• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perlindungan Hukum - BAB II LAELI TRI RAHMAWATI HUKUM'16

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perlindungan Hukum - BAB II LAELI TRI RAHMAWATI HUKUM'16"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Perlindungan Hukum

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Perlindungan berasal dari kata lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan membentengi. Sedangkan perlindungan berarti konservasi, pemeliharaan, penjagaan, asilun, dan bunker.

Beberapa unsur kata perlindungan:

1. Melindungi: menutupi supaya tidak terlihat/ tampak, menjaga, memelihara, merawat, menyelamatkan;

2. Perlindungan: proses, cara, perbuatan tempat berlindung, hal (perbuatan) memperlindungi (menjadikan atau menyebabkan berlindung);

3. Pelindung: orang yang melindungi, alat untuk melindungi; 4. Terlindung: tertutup oleh sesuatu hingga tidak kelihatan;

5. Lindungan: yang dilindungi, cak tempat berlindung, cak perbuatan; 6. Memperlindungi: menjadikan atau menyebabkan berlindung; 7. Melindungkan: membuat diri terlindungi.

(2)

sidang pengadilan. Aturan hukum tidak hanya untuk kepentingan jangka pendek saja,akan tetapi harus berdasarkan kepentingan jangka panjang. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial

(http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2014/01/seputar-pengertian perlindungan-hukum.html).

Menurut Sumodiningrat (1996), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Perlindungan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

(3)

dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan

(http://seputarpengertian.blogspot.co.id/2014/01/seputar-pengertian perlindungan-hukum.html).

Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) diartikan sebagai hubungan antara dua atau lebih subyek hukum, hubungan mana terdiri atas ikatan antara individu dengan individu, antara individu dengan masyarakat atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain (Uti Ilmu Royen, 2009: 52).

(4)

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian

(http // www.artikata.com/ artiperlindunganhukum.html ).

Perlindungan hukum selalu dikaitkan dengan konsep rechtstaat atau konsep Rule of Law karena lahirnya konsep-konsep tersebut tidak lepas dari keinginan memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, konsep Rechtstaat muncul di abad ke-19 yang pertama kali dicetuskan oleh Julius Stahl.Pada saatnya hampir bersamaan muncul pula konsep negara hukum (rule of Law ) yang dipelopori oleh A.V.Dicey.

Konsep rechtstaat menurut Julius Stahl secara sederhana dimaksudkan dengan negara hukum adalah negara yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahannya didasarkan pada hukum. Konsep Negara hukum atau Rechtstaat menurut Julius Stahl mencakup 4 elemen, yaitu :

1. Perlindungan hak asasi manusia; 2. Pembagian kekuasaan;

3. Pemerintahan berdasarkan Undang-undang;

4. Peradilan tata usaha Negara (Philips M. Hadjon 1987: 2).

(5)

1. Supermasi hukum, artinya tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum;

2. Kedudukan yang sama didepan hukum, baik bagi rakyat biasa atau pejabat pemerintah;

3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam Undang-undang atau keputusan pengadilan.

Keberadaan hukum dalam masyarakat sangatlah penting, dalam kehidupan dimana hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral konstitusionalisme, yaitu menjamin kebebasan dan hak warga, maka mentaati hukum dan konstitusi pada hakekatnya mentaati imperatif yang terkandung sebagai subtansi maknawi didalamnya imperatif. Hak-hak asasi warga harus dihormati dan ditegakkan oleh pengembang kekuasaan negara dimanapun dan kapanpun, ataupun juga ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau untuk mengetahui jalannya proses pembuatan kebijakan publik (Sudikno Mertokusumo, 2003: 22).

Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah dilandasi dua prinsip negara hukum, yaitu :

(6)

2. Perlindungan hukum yang represif Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.

Kedua bentuk perlindungan hukum diatas bertumpu dan bersumber pada pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia serta berlandaskan pada prinsip Negara hukum (Zahirin Harahap, 2001: 2).

B. Tinjauan Umum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) 1. Sejarah Perundang-undangan HAKI di Indonesia

a. Perundang-undangan HAKI Masa Penjajahan Belanda

Hak Kekayaan Intelektual bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia telah memiliki Undang-undang tentang HAKI yang merupakan Peraturan Perundang-undangan yang diberlakukan di Belanda, diberlakukan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda dengan prinsip konkordansi (Adrian Sutedi, 2009: 1).

Permasalahn perlindungan HAKI tidak lagi menjadi urusan satu negara saja, tetapi sudah menjadi urusan masyarakat Internasional. Terlebih sejak ditandatanganinya Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO). Untuk mewujudkan perlindungan HAKI

(7)

Pada masa itu, bidang HAKI mendapat pengakuan baru 3 (tiga) bidang HAKI, yaitu bidang hak cipta, merek dagang dan industri, serta paten.

Adapun Peraturan Perundang-undangan Belanda bidang HAKI adalah sebagai berikut.

a. Auterswet 1912 (UU Hak Pengarang 1912, UU Hak Cipta;S. 1912-600);

b. Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912;S. 1912-545 jo. S. 1913-214); c. Octooiwet 1910 (UU Paten 1910; S. 1910-33, yis S. 1911-33, S.

