lapisan-lapisan yang terbuat dari kain sutera tipis yang ringan.

Bila ditinjau dari bentuknya, kimono-kimono zaman ini lebih familiar dengan lukisan China dan patung-patung pada Dinasti Tang. Kimono wanita bangsawan telah ditambah dengan rok besar yang terpisah dan diikat di bagian bawah lengan dengan selempang atau ikat pinggang sempit. Lalu diatasnya ditambah dengan mantel tanpa lengan yang sering dikenakan dan baju atasan penutup yang tipis namun besar.

Ciri khas kimono wanita bangsawan ini adalah pemakaian warna sebagai indikasi status sosial seseorang. Warna dipakai sebagai lambang identifikasi karena merupakan bentuk dari keindahan yang sangat disukai oleh orang Jepang. Peraturan mengenai indikasi warna ini muncul akibat penaruh Dinasti Tang China yang mana mengharuskan bahwa semua tingkat di bawah pangeran, termasuk kerabat istana wanita, harus memakai warna ungu, lavender, merah menyala, merah bata, cherry, murbei, biru

(13)

tua, biru muda, hijau daun dan hijau rumput yang sesuai dengan tingkatan statusnya. Perlu diketahui bahwa warna yang setingkat lebih muda menandakan tingkatan status yang lebih rendah.

Orang-orang yang tidak memiliki status kedudukan atau bukan merupakan abdi kerajaan memakai warna kuning; sedangkan, pelayan, penjaga dan pegawai istana memakai warna hitam. Warna-warna lain selain yang tersebut diatas, bebas dipakai. Akan tetapi, bagi mereka yang memakai warna yang menandakan status kedudukan mereka lebih tinggi daripada status mereka sekarang, akan dikenai hukuman. (Minnich, 1986)

3.2.1.3 Analisis Kimono Wanita Bangsawan Periode Heian (785 – 1185)

Para bangsawan di masa itu mempunyai ketertarikan yang besar dalam bidang pakaian seiring dengan perkembangan budaya. Hal ini termasuk sebagai politik budaya yang mana menurut Barker (2000), adanya kaitan antara bentuk-bentuk kekuasaan gender, ras, klas, kolonialisme dan sebagainya dengan pengembangan cara-cara berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang bisa digunakan oleh agen-agen dalam mengejar perubahan. Politik budaya yang menegaskan hubungan antara kebudayaan dengan kekuasaan yang mana di Jepang sendiri sejak periode Asuka (552 – 710) telah menerapkan sistem jouge-kankei (hubungan antara atasan dan bawahan). Namun, hal ini baru benar-benar terlihat pada zaman feodal.

Minimnya bukti akan dokumentasi kimono periode ini, hampir saja catatan kesenian periode ini menjadi halaman kosong kecuali melalui catatan-catatan kuno. Namun, melalui hasil karya tulisan seorang sastrawan wanita pada masa itu maka dokumentasi akan kimono periode ini dipaparkan secara detil. Murasaki Shikibu

(14)

merupakan salah satu tokoh yang tercatat dalam tokoh kesusastraan wanita Jepang pertama.

Seperti yang tertulis dalam buku hariannya, Murasaki Shikibu menuliskan komentar-komentar yang ramah bagi orang-orang yang akrab denganya serta peristiwa-peristiwa yang dia saksikan selama dia tinggal di istana. Wanita inilah yang mengarang Genji Monogatari (Hikayat Genji), yang mengisahkan cerita roman tentang kehidupan dan cinta seorang pangeran yang bernama Genji. Dalam novelnya ini, Murasaki Shikibu menggambarkan kehidupan kalangan bangsawan yang bahkan lebih akurat bila dibandingkan dengan kimono-kimono peninggalan yang disumbangkan ke Kuil Shousou yang dipakai sebagai dokumentasi dan rekonstruksi kimono yang tidak lengkap. Untunglah, walaupun yang tersisa di periode ini hanya tradisi-tradisi, tulisan-tulisan maupun lukisan dan tidak ada kostum yang tersisa di periode ini, melalui novel tersebut gambaran mengenai kehidupan maupun kimono masa ini dapat terlihat. (gambar 8)

Periode ini erat dipengaruhi oleh seni yang diwarnai oleh kedamaian, kehalusan budi pekerti dan kemewahan. Kimono wanita bangsawan periode ini memiliki kesan elegan dan mewah serta merupakan kimono berlapis paling banyak dalam sejarah ini dipengaruhi oleh feminisme Kyoto, yang merupakan ibukota Jepang selama periode Heian. Kaisar Kanmu (782-806) memindahkan ibukota dari Nara ke Kyoto karena pendeta-pendeta Buddha yang tamak akan kekuasaan dan mulai mencampuri urusan kenegaraan.

Kyoto dikatakan beraliran feminisme karena kaum wanita bangsawan memainkan peranan penting dalam pemerintahan di masa ini, walaupun tidak banyak dari mereka yang memerintah sebagai ratu atau permaisuri dibandingkan abad I dan II sejak agama Buddha mulai masuk. Feminisme pada intinya menaruh perhatian pada seks

(15)

sebagai prinsip pengatur kehidupan sosial di mana relasi gender sepenuhnya dipengaruhi oleh relasi kekuasaan (Barker, 2000:25-26). Menurut Barret dalam Storey (2003) bahwa politik kebudayaan sangat krusial bagi feminisme karena melibatkan seluruh perjuangan atas makna.

Wanita pada masa ini memiliki pengaruh yang cukup kuat di istana dimulai sejak Klan Fujiwara memakai taktik menguasai pemerintahan melalui pernikahan silang, dan juga sebagai penyumbang ide akan keharmonian warna-warna yang akan dipakai dalam kimono mereka, yang di luar tugas rutin mereka, sebenarnya memiliki waktu luang dalam berpakaian dan menulis puisi, sebelum diajukan kepada asosiasi kritisi warna untuk disetujui. Dikatakan bahwa hanya di masa inilah wanita memiliki masa gemilang dalam sejarah kesusastraan. (Minnich, 1986)

Menurut analsa penulis, latar belakang periode yang penuh keromantisan dan kimono pada masa ini memberi inspirasi pada kesenian Jepang bahkan hingga sekarang. Hal ini bisa dilihat dari salah satu seni lukis Jepang yakni ukiyo-e (lukisan pada papan tipis yang disertai puisi). Tidak bisa disangkal bahwa para bangsawanlah yang mengembangkan kesenian dan kebudayaan terutama dalam bidang pakaian dengan pengaruh kefeminiman. Efek warna menjadi tema yang dominan pada periode ini dan para seniman tidak henti-hentinya bereksperimen.

