• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Gempa bumi kedua terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah telah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Gempa bumi kedua terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah telah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Gempa bumi kedua terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah telah mengguncang dasar laut yang berjarak sekitar 150 km dari pantai Sumatera pada tanggal 26 Desember 2004. Gempa yang berkekuatan 9,8 Skala Richter menimbulkan getaran yang kuat dan menimbulkan timbulnya deformasi vertikal di sumber gempa. Deformasi vertikal berupa penurunan permukaan dasar laut mengakibatkan terjadinya gelombang tsunami di pantai. Tsunami ditandai dengan air laut yang surut setelah gempa bumi. Hanya dalam beberapa menit, gelombang yang sangat dahsyat tersebut memporak-porandakan kehidupan masyarakat pantai di Indonesia, Srilangka, India, Thailand dan Myanmar (CARE, 2006). Selain itu, bencana gempa yang terjadi di daerah Muara Sipongi kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara juga merupakan gempa yang menimbulkan kerusakan yang cukup parah. Gempa yang berkekuatan 5,6 Skala Richter mengakibatkan tanah longsor, merobohkan ratusan rumah dan gedung perkantoran serta menlan korban jiwa.

Bencana memiliki efek yang berbeda-beda pada setiap individu. Ada yang tidak mengalami efek psikologis, namun ada yang menjadi terganggu secara emosional. Diantara korban bencana terdapat remaja dan anak-anak. Ada dua mitos yang dipercayai tentang respon anak terhadap bencana yaitu (1) anak-anak lebih resilient dan akan pulih lebih cepat (2) anak-anak-anak-anak berespon sama

(2)

bukti yang menyebutkan bahwa pengalaman anak-anak mengenai efek dari bencana dengan sangat jelas.

Walaupun anak-anak yang masih kecil sangat mudah terpengaruh oleh kematian, kerusakan-kerusakan, teror, penganiayaan fisik, dan ketiadaan dari dukungan orang tua. Anak-anak secara tidak langsung dipengaruhi oleh efek bencana yang dirasakan oleh orang tua mereka, orang dewasa lain yang ada didekat mereka dan oleh reaksi orang tua mereka terhadap bencana (Ehrenreich, 2001).

Kebanyakan anak-anak berespon secara sensitif dan tepat terhadap bencana, terutama jika mereka merasakan perlindungan, dorongan dan stabilitas dari orang tua mereka dan orang dewasa lainnya. Bagaimanapun, seperti halnya dengan orang dewasa, anak-anak merespon terhadap bencana dengan banyak symptom-simptom. Respon anak-anak pada umumnya sama seperti orang dewasa, walaupun pada anak-anak lebih langsung terlihat (Ehrenreich, 2001).

Pada anak-anak pra sekolah yang berumur satu sampai dengan lima tahun, symptom kecemasan lebih terlihat dalam bentuk ketakutan seperti ketakutan akan berpisah, ketakutan pada orang asing, ketakutan akan “monster “ atau binatang, dan gangguan tidur. Anak-anak yang mengalami bencana menolak situasi atau lingkungan yang spesifik memiliki hubungan dengan bencana yang pernah mereka alami. Anak-anak ini menunjukkan ekspresi yang terbatas dalam hal emosi. Mereka bisa menarik diri secara sosial atau kemampuannya tidak berkembang (Ehrenreich, 2001).

(3)

Pada anak-anak yang berumur enam sampai dengan sebelas tahun, mereka akan secara berulang-ulang mengulangi cerita saat bencana terjadi. Anak-anak mungkin menunjukkan perhatian terhadap keselamatan dan pencegahan dari bahaya, mengalami gangguan tidur, perilaku agresif atau gampang marah. Selain itu perubahan yang lain seperti perilaku, suasana hati, kepribadian, kecemasan yang sangat jelas dan ketakutan yang berlebihan, menarik diri, kehilangan ketertarikan akan aktivitas-aktivitas sosial (Ehrenreich, 2001).

Pada remaja, respon mereka semakin meningkat sama seperti respon pada orang dewasa. Perubahan yang terjadi seperti peningkatan perilaku agresif,

delinquency, penggunaan obat-obatan dan melakukan kegiatan yang beresiko

tinggi, prestasi sekolah menurun dan remaja tidak mau mendiskusikannya dengan orang tua atau orang dewasa lain yang dipercayainya (Ehrenreich, 2001).

Bencana membawa dampak negatif yang cukup banyak terhadap kehidupan manusia. Namun, ada dampak yang cukup positif dari terjadinya bencana tersebut yaitu meningkatnya keeratan sosial di antara korban bencana dan banyak pihak yang ikut membantu para korban bencana untuk beradaptasi dan pulih kembali seperti sebelum bencana terjadi.

