• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Toksoplasmosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit spesies Toxoplasma gondii. Menurut Soedarto (2011), T. gondii adalah parasit intraseluler yang hidup di dalam sel-sel manusia maupun hewan (mamalia dan unggas). Prevalensi toksoplasmosis berbeda di beberapa negara dan dihubungkan dengan berbagai faktor, seperti umur, kebiasaan makan dan keberadaan kucing domestik (Tenter et al.,2000). Prevalensi toksoplasmosis di Indonesia berbeda di berbagai daerah. Vander Veen menyatakan prevalensi di Surabaya, Jawa Timur sebesar 63% (Chahaya, 2003), Jakarta 75% (Terezawa et al., 2003), Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 61.5% (Sudjono, 2010),dan Jawa Tengah bagian selatan sebesar 62,54% (Retmanasari, 2015). Manusia dapat terinfeksi T. gondii dengan cara kebiasaan konsumsi daging yang kurang matang, konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi ookista T. gondii, penularan transplasenta dari ibu ke janin, tranfusi darah, transplantasi organ, dan lain-lain. Pada kasus toksoplasmosis sering tidak menimbulkan gejala, namun pada sebagian kasus akan menimbulkan gejala yang parah, seperti hidrosepalus, mikrosepalus, kalsifikasi intrakranial, kerusakan retina, abses otak, retardasi mental, limfadenopati, dan gejala lainnya (Torrey and Yolken, 2003).

(2)

Seroprevalensi toksoplasmosis berhubungan dengan beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan pola transmisi. Masyarakat di area urban maupun rural yang kurang memiliki informasi tentang pola transmisi toksoplasmosis memiliki risiko terinfeksi toksoplasmosis lebih besar dibandingkan masyarakat yang telah mengetahui informasi tersebut dan menerapkan pola hidup sehat. Sekelompok individu yang memiliki keterbatasan dalam mengolah informasi memiliki risiko yang besar pula, seperti pada sekelompok penderita gangguan jiwa termasuk skizofrenia. Skizofrenia menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia merupakan penyakit dominan dari seluruh gangguan jiwa, dimana 70% dari total gangguan jiwa di Indonesia adalah skizofrenia. Menurut data riset kesehatan dasar tahun 2013, prevalensi skizofrenia di Indonesia sebesar 0,17% dan provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu sebesar 0,27%. Penelitian Alvarado-esuivel et al., (2006) tentang seroprevalensi toksoplasmosis pada beberapa penderita gangguan jiwa di Meksiko menunjukkan hasil signifikan pada gangguan jiwa jenis skizofrenia dan alzeimer.

Skizofrenia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukan emosi serta berperilaku dengan sikap yang tidak dapat diterima secara sosial (Isaacs, 2005). Pada penderita skizofrenia kemampuan mengolah informasi mengalami kemunduran sehingga beberapa hal yang dapat menyebabkan penyakit kurang diketahui sehingga

(3)

kemungkinan infeksi toksoplasmosis lebih tinggi. Para penderita skizofrenia memiliki kebiasaan sehari-hari yang mungkin dapat memicu infeksi seperti kebiasaan diri membersihkan diri yang sulit dilakukan atas kemauan sendiri, sehingga dibutuhkan peran keluarga atau orang dekat untuk selalu mengontrol kegiatan yang berhubungan kebersihan. Selain itu, kebiasaan keluar rumah tanpa pendamping sering dilakukan penderita skizofrenia sehingga penderita dapat mengkonsumsi apa saja yang ditemui tanpa mengetahui bahwa makanan tersebut bersih atau tidak. Makanan yang diperoleh penderita skizofrenia dari lingkungan yang tidak layak atau kotor dapat terkontaminasi ookista T. gondii. Pada beberapa kasus toksoplasmosis di populasi umum, faktor risiko pola konsumsi makanan memiliki hubungan dengan penularan toksoplasmosis. Beberapa jenis makanan yang dapat menyebabkan toksoplasmosis adalah makanan olahan daging yang kurang matang, konsumsi sayuran mentah dan buah yang tidak dicuci sempurna. Pengetahuan keluarga mengenai faktor risiko toksoplasmosis berperan penting karena sebagian besar aktivitas konsumsi makanan dan aktivitas lainnya dilakukan di lingkungan tempat tinggal. Ketidaktahuan keluarga mengenai pola konsumsi yang sehat dapat menjadi penyebab infeksi T. gondii. Berdasarkan hasil penelitian Sudjono (2010) di populasi umum di wilayah Yogyakarta menunjukkan beberapa faktor risiko yang memiliki hubungan dengan toksoplasmosis, antara lain jenis kelamin, kontak dengan kucing, tinggi dataran (geografi), konsumsi daging kambing kurang matang, konsumsi sayuran mentah, pekerjaan yang ada kontak dengan daging ternak mentah dan tanah.

