• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arab Saudi dan Iran: Kontestasi Ideologi dan Dampaknya di Kawasan Timur Tengah Pasca The Arab Spring

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Arab Saudi dan Iran: Kontestasi Ideologi dan Dampaknya di Kawasan Timur Tengah Pasca The Arab Spring"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

129 Vol. 4 No. 1 Tahun 2021

Politea : Jurnal Pemikiran Politik Islam ISSN : 2621-0312

e-ISSN : 2657-1560

Vol. 4 No. 1 Tahun 2021 Doi : 10.21043/politea.v4i1.10453

http://journal.iainkudus.ac.id/index.php/politea

Arab Saudi dan Iran: Kontestasi Ideologi dan Dampaknya di

Kawasan Timur Tengah Pasca The Arab Spring

Ihsan Hamid, Ozi Setiadi

UIN Mataram. IAIN Kudus

ihsanhamid@gmail.com, ozisetiadi@iainkudus.ac.id Abstract

Saudi Arabia and Iran: Ideological Contest and Its Impact in the Middle East Region after The Arab Spring. Tensions surround the Middle East region, especially between Saudi Arabia and Iran. The Sunni-Shia ideological factor contributed to the conflict in the region and also attracted these two countries. This research will answer the question how is the form of contestation of Sunni-Shia ideology represented by Saudi Arabia with Iran in the Middle East? What are the factors and impacts of the conflict between Saudi Arabia and Iran on countries in the region after the Arab Spring? The historical approach (historical analysis) was chosen to explain the two research questions above, using qualitative methods. Saudi Arabia and Iran represent both a Sunni-Shia ideological contestation, both of which try to support each other's ruling government, as well as conflicting oppositions based on ideological backgrounds. This support is carried out in the form of military assistance, weapons, or direct involvement which is marked by various statements that appear in the media. The disharmony of Saudi Arabia and Iran is driven by several factors, namely first, the Sunni-Shia ideological struggle between the two. Second, the claim to be the holder of the Islamic religion in each version. And third, oil. While the impact of this is political instability in the Middle East region after the Arab Spring, to the "cold war" involving Saudi Arabia and Iran. Keywords: Conflict, Arab Saudi-Iran, Sunni-Syiah, and The Arab Spring

Abstrak

Arab Saudi dan Iran: Kontestasi Ideologi dan Dampaknya di Kawasan Timur Tengah Pasca The Arab Spring. Ketegangan menyelimuti kawasan Timur Tengah, khususnya antara Arab Saudi dan Iran. Faktor ideologis Sunni-Syiah turut berkontribusi konflik yang terjadi di kawasan dan turut menarik kedua negara ini. Penelitian ini akan menjawab pertanyaan bagaimana bentuk kontestasi ideologi Sunni-Syiah yang direpresentasikan oleh Arab Saudi dengan Iran di Timur Tengah? Bagaimana faktor dan dampak konflik Arab Saudi dan Iran terhadap negara-negara di kawasan pasca the arab spring? Pendekatan sejarah (analisis historis) dipilih untuk menjelaskan dua pertanyaan penelitian di atas, dengan menggunakan metode kualitatif. Arab Saudi dan Iran merepresentasikan kontestasi ideologi Sunni-Syiah, yang mana keduanya mencoba untuk saling mendukung pemerintah yang berkuasa, maupun oposisi yang sedang berkonflik berdasarkan pada latar belakang ideologi. Dukungan tersebut dilakukan dalam bentuk bantuan militer, senjata, maupun keterlibatan secara langsung yang ditandai dengan berbagai macam statemen yang muncul di media. Ketidakharmonisan Arab Saudi dan Iran didorong oleh beberapa faktor, yaitu pertama, pertarungan ideologis Sunni-Syiah antar keduanya. Kedua, klaim sebagai pemangku agama Islam dalam versi masing-masing. Dan ketiga, minyak. Sedangkan dampak dari hal ini adalah instabilitas politik di kawasan Timur Tengah pasca the arab spring, hingga "perang dingin" yang melibatkan Arab Saudi dan Iran.

Kata Kunci: Konflik, Arab Saudi-Iran, Sunni-Syiah, dan The Arab Spring

Pendahuluan

Konflik yang terjadi antara Sunni-Syiah bukanlah hal yang baru. Benih-benih konflik antar keduanya s u d a h mulai tumbuh pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. Konflik ini dimulai dari suksesi kepemimpinan pasca meninggalnya nabi, dimana Abu Bakar as-Shiddiq diangkat menjadi

(2)

pengganti nabi sebagai kepala negara. Dampaknya, lahir dua faksi yang bertentangan, yakni faksi pengikut setia Ali Bin Abi Thalib dan faksi yang melegitimasi kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq. Pengikut Ali belakangan dikenal sebagai kelompok Syiah, dan pengikut Abu Bakar dikenal dengan kelompok Sunni. Konflik inilah y a n g k e m u d i a n mewarnai perkembangan politik Timur Tengah hingga dewasa ini, terutama setelah kebangkitan Syiah yang dimulai dari Imam Khomeini dengan Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 (Sahide, 2013, p. 111). Sejak saat itu, ketegangan dua kelompok ini semakin mengemuka.

Konflik Sunni-Syiah terus meruncing terutama karena imbas dinamika The Arab Spring di Timur Tengah. The Arab Spring telah menjadi bahasa politik baru terkait dinamika politik di kawasan, terutama bagi negara-negara Arab. Sejak awal Januari 2011 lalu, muncul harapan akan lahirnya sistem politik yang lebih baik dan demokratis dengan runtuhnya rezim otoriter. Di mulai dari Tunisia, Zein Al-Abidin Ben Ali (Ben Ali), kemudian merambat ke Mesir dengan tergulingnya Hosni Mubarak, lalu menyeberang ke Libya, yang berhasil mengakhiri era kediktatoran Moammar Khadafy yang sudah berlangsung kurang lebih 40 tahun lamanya. Konflik antara Syiah dan Sunni pun semakin memanas seiring dengan musim harapan tersebut. The Arab Spring menjadi momentum bagi kedua aliran Islam ini untuk memperkuat pengaruhnya dalam politik di kawasan dengan upaya menyingkirkan satu sama lain. Hal ini terjadi di Bahrain, Mesir, dan Suriah yang masih bergejolak hingga hari ini.

