• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN, STATUS EKONOMI, DAN LINGKUNGAN DENGAN PRILAKU SEKS REMAJA (14 – 17 TAHUN) DI GAMPONG KUTA PADANG KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATEN ACEH BARAT SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN TINGKAT PENDIDIKAN, STATUS EKONOMI, DAN LINGKUNGAN DENGAN PRILAKU SEKS REMAJA (14 – 17 TAHUN) DI GAMPONG KUTA PADANG KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN KABUPATEN ACEH BARAT SKRIPSI"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN

KABUPATEN ACEH BARAT

SKRIPSI

PIPIT SYAPUTRI

NIM : 06C10104215

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS TEUKU UMAR

MEULABOH

(2)

KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN

KABUPATEN ACEH BARAT

SKRIPSI

PIPIT SYAPUTRI

NIM : 06C10104215

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS TEUKU UMAR

MEULABOH

(3)

KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN

KABUPATEN ACEH BARAT

SKRIPSI

PIPIT SYAPUTRI

NIM : 06C10104215

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh \Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Teuku Umar

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS TEUKU UMAR

MEULABOH

(4)

1 1.1. Latar Belakang

Masa remaja merupakan suatu fase tumbuh kembang yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial. Untuk tercapainya tumbuh kembang remaja yang optimal tergantung pada potensi biologiknya. Tingkat tercapainya potensi biologik seorang remaja merupakan hasil interaksi faktor genetik dan lingkungan bio- fisik-psikososial (Dhamayanti, 2009).

Perilaku seks bebas di dunia saat ini terus mengalami peningkatan yang sangat pesat. Pitchkal melaporkan bahwa di AS, 25% anak perempuan berusia 15 tahun dan 30% anak laki- laki usia 15 tahun telah berhubungan intim. Di Inggris, lebih dari 20% anak perempuan berusia 14 tahun rata-rata telah berhubungan seks dengan tiga laki- laki. Di Spanyol, dalam survei yang dilakukan tahun 2003, 94,1% pria hilang keperjakaannya pada usia 18 tahun dan 93,4% wanita hilang keperawanannya pada usia 19 tahun (Arief, 2009).

(5)

Temuan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa dari hasil riset yang dilakukan di 12 kota besar di Indonesia terhadap 2800 pelajar putra dan putri, 76 persen responden perempuan mengaku pernah pacaran dan mengaku 6,3 persen pernah making love (ML), sementara responden laki- laki 72 persen mengaku pernah pacaran dan sebanyak 10 persen diataranya pernah melakukan ML (KPAI, 2009).

Pada tahun 2009 survei tentang remaja dilaksanakan di Aceh, Jawa Tengah, NTT dan Papua. Responden dalam survey remaja sebanyak 10.670 responden. Variable yang digunakan adalah pemaparan pornografi melalui media elektronik (TV, VCD, video games), media cetak (majalah, buku, komik), dan internet, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, perilaku seks sebelum menikah. Hasil survey secara umum yang mengaku pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah masih dibawah 5% yaitu 3,8%. Sedangkan hamp ir sepertiga responden pernah menyaksikan keterpaparan terhadap pornografi melalui media TV/VCD (28,9%), sebanyak seperlima responden terpapa r melalui majalah, buku dan komik (23,2%) dan yang terpapar pornografi melalui internet sebesar 18,8%. Sekitar tiga perempat responden ternyata memiliki pengetahauan kesehatan reproduksi kurang (72,8%) (Wong, 2004).

Hasil survey yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi (Dinkesprov) Aceh pada tahun 2012, di mana Kota Lhokseumawe menduduki peringkat pertama terbanyak pelaku seks pranikah di kalangan pelajar, yaitu 70%, menyusul Banda Aceh sebanyak 50% (Husna, 2013).

(6)

kemudian dari jumlah yang berpacaran tersebut 53% remaja pria dan 40% remaja perempuan menyebutkan pernah bercumbuan, bahkan disebutkan 22% remaja pria dan 8% remaja perempuan pernah melakukan tindakan saling merangsang dengan pacar masing- masing. Dari survey tersebut 10% remaja pria dan 3% remaja perempuan pernah melakukan hubungan seksual dengan pasangannya (dalam penelitian Kartini, 2010).

Berdasarkan survey awal di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan, didapatkan jumlah kepala keluarga (KK) yang mempunyai anak remaja (14-17 tahun) sebanyak 858 KK dengan jumlah remaja sebanyak 258 jiwa. maka peneliti melakukan wawancara dengan 10 orang remaja didapatkan 3 orang (30%) remaja mengaku pernah melakukan ciuman dengan lawan jenis, 2 orang (20%) mengaku suka menonton film porno, dan 5 orang (50%) remaja tidak menjawab pertanyaan dari penulis.

Sedangkan hasil wawancara dengan beberapa orang tua, didapatkan bahwa sebagian besar orang tua kurang memperhatikan bahkan belum mengerti bagaimana cara memberikan pendidikan seks terhadap anaknya. Banyak orangtua masih menganggap bicara seks itu tabu, karena tidak pantas dibicarakan secara terbuka untuk alasan apapun. Salah satu penyebabnya adalah dari kelemahan orang tua dalam menguasai kaidah-kaidah tentang aturan perilaku seksual dan perkembangannya, hingga dapat menyebabkan beberapa penyimpangan seksual yang berkembang dikalangan remaja (N gawi, 2011).

(7)

Bentuk-bentuk perilaku tidak sehat pada remaja makin lama makin meningkat dan beresiko tinggi. Dalam beberapa penelitian diungkapkan (Ungki, 2008; Damayanti, 2007; Aliyah, 2006; Gusmiarni, 2000; Aminudin, dkk: 1997) beragam perilaku seksual beresiko diantaranya: gaya pacaran yang tidak sesuai norma, kekerasan dalam pacaran (KDP), seks bebas, kehamilan yang tidak diharapkan (KTD), aborsi, penyakit menular seksual (PMS), dan penggunaan alat kontrasepsi yang tidak sesuai aturan.

Remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (K TD) secara tak langsung dipaksa menjadi orang tua muda. Di usia yang terlalu dini remaja be lum mempunyai kesiapan yang cukup baik secara emosional maupun finansial. Remaja terpaksa harus merawat anak bahkan mengorbankan kesempatan menempuh pendidikan. Tak jarang pernikahan dini berakibat pada timbulnya masalah ketidakstabilan rumah tangga, masalah ekonomi, serta pengasuhan anak (Furstenberg dalam Sarwono, 2007).

Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda- mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar (Sarwono, 2007).

(8)

Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat (Wong, 2007).

Peranan orangtua amatlah besar dalam memberikan pilihan jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putrinya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua. Berbahaya jika

“lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan

yang diberikan oleh orangtua (Sarwono, 2007).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah “Hubungan tingkat pendidikan, status ekonomi dan lingkungan dengan prilaku seks pada remaja (14-17 tahun) di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014”.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

(9)

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk menganalisis hubungan tingkat pendidikan dengan prilaku Seks Pada Anak Remaja (14-17 Tahun) di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014.

2. Untuk menganalisis hubungan status ekonomi dengan prilaku Seks Pada Anak Remaja (14-17 Tahun) di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014.

3. Untuk menganalisis hubungan lingkungan dengan prilaku Seks Pada Anak Remaja (14-17 Tahun) di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014.

1.4. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah pernyataan yang masih lemah dan perlu diuji kebenarannya, sehingga membutuhkan pembuktian untuk menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau ditolak. Hipotesis dalam penelitian ini adalah (Arikunto, 2006) : 1) Ho : Tidak ada hubungan jenis kelamin dengan dengan prilaku seks remaja (14 –

17 tahun) di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.

