• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bimo Wiroprayogo dan Nathalina Naibaho. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bimo Wiroprayogo dan Nathalina Naibaho. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PROSES DIVERSI

YANG DILAKUKAN OLEH BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS)

UNTUK PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA ANAK

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012

TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

(STUDI DI BAPAS KLAS 1 JAKARTA PUSAT)

Bimo Wiroprayogo dan Nathalina Naibaho

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia

bimowiroprayogo5@gmail.com

Abstrak

Skripsi ini membahas mengenai diversi yang dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) berdasarkan pendekatan keadilan restoratif sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2012. Pembahasan dilakukan dengan menganalisis teori mengenai perilaku delikuensi anak yang kemudian dapat menghasilkan anak yang berhadapan dengan hukum, diversi, dan pendekatan keadilan restoratif, serta peran serta Balai Pemasyarakatn sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2012. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk meneliti kepastian hukum berdasarkan studi kepustakaan (dokumen atau penelitian kepustakaan) dan hukum positif yang ada, serta dengan wawancara dengan narasumber yang mengatakan bahwa Balai Pemasyarakatan tidak mempunyai fungsi diversi secara penuh, dan diversi yang dilakukan tidak menyeluruh memenuhi aspek-aspek dalam pendekatan keadilan restoratif.

RESTORATIVE JUSTICE APPROACH ON THE DIVERSION BY BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) FOR THE SETTLEMENT OF THE MATTER

A CRIMINAL OFFENCE COMMITED BY CHILD BASED ON THE JUVENILLE JUSTICE SYSTEM ACT NUMBER 11 OF 2012

(STUDY ON BAPAS KLAS 1 CENTRAL JAKARTA Abstract

This thesis deals with the diversion is done by Balai Pemasyarakatan (Bapas) based on restorative justice approaches in accordance with The Juvenille Justice System Act Number 11 of 2012. The matters are done by analyzing the theories about the behavior of delinquent children who can then produce children who are dealing with the law, diversion, and restorative justice approaches, as well as the role of Balai Pemasyarakatan (Bapas) based on The Juvenille Justice System Act Number 11 of 2012. This research is juridical normative research that aims to examine the legal certainty based on the study of librarianship (the document or research libraries) and the existing positive law, as well as with interviews with the speakers, conclude that Balai Pemasyarakatan (Bapas) has no function fully versioned, and not done thorough fulfilling aspects of restorative justice approaches.

(2)

Key Words : Diversion, Restorative Justice, Balai Pemasyarakatan

Pendahuluan

Anak adalah generasi pembaru bangsa. Mengapa demikian? Karena anak mempunyai masa depan untuk membawa negaranya menjadi negara yang lebih baik, tidak hanya sebagai generasi penerus bangsa. Inilah salah satu tugas dari seorang anak Indonesia. Mereka akan mengenyam pendidikan setinggi-tingginya agar dapat membawa Indonesia menjadi bangsa yang dikenal dunia.

Perlindungan anak merupakan sebuah usaha untuk membuat suatu lingkungan dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan serta diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Perlindungan anak ini pun merupakan suatu perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Perwujudan perlindungan dalam hal ini antara lain adalah usaha-usaha seperti pembinaan, pendampingan, penyertaan, pengawasan, pencegahan, pengaturan, penjaminan yang edukatif, konstruktif, integratif, kreatif yang positif dan usaha-usaha yang tersebut tidak mengabaikan aspek-aspek mental, fisik, sosial anak.1

Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dirumuskan bahwa anak adalah orang yang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin2. Dengan munculnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai pengganti dari UU No. 3 Tahun 1997, anak dalam undang-undang tersebut dikhususkan lagi menjadi anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12

1

Shanty Dellyana, Wanita dan Anak di Mata Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 50. 2

Republik Indonesia, Undang-undang Tentang Pengadilan Anak, Nomor 3 Tahun 1997, LN No. 3 Tahun 1997, TLN No. 3668, Pasal 1 Ayat (2). Yang kemudian Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 dalam skripsi ini akan disebut sebagai UU No. 3 Tahun 1997.

(3)

(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana3.

Dalam pemenuhan tujuan Anak sebagai pembaru bangsa, akan terdapat banyak sekali hambatan dari dalam ataupun dari luar anak tersebut. Latar belakang keluarga, tingkat ekonomi, kebutuhan anak tersebut akan mencirikan bagaimana anak tersebut tumbuh dan berkembang. Salah satu bentuk hambatannya ialah masalah anak yang berhadapan dengan hukum.

Beberapa hak anak dalam proses peradilan pidana perlu diberi perhatian khusus, demi peningkatan pengembangangan perlakuan adil dan kesejahteraan anak tersebut4. Karena dalam hal ini, seorang anak dianggap masih terus tumbuh dan berkembang dan diharapkan tidak mengulangi segala bentuk tindak pidana yang telah ia lakukan. Sehingga dibutuhkan suatu bentuk keadilan bagi anak untuk dapat memenuhi hal tersebut diatas.

