• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sri Utami Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sri Utami Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NOTARIS DALAM PROSES

PERADILAN PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2

TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG

NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

Sri Utami

Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Email: utamiaji195@yahoo.com Hari Purwadi, Adi Sulistiyono

(osen Fakultas Hukum UNS

Abstract

A notary is a particular professions within the legal service to the society that it is necessary to obtain the process of judicial and legal obstacles UUJN said in practice. This is a sociological study by the sociological yuridis. The analysis of data and analysis conducted by the interactive. The result showed that the legal protection of the notary in the criminal justice UUJN is a right to use, or to a notary broken investigators, yet the establishment of implementing regulations UUJN change, not the establishment of MKN, and this role to should immediately establish implementing regulations of UUJN so it will not make multi interpretation, both for notary and notary clients, provide assistance teams for a notary suspected of committing a criminal act along MKN were not formed and enhancing the role of INI, both internally and externally.

Keyword :The protection of the law, Notary, The Process of Criminal Justice. Abstrak

Notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat sehingga perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap Notaris dalam proses peradilan pidana menurut UUJN dan hambatan dalam pelaksanaannya. Penelitian ini bersifat sosiologis dengan pendekatan yuridis sosiologis. Adapun analisis data dilakukan dengan teknik analisis model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk perlindungan hukum terhadap Notaris dalam proses peradilan pidana menurut UUJN adalah penggunaan hak atau kewajiban ingkar Notaris, pemanggilan Notaris oleh penyidik, penuntut umum dan hakim harus dilakukan dengan persetujuan MKN, pengawasan, melekatkan sidik jari pada minuta akta dan perlindungan hukum dari induk organisasi Notaris (INI). Adapun hambatan dalam pelaksanaannya adalah belum terbentuknya Peraturan Pelaksana UUJN Perubahan, belum terbentuknya MKN, dan peran INI untuk melakukan sosialisasi tentang UUJN Perubahan masih kurang. Adapun cara mengatasi hambatan tersebut adalah pemerintah segera membentuk Peraturan Pelaksana UUJN supaya tidak menimbulkan multitafsir, baik di kalangan Notaris sendiri maupun klien Notaris, memberikan pendampingan terhadap Notaris yang diduga melakukan tindak pidana sepanjang MKN belum terbentuk dan meningkatkan peran INI, baik secara internal maupun eksternal.

(2)

A. Pendahuluan

Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan profesi dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi setiap warga negara. Ketentuan tentang Jabatan Notaris diatur dalam Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) (Widyatmoko, 2014: 1).

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Perubahan Atas UUJN menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan, maka keluhuran serta martabat Jabatan Notaris harus dijaga, baik ketika dalam menjalankan tugas jabatannya maupun perilaku kehidupan Notaris sebagai manusia yang secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi martabat jabatan Notaris. Kedudukan Notaris sebagai pejabat umum, dalam arti kewenangan yang ada pada Notaris tidak pernah diberikan kepada pejabat-pejabat lain, sepanjang kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lain dalam membuat akta autentik dan kewenangan lain, maka kewenangan tersebut menjadi kewenangan Notaris (Habib Adjie,2008: 40). Salah satu fungsi negara yaitu dapat memberikan pelayanan umum kepada rakyatnya. Salah satu bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya, yaitu negara memberi kesempatan kepada rakyat untuk memperoleh tanda bukti atau dokumen hukum yang berkaitan dalam hukum perdata, untuk keperluan tersebut diberikan kepada Pejabat Umum yang dijabat oleh Notaris. Notaris menjalankan sebagian kekuasaan negara dalam bidang hukum perdata untuk melayani kepentingan rakyat memerlukan bukti atau dokumen hukum berbentuk akta autentik yang diakui oleh negara sebagai bukti yang sempurna. Oleh karena itu, Notaris yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, perlu mendapat perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.

