• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Efikasi Diri (Self-Efficacy) Menurut Bandura (1997), dari semua pemikiran yang mempengaruhi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Efikasi Diri (Self-Efficacy) Menurut Bandura (1997), dari semua pemikiran yang mempengaruhi"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Teoritis

2.1.1 Efikasi Diri (Self-Efficacy)

Menurut Bandura (1997), dari semua pemikiran yang mempengaruhi fungsi manusia, dan merupakan bagian penting dari teori kognitif sosial adalah efikasi diri. Efikasi diri adalah “penilaian diri terhadap kemampuan diri untuk mengatur dan melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang ditetapkan”. Efikasi diri memberikan dasar bagi motivasi manusia, kesejahteraan, dan prestasi pribadi (Hidayat, 2011)

Efikasi diri (self-efficacy) merupakan salah satu faktor personal yang menjadi perantara atau mediator dalam interaksi antara faktor perilaku dan faktor lingkungan. self-efficacy dapat menjadi penentu keberhasilan performansi dan pelaksanaan pekerjaan. efikasi diri juga sangat mempengaruhi pola pikir, reaksi emosional, dalam membuat keputusan (Mujiadi, 2003).

Efikasi diri tidak boleh dikacaukan dengan penilaian tentang konsekuensi yang akan dihasilkan dari sebuah perilaku, tetapi akan membantu menentukan hasil yang diharapkan. Kepercayaan diri pada individu akan membantu mencapai keberhasilan (Hidayat, 2011).

(2)

keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan.

Efikasi diri adalah perasaan kita bahwa kita efektif dalam dunia. Telah dihabiskan banyak waktu untuk mendiskusikan tentang efikasi diri, karena melihat betapa pentingnya hal tersebut dalam dunia nyata. Dalam pekerjaan, orang yang memiliki keyakinan terhadap kemampuan mereka untuk memecahkan masalah, muncul sebagai pemimpin, sementara yang tidak percaya terhadap kemampuan diri mereka menemukan diri mereka “hilang dalam orang banyak”. Mereka secara tidak sengaja memperlihatkan keraguan mereka, dan teman mereka mendengar, dan belajar untuk mencari nasehat dari yang lainnya (Reivich dan Shatte, 2002).

Pengertian-pengertian tersebut memberikan pemahaman kepada peneliti bahwa efikasi diri adalah sebuah keyakinan subjektif individu untuk mampu mengatasi permasalahan-permasalan atau tugas, serta melalukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

2.1.1.1 Sumber Efikasi Diri (Source of Self-Efficacy)

Bandura (1997) menyatakan bahwa efikasi diri (self-efficacy) dapat diperoleh, dipelajari dan dikembangkan dari empat sumber informasi. Di mana pada dasarnya keempat hal tersebut adalah stimulasi atau kejadian yang dapat memberikan inspirasi atau pembangkit positif (Positive Arousal) untuk berusaha menyelesaikan tugas atau masalah yang dihadapi. Hal ini mengacu pada kosep pemahaman bahwa pembangkitan positif dapat meningkatkan perasaan

(3)

atas efficacy Bandura dalam Lazarus (1980). Adapun sumber sumber self-efficacy tersebut:

Pertama, pengalaman keberhasilan dan pencapaian prestasi (Enactive attainment and performance accomplishment), yaitu sumber ekspektasi efikasi diri yang penting, karena berdasar pengalaman individu secara langsung. Individu yang pernah memperoleh suatu prestasi, akan terdorong meningkatkan keyakinan dan penilaian terhadap efikasi diri. Pengalaman keberhasilan individu ini meningkatkan ketekunan dan kegigihan dalam berusaha mengatasi kesulitan, sehingga dapat mengurangi kegagalan.

Kedua, pengalaman orang lain (Vicarious experience), yaitu mengamati perilaku dan pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu. Melalui model ini efikasi diri individu dapat meningkat, terutama jika ia merasa memiliki kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang menjadi subyek belajarnya. Ia akan mempunyai kecenderungan merasa mampu melakukan hal yang sama. Meningkatnya efikasi diri individu ini dapat meningkatkan motivasi untuk mencapai suatu prestasi. Peningkatan efikasi diri ini akan menjadi efektif jika subyek yang menjadi model tersebut mempunyai banyak kesamaan karakteristik antara individu dengan model, kesamaan tingkat kesulitan tugas, kesamaan situasi dan kondisi, serta keanekaragaman yang dicapai oleh model.

Ketiga, persuasi verbal (Verbal persuasion), yaitu individu mendapat bujukan atau sugesti untuk percaya bahwa ia dapat mengatasi masalah-masalah

(4)

yang akan dihadapinya. Persuasi verbal ini dapat mengarahkan individu untuk berusaha lebih gigih untuk mencapai tujuan dan kesuksesan. Akan tetapi efikasi diri yang tumbuh dengan metode ini biasanya tidak bertahan lama, apalagi kemudian individu mengalami peristiwa traumatis yang tidak menyenangkan.