2) Ha : Ada hubungan tingkat pendidikan dengan prilaku seks remaja (14 – 17 tahun) di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.

3) Ha : Ada hubungan status ekonomi dengan prilaku seks remaja (14 – 17 tahun) di Gampong K uta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat. 4) Ha : Ada hubungan lingkungan dengan prilaku seks remaja (14 – 17 tahun) di

(10)

1.5. Manfaat Penulisan 1) Bagi Remaja

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menganalisis faktor yang

mempengaruhi perilaku seks pranikah pada remaja di Gampong K uta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.

1) Bagi Instansi Kesehatan

Diharapkan dapat bermanfaat bagi Dinas Kesehatan, dan instansi

terkait untuk perbaikan perencanaan maupun implementasi program kesehatan reproduksi.

2) Bagi peneliti

Dapat mengembangkan wawasan peneliti dan pengalaman berharga dalam melatih kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian yang berkaitan

(11)

8 2.1. Pendidikan

Perkembangan zaman di dunia pendidikan yang terus berubah dengan signifikan sehingga banyak merubah pola pikir pendidik, dari pola pikir yang awam dan kaku menjadi lebih modern. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam kemajuan pendidikan di Indonesia. Menyikapi hal tersebut pakar-pakar pendidikan mengkritisi dengan cara mengungkapkan dan teori pendidikan yang sebenarnya untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesungguhnya (Ramayulis, 2012)

Tujuan pendidikan adalah menciptakan seseorang yang berkwalitas dan berkarakter sehingga memiliki pandangan yang luas kedepan untuk mencapai suatu cita- cita yang di harapkan dan mampu beradaptasi secara cepat dan tepat di dalam berbagai lingkungan. Karena pendidikan itu sendiri memotivasi diri kita untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan (Ramayulis, 2012).

Pendidikan dapat berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran (Bernadib, 2012).

2.1.1. Pengertian Pendidikan

(12)

akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat (Ramayulis, 2012).

Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari kata „didik‟

dan mendapat imbuhan „pe‟ dan akhiran „an‟, maka kata ini mempunyai arti proses

atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kartika, 2008).

Menurut K i Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya (Bernadib, 2012).

Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Menurut Undang Undang Nomor 20 tahun 2003, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara (Bernadib, 2012).

(13)

seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia (Wong, 2007).

Dari beberapa pengertian pendidikan menurut ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain.

2.1.2. Tingkat Pendidikan

Menurut Ali (2010) orangtua adalah orang yang dianggap tua, cerdik, pandai dalam keluarga yaitu ayah dan ibu. Seorang ayah disamping memiliki kewajiban untuk mencari nafkah bagi keluarga, dia juga berkewajiban untuk mencari tambahan ilmu bagi dirinya. Seorang ayah akan dapat membimbing dan mendidik diri sendiri dan keluarganya menjadi lebih baik dengan ilmu yang dimilikinya. Demikian juga seorang ibu disamping memiliki kewajiban dalam pemeliharaan keluarga, seorang ibu pun tetap memiliki kewajiban dalam mencari ilmu. Hal itu penting karena seorang anak akan lebih dekat dengan ibunya.

(14)

Menurut McLeod dalam Syah (2011) dalam bahasa Inggris, education (pendidikan) berasal dari kata educate (mendidik) artinya memberi peningkatan (to elicit, to give rise to), dan mengembangkan (to evolve, to develop). Dalam pengertian yang sempit, education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan. Sedangkan menurut Tardif dalam Syah (2011) pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode- metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.

Coombs dalam Idris (2012) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tingkat pendidikan adalah taraf kemampuan yang ditentukan dari hasil belajar, dari saat masuk sekolah hingga kelas terakhir yang dicapai seseorang dengan mengabaikan kelebihan waktu untuk jenjang di dalam pendidikannya. Menurut Undang- undang Nomor 20 Tahun 2003 sistem pendidikan nasional, jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan adalah tingkatan pendidikan yang telah ditempuh seseorang dalam proses belajar. Semakin tinggi tingkat pendidikannya maka semakin luas pula pemikiran seseorang.

2.1.3. Pendidikan Seks

(15)

pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan (Sarwono, 2007).

Pendapat lain mengatakan bahwa Pendidikan Seks (sex education) adalah suatu pengetahuan yang kita ajarkan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin. Ini mencakup mulai dari pertumbuhan jenis kelamin (laki- laki atau wanita). Bagaimana fungsi kelamin sebagai alat reproduksi. Bagaimana perkembangan alat kelamin itu pada wanita dan pada laki- laki. Tentang menstruasi, mimpi basah dan sebagainya, sampai kepada timbulnya birahi karena adanya perubahan pada hormon-hormon. Termasuk nantinya masalah perkawinan dan kehamilan (Wong, 2004).

Program pendidikan seks harus dimulai sebelum masa pubertas dan beberapa orang menyarankan supaya program tersebut dimulai dini, yakni sejak taman kanak-kanak. Program ini harus memberi remaja pengalaman dalam mengambil keputusan pribadi dan menerapkan informasi ini dalam kehidupannya. Program yang ada harus membahas cara mengatasi tekanan dari teman sebaya, berfokus pada pria dan wanita dan melibatkan orangtua dalam upaya meningkatkan komunikasi orangtua dan remaja dan menguatkan ikatan keluarga (Bobak, 2004).

(16)

2.1.3.1. Tujuan Pendidikan Seks

Tujuan pendidikan seksual adalah untuk membentuk suatu sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak menganggap seks itu suatu yang menjijikan dan kotor. Tetapi lebih sebagai bawaan manusia, yang merupakan anugrah Tuhan dan berfungsi penting untuk kelanggengan kehidupan manusia dan supaya anak-anak itu bisa belajar menghargai kemampuan seksualnya dan hanya menyalurkan dorongan tersebut untuk tujuan tertentu (yang baik) da n pada waktu yang tertentu saja (Bobak, 2004).

2.1.3.2. Manfaat Pendidikan Seks

1. Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik, mental dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual pada remaja.

2. Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggung jawab)

3. Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seks dalam semua manifestasi yang bervariasi

4. Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga.

(17)

6. Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan mentalnya.

7. Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan.

8. Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktivitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya sebagai istri atau suami, orangtua, anggota masyarakat (Gunarsa, 2008).

2.1.3.3. Pendidikan Seks Penting Bagi Remaja

Pendidikan seks penting diberikan kepada remaja, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Upaya ini perlu dilakukan untuk mencegah hal- hal yang tidak diinginkan. Mengingat selama ini banyak remaja yang memperoleh “pengetahuan” seksnya dari teman sebaya, membaca buku porno, menonton film

porno. O leh karena itu, perlu diupayakan adanya pendidikan seks dikalangan remaja. Secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat (Gunarsa, 2008).

(18)

menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar (Bobak, 2004).

Menurut Gunarsa (2008) Alasan pendidikan seks sangat penting diajarkan kepada para remaja adalah: (1) Dapat mencegah penyimpangan dan kelainan seksual. (2) Dapat memelihara tegaknya nilai- nilai moral. (3) Dapat mengatasi gangguan psikis. (4) Dapat memberi pengetahuan dalam menghadapi perkembangan anak.

2.2. Status Ekonomi

Status ekonomi merupakan salah satu bentuk dari stratifikasi sosial dalam masyarakat. Stratifikasi sosial dalam masyarakat mencakup berbagai dimensi antara lain berdasarkan usia, jenis kelamin, agama, kelompok etnis, kelompok ras, pendidikan formal, pekerjaan dan ekonomi (K innaird, 2011).