Saat ini tengah berkembang suatu konsep baru yang dianggap memenuhi rasa keadilan secara menyeluruh. Konsep tersebut dikenal dengan pendekatan "Restorative Justice" atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai keadilan restoratif. Dalam pendekatan tersebut, dilihat dari sisi hukum pidana, keadilan restoratif tidak hanya membebankan pada saksi pidana yang diterima oleh pelaku, tetapi juga menitikberatkan pada posisi korban. Dimana saat terjadi suatu tindak pidana yang menerima dampak langsung sebenarnya bukanlah negara, melainkan korban dan/atau keluarga korban. Pendekatan keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem hukum pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan dari masyarakat dan korban yang merasa disisihkan dengan hukum pidana yang ada sekarang ini.

Sebelum adanya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012, sudah terdapat kesadaran diantara para penegak hukum untuk melaksanakan pendekatan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara yang berkaitan dengan anak yang berhadapan dengan hukum. Hal tersebut tercermin dari peraturan-peraturan yang tersebut diatas. Selain itu, Bapas Klas II Wonosari berdasarkan diskusi pada tanggal 13 Mei 2013, menyebutkan bahwa mereka telah melakukan kurang lebih 12 kali

3

Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Nomor 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332, Pasal. 1 Butir 3. Yang kemudian Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 dalam skripsi ini akan disebut sebagai UU No. 11 Tahun 2012.

4

(4)

diversi dalam penanganan kasus anak yang berkonflik dengan hukum.5 Ketentuan mengenai diversi ini sendiri telah diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012, yang baru akan berlaku di bulan Juli 2014.

Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif pada dasarnya terfokus pada upaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan pelaku dengan upaya perbaikan, termasuk di dalamnya perbaikan hubungan antara pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut. Sebelum pendekatan keadilan restoratif berkembang, para aparat hukum telah memiliki wewenang yang disebut dengan diskresi. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, diskresi adalah kewenangan dari aparat hukum dimana mereka berhak untuk meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara. Untuk menangani permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum, setiap aparat hukum harus memiliki kewenangan diskresi. Wewenang diskresi tersebut menjadi instrumen efektif untuk melakukan pengalihan (diversi) dalam perkara anak sehingga efek negatif dari sistem peradilan pidana terhadap anak dapat dihindari. Pengalihan (diversi) ini, yang setelah adanya perkembangan pendekatan keadilan restoratif, disebut sebagai salah satu implementasi dari pendekatan keadilan restoratif, yaitu menyelesaikan suatu perkara pidana diluar peradilan dengan cara mediasi dan rekonsiliasi. Akan tetapi, diversi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum belum pasti dikatakan sebagai penerapan pendekatan keadilan restoratif. Diversi dapat menjadi bentuk keadilan restoratif apabila:6

a. Mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;

b. Memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;

c. Memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;

d. Memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;

e. Memenuhi kebutuhan mereka yang dirugikan oleh tindak pidana;

5

http://Bapaswonosari.wordpress.com/2013/10/30/Bapas-wonosari-forum-diskusi-group-abh-di-kanwil-diy/ diunduh pada tanggal 26 Maret 2014.

6

(5)

f. Memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.

Jadi apabila diversi yang dilakukan oleh aparat hukum tersebut telah memenuhi unsur-unsur diatas, maka diversi tersebut akan menjadi bentuk dari pendekatan keadilan restoratif. Pendekatan keadilan restoratif pada dasarnya berlandaskan pada prinsip-prinsip due process of

law yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka, seperti hak untuk diperlakukan sebagai

orang yang tidak bersalah hingga vonis pengadilan menetapkan demikian, hak untuk membela diri, dan mendapatkan hukuman yang proposional dengan kejahatan yang dilakukannya.7

Untuk dapat diberlakukannya diskresi, diversi, dan keadilan restoratif, maka harus terlebih dulu diketahui mengenai siapa-siapa saja aktor yang berfungsi untuk melaksanakan ketiga hal tersebut. Terdapat empat komponen sub sistem dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Keempat sub sistem ini harus bekerja sama secara terpadu dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana yang terjadi. Pada sub sistem pemasyarakatan, terdapat Balai Pemasyarakatan8 (Bapas) sebagai salah satu unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang berperan dalam seluruh tahapan peradilan, dimulai dari tahap pra ajudikasi sampai pada tahap pasca ajudikasi. Dalam UU No. 11 Tahun 2012 Bapas diartikan sebagai unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan.9

Bapas merupakan suatu badan yang banyak memegang peranan dalam pelaksanaan UU No. 3 Tahun 1997, terlebih lagi peranan tersebut dikuatkan dengan adanya UU No. 11 Tahun 2012. Setiap kali terjadi tindak pidana oleh anak ataupun remaja, lembaga ini dituntut untuk bertindak. Bapas yang bertugas mendampingi anak yang berkonflik dengan hukum merupakan lembaga yang paling tahu mengenai diri si anak, mengingat laporan kemasyarakatan yang harus dibuat oleh Bapas. Dengan dasar itulah maka Bapas dapat menjadi pelaksana efektif sanksi alternatif bagi anak, apalagi telah menjadi salah satu tugas Bapas untuk mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum hingga terjun kembali kedalam masyarakat10.

