• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. EFEKTIFITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN LELANG LEBAK LEBUNG,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. EFEKTIFITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN LELANG LEBAK LEBUNG,"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

V. EFEKTIFITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN

“LELANG LEBAK LEBUNG”,

Efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” dalam hal ini dikemukakan dalam bentuk deskripsi yang mengemukakan bahwa kelembagaan tersebut berfungsi dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Efektifitas kelembagaan tersebut di identifikasi dan dianalisis berdasarkan 8 (delapan) prinsip penyusun kelembagaan menurut Ostrom (1999; 2008) yang kesemuanya jika terdapat dalam kinerja kelembagaan tersebut akan menggambarkan bahwa kelembagaan tersebut efektif dan melembaga dengan baik dalam masyarakat pemanfaat sumber daya perikanan yang dikelola.

Kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” dalam penelitian ini pada prinsipnya di identifikasi dan di analisis fungsinya berdasarkan dua periode pemerintahan yang diberlakukan dalam wilayah Sumatera Selatan, termasuk di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Masa pemerintahan yang pertama adalah masa pemerintahan Marga yaitu masa pemerintahan sebelum dibentuknya desa-desa di Sumatera Selatan dengan adanya pemberlakuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (yaitu sejak adanya pemerintahan Marga sekitar tahun 1830 hingga tahun 1982). Kemudian, masa pemerintahan kabupaten, yaitu masa pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung tersebut diserahkan oleh pemerintahan propinsi kepada pemerintah kabupaten (sejak tahun 1983 hingga tahun 2008). Pada masa pemerintahan kabupaten juga dilakukan analisis efektifitas pada wilayah pedesaan yang tidak dilelang dengan berdasarkan Peraturan Desa yang telah dibuat untuk tahun usaha penangkapan 2009 dan 2010.

5.1 Masa Pemerintahan Marga

Pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung di Sumatera Selatan (Sumsel), pertama kali ditetapkan pemerintahan Marga (Arsyad, 1982). Menurut Truman (2007) istilah Marga yang didapat dalam piagam-piagam Kesultanan Palembang Darusalam sekitar abad ke 18, berasal dari

(2)

bahasa Sankskerta yaitu "Varga" yang maknanya “serikat dusun-dusun” baik berdasarkan genealogis maupun territorial. Marga yang dibentuk oleh Kesultanan Palembang Darusalam merupakan gabungan dari beberapa (berkisar antara tiga atau lebih) kesumbayan yang berada diwilayah bersebelahan dalam kesatuan organisasi dibawah kepemimpinan seorang Pasirah. Pada masa kesultanan inilah pemerintahan Marga mulai dilembagakan menjadi pemerintahan terendah dibawah kesultanan Palembang Darusalam (Truman, 2007).

Dijelaskan lebih lanjut bahwa pemerintahan Marga merupakan susunan masyarakat yang berdasarkan atas adat dan hukum adat, serta mempunyai wilayah tertentu. Bahkan Marga hidup menurut adat yang berlaku sejak Marga itu mulai dibentuk jauh di waktu yang lampau dan adat menjiwai kehidupan warganya, masyarakat dan pemerintahnya (Truman, 2007). Selain itu masyarakatnya juga mempunyai ikatan lahir batin yang kuat, yang sejak awalnya telah memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (hak otonom).

Dilihat dari bentuk pemerintahannya, Marga merupakan komunitas asli atau yang kita sebut masyarakat adat yang berfungsi sebagai self governing community, yaitu sebuah kominitas sosio-kultural yang bisa mengatur diri sendiri. Mereka memiliki lembaga sendiri, perangkat hukum, dan acuan yang jelas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, serta tidak memiliki ketergantungan terhadap pihak luar, karena memang mereka bisa melakukan segala sesuatunya sendiri. Truman (2007) menjelaskan juga bahwa pemerintahan Marga juga memiliki ruang lingkup kewenangan, meliputi kewenangan perundangan, kewenangan pemerintahan/pelaksanaan, kewenangan peradilan dan kewenangan kepolisian.

Truman (2007) pada akhirnya menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan Marga dapat dipahami sebagai. Pertama, Marga adalah masyarakat hukum, berfungsi sebagai kesatuan wilayah pemerintahan terdepan ditingkat lokal; Kedua Marga, berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat; Ketiga, susunan pemerintahan Marga ditentukan oleh hukum adat melalui konstitusi/undang-undang Simbur Tjahaja (peraturan tertulis yang dibuat oleh Kesultanan Palembang Darusalam); Kempat, pemerintah Marga didampingi Dewan Marga membuat peraturan dalam rangka kewenangan menurut hukum

(3)

adat; dan Kelima, pemerintah Marga dalam menetapkan sanksi atas peraturan (Truman, 2007).

