• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM BIDANG PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN. Demi melindungi konsumen di Indonesia dari hal-hal yang dapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM BIDANG PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN. Demi melindungi konsumen di Indonesia dari hal-hal yang dapat"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM BIDANG PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum

Demi melindungi konsumen di Indonesia dari hal-hal yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap mereka, pada tanggal 20 April 1999 Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

Sebenarnya sebelum UUPK diundangkan, serta pelaku usaha telah diatur dan tersebar di dalam berbagai peraturan yang dapat dikelompokkan ke dalam empat bagian besar, yakni perindustrian, perdagangan, kesehatan dan lingkungan hidup. Contohnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun tidak mungkin bagi seorang konsumen yang buta hukum mencari berbagai hak dan kewajibannya di segunung tumpukan peraturan. Selain itu, kelemahan dari peraturan-peraturan yang muncul sebelum UUPK adalah:

1. Defenisi yang digunakan tidak dikhususkan untuk perlindungan konsumen.

(2)

2. Posisi konsumen lebih lemah.

3. Prosedurnya rumit dan sulit dipahami oleh konsumen.

4. Penyelesaian sengketa memakan waktu yang lama dan biayanya tinggi.

Meskipun ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen, UUPK tidak bertujuan untuk mematikan pelaku usaha. Dengan adanya UUPK, pelaku usaha diharapkan lebih termotivasi untuk meningkatkan daya saingnya dengan memperhatikan kepentingan konsumen.

Perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPK telah memberikan cukup kejelasan. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.19

19

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), Hal. 1.

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Dan menurut Janus Sidabalok dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, hukum perlindungan konsumen adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.

(3)

Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen dan menemukan kaidah hukum konsumen dalam berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia tidaklah mudah, hal ini dikarenakan tidak dipakainya istilah konsumen dalam peraturan perundang-undangangan tersebut walaupun ditemukan sebagian dari subyek-subyek hukum yang memenuhi kriteria konsumen.

Terdapat berbagai pengertian mengenai konsumen walaupun tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara satu pendapat dengan pendapat lainnya Konsumen sebagai peng-Indonesia-an istilah asing (Inggris) yaitu consumer, secara harfiah dalam kamus-kamus diartikan sebagai "seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu"; atau "sesuatu atau seseorang yang mengunakan suatu persediaan atau sejumlah barang". ada juga yang mengartikan " setiap orang yang menggunakan barang atau jasa".20

Az Nasution didalam bukunya memberikan batasan tentang konsumen pada umumnya adalah : “setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang

Dari pengertian diatas terlihat bahwa ada pembedaan antara konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai perusahan atau badan hukum pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi lagi).

20

Erman Rajagukguk, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2000), hal 82.

(4)

digunakan untuk tujuan tertentu”.21 Konsumen masih dibedakan lagi antara konsumen dengan konsumen akhir. Menurutnya yang dimaksud dengan konsumen antara adalah : “Setiap orang yang mendapatkan barang dan jasa untuk dipergunakan dengan tujuan membuat barang dan jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).22

Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli” (koper). Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdaganggkan.

23

Pengertian konsumen jelas lebih luas daripada pembeli. Luasnya pengertian konsumen dilukiskan secara sederhana oleh mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy dengan mengatakan, “consumers by definition include us all.”24

Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai, pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa; (uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten).25

21

Az. Nasution I, Op.cit, hal 70. 22

AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. Daya Widya, 2000), hal 23.( selanjutnya disebut AZ Nasution II)

23

Ibid, hal 24.

24

Mariam Darus Badrulzaman, “Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (Standar),” dalam BPHN, Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung : Binacipta, 1986), hal. 57.

25

(5)

Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dengan konsumen pemakai terakhir. Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang, konsumen diartikan sebagai, “The person who obtains goods or services for personal or family purposes.”26 Dari definisi itu terkandung dua unsur, yaitu konsumen hanya orang, dan barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya. Di Spanyol, pengertian konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang menarik di sini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.27

1. Setiap orang

Rumusan dan ketentuan diatas menunjukkan sangat beragamnya pengertian konsumen. Masing-masing ketentuan memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, dengan mempelajari perbandingan dari rumusan konsumen, kita perlu kembali melihat pengertian konsumen dalam Pasal 1 Angka (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sejumlah catatan dapat diberikan terhadap unsur-unsur definisi konsumen.