7

Ibid.

8Yang  kemudian  dalam  penulisan  skripsi  ini  Balai  Pemasyarakatan  akan  disebut  sebagai  Bapas.      

9

Op.Cit., UU No. 11 Tahun 2012, Pasal. 1 Butir 24.

10

Niken Wahyuningrum, Peranan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Dalam Proses Peradilan Pidana Anak, skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm. 101.

(6)

Tinjauan Teoritis

Tinjauan Teoritis merupakan definisi yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti.11 Bagian ini diperuntukkan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman serta persepsi yang sama tentang teori dan konsep yang dipergunakan dalam skripsi ini. Penjelasan dan pengertian tentang teori dan konsep yaitu sebagai berikut:

1. Keadilan Restoratif sebagaimana yang dikemukakan oleh John Braithwaite,

"Restorative justice is a process where all the stakeholders affected by an injustice have an opportunity to discuss how they have been affected by the injustice and to decide what should be done to repair the harm"12

Terjemahan bebas dari penulis, keadilan restoratif adalah suatu proses dimana pihak-pihak yang terkait dalam suatu ketidakadilan untuk berdiskusi tentang bagaimana mereka mengalami ketidakadilan dan memutuskan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kerugiannya.

Dalam penulisan ini, penulis akan memakai definisi keadilan restoratif sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Butir 6 UU No. 11 Tahun 2012, yaitu keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.13

2. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.14

3. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan.15

4. Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.16

11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta: UI Press, 2010), hlm.132. 12

John Braithwaite, Restorative Justice & Responsive Regulation, (Oxford: Oxford University Press, 2002). 13

Op.Cit., UU No. 11 Tahun 2012, Pasal 1 Butir 6.

14.Ibid, Pasal 1 Butir 7.

15

(7)

Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan berbentuk penelitian hukum yuridis normatif yang bertujuan untuk meneliti kepastian hukum berdasarkan studi kepustakaan (dokumen atau penelitian kepustakaan) dan hukum positif yang ada. Tipologi penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian preskriptif17 yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau merumuskan masalah sesuai dengan keadaan atau fakta yang ada. Penelitian yang dilakukan peneliti mengenai analisis proses diversi yang dilakukan oleh Bapas ditinjau dari KUHP dan UU Peradilan anak memiliki sifat sebagai penelitian deskriptif-analitis yang menggambarkan atau mendeskripsikan masalah secara umum sesuai apa yang dapat ditangkap oleh panca indera dan kemudian dianalisis sesuai dengan konsep serta teori yang ada dalam ketentuan perundang-undangan.

Sumber data dalam penelitian diperoleh dari data hukum positif, yaitu:

1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu:

a. KUHP.

b. Undang-undang No. 11 Tahun 2012.

c. Undang-undang No. 3 Tahun 1997.

2. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberi pemahaman dan penjelasan dari bahan hukum primer, contohnya buku-buku, jurnal, makalah, hasil penelitian hukum, hasil karya ilmiah, konvensi-konvensi Internasional mengenai anak antara lain United

Nation Guidelines for the prevention of juvenile delinquency (dikenal sebagai The Riyadh guidelines), The United Nation Standard Minimum Rules for The Administration of Juvenile Justice (dikenal sebagai The Beijing Rules), The United Nation Rules for the protection of Juvenile Deprived of Liberty, jurnal-jurnal ilmiah internasional, dan

artikel-artikel yang diperoleh baik dari media cetak, seperti surat kabar dan majalah, ataupun dari internet.

3. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelas mengenai sumber hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam 16

Ibid., Pasal 1 Butir 24.

17

(8)

penelitian ini meliputi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus Hukum Black's

Law, dan Kamus Bahasa Inggris.

Terkait dengan penelitian ini, peneliti memanfaatkan alat pengumpul data yang berupa studi buku atau literatur dan undang-undang, terutama yang berhubungan dengan pendekatan keadilan restoratif, diversi, dan hal-hal yang berhubungan dengan anak serta wawancara sebagai pelengkap. Wawancara dilakukan kepada Kepala Seksi Bimbingan Klien Anak Bapas Klas 1 Jakarta Pusat yaitu Erry Summiatun S.H., M.H., Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Klas 1 Jakarta Selatan yaitu Ristanthia S.H.,dan Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Klas 1 Jakarta Timur Utara yaitu DesiSetyana S. Psi. Studi kepustakaan dilakukan dengan penelusuran literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian. Kemudian telah dilakukan wawancara dengan DR. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H., pakar hukum pidana dalam hal pendekatan keadilan restoratif berdasarkan disertasi yang dibuat oleh beliau dengan judul "Keadilan Restoratif di Indonesia :

Studi Tentang Kemungkinan Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana". Narasumber diharapkan dapat menjadi masukan terhadap permasalahan yang terdapat

dalam penulisan ini serta melakukan klarifikasi atas data yang penulis peroleh dari hasil penelitian.