Pada periode ini, kimono gaya baru yakni kimono berbentuk potongan kotak (square-cut kimono) muncul. Kimono berpotongan seperti ini dapat membungkus sebagian besar badan, sehingga penjahit tidak perlu lagi memusingkan ukuran badan setiap konsumennya. Kimono ini juga gampang dilipat dan cocok untuk musim apapun tergantung dari tebal tipisnya bahan yang dipakai. Selain itu, kimono pada periode ini menjadi lebih kaku dan berukuran besar, baik wanita maupun pria memakai kimono

(16)

berlapis-lapis dengan warna-warna terang dengan lengan kimono yang longgar dan terbuka lebar pada pergelangan tangan. Kimono tersebut memberi kesan agung serta mengembang pada sosok mereka yang sedang duduk. Kimono tersebut juga sangat berguna pada musim dingin.

Menurut analisa penulis, bentuk kimono pada periode ini berubah drastis karena seiring dengan kaum bangsawan yang semakin mementingkan dirinya sendiri dan royal, perlahan-lahan mereka meninggalkan gaya dan bahan luar lalu berkembang menjadi gaya yang mereka kehendaki, lebih sederhana dalam hiasan namun jauh lebih kaya dalam warna dan bentuknya yang super besar. Potongan kimono yang berukuran besar pada periode ini merupakan kekontrasan yang tajam bila dibandingkan dengan kimono pada periode-periode sebelumnya yaitu periode Asuka yang mengadopsi kimono prototipe China dan kimono periode Nara yang mirip dengan baju pada film-film silat China modern.

Pakaian dari Dinasti Tang masih dikopi oleh kaum bangsawan, beberapa hal penting ditambahkan pada bahan-bahan mahal yang mereka kehendaki. Meskipun bentuk desainnya bisa bercorak naturalistik atau konvensional, tetapi sebagian mengadaptasi tipe China yang formal. Akan tetapi, kimono wanita bangsawan yang populer pada periode ini adalah jyuuni-hitoe atau kimono dua belas lapis. Menurut analisa penulis, jyuuni-hitoe ini mencerminkan keinginan Jepang untuk membuat gaya atau terobosan baru dalam bidang pakaian menurut versi mereka sendiri karena mereka tidak lagi mengikuti tren China semenjak ikatan hubungan dengan China mulai melemah dan hubungan diplomatik pun berakhir pada abad IX, pakaian yang lebih mencermikan karakteristik Jepang mulai berkembang, seiring dengan perkembangan arsitektur gaya Jepang. Periode ini menurut Covell dan Alan Covell (1984), sebagai masa di mana

(17)

pengaruh China di Jepang paling sedikit. Setelah kejatuhan Dinasti Tang, penenun Jepang mulai dibatasi dan pengurangan barang-barang impor dari China, serta pengiriman pelajar untuk melakukan studi juga berkurang.

Jyuuni-hitoe (twelved unlined robes), pakaian resmi bangsawan wanita pada periode tersebut, terdiri dari dua belas sampai dua puluh lapis kimono yang berbeda-beda warnanya. Kimono-kimono itu dipakai supaya tali masing-masing lapisan terlihat di leher, kerah serta hem dan yang paling penting adalah dijadikan sebagai efek kombinasi warna-warna kimono itu sendiri (gambar 9), sebagaimana dikatakan oleh Stinchecum (1984:23):

Women of the highest rank often wore ten, twelve, even fifteen layers of robes, conventionally called jyuuni hitoe or twelve-layered robes.

Wanita yang memiliki status kedudukan yang tinggi sering memakai sepuluh, dua belas atau bahkan lima belas lapis kimono yang biasanya disebut sebagai jyuuni hitoe atau kimono dua belas lapis.

Secara umum, kimono tersebut disebut jyuuni-hitoe, kimono sebanyak dua belas lapis yang dipakai pada saat bersamaan dan ditambah dengan dua atau lebih jubah pendek yang terbuat dari kain brokat impor yang mahal. Sebagai tambahan di atas semua lapisan kimono itu, mereka menggerai sepasan atau lebih rok terpisah atau celana hakama dan kain menyerupai ekor panjang yang dilipat-lipat seperti kipas yang menyapu lantai yang disebut dengan mo, dan mereka membiarkan rambut panjang mereka tergerai indah di bagian belakang. Kimono ini, agaknya dimodifikasi dan disederhanakan, yang pada masa kini tersisa untuk dipakai oleh keluarga kaisar khususnya wanita pada upacara-upacara penting seperti upacara pernikahan dan acara pemahkotaan. Sebagai poin yang paling penting dari kimono fantasitik ini adala tersusun dari kain-kain sutera berwarna polos. Tenunan indah, meskipun kaya dalam warna,

(18)

biasanya bermotif kecil dan digunakan pada pakaian luar atau tali pinggang yang dipakai untuk upacara-upacara penting.

Kimono kaum wanita bangsawan yang memiliki bentuk potongan yang besar ini dideskripsikan dengan tepat oleh Brinkley dan Kikuchi dalam Minnich (1986:108) sebagai ”a veritable cataract of habiliments” (pakaian yang benar-benar mirip air terjun) ini telah menjadi tema favorit bagi para seniman hingga berabad-abad yang akan datang. Hampir sama menawan seperti dalam lukisan, sangatlah sulit utuk membayangkan bahwa kimono seperti itu pernah dipakai oleh manusia atau makluk hidup yang dapat berjalan, mengesampingkan deskripsi penuh kebanggaan yang dapat ditemukan dalam tulisan Murasaki Shikibu yang hidup pada periode Heian tersebut.

Rakyat jelata tidak diperbolehkan memakai jyuuni hitoe maupun kimono yang berbahan dasar sutera karena hanya para bangsawan atau mereka yang memiliki tingkatan status sosial tinggi yang boleh memakainya. Jyuuni-hitoe terbuat dari kain sutera yang mahal dengan hiasan dan sulaman indah sehingga orang-orang yang berstatus sosial rendah tidak akan mampu untuk membelinya. Mereka hanya memakai kosode yang merupakan baju dalam bagi para bangsawan sebagai pakaian luar dan terbuat dari rami atau serat nanas dan dihiasi dengan sulaman garis-garis atau pola berwarna yang sederhana.

Seperti pada periode sebelumnya, warna juga menjadi salah satu ciri khas kimono ini selain lapisan-lapisan yang seperti tumpukan tangga berwarna. Akan tetapi, fungsi warna pada jyuuni-hitoe ini bukanlah sebagai pengidentifikasian status sosial seseorang, melainkan sebagai perpaduan dari keharmonisan warna yang tampak dalam jyuuni-hitoe yang dipakai. Lapisan-lapisan kimono pada jyuuni-hitoe bervariasi dalam

(19)

hal potongan maupun warna-warnanya yang kaya, dan setiap warna dipilih dengan teliti supaya menciptakan harmoni dengan lapisan-lapisan lainnya.

Bagian warna merupakan ”intisari” dari kimono yang terdiri dari berlapis-lapis lapisan ini. Beberapa dari kain sutera yang tipis dan ringan yang menpunyai warna lebih muda dipakai untuk membedakannya dengan lapisan sebelumnya. Akan tetapi, yang paling penting adalah harmoni stratifikasi yang terlihat di bagian leher, tepi bagian depan dan bagian bukaan lebar pada lengan lebar yang menjutai. Keharmonisan pilihan warna-warna tersebut menunjukan indikasi perasaan wanita yang memakainya.Perhatian yang lebih dan pembelajaran yang ditujukan untuk keharmonian warna dan kehalusan budi pekerti yang tampak dalam komposisi dapat ditebak dari tema yang mereka gunakan. Misalnya, tentang hanami (festival melihat bunga) atau dari puisi-puisi kontemporer.

