• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan negara yang kaya akan kebudayaan, baik itu kebudayaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan negara yang kaya akan kebudayaan, baik itu kebudayaan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jepang merupakan negara yang kaya akan kebudayaan, baik itu kebudayaan yang berasal dari warisan nenek moyang, maupun kebudayaan serapan yang berasal dari negara lain yang kemudian dijadikan kebudayaan khas bangsa Jepang.

Sehubungan dengan kebudayaan, Danandjaja (1997) mengkaitkannya dengan musim yang ditulis dalam kutipan berikut:

Dalam kehidupan orang Jepang, pergantian musim sangat diperhatikan. Berpijak dari sana berkembanglah genre atau bentuk foklor yang terkenal sebagai “pesta rakyat” dan darmawisata musiman. (Danandjaja, 1997:300). Mulai dari bulan Januari sampai dengan Desember, setiap wilayah di Jepang merayakan festivalnya masing-masing. Peristiwa itu diadakan untuk merespon perubahan dari empat musim yang terjadi di Jepang. Kegiatan ini disebut dengan matsuri, atau dalam ungkapan bahasa Indonesia disebut dengan festival. Matsuri dapat ditemukan hampir setiap hari di berbagai tempat di penjuru Jepang. Beberapa matsuri itu berasal dari agama Budha dan kepercayaan Shinto.

Sejak jaman dahulu kala, orang Jepang telah menemukan hal yang bersifat suci dan adanya kekuatan spiritual yang berpusat dari berbagai aspek yang berasal dari alam. Orang Jepang menyembah aspek tersebut sebagai kami (dewa). Hal ini dipercaya sebagai awal mula lahirnya kepercayaan Shinto di Jepang. Matsuri merupakan upacara suci utama yang dihubungkan dengan pengembangan bahan pangan (padi) dan juga untuk mendatangkan kesejahteraan spiritual bagi masyarakat lokal.

(2)

Berkaitan dengan upacara, Koentjaraningrat (1990) mengartikan kata upacara sebagai berikut:

Upacara keagamaan/ religious ceremonies atau rites yang dapat terbagi dalam 4 komponen, yaitu tempat upacara, saat/waktu upacara, benda-benda dan alat-alat upacara, orang-orang yang melakukannya dan memimpin upacara. (Koentjaraningrat,1990:241).

Dalam kutipan yang ditulis oleh Kenji (1998) dapat dilihat dengan jelas mengenai kehidupan bangsa Jepang yang berkaitan erat dengan pertanian.

From ancient times, the Japanese have been an agricultural people dedicated to rice farming obove all other crops. Blessed by the gentle changes of the luxuriant four seasons, and based on their foundation in village community life, people worshiped the phenomena of nature as awesome kami (deities). They likewise revered their ancestors as kami, and lived in harmony with all of nature. Dari sejak jaman purbakala, orang Jepang telah menjadi masyarakat pertanian yang mempersembahkan kehidupannya yang terutama pada pertanian beras dibandingkan dengan hasil panen lainnya. Diberkati dengan perubahan yang perlahan dari kesuburan empat musim, dan didasari pada fondasi mereka dalam kehidupan komunitas Desa, orang-orang menyembah fenomena alam sebagai kami yang mengagumkan (dewa). Mereka juga memuja leluhur mereka sebagai kami, dan hidup dalam keselarasan dengan semua bagian dari alam.(Kenji, 1998:1).

Matsuri terdiri dari dua bagian pokok, yaitu pemberian persembahan nyanyian, tarian dan naorai (komuni). Ada pula bagian lain sebagai tambahan dalam matsuri, yaitu mikoshi (tandu yang berbentuk kuil) atau dashi (kereta pesta besar) atau keduanya. Namun lama-kelamaan, mikoshi dan dashi menjadi sangat popular, dan matsuri jika tidak diiringi kedua unsur tersebut tidak akan terlihat sebagai matsuri yang sesunggguhnya. Hari-hari ini, parade dengan tandu dan kereta pesta besar adalah bagian yang paling meriah dan indah dalam matsuri. Mikoshi dan dashi dapat disebut dengan bagian ketiga dari matsuri, yang dapat diikuti dengan sambutan pada dewa dan naorai (komuni).