Setiap menjalankan tugas jabatannya dalam membuat suatu akta, seorang Notaris memiliki tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya sebagai suatu realisasi keinginan para pihak dalam bentuk akta autentik. Tanggung jawab notaris, berkaitan erat dengan tugas dan kewenangan serta moralitas baik sebagai pribadi maupun selaku pejabat umum. Notaris mungkin saja melakukan kesalahan atau kekhilafan dalam pembuatan akta. Apabila ini terbukti, akta kehilangan otentisitasnya dan batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Dalam hal ini apabila menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan dengan akta tersebut, Notaris dapat dituntut secara pidana atau pun digugat secara perdata. Sanksi yang dikenakan secara pidana adalah menjatuhkan hukuman pidana dan sanksi secara perdata adalah memberikan ganti rugi kepada pihak yang berkepentingan tersebut (Tan Thong Kie, 2007: 149).

Contoh kasus Notaris yang terlibat dalam kasus tindak pidana adalah Ninoek Poernomo. Kasus tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris Ninoek Poernomo telah diputus dalam putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 1014 K/Pid/2013 tanggal 6 November 2013. Kasus ini berawal dari Notaris Ninoek Poernomo yang membuat surat atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan hak suatu perikatan atau pembebasan utang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar atau tidak dipalsukan.

Contoh lain adalah kasus Notaris/PPAT Theresia Pontoh tersangka dalam kasus penipuan dan penggelapan yang ditangani oleh Polda Papua. Theresia merupakan Notaris yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembuatan akta jual beli tanah dengan tuduhan Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan oleh penyidik Polda Papua di Jayapura. Kasus ini bermula dari laporan pada tanggal 9 Juli 2013, terkait dengan batalnya jual beli tanah antara (http://news.okezone.com diakses tanggal 16 Januari 2013, jam 13.15 WIB).

Adanya tersangka ataupun sanksi yang diberikan kepada Notaris menunjukkan bahwa Notaris bukan sebagai subjek yang kebal terhadap hukum. Terhadap Notaris dapat dijatuhi sanksi pidana jika memang terbukti melakukan suatu perbuatan tindak pidana, seperti pemalsuan atau penggelapan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sudah banyak terjadi akta yang dibuat oleh Notaris sebagai alat bukti autentik dipersoalkan di Pengadilan atau notarisnya

(3)

langsung dipanggil untuk dijadikan saksi bahkan seorang Notaris digugat atau dituntut di muka pengadilan. Penyebab permasalahan, dapat timbul secara langsung akibat kelalaian Notaris, namun juga bisa timbul secara tidak langsung dalam hal dilakukan oleh orang lain (klien).

Notaris selain memberikan jaminan, ketertiban dan perlindungan hukum kepada masyarakat pengguna jasa notaris, juga perlu mendapat pengawasan terhadap pelaksanaan tugas notaris. Sisi lain dari pengawasan terhadap notaris adalah aspek perlindungan hukum bagi notaris di dalam menjalankan tugas dan fungsi yang oleh undang-undang diberikan dan dipercayakan kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam butir konsideran menimbang, yaitu notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat yang perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dalam artikel ini hendak di bahas bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap Notaris dalam proses peradilan pidana menurut UUJN dan hambatan dalam pelaksanaannya?

B. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian sosiologis. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan melakukan kajian terhadap bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Sumber hukum yang digunakan diperoleh dari wawancara maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku-buku literatur, jurnal serta artikel yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Keseluruhan data yang telah diidentifikasi dan dikumpulkan, dianalisis dengan teknik analisis model interaktif.

C. Hasil dan Pembahasan

1. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Dalam Proses Peradilan Pidana menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah keseluruhan kumpulan

peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu hidup bersama, keseluruhan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi (Sudikno Mertokusumo, 1986: 1). Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan perlindungan hukum dapat diartikan sebagai pemberi jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya atau perlindungan terhadap kepentingannya sehingga yang bersangkutan aman sesuai dengan aturan atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat.