(4)

Seroprevalensi toksoplasmosis yang tinggi berhubungan dengan prevalensi toksoplasmosis pada hewan ternak, seperti sapi, kambing, babi, ayam, itik, dan lain-lain. Prevalensi toksoplasmosis pada kambing dan sapi di Yogyakarta adalah 78% dan 21% (Artama, 2008). Daging kambing dan sapi biasanya dikonsumsi dalam bentuk sate yang diperdagangkan, dapat diduga pada daging tersebut masih terdapat kista dan tidak semua kista mati akibat pengolahan. Penanganan daging ternak mentah juga berpotensi menyebabkan infeksi T. gondii pada tukang jagal, pedagang, dan juru masak melalui perlukaan atau kurangnya kebersihan (Sudjono, 2010). Beberapa studi epidemiologi yang dilakukan pada pekerja Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan penjual daging di Surabaya menunjukan toksoplasmosis yang tinggi sebesar 85% dan pada pemotong kambing diluar RPH sebesar 80%, dan pada penjual daging kambing sebesar 80% (Winarno, 2006). Infeksi T. gondii tidak hanya disebabkan konsumsi daging, namun dapat juga akibat konsumsi sayuran mentah sebagai lalapan dan sumber air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang dimungkinkan terkontaminasi ookista T. gondii. Sumber air yang dapat terkontaminasi adalah air yang tidak melalui pengolahan kimiawi atau proses filtrasi, sehingga ookista tetap bertahan hidup. Gangneux and Marie (2012) menyatakan bahwa ookista tidak dapat bertahan hidup pada air yang mengalami filtrasi, klorinasi, treatmen ozon, kondisi dingin dan kondisi panas. Di Brazil pernah dilaporkan bahwa penduduk yang menggunakan air minum yang tidak difiltrasi mempunyai risiko toksoplasmosis dengan odd ratio sebesar 3,0 (Bahia-oliviera et al.,2003).

(5)

Pencemaran ookista di lingkungan berpotensi menyebarkan infeksi toksoplasmosis pada kucing yang belum terinfeksi atau kepada mamalia termasuk manusia. Manusia juga dapat tercemar ookista di tanah misalnya bila menkonsumsi sayuran mentah yang tercemar tinja kucing. Bobic (1998) menyatakan bahwa kebiasaan kontak langsung dengan tanah seperti petani atau berkebun memiliki hubungan dengan toksoplasmosis, sedangkan kontak dengan kucing tidak ada hubungan dengan kejadian toksoplasmosis. Penelitian sudjono (2010) pada populasi umum menunjukkan adanya hubungan kontak dengan daging mentah dan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kasus toksoplasmosis pada masyarakat terjadi pada berbagai umur, kalangan dan tingkat pendidikan. Prevalensi toksoplasmosis dinyatakan meningkat dengan meningkatnya umur, bahkan pada wanita usia subur peningkatan titer antibodinya sebesar 0.8% per tahum (Hokelek, 2006; Leblebicioglu, 2008). Jenis kelamin perempuan memiliki kerentanan terinfeksi T. gondii berkisar 4-100% (Ishaku, 2009). Penelitian toksoplasmosis pada skizofrenia oleh Alvarado-esquivel et al., (2006) menunjukkan bahwa individu skizofrenia pada kelompok umur 25-34 tahun, 45-54 than, 55-64 tahun memiliki hubungan terhadap seroprevalensi toksoplasmosis.