Keempat, keadaan fisiologis dan psikologis (Physiological state and emotional arousal). Situasi yang menekan kondisi emosional dapat mempengaruhi efikasi diri. Gejolak emosi, goncangan, kegelisahan yang mendalam dan keadaan fisiologis yang lemah yang dialami individu akan dirasakan sebagai suatu isyarat akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, maka situasi yang menekan dan mengancam akan cenderung dihindari.Empat hal tersebut dapat menjadi sarana bagi tumbuh dan berkembangnya efikasi diri satu individu. Dengan kata lain efikasi diri dapat diupayakan untuk meningkat dengan membuat manipulasi melalui empat hal tersebut.

2.1.1.3 Komponen Efikasi Diri

Menurut Bandura (1997) mengungkapkan bahwa perbedaan efikasi diri pada setiap individu terletak pada tiga komponen, yaitu magnitude, strength dan generality. Masing-masing mempunyai implikasi penting di dalam performansi, yang secara lebih jelas dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, tingkat kesulitan tugas (magnitude), yaitu masalah yang berkaitan dengan derajat kesulitan tugas individu. Komponen ini berimplikasi pada pemilihan perilaku yang akan dicoba individu berdasar ekspektasi efikasi pada tingkat kesulitan tugas. Individu akan berupaya melakukan tugas tertentu

(5)

yang ia persepsikan dapat dilaksanakannya dan ia akan menghindari situasi dan perilaku yang ia persepsikan di luar batas kemampuannya.

Kedua, kekuatan keyakinan (strength), yaitu berkaitan dengan kekuatan pada keyakinan individu atas kemampuannya. Pengharapan yang kuat dan mantap pada individu akan mendorong untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan, walaupun mungkin belum memiliki pengalaman–pengalaman yang menunjang. Sebaliknya pengharapan yang lemah dan ragu -ragu akan kemampuan diri akan mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak menunjang.

Ketiga, generalitas (generality), yaitu hal yang berkaitan cakupan luas bidang tingkah laku di mana individu merasa yakin terhadap kemampuannya. Individu dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya, tergantung pada pemahaman kemampuan dirinya yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada serangkaian aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi.

Jadi perbedaan efikasi diri (self-efficacy) pada setiap individu terletak pada tiga komponen, yaitu (1) tingkat kesulitan tugas, (magnitude), yaitu masalah yang berkaitan dengan derajat kesulitan tugas individu, (2) kekuatan keyakinan (strength), yaitu berkaitan dengan kekuatan pada keyakinan individu atas kemampuannya, dan (3) generalitas (generality), yaitu hal yang berkaitan cakupan luas bidang tingkah laku di mana individu merasa yakin terhadap kemampuannya.

(6)

2.1.2 Faktor Kontekstual

Dalam dunia mahasiswa dan perguruan tinggi sebagai penyelenggara faktor kontekstual diterjemahkan sebagai faktor lingkungan di perguruan tinggi yang dapat mempengaruhi intensi berwirausaha pada mahasiswa, meliputi situasi ekonomi, politik, dan budaya di sebuah negara, kompleksitas administrative, akses terhadap sumber daya, serta infrastruktur fisik dan institusional (Kristiansen dan Indarti, 2004).

Menurut Susdiyanto dan Ahmad (2009), pembelajaran kontekstual adalah proses pembelajaran yang bertolak dari proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada, dalam arti bahwa apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, sehingga pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.

Menurut Gurbuz dan Aykol (2008) pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang berorientasi pada penciptaan semirip mungkin dengan situasi “dunia nyata”. Melalui pembelajaran kontekstual dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata, sehingga dapat membantu siswa untuk memahami materi pelajaran (Suprijono, 2011). Sehubungan dengan itu, faktor kontekstual yang cukup mendapat perhatian peneliti adalah dukungan akademik (academic support), dukungan sosial (social support) dan kondisi lingkungan usaha (environmental support)

(7)

1. Academic Support (Dukungan Akademik)

Menurut Bandura dalam Alwisol (2009), dukungan akademik (academic Support) mengacu pada faktor-faktor yang berkaitan dengan dukungan bagi seorang pelajar untuk mencapai dan menyelesaikan tugas tugas studi dengan target hasil dan waktu yang telah ditentukan. Sementara itu PP No. 60 Tahun 1999 dalam (kemdiknas.go.id), kebebasan akademik merupakan kebebasan yang dimiliki oleh anggota sivitas akademika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab dan mandiri. Dalam kaitannya dengan dukungan akademik, kebebasan akademik merupakan implementasi bentuk dukungan akademik pada mahasiswa.

2. Social Support (Dukungan Sosial)

Dimatteo (1991) menyatakan bahwa Dukungan Social (social support) adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, rekan kerja dan orang lain. Menurut Kail dan Cavanaug (2000) mendefinisikan dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang-orang disekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari- hari dalam kehidupan. Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang yang memiliki hubungan sosial akrab dengan individu yang menerima bantuan.

