• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis Paru 1. Definisi Tuberkulosis - Imam Satriadi BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis Paru 1. Definisi Tuberkulosis - Imam Satriadi BAB II"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru

1. Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi yang terjadi karena

bakteri mycobacterium tuberculosis sebagian besar menyerang organ

paru-paru tetapi juga bisa menginfeksi organ lain seperti kulit, tulang, ginjal dan

otak (Fahmi, 2010).

2. Kuman Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, Sejenis

kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal

0,3-0,6/mm. yang tergolong dalam kuman mycobacterium tuberculosis

complex adalah M tuberculosae, Varian Asian, Varian African I, Varian African II, M. Bovis. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan secara epidemologi sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid).

Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam

alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan dia juga tahan

terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup dalam udara

kering maupun keadaan udara dingin (dapat bertahan bertahun-tahun dalam

lemari es). hal ini terjadi karena kuman bersifat dormant. dari sifat dormant

inilah kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis

(2)

bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigenya.

Dalam hal ini tekanan oksigen dalam apikal paru-paru lebih tinggi dari

bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi

penyakit tuberkulosis.

3. Cara Penularan

Proses penularan infeksi Oleh M. Tuberkulosis biasanya terjadi secara inhalasi. Sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering

di bandingkan organ tubuh lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar

melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khusunya yang di

dapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang

mengandung basil tahan asam ( BTA).

4. Patogenesis

a. Tuberkulosis Primer

Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukan dan

dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita.

Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam,

tergantung pada adanya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan

kelembaban. Dalam ruangan yang lembab dan gelap kuman dapat

bertahan berhari- hari bahkan berbulan-bulan. Bila kuman terhisap oleh

orang yang sehat, kuman akan menempel pada saluran napas dan

jaringan paru. Bila kuman berukuran < 5 mikrometer dia dapat masuk ke

(3)

kuman dan akan mengeluarkanya dari percabangan trakeobronkial

bersama gerakan silia dan sekretnya. Akan tetapi bila masih ada kuman

di jaringan paru dan berkembang biak dalam sito-plasma makrofag. Dari

sini kuman dapat menginfeksi organ tubuh lain dari pleura maka terjadi

efusi pleura, bisa saja kuman masuk melalui saluran gastrointestinal,

jaringan limfe orofaring, dan kulit. Bila bakteri masuk ke dalam vena ke

organ yang terinfeksi adalah otak ginjal dan tulang, Bila kuman masuk

kedalam arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru

menjadi TB milier. Semua proses tuberkulosis primer ini memakan

waktu 3-8 minggu.

b. Tuberkulosis Pasca Primer (Sekunder)

Dari tuberkulosis primer akan mengalami reaktifasi, Reaktifasi ini

disebut juga dengan tuberkulosis postprimer. Kuman akan menyebar

melalui hematogen ke bagian segmen apikal posterior. Reaktifasi dapat

juga terjadi melalui metastasis hematogen ke berbagai jaringan tubuh

(Tabrani, 2010).

Reinfeksi baik secara endogen maupun eksogen dapat terjadi setiap

saat setelah terjadi infeksi primer. Jika tuan rumah sangat hipersensitif,

maka reaksi deposisi basil tuberkulosis akan berlangsung cepat dengan

proses pengujian yang ekstesif (caseous pnemonia). Dikenal 2 golongan

tuberkulosis paska primer, yaitu tuberkulosis sekunder dan tuberkulosis

(4)

yang lebih berat, sedangkan tuberkulosis tersier berjalan kronik dan

produktif. Tuberkulosis pada organ urogenital dan tulang serta lupus

vaginalis termasuk golongan tuberkulosis tersier, sedangkan meningitis

tuberkulosis, tuberkulosis milier, pleuritis eksudatif, dan peritonitis

tuberkulosis termasuk golongan tuberkulosis sekunder (Maksum, 2011).

5. Klasifikasi Tuberkulosis

American thoracic society memberikan klasifikasi / kategori baru yang

di ambil berdasakan aspek kesehatan masyarakat yaitu :

a. Kategori 0 : Tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, riwayat kontak

negatif, tes tuberkulin negatif.

b. Kategori I : Terpajan tuberkulosis tapi tidak terbukti ada infeksi. Riwayat

kontak postif, tes tuberkulin negatif.

c. Kategori II : Terinfeksi tuberkulosis tetapi tidak sakit, tes tuberkulin

positif, radiologi dan sputum negatif.

d. Kategori III : Terinfeksi tuberkulosis dan sakit.