Menurut Weber dalam Kamanto Sunarto (2009) dalam Gunarsa (2010) kelas ditandai oleh beberapa hal, antara lain kelas merupakan sejumlah orang yang mempunyai persamaan dalam hal peluang untuk hidup atau nasib. Menurut Sukanto (2004) dalam Sarwono (2004) status ekonomi ditunjukkan dalam sudut pandang keuangan masyarakat tempat tinggal objektik dalam kultur masyarakat tertentu.

2.2.1. Pekerjaan

(19)

(a) Lapangan pekerjaan

Sebaran angkatan kerja berdasarkan lapangan pekerjaan menggambarkan di sektor produksi apa saja maupun dimana saja para pekerja menyadarkan sumber nafkahnya.

(b) Status pekerjaan

Sebaran menurut status pekerjaan menjelaskan kedudukan pekerja di dalam pekerjaan yang dimiliki atau dilakukan.

(c) Jenis pekerjaan

Menurut catatan Biro Pusat Statistik (2004) dalam Gunarsa (2010) lapangan pekerjaan, status pekerjaan, dan jenis pekerjaan, menunjukkan kegiatan kongkret apa yang dikerjakan oleh pekerja yang bersangkutan. 2.2.2. Tingkat Pe nghasilan

Menurut Mulyanto Soemardi dan Hans Dierter Evers (1982) dalam Gunarsa (2010) “Tingkat penghasilan adalah pendapatan yang diperoleh keluarga beserta anggota keluarganya yang bersumber dari sektor formal, sektor informal, dan sektor subsisten dalam waktu satu bulan yang diukur berdasarkan rupiah. Cara menghitung pendapatan atau penghasialan tersebut dapat dihitung berdasarkan tiga sumber utama yaitu:

a. Pendapatan tetap (formal), yaitu pendapatan yang diperoleh dari hasil pekerjaan pokok.

b. Pendapatan tidak tetap (informal), yaitu pendapatan yang diperoleh dari hasil pekerjaan sampingan.

(20)

2.2.3. Jumlah Anggota Keluarga

Bentuk keluarga pada umumnya terdiri dari seorang suami, seorang istri, dan anak-anak yang biasanya tinggal satu rumah yang sama atau bisa disebut sebagai keluarga inti. Menurut Soetjiningsih dkk. (2010), “Keluarga diartikan sebagai suatu satuan terkecil yang memiliki manusia sebagai makhluk sosial yang ditandai adanya kerjasama ekonomi”. Besarnya anggota keluarga akan ikut menentukan besar kecilnya kegiatan dalam subsistem dan pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan konsumsi. Perilaku konsumsi dipengaruhi beberapa variabel yang relevan seperti pendapatan, jumlah anggota keluarga, jumlah anak, dan sebagainya.

2.2.4. Pola kons umsi

Pola konsumsi atau bentuk penggunaan suatu bahan atau barang dapat dilihat melalui alokasi konsumsinya. Semakin sejahtera penduduk semakin kecil pengeluaran konsumsinya untuk bahan pangan. Alokasi pengeluaran konsumsi untuk bahan pangan. Alokasi pengeluaran konsumsi masyarakat secara garis besar digolongkan kedalam dua kelompok penggunaan yaitu pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran bukan makanan (Soetjiningsih dkk. 2010)

(21)

ditabung. Penabungan ini dilakukan untuk memperoleh bunga atau devide dan dana dalam menghadapi kemungkinan kesusahan dimasa depan.

2.2.5. Status Sosial Ekonomi Orang Tua

Status sosial ekonomi adalah kedudukan orang tua dalam hubungannya dengan orang tua lain atau masyarakat mengenai kehidupan sehari- hari dan cara mendapatkannya serta usaha memenuhi kebutuhan hidup keluarganya (Syah, 2011).

Dalam kehidupan di masyarakat kondisi sosial ekonomi masing- masing keluarga tentu berbeda dengan lainnya. Tidak ada lapisan masyarakat yang homogen atau serba sama. Dengan demikian kita katakana bahwa di masyarakat terdapat lapisan- lapisan masyarakat yang dapat membedakan satu dengan yang lain (Syah, 2011).

Menurut Soerjono Soekanto dalam Gunarsa (2010), status sosial ekonomi seseorang di ukur dari :

1) Ukuran kekayaan

Ukuran kekayaan, merupakan harta benda atau materi yang dimiliki seseorang. Ukuran kekayaan tersebut dapat dilihat dari bentuk dan luas rumah yang bersangkutan, luas kepemilikan tanah, kepemilikan barang berharga dan fasilitas yang dimiliki.

2) Ukuran kekuasaan

(22)

3) Ukuran kehormatan

Ukuran kehormatan, merupakan kewibawaan yang dimiliki oleh seseorang karena pembawaan atau kedudukan atau hal yang dianggap oleh orang lain sesuatu yang terpandang. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa pada masyarakat.

4) Ukuran ilmu pengetahuan

Ukuran ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang diperoleh seseorang melalui proses belajar dalam suatu pendidikan baik pendidikan formal, non formal, informal.

Berdasarkan pendapat di atas, bahwa untuk mengukur tinggi rendahnya status sosial ekonomi orang tua adalah pendidikan orang tua, pekerjaan dan penghasilan orang tua, pemilikan barang atau kekayaan, jumlah anggota keluarga dan macam kebutuhan.

Aspek – aspek tersebut tidak dapat berdiri sendiri, artinya bahwa untuk menetapkan tingkat atau status sosial ekonomi orang tua tidak hanya melihat satu aspek saja, melainkan kita harus menghubungkan satu aspek dengan aspek lain. Pendidikan orang tua, tinggi rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki atau dicapai oleh orang tua dimungkinkan akan membawa pengaruh kepada anak-anaknya. Pekerjaan dan penghasilan orang tua menentukan terpenuhinya atau tidaknya kebutuhan keluarga. Sedangkan materi atau kekayaan merupakan petunjuk tingkat kemakmuran suatu keluarga (Gunarsa, 2008).

(23)

1) Pendidikan

Pendidikan mempunyai peranan yang sangat besar di dalam membentuk tingkah laku seseorang, karena salah satu faktor yang penting dari usaha pendidikan adalah pembentukan watak seseorang dimana watak seseorang akan berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi, biasanya memiliki intelektual yang lebih baik, dapat berfikr kritis yang akan memberikan prasyarat untuk meningkatkan kualitas hidupnya. 2) Pekerjaan atau mata pencaharian

Pekerjaan merupakan suatu unit kegiatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang di suatu tempat untuk menghasilkan barang atau jasa. Pekerjaan merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Adanya pekerjaan, maka seseorang akan mengharapkan pendapatan sehingga imbalan dari kerja seseorang dan merupakan penghasilan keluarga yang akan menghasilkan sejumlah barang yang dimilikinya.

Pendapat Mulyanto Sumardi dan Evers dalam Gunarsa (2010) dari pendapatan dari sektor formal, setor informal, dan pendapatan dari sektor sub sistem. Menggolongkan jenis pekerjaan menjadi dua golongan yaitu pegawai

negeri dan swasta dan non pegawai atau bukan pegawai. Adapun penjelasan dari masing- masing kelompok adalah sebagai berikut :

a) Pegawai negeri dan swasta, pegawai negeri adalah “mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan gaji menurut undang-undang yang berlaku”.

(24)

membutuhkan kualifikasi atau standar pendidikan tertentu, tidak bernaung dibawah suatu instansi, organisasi atau yayasan tertentu, tidak memerlukan jam kerja yang pasti, penghasilan yang diperoleh sifatnya hanya upah, tidak terikat adanya undang-undang atau peraturan tertentu. Misalnya kuli bangunan, buruh.