Sesungguhnya, penyusunan lapisan-lapisan kimono berwarna-warni tersebut disebut sebagai kasane-no-irome; ”lapisan bunga azalea”, ”lapisan bunga wisteria”, ”lapisan daun maple”, dan ”lapisan pohon willow” serta beberapa objek lain yang dipakai menjadi standarisasi pemilihan warna. Sebagai contoh, pada kimono dengan lapisan pohon pinus, dua lapisan bagian atas berwarna coklat kemerah-merahan yang gelap dan lebih muda setingkat, lalu dibagian bawahnya dimulai dengan lapisan hijau kekuningan yang agak gelap hingga baju dalam yang merupakan lapisan terakhir berwarna merah tua.

Setiap warna memiliki lambang yang berhubungan dengan bunga dan harus dipakai sesuai dengan musim. Setiap kimono baru akan diinterpretasi, disensor atau disambut dengan antusias dan atau diskriminasi, jika berbeda sedikit saja dari syair yang mana mengacu pada warna dari image puisi terkenal karena kaum bangsawan pada

(20)

periode ini sangat memuja kesusatraan dan segala keindahan alam maupun musim, maka pada saat yang sama akan dikritik habis-habisan. Sebagai contoh, melalui novelnya Genji Monogatari atau Hikayat Genji, Murasaki Shikibu menulis bahwa ketika seorang wanita bangsawan terpandang pergi dari hadapan acara yang dihadiri oleh kalangan istana hanya karena sebuah kesalahan kecil dimana terdapat kesalahan kombinasi warna pada kimononya. Bukan kesalahan yang serius, hanya karena warnanya terlalu pucat sedikit.

Brinkley dan Kikuchi dalam Minnich (1986:110), bersama dengan salah seorang anggota staf Biro Kekaisaran yang menulis catatan melalui bukunya Pageant of Japanese Art Volume V, mencatat kutipan menarik dari catatan yang tertinggal pada masa itu. Pada musim semi, ”mereka memakai kimono yang menyerupai bunga plum dan bunga sakura”; pada musim panas, ”kimono kemerah-merahan dengan warna-warna buah plum dan bunga azalea; untuk musim gugur, dipilih corak yang kaya akan daun-daun maple yang memerah, daun-daun semanggi, bunga krisan dan bunga bluebell; sementara warna hijau pohon pinus dan warna coklat dari daun kering cocok dengan salju di musim dingin”.

Untuk memperoleh fashion seperti ini, merupakan tugas tak mudah bagi tukang celup warna. Untunglah masih tersisa catatan pada Kantor Industri Biro Kekaisaran yang tertulis dalam catatan berharga yang ditulsi pada tahun 915 yang menjelaskan detil-detil mengenai teknik proses celup yang dikembangkan atau yang ada pada periode Heian terutama era Engi (901-923).

Dalam Buku Harian Murasaki Shikibu, Murasaki juga menyebutkan bahwa design jiplak atau gosok, terutama dalam kalangan bangsawan, sekaligus menjelaskan perayaan tahun baru. Dia mengatakan bahwa ”kimono yang dipakai pada hari pertama

(21)

tahun baru adalah karaginu (semacam pakaian luar yang dipakai pada lapisan teratas jyuuni-hitoe) berwarna ungu dan merah tua bunga mawar, kimono merah dan kain ekor panjang yang lebih muda; pada hari kedua, kain brokat berwarna merah dan ungu, kain sutera warna ungu mengkilap, karaginu berwarna hijau dan kain ekor panjang yang diwarnai bunga-bunga yang dijiplak dengan teknik celup. (Minnich, 1986:114)

Selain itu, warna emas dan perak juga sering digunakan dalam kimono periode ini karena kedua warna ini sebelumnya merupakan warna populer di China. Seperti yang tercatat dalam catatan kuno, tertulis bahwa pesta yang diadakan oleh Kaisar Shirakawa (1073-1086) dimana wanita-wanita bangsawan hadir dalam balutan kimono yang dihias dengan desian keemasan. Pada genarasi sebelumnya, Murasaki menulis bahwa gadis-gadis muda menambahkan sapuan emas pada kain brokat sutera mereka yang dijadikan kain ekor panjang tergerai. Sedangkan pada waktu yang lain, dia melaporkan tentang seorang wanita yang memamerkan kain ekor panjangnya yang bermotif pantai yang disertai burung-burung camar berwarna perak. Hal tersebut merupakan sesuatu yang baru. Menurut Murasaki, wanita itu pintar dalam memilih simbol atau lambang, sedangkan wantia-wanita berstatus sosial lebih tinggi malah menertawakan kimono bersulam peraknya itu.

Hal tersebut menimbulkan ketertarikan untuk membayangkan kira-kira pemandangan seperti apa ketika wanita-wanita bangsawan berkumpul dengan memakai kain ekor panjang mereka yang lebar disertai dengan rambut panjang mereka yang tergerai di belakang mereka. Tidak heran jika kaum bangsawan terutama laki-laki, selalu terpesona ketika mereka melewati balkon dimana para wanita tersebut berdesak-desakan dalam antrian untuk melihat bulan dalam festival tsukimi. Selain itu, mereka juga dapat melihat rambut panjang tergerai para wanita tersebut mencuat dari bawah tirai bambu.

(22)

Sebelum akhir periode ini, jumlah lapisan kimono kaum wanita bangsawan meningkat sampai dua puluh lima lapis. Tetapi hal ini malah memberikan persepsi yang salah karena ”lapisan” yang dimaksud tidak selalu merujuk kepada satu kimono penuh, namun lebih cenderung pada lipatan berwrna ekstra pada bagian tepi yang hendak mereka tampilkan.

Peperangan antara klan-klan yang berada di masing-masing provinsi, tidak diacuhkan oleh kaum bangsawan yang sibuk akan urusan mereka sendiri. Didukung oleh sebab-sebab akan keturunan kaisar yang mereka hormati yang berbeda-beda, masing-masing dari kedua klan ini, Klan Taira dan Klan Minamoto, terlihat bahwa mereka menempuh jalur ekstrim demi mencapai kekuasaan dalam pemerintahan. Keluarga Taira dan calon kaisar dukungan mereka memenangkan kemenangan pertama mereka yang pendek, setelah lima belas tahun berusaha mendandingi kehidupan kaum bangsawan periode Heian, mereka menjadi mabuk kepayang dalam kemewahan dan sukacita yang kemudian membuat mereka menjadi sasaran empuk bagi Keluarga Minamoto pada tahun 1186. Periode terakhir dari Zaman Monarki ini berakhir pada tahun 1185, dan mulailah Zaman Feodal.