Klasifikasi tuberkulosis yang sering di pakai di Indonesia adalah

berdasarkan kelainan klinis, radiologis dan mikrobiologis. Pemeriksaan

sputum sangat penting karena dengan di temukanya kuman BTA diagnosis

tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Dengan pemeriksaan sputum juga

dapat mengevaluasi pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini

(5)

BTA positif adalah bila sekurang kurangnya ditemukan 3 batang kuman

BTA pada satu sediaan dengan kata lain di perlukan 5.000 kuman dalam 1

mL sputum. Adapun tes tuberkulin yang sering di gunakan untuk

menegakan diagnosa tuberkulosis pada anak dengan cara menyuntikan 0,1

cc tuberkulin P.P.D ( Purified Protein Derivative) Intrakutan berkekuatan 5

T.U bila di takutkan reaksi hebat dengan 5 T.U dapat diberikan dulu 1 atau

2 T.U. setelah 48-72 jam tuberkulin di suntikan, akan timbul reaksi berupa

indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi

persenyawaan antara antibodi seluler dengan antigen tuberkulin. Banyak

sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi seluler dan antigen tuberkulin amat

dipengaruhi oleh antibodi humoral, makin besar pengruh antibodi humoral,

makin kecil indurasi yang ditimbulkan. Biasanya hampir seluruh pasien

tuberkulosis memberikan reaksi mantoux yang positif (99,8%).

Selain klasifikas pembagian tersebut di atas pasien juga digolongkan

lagi berdasarkan riwayat penyakitnya yakni:

a. Kasus Baru : Yakni pasien yang dinyatakan positif TB setelah

pemeriksaan sputum

b. Kasus Kambuh : Yakni pasien yang pernah di nyatakan sembuh dari

TB, tetapi kemudian aktif lagi.

c. Kasus Gagal ( Smear Positive Failure) ada 2 tipe kasus gagal : Pasien yang sputum BTA-nya masih positif setelah mendapatkan obat anti

(6)

pengobatanya sebelum 5 bulan dan sputum BTA-nya masih positif

(Drop out)

d. Kasus kronik : pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah

mendapat pengobatan ulang (retreatment) lengkap yang di supervisi

dengan baik.

6. Diagnosa Tuberkulosis

Tuberkulosis paru cukup dikenal mudah dari keluhan-keluhan klinis,

gejala-gejala, kelainan fisis, kelainan radiologis sampai dengan kelainan

bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya tidaklah selalu mudah menegakan

diagnosisnya. Menurut American Thoracic Society diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman mycobacterium

tuberculosis dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Selain

tuberkulosis paru ada pula tuberkulosis ekstra paru yakni TB yang

menyerang organ tubuh lain selain paru misalkan selaput otak, tulang

persendian, kulit, dan pleura. Komplikasi yang mungkin terjadi akibat tidak

di tangani dengan segera penyakit tuberkulosis ini adalah :

a. Komplikasi dini : Pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus,

poncet’s arthrophaty

b. Komplikasi lanjut : Obstruksi jalan napas (Sindrom Obstruksi Pasca

Tuberkulosis), Kerusakan parenkim berat (Fibrosis paru, Kor pulmonal,

amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS),

(7)

7. Rencana Pembrantasan TB

World Healt Organitation (WHO) merekomendasikan rencana

pembrantasan tuberkulosis yang dilihat paling efektif secara ekonomi

(Cost-efective) yakni dengan DOTS ( Directly Observed Treatment Short-course),

Adapun kegiatan srategi DOTS ini adalah:

a. Harus ada komitmen politik pada berbagai tingkatan, baik nasional

maupun kabupaten. Komitmen ini harus ditumbukan pada semua

pihak, khususnya yang dapat memberikan kontribusi sumber daya dan

keputusan bersama.

b. Diagnosis TB paru harus dilaksanakan dengan metode pemeriksan

dahak untuk mencari ada tidaknya kuman tahan asam TB yaitu BTA.

c. Pengobatan yang dilakukan dengan panduan obat yang telah

ditetapkan dan disepakati, yaitu obat anti tuberkulosis (OAT) jangka

pendek yang diawasi oleh pengawas minum obat (PMO). Anggota

PMO adalah keluarga dekat, kerabat, kenalan, tokoh masyarakat yang

bisa mengawasi pelaksanaan minum obat bagi penderita yang

bersangkutan.

d. Ketersediaan OAT dengan mutu yang baik harus terjamin selama

pengobatan.

e. Pencatatan dan pelaporan yang baik, disertai analisis untuk evaluasi

dan pengembangan program.