Wawancara dilakukan untuk melakukan klarifikasi atas kajian literatur dan menjadi pelengkap dalam penelitian ini. Kendala yang dihadapi saat melakukan penelitian lapangan adalah kerapkali tidak dipertemukannya penulis dengan Kepala Bapas baik di Bapas Klas 1 Jakarta Selatan maupun di Jakarta Timur Utara. Penulis telah jelas dalam surat pengantar menujukan wawancara kepada Kepala masing-masing Bapas. Bapas hanya di pertemukan dengan Kepala Bapas di Bapas Klas 1 Jakarta Pusat, walaupun kemudian penulis ditujukan oleh beliau untuk menghaadap Kepala Seksi Bimbingan Klien Anak Bapas Klas 1 Jakarta Pusat. Selain itu kesulitan yang dialami penulis adalah sistim birokrasi yang menyulitkan, kadang penulis harus terus datang untuk meminta wawancara, karena kunjung ada kabar dari pihak Bapas sendiri.

Peneliti menggunakan metode analisis data yang dilakukan secara kualitatif. Metode yang digunakan ini merupakan suatu usaha untuk memahami makna di balik tindakan atau kenyataan juga temuan-temuan yang ada. Data yang diperoleh dari penelitian ini, baik data primer hasil wawancara maupun data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier akan dideskripsikan untuk kemudian dianalisis sehingga laporan penelitian yang

(9)

dihasilkan dari penelitian ini sesuai dengan tipologi penelitiannya, yakni laporan dengan bentuk deskriptif-analitis

Hasil Penelitian

Pelaku pidana anak bukan hanya pelaku, namun merupakan korban, yaitu korban dari perlakuan salah orangtuanya, korban dari pendidikan guru-gurunya, korban dari teknologi yang cepat tanpa adanya kontrol dan pengawasan dari orang tua, dan juga korban dari kesulitan ekonomi yang dihadapi sehingga menimbulkan adanya kecemburuan sosial, juga korban labeling yang diberikan lingkungan anak tersebut. Selain yang telah disebutkan diatas, faktor lain yang mempengaruhi anak adalah dampak negatif dari pembangunan yang cepat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian besar di perkotaan yang membawa perubahan sosial yang mendasar dan sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku si anak.

Di samping itu, terdapat pula anak-anak yang karena satu dan lain hal tidak merasa memiliki kesempatan untuk memperoleh perhatian baik secara fisik, emosional, maupun sosial. Keadaan diri yang tidak memadai tersebut, baik langsung maupun tidak langsung, sering menjadi faktor penyebab anak melakukan tindakan yang dapat merugikan dirinya sendiri beserta masyarakat. Karena pada umumya, kejiwaan anak masih labil sehingga belum mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang boleh dan dilarang oleh undang-undang. Oleh sebab itu delikuensi merupakan produk konstitusi mental serta emosi yang sangat labil dan destruktif sebagai akibat dari proses pengkondisian oleh anak muda tanggung usia, puber, dan adolescence. Akan tetapi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, walaupun seorang anak melakukan salah satu wujud delikuensi diatas, ia tetap dianggap belum mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya karena dapat dipastikan bahwa anak tersebut mendapat semacam faktor pendorong dari luar maupun dari dalam anak sehingga ia dapat melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Diluar itu semua, seorang delikuen tetaplah seorang anak, yang dalam hal ini juga membutuhkan adanya suatu perlindungan hukum. Perlindungan hukum tersebut diberikan kepada anak yang sedang berhadapan dengan hukum menyangkut semua aturan hukum yang berlaku. Perlindungan ini dirasa perlu karena anak merupakan bagian

(10)

masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan mentalnya. Oleh karena itu seorang anak membutuhkan perlindungan dan perawatan khusus.

Di Indonesia, berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Pasal 1 Butir 3 menurut Undang-Undang ini, anak diklasifikasikan secara khusus sebagai anak yang berhadapan dengan hukum yang selanjutnya disebut sebagai anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun ,yang diduga melakukan tindak pidana.18.

dilakukan.19

Pengertian anak dalam kaitan dengan perilaku anak nakal (juvenile delinquency), biasanya dilakukan dengan mendasarkan pada tingkatan usia, dalam arti tingkat usia berapakah seseorang diartikan sebagai anak. Selain itu ada pula yang melakukan pendekatan psikososial dalam usahanya merumuskan tentang anak. Pada hakikatnya, batasan anak dalam kaitan hukum pidana yang dalam hal ini berarti melingkupi pengertian anak nakal, menurut Maulana Hasan Wadog meliputi dimensi pengertian sebagai berikut:20

1. Ketidakmampuan untuk mempertanggungjawabkan tindak pidana;

2. Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara, dengan maksud untuk mensejahterakan anak;

3. Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapatkan perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri.

4. Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan;

5. Hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana

Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak, sebagaimana yang telah dijelaskan secara

18

Op.cit., UU No. 11 Tahun 2012. Pasal 1 angka 3.

19

Johanes Gea, Diversi Sebagai Alternatif Penyelesaian Terbaik Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum Analisis Terhadap: Kasus 10 Anak Bandara dan Kasus Deli, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011, hlm. 37.

20

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, cet. 1, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011, hlm. 8.

(11)

umum diatas, seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan.

Filosofi sistem peradilan pidana anak, yaitu mengutamakan perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak sebagai orang yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingan dengan orang dewasa. Anak memerlukan perlindungan dari negara dan masyarakat dalam jangka waktu yang panjang sampai anak tersebut menjadi anak yang beguna bagi nusa dan bangsa.21Terhadap anak yang terlanjur menjadi pelaku tindak pidana diperlukan strategi sistem peradilan pidana, yaitu mengupayakan seminimal mungkin terjadi intervensi sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi oleh keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak dalam keterlibatannya dengan sistem peradian pidana.

Pada dasarnya diversi dapat diimplementasikan dalam beberapa bentuk. Secara garis besar, terdapat tiga bentuk diversi, yaitu yang pertama adalah diversi dalam bentuk peringatan, diversi ini akan diberikan kepada polisi untuk pelanggaran ringan. Sebagai bagian dari peringatan, si pelaku akan meminta maaf pada korban. Peringatan seperti ini telah sering dilakukan. Yang kedua ialah diversi informal, yang diterapkan terhadap pelanggaran ringan di mana dirasakan kurang pantas jika hanya sekedar memberikan peringatan kepada pelaku dan kepada pelaku diperlukan rencana intervensi yang lebih komprehensif. Pihak korban harus diajak untuk memastikan pandangannya tentang diversi informal dan apa yang mereka inginkan di dalam rencana tersebut. Diversi informal harus berdampak positif kepada korban, keluarga, dan anak. Selain itu, harus dipastikan bahwa pelaku anak cocok diberikan diversi informal. Rencana diversi informal ini adalah agar anak akan bertanggung jawab, mengakui kebutuhan – kebutuhan korban dan anak, serta jika mungkin orang tua dimintai pertanggungjawaban atas kejadian tersebut.

21

Marlina, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

(12)

Yang terakhir adalah diversi formal, diversi yang dilakukan jika diversi informal tidak dapat dilakukan tetapi tidak memerlukan intervensi pengadilan. Beberapa korban merasa perlu mengatakan pada pelaku betapa marah dan terlukanya mereka atau mereka ingin mendengarkannya langsung dari anak. Karena permasalahan muncul dari dalam keluarga anak, maka ada baiknya ada anggota keluarga lainnya yang hadir untuk mendiskusikan dan menyusun rencana diversi yang baik untuk semua pihak yang terkena dampak dari perbuatan itu. Proses diversi fomal di mana pelaku dan korban bertatap muka dan hal inilah yang dikenal sebagai pendekatan keadilan restoratif.

Dalam UU No. 11 Tahun 2012, pada Pasal 8 Ayat (1) UU tersebut menjelaskan bahwa Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Jadi Diversi yang dimaksudkan oleh UU No. 11 Tahun 2012 adalah diversi yang didasarkan pada pendekatan keadilan restoratif. Pendekatan restoratif, dianggap sebagai salah pendekatan yang yang memenuhi rasa keadilan secara menyeluruh. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan keadilan restoratif, makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya, yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan. Akan tetapi dalam pendekatan keadilan restoratif, yang menerima dampak langsung beserta kerugian adalah korban atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya, kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana. Sementara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha perbaikan, rekonsiliasi, dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut.

Berdasarkan uraianmengenai diversi, diskresi, dan pendekatan keadilan restoratif maka dapat dihubungkan mengenai keterkaitan antara ketiga hal tersebut. Pada dasarnya para penegak hukum memiliki kewenangan, dalam hal ini misalnya penyidik Polri dalam menghadapi suatu kasus dapat menghentikan atau memberhentikan jalannya suatu perkara. Kewenangan tersebut

(13)

disebut dengan diskresi. Kemudian seiiring dengan perkembangan jaman, munculnya suatu teori baru yang disebut dengan diversi.

Diversi dalam hal ini merupakan suatu hasil dari diskresi yang dilakukan oleh penegak hukum. Diversi dalam tindak pidana anak diartikan pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan ke proses di luar sistem peradilan pidana tersebut dikarenakan beberapa faktor yang mendukung tumbuh kembang anak.