3.2.2 Zaman Feodal (1185 – 1868)

3.2.2.1 Analisis Kimono Wanita Bangsawan Periode Kamakura (1185 – 1333) Ketika periode Heian berakhir, struktur kemasyarakatan berubah dan kekuasaan dari para bangsawan berpindah tangan ke tuan tanah penguasa provinsi (daimyou). Kekuasan politik tidak lagi diwariskan melalui keturunan melainkan tergantung kepada keadaan ekonomi dan kekuatan militer yang diperoleh dari pengontrolan tanah dan

(23)

penguasaan militer. Penguasa yang terpilih membangun kebudayaannya sendiri, yang lebih sederhana dari kaum bangsawan Heian dan tidak terlalu terikat pada satu tempat.

Kaum bangsawan yang tenggelam dalam impian-impian indah dan gemerlap kemewahan tiba-tiba dihadapkan pada perang-perang sipil yang penuh dengan teror, pertumpahan darah dan kebakaran yang terjadi di Kyoto. Kemudian, periode yang penuh kediktatoran militer ini dipindahkan ke Kamakura, jauh dari pengaruh feminisme Kyoto.

Kimono bangsawan pada periode ini menjadi jauh lebih sederhana dibandingkan dengan jyuuni-hitoe pada periode sebelumnya yang begitu indah, berukuran ekstra besar dan berlapis-lapis. Pada periode yang penuh akan perang ini, tidak masuk akal jika mereka hendak pergi berperang dengan pakaian seperti itu. Selain itu, kaum samurai juga menolak memberi perhatian yang berlebihan pada feminisme yang dipengaruhi oleh kaum bangsawan Fujiwara sebelumnya. Tidak akan pernah ada lagi Murasaki Shikibu kedua. Wanita memang seharusnya dihargai tetapi tempat yang layak bagi mereka adalah sebagai pelayan setia dan penopang yang bagi suami-suami mereka dan juga kebajikan.

Pada periode Kamakura, wanita bangsawan pada masa ini membuang semua lapisan kimono periode Heian dan juga ‘lengan kimono lebar’ (osode). Wanita bangsawan Kamakura memakai kimono yang lebar lengan kimononya lebih pendek yang disebut dengan kosode, dan dulunya dipakai sebagai baju dalam. Mereka juga masih memakai rok terpisah yang disebut hakama yang berupa celana panjang yang tergerai, biasanya berwarna merah, sebagai pakaian luar sehari-hari dan mengikatnya dengan obi sempit. Kimono pada periode ini disebut dengan Kinubakama. Kimono ini pada masa sekarang hanya dipakai oleh miko (penjaga kuil wanita). (gambar 10)

(24)

Pada masa ini, kosode masih belum merupakan kimono secara umum seperti pada periode yang akan datang karena kosode pada periode ini masih merupakan pakaian non-formal dan kimono yang akan mereka kenakan pada upacara-upacara tertentu tidak berupa kosode. Kesederhanaan kimono pada masa ini selain disebabkan oleh alasan perang, tetapi juga dikarenakan kesenian pada masa ini lebih terinspirasi kepada idealisme Buddhisme Zen yang baru diimpor dari China dalam rangka pembaharuan pandangan mengenai agama Buddha. Zen menerapkan ajaran intisari murni agama Buddha, berbeda dengan ajaran yang diadopsi Jepang pada periode Asuka.

Ajaran Zen dalam kesederhanaan yang diterapkan pada periode tersebut, tidak hanya dititik beratkan pada Bushido melainkan juga pada bentuk kimono. Filosofi yang telah diadopsi tersebut mempengaruhi mental dan jiwa seseorang (dalam hal ini, kelas samurai yang menjadi pemegang kekuasaan). Menurut Leahy (2001), sebenarnya jiwa adalah kesatuan primordial yang menjiwai dan mnstrukturkan suatu bagian dari materi. Jadi, materi yang terkait dalam masalah ini adalah Bushido dan kebudayaan yang dipengaruhi oleh Zen, yang mana merujuk kepada kimono yang merupakan hasil karya seni manusia. Kesederhanaan yang dimaksud disini adalah kesederhanaan bentuk, bukan kesederhanaan pada design atau corak yang ada pada kimono itu sendiri

Agama Buddha terdiri dari beberapa aliran dan Buddhisme Zen merupakan agama Buddha aliran Mahayana, yang mana ajarannya lebih menekankan pada praktik dalam diri dan pengamalan akan ajaran agama Buddha tersebut (Santina, 2004). Buddhisme Zen juga berupa ajaran emansipasi dari dogma, ritual, dan dari kekuatan supranatrual dan penekanan pada kekuatan batin daripada wahyu-wahyu melalui pandangan akan alam semesta yang terefleksi pada alam, misalnya sehelai daun atau cahaya yang menembus awan senja. Zen merupakan dasar dari Bushido (jalan samurai)

(25)

yang diadaptasi secara istimewa dan dijadikan sebagai keyakinan akan diri-sendiri dan keyakinan pada pengorbanan diri seorang samurai. (Okakura, 1985)

Kosode pada periode-periode sebelumnya merupakan baju dalam bagi kaum kelas atas atau kaum bangsawan sebagai baju dalam diantara osode berlengan lebar yang berlapis-lapis pada periode Heian, atau juga dipakai oleh para samurai di bawah baju pelindung mereka dan juga sebagai baju lapisan dalam pakaian pendeta. Rakyat jelata memakai kosode sebagai pakaian luar. Biasanya hanya satu kosode yang dipakai pada waktu bersamaan. Orang yang menjadi pelopor yang memperkenalkan bahwa kosode bukan pakaian luar hanya khusus untuk rakyat jelata saja, tetapi untuk berbagai lapisan adalah Shizuka.

Dia adalah seorang penari terkenal akan kecantikan serta keanggunannya sekaligus merupakan kekasih dari Minamoto Yoshitsune, adik dari Minamoto Yoritomo yang kini memegang tampuk kekuasaan setelah mengalahkan Klan Taira pada periode ini. Dia memperkenalkan pemakaian kosode sebagai pakaian luar kaum wanita bangsawan pada peristiwa di mana dirinya diundang oleh Yoritomo dan Putri Masako, istri Yoritomo, untuk menari dihadapan mereka. Shizuka merasa dirinya terlalu berharga untuk memberi hormat kepada seorang pengkhianat yang mengkhianati adiknya sendiri, memberi alasan penolakan dengan lihai yaitu: pertama, dia memerlukan musik untuk mengiringi tariannya, dan kedua, tidak ada musik cocok kecuali dimainkan oleh pria-pria pemberani Kamakura. Musik bukanlah kesenian yang tidak memiliki makna keksatriaan sehingga semua prajurit-prajurit perkasa di kediaman Yoritomo dipanggil untuk mengiringi tarian Shizuka. Pada kondisi seperti itu, demi harga dirinya Shizuka tidak bisa menolak lagi. Lagu dan tariannya dipenuhi oleh rasa rindu dan pujian untuk kekasihnya. Hal itu membuat Yoritomo marah dan bemaksud untuk mengeksekusi

(26)

Shizuka jika pada saat itu Putri Masako tidak mencegahnya dan meyakinkan Yoritomo bahwa Shizuka hanya mengekspresikan bentuk kesetiaan sekaligus menunjukkan rasa hormatnya kepada majikannya. Kemunculan Shizuka dengan tariannya di Kuil Hachiman pada upacara tersebut sering dijadikan sebagai tema favorit dalam kesusastraan dan kesenian.