Pengikut ideologi Sunni-Syiah tersebar tidak hanya di kawasan Timur Tengah saja, melainkan juga di berbagai negara di belahan dunia. Saudi Arabia yang merupakan negara dengan corak wahabi-Sunni dan Iran dengan corak Syiah adalah dua negara yang memiliki pengaruh besar di kawasan Timur Tengah. Dua negara ini mengusung ideologi yang berbeda, sehingga sering terjadi ketegangan, bahkan saling dukung dengan kutub yang berlawanan pada negara yang sedang terjadi perang. Sebagai representasi Syiah, Iran sangat berkepentingan menyebarkan pengaruhnya di kawasan, begitu pula dengan Arab Saudi. Oleh sebab itu, dukungan pada negara yang bertikai telah mengakibatkan negara yang sedang berkonflik semakin terpuruk. Sementara Arab Saudi dan Iran tetap menginginkan untuk menanamkan pengaruh dan ideologinya. Ideologi ini menjadi sebuah jalan penting bagi kedua negara untuk mengokohkan pengaruh mereka yang dapat ditempuh melalui pendekatan budaya, pendidikan, ekonomi, politik, bahkan perang sekalipun.

Tulisan ini akan mengulas tentang kontestasi idologi yang dilakukan oleh Arab Saudi yang notabene adalah Wahabi-Sunni dan Iran yang Syiah. Di dalamnya juga akan membahas tentang konflik antara Sunni dengan Syiah yang diwakili oleh dua negara tersebut. Kajian ini menjadi penting untuk dibahas karena dua negara tersebut memiliki pengaruh yang besar di kawasan, selain kemampuan ekonomi, militer, dan lainnya yang mendukung. Latar belakang historis yang dijelaskan di atas pun juga menjadi persoalan yang tidak mudah diselesaikan, sebab satu dengan yang lain saling mengklaim kebenaran. Oleh sebab itu, penelitian ini akan menjawab pertanyaan bagaimana bentuk kontestasi ideologi Sunni-Syiah yang direpresentasikan oleh Arab Suadi dengan Iran di Timur Tengah? Bagaimana pula faktor dan dampak konflik Arab Saudi dan Iran terhadap negara-negara di kawasan.

Pendekatan sejarah (analisis historis) dipilih untuk menjelaskan dua pertanyaan penelitian di atas, dengan menggunakan metode kualitatif. Pembatasan waktu dilakukan pada kurun waktu tertentu, yakni pada tahun 2011 pasca the arab spring. Tahun ini dipilih guna memberikan gambaran kontemporer mengenai kondisi ketegangan di negara-negara Arab, utamanya Arab Saudi dan Iran, yang memiliki pengaruh yang kuat di kawasan Timur Tengah. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik literatur.

(3)

131 Vol. 4 No. 1 Tahun 2021

Pembahasan

Konflik merupakan sesuatu yang acapkali terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tidak dalam sekala besar, pasti ada dalam sekala kecil. Sebab konflik memiliki akar, salah satu diantaranya adalah perbedaan kepentingan dalam masyarakat. Jonathan H. Turner menjelaskan bahwa munculnya berbagai target berasal dari lahirnya sejumlah kelompok pada sistem sosial yang ingin menunjukkan eksistensinya masing-masing (Mas‟udi, 2015, p. 181). Ini berarti bahwa setiap individu bahkan kelompok masyarakat memiliki tujuan-tujuan tersendiri, sehingga memungkinkan terjadi gesekan antar masyarakat dalam sebuah sistem sosial.

Ralf Dahrendorf menyebut bahwa pertentangan menjadi sebuah pertanda dalam setiap asosiasi. Dalam pertentangan tersebut, terdapat ketegangan satu sama lain yang mana hal ini ikut dalam struktur kekuasaan. Sementara mereka yang tergabung dalam asosiasi tersebut tunduk pada struktur ini. Lebih lanjut, menurutnya, terdapat dua kelompok di dalamnya, yakni kelompok semu dan kelompok kepentingan. Mungkin saja kepentingan yang dimaksud adalah bersifat manifest atau laten, yakni sebuah kepentingan yang telah ditentukan, namun masih belum disadari (Rahmaniah, 2018, p. 10). Kepentingan-kepentingan ini niscaya ada dan dapat berujung pada konflik. Sebab masyarakat berisi ganda, yaitu memiliki sisi konflik dan sisi kerjasama (Tumengkol, 2012, p. 5).

Lewis A. Coser menyebut bahwa identitas anggota-anggota kelompok dapat diperkuat dengan konflik yang terjadi dengan out-groups (luar kelompok-kelompok). Dicontohkan seperti peperangan yang terjadi di Timur Tengah selama bertahun-tahun dapat memperkuat identifikasi in-group (dalam kelompok) negara Arab-Israel (Tumengkol, 2012, p. 10). Artinya, ini dapat membuat soliditas negara-negara Arab semakin menguat, begitu pula dengan Israel dan rakyat serta sekutunya. Selain dapat menguatkan in-group dan out-groups, konflik menurut Paul Conn dapat dibagi menjadi dua, yakni zero sum game dan non zero sum game (Surbakti, 2010, p. 169). Zero

sum game (konflik menang-kalah), merupakan konflik yang bersifat antagonistik, sehingga tidak

memungkinkan adanya kompromi maupun kerjasama antar pihak yang terlibat dalam konflik. Sedangkan non zero sum game (konflik menang-menang), merupakan situasi konflik dimana pihak-pihak yang terlibat dalam konflik masih memungkinkan untuk melakukan kompromi dan kerjasama.

Contoh zero sum game adalah konflik yang terjadi di Yaman dan Suriah. Pihak pemerintah maupun pemberontak tidak menemukan kesepakatan dalam penyelesaian konflik. Keduanya berkeinginan untuk memperoleh tuntutan mereka. Kelompok pemerintah ingin mempertahankan kekuasaan, sedangkan oposisi berkeinginan untuk menggulingkan kekuasaan dan terbentuknya negara yang demokratis. Sedangkan non zero sum game dapat dilihat dari konflik yang terjadi antar negara yang berujung pada meja perundingan dan menemukan titik kesepahaman untuk mencapai keputusan bersama.

Konflik yang terjadi, seperti contoh di atas, tidak hanya melibatkan dua negara, tetapi bisa saja melibatkan beberapa negara sekaligus. Ini didasari oleh adanya kesamaan, seperti ideologi, sentimen sektarian, dan kesamaan yang lainnya, sehingga negara-negara yang memiliki kesamaan akan berhimpun dan kemudian berbenturan dengan negara yang berbeda. Konflik ideologis antara Sunni dengan Syiah yang melibatkan dua negara yang memiliki pengaruh besar di kawasan Timur Tengah, yakni Arab Saudi dan Iran misalnya, telah menyeret negara, rakyat, dan organisasi transnasional. Hal ini tidak bisa diselesaikan dengan mudah, mengingat fakta historis yang tidak mudah pula untuk dilupakan. Karakteristik masyarakat Arab yang khas, ditambah lagi keterlibatan

(4)

negara-negara adidaya seperti Amerika dan Rusia, mendorong konflik yang terjadi dapat berlangsung lama dan belum menemukan ujung. Ini dikarenakan, salah satunya, terdapat perbedaan pandangan politik antara Sunni dan Syiah.