(8)

8. Program Pengobatan

Tujuan serta prinsip pengobatan TB adalah Untuk menyembuhkan,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutus rantai penularan dan

mencegah resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT).

Tabel 2.1 Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama

Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan (mg/kg) Harian 3xseminggu Isoniazid (H) Bakterisid 5 10 (4-6) (8-12) Rifampicin (R) Bakterisid 10 10

(8-12) (8-12) Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35

(20-30) (30-40) Streptomycin (S) Bakterisid 15 15

(12-18) (12-18) Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 30

(15-20) (20-35) Sumber : Kemenkes RI, 2011

Panduan OAT yang digunakan oleh program nasional pengendalian

TB di Indonesia ada dua Kategori :

a. Kategori Pertama : RHZE/HR diberikan pada pasien baru dengan

panduan (TB paru BTA positif, TB paru BTA negatif tetapi foto toraks

positif, pasien Tb ekstra paru). Lama pengobatan 2 bulan. Pengobatan TB

kategori pertama diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan

tahap lanjutan sebagai berikut :

(1) Tahap awal (intensif)

(a) Pada tahap ini pasien mendapat obat setiap hari dan perlu di awasi

secara langsung oleh PMO untuk mencegah terjadinya resistensi

(9)

(b) Bila pengobatan intensif ini di berikan secara tepat, biasanya

pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

(c) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

dalam kurun waktu 2 bulan.

(1) Tahap lanjutan

(a) Pada tahap lanjutan pasien mendapatkan jenis obat lebih sedikit

tetapi waktu pengobatan lebih lama.

(b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga

mencegah terjadinya kekambuhan.

b. Kategori Kedua : RHZE+ S/RHE diberikan pada pasien (Kambuh

setelah diobati sebelumnya, gagal, putus berobat (drop out). Lama

pengobatan 4 bulan.

Berikut ini adalah tabel acuan pemberian tablet sesuai dengan berat

badan pasien :

Tabel 2.2 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan seminggu 3 kali selama 16 minggu RH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT 38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT 55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Sumber : Kemenkes RI, 2011

Tabel 2.3 Dosis untuk panduan OAT KDT Kategori 2

Berat badan Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S Selama 56 hari Selama 28 hari

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E (400) Selama 20 minggu 30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg S inj 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab E 38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg S inj 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab E 55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000 mg S inj 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab E

(10)

9. Hasil Pengobatan Pasien Tuberkulosis

a. Pengobatan Lengkap

Pasien yang telah menyelesikan pengobatan secara lengkap tetapi tidak

ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada AP dan pada satu

pemeriksaan sebelumnya.

b. Sembuh

Pasien telah menyelesaikan pengobatan secara legkap dan pemeriksaan

apusan dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu

pemeriksaan sebelumnya.

c. Putus Berobat ( Drop out)

Pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut / lebih sebelum masa

pengobatanya selesai.

d. Gagal

Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali

menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

e. Meninggal

Pasien yang meninggal pada saat pengobatan karena sebab apapun.

f. Pindah ( Transfer Out)

Pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain ( register)

(11)

B. Drop Out Tuberkulosis

1. Pengertian drop out

Pasien yang telah menjalani pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak

mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa

pengobatanya selesai (Direktorat bina farmasi, 2005)