Apabila tamu datang berkunjung, biasanya wanita bangsawan mengambil kimono berhiasan mewah dari lemari, yang kemudian dikenakan dengan longgar dari bagian bahu (gambar 11). Di daerah Edo dan sekitarnya, kimono mewah seperti itu disebut uchikake. Di Kyoto, kimono tersebut disebut sebagai kaidori, karena kimono lebar itu dapat disatukan di bagian depan diikat dengan sejenis tali ketika si pemakai kimono tersebut hendak keluar rumah. Ada kekontrasan yang besar antara kimono yang dipakai di Kyoto, yang saat itu masih merupakan pusat fashion, dengan kimono yang dipakai di Kamakura.

Seperti halnya kosode, uchikake dipakai sejak saat itu sebagai pakaian yang dikenakan pada upacara formal. Seiring dengan perkembangan kimono tersebut, maka dimulailah awal sesungguhnya kimono yang dihiasi dengan gaya ala Jepang. Kimono pada periode Kamakura masih terbuat dari kain sutera bermotif mewah asal China, meskipun Shizuka mengatakan bahwa dia memakai jubah yang disulam dengan motif berlian. Obi yang dipakai oleh Shizuka dan para wanita pada masa ini lebarnya dua sampai tiga inchi dan terbuat dari kain linen atau kain brokat. Umumnya diikat di bagian depan dan kedua ujungnya yang tersisa menjuntai panjang ke bawah. Obi seperti ini bisa dilihat dalam pertunjukan drama Noh dan festival-festival ritual keagamaan pada masa sekarang. Berbeda dengan periode sebelumnya, obi masih belum dipakai sebagai tali

(27)

pinggang yang dipadukan dengan kimono. Sebagai gantinya, mereka memakai tali yang terbuat dari bermacam-macam bahan dan proses untuk mengikat kimono mereka.

Di depan umum, istri seorang samurai harus berjalan dengan rendah hati di bawah naungan topi besarnya yang menyerupai cangkir sake ekstra besar yang terbalik dan biasanya terbuat dari bambu atau kayu pernis hitam. Di bagian tepi topi besar itu terdapat tudung yang mirip kain gorden dengan panjang mencapai tiga kaki dan digunakan untuk menutupi wajah serta hampir sebagian besar sosoknya. Pakaian seperti itu dikenal dengan sebutan tsubo-shozoku. (gambar 12)

Salah satu unsur penting yang menarik perhatian dalam sejarah pakaian Jepang dan desain serta menjadi ciri khas pada kimono periode ini adalah mon atau simbol keluarga (gambar 13). Tradisi simbol keluarga tersebut berasal dari kaum Ainu (penduduk Jepang asli) yang menandai barang kepunyaan mereka dengan ukiran seperti telapak kaki burung, bunga, tanda silang, dan lain-lain yang biasanya ditoreh dengan pisau. Mungkin orang Jepang mengadopsi kebiasaan tersebut sejak awal, atau mungkin juga, secara turun-temurun hal itu merupakan keharusan dari praktek kehidupan masyarakat primitif. Belakangan diketahui bahwa penggunaan simbol keluarga dapat juga diamati melalui lukisan-lukisan pada periode Heian yang menggambarkan kereta kaum bangsawan yang ditandai dengan mon untuk menunjukkan nama keluarga. Dua garis horizontal yang dipagari dengan lingkaran dikatakan sebagai salah satu simbol keluarga tertua. Akan tetapi hal tersebut masih berupa dugaan saja. Dalam sebuah lukisan Jepang terdapat salah satu lambang kelas tentara yang mana menggambarkan ilustrasi cerita tindakan berani Yoshiie, seorang jenderal yang menaklukkan kaum barbar di bagian utara pada abad XI.

(28)

Pakaian rakyat jelata yang terbuat dari bahan yang kaku telah dipotong hingga bagian lutut dan menjadi kosode yang lebih sederhana, serta tidak ada pakaian luar yang tergerai dalam cara berpakaian mereka. Pada akhir periode ini, sama seperti ketertarikan kaum bangsawan akan simbol keluarga, mereka mulai berani mengembangkan design-design khas mereka sendiri.

Dalam masa-masa sulit ketika perang-perang sipil terjadi, kain brokat mahal hanya dipakai oleh segelintir kaum bangsawan kaya, dan keluarga-keluarga terpandang mulai terbiasa memakai bentuk design khusus sebagai lencana penghargaan bagi diri mereka sendiri. Warna memang mengindikasikan tingkatan status sosial maupun pangkat, namun untuk memperlihatkan perbedaan individual, diperlukan simbol keluarga khususnya untuk seragam tempur. Memang tidak bisa dikatakan sebagai pakaian dinas, tetapi sebagaimana kita ketahui bahwa pakaian bersimbol keluarga dipakai baik oleh kaisar bahkan sampai pelayan sekalipun.

Sumber yang serbaguna untuk mempelajari sejarah pakaian Jepang pada semua lapisan sosial masyarakat pada periode ini dan periode terdahulu yaitu periode Heian, adalah melalui lukisan gulung yang disebut emakimono atau disingkat emaki.

3.2.2.2 Analisa Kimono Wanita Bangsawan Periode Muromachi (1333 – 1573)

Setelah kejatuhan Kamakura, ibukota dipindahkan lagi ke Muromachi. Keshogunan berada di tangan penguasa Klan Ashikaga, yang kemudian menjalin kerjasama dengan Dinasti Ming karena ketertarikannya akan kesenian China dan kesetiaannya pada Buddhisme Zen, sehingga fashion didominasi oleh kain brokat impor karena industri dalam negeri lumpuh akibat perang sipil dan gerombolan pendeta-pendeta perompak yang meneror seluruh negeri.

(29)

Dalam sejarah Jepang terutama dalam bidang pakaian, periode Muromachi pantas dikenang tidak hanya karena kain sutera China impornya melainkan karena pada periode inilah transisi terakhir dari gaya pakaian berlebihan kaum bangsawan Heian yang menjadi kosode yang sederhana, yang mana menjadi kimono pada masa sekarang walaupun mengalami sedikit perubahan sebelumnya. Kesederhaan kimono pada periode ini tidak hanya dikarenakan pengadaptasian idealisme Zen seperti pada periode Kamakura, namun juga karena habisnya harta negara yang diboroskan untuk dekorasi kimono pada awal periode ini dan juga karena perang-perang sipil yang terjadi.