1922-54.

(8)

Lingkup berlakunya Perundang-undangan hak kekayaan intelektual pada zaman Belanda terdapat dalam Indische Staatsregeling Pasal 131, pada pokoknya mengatur sebagai berikut:

a. Hukum perdata dan hukum dagang (termasuk hukum pidana maupun hukum acara perdata dan pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab undang-undang, yaitu dikodifikasi;

b. Untuk golongan bangsa Eropa, dianut (dicontoh) Perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (asas konkordansi); c. Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tionghoa,

Arab, dan sebagainya), jika ternyata “kebutuhan kemasyarakatan”

mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan. Dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2);

(9)

e. Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam Undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu “hukum adat” (ayat 6).

(10)

b. Perundang-undangan HAKI Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

HAKI merupakan suatu hal yang baru dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat, pengakuan terhadap karya intelektual sudah ada, tetapi hanya berupa pengakuan secara moral dan etika. Masyarakat Indonesia pada dasarnya merupakan suatu komunitas yang komunal dengan tingkat kebersamaan yang tinggi, sehingga hak-hak individu meskipun ada masih kalah oleh kepentingan bersama. Hak-hak individu tetap dihormati, tetapi pengaturannya sebatas pada aturan dan norma yang tidak tertulis (Much. Nurachmad, 2012: 17).

(11)

UU merek pertama Indonesia lahir pada tahun 1961 dengan diundangkannya UU Merek Dagang dan Merek Perniagaan, pada tanggal 11 Oktober 1961 dan mulai berlaku tanggal 11 November 1961, yang dikenal juga dengan nomenklatur UU No. 21 Tahun 1961. Dengan diberlakukannya Undang-undang tersebut, maka Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912; S. 1912-545 jo. S. 1913-214) tersebut dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Pada tahun 1992 terjadi pembaruan hukum merek di Indonesia, dengan diundangkan dan diberlakukannya UU No. 19 Tahun 1992 yang mencabut dan menggantikan UU No. 21 Tahun 1961. Selanjutnya pada tahun 1997, terjadi lagi penyempurnaan terhadap UU No. 19 Tahun 1992, dengan diundangkan dan diberlakukannya UU No. 14 Tahun 1997. Pada Tahun 2001, UU No. 19 Tahun 1992 jo. UU No. 14 Tahun 1997 tersebut diubah dan disempurnakan serta diganti dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 2001 (Adrian Sutedi, 2009: 4).

(12)

dengan UU No. 19 Tahun 2002 serta yang terbaru UU No. 28 Tahun 2014. UU paten Indonesia pertama baru ada pada tahun 1989 dengan diundangkan dan diberlakukannya UU No. 6 Tahun 1989. Kemudian pada tahun 1997, UU No. 6 Tahun 1989 tersebut diperbarui dengan UU No. 13 Tahun 1997 jo. UU No. 6 Tahun 1989 tersebut, diubah dan disempurnakan serta diganti dengan UU No. 14 Tahun 2001 (Adrian Sutedi, 2009: 5).

Dengan demikian, sejak tahun 1961 s.d. tahun 1999, yang berarti selama 54 tahun sejak Indonesia merdeka, bidang HAKI yang telah mendapat perlindungan dan pengaturan dalam tata hukum Indonesia baru 3 (tiga) bidang, yaitu merek, hak cipta, dan paten. Adapun 4 (empat) bidang HAKI lainnya varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri, serta desain tata sirkuit terpadu, baru mendapat pengaturan dalam hukum positif Indonesia pada tahun 2000, dengan diundangkannya UU No. 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman, UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Adrian Sutedi, 2009: 5).

2. Hukum HAKI di Indonesia

Pada dasarnya tidak ada satu pun definisi tentang HAKI atau Intellectual Property Rights yang diterima secara umum/universal. Namun

(13)

a. Menurut W.R. Cornish: Traditionally “the term “intellectual property” was used to refer to the rights conferred by the grant of

a copying in literary, artistic, and musical works. In more recent times, however, it has been used to refer to a wide range of

disparate rights, including a number of more often known as “industrial property”, such as patent and trademarks;

b. Menurut David Brainbridge: Intellectual property law is that area of law which concern legal rights assorted with creative effort or commercial reputation and goodwill. Adapun HAKI sebenarnya

bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sejak zaman Pemerintah Hindia Belanda, Indonesia telah mempunyai Undang-undang tentang HAKI yaitu Octrooiwet (UU Paten) Stb. No. 33 jjs S 11-33, S 22-54, Auterswet (UU Hak Pengarang) Stb. 1912 No. 600 serta Reglement Industriele Eigendom (Reglemen Milik Perindustrian) yang dimuat dalam S. 1912 No. 545 jo. S. 1913 No. 214, yang mulai berlaku sejak tahun 1913.