Salah satu pihak yang berupaya untuk membantu korban bencana adalah Yayasan Wisma Anak Korban Bencana Alam Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara melalui pendirian rumah penampungan yang bernama Rumah Anak Madani. Rumah Anak Madani bertujuan sebagai tempat bagi para anak-anak dari Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara untuk dididik, dilatih dan disekolahkan agar anak korban bencana alam tersebut kelak akan menjadi

(4)

seseorang yang mandiri (Raker RAM, 2007). Rumah Anak Madani merupakan lembaga pendidikan sosial yang membina anak-anak korban bencana alam, yatim piatu dan fakir miskin di Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Rumah Anak Madani berlokasi di Jalan Veteran Pasar VII Desa Manunggal Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang (Profil Rumah Anak Madani).

Rumah Anak Madani didirikan di daerah yang berada didekat kota Medan. Berdasarkan keterangan yang diperoleh peneliti dari salah satu pimpinan di Rumah Anak Madani, alasan pendirian Rumah Anak Madani di dekat kota Medan karena Medan merupakan salah satu kota terbesar di pulau Sumatera dan memiliki masyarakat yang majemuk (Komunikasi personal, 25 Mei 2007)

Di Rumah Anak Madani, anak korban bencana dibesarkan dengan kehidupan asrama yang memiliki banyak kegiatan dan peraturan-peraturan. Kegiatan yang mereka lakukan seperti belajar secara classical, kursus bahasa, keterampilan dan kesenian, olahraga dan bimbingan belajar. Selain itu mereka diharuskan mengikuti peraturan-peraturan dan akan diberikan sanksi-sanksi apabila melanggar peraturan (Profil Rumah Anak Madani).

Dilihat dari usia, individu yang tinggal di Rumah Anak Madani berusia 10 -19 tahun. Usia tersebut menunjukkan bahwa mereka berada pada masa remaja. Hal ini sesuai dengan kriteria usia yang dikemukakan oleh WHO yaitu usia remaja berkisar dari usia 10 -20 tahun. Dengan dua pembagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun (Sarwono, 1997)

Periode masa remaja merupakan masa transisi yang melibatkan perubahan-perubahan fisik, kemampuan kognitif, perubahan-perubahan minat, penyesuaian emosi

(5)

sekaligus terjadinya perubahan dalam hubungan keluarga. Perubahan fisik meliputi perubahan dalam tinggi badan, berat badan, perubahan dalam bentuk dan proporsi tubuh dan kematangan seksual. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal masa remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru (Papalia, 2003)

Hurlock (1999) menyebutkan bahwa masa remaja adalah masa yang penuh dengan “badai“ dan “tekanan“ yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Emosi yang meninggi terjadi karena remaja laki-laki dan perempuan berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku dan harapan sosial yang baru. ( Hurlock, 1999). Rasa sedih merupakan sebagian emosi yang sangat menonjol dalam masa remaja. Remaja sangat peka terhadap ejekan-ejekan yang dilontarkan kepada diri mereka. Kesedihan yang akan muncul, jika ejekan-ejekan itu datang dari teman-teman sebaya, terutama yang berlainan jenis. Sebaliknya, perasaan gembira biasanya akan nampak jika remaja mendapat pujian, terutama pujian terhadap diri atau hasil usahanya (Mappiare, 1982).

Dagun (2002) menyebutkan remaja dalam menghadapi berbagai masalah perkembangan memerlukan kehadiran orang dewasa yang mampu memahami dan memperlakukannya secara bijaksana dan sesuai dengan kebutuhannya. Remaja membutuhkan bantuan dan bimbingan serta pengarahan dari orangtua atau orang

(6)

dewasa lainnya untuk menghadapi segala permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan proses perkembangan, sehingga remaja dapat melalui dan menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dengan wajar.

Kartono (dalam Maharani dan Andayani, 2003) menyebutkan keluarga merupakan lembaga pertama dan terutama bagi remaja sebagai tempat sosialisasi dan mendapatkan pendidikan serta merasakan suasana aman. Remaja yang tinggal dengan keluarganya, semua kebutuhan baik kebutuhan fisiologis maupun kebutuhan psikologis sebagian besar dipenuhi oleh orangtuanya, dengan jumlah anggota keluarga yang relatif kecil, kecenderungan besarnya persaingan antar saudara untuk mendapatkan kasih sayang dari orang tua juga relatif kecil, sehingga kecenderungan remaja untuk merasa bahagia pada masa remaja akan lebih besar. Hidup terpisah dengan keluarga dapat menjadi faktor beresiko tinggi untuk menghasilkan remaja yang menderita psikopatologi dan mengakibatkan perkembangan minimal pada remaja (Jackson dalam Mantavani, 2005).