Konsumen adalah :

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang/atau jasa.

2. Pemakai

26

Tim FH UI & Depdagri, Rancangan Akademik Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta : tidak dipublikasikan, 1992), hal. 57.

27

(6)

Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 Angka (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer).

3. Barang dan/atau jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang.28

4. Yang tersedia dalam masyarakat

Dalam dunia perbankan, misalnya, istilah produk dipakai juga untuk menamakan jenis-jenis layanan perbankan.

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran (bunyi Pasal 9 Ayat (1) Huruf (e) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekadar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan.

6. Barang dan atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

28

H.C. Black, Black’s Law Dictionary, ed. 6 (St. Paul : West Pulishing Co. 1990), hal 129.

(7)

Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Secara teoretis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 memberi pengertian apa yang dimaksud dengan pelaku usaha, seperti tercantum dalam Pasal 1 ayat 3, Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang diberikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Sedangkan didalam penjelasannya yang termasuk pelaku usaha, UUPK menyebut perusahaan, korporasi, BUMN, koprasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Jadi pengertian pelaku usaha dalam undang-undang ini luas sekali, karena pengertiannya tidak dibatasi hanya pabrikan saja, melainkan juga para distributor (dan jaringannya), serta termasuk para importir.

Adapun menurut beberapa ahli hukum seperti Az. Nasution, misalnya, berpendapat hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaiadah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.29

29

Az. Nasution I, Op.cit, hal 71.

Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang

(8)

mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen30

1. Rumah

Setelah diberlakukannya UU No. 8 tahun 1999 terdapat Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia No 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah yang berhubungan dengan perlindungan konsumen. Keputusan Menteri ini memang tidak secara langsung mengenai perlindungan konsumen, namun secara tidak langsung dimaksudkan juga untuk melindungi konsumen Keputusan Menteri yang dimaksud antara lain:

Bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Rumah sebagai tempat membina keluarga, tempat berlindung dari iklim dan tempat menjaga kesehatan keluarga.

2. Rumah Sehat

Rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi ketetapan atau ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni rumah dari bahaya atau gangguan kesehatan, sehingga memugkinkan penghuni memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

3. Perumahan

30

(9)

Kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.

4. Permukiman

Bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Menurut para ilmuwan ada beberapa pengertian tentang perumahan yang lain yaitu;

1. Menurut UU RI No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, Pasal 1 Ayat (2), rumah mempunyai arti bangunan dan lingkungan tempat tinggal dilengkapi dengan sarana dan prasarana fasilitas yang memenuhi syarat-syarat guna mendukung kehidupan manusia.

2. Menurut Arthur C.S. (Housing : Symbol, Structure, Site, 1990), filosofi rumah sama dengan tubuh manusia yang membutuhkan penutup berupa rumah atau

shelter.31

3. Menurut Sam Davis (The Form of Housing), rumah kemudian akan disebut menjadi perumahan apabila menjadi sekumpulan kesatuan di atas petak-petak lahan individu atau sebagai kelompok rumah gandeng atau sebagai bangunan apartemen.32

31

Arthur C.S. Housing : Symbol, Structure, Site, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990), hal 28.

32

Sam Davis, The Form of Housing, dalam Jurnal Hukum Bisnis Vol. 12, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta.

(10)

4. Menurut Y.B. Mangunwijaya, rumah memang bisa dianggap mesin, alat pergandaan produksi. Tetapi lebih dari itu, rumah adalah citra, cahaya pantulan jiwa dan cita-cita kita. Ia adalah lambang yang membahasakan segala yang manusiawi, indah dan agung dari dia yang membangunnya; kesederhanaan dan kewajarannya yang memperteguh hati setiap manusia. Rumah memang kita gunakan, namun lebih dari itu, rumah adalah cerminan jiwa yang bermartabat. Standar dan Ketentuan Perumahan : Sebagai wadah kehidupan manusia, rumah dituntut untuk dapat memberikan sebuah lingkungan binaan yang aman, sehat dan nyaman. Untuk itulah Pemerintah dengan wewenang yang dimilikinya memberikan arahan, standar peraturan dan ketentuan yang harus diwujudkan oleh pihak pengembang.33

1. Membangun jaringan prasarana lingkungan rumah mendahului pembangunan rumah, memelihara dan mengelolanya sampai pengesahan dan penyerahan kepada Pemerintah Daerah.