(14)

Hukum kekayaan intelektual bersifat asing bagi kepercayaan yang mendasari hukum adat, sehingga kemungkinan besar tidak akan berpengaruh atau kalaupun ada pengaruhnya kecil di kebanyakan wilayah Indonesia. Banyak konstruksi abstrak yang umum di sistem hukum barat tidak diakui oleh kebanyakan hukum adat. Salah satu diantaranya adalah perbedaan antara harta yang berwujud dan tidak berwujud. Hukum adat berdasar pada konstruksi keadilan yang konkret, nyata dan dapat dilihat, sehingga tidak mengakui penjualan barang yang tidak berwujud. Dengan demikian, hukum adat sama sekali tidak dapat mengakui keberadaan hukum hak kekayaan intelektual. Sangat mungkin bahwa HAKI yang individualistis akan disalahtafsirkan atau diabaikan karena tidak dianggap relevan (Tomi Suryo Utomo, 2011: 71).

C. Tinjauan Umum Hak Cipta

1. Peraturan yang berlaku tentang Hak Cipta

(15)

terhadap ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra (Gatot Supramono, 2009: 5).

Dalam waktu lima tahun sejak pengundangannya, UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta telah mengalami perubahan pada tahun 1987, yang menjadi latar belakang perubahan tersebut karena meluasnya pelanggaran hak cipta, dengan pengamatan terhadap keadaan yang mendorong pelanggaran secara lebih besar untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang besar secara cepat dengan mengabaikan kepentingan para pemilik atau pemegang hak cipta (Suyud Margono, 2010: 58).

Salah satu kelemahan dari UU No. 6 Tahun 1982 dalam menanggulangi pelanggaran hak cipta karena peraturan pidananya sebagai delik aduan. Penyidik baru dapat melakukan penangkapan terhadap pelakunya setelah adanya pengaduan dari pihak korban. Oleh karena itu, dalam UU No. 7 Tahun 1987 peraturan pidananya diubah menjadi delik biasa. Warga masyarakat dapat melaporkan adanya peristiwa pelanggaran hak cipta. Tanpa perlu ada pengaduan dari korban, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap pelakunya (Gatot Supramono, 2010: 5-6).

(16)

Bern tentang Perlindungan Karya Kesusasteraan dan Artistik. UU Hak Cipta Tahun 1997 adalah Undang-undang hak cipta pertama setelah penandatanganan TRIPs Agreement dengan beberapa perubahan dengan penyesuaian minimum standar pengaturan dapat terlihat dalam dasar menimbang (konsiderans) (Suyud Margono, 2010: 66).

Meskipun UU Hak Cipta sudah diubah dengan mengikuti ketentuan TRIPs, namun lima tahun kemudian Undang-undang tersebut diganti dengan yang baru yaitu UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Kemudian mengalami Perubahan lagi dengan dikeluarkannya UU No. 28 Tahun 2014, UU baru ini memiliki 126 pasal.

2. Pengertian Ciptaan, Pencipta, Hak Cipta, dan Pemegang Hak Cipta Dalam membahas hukum hak cipta tidak cukup hanya memberi pengertian tentang hak cipta saja akan tetapi perlu juga memberi pengertian tentang ciptaan, pencipta dan pemegang hak cipta karena masing-masing berkaitan erat antara yang satu dengan yang lainnya. Pengertian tentang ciptaan, pencipta, hak cipta dan pemegang hak cipta masing-masing telah dirumuskan dalam UU No. 28 Tahun 2014.

a. Ciptaan

(17)

b. Pencipta

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Hak Cipta 2014, Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Dari hal diatas, diketahui bahwa siapa saja ataupun beberapa orang atau kelompok yang dapat menghasilkan karya baik dalam bentuk seni atau pun yang lain disebut sebagai Pencipta.

c. Hak Cipta

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta 2014, Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Hak eksklusif adalah hak yang hanya diperuntukan bagi pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pencipta. Pemegang hak cipta yang bukan pencipta hanya memiliki sebagian dari hak eksklusif berupa hak ekonomi.

d. Pemegang Hak Cipta

(18)

3. Ciptaan yang Dilindungi

a. Ruang lingkup perlindungannya

Sejalan dengan pengertian ciptaan di atas bahwa ruang lingkup ciptaan berada dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, maka sejalan dengan itu Pasal 40 Ayat (1) UU Hak Cipta 2014 mengatur ciptaan yang dilindungi hanyalah ketiga bidang tersebut yang mencakup ciptaan-ciptaan yang berupa sebagai berikut:

a. Buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;

b. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;

c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

d. Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;

e. Drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

f. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;

g. Karya seni terapan; h. Karya arsitektur; i. Peta;

j. Karya seni batik atau seni motif lain; k. Karya fotografi;

(19)

m. Karya sinematografi;

n. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi; o. Terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi

ekspresi budaya tradisional;

p. Kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;

q. Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;

r. Permainan video; s. Program komputer.