Penelitian Omar et al., (2015) dan Juannah et al., (2013) menunjukkan adanya hubungan tingkat pendidikan penderita skizofrenia dengan seroprevalensi toksoplasmosis di Malaysia. Individu skizofrenia yang tidak menempuh pendidikan perguruan tinggi dinyatakan lebih berisiko untuk terinfeksi T. gondii dikarenakan

(6)

informasi yang diperoleh pada saat menempuh pendidikan tidak mencakup informasi mengenai risiko toksoplasmosis, walaupun informasi mengenai pentingnya menjaga kebersihan sudah diberikan. Kondisi ini didukung dengan kemampuan individu skizofrenia yang mengalami kesulitan dalam menerima dan menginterpretasikan informasi yang diterimanya (Isaac, 2005). Emelia et al.,(2012) dalam penelitiannya memasukkan kategori lama penyakit skizofrenia menjadi kurang dari 10 tahun dan lebih dari 10 tahun yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama pengobatan terhadap seropositif toksoplasmosis.

Respon manusia terhadap T. gondii berhubungan dengan status imunitas manusia yang terinfeksi, strain T. gondii dan lamanya infeksi (Suzuki, 2002). Respon imun yang berperan dalam infeksi T. gondii adalah sistem imun humoral dan sistem imun seluler. Respon imun humoral dengan diproduksi antibodi IgG dan IgM digunakan sebagai alat deteksi toksoplasmosis dengan menerapkan metode ELISA. Keberadaan respon imun humoral sangat esensial dalam memberikan perlindungan pada hospes. Respon imun humoral berkaitan dengan bentuk takizoit yang aktif dan invasif dalam sistem sirkulasi. Immunoglobulin M dan G berperan utama dalam sirkulasi (Subekti et al, 2006). Immunoglobulin G dapat menembus plasenta masuk ke janin dan berperan pada imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan.

Tingginya prevalensi toksoplasmosis pada masyarakat dimungkinkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang faktor risiko toksoplasmosis, sehingga kecenderungan individu yang mengalami skizofrenia lebih besar akibat

(7)

ketidakmampuan individu tersebut dalam menerima dan memproses informasi. Penelitian mengenai seroprevalensi toksoplasmosis pada skizofrenia sudah banyak dilakukan di berbagai negara dan beberapa penelitian tersebut menunjukan bahwa seroprevalensi pada penderita skizofrenia lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum, seperti di Turki pada skizofrenia sebesar 61% dan kontrol 45% (Yuksel et al., 2010), di Iran sebesar 57% pada skizofrenia dan 29% pada kontrol (Hamidinejat et al.,2010), di Ethiopia sebesar 97% pada skizofrenia dan 87% pada kontrol (Tedla et al., 2011), di Meksiko sebesar 20% pada skizofrenia dan 5% pada kontrol (Alvarado-esquival et al., 2011), dan di Malaysia sebesar 51,5% pada skizofrenia dan 18,2% pada kontrol (Omar et al., 2015). Tingginya seroprevalensi toksoplasmosis pada penderita skizofrenia di beberapa Negara tersebut dan tingginya seroprevalensi toksoplasmosis di Daerah Istimewa Yogyakarta pada penelitian Sudjono (2010) yang mendasari perlunya dilakukan penelitian tentang seroprevalensi dan faktor risiko toksoplasmosis pada penderita skizofrenia di Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian antara lain:

1. Bagaimanakah prevalensi toksoplasmosis pada penderita skizofrenia?

2. Apa sajakah yang menjadi faktor risiko toksoplasmosis pada penderita skizofrenia?

(8)

C. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian serupa yang telah dilakukan sebelumnya antara lain:

1. Seropositif dan serointesitas antibodi Toxoplasma gondii dan DNA pada pasien skizofrenia (Omar et al, 2015). Penelitian ini merupakan penelitian prevalensi toksoplasmosis dengan melakukan uji ELISA untuk mengetahui keberadaan antibodi T. gondii (IgM dan IgG) dan real-time PCR untuk mengukur DNA. Perbedaan dengan penelitian Omar et al (2015) adalah pemeriksaan yang dilakukan hanya ELISA, antibodi yang diperiksa hanya IgG dan hubungan faktor risiko dengan seroprevalensi toksoplasmosis.

2. Seroprevalensi Toxoplasma gondii pada kasus skizofrenia di Rumah Sakit Kajang, Selangor, Malaysia (Juanah et al, 2013). Hal-hal yang menbedakan dengan penelitian Juanah et al(2013) adalah beberapa karakteristik untuk mengetahui faktor risiko toksoplasmosis berbeda disesuaikan dengan kondisi social budaya pada masyarakat di lokasi penelitian.