(8)

3. Environmental Support (Kondisi Lingkungan)

Schneider dalam Ellias & Loomis (2000), menjelaskan bahwa lingkungan dianggap dapat menciptakan penyesuaian diri yang cukup sehat bagi pelajar bila individu dibesarkan dalam keluarga dimana terdapat keamanan, cinta, respek, toleransi dan kehangatan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lingkungan tempat belajar merupakan lingkungan kedua setelah lingkungan keluarga yang membentuk individu.

Kondisi Lingkungan (environmental support) adalah keadaan lingkungan yang baik dan teratur dalam infrastruktur fisik, aset fisik perusahaan, laboratorium libang dan hal-hal yang tidak berwujud (manusia, modal, rutinitas, sumber daya) memiliki peranan dalam mendorong intensit berwirausaha (Beck, 2005).

2.1.3 Faktor Sikap

Sikap mewakili perasaan senang atau tidak senang seseorang terhadap suatu obyek. Aaker (2001) mendefinisikan sikap sebagai konstruk psikologis (psychological constructs). Sikap menunjukkan status mental seseorang yang digunakan oleh individu untuk menyusun cara mereka mempersepsikan lingkungan mereka dan memberi petunjuk cara meresponnya.

Kotler (2003) mendefinisikan sikap sebagai evaluasi, perasaan emosional, dan kecenderungan bertindak baik yang favorable maupun unfavorable serta bertahan lama dari seseorang terhadap suatu obyek atau idea. Sikap cenderung membentuk pola yang konsisten. Sikap relatif sulit berubah dan sikap membuat orang berperilaku relatif konsisten terhadap suatu obyek. Sikap

(9)

dapat didefinisikan sebagai suatu evaluasi menyeluruh yang memungkinkan individu merespons dengan cara yang menguntungkan atau tidak menguntungkan secara konsisten berkaitan dengan suatu obyek (Engel, et al, 1994).

Menurut Assael (2001) sikap didefinisikan kecenderungan yang dipelajari untuk memberikan respon kepada obyek atau kelas obyek secara konsisten baik dalam rasa suka maupun tidak suka. Menurut Mowen (2002) sikap merupakan afeksi atau perasaan terhadap sebuah rangsangan. Berdasarkan dua definisi di atas sikap dapat disimpulkan sebagai kecenderungan yang dipelajari untuk memberi respon atau menerima rangsangan terhadap obyek secara konsisten baik dalam rasa suka maupun tidak suka. Sikap berwirausaha yaitu kecenderungan untuk bereaksi secara afektif dalam menanggapi risiko yang akan dihadapi dalam suatu bisnis. Sikap berwirausaha diukur dengan skala sikap berwirausaha dengan indikator tertarik dengan peluang usaha, berfikir kreatif dan inovatif, pandangan positif mengenai kegagalan usaha, memiliki jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab, dan suka menghadapi risiko dan tantangan (Gadaam, 2008).

Menurut Wijaya (2008) bahwa sikap, norma subyektif dan efikasi diri secara simultan berpengaruh terhadap intensi dan perilaku berwirausaha. Tjahjono (2007) mengatakan niat mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk menjadi wirausaha secara simultan dipengaruhi sikap, norma subyektif dan kontrol keperilaku yang dirasakan.

(10)

Teori Tingkah Laku yang direncanakan (Theory of Planed Behavior) diperkenalkan Ajzen (1985,1987), teori ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori sebelumnya yaitu reasoned action (tindakan beralasan). Teori ini menambahkan sebuah konstruk yaitu perceived behavior control atau Kontrol perilaku yang dipersepsi. Teori tingkah laku yang terencanakan adalah banyak perilaku tidak semuanya dibawah kontrol penuh individual sehingga perlu ditambahkan konsep kontrol perilaku yang dipersepsi. Teori ini mengansumsi bahwa kontrol perilaku yang dipersepsi mempunyai implikasi motivisional terhadap minat-minat, selain itu adanya hubungan antara perilaku yang dipersepsi dengan perilaku. Suatu perilaku tidak ditentukan oleh sikap dan norma subjektif semata, tetapi juga terdapat pada persepsi individu dan kenyakinan kontrol tersebut. Ajzen juga menambahakan faktor latar belakang pada teori ini.

Azjen dan Fishbein (1988) dalam Theory of Planned Behavior membuktikan bahwa intensi dan perilaku berwirausaha tidak hanya dipengaruhi oleh sikap, norma subyektif akan tetapi kontrol perilaku juga turut mempengaruhi perilaku berwirausaha. sebuah perilaku dengan keterlibatan tinggi membutuhkan keyakinan dan evaluasi untuk menumbuhkan sikap, norma subyektif, dan kontrol keperilakuan dengan intensi sebagai mediator pengaruh berbagai faktor faktor motivasional yang berdampak pada suatu perilaku. Keputusan berwirausaha merupakan perilaku dengan keterlibatan tinggi (high involvement) karena dalam mengambil keputusan akan melibatkan faktor internal seperti kepribadian, persepsi,

(11)

motivasi, pembelajaran (sikap), faktor eksternal seperti keluarga, teman, tetangga dan lain sebagainya (norma subyektif).