Terhadap semua bentuk ciptaan di atas perlindungannya termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya tersebut.

b. Ciptaan yang tidak diketahui penciptanya

(20)

yang dimaksud seperti Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan status hak cipta dalam hal suatu karya yang penciptanya tidak diketahui dan belum diterbitkan misalnya, dalam hal karya tulis yang belum diterbitkan dalam bentuk buku atau karya musik yang belum direkam (Penjelasan Pasal 39 UU No. 28 Tahun 2014). Negara di sini dalam kedudukannya sebagai pemegang hak cipta karena undang-undang, tujuannya untuk kepentingan melindungi kepentingan umum dan pencipta yang tidak diketahui siapa orangnya (Gatot Supramono, 2010: 12).

c. Pembatasan hak cipta

Pembatasan hak cipta pada dasarnya bahwa orang dapat mengumumkan atau memperbanyak ciptaan dengan syarat harus menyebutkan atau mencantumkan dengan jelas sumbernya, sehingga perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Perbuatan tersebut diatur pada Pasal 43 UU Hak Cipta 2014, yaitu meliputi:

a. Pengumuman, pendistribusian, komunikasi, dan/atau Penggandaan lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli; b. Pengumuman, pendistribusian, komunikasi, dan/atau penggandaan

(21)

ciptaan tersebut dilakukan pengumuman, pendistribusian, komunikasi, dan/atau penggandaan;

c. Pengambilan berita aktual, baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lainnya dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap; atau

d. Pembuatan dan penyebarluasan konten hak cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait, atau pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut;

e. Penggandaan, pengumuman, dan/atau pendistribusian potret Presiden, Wakil Presiden, mantan Presiden, mantan Wakil Presiden, Pahlawan Nasional, Pimpinan Lembaga Negara, Pimpinan Kementerian/Lembaga Pemerintah non Kementerian, dan/atau Kepala Daerah dengan memperhatikan martabat dan kewajaran sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

(22)

dan pengembangan, terhadap ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra, Menteri Hukum dan HAM setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta dapat:

1. Mewajibkan pemegang hak cipta untuk melaksanakan sendiri penerjemahan dan/atau perbanyakan ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan;

2. Mewajibkan pemegang hak cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak ciptaan tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan;

3. Menunjukan pihak lain untuk melakukan penerjemahan dan/atau perbanyakan ciptaan tersebut;

4. Kewajiban untuk menerjemahkan dilaksanakan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra selama karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia;

5. Kewajiban untuk memperbanyak dilaksanakan setelah lewat jangka waktu:

(23)

b. 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang ilmu sosial dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;

c. 7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia.

6. Penerjemahan atau perbanyakan hanya dapat digunakan untuk pemakaian di dalam wilayah Negara Republik Indonesia dan tidak untuk diekspor ke wilayah negara lain.

Pemerintah berhak untuk melarang pengumuman setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan Pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan, serta ketertiban umum setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta.

4. Hak Cipta Atas Seni Batik Tradisional

Berkembangnya perdagangan internasional dan adanya gerakan perdagangan bebas mengakibatkan makin terasa kebutuhan terhadap HAKI yang sifatnya tidak lagi timbal balik, tetapi sudah bersifat antarnegara secara global. Pada akhir abad ke-19, perkembangan pengaturan HAKI mulai melewati batas-batas negara. Tonggak sejarahnya diawali dengan dibentuknya Paris Convention for The Protection of Industrial Property (disingkat Paris Convention) atau Konvensi Paris

(24)

1883 di Paris. Tidak lama kemudian pada tahun 1886, dibentuk pula sebuah konvensi untuk perlindungan di bidang hak cipta yang dikenal dengan International Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (disingkat Bern Convention) yang ditandatangani di Bern

(Afrillyanna Purba, 2009: 32).

Atas desakan Amerika Serikat dan beberapa negara berkembang, topik perlindungan HAKI di negara-negara berkembang muncul sebagai suatu isu baru dalam sistem perdagangan Internasional (Robert M. Sherwood, 1994: 3). HAKI sebagai isu baru muncul di bawah topik Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs) atau Aspek Perdagangan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Perjanjian tersebut merupakan sesuatu yang kompleks, komprehensif, dan ekstensif (H.S. Kartadjoemena: 253).

(25)

Upaya Indonesia untuk menyesuaikan Perundang-undangan nasional di bidang HAKI adalah dengan meratifikasi Perjanjian TRIPs melalui UU Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (WTO).Khusus bagi karya

seni batik, baik di dalam Konvensi Bern maupun TRIPs tidak menyebutkan tidak menyebutkan secara eksplisit. Namun, apabila memperhatikan lebih lanjut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Konvensi Bern yang mengatur mengenai lingkup “karya-karya cipta seni dan sastra”,

yang termasuk dalam karya-karya cipta yang dilindungi antara lain meliputi karya-karya cipta gambar sehingga dapat dikemukakan bahwa karya seni batik pun sebenarnya mendapat perlindungan melalui Hak Cipta secara Internasional. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa pada karya seni batik terkandung nilai seni berupa ciptaan gambar atau motif dan komposisi warna yang digunakan.