Hal tersebut dapat dilihat dari betapa menyedihkan kekaisaran Jepang yang saat itu masih berpusat di Kyoto yang sedang berada diambang kehancuran. Kaisar menjadi sangat miskin dan dipaksa untuk menjual tanda tangannya hanya demi kelangsungan hidupnya. Kaum bangsawan kerja lembur untuk membuat sumpit dan menjualnya demi upah yang tidak seberapa. Sewaktu Kaisar wafat pun, jenazahnya terlantar selama 40 hari sampai akhirnya ada seorang penguasa provinsi yang menawarkan diri untuk membayar biaya pemakaman yang sederhana. Setelah itu pun, sama sekali tidak ada dana untuk acara kenaikan tahta kaisar baru. Banyak kaum bangsawan yang melarikan diri dari Kyoto dan mencari perlindungan pada penguasa-penguasa provinsi yang mau menampung mereka.Keadaan demikian sama sekali tidak memungkinkan kaum bangsawan yang dulunya royal dan kini jatuh miskin untuk bereksperimen dalam pendekorasian kimono.

Kosode mulai diterima dan dipakai secara umum sebagai kimono sehari-hari. Kimono masa sekarang didasarkan pada kimono periode ini yang disebut kosode bakama atau kosode yumaki (gambar 14). Lipatan terakhir yang tergerai di sepanjang bahu disebut karaginu, yaitu sejenis jubah pendek yang terbuka dibagian depan, yang

(30)

mana ketika pada zaman ini selalu terbuat dari kain brokat China bermotif mewah dan indah. Oleh karena ukuran kain China lebih lebar, penjahit Jepang merasa enggan untuk melipat atau menggunting kain semahal itu. Lebarnya bagian depannya dua kali lebih besar dibanding ukuran kain Jepang sehingga diperlukan hanya setengah bagian saja untuk membuat bagian lengan. Inilah yang mencetuskan munculnya kimono longgar yang berpotongan persegi besar dengan panel sempit namun cukup longgar melewati bagian bahu.

Menurut analisa penulis, bila ditinjau dari bentuknya, memang kosode pada periode ini tidak jauh berbeda dengan kosode pada periode Kamakura. Hanya saja, kosode pada periode ini lebih kaya akan hiasan dan motif. Selain itu, pada periode sebelumnya, kaum wanita bangsawan belum memakai kosode sebagai pakaian luar melainkan ditambah atau dipadukan dengan hakama dan mo. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang cukup drastis antara kedua periode tersebut karena kimono pada periode ini hanya berupa kosode dan tidak ditambah dengan hakama ataupun mo.

Akhirnya, setelah hakama pun dibuang, yang tersisa hanyalah uchikake yang mirip kosode yang panjang dan tergerai atau disebut juga kaidori yang dulunya mereka pakai. Tidak seperti pakaian mewah yang terbuat dari kain brokat impor yang mahal, baik kosode maupun uchikake terbuat dari kain sutera yang lembut dan mudah dilipat sehingga menjadi kanvas yang ideal bagi seniman kreatif yang memiliki gaya desain bebas yang menggantikan kekakuan teknik pengulangan bentuk pola yang dipakai pada masa itu.

Kimono formal kaum bangsawan Heian dan Kamakura dimodifkasi dan distandarisasikan pada periode Muromachi ini, yang kemudian bertahan atau tersisa hanya untuk dipakai pada ritual upacara-upacara penting pada masa sekarang kecuali

(31)

pada selang masa kedatangan Commodor Perry. Dalam peristiwa upacara-upacara seperti itu, jyuuni-hitoe yang terdiri dari berlapis-lapis kimono yang dulunya dipakai oleh kaum wanita bangsawan Heian, kini hanya menjadi lima lapis dan ditambah masing-masing satu “lapisan” palsu yang berupa lipatan berwarna di setiap tepi lapisan. Lapisan-lapisan tersebut dipakai diatas kosode, hakama dan lipatan ekor panjang yang dipakai untuk menambah efek elegan.

Wanita bangsawan menyelubungkan kepala mereka dengan sejenis kimono ringan ketika mereka hendak bepergian (gambar 15). Kebiasaan semacam itu ditiru dari Korea. Mereka yang memiliki status atau pangkat tinggi biasanya membawa payung, hal ini bisa dilihat pada pendeta Buddha yang memiliki tingkatan tinggi di masa sekarang. Menurut peraturan, topi jarang dikenakan kecuali untuk upacara tertentu saja dan bagi kaum bangswan pada saat musim panas. Apabila hendak berziarah ke kuil, wanita bangsawan mengenakan topi lebar namun dangkal yang mana disekeliling topi tersebut tergantung kain gorden. Topi seperti itu hampir mirip dengan tsubo-shozoku yang dipakai oleh wanita bangsawan periode Kamakura. Bersamaan dengan itu, dipakai pula semacam tali merah pada bagian bahu (kakeobi) diatas kimono mereka yang berlapis-lapis tersebut dan memakai sandal yang memiliki tali ekstra besar.

Meskipun kain sutera China sangat populer pada periode ini tetapi hal itu tidak terlalu berarti bagi mereka yang ingin tampil lebih baik dalam berpakaian. Perompak lautan mengurangi pasokan dan nilai kain sutera impor tersebut, serta perang dalam negeri semakin mempermiskin konsumen. Sejak penenun-penenun dalam negeri tidak bisa lagi memenuhi permintaan pasar, pergantian proses dekorasi kimono dengan tangan tidak bisa dielakkan. Akan tetapi, hal itu justru menjadi keuntungan yang luar biasa bagi

(32)

Jepang itu sendiri karena pada abad XVII dan XVII adalah era gemilang bagi kimono yang didekorasi dengan berbagai ornamen.

Menurut analisa penulis, faktor penting yang mendukung era baru proses dekorasi kimono dengan tangan adalah kesederhanaan akan bentuk kimono itu sendiri. Kosode selalu terbuat dari kain sutera yang lebih lembut dan uchikake yang dipakai diatasnya pun, walaupun berwarna atau bermotif lebih cemerlang, juga terbuat dari bahan yang lembut, menggantikan karaginu yang berukuran ekstra besar hingga menutupi hampir sebagian tubuh dan terbuat dari kain brokat impor yang kaku.

Untuk meniru desain-desain baru yang akan dituangkan kedalam bahan pakaian yang beragam itu, para seniman periode transisi ini menggunakan berbagai alat atau perlengkapan yang berbeda. Misalnya, munculnya kiri-gane yakni teknik mengimitasi kinran yang juga ditenun dengan benang emas, berdasarkan design yang disukai masyarakat pada masa itu dan selain itu juga memiliki efek yang sederhana seperti petak-petak berbentuk persegi atau neraca berbentuk segitiga.

Meskipun di bawah permerintahan Keshogunan Ashikaga, simbol keluarga (mon) menjadi populer baik dalam bidang pakaian maupun sebagai tanda pengenal dalam pertempuran. Kaum bangsawan lebih suka memilih bentuk design spesial pada kain brokat dengan maksud untuk membedakan diri mereka dengan keluarga bangsawan lainnya. Mereka tidak hanya menggunakan mon dalam pakaian mereka sehari-hari, tetapi juga pada pelana kuda, kain gorden tandu, sebagai pembungkus karya seni berharga maupun untuk melindungi lukisan-lukisan berharga mereka.