3) Penghasilan dan Pendapatan

Penghasilan atau pendapatan adalah seluruh penerimaan baik berupa uang maupun barang dari hasil sendiri yang dinilai dengan uang. Pendapatan atau penghasilan yang diterima oleh seseorang dapat diperoleh dari bermacam- macam sumber (Gunarsa, 2010)

Tiap-tiap keluarga dalam memenuhi kebutuhannya memerlukan pendapatan yang sumbernya berbeda-beda dengan yang lainnya. Kemajuan ilmu pengetahuan di segala bidang menyebabkan tidak terhitungnya jumlah pekerjaan yang ada dalam masyarakat. Dimana masing- masing pekerjaan memerlukan bakat, keahlian atau kemampuan yang berbeda untuk mendudukinya (Suparyanto, 2009)

Menurut K innaird (2011) distribusi pendapatan dalam suatu Negara akan berpengaruh besar pada munculnya golongan-golongan berpenghasilan rendah, golongan berpenghasilan menengah dan golongan berpenghasilan tinggi.

(25)

4) Sosial

Kedudukan sosial dalam masyarakat mempunyai peranan yang penting dalam membentuk tingkah laku, cara bersikap seseorang. Kedudukan sosial juga dapat mempengaruhi cara pandang orang pribadi seseorang. Sosial yang dimaksud dilihat dari kedudukan seseorang dalam suatu pekerjaan yang dimiliki atau yang dilakukan. Jika seseorang tersebut sebagai pemilik atau kepala dalam suatu pekerjaan, orang tersebut dapat memiliki kekuasaan dan wewenang lebih dari bawahnya. Orang tersebut lebih dihormati dan mempunyai wibawa yang terpandang. Jika hanya sebagai bawahan kemungkinan orang memandangnya biasa saja (Suparyanto, 2009)

Demikian pula kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat di lingkungan tempat tinggal, jika orang tua memegang peranan penting dalam organisasi kemasyarakatan seperti RW. RT dan sebagainya, jika mendapat kedudukan sebagai ketua, maka orang tua lebih mendapat kehormatan yang tinggi dibandingkan anggota-anggotanya (K innaird, 2011).

(26)

dari satu aspek saja, melainkan harus menghubungkan antara aspek yang satu dengan aspek yang lain (Suparyanto, 2009)

2.2.5.5. Penggolongan Status Sosial Ekonomi Orang Tua

Menurut Soerjono Soekanto dalam Mu‟tadin (2009) “Pembagian pelapisan sosial ekonomi dalam masyarakat terbagi menjadi tiga golongan yaitu lapisan atas, lapisan menengah, lapisan bawah”. Adapun penggolongan status sosial ekonomi berdasarkan kelas sosial ekonomi yang ada dalam masyarakat adalah sebagai berikut:

1) Kelompok Sosial Ekonomi Atas

Yang termasuk dalam kelas ini adalah orang tua yang dapat memenuhi hidup keluarganya baik kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder, bahkan dapat memenuhi kebutuhan yang tergolong mewah. Lapisan ekonomi mampu terdiri dari pejabat pemerintah, para dokter, dan kelompok professional lainnya “. 2) Kelompok Sosial Ekonomi Menengah

Orang tua yang termasuk dalam kelompok ini adalah orang tua yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menggunakan penghasilan keluarga secara ketat terhadap kebutuhan yang dianggap penting. Lapisan ekonomi menengah terdiri dari alim ulama, pegawai dan kelompok wirausaha.

3) Kelompok Sosial Ekonomi Bawah

(27)

2.2.5.6. Peran Status Sosial Ekonomi Orang Tua

Menurut Soerjono, Soekanto dalam Mu‟tadin (2009) dalam kehidupan

sehari-hari, manusia senantiasa tak lepas dari kehidupan di lingkungan dimana ia berada, baik lingkungan fisik, psikis atau spiritual. Baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan seseorang.

Dalam pembentukan pribadi seseorang dipengaruhi oleh kehidupan seseorang dimana ia tinggal dan bermasyarakat. Di dalam keluarga, manusia akan belajar memperhatikan keinginan orang lain, belajar bekerja sama, bahu membahu, gotong royong dan lain sebagainya. Karena keluarga merupakan kelompok sosial, maka di dalamnya akan terjadi tindakan sosial (Mu‟tadin, 2009).

Interaksi sosial atau hubungan antar keluarga erat dengan keadaan sosial ekonomi keluarga tersebut. Kehidupan sosial ekonomi keluarga yang layak akan tercipta suasana yang baik, nyaman, aman, dan damai dan boleh dikatakan kehidupan yang makmur, dimungkinkan akan membawa dampak dalam prilaku bagi anak-anak dalam satu keluarga berjalan baik (Mu‟tadin 2009).

(28)

2.3. Lingkungan

Perilaku remaja sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan, disatu pihak remaja mempunyai keinginan kuat untuk mengadakan interaksi sosial dalam upaya mendapatkan kepercayaan dari lingkungan, di lain pihak ia mulai memikirkan kehidupan secara mandiri, terlepas dari pengawasan orang tua dan sekolah (Kartono, 2010).

Salah satu bagian perkembangan masa remaja yang tersulit adalah penyesuaian terhadap lingkungan sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan interpersonal yang awalnya belum pernah ada, juga harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah (Kartono, 2010).

Untuk mencapai tujuan pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Ia harus mempertimbangkan pengaruh kelo mpok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, membentuk kelompok sosial baru dan nilai-nilai baru memilih teman (Kartono, 2010).

2.3.1. Lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan anak. Umur 4 – 6 tahun dianggap sebagai titik awal proses identifikasi diri menurut jenis kelamin, peranan ibu dan ayah atau orang –tua pengganti (nenek, kakek dan orang dewasa lainnya ) sangat besar. Peran sebagai “ wanita “ dan “ Prias” harus

(29)

Masa remaja merupakan pengembangan identitas diri, dimana remaja berusaha mengenal diri sendiri, ingin mengetahui bagaimana orang lain menilainya, dan mencoba menyesuaikan diri dengan harapan orang lain (Kartono, 2010).

2.3.1.1. Pola asuh keluarga

Proses sosialisasi sangat dipengaruhi oleh pola asuh dalam keluarga. Sikap orang-tua yang otoriter, mau menang sendiri, selalu mengatur, semua perintah harus diikuti tanpa memperhatikan pendapat dan kemauan anak akan berpengaruh pada perkembangan kepribadian remaja. Ia akan berkembang menjadi penakut, tidak memiliki rasa percaya diri, merasa tidak berharga, sehingga proses sosialisasi menjadi terganggu (Gunarsa, 2010).

Sikap orang-tua yang “permisif “ (serba boleh, tidak pernah melarang, selalu menuruti kehendak anak, selalu memanjakan) akan menumbuhkan sikap ketergantungan dan sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial diluar keluarga. Sikap orang-tua yang selalu membandingkan anak-anaknya, akan menumbuhkan persaingan tidak sehat dan saling curiga antar saudara (Kartono, 2010).

Sikap orang-tua yang berambisi dan selalu menuntut anaknya, akan berakibat anak cenderung mengalami frustrasi, takut gagal, dan merasa tidak berharga. Orang-tua yang “ demokratis “, akan mengakui keberadaan anak sebagai

(30)

2.3.1.2. Kondisi keluarga

Hubungan orang-tua yang harmonis akan menumbuhkan kehidupan emosional yang optimal terhadap perkembangan kepribadian anak sebaliknya, Orang tua yang sering bertengkar akan menghambat komunikasi dalam keluarga, dan anak akan “ melarikan diri “ dari keluarga. Keluarga yang tidak lengkap misalnya karena

perceraian, kematian, dan keluarga dengan keadaan ekonomi yang kurang, dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak (Gunarsa, 2010).