(26)

Di dalam praktik, banyak karya seni batik yang tidak diketahui penciptanya. Hal seperti ini tidak diatur dalam TRIPs. Namun Konvensi Bern Pasal 7 ayat (3) sebagai acuan TRIPs justru mengaturnya. Jangka waktu perlindungan yang diberikan bagi karya cipta tanpa nama oleh Konvensi Bern adalah berakhir selama 50 tahun setelah karya cipta tersebut secara hukum telah tersedia untuk umum. Namun demikian jangka waktu perlindungan terhadap karya cipta tersebut memiliki pengecualian dan pembatasan terhadap hak eksklusif yang diberikan sepanjang tidak bertentangan dengan pemanfaatan secara wajar atas karya yang bersangkutan dan tidak mengurangi secara tidak wajar kepentingan sah dari pemegang hak, tercantum pada Pasal 13 TRIPs (Afrillyanna Purba, 2009: 37).

Seni Batik di Indonesia mulai mendapat perlindungan hak cipta sejak UUHak Cipta 1987 hingga UUHak Cipta 2014, di dalam masing-masing Undang-undang tersebut seni batik terus mengalami perubahan pengertian. Adapun perkembangan pengaturan seni batik di Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Pasal 11 ayat (1) huruf f UUHak Cipta 1987

(27)

b. Pasal 11 ayat (1) huruf k UUHak Cipta 1997

Di dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan “batik” adalah ciptaan baru atau yang bukan tradisional atau

kontemporer. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya. Sedangkan untuk batik tradisional seperti parang rusak, sidomukti, truntum dan lain-lain menurut perhitungan jangka waktu perlindungan hak ciptanya memang telah berakhir dan menjadi public domein. Karena itu, bagi orang Indonesia sendiri, pada dasarnya

bebas untuk menggunakannya.

c. Pasal 12 ayat (1) huruf i UUHak Cipta 2002

Di dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa batik yang dibuat secara konvensional dilindungi sebagai bentuk ciptaan tersendiri. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai nilai seni, baik pada ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya. Disamakan dengan pengertian seni batik adalah karya tradisional lainnya yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, seperti seni songket, ikat, dan lain-lain yang dewasa ini terus dikembangkan.

d. Pasal 40 ayat (1) huruf j UUHak Cipta 2014

Di dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa “karya seni

batik” adalah motif batik kontemporer yang bersifat inovatif, masa

(28)

mempunyai nilai seni, baik dalam kaitannya dengan gambar, corak, maupun komposisi warna.

Maksud dari “karya seni motif lain” adalah motif yang

merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, seperti seni songket, motif tenun ikat, motif tapis, motif ulos, dan seni motif lain yang bersifat kontemporer, inovatif, dan terus dikembangkan.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa pada UU Hak Cipta 1987 dan 1997, seni batik yang mendapat perlindungan hak cipta adalah seni batik yang bukan tradisional dengan pertimbangan bahwa seni batik yang tradisional telah menjadi milik bersama (public domein). Konsekuensinya bagi orang Indonesia mempunyai kebebasan untuk menggunakannya tanpa dianggap sebagai suatu pelanggaran. Pada UU Hak Cipta 2002 dan 2014, unsur yang ditekankan adalah pada pembuatan batik secara konvensional. Adapun batik yang dianggap paling baik dan paling tradisional/konvensional adalah batik tulis (Afrillyanna Purba, 2009: 38-39).

(29)

izin kepada orang lain untuk melakukan pengumuman dan perbanyakan ciptaan yang dipunyai tanpa mengurangi pembatasan-pembatasan menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (Afrillyanna Purba, 2009: 39).

Jangka waktu perlindungan tersebut diberikan bagi seni batik yang bukan tradisional, sedangkan bagi seni batik tradisional, misalnya parang rusak, tidak memiliki jangka waktu perlindungan. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa batik-batik tradisional seperti itu diciptakan dan dihasilkan secara turun temurun oleh masyarakat Indonesia sehingga diperkirakan perhitungan jangka waktu perlindungan hak ciptanya telah melewati jangka waktu perlindungan yang ditetapkan dalam Undang-undang (telah berakhir). Selain itu, hak cipta batik tradisional yang ada dipegang oleh negara. Hal ini berarti bahwa negara menjadi wakil bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam menguasai kekayaan tradisional yang ada. Perwakilan oleh negara dimaksudkan untuk menghindari sengketa penguasaan atau pemilikan yang mungkin timbul di antara individu atau kelompok masyarakat tertentu. Selain itu, penguasaan oleh negara menjadi penting khususnya apabila terjadi pelanggaran hak cipta atas batik tradisional Indonesia yang dilakukan oleh warga negara asing dari negara lain karena akan menyangkut sistem penyelesaian sengketanya (Afrillyanna Purba, 2009: 39-40).

(30)

merupakan suatu pelanggaran terhadap ketentuan Internasional yang ada baik Konvensi Bern maupun TRIPs.

D. Tinjauan Umum Batik

1. Batik Sebagai Warisan Budaya

Kata batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang mempunyai arti menulis dan “titik” yang berarti titik. Kata batik merujuk pada kain dengan

corak atau gambar yang dihasilkan oleh bahan malam, yang digunakan untuk menahan masuknya bahan pewarna. Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya batik cap yang memungkinkan masuknya laki-laki kedalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak ”Mega Mendung”, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan

membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.