Di dalam periode perkembangannya remaja berusaha melepaskan diri dari orangtua dan mengarah kepada teman sebaya. Namun, peranan orangtua masih sangat besar dalam perkembangan remaja. Bowlby (dalam Dagun, 2002) secara tajam mengatakan kehilangan peranan seorang ibu dapat menimbulkan problem dalam perkembangan remaja selanjutnya. Hasil penelitian terhadap perkembangan remaja yang tidak mendapat asuhan dan perhatian ayah menyimpulkan, perkembangan remaja menjadi timpang. Kelompok remaja yang kurang mendapat perhatian ayahnya cenderung memiliki kemampuan akademis menurun, aktivitas sosial terbatas. Pengertian absennya seorang ayah pada diri remaja bisa karena

(7)

meninggal, perceraian atau juga karena tidak terlibat dalam proses pembinaan langsung pada perkembangan remaja (Dagun, 2002).

Remaja yang dibesarkan di Rumah Anak Madani berbeda dengan remaja yang dibesarkan oleh orangtua mereka. Para remaja ini harus berpisah dengan orangtua disebabkan mereka harus tinggal di asrama. Remaja di Rumah Anak Madani dibesarkan oleh pengasuh yang dipanggil dengan sebutan abi dan ummi yang berjumlah 17 orang (Raker RAM, 2007). Hal ini tentu berbeda dengan remaja yang dibesarkan oleh orangtua mereka sendiri. Para remaja ini harus beradaptasi dengan pola hidup serta lingkungan baru. Pola hidup baru artinya di Rumah Anak Madani mereka memiliki jadwal harian yang harus mereka taati, peraturan yang harus ditaati dan sejumlah kegiatan yang harus dilaksanakan dan apabila dilanggar akan diberi hukuman. Lingkungan baru berarti bahwa remaja yang tinggal di Rumah Anak Madani merupakan remaja yang sebagian besar berasal dari propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang memiliki latar belakang budaya yang sangat berbeda dengan kota Medan yang masyarakatnya majemuk.

Uraian diatas memperlihatkan bahwa para remaja korban bencana yang dibesarkan di Rumah Anak Madani mengalami kondisi yang cukup sulit yaitu mereka sebagai individu yang pernah mengalami bencana, dibawa dan dibesarkan di daerah yang budayanya berbeda dengan daerah asal mereka, dibesarkan dengan kehidupan asrama yang berarti bahwa mereka harus berpisah dengan orangtuanya, dan sebagai remaja yang sedang mengalami berbagai perubahan baik dalam perubahan fisik, perubahan emosi, dan hubungan dengan teman sebaya.

(8)

Perubahan-perubahan yang dialami remaja yang tinggal di Rumah Anak Madani membutuhkan suatu kemampuan untuk bisa beradaptasi dengan kesulitan yang mereka alami. Kemampuan ini dikenal dengan sebutan resilience. Shatte dan Reivich (2002) menyebutkan bahwa resilience adalah kemampuan untuk berespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi rintangan atau trauma. Remaja yang

resilence merupakan remaja yang bisa bangkit dari suatu kondisi yang traumatik,

mampu beradaptasi, bersahabat, tidak tergantung pada orang lain, dan memiliki empati yang tinggi. Remaja yang resilience memiliki kepercayaan diri yang tinggi, harga diri yang tinggi, dan memiliki self efficacy yang tinggi, optimis menghadapi masa depan. Resilience banyak berhubungan dengan perkembangan emosional dan cara berpikir seseorang.

Grotberg (1999) juga menyebutkan bahwa resilience adalah kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah ketika menghadapi suatu rintangan atau hambatan dalam hidupnya. Ia juga menambahkan bahwa resilience bukan merupakan keajaiban dan tidak hanya ditemukan pada sebagian kecil dari manusia. Setiap manusia mempunyai kemampuan untuk menjadi seseorang yang

resilience.

Papalia, Olds dan Feldman (2003) menyebutkan bahwa Resilience adalah

kemampuan untuk bangkit dari kesulitan yang dihadapi. Remaja yang resilient adalah remaja yang berada dalam kesulitan, kemudian mampu berfungsi meskipun berada dalam keadaan yang terancam atau mampu bangkit kembali dari keadaan yang penuh traumatik. Selain itu, remaja yang resilient cenderung memiliki IQ yang tinggi dan bisa menjadi pemecah masalah yang baik.

(9)

Kemampuan yang mereka miliki mampu untuk membantu mereka beradaptasi dengan kesulitan yang dimiliki, melindungi diri mereka, mengatur perilaku mereka dan membantu mereka untuk belajar dari pengalaman (Masten dan Coatsworth dalam Papalia, Olds dan Feldman, 2003).