Indonesia adalah negara hukum yang memiliki corak yang khas yang membedakannya dengan negara-negara lain. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki karakter yang unik dalam melindungi hak-hak asasi manusia, yaitu lebih mengutamakan keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat. Dalam konteks ini, Philipus M. Hadjon mengungkapkan ciri khas Indonesia sebagai negara hukum adalah melindungi hak-hak asasi manusia dengan mengedepankan asas kerukunan dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat. Berdasarkan asas ini akan berkembang elemen lain dari konsep negara hukum berdasarkan Pancasila, yaitu terjalinnya hubungan fungsional dan proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah sedangkan peradilan merupakan sarana terakhir dan tentang hak-hak asasi manusia tidaklah hanya menekankan hak atau kewajiban, tetapi terjalinnya suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban. Hal ini berbeda dengan konseprule of law dalam melindungi hak-hak asasi manusia yang lebih mengedepankan prinsipequality before the law sedangkan konseprechtstaat dalam melindungi hak asasi manusia mengedepankan prinsip wetmattigheid, yaitu pemerintah mendasarkan tindakan pada undang-undang (Philipus M. Hadjon, 2007: 20-21).

Konsep negara hukum sebagaimana yang disebutkan di atas, berakar dari Dasar Negara Indonesia, yaitu Pancasila. Prinsip perlindungan hukum sebagaimana dikemukakan di atas, merupakan pijakan dan memberi penjelasan bahwa perlindungan hukum yang diberikan oleh negara bertumpu pada jaminan hak asasi manusia dan mengedepankan prinsip

(4)

wetmattigheid atau pemerintah mendasarkan tindakannya pada undang-undang. Dengan demikian, untuk mencapai perlindungan hukum, produk hukum menjadi hal utama sebagai perlindungan. Selain itu, juga dibutuhkan semangat dari aparat penegak hukum untuk sungguh-sungguh melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku tanpa tebang pilih.

Undang-Undang Jabatan Notaris merupakan produk hukum yang dimaksudkan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi Notaris dalam menjalankan profesinya sebagai pejabat pembuat akta autentik. Oleh karena itu, dalam UUJN memuat aturan hukum yang salah satunya adalah bentuk perlindungan hukum bagi Notaris. Adapun bentuk perlindungan hukum terhadap Notaris, khususnya dalam proses peradilan pidana menurut UUJN adalah:

a. Ketentuan yang mengatur tentang kewajiban ingkar dan hak ingkar Notaris yang tercantum dalam: Pasal 4 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf f dan Pasal 54. Habib Ajie menyebut hak ingkar sebagai ”kewajiban ingkar (verschoningsplicht) Notaris”. Habib Ajie menjelaskan bahwa salah satu bagian dari sumpah/janji Notaris adalah bahwa Notaris akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan Notaris sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN. Notaris berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna perbuatan akta sesuai dengan sumpah/ janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain (Habib Ajie, 2008: 89). Dalam hal memberikan kesaksian, seorang notaris tidak dapat mengungkapkan akta yang dibuatnya baik sebagian maupun keseluruhannya kepada pihak lain. Hal ini sesuai dengan Pasal 54 UUJN karena sebagai seorang kepercayaan, notaris berkewajiban untuk merahasiakan semua hal yang diberitahukan kepadanya dalam jabatannya sebagai notaris, sekalipun ada sebagian yang tidak dicantumkan dalam akta, dan telah dianggap mewakili diri notaris dalam suatu persidangan sehingga akta yang dibuat oleh atau di hadapan

notaris merupakan suatu alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. (Pricilia Yuliana Kambey,2013: vol.1, no. 2 )

b. Melekatkan sidik jari di minuta akta sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c yang menyebutkan bahwa “dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta”. Hal ini menjadi tugas bagi Majelis Pengawas Notaris untuk melakukan pengawasan pada saat memeriksa kelengkapan dokumen pendukung pembuatan minuta akta. Fungsi sidik jari di sini untuk lebih memperkuat alat bukti. Dengan demikian, diaturnya tentang sidik jari ini adalah untuk menguatkan masalah pembuktian. Diharapkan dengan melekatkan sidik jari lebih memberikan perlindungan hukum bagi Notaris.