(31)

serta pengembangan motif dan yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbetawi (Masterpieces of the Oral and Intangible of Humanity) sejak 2 Oktober 2009. Menurut asal pembuatannya batik Jawa adalah sebuah warisan keseniaan budaya orang Indonesia, khususnya daerah Jawa yang dikuasai orang Jawa dari turun-temurun. Batik Jawa mempunyai motif yang berbeda-beda. Perbedaan motif ini biasa terjadi dikarenakan motif-motif itu mempunyai makna, maksudnya bukan hanya sebuah gambar akan tetapi mengandung makna yang mereka dapat dari leluhur mereka. Batik Jawa banyak berkembang di Solo atau biasa disebut dengan batik Solo.

Kita perlu memperkenalkan batik pada generasi penerus bangsa, agar para penerus bangsa juga sadar bahwa mereka juga mempunyai kewajiban menjaga dan melestarikan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Batik sebagai warisan budaya sangat perlu sekali untuk dilestarikan, salah satunya dengan upaya ditemurunkan pada generasi penerus bangsa Indonesia. Hal ini harus dilakukan agar kebudayaan seni batik tidak punah dari bangsa Indonesia meskipun adanya perubahan zaman yang lebih modern, karena batik merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Selain itu batik sangat perlu dilestarikan agar tidak bisa diklaim oleh negara lain.

(32)

memperbanyak produksi batik agar banyak konsumen yang menggunakan batik. Hal ini dilakukan agar mendapatkan pengakuan dari dunia bahwa batik merupakan kesenian atau kerajinan asli Indonesia serta agar mendapatkan piagam yang menyatakan batik itu milik Indonesia sepenuhnya. Karena akhir-akhir ini ada negara yang mengakui bahwa batik merupakan hasil dari kebudayaannya namun hal ini disangkal oleh Indonesia dan tidak didiamkan oleh bangsa Indonesia untuk melepaskannya begitu saja.

(33)

budayanya. Kini antusias mereka untuk menjaga dan melestarikan batik sangat tinggi.

Upaya dan perlunya melestarikan batik seolah-olah terbangun dari tidur panjang, Pemerintah baru mulai giat mempromosikan salah satu kerajinan milik bangsa Indonesia, yaitu batik. Kesadaran akan batik sebagai suatu produk kerajinan bangsa yang kaya akan nilai seni budaya ini, memang datangnya agak telat. Setidaknya setelah kebakaran jenggot gara-gara kerajinan ini sempat diklaim oleh salah satu negara tetangga terdekat sebagai miliknya. Patut disyukuri peristiwa itu menjadi tamparan keras buat kita untuk lebih menyadari keberadaan kekayaan budaya yang dimiliki. Banyak cara yang dapat dilakukan sebagai upaya dalam melestarikan batik, salah satu terobosan yang dilakukan adalah menggelar kegiatan pameran guna menghilangkan kesan dan anggapan batik hanya cocok dikonsumsi oleh kelompok tua dan hanya digunakan untuk kegiatan formal.

(34)

Upaya Pemerintah tersebut tak jauh dari bagian untuk lebih memperkenalkan produk asli Indonesia ini ke dunia Internasional, mempertegas bahwa batik sebenarnya adalah milik bangsa Indonesia, sekaligus menjadi alat yang bisa digunakan sebagai sarana promosi industri pariwisata nasional (http://mudaindonesia.com/pelestarian-batik-sebagai-warisan-budaya-nasional-2/).

2. Sejarah Batik Purbalingga

Kabupaten Purbalingga termasuk wilayah Provinsi Jawa Tengah bagian barat daya, tepatnya ada posisi: 101011’ – 109035’ Bujur timur, dan 7010’ – 7029’ Lintang Selatan dengan luas wilayah Kabupaten Purbalingga 77.764,122 ha atau sekitar 2,39 % dari luas wilayah Provinsi Jawa Tengah (3.254 ribu ha). Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Pemalang di utara, Kabupaten Banjarnegara di timur dan selatan, serta Kabupaten Banyumas di barat dan selatan

(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Purbalingga).

Selama ini Purbalingga lebih dikenal sebagai produsen knalpot dan rambut palsu sebagai tiang penyangga perekonomian masyarakat, sementara itu, industri kerajinan batik tulis yang merupakan salah satu intangible heritage cultur (warisan budaya bukan benda) dari

(35)

pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan (Laporan Akhir Profil UKM Kabupaten Purbalingga,2010: III-1).

Dalam keseharian di masyarakat Jawa kata “mbathik” atau “nyerat

yaitu menuliskan malam menggunakan canthing dan membuat motif pada kain mori yang akhirnya menjadi kain dengan ragam hias tertentu, melalui proses penciptaan yang dapat menerangkan dan menjelaskan apa sebab sampai ragam hias itu dibuat. Pada akhirnya, ada maksud tertentu di balik sebuah kain batik, terdapat nilai-nilai luhur yang dikandungnya. Nilai-nilai yang melekat ketika sebuah kain batik diciptakan dan nilai-nilai spiritual budaya yang mnyertai pembuatannya, mengajak/menasehati keturunannya melalui sebuah Suluk Prawan mBatik Tumeka Mbabar yang tercantum dalam serat Suluk Pangolahing Sandhang (Sekar Jagad, 2015: 6).