Tindakan yang dapat diambil pada pasien drop out yang lebih dari 2

bulan adalah dengan cara :

a. Lacak Pasien dan diskusikan permasalahanya

b. Periksa ulang dahak sebanyak 3 kali sewaktu pagi sewaktu (SPS)

c. Hentikan pengobatan sementara sambil menunggu hasil pemeriksaan

dahak

d. Bila hasil BTA negatif pengobatan dihentikan, pasien diobservasi bila

gejalanya semakin parah perlu dilakukan pemeriksaan dahak kembali

e. Bila hasil BTA Positif, pasien yang berhenti pengobatan pada kategori

1 maka dilanjutkan pada kategori 2. Pasien yang berhenti pengobatan

pada kategori 2 maka langsung saja rujuk ke Rumah sakit mungkin saja

(12)

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi drop out TB

a. Pengetahuan

Kejadian drop out penderita TB paru dari program pengobatan dapat

dipandang sebagai respon penderita terhadap rendahnya pengetahuan

tentang penyakit TB dari pengobatan TB paru. Sebagai asumsi semakin

baik tingkat pengetahuan yang berhubungan dengan penyakit TB paru

dan pengobatanya, maka penderita akan sadar untuk menjalani program

pengobatan secara teratur (Kusniah, 2005). Pengetahuan merupakan

hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan

terhadap objek tertentu. penginderaan terjadi melalui panca indera

manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman rasa dan

raba. sebagian besar, pengetahuan manusia di peroleh dari mata dan

telinga (Notoatmodjo, 2011) Adapun tingkatan pengetahuan menurut

Notoatmodjo (2011) mempunyai 6 tingkatan yakni :

(1) Tahu (Know)

Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah,

karena seseorang hanya mengingat kembali (recall) sesuatu yang

sepesifik dari seluruh bahan materi yang dipelajari.

(2) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, serta dapat

(13)

(3) Aplikasi (Aplication)

Aplikasi adalah bentuk nyata dari kemampuan untuk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi

(real) sebenarnya.

(4) Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi

atau suatu objek ke dalam komponen- komponen tetapi masih di

dalam satu stuktur organisasi,dan masih ada kaitanya satu sama lain.

Kemampuan anlisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja,

seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,

memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.

(5) Sntesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakan

atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk

keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan

untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

(6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek penilaian –

penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau

(14)

Rogers (1974) Mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi

perilaku baru (berperilaku baru) dalam diri orang tersebut terjadi proses

yang berurutan yang disebut AIETA, Yang berarti :

(1) Awareness (Kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui terlebih dahulu terhadap stimuluss (objek)

(2) Interest (tertarik) ada rasa tertarik terhadap stimulus objek, disini sikap

subjek sudah mulai timbul

(3) Evaluation (menimbang) baik atau tidaknya stimulus tersebut bagi

dirinya.

(4) Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu yang diberikan oleh stimulusnya.

(5) Adapttion, di mana subjek telah berprilaku seuai dengan

pengetahuannya

Penelitian yang dilakukan Erawatyningsih (2009) semakin

rendah pengetahuan maka semakin tidak patuh penderita TB paru

untuk datang berobat, hubungan ini memiliki nilai korelasi positif

(15)

b. Pengawas Menelan Obat (PMO)

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan panduan OAT

jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin

keteraturan pengobatan di perlukan seorang PMO (Kemenkes RI, 2011)

(1)Persyaratan menjadi PMO

(a) Seseorang yang dikenal, di percaya, dan disetujui baik oleh

petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan

dihormati oleh pasien.

(b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

(c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

(d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama

dengan pasien.

(2) Siapa yang bisa menjadi PMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan desa,

perawat, pekarya sanitarian, juru immunisasi. Bila tidak ada petugas

kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader

kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, tokoh masyarakat lainnya atau

(16)

(3) Tugas seorang PMO

(a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai

selesai pengobatan

(b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur

(c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang

telah ditentukan

(d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang

mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera

memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan

(4) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan

kepada pasien dan keluarganya

(a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan

(b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur

(c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara

pencegahannya

(d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)

(e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur

(f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera

(17)

c. Efek samping Obat dan penatalaksananya

Pemantauan efek samping obat sangat di perlukan selama

pengobatan, setiap orang mempunyai daya tahan tubuh berbeda sehingga

ada penderita yang biasa saja setelah minum obat, ada yang rentan

sehingga terjadi efek samping obat. Efek samping terhadap OAT dibagi

menjadi 2 jenis yaitu efek samping ringan dan efek samping berat.