(3)

Matsuri diadakan setiap tahun pada tanggal-tanggal tertentu. Dalam pelaksanaannya, matsuri berhubungan dengan unsur-unsur upacara atau perayaan suatu ritual keagamaan. Dalam masyarakat Jepang, upacara yang berkaitan dengan keagamaan dikenal dengan nama nenchu gyōji atau nenjū gyōji dan nini girei.

Nenchū gyōji merupakan festival berskala lebih besar yang dilakukan setiap tahun dan berhubungan dengan empat musim yang terdapat di Jepang. Nenchū gyōji dicantumkan ke dalam tanggalan nasional resmi, sehingga dijadikan sebagai hari raya resmi di Jepang. Sebagian dari matsuri juga ada yang dimasukan dalam tanggalan resmi. Antara matsuri dan nenchū gyōji, kedua kategori tersebut bersifat saling melengkapi.

Sedangkan nini girei merupakan upacara keagamaan yang bersifat aksidental. Yang dimaksud dengan aksidental disini adalah upacara yang dapat dilakukan kapanpun, sesuai dengan keinginan atau kebutuhan seseorang, atau dapat juga dikatakan sebagai upacara untuk meminta suatu permohonan pada dewa. Misalnya dengan pergi ke Kuil atau tempat-tempat suci untuk meminta pertolongan kepada dewa supaya lulus dalam ujian masuk perguruan tinggi negeri, berhasil dalam usaha, memohon supaya dapat memperoleh pekerjaan, dan lain-lain.

Matsuri pada dasarnya merupakan festival suci. Sebagian dari antaranya berasal dari upacara penanaman padi dan upacara kesejahteraan spiritual penduduk setempat. Festival atau upacara kategori ini diambil dari ritus-ritus Shinto kuno yang bertujuan mendamaikan hati para dewa dan roh-roh orang mati dan menjamin kesuburan pertanian mereka. Beberapa ritus Shinto telah diintegrasikan dengan ritus-ritus dan upacara dari China, seperti Budhisme dan Konfusianisme, sehingga

(4)

disahkan menjadi festival resmi yang harus dirayakan menurut penanggalan dalam kalender kerajaan (nenchu gyōji).

Sehubungan dengan berbagai matsuri di Jepang, Danandjaja (1997) mengartikan matsuri sebagai:

Istilah matsuri mencakup pesta rakyat dan ritus-ritus yang dipraktekkan dalam agama Shinto yang sudah dilembagakan. Matsuri adalah suatu perbuatan simbolik, dimana pesertanya memasuki komunikasi aktif dengan para dewa (kami). Upacara ini juga disertai dengan komunikasi diantara para peserta sendiri, dalam bentuk pesta (feast) dan pesta rakyat (festival). Dalam pengertian luas, matsuri dapat juga diartikan sebagai pesta-pesta rakyat dimana sisi hura-hura serta kepentingan komersiil lebih ditonjolkan daripada sisi keagamaannya.( Danandjaja, 1997:301-302).

Di Jepang terdapat beberapa tipe matsuri, misalnya matsuri untuk memohon pada dewa untuk keberhasilan panen. Selain itu ada juga matsuri untuk mengucapkan terima kasih kepada para dewa, dan matsuri untuk mengusir penyakit menular dan bencana alam. Ada matsuri yang bersifat serius dan khusuk, tapi ada pula yang bersifat meriah, disertai dengan permainan pertandingan dan berbagai pertunjukkan.

Festival yang sifatnya besar-besaran dikembangkan di daerah perkotaan, sedangkan festival sederhana dikembangkan di daerah komunitas kecil, seperti pedesaan. Sebagian dari matsuri masih diadakan secara tradisional, namun sebagian lagi telah disesuaikan dengan zaman modern. Meskipun ada banyak persamaan antara festival yang diadakan di pedesaan dengan di perkotaan, tapi karena festival tersebut memiliki asal usul yang sama, maka juga terdapat perbedaan antara festival di pedesaan dan perkotaan. Pesta-pesta rakyat yang diadakan di pedesaan lebih cenderung tertuju pada ritus-ritus pertanian dalam kaitannya dengan musim semi dan musim gugur, khususnya pada musim gugur. Selain itu juga menekankan akan

(5)

adanya hubungan antara manusia dengan dewa. Sedangkan pesta-pesta rakyat diperkotaan yang bersifat lebih modern lebih menekankan akan adanya rasa kesetiakawanan di antara para penduduknya.