Gurbuz dan Aykol (2008), menemukan beberapa unsur sikap yang terdapat dalam model Teori Tingkah Laku yang direncanakan (Theory of Planned Behavior) dari Fishbein dan Ajzen (TPB) berpengaruh terhadap niat kewirausahaan mahasiswa. Unsur- unsur sikap yang terdapat dalam TPB mencakup kekuasaan/otoritas (autonomy/authority), tantangan & peluang ekonomi (economic & challenge), realisasi diri & percaya Diri (self realization & perceived confidence), keamanan & beban kerja (security & workload), menghadapi atau menghindari tanggung jawab (avoid responsibility), dan dukungan sosial & karir (Social environment & career).

2.1.4 Intensi

Pendekatan teoritis yang digunakan untuk menjelaskan intensi perilaku dalam penelitian ini adalah teori perilaku terencana yang merupakan pengembangan teori tindakan beralasan yang dikemukakan oleh Azjen dalam Wrightmans (1993). Teori ini menjelaskan bahwa intensi merupakan kunci utama untuk memprediksi perilaku manusia dan sebagai sebuah konstruk psikologis yang menunjukan kekuatan motivasi seseorang dalam hal perencanaan yang sadar dalam usaha untuk menghasilkan perilaku yang dimaksud (Eagly dan Chaiken, 1993).

(12)

Fishbein dan Ajzen dalam indiarti dan sirine (2011) mengemukakan bahwa berdasarkan teori tersebut, intensi merefleksikan keinginan individu untuk mencoba menetapkan perilaku, yang terdiri dari tiga determinan, yaitu:

1. Sikap Terhadap Perilaku

Sikap terhadap perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan. Individu yang memiliki keyakinan yang positif terhadap suatu perilaku akan memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan tersebut. Atau dengan kata lain, sikap yang mengarah pada perilaku ditentukan oleh konsekuensi yang ditimbulkan oleh perilaku, yang disebut dengan istilah keyakinan terhadap perilaku.

2. Norma Subjektif

Keyakinan mengenai perilaku apa yang bersifat normatif ( yang diharapkan orang lain) dan motivasi untuk bertindak sesuai dengan harapan normatif tersebut membentuk norma subjektif dalam individu. Keyakinan yang mendasari norma subjektif yang dimiliki individu disebut sebagai keyakinan normatif. Individu memiliki keyakinan bahwa individu atau kelompok tertentu akan menerima atau tidak menerima tindakan yang dilakukannya. Apabila individu meyakini apa yang menjadi norma kelompok, maka ia akan mematuhi dan membentuk perilaku yang sesuai dengan kelompoknya. Dapat disimpulkan, bahwa norma kelompok inilah yang membentuk norma subjektif dalam diri individu, yang akhirnya akan membentuk perilakunya.

(13)

3. Kontrol Perilaku Yang Disadari

Kontrol perilaku merupakan keyakinan tentang ada atau tidaknya faktor faktor yang memfasilitasi dan menghalangi performansi perilaku individu. Kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan individu mengenai seberapa sulit atau mudahnya untuk melakukan perilaku yang bersangkutan. Keyakinan ini didasari oleh pengalaman terdahulu tentang perilaku tersebut, yang dipengaruhi oleh informasi dari orang lain, misalnya dari pengalaman orang-orang yang dikenal/teman-teman. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang meningkatkan atau mengurangi kesulitan yang dirasakan jika melakukan tindakan atau perilaku tersebut. Kontrol perilaku ini sangat penting artinya ketika rasa percaya diri seseorang sedang berada dalam kondisi lemah.

Menurut teori perilaku berencana, keyakinan-keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu, pada norma-norma subjektif, dan pada kontrol perilaku yang dihayati. Ketiga dimensi ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi intensi yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak (Azwar, 2005).

Berdasarkan penjelasan di atas maka pengertian intensi adalah kesungguhan niat seseorang untuk melakukan perbuatan atau memunculkan suatu perilaku tertentu.

(14)

2.1.5 Kewirausahaan

Menurut Drucker dalam Suryana (2000), mengartikan kewirausahaan sebagai semangat, kemampuan, sikap, perilaku individu dalam menangani usaha/kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi, dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Untuk memperoleh keuntungan diperlukan kreatifitas dan pennemuan hal-hal baru.

Sedangkan menurut Meredith dalam Suryana (2000), para wirausaha adalah orang – orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan – kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber – sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dari padanya dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan sukses.