Setelah itu, munculnya suatu pendekatan baru yang dianggap memenuhi rasa keadilan seutuhnya, dimana dalam hal ini, pelaku, korban, dan masyarakat diikutsertakan secara langsung dalam penyelesaian suatu tindak pidana. Pendekatan ini didebut sebagai Restorative Justice atau yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai pendekatan Keadilan Restoratif. Dalam kaitannya dengan tindak pidana anak, dalam UU No. 11 Tahun 2012, pertama kali dalam sistem perundang-undangan di Indonesia diperkenalkan mengenai pendekatan Keadilan Restoratif, yang di jelaskan dalam Pasal 1 Butir 6 UU No. 11 Tahun 2012 yang berbunyi:

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

Dalam hubungannya dengan diversi dan diskresi, suatu diversi baru akan disebut sebagai pemenuhan dari pendekatan keadilan restoratif apabila telah memenuhi syarat-syarat berikut ini:22

a. Mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;

b. Memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi korban;

c. Memberikan kesempatan bagi korban untuk ikut serta dalam proses;

d. Memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;

e. Memenuhi kebutuhan mereka yang dirugikan oleh tindak pidana;

(14)

f. Memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.

Jadi apabila diversi yang dilakukan oleh aparat hukum tersebut telah memenuhi unsur-unsur diatas, maka diversi tersebut akan menjadi bentuk dari pendekatan keadilan restoratif. Pendekatan keadilan restoratif pada dasarnya berlandaskan pada prinsip-prinsip due process of

law yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka anak, seperti hak untuk diperlakukan

sebagai orang yang tidak bersalah hingga vonis pengadilan menetapkan demikian, hak untuk membela diri, dan mendapatkan hukuman yang proposional dengan kejahatan yang dilakukannya.23

Penegak hukum memegang peranan besar dalam proses diversi. Mereka adalah pihak yang dapat menentukan terlaksana atau tidaknya pelaksanaan diversi, dan bertindak sebagai penengah antara pelaku dan korban. UU No. 11 Tahun 2012, menjelaskan mengenai para penegak hukum yang berwenang dalam pelaksanaan diversi. Penulis melakukan kajian lebih mendalam mengenai salah satu badan penegakan hukum yakni Bapas, sebagai salah satu badan yang terlibat dalam penyelesaian pekara anak yang berhadapan dengan hukum, yang juga terlibat secara langsung dalam proses diversi sebagai pemenuhan kewajiban yang diberikan oleh UU No. 11 Tahun 2012.

UU No. 3 Tahun 1997 tidak secara jelas menjelaskan fungsi dan peran Bapas, sedangkan dalam UU No. 11 Tahun 2012 Bapas diatur di dalam lebih banyak pasal. Bapas berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012 diwajibkan untuk menyelenggarakan dan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pembimbingan, pengawasan dan pendampingan, serta pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Begitu pula dengan Pembimbing Kemasyarakatan yang juga lebih secara terperinci dijelaskan tugas dan peranannya dalam UU No. 11 Tahun 2012.

Yang menjadi perbedaan paling signifikan dalam hal ini ialah pengaturan mengenai diversi yang melibatkan Bapas sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2012. Diversi adalah hal yang baru dalam sistem peradilan pidana anak. Diversi tidak dikenal dalam UU No. 3 Tahun 1997. Akan tetapi, sebelum adanya UU No. 11 Tahun 2012 tersebut sudah dilakukannya suatu bentuk

23

(15)

penyelesaian perkara tindak pidana anak diluar pengadilan. Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan Kepala Seksi Bimbingan Klien Anak, Bapas Klas 1 Jakarta Pusat telah melakukan beberapa kali tindakan yang kemudian disebut sebagai diversi, sebagai contoh yang terakhir ialah kasus seorang anak berumur 12 tahun yang mencuri nasi bungkus, yang kemudian ia tidak masuk kedalam sistem peradilan pidana anak dan orang tua dari anak tersebut mengganti kerugian atas perbuatan yang anak tersebut lakukan. Jadi diversi bukan sesuatu yang benar-benar baru dan awam dalam sistem peradilan di Indonesia.

Bapas mendapatkan tugas dan kewenangan baru sesuai dengan UU No. 11 Tahun 2012, dimana dalam hal ini Bapas adalah salah satu badan yang terlibat dalam proses diversi. Keterkaitan Bapas dalam hal ini juga termasuk pembimbing kemasyarakatan dapat ditemukan yang pertama dalam proses diversi, dimana dalam hal ini dilakukan secara musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan.24 Kemudian berdasarkan rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan, kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dalam bentuk:25

a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban;

b. rehabilitasi medis dan psikososial;

c. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;

d. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

e. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

Setelah adanya kesepakatan diversi dan telah terbentuk penetapan oleh ketua pengadilan negeri, maka penetapan tersebut disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik,

24

Op.Cit., UU No. 11 Tahun 2012, Pasal 8 Ayat (1).