Setiap matsuri yang diadakan mempunyai pelakunya masing-masing, mereka melaksanakan upacara tersebut dalam waktu-waktu tertentu. Pada umumnya masyarakat Jepang, baik yang berada di daerah pedesaan atau perkotaan, mereka memiliki kuil lokal yang menjadi pusat keagamaan mereka. Anggota dari komunitas kuil lokal disebut dengan ujiko, dan kuil lokalnya disebut dengan istilah ujigami. Banyak dari festival-festival di Jepang diwarnai dengan benda-benda suci kuil yang ditempatkan di atas kereta hias yang sangat indah, dan juga selama festival itu berlangsung juga diadakan perlombaan-perlombaan permainan keterampilan yang memberikan kesempatan kepada para peserta untuk berkomunikasi satu sama lain. Jenis perlombaan tersebut, seperti perlombaan tarik tambang/tsunahiki, perlombaan menunggang kuda, dan berdayung perahu. Selain itu pertunjukkan tarian rakyat yang disebut kagura juga merupakan ciri khas selama matsuri. Selama festival tersebut berlangsung, semua ketegangan hidup mulai dikendurkan dan para peserta mempunyai kesempatan untuk membentuk pembaharuan spiritual. Namun, pada masa modern, permainan bertanding dan tari-tarian rakyat sudah menjadi sebuah pertunjukan/tontonan bagi pengunjung. Sedangkan pada zaman dulu, perlombaan dan pertunjukan tarian, semua itu merupakan bagian dari upacara penujuman untuk memperoleh wahyu dari para dewa.

Perayaan matsuri sangat berhubungan dengan kepercayaan Shinto, karena puncak Shinto terjadi pada saat diadakannya matsuri, yaitu ketika manusia dan dewa

(6)

berkumpul bersama untuk bersama-sama menikmati segala hasil karunia yang ada di Bumi. Hal itu biasanya dilakukan melalui tarian dan nyanyian.

Pada jaman dulu, matsuri di Jepang dilakukan pada malam hari, namun dengan adanya berbagai kendala, maka matsuri lebih sering diadakan saat siang hari. Seperti yang dikatakan oleh Ross (1965) bahwa:

In ancient times the festivals occured at night. They began in the evening and ended about dawn. In the Heian period this was still the rule, but in the Kamakura period the custom changed.

Pada jaman dulu kala, festival dilakukan pada malam hari. Festival itu dimulai pada waktu malam dan berakhir kira-kira pada saat fajar. Pada periode Heian, festival masih dilakukan pada malam hari, namun pada peride Kamakura kebiasaan itu mulai berubah. (Ross, 1965:62).

Dengan pengaruh kelas prajurit, festival menjadi lebih sering dilakukan pada waktu siang. Ada beberapa hal yang membuat festival yang tadinya dilakukan pada malam hari dirubah menjadi diadakan pada waktu siang hari. Salah satu alasannya adalah karena pada malam hari tidak ada orang-orang yang datang untuk menyaksikan berlangsungnya festival tersebut, hanya ada para peserta saja. Namun ketika festival diadakan pada siang hari, mulai banyak orang-orang yang datang untuk menyaksikan dan ikut menikmati suka cita dari festival tersebut. Dan masih ada beberapa alasan lain yang terdapat didalamnya.

Pada abad ke delapan pemerintah mengeluarkan larangan untuk mengadakan festival pada malam hari, karena biasanya setelah festival akan diadakan pesta. Dan menurut kebiasaan, untuk menikmati pesta tersebut, para peserta melewatinya dengan mengkonsumsi minuman keras sampai mabuk yang menyebabkan terjadinya banyak pelanggaran. Hal ini mungkin menjadi salah satu faktor yang terpaksa mengubah waktu diadakannya festival.

(7)

Diantara beberapa agama yang dianut orang Jepang, Shinto dapat dikatakan sebagai agama yang tertua di Jepang dan juga dapat dianggap sebagai agama pribumi orang Jepang. Shinto merupakan gabungan kepercayaan “primitif “ yang sukar digolongkan sebagai suatu agama, namun bisa dikatakan sebagai suatu kepercayaan. Kepercayaan Shinto berupa pemujaan terhadap leluhur / alam. Tuhan yang dipuja dalam kepercayaan Shinto disebut dengan “kami” atau dewa. Menurut kepercayaan mereka, dewa bisa ditemukan dimana saja, seperti di pohon yang tua, air terjun, dan lain sebagainya. Bentuk dewa dalam kepercayaan Shinto juga beragam, ada kala berwujud tokoh leluhur dari salah satu kelompok kerabat di Desa, dapat pula berbentuk dewa rase, yang diidentifikasikan dengan dewa yang melindungi daerah persawahan di Jepang. Rase berhubungan dengan dewa padi-padian yang bernama Inari Daimyojin. Namun, dalam wujud apapun, dewa berfungsi untuk melindungi desa dan anggota masyarakat di desa tersebut. Dewa juga melindungi daerah pertanian, menjaga kesehatan dan keberuntungan masyarakat setempat.