Wirausaha adalah usaha untuk menciptakan nilai dengan peluang bisnis, berani mengambil resiko dan melakukan komunikasi serta ketrampilan melakukan mobilisasi agar rencana dapat terlaksana dengan baik. Pendapat lain dikemukakan oleh Pekerti dalam Suryana (2000), bahwa wirausaha adalah individu yang mendirikan, mengelola, mengembangkan dan melembagakan perusahaan miliknya sendiri dan individu yang dapat menciptakan kerja bagi orang lain dengan berswadaya.

(15)

Ada enam hakekat penting kewirausahaan yaitu (Suryana, 2003) salah satunya, sebagai berikut:

Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda untuk memenangkan persaingan. Nilai tambah tersebut dapat diciptakan dengan cara mengembangkan teknologi baru, menemukan pengetahuan baru, menemukan cara baru untuk menghasilkan barang dan jasa yang baru yang lebih efisien, memperbaiki produk dan jasa yang sudah ada, dan menemukan cara baru untuk memberikan kepuasan kepada konsumen.

Kewirausahaan secara ringkas berdasarkan keenam konsep diatas dapat didefinisikan sebagai sesuatu kemampuan kreatif dan inovatif (create new and different) yang dijadikan kiat, dasar, sumber daya, proses dan perjuangan untuk menciptakan nilai tambah barang dan jasa yang dilakukan dengan keberanian untuk menghadapi risiko (Suryana, 2000).

Sesuai dengan inti dari jiwa kewirausahaan yaitu kemampuan untuk menciptakan seuatu yang baru dan berbeda (create new and different) melalui berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menciptakan peluang dalam menghadapi tantangan hidup, maka seorang wirausaha harus mempunyai kemampuan kreatif di dalam mengembangkan ide dan pikiranya terutama di dalam menciptakan peluang usaha di dalam dirinya, seseorang dapat mandiri menjalankan usaha yang digelutinya tanpa harus bergantung pada orang lain, seorang wirausaha harus dituntut untuk selalu menciptakan hal yang baru dengan

(16)

jalan mengkombinasikan sumber-sumber yang ada di sekitarnya, mengembangkan teknologi baru, menemukan pengetahuan baru, menemukan cara baru untuk menghasilkan barang dan jasa yang baru yang lebih efisien, memperbaiki produk dan jasa yang sudah ada, dan menemukan cara baru untuk memberikan kepuasan kepada konsumen.

Berdasarkan penjelasan di atas maka pengertian Kewirausahaan adalah orang yang menciptakan kerja bagi orang lain dengan cara mendirikan, mengembangkan, dan bersedia mengambil resiko pribadi dalam menemukan peluang berusaha dan secara kreatif menggunakan potensi-potensi dirinya untuk mengenali produk, mengelola dan menentukan cara produksi, menyusun operasi untuk pengadaan produk, memasarkannya serta mengatur permodalan operasinya.

2.5.1 Karakteristik Kewirausahaan

Menurut Kuriloff dan Mempil dalam Suryana (2000). Mengemukakan bahwa karakteristik kewirausahaan meliputi komitmen, resiko yang moderat, peluang, obyektif, umpan balik, optimisme, uang, proaktif dalam manajemen. Dalam beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa wirausaha harus selalu optimis dalam melakukan pekerjaannya sampai tujuan tercapai. Wirausaha harus tekun, ulet, tidak mudah putus asa sebelum tujuannya tercapai. Dalam bekerja wirausaha tidak asal berspekulasi tapi segala sesuatunya telah diperhitungkan sebelumnya. Karena itu wirausaha harus didukung dengan semangat yang tinggi. yang mendorong wirausaha terus berjuang mencari peluang sampai usahanya membuahkan hasil. Hasil hasil yang dicapai harus jelas dan

(17)

obyektif, juga merupakan umpan balik bagi kelancaran usahanya. Dengan semangat yang tinggi karena usahanya berhasil, sehingga keuntungan uang yang diperoleh harus dikelola secara aktif dan dianggap sebagai sumber daya yang penting.

2.1.5.2 Fungsi Wirausaha

Menurut Suryana (2000) dilihat dari ruang lingkupnya wirausaha memiliki dua fungsi, yaitu fungsi makro dan fungsi mikro. Secara makro, wirausaha berperan sebagai penggerak pengendali dan pemacu perekonomian suatu bangsa. Sedangkan secara mikro, peran wirausaha adalah penanggung resiko dan ketidakpastian, mengombinasikan sumber-sumber ke dalam cara yang baru dan berbeda untuk menciptakan nilai tambah dan usaha-usaha baru.

2.5.3 Keuntungan dan Kelemahan Menjadi Wirausaha

Menurut Alma (2006) menyatakan bahwa keuntungan menjadi wirausaha adalah, Terbuka peluang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki sendiri, terbuka peluang untuk mendemonstrasikan kemampuan serta potensi seseorang secara penuh, terbuka peluang untuk memperoleh manfaat dan keuntungan secara maksimal, terbuka peluang untuk membantu masyarakat dengan usaha-usaha konkrit da terbukanya kesempatan untuk menjadi bos.