Jaman Majapahit Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majapahit, ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Setelah majapahit pecah dan penduduknya banyak yang berpencar, persebaran penduduk tersebut mulai dari Pekalongan, Jogjakarta, Solo, Banyumas bahkan ke luar Pulau Jawa. Kebiasaan membatik ini sudah melekat kepada ibu-ibu pada umumnya, sehingga disaat waktu senggang mereka masih melakukan tradisi membatik (Laporan Akhir Profil UKM Kabupaten Purbalingga, 2010: III-4).

(36)

di bawa oleh pengikut Pangeran Diponegoro setelah selesainya peperangan di tahun 1830. Kebanyakan dari mereka menetap di wilayah karesidenan Banyumas, termasuk Purbalingga.

Salah satu pengikut Pangeran Diponegoro yang menjadi pengusaha batik banyumasan yang terkenal pada masa itu adalah “Najendra”. Ia yang mengembangkan batik dan pewarnaannya di Sokaraja. Bahkan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri, dan obat pewarna yang digunakan adalah daun nila atau tom (Indigoferatinctoria), dan pohon mengkudu / pace, sedang tenaga pembatiknya kebanyakan dari wilayah Kabupaten Purbalingga seperti Kecamatan Bobotsari, Kalikajar kulon, Galuh, dan sebagainya hingga akhir abad XIX (Laporan Akhir Profil UKM Kabupaten Purbalingga, 2010: III-4 – III-5).

3. Motif Batik dan Filosofi a. Motif Lumbon

Motif lumbon adalah daun lumbu yang merupakan bahan dasar makanan khas buntil, makanan ikan gurame di kolam.

(37)

b. Motif Ayam Puger

Motif ini mempunyai simbol kondisi sosial di Banyumas, ayam jago, bangunan tikelan, garis menggambarkan bangunan tradisional.

Gambar. 2

c. Motif Mega Mendung

Pada bentuk mega mendung bisa kita lihat garis lengkung dari bentuk garis lengkung yang paling dalam (mengecil) kemudian melebar keluar (membesar) yang menunjukkan gerak yang teratur harmonis. Bisa dikatakan bahwa garis lengkung yang beraturan ini membawa pesan moral dalam kehidupan manusia yang selalu berubah (naik dan turun).

(38)

membesar keluar dan pada akhirnya harus kembali lagi menjadi putaran kecil, tetapi tidak boleh terputus.

Terlepas dari makna filosofis bahwa mega mendung melambangkan kehidupan manusia secara utuh sehingga bentuknya harus menyatu, sisi produksi memang mengharuskan bentuk garis lengkung mega mendung bertemu pada satu titik lengkung berikutnya agar pewarnaan bisa lebih mudah.

Gambar. 3

d. Motif Kawung

Motif kawung bermakna keinginan dan usaha yang keras akan selalu membuahkan hasil, seperti rejekinya berlipat ganda. Orang yang bekerja keras pasti akan menuai hasil walaupun kadang harus memakan waktu yang lama. Contohnya, seorang petani yang bekerja giat di sawah, jika tidak ada hama yang mengganggu tentu dia akan memanen hasil padi yang berlipat di kemudian hari.

(39)

boros. Namun budaya kerja keras untuk menuai hasil maksimal tidak dilakukan oleh semua orang, zaman sekarang di mana banyak orang ingin serba instan, orang ingin cepat kaya tanpa harus bekerja keras. Oleh karena itu, ada saja mereka yang melakukan hal-hal tercela untuk mendapatkan keinginannya.

Gambar. 4

e. Motif Parang atau Lereng

(40)

Dalam tapa brata itulah mereka dapat melihat pemandangan gunung dan pegunungan yang berderet-deret sehingga menyerupai pereng atau lereng.

Gambar. 5

f. Motif Parang Rusak Barong

Motif batik parang rusak barong ini berasal dari kata batu karang dan barong (singa). Parang barong merupakan parang yang paling besar dan agung, karena kesakralan filosofinya motif inihanya boleh digunakan untuk raja terutama dikenakan pada saat ritual keagamaan dan meditasi, motif ini diciptakan Sultan Agung.

(41)

Gambar. 6

g. Motif Batik Parang Kusuma

Motif Batik Parang Kusuma bermakna hidup harus dilandasi dengan perjuangan untuk mencari kebahagiaan lahir dan batin, ibarat keharuman bunga (kusuma). Bagi orang Jawa yang paling utama dari hidup di masyarakat adalah keharuman (kebaikan) pribadinya tanpa meninggalkan norma-norma yang berlaku dan sopan santun agar dapat terhindar dari bencana lahir dan batin.

(42)

Gambar. 7

h. Motif Ceplok

(43)

Gambar. 8

i. Motif Parikesit

Motif ini mengandung makna bahwa untuk mencari keutamaan, harus dilandasi dengan usaha keras dan kegesitan. Tentu usaha keras dan kegesitan itu tidak boleh meninggalkan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Usaha keras dan kegesitan dengan cara kotor harus dihindari karena bisa menjadi bumerang bagi diri sendiri.