Menurut Stoltz (2004) semakin sering seseorang menghadapi kesulitan dan berhasil menghadapi kesulitan tersebut maka kemampuannya untuk menghadapi kesulitan-kesulitan di masa yang akan datang akan lebih meningkat. Ada tiga jenis manusia dalam kaitannya dengan respon terhadap kesulitan yaitu manusia yang terus berusaha maju atau pantang menyerah, manusia yang setengah berusaha dan manusia yang berhenti berusaha atau gampang menyerah. Manusia yang mampu maju dan bertahan dari setiap kesulitan adalah manusia yang akan memperoleh kesuksesan dalam hidupnya (Stoltz, 2004). Kesuksesan seseorang ditentukan oleh kemampuan individu untuk menghadapi dan bangkit dari kesulitan yang dialami. Remaja yang tinggal di Rumah Anak Madani memerlukan kemampuan resilience agar mampu melalui saat – saat yang penuh kesulitan dan meraih kesuksesan sebagaimana tujuan yang ingin dicapai oleh Rumah Anak Madani.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, peneliti ingin melihat gambaran kemampuan remaja di Rumah Anak Madani mengatasi berbagai kesulitan yang mereka alami. Peneliti ingin melihat gambaran resilience pada remaja korban bencana yang berada di Rumah Anak Madani.

(10)

I.B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti mengidentifikasi pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana gambaran resilience remaja korban bencana alam di Rumah Anak Madani ?

2. Bagaimana gambaran resilience dilihat dari kemampuan-kemampuan yang

membangunnya yaitu emotional regulation, impulse control, optimisme,

causal analysis, empati, self efficacy, dan reach out ?

3. Bagaimana gambaran resilience dilihat dari usia, jenis kelamin dan , lama tinggal di RAM, dan periode waktu pasca bencana ?

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah melihat gambaran resilience pada remaja korban bencana alam yang berada di Rumah Anak Madani.

I.D Manfaat Penulisan I.D.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang bersifat pengembangan ilmu psikologi, memperkaya pengetahuan dan wacana tentang psikologi perkembangan, khususnya mengenai resilience remaja yang berada di Rumah Anak Madani.

I.D.2. Manfaat praktis

(11)

1. Bagi Remaja RAM : Memberikan informasi mengenai gambaran

resilience agar mereka mampu untuk mengatasi

setiap kesulitan yang akan mereka hadapi.

2. Bagi institusi RAM : Memberikan informasi mengenai gambaran

resilience remaja korban bencana di Rumah Anak

Madani yang nantinya bermanfaat bagi perencanaan program-program yang akan dijalankan di Rumah Anak Madani.

I.E. Sistematika Penulisan BAB I : Pendahuluan

Menguraikan latar belakang pemilihan masalah yang hendak diteliti, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Pengertian resilience, faktor-faktor yang mempengaruhi

resilience, Kemampuan-kemampuan dasar resilience,

Tahapan-tahapan resilience, Pengertian remaja, dan Rumah Anak Madani BAB III : Metodologi Penelitian

Memuat metode-metode dasar dalam penelitian yaitu identifikasi variabel, defenisi operasional variabel, populasi, validitas, reliabilitas dan metode analisa data.

(12)

BAB IV : Menjelaskan tentang analisa data dan interpreatsi yang terdiri dari gambaran resilience remaja korban bencana, yang meliputi gambaran resilience remaja korban bencana berdasarkan jenis kelamin, usia, lama tinggal di Rumah Anak Madani dan Periode waktu pasca bencana.

BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Bab ini berisikan kesimpulan, diskusi dansaran berkaitan dengan hasil penelitian yang diperoleh.

Referensi

Dokumen terkait

menggunakan cara tertentu. 49 Menurut sugiono sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut, maka penelitian.. bisa menggunakan sampel

Apabila dilihat dari berat jenis aniline dengan asetat anhidrida yang tidak begitu jauh yaitu 1,022 gr/mL untuk aniline dan asetat anhidrida 1,081 gr/mL, sehingga tidak

H3: Terdapat perbedaan persepsi penumpang yang signifikan dilihat dari tingkat pendidikan mengenai kualitas layanan pada maskapai Lion Air, Indonesia AirAsia, dan

Dampak dari pemikiran ekonomi Subchan Zaenuri Echsan yang paling terlihat adalah pada masa awal Orde Baru, mengenai kebijakan ekonomi yang digunakan oleh pemerintahan Orde

Keperawatan jiwa adalah pelayanan keperawatan profesional didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respons psiko-sosial

Sejarah Singkat Perpustakaan SMA Negeri 1 CURIO Kab. Enrekang Perpustakaa SMA Negeri 1 Curio Kab. Enrekang berdiri pada tahun 2007. Kondisi awal perpustakaan sekolah sudah

Hal ini dikarenakan oleh banyaknya anggota kelompok dukungan ter- sebut, dukungan emosi yang diberikan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan baik dari segi waktu

[r]