Pembangunan perumahan dapat dilaksanakan oleh pemerintah ataupun pihak swasta. Sesuai dengan UU No 4 Tahun 1992, selain membangun unit rumah, pengembang juga diwajibkan untuk :

2. Mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan utilitas umum. 3. Melakukan penghijauan lingkungan.

4. Menyediakan tanah untuk sarana lingkungan. 5. Membangun rumah.

33

Budiharjo Mangunwijaya, Sejumlah Masalah Permukiman Kota, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 11.

(11)

Permukiman manusia dari perkataan Aristoteles bahwa sasaran permukiman untuk sebuah kota besar adalah untuk membuat individu yang bahagia dan aman.34

Pemukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya. Pemukiman berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya pemukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana ligkungannya. Perumahan menitiberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu houses

dan land settlement. Sedangkan pemukiman memberikan kesan tentang pemukim

atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga pemukiman menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia (human).

Perumahan dan pemukiman adalah dua hal yang tidak dapat kita pisahkan dan berkaitan erat dengan aktivitas ekonomi, industrialisasi dan pembangunan. Pemukiman dapat diartikan sebagai perumahan atau kumpulan rumah dengan segala unsur serta kegiatan yang berkaitan dan yang ada di dalam pemukiman. Pemukiman dapat terhindar dari kondisi kumuh dan tidak layak huni jika pembangunan perumahan sesuai dengan standar yang berlaku, salah satunya dengan menerapkan persyaratan rumah sehat.

35

34

Ibid 35

(12)

Dengan demikian perumahan dan pemukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakekatnya saling melengkapi.

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Didalam suatu peraturan, hal yang paling penting dalam terbentuknya suatu peraturan adalah Asas. Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamen, prinsip dan jiwa atau cita-cita. Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Asas dapat juga disebut pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang sesuatu.

Asas Hukum adalah prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum yang terdiri dari pengertian-pengertian atau nilai-nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum. Kecuali itu Asas Hukum dapat disebut landasan atau alasan bagi terbentuknya suatu peraturan hukum atau merupakan suatu ratio legis dari suatu peraturan hukum yang menilai nilai-nilai, jiwa, cita-cita sosial atau perundangan etis yang ingin diwujudkan. Karena itu Asas Hukum merupakan jantung atau jembatan suatu peraturan-peraturan hukum dan hukum positif dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat.

Asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap system hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang

(13)

merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.36

1. Asas Manfaat

Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan pada asas yang diyakini memberikan arahan dan implementasinya di tingkatan praktis. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen Pasal 2, ada 5 (lima) asas perlindungan konsumen yaitu:

Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya

2. Asas Keadilan

Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UUPK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.

3. Asas Keseimbangan

Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.

36

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cet. Kedua, (Yogyakarta: Liberty, 1999 )

(14)

4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Diharapkan penerapan UUPK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas Kepastian Hukum

Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Disamping asas, hal yang diperlukan dalam suatu peraturan adalah tujuan. Tujuan adalah sasaran. Tujuan adalah cita-cita. Tujuan lebih dari hanya sekedar mimpi yang terwujud. Tujuan adalah pernyataan yang jelas. Tidak akan ada apa yang bakal terjadi dengan sebuah keajaiban tanpa sebuah tujuan yang jelas. Tidak akan ada langkah maju yang segera diambil tanpa menetapkan tujuan yang tegas. Dan tujuan dalam hukum adalah untuk menjamin kepastian hukum dalam masyarakat yang bersendikan pada keadilan.

Adapun tujuan Perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, bertujuan untuk:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

(15)

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalm memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian Hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kenyamanan, dan keselamtan konsumen.

C. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Bidang Perumahan dan Pemukiman

Para pihak dalam bidang perumahan yang pada umumnya terdiri dari konsumen dan pelaku usaha masing-masing memiliki hak dan kewajibannya.