c. Persetujuan Majelis Kehormatan Notaris Ketentuan Pasal 66 ayat (1) UUJN Perubahan disebutkan bahwa untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penutut umum atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris. Pasal tersebut secara jelas menentukan tentang lembaga yang memberikan persetujuan untuk dapat dipanggilnya dan/atau diambilnya Minuta Akta dan/ atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris. Namun, dalam Pasal 66A ayat 3 disebutkan bahwa mengenai Majelis Kehormatan Notaris (MKN) ini akan diatur dengan Peraturan Menteri tetapi hingga saat ini peraturan tersebut belum ada. Berdasarkan ketentuan Pasal 66A tersebut, maka dalam proses memberikan persetujuan MKN harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Pemeriksaan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 70 huruf a UUJN Perubahan, yaitu dengan menyelenggarakan sidang terlebih dahulu untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran sidang pelaksanaan jabatan Notaris terhadap seorang Notaris. Setelah dilakukan pemeriksaan, hasil akhir dari pemeriksaan MKN dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan, yang isinya memberikan persetujuan atau menolak

(5)

permintaan Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim.

d. Perlindungan Terhadap Notaris sebagai anggota Ikatan Notaris Indonesia Ketentuan mengenai organisasi notaris diatur dalam Pasal 82 ayat (2) UUJN Perubahan yang menyebutkan ”Wadah Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Ikatan Notaris Indonesia. Pemberian perlindungan hukum pada anggota, diletakkan dalam rangka komitmen terhadap nilai kebersamaan sesama rekan seprofesi dan komitmen terhadap keluhuran martabat Notaris selaku Pejabat Umum. Sebagai inti tujuan pendirian perkumpulan, INI memberikan jaminan perlindungan bagi para Notaris berkaitan dengan profesi dan jabatannya sebagai pejabat publik. Oleh karena itu untuk memberikan perlindungan hukum bagi anggotanya, INI juga melakukan kerjasama dengan lembaga kepolisian melalui nota kesepahaman antara INI dengan POLRI Nomor: 01/ MoU/PP-INI/V/2006 yang intinya adalah untuk mengatur pembinaan dan peningkatan profesionalisme di bidang hukum merupakan suatu perlindungan hukum tersendiri bagi notaris terkait dengan rahasia jabatan sebagai profesi yang didasarkan kepercayaan. Nota kesepahaman tersebut di atas adalah merupakan tata cara atau prosedur yang harus dilakukan jika notaris dipanggil atau diperiksa oleh kepolisian.

e. Pengawasan terhadap praktik profesi Notaris

Penegakan hukum harus dilakukan dengan adanya sistem pengawasan atas praktik-praktik hukum sehingga tidak terjadi penyelewengan oleh para praktisi hukum. Dicabutnya frasa “dengan persetujuan” pada Pasal 66 UUJN dapat menjadi salah satu pendorong bagi organisasi Notaris (Ikatan Notairs Indonesia/INI) dan Majelis Pengawas Notaris untuk melakukan pengawasan secara lebih intensif terhadap para Notaris yang ada dalam naungannya secara lebih baik terhadap praktik profesi Notaris sehingga para Notaris kecil kemungkinan terkena dampak masalah hukum apabila telah menjalankan tugas

dan kewajibannya sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku. Pengawasan terhadap Notaris berdasarkan Pasal 67 ayat (5) Perubahan Atas UUJN yang meliputi: pengawasan terhadap perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris. Pengawasan terhadap perilaku Notaris dalam Perubahan UUJN dapat dilihat dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dan Pasal 12 huruf c, yaitu perilaku Notaris yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela dan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris, misalnya berjudi, mabuk-mabukan, menyalahgunakan narkoba dan sebagainya.

Perlindungan hukum harus diberikan kepada semua orang, termasuk seorang Notaris sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Perlindungan hukum terhadap Notaris dalam proses penegakan hukum di persidangan dapat dilakukan melalui proses, yaitu: penggunaan hak atau kewajiban ingkar Notaris maupun pemanggilan Notaris oleh penyidik, penuntut umum dan hakim harus dilakukan dengan mendapatkan persetujuan MKN. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN. Bentuk perlindungan hukum yang lain adalah dalam bentuk pengawasan, melekatkan sidik jari pada minuta akta dan perlindungan hukum dari induk organisasi Notaris (INI).