Perbedaan Pandangan Politik Sunni dengan Syiah

Sejarah perbedaan antara Sunni dan Syiah dapat ditelisik pada jejak masa lalu, setidaknya melalui perbedaan berbasis sekte dan politik yang menyebabkan umat terpecah belah dalam berbagai golongan. Pernyataan ini diperkuat oleh Rifai dalam bukunya Titik Temu Sunni-Syiah yang menjelaskan bahwa dalam melihat perbedaan Sunni-Syiah selalu orang melihatnya dari dua hal. Pertama, konflik sektarian yang bernuansa politik. Kedua, konflik bernuansa keagamaan, khusunya fikih dan mazhab (Rafi‟I, 2013, p. 24). Ahmad Amin (w.1954), seorang penulis Mesir, mencoba menyederhanakannya lebih spesifik. Ciri-ciri ekslusif Syi‟isme diurai menjadi empat prinsip utama, yakni ismah (ketakbercacatan Imam), mahdiisme (Syiah Itsna Asyariah mempercayai adanya dua belas Imam, Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar adalah Imam yang kedua belas yang akan muncul setelah menghilang tahun 260 H dan muncul kembali untuk menegakkan keadilan.); taqiyyah (melindungi atau menuntun diri), bahwa taqiyyah adalah sebuah strategi kamuflase dengan menyembunyikan identitas agar tidak dikenali oleh orang lain saat keselamatan terancam. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan para sarjana yang mlihat fakta sejarah bahwa Syiah selalu menjadi objek persekusi kaum Sunni yang mayoritas dan pemilik kekuatan politik (Esposito, 1995, p. 187), dan raj’ah (kekembalian) Imam (Enayat, 1982, p. 44).

Penjelasan singkat mengenai Syiah di atas, memberikan gambaran sebuah perbedaan yang sangat mendasar antara Sunni dengan Syiah, yakni persoalan ijtihad. Mundusimaginalis, misalnya, merupakan tempat ditemukannya kebenaran Islam. Kebenaran Islam yang tampak pada lahiriahnya bukanlah kebenaran keseluruhan. Kebenaran yang utuh hanya diketahui oleh Tuhan, Nabi, dan anggota keluarganya. Selain itu, menurut mereka Imamah adalah bagian dari rukun Islam (Enayat, 1982, pp. 22–35).

Sepajang perjalanannya, sejarah politik Syiah sesungguhnya lebih banyak dipengaruhi oleh

quietisme (kecenderungan untuk diam dan bersifat apolitis) ketimbang aktivisme di bidang politik.

Akan tetapi, pasca keruntuhan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, lahir mazhab Syiah dan dilihat sebagai sebuah bentuk kekalahan politik (Enayat, 1982, p. 35). Mereka terpinggirkan, hingga bersikap apolitis. Sayyid al-Murtadha (w.436/1043) menggambarkan paham politik Syiah dengan istilah watak “isolasionis” (Enayat, 1982, p. 20). Hal ini dapat dilihat dari konsep imamah yang mana menurut mereka orang yang berhak menjadi imam adalah keturunan nabi (ahlal-Bayet). Konsep ini menjadi pembeda bahkan pemisah antara Syiah dengan Sunni (Hitti, 2006, p. 558). Imam bagi Syiah merupakan anugerah Tuhan. Mereka menolak pemilihan umum. Sebab manusia memiliki karakteristik suka berdebat, sehingga tidak akan pernah sepakat dalam apapun (Lakza‟i, 2010, p. 47). Selain itu, pendapat mayoritas tetap tidak bisa diakui dengan sendirinya benar. Lebih lanjut, ketiadaan imam menjadi delegitimasi atas kekuasaan duniawi, yang menyebabkan kekuasaan tersebut tidak sah (Enayat, 1982, pp. 19–26).

Imamah dalam pandangan Syaikh Muhammad al-Husain al-Kasyif al-Ghita merupakan perbedaan utama Syiah dengan kelompok Islam yang lain (Enayat, 1982, p. 29). Sedangkan dalam pemikiran politik, Sunni sepakat bahwa pemerintahan adalah sesuatu yang niscaya demi memungkinkan manusia bekerjasama untuk meraih tujuan hidupnya yang sejati. Yakni suatu kehidupan yang baik berdasar syariah yang pada gilirannya, akan menghasilkan bagi mereka tempat yang baik dikehidupan akhirat (Lakza‟i, 2010, p. 49). Akan tetapi, Sunni juga membatasi seorang

(5)

133 Vol. 4 No. 1 Tahun 2021

khalifah, atau pengganti Nabi Muhammad SAW. bahwa mereka haruslah laki-laki dan dari keturunan suku Quraisy (bila merujuk pemikiran Al Mawardi), dan berasal dari kelompok mereka (Lakza‟i, 2010, p. 63). Selain itu, dalam pandangan politik Sunni, seorang pemimpin tidak harus memiliki karakter yang istimewa dan terbebas dari kesalahan (ma’shum) (Enayat, 1982, p. 34). Inilah yang juga menjadi perbedaan atara Sunni dengan Syi‟ah.

Bentuk-bentuk Konflik Sunni-Syiah

Secara historis, konflik antara Sunni-Syiah sudah berlangsung sangat lama. Di atas telah dijelaskan bahwa konflik ini berawal setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Namun, konflik Sunni-Syiah, terutama dikawasan Timur Tengah, terdiri dari dua bentuk umum. Pertama, konflik antara kelompok masyarakat dengan rezim, baik itu rezim yang Syiah dan kelompok masyarakat yang Sunni maupun sebaliknya. Kedua, konflik antar negara (rezim), dalam hal ini terutama negara Arab Saudi dengan Iran. Sub pembahasan ini akan menjelaskan konflik antara Sunni dengan Syiah dalam dua bentuk tersebut dan terjadi pasca the arab spring.

Bentuk konflik yang pertama yang ban yak t erj adi di dunia arab seti dakn ya dapat dilihat bahwa pada bulan April 2013 lalu. Dunia disuguhi berita dari Hawija, Irak Utara, terkait tewasnya lebih dari 50 orang pengunjuk rasa Muslim Sunni (Koran Kompas, Edisi 25 April 2013). Apa yang terjadi dari Hawija pada waktu itu adalah akibat dari „kebencian lama‟ yang dibangun oleh Saddam Hussein ketika berkuasa. Di era Saddam, yang menganut Islam Sunni, kelompok Syiah yang jumlahnya kurang lebih 60% mendapatkan perlakuan politik yang sangat kejam dari Saddam. Hal ini dikarenakan mereka dianggap berpihak pada Iran dalam Perang Teluk. Bahkan pada tahun 1980, pemimpin umat Syiah Irak, Imam Ayatullah Baqir al-Shadr, dihukum mati bersama keluarga dan pengikutnya (Sihbudi, 1991, p. 65).