Hak adalah suatu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum. Suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Baik pribadi maupun umum. Dapat diartikan bahwa hak adalah sesuatu yang patut atau layak diterima. Contoh hak adalah hak untuk hidup, hak untuk mempunyai keyakinan dan lain-lain.

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dalam hal mengenai Hak konsumen, terdapat pendapat dari ahli-ahli seperti Presiden John F.

(16)

Kennedy yang menyebut empat hak dasar konsumen atau the four consumer basic rights, yaitu:

1. The right to safety (hak atas keamanan); 2. The right to choose (hak untuk memilih);

3. The right to be informed (hak mendapatkan informasi); 4. The right to be heard (hak untukdidengar pendapatnya).37

Kemudian muncul beberapa hak konsumen selain itu, yaitu hak gantirugi, hak pendidikan konsumen, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas lingkungan yang sehat. Selanjutnya, keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21 dan Pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union-

IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, hak untuk memperoleh

kebutuhan hidup, hak untuk memperoleh ganti rugi, hak untuk memperoleh bidang perumahan dan permukiman .

38

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

Hak Konsumen diatur didalam Pasal 4 UU No.8 Tahun 1999, yakni:

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

37

Gunawan Wijaya dan A Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Gramedia, 2001), hal 27.

(17)

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Hak tersebut diatas pada dasarnya adalah untuk meraih kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Sebab masalah tersebut merupakan hal yang paling utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Juga untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat

(18)

penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk di dengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.39

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

Hak-hak konsumen yang tersebut diatas berguna untuk melindungi kepentingan konsumen, sebagaimana tercantum dalam tujuan dari perlindungan konsumen yaitu mengangkat harkat hidup dan martabat konsumen. Sehingga diharapkan konsumen menyadari akan hak-haknya dan pelaku usaha diharuskan untuk memerhatikan apa saja perbuatan-perbuatan usaha yang dilarang menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen sehingga tidak ada lagi pelanggaran hak-hak konsumen.

Selain ada hak, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban. Kewajiban adalah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual. Dengan kata lain kewajiban adalah sesuatu yang sepatutnya diberikan. Contoh kewajiban : Dalam jual beli, bila kita membeli suatu barang, maka kita wajib membayar barang tersebut. Kewajiban konsumen sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.40

39

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1521/3/perdata-sabarudin2.pdf.txt, diakseskan tanggal 11 Februari 2011.

40

Perlindungan Konsumen dan Peraturan Perundang-undangan yang terkait, (Bandung : Penerbit Nuanasa Aulia, 2006), hal 37.

(19)

Didalam pelaksanaan jual beli perumahaan dan pemukiman selain terdapat konsumen juga terdiri dari pelaku usaha. Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Mengenai hubungan pelaku usaha dan konsumen ini telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 6 dan Pasal 7 yang mengatur tentang hak dan kewajiban pelaku usaha.

Seperti telah disebutkan beberapa hak konsumen diatas, pelaku usaha juga memiliki beberapa hak. Sebagai penyeimbangan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha dengan tidak mengabaikan tanggung jawab pelaku usaha, menjadi hak pelaku usaha adalah:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritkad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

(20)

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Disamping memiliki hak, pelaku usaha juga memiliki beberapa kewajiban sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:41

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

41

(21)

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Selain terdapat hak dan kewajiban dalam hal perlindungan terhadap perlindungan konsumen, sebagai seorang pelaku usaha, telah ditetapkan tentang perbuatan yang dilarang dalam Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Adapun perbuatan yang dilarang oleh pelaku usaha adalah sebagai berikut;

1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,

(22)

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;

2. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

3. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

4. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

5. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(23)

6. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasi secara lengkap dan benar.

7. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

D. Perlindungan Hukum Konsumen dalam Bidang Perumahan dan Pemukiman

Perlindungan hukum kepada konsumen dapat diwujudkan dalam 2 bentuk pengaturan, yaitu, pertama, melalui suatu bentuk perundang-undangan tertentu yang sifatnya umum untuk setiap orang yang melakukan transaksi barang dan atau jasa sedangkan kedua, melalui perjanjian yang khusus dibuat para pihak (pelaku usaha dan konsumen) yang isinya antara lain mengenai ketentuan tentang ganti rugi, jangka waktu pengajuan klaim, penyelesaian sengketa.