2. Hambatan dalam Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Notaris

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak menutup kemungkinan bersinggungan dengan permasalahan hukum, meskipun ia dalam menjalankan tugas jabatannya sudah berhati-hati dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan seorang Notaris tetap seorang manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Notaris harus siap untuk menghadapi jika sewaktu-waktu dijadikan pihak yang terlibat dalam perkara bidang Hukum Perdata maupun Hukum Pidana, yang diakibatkan dari produk hukum yang dibuatnya. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dipungkuri lagi, saat ini cukup banyak perkara-perkara pidana yang terjadi dikarenakan perilaku Notaris yang tidak profesional dan

(6)

memihak salah satu pihak pada akta-akta yang dibuatnya. Permasalahan hukum tersebut bahkan dapat membawa Notaris sampai pada tahap diperiksa oleh aparat penegak hukum.

Aparat penegak hukum memeriksa Notaris karena ada keterkaitan Notaris dengan fakta yang diperolehnya. Produk-produk Notaris yaitu akta Notaris, dapat dijadikan alat bukti berupa petunjuk dalam pemeriksaan suatu kasus yang diperiksa oleh aparat penegak hukum. Dalam acara pidana, petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Sebelum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Undang-Undang Jabatan Notaris diundangkan, pemeriksaan Notaris oleh aparat penegak hukum untuk kepentingan proses peradilan, harus dilakukan dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah. Majelis Pengawas Daerah adalah Majelis Pengawas yang dibentuk oleh Menteri dalam rangka menjalankan kewenangannya melaksanakan pengawasan atas Notaris di tingkat kabupaten atau kota. Kewenangan tersebut kemudian hapus dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012 yang dalam amar putusannya memutus menghapus frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” yang terkandung dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Undang-Undang Jabatan Notaris, kewenangan pemberian persetujuan pemeriksaan Notaris untuk kepentingan proses peradilan oleh undang-undang diberikan kepada Majelis Kehormatan Notaris. Majelis Kehormatan Notaris adalah lembaga yang oleh undang-undang diamanatkan untuk dibentuk oleh Menteri dalam rangka melaksanakan pembinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 66 A ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Undang-Undang Jabatan

Notaris.

Diberlakukannya UUJN Perubahan tersebut, bukannya tanpa hambatan dalam pelaksanaannya. Hal tersebut, terutama berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap Notaris dalam proses peradilan pidana. Hambatan-hambatan tersebut di antaranya adalah:

a. Belum terbentuknya Peraturan Pelaksana UUJN Perubahan

Kendala dalam aturan hukum ini adalah belum terbentuknya peraturan p e l a k s a n a a n U U J N P e r u b a h a n sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 91B UUJN Perubahan, sehingga mekanisme penyidikan terhadap Notaris masih mengacu pada UUJN yang lama. Padahal UUJN lama telah diralat dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2013 yang mencabut Pasal 66 ayat (1), khususnya pada frasa tentang kewajiban untuk mendapatkan persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD). Hal ini pada akhirnya juga berkaitan dengan tidak berlakunya lagi ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.03HT.0310 tahun 2007 yang mengatur tentang MPD. Selain itu, dalam UUJN Perubahan terdapat beberapa ketentuan yang diatur dalam pasal baru yang dapat menimbulkan multitafsir dalam praktik di lapangan, karena belum terbentuknya peraturan pelaksanaannya. Salah satu pasal tersebut adalah adanya kewajiban bagi Notaris untuk melekatkan sidik jari sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c. Dalam praktek, banyak menimbulkan keresahan di kalangan klien Notaris termasuk Bank, Lembaga Pembiayaan, dan lain-lain. Klien meminta payung hukum yang lebih detail tidak hanya berdasarkan pada ketentuan Pasal 16 ayat 1 huruf c dan mempunyai kekuatan hukum.

b. Belum terbentuknya Majelis Kehormatan Notaris (MKN)

Guna kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim ketika ingin mengambil fotokopi minuta akta notaris atau memanggil notaris itu