25

(16)

Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan26. Dan yang terakhir ialah Pembimbing Kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan selama proses Diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan diversi dilaksanakan27 dan apabila kesepakatan diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, Pembimbing Kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab28.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, dapat penulis rangkum bahwa Bapas memiliki peranan penting dalam pelaksanaan Diversi. Bapas merupakan badan yang bertanggung jawab dalam proses diversi sesuai dengan Pasal 8 UU 11 Tahun 2012 dan membuat rekomendasi melalui Pembimbing Kemasyarakatan dalam bentuk Litmas diversi, yang contohnya dapat dilihat dalam lampiran. Litmas Diversi tersebut kemudian menjadi dasar untuk penyidik, jaksa, ataupun hakim dalam memutuskan suatu perkara anak dapat didiversikan atau tidak.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa simpulan atas masalah yang dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bapas berdasarkan UU No. 11 Tahun 2012, memiliki fungsi diversi akan tetapi tidak secara penuh. Bapas menurut undang-undang tersebut hanya berdiri sebagai mediator dan tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah suatu kasus anak yang sedang berhadapan dengan hukum diselesaikan dengan diversi atau tidak. Memang disadari bahwa tugas tersebut merupakan kewenangan pihak aparat penegak hukum, namun sewajarnya jika Bapas diberikan peranan untuk turut menyampaikan pertimbangannya. Adapun peran Bapas, dalam hal ini yang juga dilakukan oleh Pembimbing Klien Anak, sangatlah penting, yaitu dalam hal membuat rekomendasi yang dituliskan dalam Litmas yang disebut sebagai Litmas diversi. Litmas diversi tersebut kemudian menjadi dasar bagi penyidik, penuntut umum, ataupun hakim dalam memutuskan kasus anak yang berhadapan dengan hukum tersebut akan mem diversi atau tidak. Yang amat disayangkan ketika Bapas tidak turut memiliki kewenangan memutus diversi. Apabila Litmas diversi yang telah dibuat, dan telah disetujui oleh kedua belah pihak (pelaku dan/atau keluarga 26

Ibid., Pasal 12 Ayat (4).

27

Ibid., Pasal 14 Ayat (2).

28

(17)

pelaku serta korban dan/atau keluarga korban) tidak disetujui oleh salah satu dari 3 petugas penegak hukum tersebut (penyidik, penuntut umum atau hakim) maka proses melalui sistem peradilan pidana akan terus berjalan.

2. Mengenai diversi yang dilakukan oleh Bapas, tidak secara menyeluruh didasarkan oleh pendekatan keadilan restoratif. Dalam UU No. 11 Tahun 2012, hanya menyebutkan bahwa proses diversi harus berdasarkan keadilan restoratif. Namun kemudian di dalam penjelasan pasal tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut, dan hanya tertulis cukup jelas. Yang kemudian membuat penulis menginterpretasikan sendiri berdasarkan pasal-pasal yang ada dalam undang-undang tersebut. Bapas dalam hal ini melakukan pendekatan keadilan restoratif, ketika mencoba menengahi musyawarah yang dilakukan antara pelaku dan/atau keluarga pelaku serta korban dan/atau keluarga korban. Akan tetapi hal tersebut hanyalah salah satu dari syarat-syarat suatu diversi dikatakan sebagai pendekatan keadilan restoratif. Faktor inilah yang menurut penulis tidak secara menyeluruh merupakan pelaksanaan dari pendekatan keadilan restoratif dalam diversi yang dilakukan oleh Bapas. Terlebih hingga saat ini belum terbitnya peraturan pelaksana dalam bentuk Peraturan Pemerinta (PP) dari UU No. 11 Tahun 2012, khususnya mengenai peraturan pelaksanaan diversi.

3. Perbandingan peranan Bapas dalam UU No. 3 Tahun 1997 dengan UU No. 11 Tahun 2012, terlihat jelas pada bagian diversi,dimana dalam UU No. 3 Tahun 1997, belum dikenalnya istilah diversi. Penerapan diversi bagi kasus yang berlandaskan pada UU No. 3/1997 Tentang Pengadilan Anak berdasarkan pada TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan TR/395/VI/2008 9 Juni 2008, Tentang Pelaksaan Diversi Dan

Restorative Justice Dalam Penanganan Kasus Anak Pelaku dan Pemenuhan Kepentingan

Terbaik Anak Dalam Kasus Anak, Baik Sebagai Pelaku, Korban atau Saksi. dan dikuatkan dengan adanya Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Menteri Hukum Dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009, NO.148 A/A/JA/12/2009, NO. B/45/XII/2009, NO.M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009, NO. 10/PRS-2/KPTS/2009, NO. 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.

(18)

Sejak berlakunya UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka peranan Bapas menjadi lebih jelas dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya. Mengenai peran dan fungsi pembimbing kemasyarakatan yang bertugas sebagai perpanjangan tangan Bapas, juga mengalami perubahan, diamana dari 2 poin dalam UU No. 3 Tahun 1997, menjadi 5 poin dalam UU No. 11 Tahun 2012. Kewenangan Bapas dalam hal ini memang bertambah yang tentu saja menambah tugas dan tanggung jawab Bapas.