2.3.1.3. Pendidikan moral dalam keluarga

Pendidikan moral dalam keluarga adalah upaya menanamkan nilai–nilai akhlak atau budi pekerti kepada anak di rumah. Pengertian budi pekerti mengandung nilai- nilai (Gunarsa, 2010) :

a) Keagamaan. Pendidikan agama diharapkan dapat menumbuhkan sikap anak yang mampu menjauhi halhal yang dilarang dan melaksanakan perintah agama. Menaamkan norma agama dianggap sangat besar peranannya terutama dalam menghadapi situasi globalisasi yang berakibat bergesernya nilai kehidupan. Remaja yang taat norma agama akan terhindar atau mampu bertahan terhadap pengaruh buruk di lingkungannya.

b) Kesusilaan, meliputi nilai- nilai yang berkaitan dengan orang lain, misalnya sopan santun, kerjasama, tenggang rasa, saling menghayati, saling menghormati, menghargai orang lain dan sebagainya.

(31)

tugas, dan komunikasi efektif antar anggota keluarga. sebaliknya, apabila keluarga tidak peduli terhadap hal ini, misalnya membiarkan anak tanpa komunikasi dan memperoleh nilai diluar moral agama dan sosial, membaca buku dan menonton VCD porno, bergaul bebas, minuman keras, merokok akan berakibat buruk terhadap perkembangan jiwa remaja.

2.3.2. Lingkungan Sekolah

Pengaruh yang juga cukup kuat dalam perkembangan remaja adalah lingkungan sekolah. Umumnya orang-tua menaruh harapan yang besar pada pendidikan di sekolah, oleh karena itu dalam memilih sekolah orang–tua perlu mempertimbangkan hal sebagai berikut (Gunarsa, 2010) :

2.3.2.1. Susunan Sekolah

Prasyarat terciptanya lingkungan kondusif bagi kegiatan belajar mengajar adalah suasana sekolah, baik buruknya suasana sekolah sangat tergantung pada kepemimpinan kepala sekolah, komitmen guru, sarana pendidikan dan disiplin sekolah Suasana sekolah sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa remaja yaitu dalam hal :

2.3.2.1.1.Kedisiplinan

Sekolah yang tertib dan teratur akan membangkitkan sikap dan perilaku disiplin pada siswa. Sebaliknya suasana sekolah yang kacau dan disiplin longgar akan berisiko, bahwa siswa dapat berbuat semaunya dan terbiasa dengan hidup tidak tertib, tidak memiliki sikap saling menghormati, cenderung brutal dan agresif.

2.3.2.1.2.Kebiasaan belajar

(32)

belajar menurun dan selanjutnya diikuti dengan perilaku yang sesuai dengan norma masyarakat, misalnya sebagai kompensasi kekurangannya di bidang akademik, siswamenjadi nakal dan brutal.

2.3.2.1.3. Pengendalian diri

Suasana bebas di sekolah dapat mendorong siswa berbuat sesukanya tanpa rasa segan terhadap guru. Hal ini akan berakibat siswa sulit untuk dikendalikan, baik selama berada di sekolah maupun di rumah. Suasana sekolah yang kacau akan menimbulkan hal- hal yang kurang sehat bagi remaja, mosalnya penyalahgunaan Napza, perkelahian, kebebasan seksual, dan tindak kriminal lainnya.

2.3.2.2. Bimbingan Guru

Di sekolah remaja menghadapi beratnya tuntutan guru, Orang tua dan saratmya kurikulum sehingga dapat menimbulkan beban mental. Dalam hal ini peran wali kelas dan guru pembimbing sangat berarti. Apabila guru pembimbing sebagai konselor sekolah tidak berperan, maka siswa tidak memperoleh bimbingan yang sewajarnya.

Untuk menyalurkan minat, bakat dan hobi siswa, perlu dikembangkan kegiatan ekstrakurikuler dengan bimbingan guru. Dalam proses belajar mengajar, guru tidak sekedar mengalihkan ilmu pengetahuan yang terkandung dalam kurilukum tertulis (Written Curriculum), melainkan juga memberikan nilai yang terkandung didalamnya (hidden curriculum), misalnya kersama, sikap empati, mau mendengarkan orang lain, menghargai dan sikap lain yang dapat membuahkan kecerdasan emosional (Kartono, 2010).

(33)

mengoptimalkan perkembangan jiwa remaja di sekolah guru diharapkan memperhatikan, pendekatan yang berbeda, bersedia mendengarkan dan memperhatikan keluhan siswa individual, karena setiap siswa memiliki sifat, bakat,minat dan kemampuan, memiliki kepekaan “ membaca “ kondisi batin siswa, perilaku guru dapat dijadikan teladan bagi siswa, memperhatikan dan menciptakan rasa aman bagi seluruh siswa di sekolah, menanamkan nilai-nilai budi pekerti melalui proses pembiasaan misalnya sopan santun, menghargai orang lain ,bekerja sama,mengendalikan emosi, kejujuran dan sebagainya, berpikir positif (positive thinking ) terhadap siswa (Kartono, 2010).

a) Memberikan penghargaan atas keberhasilan siswa

b) Bersikap sadar,dewasa dan terbuka dalam menilai perilaku siswa.

c) Memahami prinsip dasar perkembangan jiwa remaja agar dapat memahami dan menghargai siswa

d) Menghindari sikap mengancam terhadap siswa.

e) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaktualisasi kan diri

f) Mengendalikan emosi dan menyusuaikan diri dengan cara siswa berkomunikasi.

2.3.3. Lingkungan Te man Sebaya

(34)

adiktif lainnya, maka remaja cenderung mengikuti tanpa mempedulikan akibatnya (Gunarsa, 2010).

Didalam kelompok sebaya, remaja berusaha menemukan dirinya. Disini ia dinilai oleh teman sebayanya tanpa mempedulikan sanksi–sanksi dunia dewasa. Kelompok sebaya memberikan lingkungan yaitu dunia tempat remaja dapat melakukan sosialisasi dimana nilai yang berlaku buka nlah nilai yang ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman seusianya (Gunarsa, 2010).

Disinilah letak berbahayanya bagi perkembangan jiwa remaja, apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya adalah nilai yang negatif, akan lebih berbahaya apabila kelompok sebaya ini cenderung tertutup (closed group), dimana setiap anggota tidak dapat terlepas dari kelompok nya dan harus mengikuti nilai yang dikembangkan oleh pimpinan kelompok, sikap, pikiran, perilaku, dan gaya hidupnya merupakan perilaku dan gaya hidup kelompoknya.

2.3.4. Lingkungan Masyarakat

Dalam kehidupanya, manusia dibimbing oleh nilai- nilai yang merupakan pandangan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. N ilai yang baik harus diikuti, dianut, sedangkan yang buruk harus dihindari, sesuai dengan aspek rohaniah dan jasmaniah yang ada pada manusia, maka manusia dibimbing oleh pasa ngan nilai materi dan nonmateri (Gunarsa, 2010)

(35)

2.4. Prilaku

2.4.1. Pengertian Prilaku

Perilaku manusia merupakan hasil segala macam pengalaman serta interaksi manusia yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupakan suatu tindakan yang mempunyai frekuensi, lama, dan tujuan khusus, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar (Green, dalam Notoatmodjo, 2010).

Menurut Skinner (dalam Notoatmodjo, 2010) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia dari segi biologis adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas seperti berjalan, berbicara, menangis, bekerja dan sebagainya. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus Skinner membedakan perilaku menjadi dua: a. Perilaku tertutup (Covert Behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respon terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

b. Perilaku terbuka (Overt Behavior)

Repon seseorng terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat orang lain.

(36)

respon, respon dibedakan menjadi dua respon :

1) Respondent response atau reflexive respon, ialah respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu yang relatif tetap. Responden respon (Respondent behaviour) mencakup juga emosi respon dan emotional behaviour.