Orang-orang yang tidak mampu membeli baik kain sutera maupun kain dengan sulaman imitasi harus menambahkan efek yang lebih luar biasa, terutama jika mereka bermaksud untuk menonjolkan pengidentifikasian diri. Bersamaan dengan populernya

(33)

daimon atau simbol besar keluarga, mereka yang berasal dari kedudukan atau pangkat yang lebih rendah dipengaruhi oleh design-design yang menarik perhatian atau membuat kimono mereka dari perpaduan berbagai warna-warna kontras dan design. Beberapa dari kimono tersebut dapat dikatakan mirip dengan kostum badut atau Harlequin yaitu terbagi persis diantara bagian atas dan bawah dengan warna yang berbeda pada setiap sisinya. Kimono-kimono tersebut disebut katami-gawari, yang mempunyai arti harafiah ”setengah badan” (gambar 16). Sebagai contoh misalnya, kadang-kadang kimono berwarna biru mempunyai satu lengan berwarna putih dan satunya lagi berwarna kuning. Sedangkan obi yang dililitkan di sekitar pinggang, termasuk juga bagian tepi bawah lengan, memisahkan design dan warna antara bagian atas dengan bagian bawah. Bagian tesebut dipotong menjadi tiga bagian horizontal. Kimono tipe seperti itu menjadi sangat populer bahkan pada kimono periode selanjutnya yang didekorasi dengan lebih rumit lagi, yang kemudian disebut katasuso yang berarti ”bahu dan hem” (gambar 17). Efek spektakuler seperti itu awalnya dibuat dengan cara hanya dipotong dan dijahit sederhana dengan tangan. Namun untuk pengecualian, daimon dibuat dengan teknik yang lebih khusus.

Yang dapat dikatakan sebagai ciri khas kimono pada periode ini adalah penggunaan kipas atau papan tanda pengenal karena mereka meniru adat kebiasaan China dimana pejabat-pejabat berkedudukan tinggi membawa papan tanda pengenal yang terbuat dari gading atau giok. Hal ini dapat dilihat pada film-film silat kolosal China di mana papan nama yang melambangkan status sosial menjadi lambang pengenal merekea dalam masyarakat. Dalam keadaan sehari-hari, mereka membawa kipas ditangan mereka dan biasanya terbuat dari kayu pohon cemara berwarna putih yang diikat dengan tali sutera. Selain itu, kipas mereka juga dicat dengan berbagai warna dan

(34)

sebagai tambahan, ditambahkan pula hiasan berupa tali panjang pada bagian rambut, pakaian, celana, jubah ekor panjang yang akan tergerai jauh dibelakang mereka jika mereka berjalan.

Salah satu dari kedua benda bawaan tersebut, antara kipas atau papan tanda pengenal, harus dipegang dengan kedua tangan di depan dada. Hal tersebut dikarenakan bahwa untuk menunjukkan sikap penuh hormat tidak boleh dalam keadaan bertangan kosong. Mereka yang berkedudukan sosial tinggi memakainya sebagai ornamen tambahan, namun sepintas lebih mirip kipas pajangan yang tak berguna.

Selain itu, pada periode ini lahir sebuah teknik pendekorasian kimono yang terkenal yaitu tsujigahana. Menurut salah seorang anggota star Museum Nasional Tokyo dalam Itou (1985), mengamati bahwa bertolak belakang dengan kimono-kimono belakangan yang berhiasan semarak, ”lahirnya sebuah design baru yang disebut tsujigahana”, dimana ”kegembiraan disertai dengan sentuhan kesedihan”, sebuah ’kehalusan yang penuh dengan hiasan’ yang dikombinasikan dengan ’perasaan negatif’ akan eloknya ketenangan.

Sebelum periode Muromachi berakhir, kaum wanita bangsawan telah melewati berbagai pengalaman pahit dan kemiskinan, merasakan kepraktisan dan citarasa yang baik dalam berpakaian lalu menetapkan untuk memakai kosode dalam segala situasi kecuali pada upacara-upacara formal, karena kekayaan negara yang dihabiskan dan diboroskan untuk melindungi karya seni, yang terlantar dalam kejamnya perang-perang sipil yang menyertai kejatuhan periode Kamakura, oleh keshogunan membuat para bangsawan yang biasanya hidup mewah mau tak mau harus hidup menderita.

(35)

3.2.2.3 Analisis Kimono Wanita Bangsawan Periode Azuchi-Momoyama (1573 – 1615)

Sejak periode Azuchi-Momoyama, fashion mengalami perubahan karena Oda Nobunaga, yang berhasil memulihkan keadaan Kyoto dan kekaisaran dengan memberantas gerombolan pendeta-pendeta perompak yang mengacau negeri, dan Toyotomi Hideyoshi, sang Taikou Jepang, membangkitkan kembali keadaan kesenian Jepang setelah terpuruk dalam perang-perang sipil. Hideyoshi adalah seorang pelindung seni yang antusias dan pada masa pemerintahannya inilah dimana kesenian yang merefleksikan kemuliaan, kekuatan dan kemewahan, namun kurang menampakkan kehalusan yang justru merupakan karakteristik seni yang dilindunginya. Pada periode ini politik budaya tampak semakin kuat hingga periode selanjutnya yaitu periode Edo.

Kimono pada masa ini, yang bisa dilihat gambarannya pada masa sekarang, dikembangkan pada periode ini dengan mengadaptasikan bentuk kosode pada periode-periode sebelumnya dan terbuat dari bahan yang lebih lembut dan ringan. Bentuk kimono pada periode ini jika dibandingkan pada periode sebelumnya, terdapat perbedaan yang lumayan mecolok yaitu berada pada bagian permukaan kerah yang menjadi lebih melebar atau pada bagian lengan yang ujungnya menjadi lebih bulat (gambar 18). Yang menyebabkan adanya perubahan yang drastis antara kimono ini dengan periode sebelumnya terletak pada obi yang semakin berkembang.

Menurut analisa penulis, kimono pada periode ini memang masih mengambil bentuk kosode namun memiliki hiasan dan teknik dekorasi yang lebih indah karena Hideyoshi memanggil kembali para seniman yang tercerai-berai akibat perang sipil dan juga membawa seniman dan pengrajin Korea datang ke Jepang untuk membantu dalam membangkitkan dan mengembangkan kesenian dan industri di Jepang. Selain itu,

(36)

Hideyoshi memberikan lokasi khusus di bagian barat laut kota, yang dulunya merupakan tempat kemping bagi partai barat dalam Perang Onin sehingga lokasi tersebut dikenal dengan nama Nishijin atau the West Camp. Mulai sejak saat itu hingga masa kin, Nishijin merupakan pusat industri penenunan di Jepang. Jika kimono periode Momoyama ini dijual, pasti akan ditawar dengan harga selangit karena kimono pada zaman ini dianggap paling langka dan diburu oleh para kolektor.