Saran

1. Penguatan kewenangan dan peranan Bapas dalam penentuan diversi bagi kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak dalam UU No. 11 Tahun 2012, atau di dalam peraturan pelaksanaan UU No. 11 Tahun 2012. Pemberian kewenangan penting untuk dilakukan sehingga Bapas dalam hal ini dapat memutuskan dan menerapkan diversi dengan optimal. Dalam hal ini Bapas tetap melakukan koordinasi dengan pihak penyidik, penuntut umum dan hakim, mengenai keputusan diversi, yang dalam hal ini dapat berbentuk surat pemberitahuan yang menegaskan bahwa Bapas telah melakukan diversi yang kemudian anak tersebut tidak lagi diproses dalam sistem peradilan pidana.

2. Mendorong Pemerintah untuk segera mengeluarkan peraturan pelaksana dari UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, khususnya mengenai diversi yang didasarkan oleh pendekatan keadilan restoratif, agar proses diversi dapat dijalankan secara maksimal, dan tidak menimbulkan kesalahpahaman/kebimbangan/keraguan bagi para pelaksana, sehingga tidak hanya menjadi proses prosedural yang tidak memberikan dampak apapun terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Karena lembaga diversi ini dibentuk demi kepentingan terbaik bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Kemudian harus ada pula mengenai pendekatan keadilan restoratif yang ingin diimplementasikan oleh indonesia, jangan hanya menuliskan pengertian keadilan restoratif di dalam undang-undang, akan tetapi tidak menjelaskan secara terperinci keadilan restoratif yang bagaimana yang ingin diterapkan dalam diversi menurut UU No. 11 Tahun 2012.

(19)

3. Selain itu perlu dilakukan penguatan kerja sama dan koordinasi antara para pihak yang terkait. Dalam melaksanakan diversi tersebut dibutuhkan kerjasama semua pihak yang terkait yang dikenal dengan 7 pilar dalam sistem peradilan pidana, yaitu; Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan, Bapas (termasuk Pembimbing Kemasyarakatan), Pengacara/advokat dan Masyarakat. Dengan kerjasama ke tujuh pilar tersebut maka tidak akan terjadi kesalahpahaman dalam pelaksanaan diversi dan pendekatan keadilan restoratif

Daftar Referensi

Buku:

Dellyana, Shanty. Wanita dan Anak di Mata Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1988.

Nashriana. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet.3. Jakarta: UI Press, 2010.

Jurnal:

Zulfa, Eva Achjani, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Badan penerbit FHUI, 2009.

Jurnal Internasional:

Braithwaite, John. Restorative Justice & Responsive Regulation, (Oxford: Oxford University Press, 2002.

Internet:

http://Bapaswonosari.wordpress.com/2013/10/30/Bapas-wonosari-forum-diskusi-group-abh-di-kanwil-diy/

Skripsi/Tesis/Disertasi:

Gea, Johannes. Diversi Sebagai Alternatif Penyelesaian Terbaik Kasus Anak Berhadapan

Dengan Hukum Analisis Terhadap: Kasus 10 Anak Bandara Dan Kasus Deli. Skripsi.

(20)

Marlina, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana

Anak di Indonesia (Suatu Studi di Kota Medan). Disertasi Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara.

Wahyuningrum, Niken. Peranan Balai Pemasyarakatan (Bapas) Dalam Proses Peradilan

Pidana Anak, Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Indonesia: 2003.

Undang-undang:

Undang-undang Tentang Pengadilan Anak, Nomor 3 Tahun 1997.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya pendaftaran online, pendaftar tidak perlu datang ke tempat bimbingan belajar dan proses pendaftaran serta pembayaran akan menjadi lebih cepat,

Gejala yang ditimbulkan oleh zat kimia sianida ini bermacam-macam; mulai dari rasa nyeri pada kepala, mual muntah, sesak nafas, dada berdebar, selalu berkeringat sampai korban

Bunyi sila ke empat “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksaan Dalam Permusyawatan/Perwakilan. Contoh sikap yang sesuai dengan sila keempat, antara lain

Hendro Prasetyo di

Hasil dari pemodelan ini disimpulkan bahwa pengaruh pasang surut akan semakin membesar pada bagian muara sungai ketika reklamasi terlaksana dan pintu dalam kondisi terbuka,

Karya Cipta Teknologi (KCT). Hasil karya cipta teknologi yang telah dikirimkan ke panitia lomba kreativitas, diadakan penilaian dengan berpedoman pada

Dari dasar tersebut peneliti ingin membangun sistem yang dapat mengklasifikasikan perilaku kreatif seorang siswa dalam pengelolaan sampah menggunakan metode k-Nearest

Dari bulbil, biasanya akan diperoleh umbi bahan tanaman dengan komposisi 1-3 yaitu 1 bulbill relatif besar dan 3 bulbil kecil, karena perbedaan ukuran umbi