Setelah Amerika Serikat (AS) menginvasi Irak pada tahun 2003 lalu, rezim Saddam pun, yang dicap sebagai pemimpin tiran, berakhir dan bergulirlah demokratisasi. Sunni yang berkuasa penuh pada era Saddam berlahan-lahan tersingkir dari pusat-pusat kekuasaan. Hawija, yang dulunya di anak emaskan oleh Saddam, kini menghadapi alur sejarah yang berkebalikan. Hawija merasa di anak tirikan oleh PM Nourial-Maliki yang Syiah (Koran Kompas, Edisi 25 April 2013).

Tesis Jack Snyder sepertinya tepat dalam melihat perkembangan demokratisasi di Irak. Saat ini, demokratisasi sekedar mencerminkan cita-cita kelompok rakyat tertentu yang sudah lama terbentuk, yang tidak cocok dengan cita-cita kelompok rakyat yang lain. Argumen “kebencian lama” merupakan salah satu bentuk wawasan “persaingan antar-kelompok rakyat” (Snyder, 2003, pp. 22– 23). Perlakuan sebagai anak tiri bagi warga Hawija (yang mayoritas Sunni) oleh PM Nourial-Maliki sepertinya tidak bisa lepas dari argumen „kebencian lama‟ tersebut. Snyder menambahkan bahwa demokratisasi (pemilihan umum) sekedar menjadi sensus dan bukan proses permusyawaratan. Demokratisasi, dengan nasionalisme SARA, akan cenderung menghasilkan tirani mayoritas atau pertarungan hidup-mati antara kelompok SARA yang sama-sama menghendaki negara buat kelompok sendiri.

Konflik yang sama dengan Irak dapat dilihat pula di Suriah. Perlawanan rakyat kepada rezim dengan aliran ideologi yang berbeda juga terjadi. Perlawanan tersebut dilakukan kepada Presiden Suriah, Bashar Assad, yang berasal dari kelompok Syiah Alawite yang minoritas. Sejak Hafez al-Assad hingga Bashar al-al-Assad, akses krusial pada pusat-pusat kekuasaan sangat terkait dengan aliansi agama dan keluarga. Sumber-sumber keuangan dan politik mengalir ke Alawite yang memegang jabatan-jabatan kunci dalam “korps perwira, pasukan keamanan internal, dan partai

(6)

Ba‟ath.” Pola seperti ini terus dijalankan oleh Bashar al-Assad hingga saat ini. Dengan mempertahankan pola tersebut, maka Assad sebenarnya membuka peluang pecahnya perang saudara. Bila kaum Alawite yang sangat sedikit itu tetap setia pada keluarga Assad karena memperoleh keuntungan dari kesetiaannya, sementara kelompok yang mayoritas, yaitu Sunni, terpinggirkan, maka pecahnya Suriah tinggal menunggu waktu.

Konflik di Suriah yang berawal dari persoalan politik, kemudian menimbulkan berbagai blok kepentingan yang kemudian mengarah pada konflik berdarah antara pihak pemerintah dan pemberontak Suriah (Koran Republika, Selasa, 6 Maret 2012). Fakta terbaru muncul, hingga akhir September tahun 2012, korban meninggal di Suriah sudah mencapai angka 10.000 orang lebih. Rezim Suriah yang menganut ideologi Syiah Nushairiyah, sebuah sekte Syiah yang ekstrem, dituding bertanggung jawab atasnya (Al-Ha‟labi, 2004, pp. 21–26). Varian Syiah ini menampilkan aksi cleansing ideology (pembersihan ideologi) terhadap kelompok yang berideologi Sunni. Aksi teror, penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan yang mengarah pada kelompok Syiah terhadap para korban yang dikategorikan sebagai kelompok Sunni merupakan fakta baru. Pembunuhan dan penyiksaan secara kejam itu telah dipertontonkan oleh tentara dan milisi Syiah yang memperoleh dukungan rezim Bashar al-Assad, presiden Suriah saat ini. Tindakan brutal yang mengarah pada pembersihan kelompok Sunni ini ternyata merupakan “drama” lanjutan yang sudah dilakukan oleh rezim sebelumnya, Hafidh al-Assad, yang tidak lain adalah ayah kandung Bashar al-Assad (Koran Jawa Pos, Rabu, 04 Januari 2012). Fakta ini menunjukkan adanya konflik yang bernuansa ideologi, disamping bermotif politik dan ekonomi. Dimana hal yang sama juga pernah terjadi di Irak (Kuncahyono, 2013, p. 148). Kini, Irak dilanda perang saudara yang berkepanjangan akibat persoalan konflik Sunni-Syiah yang semakin meruncing.

Pertarungan sengit di Suriah hari ini adalah pertarungan antara rezim dan kelompok oposisi. Aron Lund menyebutkan bahwa ada tiga “generasi” oposisi Suriah. “Generasi Pertama” merupakan salah satu generasi yang dibentuk pada era-pra kemerdekaan dan saat ini direpresentasikan oleh Persaudaraan Muslim (Muslim Brotherhood). Partisipasinya dalam pergolakan bersenjata pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, dengan agen dan sektarian Sunni-nya, membuat MB menjadi kambing hitam dari rezim yang berkuasa, dan Undang-undang Pidana, pasal 49 melarang keanggotaan kelompok ini (Kuncahyono, 2013, p. 150).

Konflik yang terjadi di Timur Tengah, khususnya di Suriah, telah mendorong keterlibatan Amerika Serikat dan Rusia. Amerika Serikat seolah tidak ingin kehilangan momentum untuk ikut campur tangan terhadap konflik Suriah, dimana terdapat pangkalan militer satu-satunya dikawasan Timur Tengah yakni di Pesisir Tartus yang dibuka pada tahun 1972 dimaksimalkan sebagai salah satu kekuatan militer. Perkembangan ini tentunya akan berakibat kurang baik bagi pemerintah Suriah. Atas dasar permintaan Presiden Suriah, Rusia diminta untuk meningkatkan bantuan militer guna memberikan serangan perlawanan terhadap para pemberontak dan dukungan kepada Presiden Bashar Al-Assad (Berlianto, 2015). Sehingga bukan sesuatu yang aneh apabila Suriah memohon kehadiran Rusia di negaranya, karena faktanya kedua negara ini sudah memiliki hubungan bilateral sejak era Uni Soviet dan telah menandatangani fakta pertahanan dengan Rusia.