2) Operant respons atau instrumental respon adalah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforsing stimuli atau reinforcer.

Proses pembentukan atau perubahan perilaku dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari dalam maupun dari luar individu. Aspek- aspek dalam diri individu yang sangat berperan/berpengaruh dalam perubahan perilaku adalah persepsi, motivasi dan emosi. Persepsi adalah pengamatan yang merupakan kombinasi dari penglihatan, pendengaran, penciuman serta pengalaman masa lalu. Motivasi adalah dorongan bertindak untuk memuaskan sesuatu kebutuhan. Dorongan dalam motivasi diwujudkan dalam bentuk tindakan (Sarwono, 2003).

Menurut Green dalam Notoatmodjo (2010) perilaku ditentukan oleh 3 faktor, yaitu :

a. Faktor predisposisi (predidposing factors) yaitu faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu perilaku.

b. Faktor pendukung atau pemungkin (enabling factors) meliputi semua karakter lingkungan dan semua sumber daya atau fasilitas yang mendukung atau memungkinkan terjadinya suatu perilaku.

(37)

kelompok sebaya, peraturan, undang-undang, surat keputusan dari para pejabat pemerintahan daerah atau pusat (Notoatmodjo, 2003).

2.4.2. Prilaku Seksual Remaja

Menurut Sarwono (2010), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik yang dilakukan sendiri, dengan lawan jenis maupun sesama jenis tanpa adanya ikatan pernikahan menurut agama. Menurut Stuart dan Sundeen dala m Yuliyant i (2012), perilaku seksual yang sehat dan adaptif dilakukan ditempat pribadi dalam ikatan yang sah menurut hukum. Sedangkan perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing- masing (Gunarsa, 2010).

Menurut Slamet (2008) remaja melakukan berbagai macam perilaku seksual beresiko yang terdiri atas tahapan-tahapan tertentu yaitu dimulai dari berpegangan tangan, cium kering, cium basah, berpelukan, memegang atau meraba bagian sensitif, petting, oral sex, dan bersenggama (sexual intercourse). Perilaku seksual pranikah pada remaja ini pada akhirnya dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan remaja itu sendiri.

2.4.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja

(38)

sumber-sumber informasi, keluarga, sosial-budaya, nilai dan norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku tertentu),

Sedangkan Menurut Roumali dan Vindari (2011), ada beberapa faktor penyebab terjadinya pernikahan dini, yaitu:

a. Tingkat pendidikan

Makin rendah tingkat pendidikan, makin mendorong cepatnya perkawinan usia muda.

b. Sikap dan hubungan dengan orang tua

Perkawinan ini dapat berlangsung karena adanya kepatuhan atau menentang dari remaja terhadap orang tuanya.

c. Sebagai jalan keluar dari berbagai kesulitan, misalnya kesulitan ekonomi. d. Pandangan dan kepercayaan

Banyak di daerah ditemukan pandangan dan kepercayaan yang salah, misalnya kedewasaan seseorang dinilai dari status perkawinan, status janda lebih baik dari pada perawan tua, adanya anggapan jika anak gadis belum menikah dianggap sebagai aib keluarga.

e. Faktor Masyarakat

Lingkungan dan adat istiadat adanya anggapan jika anak gadis belum meningkah dianggap sebagai aib keluarga.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terjadinya pernikahan dini disebabkan oleh banyak faktor antara lain tingkat pendidikan, sikap dan hubungan dengan orang tua, sebagai jalan keluar dari berbagai kesulitan, pandangan dan kepercayaan, faktor masyarakat.

(39)

masalah seks pranikah sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa (K inraid, 2011).

Beberapa kajian menunjukkan bahwa remaja sangat membutuhkan informasi mengenai persoalan seksual dan reproduksi. Remaja seringkali memperoleh informasi yang tidak akurat mengenai seks dari teman-teman mereka, bukan dari petugas kesehatan, guru atau orang tua (Purnama, 2012 ).

Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap perilaku reproduksi remaja diantaranya adalah faktor keluarga. Remaja yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah banyak diantara berasal dari keluarga yang bercerai atau pernah cerai, keluarga dengan banyak konflik dan perpecahan (K innaird, 2011).

Hubungan orang-tua yang harmonis akan menumbuhkan kehidupan emosional yang optimal terhadap perkembangan kepribadian anak sebaliknya. Orang tua yang sering bertengkar akan menghambat komunikasi dalam keluarga, dan anak akan “melarikan diri“ dari keluarga. Keluarga yang tidak lengkap misalnya karena perceraian, kematian, dan keluarga dengan keadaan ekonomi yang kurang, dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah pada remaja paling tinggi hubungan antara orang tua dengan remaja, diikuti karena tekanan teman sebaya, religiusitas, dan eksposur media pornografi (Rohmahwati, 2010).

(40)

2.4.4. Dampak Perilaku Seksual Pranikah Re maja

Perilaku seksual pranikah dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada remaja, diantaranya sebagai berikut (Sar wo no, 2010) :

a. Dampak psikologis, dampak psikologis dari perilaku seksual pranikah pada remaja diantaranya perasaan marah, takut, cemas, depresi, rendah diri, bersalah dan berdosa.

b. Dampak Fisiologis, dampak fisiologis dari perilaku seksual pranikah tersebut diantaranya dapat menimbulkan kehamilan tidak diinginkan dan aborsi.

c. Dampak sosial, dampak sosial yang timbul akibat perilaku seksual yang dilakukan sebelum saatnya antara lain dikucilkan, putus sekolah pada remaja perempuan yang hamil, dan perubahan peran menjadi ibu. Belum lagi tekanan dari masyarakat yang mencela dan menolak keadaan tersebut.

d. Dampak fisik, dampak fisik adalah berkembangnya penyakit menular seksual di kalangan remaja, dengan frekuensi penderita penyakit menular seksual (PMS) yang tertinggi antara usia 15-24 tahun. Infeksi penyakit menular seksual dapat menyebabkan kemandulan dan rasa sakit kronis serta meningkatkan risiko terkena PMS dan HIV/AIDS.

2.5. Remaja

2.5.1. Definisi Remaja

(41)

psikologis bergabung untuk menciptakan karakteritik, perilaku dan kebutuhan yang unik (Bobak, 2004).

Menurut Dhamayanti (2009), mengatakan masa remaja atau masa adolesens adalah suatu fase tumbuh kembang yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial. Untuk tercapainya tumbuh kembang remaja yang optimal tergantung pada potensi biologiknya. Tingkat tercapainya potensi biologik seorang remaja merupakan hasil interaksi faktor genetik dan lingkungan bio- fisik-psikososial. Proses yang unik dan hasil akhir yang beda memberikan ciri tersendiri pada setiap remaja.

Menurut Efendi (2009), mengatakan remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke dewasa. Batasan usia remaja menurut WHO adalah 12 sampai 24 tahun. Namun jika pada usia remaja seseorang sudah menikah, maka ia tergolong dalam dewasa dan bukan lagi remaja. Sebaliknya, jika usia sudah bukan lagi remaja tetapi masih tergantung pada orang tua (tidak mandiri), maka tetap dimasukan ke dalam kelompok remaja. Remaja merupakan tahapan seseorang dimana ia berada di antara fase anak dan dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik, perilaku, kognitif, biologis, dan emosi. Untuk mendeskripsikan remaja dari waktu ke waktu memang berubah sesuai perkembangan zaman.

(42)

yang terpenting adalah seseorang mengalami perubahan pesat dalam hidupnya di berbagai aspek (Efendi, 2009).