Ross menjelaskan mengenai persembahan yang dilakukan dalam kepercayaan Shinto, yaitu:

It is significant that in Shinto myth, no kami ever makes demands for sacrifices, wheather animal or human. Most religious traditions reflect the feeling that only through the sedding of blood or the giving of burnt sacrifice can man achieve his true good or goal. But Shinto kami do not demand offerings, the firstborn of sons or animals, even in the earliest Japan traditions.

Adalah hal yang sangat penting bahwa dalam mitos tentang kepercayaan Shinto, tidak ada dewa yang pernah meminta persembahan, baik itu persembahan dalam bentuk hewan maupun manusia. Tradisi yang paling religius menggambarkan bahwa hanya melalui penumpahan darah atau memberikan korban bakaran, manusia dapat mendapatkan kebaikan sejati atau tujuan yang ingin dicapainya. Tapi sejak jaman dulu dewa Shinto tidak pernah meminta persembahan, baik anak sulung maupun hewan. (Ross,1965:41-42).

(8)

Seperti halnya Inazagi tidak memberikan persembahan ketika dia menyucikan dirinya setelah terhubung dengan hal-hal kotor di neraka. Karena tidak ada perkara yang mengatakan bahwa seseorang yang membawa hal-hal kotor harus dijatuhi hukuman, tapi hal-hal kotor itu harus disucikan dan dijauhkan. Penyucian adalah suatu hal yang dapat memulihkan seseorang kepada pokok kebenaran alam. Pada jaman dulu kala, seseorang yang telah terhubung dengan hal-hal kotor dianggap telah membawa segala sesuatu yang dianggap sebagai hal-hal kotor atau polusi. Mereka perlu membersihkan diri, dengan begitu maka hal-hal kotor itu akan terbawa bersama dengan air. Sampai saat ini beberapa ritual masih bertahan sampai masa modern. Diluar praktek tersebut, hal itu berkembang menjadi sebuah ide untuk membayar sebagian hukuman yang harus diterima.

Dalam kepercayaan Shinto perlindungan tehadap pemenuhan bahan pangan selalu menjadi aspek penting dalam ritual religius. Ada beberapa dewa yang berhubungan dengan bahan pangan. Inari adalah pelindung dari pengolahan beras dan biji padi-padian lainnya. Doa dan ucapan syukur yang berhubungan dengan pertanian selalu tertuju kepadanya.

Shinto muncul dari sikap dan cara hidup orang yang sering terlibat dengan lingkungannya, ada yang sebagai pemburu, nelayan maupun pengolah tanah pertanian. Pengaruh dari latar belakang pertanian ini selalu menjadi dasar dalam ritual Shinto. Orang Jepang menyadari betapa dalamnya kepercayaan manusia terhadap alam. Mereka mengetahui tingkah laku aneh yang disebabkan oleh alam melalui topan, gempa bumi dan gunung berapi, tapi semua itu tidak datang sebagai musuh manusia. Tapi dengan sabar manusia mengolah alam menjadi tempat

(9)

mengolah beras, sehingga saat berada di alam, manusia dapat merasakan dirinya bagai sedang berada di rumah.

Ritual Shinto jaman dulu kala kemungkinan sebagian besar dipengaruhi oleh praktek perdukunan ketika pria atau wanita menyerahkan hidup sepenuhnya pada dewa (di Jepang, hal ini lebih sering dilakukan oleh wanita). Dalam hal tersebut, wahyu atau ramalan dikemukakan oleh dukun atau cenayang yang meramalkan tentang cuaca, prospek untuk hasil panen, ataupun bagian yang harus dilakukan oleh penduduk desa. Hal ini merupakan balasan yang diharapkan dari dewa.