Merupakan kebiasaan yang sentimentil bahwa kimono terbaik seorang perempuan yang dijaga dengan baik semasa hidupnya harus dipersembahkan ke kuil setelah dia meninggal, dimana kimono peninggalannya tersebut akan disucikan daripada dirusak atau dipakai hingga butut oleh keturunannya yang tidak menghargai atau memakai kimono peninggalannya secara sembarangan. Di kuil, biasanya kimono peninggalan tersebut dipotong menurut polanya yang berbentuk potongan kotak, lalu digunakan untuk menambal pakaian-pakaian, dijadikan jubah pendeta, taplak altar, penutup lemari yang berisi penyimpanan barang-barang suci atau dijadikan sebagai bendera arak-arakan atau umbul-umbul. Berbeda dengan masa sekarang di mana kimono seorang wanita diwariskan secara turun-temurun ke anak cucu mereka karena kimono tersebut merupakan barang peninggalan keluarga yang sangat berharga. (Yajima, 1992)

Setelah beberapa tahun dipakai di kuil, potongan-potongan kimono menjadi terpencar-pencar, bahkan banyak dari kimono-kimono tersebut dibuang. Namun, cukup banyak pula yang terselamatkan, semata-mata karena keindahan kimono itu yang mungkin akan disusun dan disatukan kembali demi mendapatkan sedikit upah.

Kimono yang telah disumbangkan ke kuil dan dipotong kotak, kemudian dipakai untuk menambal atau membuat jubah pendeta. Beberapa bagian banyak yang hilang dan kadang-kadang tidak semua bagian yang tersisa dapat disambungkan dengan potongan

(37)

lain untuk membuat sebuah kesinambungan, tetapi cukup untuk membuat rekonstruksi salah satu sisi atau sepotong bagian lengan.

Ciri khas kimono pada periode ini selain hiasan dan teknik pewarnaan serta motifnya adalah pengembangan obi dan tatanan rambut. Simbol keluarga (mon) yang sempat populer pada periode-periode sebelumnya juga masih populer pada periode ini namun dengan teknik pedekorasian yang lebih modern. Akibat pengaruh gaya simbol keluarga (mon), waita Jepang menjadi bisa mengenali kimono teman atau kenalannya buatan tahun ini atau tahun lalu. Ukuran simbol keluarga yang berubah-ubah, atau mungkin pada tahun ini simbol keluarga disulam tetapi pada tahun berikutnya diwarnai putih pada bahan dasar berwarna hitam, atau mungkin juga sebaliknya diwarnai dalam bentuk bayangan yang berupa garis hitam dalam lingkaran putih. Sesudah periode Momoyama ini, muncul ketertarikan yang besar dalam dekorasi kimono dan tren fashion yang berubah khususnya pada obi dan tatanan rambut karena Tokugawa Ieyasu menerapkan sistem politik sakoku (penutupan negeri) sehingga mengakibatkan Jepang tidak bisa berhubungan dengan dunia luar dan industri dalam negeri mulai berkembang dengan gaya khas Jepang. (Mason, 1993)

Pada awal periode Asuka, baik wanita maupun pria mengikat rambut mereka dan digelung menjadi dua bagian. Setelah periode Asuka hingga periode Momoyama ini, wanita selalu menggerai rambut panjang mereka, bahkan pada peride Heian merkea sering menambahkan efek tergerai di belakang mereka ketika mereka berjalan. Mereka kadang-kadang mengikat rambut mereka di bagian leher dengan tali, lebar maupun kecil, hitam maupun putih, yang mirip dengan ikatan buntut kuda namun dengan efek yang lebih kuat daripada ikatan buntut kuda yang kita lihat pada masa sekarang.

(38)

Pada periode ini, kaum bangsawan yang tinggal di kota pelabuhan kecil meluncurkan gaya baru dalam mendandani rambut mereka dengan cara mengikatnya agak tinggi. Inovasi tersebut segera ditiru oleh hampir semua kalangan umum kecuali kaum wanita bangsawan dan kelas samurai yang menganggap bahwa peniruan gaya rambut seperti itu merupakan penghinaan bagi asal mode rambut tersebut. Mereka tidak hanya mempertahankan gaya rambut panjang yang tergerai dengan efek menjuntai, namun mereka juga masih mempertahankan tren menghitamkan gigi dan menggambar alis palsu dia atas garis alis sebenarnya yang telah mereka cukur. Bahkan wanita yang telah menikah pun tetap terus mencukur alis mereka. (Minnich, 1986)

Dalam pemakaian obi, wanita bangsawan masih mempertahankan gaya konservatif mereka. Meskipun obi pada masa itu masih dalam bentuk mirip dengan pita yang sedikit lebar dan biasanya mempunyai bentuk persegi panjang supaya mudah dilipat yang disebut koshi, karena mirip dengan bentuk sejenis peti pada periode itu. Akan tetapi kaum bangsawan wanita atau wanita yang berstatus sosial tinggi tidak memakai Nagoya Obi (obi untuk kimono non-formal yang biasanya berbentuk pita atau mirip dengan tas) yang katanya gayanya berasal dari seniman China yang bekerja di dekat Nagoya yang kemudian ditiru oleh masyarakat sekitar.

Berkat Nobunaga yang memasukkan inovasi-inovasi baru yang dibawa oleh pedagang Eropa dan Hideyoshi yang menjadi pelindung seni dengan memberikan lokasi khusus bagi para seniman yang dipanggil kembali dari pengungsian akibat perang serta mendatangkan seniman dan pengrajin dari Korea, membuat kesenian Jepang semakin berkembang. Oleh sebab itu, teknik-teknik baru dalam menghias kimono dan pencelupan warna mulai bermunculan.

Referensi

Dokumen terkait

Ada beberapa faktor yang menyebabkan buruknya kepribadian anak-anak yang dapat menimbulkan kemerosotan moral pada anak-anak, di antaranya: (1) Kurang tertanamnya nilai-nilai

(8) Dalam hal pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung tidak melaksanakan pembongkaran dalam batas waktu sebagaimana yang ditetapkan pada ayat (6), pembongkaran

No Aspek Pernyataan YA (muncul) TIDAK (belum muncul) Total 1.. Hasil dari observasi setelah pemberian perlakuan menunjukkan hampir dari semua subjek dapat

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah diuraikankan pada bagian pembahasan, peneliti merinci kesimpulan dan saran mengenai penelitian tentang fungsi media

Harga pembukuan adalah harga yang diminta oleh penjual atau pembeli pada saat jam bursa dibuka. Dapat terjadi pada saat dimulainya hari bursa itu sudah terjadi transaksi

Untuk membantu guru dalam mempermudah pengajaran di kelas disaat guru berhalangan hadir, perlu adanya pelatihan adobe presenter, dimana hal tersebut merupakan presentasi interaktif

Biaya tambang kapal US $ 150 per ton sampai di Pelabuhan New York – AS ( syarat penyerahan barang CIF- Pelabuhan New York).. Dari data tsb Saudara diminta untuk menghitung: 1)

Hasil analisis penelitian ini terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan diantaranya adalah; 1) terdapat hubungan perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan selama hamil