Analisis militer Andrew Foxall mengatakan Amerika Serikat dengan koalisi NATO menginginkan perubahan Rezim pro-Rusia di Suriah. Kemunculan Rusia di Suriah dikhawatirkan akan membuat tensi politik semakin panas, dikarenakan dua negara yang selalu berselisih dan merupakan musuh lama ini akan saling berhadapan di suatu zona perang. Masih menurut Andrew Foxall yang berasal dari kelompok Think Thank Hendry Jackson Society ini memperingatkan,

(7)

135 Vol. 4 No. 1 Tahun 2021

serangan koalisi AS dan Rusia di Suriah bisa menjadi bencana tak terbayangkan jika suatu saat bersinggungan (Mirror, 2015).

Selain di Suriah, negara bagian lain di Timur Tengah seperti Bahrain juga mengalami perasoalan yang sama di awal Musim Semi Arab (The Arab Spring). Di Bahrain, kelompok mayoritas Syiah (70%) telah sejak lama menjadi warga kelas dua bagi para penguasa Sunni. Tidak lama setelah revolusi meledak di Tunisia yang mengakhiri kekuasaan Zeinal-Abidin Ben Ali, tepatnya pada tanggal 14 Februari 2011, gejolak demonstrasi juga dimulai di Bahrain. Bentrokan terjadi. Helikopter berputar-putar di atas kota Manama, tempat berkumpulnya para demonstran. Sedikitnya 14 orang terluka dalam bentrokan tersebut. Aparat setempat menggunakan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan pengunjuk rasa di desa Syiah, sebagian besar Nuwaidrat di wilayah Barat Daya (Tamburaka, 2011, pp. 159–160). Berbagai konflik yang terjadi di atas memperlihatkan konflik yang terjadi antara pemerintah dengan rakyat, atau rezim yang berkuasa dengan rakyat.

Bentuk konflik yang kedua adalah konflik antar negara. Sebagaimana kita ketahui bahwa Revolusi Islam Iran yang terjadi pada tahun 1979, yang digerakkan oleh ulama Syiah, telah menimbulkan pengaruh yang cukup besar di dunia Islam, khususnya di negara-negara kawasan Timur Tengah (Sahide, 2013, p. 91). Dikawasan ini, pengaruh tersebut muncul dalam bentuk gerakan yang kemudian dikenal sebagai gerakan-gerakan Islam “Fundamentalis”, “radikal”, “militan” maupun “ekstrem”. Gerakan-gerakan semacam ini di beberapa negara cenderung “anti kemapanan”, dan biasanya disebut juga sebagai “kelompok-kelompok Iran” (Sihbudi, 1991, p. 191). Mereka menjelma dalam berbagai bentuk gerakan yang dipengaruhi oleh pemikiran yang tunggal.

Revolusi Islam Iran tahun 1979 telah membangkitkan semangat dan eksistensi kaum Syiah. Hal ini juga mempengaruhi hubungan internasional di kawasan Timur Tengah. Akibat yang dapat dilihat pasca revolusi tersebut adalah hubungan Iran dengan beberapa negara yang dipimpin oleh kelompok Sunni memanas. Pascara revolusi, hubungan Mesir dan Iran rusak berat. Haluan politik kedua negara juga berseberangan. Iran anti-Amerika sementara Mesir membangun hubungan yang cukup mesra dengan Amerika. Pada Perang Teluk yang terjadi antara Iran-Irak tahun 1980-1988 juga tidak terlepas dari sentiment Sunni-Syiah. Negara-negara Sunni, yang khawatir dengan ekspansi Syiah Imam Khomeini, berada di belakang Saddam Hussein. Sedangkan Iran didukung oleh negara-negara atau kelompok-kelompok pemimpin Syiah, seperti Suriah, Hezbollah, gerakan Hamas, dan beberapa gerakan perlawanan di negara-negara lain (Sahide, 2013, p. 103).

Pasca the arab spring, konflik Sunni-Syiah yang terjadi di negara seperti Suriah masih terus berlanjut. Keterlibatan negara-negara di luar kawasan seperti Amerika Serikat, Rusia, hingga China turut memperkeruh suasana. Amerika Serikat dan sekutunya di kawasan Timur Tengah yang mayoritas adalah negara Sunni, dan China serta Rusia yang selalu menggandeng Iran yang Syiah semakin mempertajam konflik dan hubungan antar negara di kawasan. Negara-negara Sunni yang berada dibelakang Amerika, seperti Arab Saudi, dan negara-negara Syiah seperti Iran yang berada dibelakang China dan Rusia, menjadi berhadapan dalam ketegangan. Hubungan Arab Saudi dan Iran yang sudah sejak dulu memiliki masalah besar, baik soal politik, strategis, maupun ideologis (Syiah dan Sunni), berebut pengaruh serta supremasi di Timur Tengah dan Teluk.

Dukungan Iran terhadap rezim Bashar al-Assad yang Syiah di Suriah, dan dukungan Arab

Saudi terhadap kelompok oposisi yang mayoritas Sunni semakin menggambarkan

ketidakharmonisan kedua negara. Kepemilikan Iran atas nuklir juga menjadi persoalan bagi Arab Saudi. Arab Saudi sangat tidak menginginkan posisinya sebagai primus interpares yang terkemuka

(8)

di antara sesama negara-negara Muslim disaingi oleh Iran. Ini dikuatkan dengan pertemuan diam-diam Kepala Inteligen Arab Saudi, Pangeran Bandar bin Sultan, dengan kepala badan intelijen Israel di Genewa, Swiss pada tanggal 27 November 2013. Pertemuan ini diadakan tidak lama setelah pertemuan dengan Iran, dan enam negara lainnya (AS, Rusia, China, Inggris, Perancis, dan German). Faktornya adalah kekecewaan Negara Wahabi itu dengan hasil dari pertemuan di Genewa yang dilihat menguntungkan Iran terkait dengan program nuklirnya (Koran Kompas, edisi11 Desember 2013).

Hubungan Arab Saudi dan Iran yang tidak harmonis dapat dilihat pula pada penyataan Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel Al-Jubeir, yang menuding Teheran membuat negara-negara di Timur Tengah tidak stabil. Jubeir mencontohkan Iran mempersenjatai rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad dan mengirim “milisi Syiah” untuk berperang bersama pasukan Suriah dalam memerangi pasukan oposisi moderat. Dia kembali menyerukan Assad untuk lengser. Jubeir juga meragukan upaya Iran menciptakan perdamaian di Suriah (Muhaimin, 2015). Sebaliknya, Iran menuding Riyadh sebagai biang konflik dengan melakukan peran sebagai pemecah belah negara-negara di Timur Tengah dan sekitarnya. Satu-satunya negara yang terus mengambil pendekatan „zero-sum‟ untuk perkembangan regional dan mencoba untuk menghilangkan kekuatan lain adalah Arab Saudi, serta melakukan pendekatan yang tidak konstruktif dan buntu,” kata Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Marzieh Afkham (Muhaimin, 2015).