Dengan diberlakukannya UU No 8 Tahun 1999 maka dasar perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa segala upaya yang ditujukan untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Perlindungan terhadap konsumen dilakukan sebelum atau pada saat atau telah terjadi transaksi yang menimbulkan suatu hubungan hukum antara pelaku usaha selaku produsen dengan konsumen sebagai subyek hukum, dan barang dan atau jasa sebagai obyek hukum dalam Undang-undang ini. Dengan disahkannya

(24)

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diharapkan dapat digunakan sebagai sarana preventif guna mewujudkan perlindungan konsumen dengan berdasarkan atas hak-hak yang juga dimiliki manusia. Jelas telah diungkapkan dalam UU Perlindungan Konsumen, bahwa yang menjadi subyek hukumnya adalah orang. Namun adanya hak dan kewajiban tersebut kemudian menimbulkan suatu masalah baru, yaitu masalah perlindungan bagi para pihak terhadap segala kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain berdasarkan hak dan kewajiban yang dimilikinya.

Pembentukan Perlindungan Konsumen pada dasarnya antara lain dimaksudkan memberikan tempat yang seimbang antara pelaku usaha dengan konsumen. Masalah keseimbangan ini secara tegas dinyatakan dalam perjanjian terhadap perlindungan konsumen. Sekalipun dalam berbagai peraturan perundang-undangan seolah mengatur dan/atau melindungi konsumen di bidang perumahan dan pemukiman, tetapi pada kenyataannya pemanfaatannya mengandung kendala tertentu yang menyulitkan konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mencoba untuk memberikan perlindungan terhadap ketiga kepentingan konsumen tersebut di atas. Meskipun demikian pada pelaksanaan di lapangan, konsumen belum secara maksimal memperoleh perlindungan hukum secara adil.

Perlindungan hukum konsumen yang diberikan dalam UU No. 8 Tahun 1999 memberikan perlindungan kepada konsumen dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang:

(25)

Dalam UU No. 8 Tahun 1999 memberikan perlindungan terhadap konsumen dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang apa saja hak hak sebagai konsumen berikut dengan kewajibannya. Hak-hak dan kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 4 UUPK. Hak-hak dan kewajiban konsumen ini telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya.

2. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha

Sesuai dengan UU No.8 Tahun 1999, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha telah diatur dalam Pasal 8. Ketentuan tentang perbuatan yang dilarang sebagai seorang pelaku usaha telah dijelaskan pada subbab sebelumnya. Dengan adanya ketentuan ini, maka UU ini telah melindungi konsumen dari pelaku usaha yang beritikad buruk.

3. Klausula baku

Setelah adanya UUPK, maka perlindungan konsumen dari penyalahgunaan keadaan semakin membaik karena berdasarkan Pasal 18 UUPK dilarang memuat klausula-klausula baku tertentu dalam perjanjian antara konsumen dengan pelaku usaha. Adapun isi dari Pasal tersebut yaitu:

a. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

1) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

2) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

(26)

3) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

4) menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

5) mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

6) memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

7) menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen

memanfaatkan jasa yang dibelinya;

8) menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. b. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau

bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

(27)

c. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. d. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan

dengan Undang-undang ini.

Pembatasan atau larangan untuk memuat klausula-klausula baku tertentu dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat, yang pada akhirnya akan merugikan konsumen.

4. Tanggung jawab hukum

Dengan diberlakukannya UUPK, maka dalam hal melindungi konsumen dari perbuatan pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumen telah diatur dalam Pasal 19 yang berisi tentang tanggung jawab sebagai pelaku usaha. Secara umum tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang telah disebutkan yang secara garis besarnya hanya ada dua kategori, yaitu ganti kerugian yang berdasarkan atas wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan perbuatan melanggar hukum. Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban atas prestasi utama atau kewajiban jaminan/ garansi dalam perjanjian. Bentuk-bentuk wanprestasi ini dapat terjadi apabila tidak

(28)

memenuhi prestasi sama sekali, terlambat dalam memenuhi prestasi, berprestasi tidak sebagaimana mestinya.