(1) Efek samping ringan

(a) Mual, sakit perut, tidak nafsu makan disebabkan karena

rifampisin penatalaksanaanya semua OAT diminum malam

sebelum tidur.

(b) Nyeri sendi disebabkan karena pirasinamid penatalaksanaanya

berikan aspirin

(c) Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki disebabkan karena INH

penatalaksanaanya berikan vitamin B6 (piridoxin) 100mg per

hari.

(d) Warna kemerahan pada air seni (urine) disebabkan karena

rifampisin penatalaksanaanya tidak perlu diberi apa-apa, tapi

perlu penjelasan kepada pasien.

(2) Efek samping berat OAT

(a) Gatal dan kemerahan kulit disebabkan semua jenis OAT

penatalaksanaannya berikan dulu anti-histamin sambil

meneruskan OAT dengan pengawasan ketat, bila keadaan tetap

(18)

kulit kembali reda, jika kemerahan ini bertambah berat pasien

perlu dirujuk.

(b) Tuli disebabkan karena streptomisin penatalaksanaanya

streptomisin dihentikan, ganti etambutol

(c) Gangguan keseimbangan karena streptomisin penatalaksanaanya

streptomisin dihentikan ganti dengan etambutol

(d) Ikterus tanpa penyebab lain karena hampir semua OAT

penatalaksanaanya hentikan semua OAT sampai ikterus

menghilang

(e) Bingung dan muntah-muntah (permulaan ikterus karena obat)

karena hampir semua OAT penatalaksanaanya hentikan semua

OAT segera lakukan tes fungsi hati.

(f) Gangguan penglihatan karena etambutol penatalaksanaanya

hentikan etambutol

(g) Purpura dan renjatan (syok) karena rifampisin penatalaksanaanya

(19)

d. Biaya

Rata-rata penderita TB kehilangan waktu kerja 3-4 bulan dalam

setahun, hal tersebut berakibat terhadap berkurangnya pendapatan rumah

tangganya skitar 20-30% (Depkes RI, 2008) beberapa penelitian

mengonfirmasi hasil yang sama dengan penelitian ini yang

memperlihatkan ada hubungan yang bermakna antara kepatuhan

penderita dengan pendapatan keluarga. Dari 40 penderita yang tidak

patuh dalam pengobatan ada 87,50% termasuk golongan yang

berpenghasilan rendah dan mengaku tidak ada biaya perjalanan untuk ke

puskesmas karena mereka memiliki kebutuhan lain yang harus di penuhi.

Faktor sosial-ekonomi penderita berperan sebagai faktor resiko

rendahnya kemauan penderita untuk mencari pelayanan kesehatan karena

pendapatan rata-rata penderita TB paru masih rendah dari pendapatan

perkapita penduduk. Pendapatan yang didapat masih terfokus pada

kebutuhan pokoknya belum menjangkau pembiayaan dalam bidang

(20)

e. Pendidikan

Pendidikan diartikan sebagai proses dimana pengalaman dan

informasi diperoleh sebagai hasil dari belajar (Sugandi, 2007) Pendidikan

adalah suatu proses pertumbuhan perkembangan atau perubahan ke arah

yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu,

keompok, ataupun masyarakat (Notoatmodjo, 2002). Pendidikan yang di

tetapkan oleh pemerintah adalah wajib belajar 9 tahun, akan tetapi stigma

masyarakat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka

semakin tinggi tingkat pengetahuan tentang kesehatan (Irianto, 2010).

Berdasarkan peneitian yang dilakukan Erawatyningsih (2009)

menunjukan data bahwa semakin rendah tingkat pendidikan seseorang,

maka semakin tidak patuh penderita untuk berobat (p=0,007). Orang

dengan pendidikan rendah berpotensi 2,05 kali untuk menghentikan

pengobatan TB parunya.

f. Jarak menuju tempat pelayanan kesehatan

Syarat pokok pelayanan kesehatan yang baik adalah mudah dicapai

oleh masyarakat. Pengertian ketercapaian dimaksudkan terutama dari

sudut lokasi.Dengan demikian untuk dapat mewujudkan pelayanan

kesehatan yang baik, maka pengaturan distribusi sarana kesehatan

menjadi sangat penting. Pelayan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di

daerah perkotaan saja, dan sementara itu tidak ditemukan di daerah

(21)

Menurut Green (1980), ketercapaian pelayanan kesehatan dari segi

jarak merupakan salah satu faktor yang memungkinkan untuk terjadinya

perilaku dibidang kesehatan. Hal ini membuktikan bahwa jarak

pelayanan kesehatan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk

datang ke tempat pelayanan kesehatan.