Dalam pemerintahan Marga aturan-aturan yang dipakai mengacu pada undang-undang Simbur Cahaya, begitu juga dalam pengaturan pemerintahannya. Pemerintahan Marga dalam undang-undang Simbur Cahaya terdiri dari beberapa dusun, sedangkan dusun terdiri dari beberapa kampung. Masing-masing unit sosial ini dipimpin oleh seorang Pasirah, Kerio dan Penggawa. Pembarab ialah kepala dusun (Kerio) dimana seorang pasirah tinggal. Seorang Pembarab mempunyai kekuasaan untuk menggantikan seorang Pasirah apabila Pasirah berhalangan hadir dalam suatu acara/kegiatan. Pasirah dan Kerio dibantu oleh Penghulu dan Ketib dalam penanganan urusan religius atau keagamaan. Kemit Marga dan Kemit dusun ditugaskan untuk mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan urusan keamanan.

Pada masa pemeritahan kolonial Belanda kemudian dibuatkan Inlandsche Gemeente Ordonantie voor Palembang (IGOP) tahun 1919 yang diganti pula dengan Staadblad Hindia Belanda No. 490 Tahun 1938 (Arsyad, 1982). Kemudian, setelah ada pengarahan dari pemerintah pusat kepada daerah Sumatera Selatan, maka dikeluarkan Peraturan Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Selatan No. 8/Perdass/1973/1974 tgl. 14 Juli 1974 Tentang Lelang Lebak Lebung yang mengatur keseragaman peraturan tata cara lelang perairan di Propinsi Sumatera Selatan. Kemudian disempurnakan melalui Perda Prop. Sumsel No. 6 Tahun 1978 tentang perubahan pengaturan lelang lebak lebung. Dalam hal ini, peraturan daerah tingkat propinsi tersebut tetap memberikan kewenangan kepada pemerintahan marga untuk melaksanakan pengaturan lelang lebak lebung di wilayah Sumatera Selatan.

Pengelolaan sumber daya perikanan ”lelang lebak lebung” pada masa pemerintahan marga dapat dikemukakan bahwa penanggung jawab dan pengawas serta pelaksana lelang berada di satu komando yaitu ditangani secara langsung oleh Pasirah (Kepala Marga). Keberadaan pengorganisasian hak kepemilikan yang dilakukan oleh Pasirah diakui oleh masyarakat dalam wilayah Marga yang bersangkutan yang kesemuanya dapat dikategorikan sebagai pengguna dan kelembagaannya tidak dapat dikuasai atau dicampurtangani oleh pemerintah,

(4)

karena pemerintahan Marga ini bersifat otonom. Asal usul terbentuknya kelembagaan marga yang dalam hal ini termasuk mengatur hak kepemilikan sumber daya (lahan atau perairan) atau pengaturan pemanfaatan sumber daya perikanan di perairan lebak lebung. Proses pemilihan Pasirah sebagai Kepala Marga adalah hasil pemilihan masyarakat dalam wilayah marga tersebut.

Peserta pelelangan hanya dapat diiukti oleh penduduk yang bermukim di dalam wilayah Marga yang bersangkutan yang luasnya diperkirakan berkisar antara 2-4 desa saat ini. Mereka yang menjadi peserta lelang tidak perlu mendaftarkan diri untuk mendapatkan hak dalam melakukan penawaran (penawar lelang). Masyarakat umumnya memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap tempat dimana seharusnya mereka dapat melaksanakan penangkapan ikan dan alat tangkap apa saja yang harus digunakan.

Pemenang lelang disebut sebagai pengemin yaitu penawar lelang yang memberikan penawaran tertinggi dan mampu membayar harganya secara tunai, yang dinyatakan sebagai pemenang lelang oleh Pasirah. Dalam hal ini, secara operasional berlaku untuk semua individu anggota masyarakat, sehingga partisipasinya dalam pelaksanaan pengaturan diharapkan dapat berlaku sama untuk semua individu. Nama-nama objek lelang tersebut tidak berubah pada setiap tahunnya dan harganya ditetapkan berdasarkan penawaran pertama yang dilakukan oleh masyarakat, bukan ditetapkan oleh Pasirah. Sementara, pembayaran dilakukan dengan cara tunai segera setelah peserta lelang memenangkan pelelangan. Hak pengemin secara umum adalah mengambil seluruh ikan dan orang lain terutama penduduk yang berada di dalam wilayah marga yang sama masih memiliki hak untuk menangkap ikan untuk keperluan makan sehari-hari. Sementara kewajiban para pihak pemenang lelang antara lain adalah menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan perairan dan larangan penggunaan alat tangkap yang telah dilarang menurut peraturan yang berlaku.