Sedangkan tuntutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perikatan yang lahir dari perjanjian (karena terjadinya wanprestasi) dan akibat dari pelanggaran terhadap larangan undang-undang.

Untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum. Hal ini berarti bahwa untuk dapat menuntut ganti kerugian harus dipenuhi unsur-unsur seperti adanya perbuatan melanggar hukum, adanya kerugian, adanya hubungan kausalitas antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian, dan adanya kesalahan.

5. Penyelesaian sengketa

Dalam hal perlindungan konsumen apabila terjadi suatu sengketa, dalam UUPK telah diatur mengenai penyelesaian sengketa yang terdapat dalam Pasal 45. Dalam pasal ini disebutkan sebagai berikut:

1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

(29)

3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.

4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak.

6. Sanksi

Adapun perlindungan terhadap konsumen dalam hal pemberian sanksi dalam dunia bisnis terhadap pihak yang melakukan pelanggaran yang menyebabkan kerugian biasanya adalah sanksi administratif. Adapun sanksi administratif yang dikenakan adalah berupa ganti kerugian sebesar kerugian yang dialami. Namun hal itu harus ditinjau terlebih dahulu mengenai sengketa yang terjadi. Sebab dalam dunia bisnis tidak menutup kemungkinan adanya sanksi pidana. Hal ini dapat terjadi apabila adanya, pelanggaran hukum atas larangan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dalam hal ini maka selain pelaku usaha harus mengganti kerugian konsumen ( sanksi administratif ), pelaku usaha juga harus menanggung sanksi pidana dimana telah diatur dalam Pasal 8 ayat 4 UUPK yang menyebutkan bahwa pelaku usaha yang melakukan pelanggran terhadap Pasal 8 ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Dalam hal ini yang

(30)

berwenang menarik barang dan/atau jasa dari peredaran adalah menteri dan menteri teknis.

Disamping adanya peraturan UU No. 8 Tahun 1999, ada juga peraturan lain yang memberikan perlindungan terhadap konsumen perumahan dan pemukiman. Dalam hal mengenai perlindungan terhadap konsumen perumahan dan pemukiman tentang rumah yang layak untuk dihuni terdapat di dalam Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 1992 yang menyatakan rumah yang layak adalah bangunan memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya.

Seiring dengan perkembangan di dalam masyarakat, maka pemerintah merasa perlu untuk dibuat suatu rancangan undang-undang tentang perumahan dan pemukiman agar lebih maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen perumahan.

Adapun yang dimaksud dengan “rumah yang layak huni dan terjangkau” menurut penjelasan Pasal 3 huruf f RUU Perumahan dan Pemukiman adalah bangunan rumah yang sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupan luas bangunan serta kesehatan penghuninya dan dari biaya dapat dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

Pasca diratifikasinya kovenan internasional hak-hak ekonomi sosial dan budaya seharusnya RUU Perumahan dan Pemukiman mengatur kriteria layak lebih maju sebagaimana yang tertuang dalam Komentar Umum No. 4 Pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya mengenai

(31)

Hak Atas Tempat Tinggal yang layak. Dalam komentar umum tersebut didapat kriteria layak adalah sebagai berikut:

1. Jaminan perlindungan hukum.

Perlindungan hukum mengambil banyak bentuk, diantaranya penyewaan akomodasi (publik dan swasta), perumahan kolektif, kredit, perumahan darurat, pemukiman informal, termasuk penguasaan tanah dan properti. Meskipun ada beragam jenis perlindungan hukum, setiap orang harus memiliki tingkat perlindungan hukum yang menjamin perlindungan hukum dari pengusiran paksa, pelecehan, dan ancaman lainnya. Negara Pihak harus secara bertanggung jawab, segera mengambil tindakan-tindakan yang bertujuan mengkonsultasikan jaminan perlindungan hukum terhadap orang-orang tersebut dan rumah tangga yang saat ini belum memiliki perlindungan, konsultasi secara benar dengan orang-orang atau kelompok yang terkena.