(7)

sendiri harus dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD). Namun, frasa “dengan persetujuan MPD” ini telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012. Akan tetapi, UUJN yang baru memasukkan kembali “perlindungan” notaris ini melalui frasa “dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (MKN)”. Belum terbentuknya lembaga MKN, karena dasar pembentukannya dengan Peraturan Menteri. Sementara itu, sampai saat ini Peraturan Menteri sebagai landasan hukum terbentuknya MKN sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 66 dan 66A UUJN Perubahan belum ada. Oleh karena itu, dengan belum terbentuknya lembaga MKN menjadi satu kendala dalam memberikan perlindungan hukum bagi Notaris, khususnya dalam proses peradilan pidana. Dengan demikian, saat ini dalam proses pemanggilan oleh penyidik terhadap Notaris yang diduga melakukan tindak pidana atau pu sebagai saksi, maka mekanisme pemanggilannya dapat langsung kepada Notaris yang bersangktan, tanpa melalui MPD ataupun MKN.

c. Peran INI untuk melakukan sosialisasi tentang UUJN Perubahan di daerah tertentu kurang

K e g i at an so si al i s ai p e nt i ng untuk dilakukan mengingat perlunya pemahaman yang mendalam terhadap beberapa perubahan dari UUJN yang telah diundangkan sejak tahun 2014. Pada dasarnya kegiatan sosialisasi perubahan UUJN dilakukan sebagai bentuk penyatuan pandangan dalam berpraktek bagi Notaris. Namun demikian, peran INI untuk melakukan kegiatan sosialisasi tentang perubahan UUJN ini di daerah tertentu masih kurang.

Adanya hambatan-hambatan sebagaimana disebutkan di atas, maka diperlukan cara untuk mengatasinya. Adapun cara mengatasi hambatan tersebut adalah pemerintah segera membentuk Peraturan Pelaksana UUJN supaya tidak menimbulkan multitafsir, baik di kalangan Notaris sendiri maupun klien Notaris. Selanjutnya adalah pendampingan

terhadap Notaris yang diduga melakukan tindak pidana sepanjang MKN belum terbentuk dan meningkatkan peran INI, baik secara internal maupun eksternal.

D. Simpulan

1. Bentuk perlindungan hukum terhadap Notaris dalam proses peradilan pidana menurut UUJN adalah: 1) ketentuan yang mengatur tentang kewajiban ingkar dan hak ingkar Notaris yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf f dan Pasal 54; 2) Melekatkan sidik jari di minuta akta. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c; 3) Persetujuan Majelis Kehormatan Notaris. Hal ini diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN Perubahan yang menyebutkan bahwa untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penutut umum atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris; 4) Perlindungan Terhadap Notaris sebagai anggota Ikatan Notaris Indonesia. Ketentuan mengenai organisasi notaris diatur dalam Pasal 82 ayat (2) UUJN Perubahan yang menyebutkan ”Wadah Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Ikatan Notaris Indonesia. Inti tujuan pendirian perkumpulan INI adalah memberikan jaminan perlindungan bagi para Notaris berkaitan dengan profesi dan jabatannya sebagai pejabat publik; dan 5) Pengawasan terhadap praktik profesi Notaris. Pengawasan terhadap Notaris berdasarkan Pasal 67 ayat (5) Perubahan Atas UUJN yang meliputi: pengawasan terhadap perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris. Pengawasan terhadap perilaku Notaris dalam Perubahan UUJN dapat dilihat dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dan Pasal 12 huruf c, yaitu perilaku Notaris yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela dan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris, misalnya berjudi, mabuk-mabukan, menyalahgunakan narkoba dan sebagainya. 2. Hambatan pelaksanaan perlindungan hukum

terhadap Notaris dalam proses peradilan pidana Menurut UUJN adalah: belum terbentuknya Peraturan Pelaksana UUJN Perubahan, belum terbentuknya Majelis Kehormatan Notaris (MKN), dan peran INI untuk melakukan sosialisasi tentang UUJN Perubahan di daerah tertentu masih kurang. Adapun cara mengatasi hambatan tersebut adalah pemerintah segera membentuk Peraturan Pelaksana UUJN

(8)

supaya tidak menimbulkan multitafsir, baik di kalangan Notaris sendiri maupun klien Notaris kemudian memberikan pendampingan terhadap Notaris yang diduga melakukan tindak pidana sepanjang MKN belum terbentuk dan meningkatkan peran INI, baik secara internal maupun eksternal.