Dalam kodansha (1972) mengatakan mengenai empat bentuk kepercayaan Shinto. Berikut pernyataan tersebut:

At the present time Shinto as a religious system can be regarded as having four main forms: the Shinto of Imperial House (kōshitsu shinto), shrine Shinto (jinja Shinto), sect Shinto ( kyōwa Shinto), and folk Shinto (minkan Shinto). Pada saat sekarang Shinto sebagai sistem religius dapat dipandang memiliki empat bentuk utama: Shinto dari rumah kerajaan (kōshitsu Shinto), kuil Shinto (jinja Shinto), sekte Shinto (kyōwa Shinto), dan penganut Shinto (minkan Shinto). (Kodansha, 1972:29).

Banyak dari matsuri yang diadakan di Jepang berkaitan dengan kepercayaan Shinto, salah satunya adalah festival yang dilakukan pada waktu musim dingin, yaitu: hadaka matsuri. Selain hadaka matsuri, ada juga festival lain yang dilakukan pada saat musim dingin, diantaranya adalah yansa matsuri, morotayama jinja ontaue matsuri, kitabaru matsuri, yoshino ume matsuri, hadaka matsuri, dan masih ada festival lainnya yang diadakan pada musim dingin.

Yang ingin penulis bahas secara khusus dalam penelitian ini adalah mengenai hadaka matsuri atau festival telanjang. Hadaka matsuri diselenggarakan setiap tahunnya pada tanggal yang berbeda sesuai dengan tempat diadakannya matsuri

(10)

tersebut. Contohnya di Kota Hamatawa, Prefektur Saga, Hadaka matsuri diselenggarakan pada tanggal 4 Juli; di Kuil Mitsuke Tenjin, Iwata, Prefektur Shizuoka diselenggarakan pada tanggal 6 & 7 September; di Kuil Tamasaki, kota Ichinomiya, Prefektur Chiba, diselenggarakan tanggal 13 September, dan masih banyak lagi tempat diselenggarakannya hadaka matsuri di Jepang dengan tanggal yang berbeda di setiap tempatnya.

Di Kuil Saidaiji, Prefektur Okayama, hadaka matsuri diselenggarakan pada hari sabtu di minggu ketiga bulan Februari. Minggu ketiga itu diperkirakan jatuh pada tanggal 21 Februari . Hari itu diduga sebagai hari yang paling dingin di sepanjang tahun. Karena itu tanggal 21 Februari dipilih sebagai hari untuk merayakan hadaka matsuri di Okayama setiap tahunnya. Pada saat itu, sejumlah besar laki-laki berkumpul untuk menunjukan kejantanan mereka sebagai seorang lelaki.

Dalam hadaka matsuri ini merupakan ujian terbesar dan terberat yang harus dihadapi oleh kaum pria untuk menunjukkan kejantanan dan keberanian, dan kekuatan mereka untuk menerima penyiksaan, sebuah ujian dimana peserta harus menahan rasa dingin untuk kemudian terpilih sebagai pria terkuat diantara pria-pria lainnya. (Naked Man Festival, 2004).

Hadaka matsuri khusus diadakan bagi kaum pria dan tidak ditujukan untuk menarik perhatian wanita, dan dalam hadaka matsuri, wanita tidak diperkenankan ikut serta atau sekedar ingin menonton. Hanya wanita yang berusia 60 tahun keatas yang diperbolehkan untuk menyaksikan festival ini. Karena hadaka matsuri merupakan sebuah peristiwa terbesar dimana para pria menunjukan kekuatan mereka untuk menyerang dan membuat pria lain gemetar ketakutan. Sebuah ritual kesuburan dari kepercayaan Shinto kuno.

Hadaka matsuri adalah festival telanjang dari sebuah grup dari pria yang hanya menggunakan kain penutup yang disebut fundoshi (cawat). Pada tengah malam, mereka bertarung untuk memperebutkan sepasang “shingi”, yaitu sebuah tongkat yang berlilitkan tali dan kertas yang bertuliskan dua kharakter kanji yang berarti

(11)

kayu dan harta berharga. Shingi itu akan dilemparkan oleh Pendeta Shinto yang ada di Kuil tersebut. Dan pada tengah malam yang gelap dan dingin, para pria itu harus berlomba untuk memperebutkan shingi. Dan bagi orang yang mampu mendapatkan shingi itu dijamin akan mendapatkan kebahagiaan sepanjang tahun. Berbagai kegembiraan yang didapat dari festival yang menarik ini menjadikan hadaka matsuri sebagai festival yang luar biasa di Jepang.