3. Survey Serologi Toxoplasma gondii pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa di Kota Sari, Iran (Daryani A, et al., 2010). Perbedaan dengan penelitian ini adalah pemeriksaan Antibodi meliputi Antibodi IgG anti-Toxoplasma gondii tanpa antibodi IgM, dan hubungan faktor risiko dengan seroprevalensi toksoplasmosis.

(9)

D. Manfaat Penelitian

1. Dinas Kesehatan

Sebagai bahan masukan yang dapat dipergunakan untuk perencanaan dan pencegahan Toksoplasmosis pada penderita Skizofrenia di Indonesia.

2. Bagi Masyarakat

Sebagai informasi mengenai beberapa faktor yang berperan dalam transmisi toksoplasmosis pada penderita skizofrenia dan masyarakat umum.

3. Bagi peneliti

Peneliti dapat memperoleh tambahan wawasan, pengetahuan dan pengalaman yang berarti terutama dalam memecahkan permasalahan infeksi T. gondii dan faktor-faktor risiko toksoplasmosis pada penderita skizofrenia.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

1. Untuk mengetahui prevalensi toksoplasmosis pada penderita skizofrenia 2. Untuk mengetahui apa saja faktor risiko pada populasi umum dibandingkan

dengan penderita skizofrenia yang berhubungan dengan kejadian toksoplasmosis.

(10)

Tujuan Khusus

1. Mengetahui hubungan jenis kelamin dengan seroprevalensi toksoplasmosis pada penderita skizofrenia.

2. Mengetahui hubungan umur dengan seroprevalensi toksoplasmosis pada penderita skizofrenia.

3. Mengetahui hubungan lama penyakit dengan seroprevalensi toksoplasmosis pada penderita skizofrenia.

4. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan seroprevalensi toksoplasmosis pada penderita skizofrenia.

5. Mengetahui hubungan kebiasaan konsumsi makanan (daging dan sayuran) dengan seroprevalensi toksoplasmosis pada penderita skizofrenia.

6. Mengetahui hubungan kebiasaan mandi dengan seroprevalensi toksoplasmosis pada penderita skizofrenia.

7. Mengetahui hubungan kebiasaan keluar rumah dengan seroprevalensi toksoplasmosis pada penderita skizofrenia.

8. Mengetahui hubungan kebiasaan kontak dengan daging mentah atau tanah dengan seroprevalensi i toksoplasmosis pada penderita skizofrenia.

9. Mengetahui hubungan sumber air dengan seroprevalensi toksoplasmosis pada penderita skizofrenia.

10. Mengetahui hubungan konsumsi air mentah dengan seroprevalensi toksoplasmosis pada penderita skizofrenia.

Referensi

Dokumen terkait

Mengapresiasi dan mengekspresikan karya seni rupa murni yang dikembangkan dari beragam unsur seni rupa Nusantara dan mancanegara. Mengapresiasi dan mengekspresikan karya seni

Mahasiswa diminta untuk menjelaskan istilah yang belum dimengerti pada skenario “masalah”, mencari masalah yang sebenarnya dari skenario, menganalisis masalah tersebut dengan

Dalam hal ini jumlah PPh pasal 21 yang terutang akan di tanggung oleh perusahaan atau pemberi kerja yang bersangkutan. Dari sisi pegawai, gaji yang diterima

Oleh karena itu, kepentingan nasional dari Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam dapat di artikan sebagai faktor penting untuk melaksanakan program Heart of Borneo sebagai

Orally Disintegrating Tablet (ODT) atau Fast Release Tablet adalah sediaan padat yang hancur secara cepat dalam mulut dan residunya mudah ditelan Telah dilakukan penelitian

(1) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola

2014 KPU Kabupaten/Kota KPU Kabupaten/Kota Ketua Ketua CATATAN : CATATAN : Total 268 Pemilih, Total 268 Pemilih, 132 Laki-laki, 132 Laki-laki, 136 Perempuan 136 Perempuan (RIZAL

Dari gambar 4.2 dan 4.3 dapat dilihat bahwa nilai kecepatan reaksi dengan menggunakan katalis HCl adalah -0,0762 hal ini dikarenakan nilai konversi pati yang relatif menurun