Pelaksanaan lelang dilakukan secara langsung dimuka umum dengan sistem penawaran naik-naik dan tidak menerima penawaran tertulis. Lelang dilakukan setahun sekali, yang jadwal waktunya ditetapkan oleh panitia lelang melalui surat pengumuman resmi kepada khalayak ramai. Masa lelang berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun yang

(5)

bersangkutan. Peraturan tata cara lelang perairan di Prop. Sumsel yang tetap memberikan kewenangan kepada pemerintahan Marga untuk melaksanakan lelang lebak lebung adalah Perda Propinsi Sumatera Selatan No. 6 Tahun 1978 tentang Perubahan Pengaturan Lelang Lebak Lebung.

5.2 Masa Pemerintahan Kabupaten

Awal perubahan sistem pemerintahan sistem Marga kepada sistem Desa adalah adanya sentralisasi sistem pemerintahan di Indonesia. Sentralisasi tersebut terjadi dengan dikumandangkannya Undang-Undang Republik Indonesia No.5 tahun 1979 yang terkait dengan Pemerintahan Desa yang mengharuskan pembentukan desa-desa di seluruh wilayah Indonesia, maka di Kabupaten Ogan Komering Ilir - Sumatera Selatan selesai penataannya pada tahun 1982. Bersamaan dengan perubahan pembatasan wilayah kesatuan masyarakat terkecil di wilayah Sumatera Selatan, ketetapan pengelolaan lelang lebak lebung yang didasarkan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Selatan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten. Pelimpahan wewenang ini dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan No.705 /KPTS/II/1982 tanggal 5 Nopember 1982. Surat Keputusan ini hampir sama isinya dengan Perda Sumsel yang berlaku pada masa pemerintahan Marga. Perbedaan mendasar terdapat pada pembagian hasil lelang, yang dalam hal ini sebesar 70% nilai hasil lelang perairan menjadi penerimaan pembangunan dalam APBD Kabupaten sebagai Pendapatan Asli Daerah dari sub-sektor perikanan. Disamping itu panitia lelang bukan lagi Pasirah tetapi diganti dengan Camat yang pada saat itu merupakan Kepala Wilayah Kecamatan dan panitia pengawas adalah Bupati.

Pada prinsipnya Perda lelang perairan ini bertujuan mengatur nelayan dalam melaksanakan penangkapan ikan di perairan lebak lebung (Nasution, 1990). Disamping juga bertujuan mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal lain yang menjadi pertimbangan pengaturan ini adalah agar tidak terjadi konflik diantara nelayan dalam melaksanakan penangkapan ikan. Perda tersebut pada setiap tahunnya ada aturan tambahan yang berfungsi melengkapi Perda tersebut. Aturan tambahan ini berupa SK Bupati atau Surat Bupati sebagai pimpinan wilayah kabupaten.

(6)

Penanggung jawab dan panitia pengawas lelang adalah Bupati OKI yang ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Bupati OKI. Sementara, panitia pelaksana lelang ditetapkan berdasarkan SK Bupati dengan susunan panitia yang dipimpin oleh Camat. Anggota lainnya adalah sekretris dan anggota yang terdiri atas Kepala Desa dan perwakilan dari masyarakat yang ditunjuk oleh Ketua Panitia Pelaksana Lelang yaitu Camat.

Peserta lelang adalah orang atau badan hukum yang telah terdaftar pada panitia dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam pasal lainnya disebutkan pula syarat lain bagi peserta yaitu berdomisili dalam wilayah OKI sekurang-kurangnya 6 bulan. Siapa saja dapat menjadi peserta lelang dengan syarat mendaftar pada panitia lelang dan penduduk OKI. Untuk menjadi penawar dalam pelelangan maka peserta lelang tersebut harus membayar uang pendaftaran yang sebelumnya telah ditetapkan oleh panitia pelaksana lelang.

Pemenang lelang merupakan penawar lelang yang memberikan penawaran tertinggi dan mampu membayar harganya secara tunai, dan dinyatakan sebagai pemenang lelang oleh panitia lelang. Penetapan perairan umum lebak lebung yang menjadi objek lelang, yang berupa nama-nama objek lelang pada setiap tahunnya berubah-ubah dan harganya ditetapkan oleh Bupati. Perubahan nama dan harga objek lelang ini dilakukan melalui usulan yang disampaikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

Pelaksanaan lelang dilakukan secara langsung dimuka umum dengan sistem penawaran naik-naik dan tidak menerima penawaran tertulis. Lelang dilakukan setahun sekali, yang jadwal waktunya ditetapkan oleh panitia lelang melalui surat pengumuman resmi kepada khalayak ramai. Masa lelang berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun yang bersangkutan. Harga stándar atau harga pertama objek lelang ditetapkan oleh panitia lelang sedangkan pembayaran dilakukan dengan cara tunai segera setelah peserta lelang memenangkan pelelangan.