1.2 Rumusan Permasalahan

Penyelenggaraan berbagai macam matsuri hampir setiap harinya dapat ditemukan di Jepang. Salah satu matsuri yang terkenal di Jepang adalah hadaka matsuri atau festival telanjang yang diikuti oleh pria. Dalam hal ini yang akan dijadikan permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah makna telanjang dalam hadaka matsuri. Mengapakah para pria yang ikut serta dalam festival tersebut harus mengikuti festival dengan telanjang (hanya mengenakan kain penutup yang disebut fundoshi). Mengapa mereka tidak mengenakan celana pendek atau setidaknya celana dalam yang bisa menutupi tubuh bagian bawah.

1.3 Ruang Lingkup Permasalahan

Yang dijadikan ruang lingkup dalam penulisan skripsi mengenai hadaka matsuri ini adalah makna apakah yang terdapat dibalik telanjang dalam hadaka matsuri? Untuk lebih mempersempit ruang lingkup penelitian, penulis mencoba membatasi ruang lingkup pada hadaka matsuri yang diadakan di Kuil Saidaiji, Okayama. Hadaka matsuri yang diadakan di Okayama merupakan hadaka matsuri

(12)

yang paling meriah. Peserta yang mengikuti hadaka matsuri ini adalah pria dewasa yang berusia 20 tahun keatas.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk menjelaskan makna telanjang dalam hadaka matsuri yang diadakan di Kuil Saidaiji, Okayama.

Manfaat penulisan skripsi ini adalah untuk menambah wawasan kepada pembaca mengenai makna telanjang yang tersimpan dalam hadaka matsuri.

1.5 Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu penulis memberikan penjelasan secara deskriptif mengenai matsuri dan mengadakan analisa mengenai makna telanjang dalam Hadaka matsuri. Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data tertulis atau kepusatakaan. Penulis berusaha memanfaatkan berbagai sumber bacaan, koleksi buku-buku, jurnal, skripsi, tesis. Selain itu, penulis juga memanfaatkan sumber yang diperoleh melalui internet dan majalah yang berhubungan dengan hadaka matsuri.

1.6 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi mengenai konsep telanjang dalam hadaka matsuri di Kuil Saidaiji, Okayama, Jepang, disusun dengan urutan sebagai berikut:

Bab 1 memuat uraian latar belakang, rumusan permasalahan, ruang lingkup, tujuan dan manfaat, metode penelitian, sistematika pembahasan.

(13)

Bab 2 membahas mengenai teori tentang kebudayaan, kepercayaan Shinto, matsuri dan teori mengenai hadaka matsuri.

Bab 3 membahas mengenai analisis makna telanjang dalam hadaka matsuri. Bab 4 Merupakan simpulan dari seluruh pembahasan tentang hadaka matsuri.

Bab 5 berisi ringkasan skripsi dalam bahasa Indonesia dan diikuti dengan ringkasan dalam bahasa Jepang (gaiyō).

Referensi

Dokumen terkait

Dalam bab 3 Analisis Data, berisikan analisis penulis mengenai persamaan ikon – ikon musim gugur dengan kata – kata yang digunakan dalam haiku, serta mencari interpretan dan

Pasal 28 Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 menyatakan bahwa seorang pendidik harus: (1) memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen

Dalam bab ini mencangkup segala konsep yang mendasari penelitian meliputi pengertian pengendalian intern, kelemahan pengendalian intern, pertumbuhan ekonomi, ukuran

Interaksi nitrogen dan fosfor tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah akar per kultur pada Cymbidium varietas Lovely Angel seperti yang telah tercantum pada Tabel

Media perlakuan yang berupa kombinasi antara konsentrasi nitrogen dan konsentrasi fosfor tidak menginduksi bunga pada Cymbidium varietas Lovely Angel sampai dengan planlet.

Namun dalam proses perkembangannya, tentu dapat terjadi berbagai kondisi yang tidak diharapkan di luar kontrol individu maupun dokter gigi sehingga

Dalam mengimplementasikan algoritma apriori untuk mencari aturan asosiasi, penulis menggunakan basis data Northwind, dimana dalam basis data tersebut terdapat diantaranya 3

Pengujian Algoritma Naïve Bayes dan C4.5 pada RapidMiner menggunakan data training dan data testing, kedua data tersebut adalaah data penjualan motor Honda tahun 2017 yang