E. Saran

1. Pemerintah harus segera mengeluarkan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Hal ini dimaksudkan supaya produk Undang-Undang yang dihasilkan dapat memberikan rasa kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan. Selin itu, pemerintah juga harus segera menerbitkan Peraturan Menteri sebagai landasan hukum pembentukan Majelis Kehormatan Notaris sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang supaya ada kepastian hukum bagi perlindungan hukum bagi Notaris dalam proses peradilan pidana. 2. Majelis Kehormatan Notaris hendaknya lebih

mengoptimalkan perannya dalam memeriksa suatu kasus apabila terdapat notaris yang di duga melakukan tindak pidana dan lebih meningkatkan pengawasan terhadap notaris dalam melakukan tugas jabatannya agar bisa lebih profesional sehingga terhindar dari tindakan-tindakan yang menjurus pada pelanggaran hukum.

3. Organisasi INI harus secara rutin melakukan sosialisasi/pertemuan untuk lebih meningkatkan pemahaman Notaris terhadap UUJN Perubahan sehingga ada persamaan persepsi terhadap tugas dan jabatan Notaris. Selain itu, hendaknya setiap pengurus INI daerah maupun wilayah supaya membentuk bidang bantuan hukum dan pendampingan anggota. Selanjutnya, perlu untuk memperbaharui MoU INI dengan Kapolri yang dibuat pada tahun 2006 dan membuat MoU dengan Kejaksaan, Mahkamah Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

4. Bagi Notaris sendiri, hendaknya Notaris harus lebih banyak membaca terkait jabatan profesi

Notaris dan harus lebih sering berdiskusi dengan rekan sejawat, organisasi Ikatan Notaris Indonesia, ataupun pihak Akademisi Hukum dalam memahami dan mengartikan Undang-Undang Perubahan Jabatan Notaris ini, agar tidak terjadi kesalahan atau meminimalisir kesalahan dalam pembuatan akta untuk ke depannya.

Daftar Pustaka

Habib Adjie. 2008.Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Bandung. Refika Aditama

Philipus M. Hadjon. 2007. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Edisi Khusus. Yogyakarta. Peradaban.

Sudikno Mertokusumo. 1986. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Cetakan Pertama. Yogyakarta. Liberty

Tan Thong Kie. 2007.Studi Notariat dan Seba-Serbi Notaris. Jakarta. Intermasa

“Terancam Dipenjara, Theresia Minta Perlindungan MA”, , diakses tanggal 16 Januari 2013, jam 13.15 WIB.

Widyatmoko, “Analisis Kritis Membedah Ketentuan Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 (UUJN)”, makalah dalam Seminar Nasional, diselenggarakan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 16 Januari 2014. Pricilia Yuliana Kambey.2013. Jurnal Lex et

Societatis, Vol. I/No.2/Apr-Jun/2013 Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum diakui oleh PBB, status Palestina adalah sebagai otoritas Palestina, bukan sebuah negara, sehingga Palestina melakukan berbagai perjuangan untuk menjadi negara

Dengan demikian, kekuatan mengikat sebuah keputusan yang dalam hal ini adalah keputusan Mahkamah Internasional dapat diartikan sebagai suatu kepastian yang terdapat

(1) Masyarakatnya heterogen, beragam latar belakang budaya (2) Hubungan sosialnya didasarkan pamrih kepentingan ekonomi (3) Pengendalian terhadap penyimpangan sosial masih cukup kuat

Dari keseluruhan rangkaian proses pengembangan model Konseling Realitas Kelompok dengan strategi Bibliotherapy untuk penguatan Regulasi-diri dalam Kesiapan Karir siswa

Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi perilaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan digunakan sebagai acuan bagi perilaku

Pada metode - metode sebelumnya dalam menentukan panjang interval umumnya ditentukan berdasarkan keinginan peneliti untuk mempermudah perhitungan. Sedangkan penentuan

Adapun kesimpulan dari proses resolusi konflik agama dalam Integrasi Sosial pada Desa Bila Kabupaten Sidenreng Rappang yang awalnya mengalami kesulitan, namun berkat

Menyelenggarakan pendidikan teologi yang berkualitas untuk menghasilkan pemimpin yang dapat memenuhi amanat agung Yesus Kristus dalam penginjilan, pemuridan,