2. Ketersediaan layanan, bahan-bahan baku, fasilitas, dan infra struktur

Tempat tinggal yang layak harus memiliki fasilitas tertentu yang penting bagi kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan nutrisi. Semua penerima manfaat dari hak atas tempat tinggal yang layak harus memiliki akses yang berkelanjutan terhadap sumber daya alam dan publik, air minum yang aman, energi untuk memasak, suhu dan cahaya, alat-alat untuk menyimpan makanan, pembuangan sampah, saluran air, layanan darurat.

3. Keterjangkauan

Biaya pengeluaran seseorang atau rumah tangga yang bertempat tinggal harus pada tingkat tertentu dimana pencapaian dan pemenuhan terhadap

(32)

kebutuhan dasar lainnya tidak terancam atau terganggu. Tindakan harus diambil oleh Negara Pihak untuk memastikan bahwa persentasi biaya yang berhubungan dengan tempat tinggal, secara umum sepadan dengan tingkat pendapatan. Negara Pihak harus menyediakan subsidi untuk tempat tinggal bagi mereka yang tidak mampu memiliki tempat tinggal, dalam bentuk dan tingkat kredit perumahan yang secara layak mencerminkan kebutuhan tempat tinggal. Dalam kaitannya dengan prinsip keterjangkauan, penghuni harus dilindungi dengan perlengkapan yang layak ketika berhadapan dengan tingkat sewa yang tidak masuk akal atau kenaikan uang sewa. Di masyarakat, dimana bahan-bahan baku alam merupakan sumber daya utama bahan baku pembuatan rumah, Negara adalah pihak harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan ketersediaan bahan baku tersebut. 4. Layak huni

Tempat tinggal yang memadai haruslah layak dihuni, artinya dapat menyediakan ruang yang cukup bagi penghuninya dan dapat melindungi mereka dari cuaca dingin, lembab, panas, hujan, angin, atau ancaman-ancaman bagi kesehatan, bahaya fisik bangunan, dan vektor penyakit. Keamanan fisik penghuni harus pula terjamin. Komite mendorong Negara Pihak untuk secara menyeluruh menerapkan Prinsip Rumah Sehat yang disusun oleh WHO yang menggolongkan tempat tinggal sebagai faktor lingkungan yang paling sering dikaitkan dengan kondisi-kondisi penyebab penyakit berdasarkan berbagai analisis epidemiologi; yaitu, tempat tinggal dan kondisi kehidupan yang tidak layak dan kurang sempurna selalu berkaitan dengan tingginya tingkat kematian dan ketidaksehatan.

(33)

5. Aksesibilitas

Tempat tinggal yang layak harus dapat diakses oleh semua orang yang berhak atasnya. Kelompok-kelompok yang kurang beruntung seperti halnya manula, anak-anak, penderita cacat fisik, penderita sakit stadium akhir, penderita HIV-positif, penderita sakit menahun, penderita cacat mental, korban bencana alam, penghuni kawasan rawan bencana, dan lain-lain harus diyakinkan mengenai standar prioritas untuk lingkungan tempat tinggal mereka.

6.. Lokasi

Tempat tinggal yang layak harus berada di lokasi yang terbuka terhadap akses pekerjaan, pelayanan kesehatan, sekolah, pusat kesehatan anak, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya. Di samping itu, rumah hendaknya tidak didirikan di lokasi-lokasi yang telah atau akan segera terpolusi, yang mengancam hak untuk hidup sehat para penghuninya.

7. Kelayakan budaya

Cara rumah didirikan, bahan baku bangunan yang digunakan, dan kebijakan-kebijakan yang mendukung kedua unsur tersebut harus memungkinkan pernyataan identitas budaya dan keragaman tempat tinggal. Berbagai aktivitas yang ditujukan bagi peningkatan dan modernisasi dalam lingkungan tempat tinggal harus dapat memastikan bahwa dimensi-dimensi budaya dari tempat tinggal tidak dikorbankan, dan bahwa, diantaranya, fasilitas-fasilitas berteknologi modern, juga telah dilengkapkan dengan semestinya.