Rendahnya penggunaan fasilitas kesehatan seringkali kesalahan atau

penyebabnya dilimpahkan pada faktor jarak antara fasilitas tersebut

dengan masyarakat terlalu jauh (Notoatmodjo, 2005).Menurut penelitian

yang dilakukan oleh Fauziyah (2010) terdapat hubungan antara jarak ke

tempat pelayanan kesehatan dengan kejadian drop out penderita TB paru,

artinya orang dengan jarak ke tempat pelayanan jauh berpotensi 11 kali

untuk memutuskan pengobatanya. Penelitian dari Erawatyningsih (2009)

juga mengatakan bahwa dari 71 pasien atau responden yang tidak teratur

melakuan pengobatan 62,0% sebagian besar mengatakan jarak yang jauh

untuk ke Puskesmas. Menurut beberapa teori menjelaskan bahwa

beberapa letak tempat pelayanan tidak strategis dapat menyebabkan

(22)

C. Kerangka Teori

Sumber : Kusniah, 2005 Naili Fauziyah, 2010 Kartika,2008 I Made Bagiada, 2010

Faktor Sosiodemografi :

Umur

Tingkat Pendidikan

Biaya

Efek Samping Obat

Faktor Predisposisi :

Motivasi Penderita terhadap pengobatan TB

Pengetahuan penderita tentang TB dan pengobatanya

Faktor Penguat :

Dukungan keluarga terhadap pengobatan

Ketersediaan PMO

Faktor Pemungkin :

Jarak ke tempat pelayanan kesehatan

(23)

Berdasarkan landasan teori penelitian diatas maka dapat dilihat bahwa

ada beberapa faktor yang berperan dalam kejadian drop out TB paru,

adapun faktor yang berpengaruh diantaranya adalah : Pengetahuan

penderita pada penyakit TB paru, keberadaan PMO, Adanya efek samping

obat, biaya, tingkat pendidikan dan jarak menuju tempat pelayanan yang

mempengaruhi kejaddian drop out TB (Erawatyningsih, 2009)

D. Kerangka Konsep

Faktor- faktor yang mempengaruhi drop out

Pengetahuan penderita pada TB PMO

Efek samping obat Biaya

Tingkat pendidikan pasien Jarak ke tempat pelayanan

Referensi

Dokumen terkait

Efektivitas kerja merupakan suatu pekerjaan yang mencapai tujuan dapat berhasil apabila dilaksanakan sesuai dengan rencana dan mampu terselesaikan dengan baik serta berpedoman

Pada tugas akhir ini penulis memanfaatkan sebuah mini komputer yaitu Raspberry Pi sebagai host server yang akan me-remote mikrokontroler Arduino Mega dengan Ethernet

Metode yang digunakan adalah dengan membandingkan jumlah konflik yang terjadi dengan karakteristik pergerakan di persimpangan, yaitu pergerakan membelok, waktu

melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Tingkat Ekonomi Masyarakat terhadap Kepemilikan SpaldanJamban Keluargadi Wilayah Kerja Puskesmas Bone PesisirTahun 2015”.

Kehancuran kerajaan Islam terakhir, Dinasti Ahmar di Granada, Spanyol yang terjadi tahun 1492 M, disebabkan oleh penyerahan kekuasan Islam kepada kerajaan

a) Menyiapkan alat penimbangan bayi, Kartu Menuju Sehat (KMS), alat peraga, alat pengukur lingkar lengan atas untuk ibu hamil dan bayi/ anak, obat-obatan yang dibutuhkan

sesuai dengan nilai- nilai yang dijunjung sehingga menjadi manusia susila.. Peserta didik mampu memahami dan menguasai:

Sebagian besar siswa (12,9% dan 41,93%) menyatakan bahwa minat dalam belajar matematika dengan menggunakan media kartun matematika tinggi, karena lebih mudah