Kedua negara itu, Arab Saudi dan Iran, selama ini dianggap mewakili dua kelompok sektarian yang kerap berseteru di Timur Tengah dan sekitarnya, yakni kelompok Sunni dan Syiah. Kedua negara ini juga telah berperan aktif dalam konflik di Suriah dan Yaman. Di Suriah, Saudi mendukung pasukan pemberontak sedangkan Iran mendukung pasukan rezim Suriah. Kemudian di Yaman, Saudi melakukan agresi militer untuk membela Pemerintah Yaman, sedangkan Iran dituding mendukung pemberontak Houthi.

Faktor dan Dampak Konflik Arab Saudi-Iran terhadap Negara-negara di Kawasan

Timur Tengah

Konflik Arab Saudi dan Iran memiliki akar historis yang panjang. Akan tetapi, secara sederhana, konflik ini mempunyai titik tekan yang terdiri dari beberapa faktor. Faktor pertama adalah pertarungan ideologis antar keduanya. Ideologi Sunni yang dianut oleh Arab Saudi dan Syiah yang dianut oleh Iran menjadi dua ideologi yang kompetitif dan seolah tidak dapat bertemu. Eksekusi mati terhadap aktivis Syiah, Nimr al Nimr, yang tinggal di Arab Saudi merupakan salah satu contoh kecil pertarungan ideologis tersebut. Ia dianggap mencoba menggoyang dominasi Wahabi dari dalam, sehingga ia dieksekusi mati pada akhir Desember lalu.

Faktor kedua, yang juga penting dalam konflik yang terjadi antara Arab Saudi dan Iran, adalah klaim bahwa masing-masing negara memandang dirinya sebagai negara pemangku agama Islam dalam versi yang berbeda. Saudi adalah negara dimana terdapat dua tempat paling suci Islam, Makkah dan Madinah, sehingga menyatakan diri sebagai pemimpin Sunni dunia, sedangkan Iran memiliki penduduk Syiah terbesar dunia dan sejak revolusi Iran pada tahun 1979 menjadi pemimpin dunia Syiah'. Faktor ini wajar terjadi karena sangat berkaitan erat mengenai pengakuan dunia international atas dasar dominasi dan hegemoni untuk kepentingan politik.

Faktor ketiga adalah minyak. Minyak juga menjadi faktor penting yang menjadi penyebab terus meruncingnya perseteruan dua negara tersebut. Arab Saudi dan Iran merupakan dua negara penting

(9)

137 Vol. 4 No. 1 Tahun 2021

di kawasan negara Arab Teluk. Keduanya merupakan penghasil minyak terbesar di dunia. Meskipun jumlah minyak yang dihasilkan oleh Iran tidak sebanyak Arab Saudi, Iran tetap memainkan pengaruh penting di kawasan. Apalagi program nuklir Iran telah membuat negara sekitar (termasuk Amerika dan negara-negara Eropa) ketar-ketir.

Pertikaian dengan alasan dominasi ideologis, teologis dan minyak dapat menyebabkan pecahnya pertempuran dua negara tersebut. Ini dapat berakibat tidak baik bagi perekonomian global yang sampai saat ini masih membutuhkan minyak bumi sebagai komoditas vital untuk menggerakkan perekonomian. Selain itu, perseteruan dua negara ini dapat mempengaruhi dan berpengaruh bagi politik kawasan.

Pada konflik Yaman misalnya. Permasalahan timbul sejak Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi digulingkan oleh Milisi Syiah Houthi yang didukung penuh oleh Iran. Arab Saudi pun bereaksi keras atas ini, mengingat Yaman merupakan negara yang sangat strategis secara geopolitik dan ekonomi. Yaman merupakan negara yang berada dalam jalur perdagangan utama antara Eropa dan Asia karena sebagai pintu masuk ke laut merah, selain itu sumber daya minyaknya yang besar turut berpengaruh dalam perebutan posisi strategis ini. Bagi Arab Saudi, dengan digulingkannya presiden Mansour, membuatnya kehilangan benteng terakhir mencegah pengaruh Syiah masuk dan meluas ke wilayahnya.

Pasca Amerika Serikat mengurangi kehadirannya di Timur Tengah, Arab Saudi melalui Gulf

Cooperation Council (GCC) yang didominasi oleh Sunni, mulai mengambil peran untuk

menggantikan posisi Amerika Serikat guna menjaga stabilitas kawasan. Keberadaan tiga kelompok di Yaman, yakni 1) Milisi Houthi yang didukung Iran dan pendukung Ali Abdullah Saleh; 2) Pendukung Presiden Mansur Hadi yang didukung oleh GCC dan negara-negara barat; 3. Kelompok Al Qaeda. Ketiganya memberikan pertimbangan tersendiri bagi Arab Saudi. Apalagi Milisi Houthi yang didukung oleh Iran dengan program nuklir yang dimilikinya.

Sejauh ini ada 2 negara yang secara terang-terangan khawatir dengan program nuklir Iran, yaitu Arab Saudi dan Israel, kedua-duanya adalah sekutu dekat Amerika Serikat di Timur Tengah. Meskipun keduanya menjadi sekutu bagi Amerika Serikat, namun antara Arab Saudi dan Israel tidak sejalan, bahkan cenderung bertentangan, terutama dalam isu kemerdekaan Palestina. Sementara itu, pasca serangan serangan Amerika Serikat ke Afghanistan dan Iraq, posisi Iran secara geografis sudah terkepung. Di Barat, militer Amerika Serikat sudah bercokol di Iraq dan di Timur milter Amerika Serikat juga sudah hadir, di Utara ada Azerbaijan yang beraliran Syiah namun memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Ini memberikan gambaran bahwa secara geografis, Iran berada dalam pantauan Amerika Serikat yang merupakan sekutu Arab Saudi. Secara tidak langsung, kedekatan hubungan Amerika serikat dengan Arab Saudi membuat hubungan Arab Saudi dan Iran memanas. Ketidakharmonisan hubungan kedua negara bertambah ketika Amerika Serikat mulai mengurangi kehadirannya di Iraq. Ini membuka peluang bagi Syiah unutk menguasai wilayah tersebut.