Kelemahannya menjadi wirausaha adalah, memperoleh pendapatan yang tidak pasti, dan memikul berbagai resiko. Jika resiko ini telah diantisipasi secara baik, maka berarti wirausaha telah menggeser resiko tersebut, bekerja keras dan

(18)

usahanya berhasil, sebab dia harus berhemat, tanggung jawabnya sangat besar, dan banyaknya keputusan yang harus dia buat walaupun dia kurang menguasai permasalahan yang dihadapinya.

2.1.6 Intensi Kewirausahaan

Menurut Kyrö dan Carrier (2005) Intensi Kewirausahaan merupakan sebuah proses yang berlangsung dalam jangka panjang. menurut Lee dan Wong, (2004). Dalam kondisi ini, intensi berwirausaha merupakan langkah pertama yang perlu dipahami dari sebuah proses pembentukan usaha yang seringkali memerlukan waktu dalam jangka panjang. Lebih lanjut Lee dan Wong menyatakan bahwa intensi berwirausaha dapat diartikan sebagai langkah awal dari suatu proses pendirian sebuah usaha yang umumnya bersifat jangka panjang.

Menurut Krueger (1993), intensi berwirausaha mencerminkan komitmen seseorang untuk memulai usaha baru dan merupakan isu sentral yang perlu diperhatikan dalam memahami proses kewirausahaan pendirian usaha baru. Intensi berwirausaha dapat diartikan sebagai proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembentukan suatu usaha (Katz dan Gartner 1988). Lebih lanjut, Katz dan Gartner membuktikan bahwa seseorang dengan intensi untuk memulai usaha akan memiliki kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai usaha.

Intensi berwirausaha merupakan prediksi yang reliabel untuk mengukur perilaku kewirausahaan dan aktivitas kewirausahaan (Krueger et al. 2000).

(19)

Umumnya, intensi berwirausaha adalah keadaan berfikir yang secara langsung dan mengarahkan perilaku individu ke arah pengembangan dan implementasi konsep bisnis yang baru (Krueger et al. 2009). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa intensi berwirausaha adalah niat seseorang untuk medirikian suatu bisnis atau menerapkan konsep bisnis. Dalam literatur kewirausahaan, faktor terpenting yang membentuk intensi berwirausaha adalah faktor psikologis. Faktor-faktor psikologis menjelaskan pola bertindak melalui intensi seseorang dalam memilih berwirausaha sebagai karir (Sagiri dan Appolloni, 2009). Faktor-faktor psikologis ini terdiri atas Penentuan Nasib Sendiri (self-determination), Kemampuan Menghadapi Resiko (risk-bearing ability), serta Kepercayaan dan Sikap (belief and attitude).

1. Penentuan Nasib Sendiri (Self-determination)

Menurut Spreitzer (1997) penentuan nasib sendiri (self-determination) merupakan keyakinan seseorang bahwa orang tersebut mempunyai kebebasan atau otonomi dan kendali tentang bagaimana mengerjakan pekerjaannya. Self determination merupakan anggapan bahwa suatu pekerjaan tidak membutuhkan satu perasaan seseorang yang memiliki peluang untuk menggunakan inisiatif dan mengatur tingkah laku dalam mengerjakan pekerjaan mereka Dalam pandangan humanistik, self-determination (penentuan diri) merupakan sesuatu yang aktif yang mana terdapat self aware ego dan memiliki kesadaran diri (self consciousness).

(20)

2. Kemampuan Menghadapi Resiko (Risk bearing ability)

Risiko adalah sesuatu yang selalu dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya keadaan yang merugikan dan tidak diduga sebelumnya bahkan bagi kebanyakan orang tidak menginginkannya. Risk bearing ability atau dikenal juga sebagai risk taking propensity merupaan salah satu faktor penting dalam menciptakan usaha baru. Risiko yang dihadapi oleh wirausaha dapat berbentuk risiko psikologis, finansial, maupun sosial. Seorang wirausaha harus mampu mengatasi berbagai risiko yang dihadapi agar dapat memperoleh imbalan atas usaha-usaha yang telah dilakukannya, terutama imbalan finansial yang sering di identifikasikan sebagai wujud kesuksesan seorang wirausaha. Dengan kata lain, risk bearing ability merupakan kemampuan seorang wirausaha untuk mengatasi berbagai risiko yang dihadapi dalam upaya mencapai kesuksesan usahanya.

3. Kepercayaan dan Sikap (Belief and attitude)

Perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh belief and attitude yang dimilikinya. Belief and attitude memegang peran penting dalam menentukan tindakan seseorang. Terkait dengan intensi berwirausaha, belief and attitude berperan penting dalam diri seseorang saat mengambil pilihan berwirausaha sebagai karir yang akan ditekuni. Faktor ini juga dapat diterjemahkan sebagai persepsi individu atas keinginan pribadi untuk melakukan tindakan-tindakan berwirausaha seperti menciptakan usaha baru (Krueger et al., 2000).