Pemenuhan hak atas perumahan bukan merupakan suatu yang sederhana dan memiliki aspek yang kompleks. Merupakan suatu kesalahpahaman jika

(34)

mewujudkan hak atas perumahan bagi warga negara dapat direalisasikan dengan mempermudah bisnis properti. Pembangunan rumah dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya.42

Dalam rumusan tersebut digunakan istilah persetujuan dan bukan perjanjian. Namun kedua istilah yang berbeda ini tidak perlu dipertentangkan, karena pada dasarnya mempunyai maksud yang sama, yaitu terciptanya kata sepakat dari kedua belah pihak. Rumusan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tampaknya kurang lengkap, sebab yang mengikatkan diri dalam perjanjian hanya salah satu pihak saja. Padahal yang seringkali dijumpai adalah perjanjian dimana Selain dengan adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang dijelaskan diatas dalam hal melindungi konsumen perumahan dan pemukiman, perjanjian yang dibuat antara pihak pelaku usaha dengan konsumen juga merupakan undang-unfang bagi para pihak yang membuatnya dan dapat juga memberikan perlindungan hukum kepada konsumen perumahan dan pemukiman.

Di dalam melakukan suatu transaksi baik itu transaksi jual beli, sewa menyewa, dan utang piutang, hal yang paling mendasari terjadinya transaksi tersebut adalah karenanya adanya kesepakatan dari para pihak. Kesepakatan itulah yang menyebabkan adanya suatu perjanjian.

Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa : “Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

42

(35)

kedua belah pihak saling mengikatkan diri satu sama lain, sehingga mempunyai hak dan kewajiban yang bertimbal balik.

Selain itu di dalam membuat suatu perjanjian, para pihak harus telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH perdata. Syarat sah dalam suatu perjanjian, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Apabila syarat-syarat tersebut diatas jika tidak terpenuhi syarat nomor 1dan nomor 2 maka perjanjian dapat dibatalkan sedangkan jikasyarat nomor 3 dan 4 tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Hal penting dalam membuat isi dari perjanjian tersebut juga harus memiliki itikad baik sebab isi dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata yang isinya adalah semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dengan diberlakukannya Pasal 1338 KUH Perdata tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya suatu masalah dikemudian hari oleh para pihak yang membuat suatu perjanjian. Namun hal ini sering tidak diperhatikan oleh para

(36)

pihak yang membuat perjanjian sehingga sering bermunculan masalah mengenai terhadap perjanjian yang dibuat. Masalah yang sering muncul tidak lain dari hal wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak. Oleh karena itu apabila terjadi hal seperti itu, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi terhadap pihak yang telah melanggar isi dari perjanjian. Hal ini sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.

Berdasarkan uraian diatas dapat kita lihat perlindungan hukum kepada konsumen perumahan dan pemukiman telah diberikan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu, UUPK dan UU No.4 tahun 1992 serta dalam perjanjian yang dibuat sendiri oleh konsumen dan pelaku usaha perumahan dan pemukiman, yang berdasarkan Pasal 1338 ayat 1 suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Referensi

Dokumen terkait

Upaya guru mengenalkan kerjasama pada anak dalam bermain sangatlah penting karena peraturan pemerintah RI No. 66 Tahun 2010 dalam UU Sikdiknas 1R 7DKXQ SDVDO D\DW

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) cara perhitungan unit cost pada SMK Muhammadiyah 2 Surakarta dengan menggunakan metode variable costing ; (2) break even

Mengetahui pengaruh perkembangan rasio likuiditas, rasio profitabilitas dan keputusan investasi (dilihat dari sudut investor) pada perusahaan sektor pertambangan yang

awal diperoleh data tentang hasil belajar matematika siswa sebelum dilakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sebagai berikut: siswa yang mendapat nilai dengan kriteria

& Dinas Kesehatan Lumajang Page 164 Diantara seluruh poli di RSUD Pasirian, poli fisioterapi memperoleh nilai kepuasan yang paling rendah pada semua unsur. Hal ini

Sedangkan pada histologi ginjal tampak bahwa perlakuan porang yang berasal dari Sumber Baru dan Sumber Bendo menunjukkan adanya.. kerusakan sel hepar sekitar 25

Ketiga pengaturan tentang perkawinan anak di bawah umur tanpa izin orang tua dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dilarang melangsungkan

Implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah di Kota Semarang dilihat dari lima tepat yang perlu dipenuhi dalam keefektifan suatu pelaksanaan program, yaitu ketepatan kebijakan,