(44)

j. Motif Garuda (Gurda)

Gurda berasal dari kata garuda seperti diketahui, garuda merupakan burung besar dalam pandangan masyarakat Jawa, burung garuda mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bentuk motif gurda ini terdiri dari dua buah sayap (lar) dan di tengahnya terdapat badan dan ekor. Motif batik gurda ini juga tidak lepas dari kepercayaan masa lalu. Garuda merupakan tunggangan Batara Wisnu yang dikenal sebagai Dewa Matahari. Garuda menjadi tunggangan Batara Wisnu dan dijadikan sebagai lambang matahari. Oleh masyarakat Jawa, garuda selain sebagai simbol kehidupan juga sebagai simbol kejantanan.

Gambar. 10

k. Motif Merak

(45)

cangkang. Motif burung huk juga sering disebut dengan motif burung merak. Ide dasarnya adalah pandangan hidup tentang kemana jiwa manusia sesudah mati dan gambaran tersebut disimpulkan bahwa kematian hanyalah kerusakan raga, sedangkan jiwanya tetap hidup menemui Sang Pencipta. Keunikan motif ini adalah ia selalu hadir bersama dengan motif lainnya, misalnya ceplokan sebagai selingan motif parang, dalam bentuk yang berbaur dengan motif lainnya.

Gambar. 11

l. Motif Semen Rama

(46)

rama terdapat pesan atau nasihat Ramawijaya saat penobatan Wibisana sebagai Raja Alengka dalam cerita pewayangan.

Nasihat tersebut termaktub di dalam asta brata (delapan keutamaan bagi seorang pemimpin), yaitu:

1. Endabrata, yaitu pemberi kemakmuran dan pelindung dunia. Dilambangkan dengan pohon hayat;

2. Yamabrata, yaitu menghukum yang bersalah secara adil. Dilambangkan dengan awan atau meru (gunung);

3. Suryabrata, yaitu watak matahari yang bersifat tabah. Dilambangkan dengan garuda;

4. Sasibrata, yaitu watak rembulan yang bersifat menggembirakan dan memberi hadiah kepada yang berjasa. Dilambangkan dengan ornamen binatang;

5. Bayubrata, yaitu watak luhur. Dilambangkan dengan ornamen burung;

6. Dhanababrata atau kuwerabrata, yaitu watak sentosa dan memberi kesejahteraan pada bawahan. Dilambangkan dengan ornamen bintang;

7. Pasabrata, yaitu berhati lapang tetapi berbahaya bagi yang mengabaikan. Dilambangkan dengan kapal air;

(47)

Gambar. 12

m. Motif Tambal

Ada kepercayaan bahwa bila orang sakit menggunakan kain ini sebagai selimut, maka ia akan cepat sembuh. Tambal artinya menambah semangat hari dengan semangat baru itu diharapkan harapan baru akan muncul sehingga kesembuhan mudah didapat. Selain itu, dengan kehadiran para penjenguk diharapkan si sakit tidak merasa ditinggalkan dan memiliki banyak saudara sehingga keinginan untuk sembuh semakin besar.

(48)

n. Motif Truntum

Motif batik truntum diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kencana (Permaisuri Sunan Paku Buwana III) bermakna cinta yang tumbuh kembali. Beliau menciptakan motif ini sebagai simbol cinta yang tulus tanpa syarat, abadi, dan semakin lama terasa semakin subur berkembang (tumaruntum). Kain motif truntum biasanya dipakai oleh orang tua pengantin pada haripernikahan. Harapannya adalah agar cinta kasih yang tumoruntum ini akan menghinggapi kedua mempelai. Kadang dimaknai pula bahwa orang tua berkewajiban untuk

“menuntun” kedua mempelai untuk memasuki kehidupan baru.

Gambar. 14

o. Motif Sekar Jagad

(49)

Gambar. 15

p. Motif Sido Mulyo

Makna motif batik ini adalah bahagia, rejeki melimpah. Gambar. 16

Gambar

Gambar. 1
Gambar. 2
Gambar. 3
Gambar. 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Tindak Tutur Asertif dan Direktif Serta Strategi

Tabel 5.3 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten Minahasa Menurut Jenis Pendapatan (juta rupiah), 2012-2015. Sumber: Kabupaten Minahasa Dalam Angka

Setelah dianalisis dengan menggunakan uji gain, dimana nilai pada siklus I dengan siklus II terdapat 20 peserta didik yang berada pada indeks gain sedang, ini

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan penyertaan-Nya yang berlimpah, sehingga skripsi yang berjudul “ ANALISIS PERENCANAAN AUDIT

[r]

Hasil analisis menunjukan pengembangan sistem yang digunakan dari perancangan aplikasi ini adalah agar dapat mempermudah pengguna dalam melakukan pengolahan data,

Kedudukan Dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah Perumusan Isu Strategis Analisis lingkungan internal Analisis lingkungan eksternal Perumusan Tujuan, Sasaran, Strategi,

This study analyses the underestimation of tree and shrub heights for different airborne laser scanner systems and point cloud distribution within the