Pasca Amerika Serikat menarik pasukan dari Iraq, praktis Iraq dikuasai oleh blok partai Syiah yang memang mayoritas, sedangkan blok partai Sunni menjadi terpinggirkan dalam lingkar kekuasaan. Selain itu, di Afghanistan, ternyata Iran mampu masuk ke lingkaran (mantan) Presiden Hamid Karzai, setelah terbukti adanya sumbangan dana besar secara cash dari Iran ke Hamid Karzai. Manuver Iran yang demikian itu secara tiba-tiba membuat Iran memiliki pengaruh yang mulai menguat di kawasan, karena sejak awal Iran sudah memiliki pengaruh di Syria (bahkan Iran-Syria memiliki pakta anti agresi) dan Lebanon (Hizbullah), ditambah dengan ambisi nuklir Iran (yang diduga keras bertendensi militer oleh lawan-lawannya).

(10)

Kekhawatiran Arab Saudi muncul, jika Iran diberikan keleluasaan untuk memiliki nuklir, maka Arab Saudi pun akan berusaha untuk mendapatkannya (sebagai catatan, Arab Saudi memiliki kedekatan dengan Pakistan yang memiliki teknologi senjata nuklir dan Arab Saudi juga sudah membeli peluru kendali balistik DF-21 dari Republik Rakyat China). Di lain pihak, Israel menegaskan siap melakukan serangan udara ke Iran jika sampai Iran terus menerus melakukan program pengayaan uranium. Dalam berbagai media disebutkan Iran melalui Brigade Al Quds, melakukan operasi bawah tanah yang bertujuan membantu berbagai kelompok perlawanan bersenjata seperti Hizbullah dan Hamas, atau bahkan Kurdi di utara Iraq serta milisi Syiah di Iraq dan rezim Bashar Asaad di Syria, sehingga hal ini dikhawatirkan akan menciptakan instabilitas politik Timur Tengah.

Fenomena inilah kemudian berimbas pada situasi politik internal di Yaman dan berkelindan ke negara Barat sebagai poros kekuatan dunia terutama antara Amerika Serikat dengan Rusia. Yaman bergejolak karena turut tersulut revolusi Arab Spring yang menuntut demokratisasi dan turunnya diktator Ali Abdullah Saleh. Lalu siapakah yang akan keluar sebagai pemenang? Berdasarkan teori yang disebutkan di atas, tepatnya teori konflik yang dikemukakan oleh Paul Conn, maka konflik dapat didekati dengan dua pendekatan, yaitu zero sum game (konflik menang-kalah) dan non zero

sum game (satu pihak diuntungkan, pihak lain tidak kalah) (Surbakti, 2010, p. 163). Yaman dan

Suriah merupakan negara dengan kategori konflik zero sum game. Pihak pemerintah maupun oposisi tidak dapat menemukan kata sepakat dalam penyelesaian konflik internal tersebut. Kedua belah pihak menginginkan adanya pemenuhan tuntutan maupun ada salah satu pihak diminimalisir posisi politiknya. Konflik tersebut melibatkan pemerintah yang berkuasa dengan pihak non pemerintah yaitu pihak oposisi yang menginginkan adanya penggulingan pemerintah yang berkuasa serta terbentuknya negara yang demokrasi, sehingga nanti pada akhirnya akan dimenangkan dengan kompromi win win solution atau justru dimenangkan oleh salah satu pihak.

Pada konteks peperangan yang terjadi di Yaman dan Suriah, siapapun pemenangnya dalam perang ini pasti akan meninggalkan kehancuran yang luar biasa. Posisi strategis yang dimiliki oleh Yaman misalnya, saat genderang perang pun ditabuh, Saudi mengajak negara mitranya untuk turun langsung melakukan agresi militer demi membela pemerintahan yang sah, yakni presiden Mansour. Serangan udara telah dilancarkan sejak akhir Maret lalu, tujuannya agar milisi Houthi menyerah dan mengembalikan kekuasan kepada presiden Mansour. Selain meninggalkan kerusakan di area konflik, peperangan yang terjadi berkepanjangan tersebut juga tidak menutup kemungkinan akan menyeret Iran secara langsung untuk terlibat dalam peperangan tersebut. Jika ini terjadi, maka akan ada babak baru yang muncul.

Perang dingin bisa terjadi, sebagaimana Media CNBC dalam sebuah artikel menulis Iran-Saudi

relations: A new Cold War heating up? menyebut bahwa ketegangan antara kedua negara ini sudah

memasuki tahap perang dingin. Menurut Torbjorn Soltvedt, dikutip oleh CNBC, apa yang terjadi di Yaman yang melibatkan Arab Saudi dan Iran menyerupai skenario perang dingin. Ia melanjutkan bahwa ketegangan akan menjadi bertambah buruk pada tahun-tahun mendatang. Sedangkan media The Guardian dalam artikel Saudi Arabia and Iran must end their proxy war in Syria, menyebut Iran dan Saudi sudah saatnya menghentikan perang antar keduanya yang berakibat nestapa dan kesengsaraan di negara-negara tetangganya. Pada akhirnya, konflik ini hanya menimbulkan kerugian terutama bagi rakyat Yaman sendiri. Imbasnya, harga minyak dunia yang mayoritas diproduksi oleh kawasan ini mulai terkerek naik (Aldi, 2015). Mengingat para pemain besar memiliki minyak, sehingga muncul kekuatan yang berimbang yang tidak mungkin salah satu akan muncul sebagai kekuatan yang paling dominan. Lebih lanjut, apabila Arab Saudi dan sekutunya

(11)

139 Vol. 4 No. 1 Tahun 2021

memasukkan pasukan darat ke Yaman, maka besar kemungkinan Iran ikut mengintervensi secara langsung ke Yaman. Akibatnya, dapat diduga bahwa perang di Timur Tengah memiliki korelasi erat dengan perundingan nuklir Iran. Arab Saudi dan Israel tidak akan segugup ini jika Iran mau menghentikan ambisi nuklirnya. Akan tetapi, kecil kemungkinan Iran melakukan hal itu.

Pertimbangan penting bagi Iran adalah bahwa teknologi nuklir merupakan jaminan bagi keberlangsungan eksistensi Iran, agaknya Iran mengambil teladan sikap dari Korea Utara. Di sisi lain, Iran juga memiliki kepentingan untuk melepaskan diri dari sanksi Barat guna memperbaiki kondisi perekonomian dalam negerinya. Program nuklir merupakan kartu truf yang bisa memaksa Barat mau duduk dalam meja perundingan dengan Iran dalam posisi setara. Apabila Iran bisa melepaskan diri dari sanksi Barat, maka kemungkinan besar Iran akan mengalami pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya semakin memperbesar pengaruhnya di Timur Tengah (tidak melalui senjata, namun melalui politik, sosial dan ekonomi). Tentu Arab Saudi maupun Israel tidak menginginkan hal ini, kecuali ditemukan adanya kesepahaman di antara ketiganya.