2.5.2. Tahap Perke mbangan Remaja

Menurut Wong (2004), perkembangan remaja dibagi atas :

1) Remaja tahap awal (usia 11-14 tahun) yaitu (1) Berfikir konkret, (2) ketertarika n utama ialah pada teman sebaya dengan jenis kelamin sama, di sisi lain ketertarikan pada lawan jenis dimulai, (3) memahami konflik dengan orang tua, (4) remaja berperilaku sebagai seorang anak pada waktu tertentu dan sebaga i orang dewasa pada waktu selanjutnya.

2) Remaja tahap menengah (usia 14-17 tahun) yaitu (1) penerimaan kelompok sebaya merupakan isu utama dan seringkali menentukan harga diri, (2) remaja mulai melamun, berfantasi, dan berfikir tentang hal-hal magis, (3) remaja berjuang untuk mandiri/bebas dari orang tuanya, (4) remaja menunjuka n perilaku idealis dan narsisistik, (5) remaja menunjukan emosi yang labil, sering meledak- ledak dan mood sering berubah (6) hubungan heteroseksual merupaka n hal yang penting.

(43)

Menurut Sarwono (2010), dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada 3 tahap perkembangan remaja:

1) Remaja awal (early adolescent)

Seorang remaja pada tahap ini masih heran akan perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan yang menyertai perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, da n mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah denga n berkurangnya kendali terhadap ego menyebabkan para remaja awal ini sulit dimengerti dan dimengerti orang dewasa.

2) Remaja madya (middle adolescent)

Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan. Ia senang kalau banyak teman yang mengakuinya. Ada kecenderungan narsistis yaitu mencinta i diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang sama dengan dirinya, selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu memilih yang mana peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan dir i dari oedipus complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa anak-anak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan.

3) Remaja akhir (late adolescent)

(44)

lagi, egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) digant i dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, da n tumbuh ”dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan

masyarakat umum.

2.5.3. Masalah-Masalah Remaja

Timbulnya masalah pada remaja disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat kompleks. Secara garis besar faktor- faktor tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut (Sarwono, 2010) :

1) Adanya perubahan-perubahan biologis dan psikologis yang sangat pesat pada masa remaja yang akan memberikan dorongan tertentu yang sangat kompleks. 2) Orangtua dan pendidik kurang siap untuk memberikan informasi yang benar dan

tepat waktu karena ketidaktahuannya.

3) Perbaikan gizi yang menyebabkan menars menjadi lebih dini. Kejadian kawin muda masih banyak terutama di pedesaan. Sebaliknya, di perkotaan kesempatan untuk bersekolah dan bekerja menjadi lebih terbuka bagi wanita sehingga usia kawin bertambah. Kesenjangan antara mereka dan usia kawin yang makin panjang dan disertai pergaulan yang makin bebas tidak jarang menimbulkan masalah.

4) Membaiknya sarana komunikasi dan transportasi akibat kemajuan teknologi sehingga sulit melakukan seleksi terhadap informasi dari luar.

(45)

kurang memadai dapat memberikan dampak yang kurang baik sehingga remaja menderita frustrasi dan depresi yang menyebabkan mereka mengambil jalan pintas dengan melakukan tindakan negatif.

6) Kurangnya pemanfaatan penggunaan sarana untuk menyalurkan gejolak remaja. Perlu adanya penyaluran sebagai substitusi yang positif ke arah pengembangan keterampilan yang mengandung unsur kecepatan dan kekuatan misalnya olahraga.

2.6. Landasan Teori

Faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku seks pada remaja (K innaird, 2011; Sarwono; 2010) adalah :

1) Faktor internal

faktor internal diantaranya adalah faktor pengetahuan, aspek-aspek kesehatan reproduksi, sikap terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi, perilaku, kerentanan yang dirasakan terhadap resiko, kesehatan reproduksi, gaya hidup, pengendalian diri, aktifitas sosial, rasa percaya diri, usia, agama, dan status perkawinan.

2 ) Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah kontak dengan sumber-sumber informasi, karakteristik keluarga (status sosial ekonomi, tingkat pendidikan keluarga), sosial-budaya, nilai dan norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku tertentu.

(46)

2.7. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah gambaran sederhana atau ringkas dan jelas mengenai keterkaitan satu konsep dengan konsep lainnya, atau menggambarkan pengaruh atau hubungan antara satu kejadian atau fenomena dengan kejadian atau fenomena lainnya (Abdurrahman, 2010).

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Prilaku Seks Remaja (14-17 Tahun) Tingkat Pendidikan

Status Ekonomi

(47)

44 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian survey yang bersifat analitik dengan pendekatan crosssectional dengan tujuan utama untuk menganalisis hubungan kausal antara variabel independen dengan variabel dependen, yaitu menganalisis hubungan tingkat pendidikan, status ekonomi dan lingkungan dengan prilaku Seks Pada Anak Remaja (14-17 Tahun) di Gampong K uta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Gampong K uta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.

3.2.2. Waktu Penelitiaan

Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 17 April 2014 sampai dengan 19 Mei 2014.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

(48)

usia antara 14 – 17 tahun di Gampong K uta Padang Kecamatan Johan Pahlawan yang berjumlah 258 jiwa.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah secara Propotioate Stratified Random Sampling yaitu teknik pengambilan sampel dengan membagi populasi sasaran dalam strata menurut karakteristik tertentu yang dianggap penting oleh peneliti, misalnya status ekonomi, tingkat pendidikan (Sulistyaningsih, 2011).

Untuk populasi kurang dari 10.000, maka besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus Slovin dalam Notoatmodjo (2010), yaitu :

n = N

1 + N (d)²

Dimana : n = Besar Sampel N = Besar Populasi

d = Tingkat kepercayaan/ketetapan yang diinginkan (0,1)

n = 258 = 258 = 258

1 + 258 (0,1)² 1 + 258 (0,01) 1 + 2,58

n = 72,07 = 72

Berdasarkan perhitungan di atas, maka sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 72 orang remaja dengan kriteria inklusi;

a. Usia 14 – 17 tahun

(49)

Sementara itu gampong K uta Padang terdiri dari 6 jurong maka untuk terwakili sampel dari masing- masing jurong menggunakan rumus proporsional (Sulistyaningsih, 2011) :

Jumlah Kepala Keluarga

Populasi X Total Sampel

Tabel 3.1. Proporsi Sampel Menurut Jurong di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat

No Jurong Jumlah

Remaja Rumus Total Sampel

Sampel Responden

1 Jurong I 41 41 / 258 x 72 11

2 Jurong II 36 36 / 258 x 72 10

3 Jurong III 52 52 / 258 x 72 15

4 Jurong IV 39 39 / 258 x 72 11

5 Jurong V 43 43 / 258 x 72 12

6 Jurong VI 47 47 / 258 x 72 13

Total 258 72

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Prime r

(50)

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder berupa data hasil penelitian terdahulu diperoleh dari jurnal penelitian dan data jumlah remaja di peroleh dari data gampong K uta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.

3.5. Definisi Operasional

Tabel 3.2. Definisi Variabel Penelitian Hubungan Tingkat Pendidikan, Status Ekonomi, dan Lingkungan dengan Prolaku Seks Remaja di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan

N

Wawancara Kuesioner 1. Menengah Perta ma

(51)

3.6. Aspek Pengukuran Variabel

3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas (Independen)

Aspek pengukuran variabel bebas yaitu tingkat pendidikan, status ekonomi dan lingkungan adalah sebagai berikut :

1. Tingkat Pendidikan :

a. Sekolah Menengah Atas (SMA sederajat) b. Sekolah Menengah Pertama (SMP sederajat) 2. Status Ekonomi (Depnakertrans Provinsi Aceh, 2014) :

a. Pendapatan diatas UMP = ≥ Rp.1.750.000 b. Pendapatan dibawah UMP = < Rp.1.750.000 3. Lingkungan :

a. Kategori baik apabila skor yang diperoleh : 6 – 10 dari total skor. b. Kategori kurang baik apabila skor yang diperoleh : 0 - 5 dari total skor. 3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Te rikat (Dependen)

Pengukuran variabel dependen yaitu prilaku seks remaja adalah sebagai berikut :

a. Kategori baik apabila skor yang diperoleh : 7– 12 dari total skor. b. Kategori kurang baik apabila skor yang diperoleh : 0 - 6 dari total skor.