(21)

2.1.7 Penelitian terdahulu Tabel 2.1 PenelitianTerdahulu No Peneliti (Tahun Penelitian) Judul Penelitian Variable Penelitian Hasil Penelitian

1 Krueger et al. (2000) Competing Models Of Entrepreneurial Intentions Independen: Expected Values, Normative Beliefs, Percieved Self-Efficacy Depended: Entrepreneurial Intentions

1. Nilai harapan berpengaruh signifikan terhadap intensi kewirausahaan.

2. Kepercayaan akan sikap nomatif tidak berpengaruh secara signifikan terhadap intensi kewirausahaan. 3. Efikasi diri berpengaruh signifikan terhadap intensi kewirausahaan 2 Wilson et al. (2007) Gender,

Entrepreneurial Self-Effiacy, and Entrepreneurial Career Intention: Implications For Entrepreneurship Education Independen: Gender, Entrepreneurial Self-Effiacy, Entrepreneurial Career Intention Depended: Entrepreneurship Education

1. Pada tingkat SMA jender, efikasi diri, pemilihan karir berwirausaha ketika tidak diberikan pendidikan kewirausahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap intensi kewirausahaan.

2. Pada tingkat perguruan tinggi ketika diberikan pendidikan kewirausahaan jender, efikasi diri, pemilihan karir berwirausaha berpengaruh signifikan terhadap intensi kewirausahaan. 3 Indiarti dan Rostiani

(2008) Intensi Kewirausahaan Mahasiswa : Studi Perbandingan antara Indonesia, Jepang dan Norwegia Independen: Faktor kepribadian, Faktor lingkungan, Faktor demografis Depended: Intensi Kewirausahaan

1. Efikasi diri secara signifikan mempengaruhi intensi kewirausahaan.

2. Kebutuhan akan prestasi, umur, dan jender tidak terbukti secara signifikan sebagai prediktor intensi kewirausahaan.

4 Izquierdo dan Buelens (2008) Competing Models of Entrepreneurial Intentions : The Influence of Entrepreneurial Self-efficacy and Attitudes

Independen: Self-efficacy, Attitudes Dependen: Entrepreneurial Intension

1. Efikasi diri berhubungan secara positif dengan intensi kewirausahaan. 2. Sikap berhubungan kuat secara signifikan terhadap intensi kewirausahaan

5 Suharti dan Sirine (2011) Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Niat Kewirausahaan Independen: Sosio Demografi, Faktor Sikap, Faktor Kontekstual Depended: Intensi kewirausahaan

1. Faktor sosio demografi berpengaruh signifikan terhadap intensi kewirausahaan. 2. Faktor sikap secara positif dan signifikan berpengaruh terhadap intensi kewirausahaan. 3. Faktor Kontekstual tidak berpengaruh secara signifikan terhadap intensi kewirausahaan 6 Andika dan Madjid (2012) Analisis Pengaruh

Sikap, Norma Subyektif dan Efikasi Diri Terhadap Intensi Berwirausaha Independen: Sikap, Norma Subjektif, Efikasi Diri Dependen: Intensi Kewirausahaan

1. Sikap, Norma Subjektif, dan Efikasi diri secara simultan berpengaruh secara signifikan terhadap intensi berwirausaha.

(22)

7. Silvia (2013) Pengaruh

Entrepreneurial traits

dan Entrepreneurial

skills terhadap intensi

kewirausahaan Independen: Entrepreneurial Traits, Entrepreneurial skilll Dependen: Intensi Kewirausahaan

1. Entrepreneurial Traits dan

Entrepreneurial skills tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap intensi kewirausahaan.

8 Hetty dan Hani (2013) Pengaruh Faktor Psikologis dan Kontekstual Terhadap Intensi Berwirausaha Independen: Faktor Psikologis, Kontekstual Dependen: Intensi Kewirausahaan

1. Faktor Psikologis dan Kontekstual berpengaruh secara positf dan signifikan terhadap intensi kewirausahaan

Sumber: Data Diolah (2014)

2.1.8. Kerangka Konseptual

Intensi kewirausahaan atau niat kewirausahaan dapat diaritikan sebagai langkah awal dari suatu proses pendirian sebuah usaha yang umumnya bersifat jangka panjang, Niat kewirausahaan mencerminkan komitmen seseorang untuk memulai usaha baru dan merupakan isu sentral yang perlu diperhatikan dalam memahami proses kewirausahaan pendirian usaha baru (Suharti dan Sirene, 2011).