Stabilitas di Timur Tengah dapat tercapai jika tiga besar kekuatan duduk satu meja dan sepakat untuk membuat perdamaian. Namun, meskipun tercipta perdamaian di Timur Tengah, yang dikhawatirkan adalah nasib demokrasi dan kekuatan politik Islam di Timur Tengah yang sekilas begitu menjanjikan pasca the arab spring. Hal ini kemungkinan besar akan sirna karena tampaknya para pemain besar di Timur Tengah lebih memilih stabilitas kawasan daripada berseminya demokrasi (sebagai contoh Arab Saudi lebih memilih mendukung Mesir di bawah rezim militer Presiden Al Sisi dibandingkan Presiden Mursi yang terpilih melalui pemilu yang demokratis), dan tampaknya arab spring hanya akan sukses di Tunisia (dan ada kemungkinan kecil di Libya jika

Grand National Council (GNC) di Tripoli dan pemerintahan Libya di Tobruk mau melakukan

rekonsiliasi nasional). Pada akhirnya, kita akan melihat perpaduan antara konflik dua ideologi Islam (Sunni dan Syiah) dengan sosio-ekonomi.

Simpulan

Arab Saudi dan Iran merepresentasikan kontestasi ideologi Sunni-Syiah, yang mana keduanya mencoba untuk saling mendukung pemerintah yang berkuasa, maupun oposisi berdasarkan pada latar belakang ideologi. Dukungan tersebut dilakukan dalam bentuk bantuan militer, senjata, maupun keterlibatan secara langsung yang ditandai dengan berbagai macam statemen yang muncul di media.

Ketidakharmonisan Arab Saudi dan Iran didorong oleh beberapa faktor, yaitu pertama, pertarungan ideologis Sunni-Syiah antar keduanya. Kedua, klaim sebagai pemangku agama Islam dalam versi masing-masing. Dan ketiga, minyak. Sedangkan dampak dari hal ini adalah instabilitas politik di kawasan Timur Tengah pasca the arab spring, hingga "perang dingin" yang melibatkan Arab Saudi dan Iran.

(12)

Daftar Pustaka

Al-Ha‟labi, S. (2004). Ta’ifah al-Nusairiyah Tarikuha wa Akadi’uha (2nd ed.). Kuwait: Ad-Dar As-Salafiyah.

Aldi, B. (2015). Akankah Arab Saudi dan Iran berperang? Retrieved from Kompasiana.com website: https://www.kompasiana.com/bob.aldi/55310e346ea83475578b4567/akankah-arab-saudi-dan-iran-berperang

Berlianto. (2015). Assad Akui Minta Bantuan Militer pada Rusia. Retrieved from Sindonews.com website: https://international.sindonews.com/berita/1049378/43/assad-akui-minta-bantuan-militer-pada-rusia

Enayat, H. (1982). Modern Islamic Political Thought. London.: The Macmillan Press Ltd. Esposito, J. L. (1995). The Oxford Enciclopedia of the Modern Islamic World (Vol. 02). Oxford

London: Oxford University Perss.

Hitti, P. K. (2006). History of The Arabs. (Jakarta: Serambi.

Kuncahyono, T. (2013). Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir. Jakarta: Kompas.

Lakza‟i, A. N. (2010). Dinamika Pemikiran Politik Imam Khomeini. Jakarta: Shadra Press. Mas‟udi. (2015). AKAR-AKAR TEORI KONFLIK : Dialektika Konflik ; Core Perubahan Sosial

dalam. Jurnal Ilmu Aqidah Dan Studi Keagamaan, 3(1), 177–200.

Mirror. (2015). World War Three could be just 30 SECONDS away as attacks on ISIS stepped up. Retrieved from Mirror website: https://www.mirror.co.uk/news/world-news/world-war-three-could-just-6616199

Muhaimin. (2015). Memanas, Iran dan Saudi Saling Tuduh sebagai Biang Konflik. Retrieved from Sindonews.com website: https://international.sindonews.com/berita/1054663/43/memanas-iran-dan-saudi-saling-tuduh-sebagai-biang-konflik

Rafi‟I, M. (2013). Islam Kita: Titik Temu Sunni-Syiah. Jakarta: Melistone Publisher.

Rahmaniah, A. (2018). Teori Konflik Ralf Dahrendorf. In The Anglo-American Tradition of

Liberty. https://doi.org/10.4324/9781315612430-3

Sahide, A. (2013). Ketegangan Politik Syiah-Sunni di Timur Tengah. Yogyakarta: The Phinisi Press.

Sihbudi, M. R. (1991). Bara Timur Tengah, Islam, Dunia Arab, Iran. Bandung: Penerbit Mizan. Snyder, J. (2003). Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah. Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia.

Surbakti, R. (2010). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.

Tamburaka, A. (2011). Revolusi Timur Tengah, Kejatuhan Para Penguasa Otoriterdi

Negara-Negara Timur Tengah. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Tumengkol, S. M. (2012). Teori Sosiologi Suatu Perspektif Tentang Teori Konflik Dalam

Referensi

Dokumen terkait

Adapun sumber data penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, selanjutnya pengumpulan data yang digunakan bersumber dari buku yang memiliki relevansi

Juga untuk setiap berkatNya yang luar biasa tercurah dalam hidup penulis, terutama dalam hal penyelesaian skripsi dengan judul ” STRATEGI KOMUNIKASI RADIO KOMUNITAS

Pertumbuhan tertinggi terjadi pada komponen Pengeluaran Konsumsi Lembaga Non Profit Rumah Tangga (PKLNPRT) sebesar 5,72 persen yang diikuti oleh.. pertumbuhan

Causes and consequences of audit shopping: An analysis of audit opinion, earning management, and auditor changes... Departemen Keuangan

Proportional half spread (rata-rata nilai quoted half spread, effective half spread dan traded half spread) dikelompokkan berdasarkan pada rata-rata perklasifikasi

yang bilangin seperti di atas langsung kepikiran “Bener nggak sih saya saya bisa  bisa sukses?” sukses?”,, “Bener gak sih ini adalah langkah yang tepat?”, “Nanti kalau

Instrumen keuangan yang diterbitkan atau komponen dari instrumen keuangan tersebut, yang tidak diklasifikasikan sebagai liabilitas keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui

Pada proses selanjutnya, tasawuf yang pada awalnya hanya merupakan bentuk praktik ibadah yang diajarkan secara khusus kepada orang tertentu, maka pada tahapan selanjutnya,