3.7. Teknik Analisis Data 3.7.1. Analisis Univariat

(52)

3.7.1. Analisis Bivariat

Analisis Bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan dependen, dengan menggunakan uji Chi-Square, dengan derajat kepercayaan/CI 90% dan α=0,05. Persamaan rumus Chi-Square adalah sebagai

berikut :

O

= frekuensi teramati pada klasifikasi ke-j

Ej = frekuensi harapan (expected value) pada klasifikasi ke-j, yaitu jumlah

frekuensi ideal yang diharapkan terjadi pada masing- masing klasifikasi.

j = 1,2,…..k, dimana k adalah banyaknya klasifikasi

Dalam melakukan uji Chi-Square (Kai-Kuadrat), ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara lain (Hastono, 2006) :

1. Sampel dipilih acak dan data yang tersedia dalam bentuk jumlah atau diskrit. 2. Semua pengamatan dilakukan independen.

3. Sel-sel dengan frekuensi harapan (expected value) kurang dari 5 jika ada dapat dibenarkan sekitar 25 % dari total sel, dan pada sembarang frekuensi

(53)

4. Khusus untuk tabel kontingensi 2x2, syarat tersebut berarti tidak ada satu

selpun boleh berisi frekuensi harapan ( Eij)  5. Jika ada, maka disarankan

untuk menggunakan uji Exact Fisher atau uji Chi Square dengan koreksi Yates.

(54)

51 BAB IV

HASIL PEN ELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Gampong Kuta Padang terletak dalam Wilayah Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat. Luas wilayah Gampong Kuta Padang ±120 ha dengan batas wilayah gampong sebagai berikut :

o Sebelah Utara berbatas dengan Lueng Aneuk Ayee/Gampong Ujong Baroh o Sebelah Timur berbatas dengan Jalan Nasional/Gampong Ujong Kalak

o Sebelah Barat berbatas dengan Lueng Suak Ujong Kalak/Gampaong Suak

Ribee/Gampong Seuneubok

o Sebelah Selatan berbatas dengan Jalan Iskandar Muda/Gampong Ujong Kalak

Penduduk Gampong K uta Padang berjumlah 4.928 jiwa, terdiri dari 2.430 laki- laki dan 2.498 perempuan, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1.397 KK.

4.1.2 Analisis Univariat 4.1.2.1.Jenis Kelamin

Dalam penelitian ini seluruh responden remaja (14-17 tahun) di Gampong Kuta Padang. Distribusi jenis kelamin responden dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.1. Distribusi Jenis Kelamin Responden di Gampong Kuta Padang

Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014.

(55)

Sumber : Hasil Penelitian, 2014

Dari Tabel 4.1 menunjukkan responden laki- laki sebanding jumlahnya dengan perempuan, yaitu 36 orang (50%).

4.1.2.2.Umur

Tabel 4.2. Distribusi Umur Responden di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014

No Tingkat Pendidikan Jumlah Persen

1 pada umur 15 – 16 tahun, sebanyak 39 orang (54,2%), sedangkan yang paling rendah adalah kelompok umur 15 – 16 tahun yaitu 33 (45,8%).

4.1.2.3.Tingkat Pendidikan

Tabel 4.3. Distribusi Tingkat Pendidikan Responden di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014

No Tingkat Pendidikan Jumlah Persen

1

(56)

4.1.2.4.Status Ekonomi

Tabel 4.4. Distribusi Status Ekonomi Keluarga Responden Yang Mempengaruhi Prilaku Seks Remaja di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahuhn 2014.

No Status Ekonomi Jumlah Persen

1 2

Pendapatan dibawah UMP (≥Rp.1.750.000) Pendapatan diatas UMP (<Rp.1.750.000)

Dari tabel di atas diketahui sebagian besar responden mempunyai status ekonomi (penghasilan keluarga) adalah me miliki pendapatan diatas upah minimum Povinsi (UMP) Aceh sebanyak 59 responden (81,9%), sedangkan yang paling rendah adalah pendapatan rendah 13 (18,1%).

4.1.2.5.Faktor Lingkungan

Variabel faktor lingkungan yang mempengaruhi prilaku sek remaja dapat dilihat distribusinya pada tabel berikut ini.

Tabel 4.5. Distribusi Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Prilaku Seks Remaja di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupate n Aceh Barat Tahuhn 2014.

No Faktor Lingkungan Jumlah Persen

1

(57)

4.1.2.6.Prilaku Seks

Tabel 4.6. Distribusi Prilaku Seks Responden di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014.

No Prilaku Jumlah Persen

Dari tabel di atas dapat diketahui paling dominan prilaku seks responden pada kategori baik sebesar 52 (72,2%), sedangkan yang paling rendah adalah kurang baik 20 (27,8%).

4.1.3. Analisis Bivariat

4.1.3.1.Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Prilaku Seks Remaja

Tabel 4.7. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Prilaku Seks Remaja di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014.

(58)

4.1.3.2.Hubungan Status Ekonomi dengan Prilaku Seks Remaja

Tabel 4.8. Hubungan Status Ekonomi dengan Prilaku Seks Remaja di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahuhn 2014. ekonomi pada kategori pendapatan tinggi te rdapat 45 (76,3%) responden dengan prilaku seks baik. Sedangkan diantara 13 responden dengan pendapatan rendah berprilaku baik 7 (53,8) responden. Hasil uji chi square diperoleh nilai p=0,168 ( > α = 0,05), artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status ekonomi

keluarga dengan prilaku seks responden.

4.1.3.3.Hubungan Lingkungan dengan Prilaku Seks Remaja

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1.  Proporsi Sampel Menurut Jurong di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat
Tabel 3.2. Definisi Variabel Penelitian Hubungan Tingkat Pendidikan, Status Ekonomi, dan Lingkungan dengan Prolaku Seks Remaja di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan
Tabel 4.1. Distribusi Jenis Kelamin Responden di Gampong Kuta Padang Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat Tahun 2014
+4

Referensi

Dokumen terkait

[r]

(2), Pasal 52 ayat (2) dan (3), Pasal 54 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah guru dan dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan

bahwa dalam rangka lebih mengintensifkan pelayanan pengujian sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka dipandang perlu mengatur kembali ketentuan yang terdapat di

Hal ini disesuaikan dengan target market utama DDP Cozy Auto Salon terutama para pengendara mobil Untuk menjalankan bisnis ini harus memiliki sistem pengawasan dan

Eksisi 'rag&#34;en patahan tulang dan &#34;enggantinya dengan prostetis Pada prinsipnya pengo#atan pada 'raktur hu&#34;erus dapat dilakukan se8ara tertutup yaitu dengan 8ara

 Wacana lengkap, unsur bahasa bervariasi dan menggunakan ungkapan yang menarik  Idea relevan, huraian jelas dan matang.. Baik 20-25  Menepati tema

Pada pelaksanaan siklus I nilai-nilai yang diperoleh peserta didik kelas XI TPM B SMK Negeri 2 Surakarta pada pembelajaran mata diklat CNC Dasar TU-3A

Standar mutu yang ditetapkan adalah pada proses pelayanan pencegahan stroke berulang dengan pemberian anti platelet dan kematian akibat stroke