Salah satu varibale yang mempengaruhi intensi kewirausahan adalah efikasi diri. Berdasarkan hasil dari penelitian (Indarti dan Rostiani, 2008; Andika dan Madjid, 2012), efikasi diri mempengaruhi intensi berwirausaha. Menurut Bandura (1977) mendefinisikan efikasi diri sebagai kepercayaan seseorang atas kemampuan dirinya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Efikasi diri sebagai indikator kepercayaan diri akan menimbulkan sikap merasa mampu akan mendirikan usaha baru dan kemampuan mengelola usaha. Sikap-sikap kepercayaan diri tersebut akan membentuk indikator prilaku yang mempengaruhi intensi kewirausahaan.

(23)

Menurut Kristiansen dan Indarti (2004) variable lainnya yang mempengaruhi intensi kewirausahaan adalah faktor kontekstual dan sikap. Faktor kontekstual bila diterjemahkan dalam dunia mahasiswa dan perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan kewirausahaan, faktor kontekstual ini di terjemahkan sebagai lingkungan yang dapat mempengaruh intensi kewirausahaan pada mahasiswa, situasi ekonomi, meliputi akses pada sumber daya, infrastruktur fisik dan institusional. Menurut Suprijono (2011) Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang berorientasi pada penciptaan semirip mungkin dengan situasi “dunia nyata”. Faktor kontekstual akan menguji apakah perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan kewirausahaan telah mempengaruhi intensi kewirausahaan mahasiswa.

Sikap menurut Assael (2001) sikap didefinisikan kecenderungan yang dipelajari untuk memberikan respon kepada obyek atau kelas obyek secara konsisten baik dalam rasa suka maupun tidak suka. Gadaam (2008) menyatakan sikap berwirausaha yaitu kecenderungan untuk bereaksi secara afektif dalam menanggapi risiko yang akan dihadapi dalam suatu bisnis. (Andika dan Madjid, 2012). Pada penelitian Tjahjono dan Ardi (2010) digunakan beberapa unsur sikap yang digunakan sebagai indikator yang dapat mempengaruhi intensi kewirausahaan yaitu kekuasaan/otoritas (autonomy/authority), tantangan & peluang ekonomi (economic & challenge), realisasi diri & percaya diri (self realization & perceived confidence), keamanan & beban kerja (security & workload), menghadapi atau menghindari tanggung jawab (avoid responsibility), dan dukungan sosial & karir (Social environment & career).

(24)

Berdasarkan unsur unsur sikap tersebut pada penelitian ini yang akan diuji di sikap yang menurut peneliti umum dengan sikap mahasiswa yaitu economic and challenge (peluang dan tantangan), self-realization and patisipation (realisasi diri dan partisipasi), dan security and workload (keamanan dan beban kerja), sebagai indikator sikap terhadap intensi kewirausahaan.

Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah efikasi diri, faktor kontekstual, dan sikap berpengaruh terhadap intensi kewirausahaan sehingga menjadi dasar peneliti dalam penelitian.

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Efikasi Diri (X1) Faktor Kontekstual (X2) Faktor Sikap (X3) Intensi Kewirausahaan (Y)

(25)

2.1.9 Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka konseptual, maka dirumuskan beberapaa hipotesis yang akan di uji dalam penelitian ini :

1. Hipotesis 1: Efikasi diri berpengaruh signifikan terhadap intensi kewirausahaan pada mahasiswa Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara

2. Hipotesis 2: Faktor kontekstual berpengaruh signifikan terhadap intensi kewirausahaan pada mahasiswa Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara

3. Hipotesis 3: Sikap berpengaruh signifikan terhadap intensi kewirausahaan pada mahasiswa Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara

Gambar

Gambar 2.1  Kerangka Konseptual Efikasi Diri  (X1) Faktor Kontekstual (X2) Faktor Sikap (X3)  Intensi Kewirausahaan (Y)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil output yang disajikan menjadi tidak ada lagi data angka yang sedemikian berlimpah, dengan begitu dalam hal ini pimpinan dapat langsung mengidentifikasikan

Tujuan dari penelitian ini adalah terbentuknya web komunitas yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana saling berbagi informasi, diskusi dan tempat penyampaian materi secara on

Sampai saat ini baru ada dua varietas unggul nasional yakni Roro Anteng dan Dian Arum. Varietas Roro Anteng berasal dari seleksi dan pemutihan kultivar lokal dari kecamatan

4) mokymų efektyvumui yra svarbus mo - kymų trukmės ir darbo krūvio santykis. Nuotolinis ugdymas mokymų dalyvių buvo įvertintas kaip mažiau efektyvus nei auditorinis dėl

Transaksi offline maupun online tetap diatur di dalam undang-undang perlindungan konsumen karena undang-undang ini ditujukan untuk melindungi konsumen dalam transaksi jual

Terhadap faktor penyebab lambatnya proses penyidikan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan luka di Kepolisian Sektor Mandau sebaiknya peningkatan kualitas

Gambaran Seksio Sesarea Darurat pada Persalinan.. di

Sejak tahun 1969 usaha-usaha untuk melaksanakan penelitian penda- patan regional telah dilakukan oish berbagai universmtas sehingga akhir- nya menghasilkan pembentukan