Hak pemenang lelang secara umum adalah mengambil seluruh ikan dan orang lain tidak memiliki hak apapun tanpa izin dari pengemin. Di lain pihak, kewajiban pemenang lelang adalah melaporkan kegiatan dan hasil usaha lelang

(7)

dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Panitia Lelang. Kemudian, menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan perairan dan larangan penggunaan alat tangkap yang telah dilarang menurut Undang-Undang. Sebagai anggota masyarakat, nelayan yang akan melaksanakan usaha penangkapan ikan pada prinsipnya harus mengikuti proses pelelangan yang diadakan oleh pemerintah, melalui Panitia Pelaksana Lelang yang berada pada tingkat kecamatan. Untuk wilayah penelitian ini, masyarakat Desa Berkat harus mengikuti pelaksanaan pelelangan yang diadakan pada kantor Kecamatan Sirah Pulau Padang. Pelelangan tersebut dilakukan setiap tahun sekitar bulan November atau Desember untuk masa usaha penangkapan ikan pada tahun berikutnya.

Pelelangan dilaksanakan dengan cara penawaran meningkat dengan harga standar yang ditetapkan oleh panitia lelang. Penetapan harga standar ini merupakan kewenangan Bupati Kabupaten Ogan Komering Ilir yang ditetapkan setiap tahunnya atas usulan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Ogan Komering Ilir (Kab. OKI). Bagi nelayan yang memenangkan pelelangan, maka diharuskan membayar secara tunai pada saat pemenang lelang ditetapkan oleh juru lelang.

Berdasarkan batasan-batasan yang dikemukakan dalam peraturan daerah, yang dimaksud dengan Panitia Lelang adalah suatu kepanitiaan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Lelang Lebak Lebung. Pengawas Lelang adalah suatu unit dari Panitia Lelang yang bertindak sebagai pejabat pengawas pelaksanaan lelang lebak lebung, Pelaksana Lelang adalah suatu unit / sub unit dari Panitia Lelang yang bertanggungjawab atas pelaksanaan lelang.

Peninjau Lelang adalah Perorangan atau Lembaga atau Badan Hukum yang secara sukarela ikut dalam pengawasan pelaksanaan lelang. Peserta Lelang adalah Perorangan atau Kopersi yang terdaftar pada Pelaksana Lelang sebagai calon pengemin yang berminat untuk menawar/melelang 1 (satu) atau lebih objek lelang. Dalam proses pelelangan, dimulai dengan pengarahan dari pejabat (berasal dari Panitia Lelang) yang bermakna bahwa “proses pelelangan yang diadakan merupakan mekanisme yang dilakukan untuk mendapatkan hak usaha penangkapan ikan pada suatu objek lelang”.

(8)

Objek lelang adalah bagian perairan umum lebak lebung dengan batas-batas menggunakan ciri-ciri alam yang terdapat di sekitarnya, seperti pohon-pohon tanaman tahunan dan alur sungai, yang ditetapkan sejak pemerintahan Marga dan tidak dirubah oleh pemerintahan kabupaten. Masa penguasaan hak usaha penangkapan ikan di perairan umum lebak lebung yang dilelang tersebut adalah sama yaitu satu tahun yang dimulai pada bulan 1 Januari hingga 31 Desember tahun berikutnya.

Setelah adanya pengarahan tersebut, maka proses pelelangan dimulai oleh juru lelang (salah satu dari panitia lelang) dengan cara menawarkan harga standar objek lelang yang telah ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Bupati. Kecamatan Sirah Pulau Padang merupakan kecamatan yang didalamnya terdapat desa Berkat. Bagi peserta yang berminat secara langsung menawar naik harga yang ditetapkan hingga akhirnya ada pemenang.

Pengemin yang ada di desa Berkat hanya satu orang, karena objek lelang yang ada di desa ini hanya satu yaitu Lebak Lebung Mentate III. Dengan demikian, nelayan atau anggota masyarakat lainnya yang ingin melaksanakan usaha penangkapan ikan pada perairan lebak lebung yang ada di desa Berkat tersebut harus mendapatkan hak usaha dari pengemin dengan cara sewa secara individu. Anggota masyarakat atau nelayan yang menyewa perairan untuk melaksanakan usaha penangkapan ikan disebut “bekarang”. Lama waktu penguasaan hak usaha tersebut sesuai dengan perjanjian hasil mufakat antara nelayan dan pengemin.

Bagi sebagian nelayan ada yang hanya menyewa pada saat air berada di perairan lebak atau perairan lebak dan sungainya. Bagi nelayan yang yang hanya menyewa pada perairan lebak atau lebak dan sungainya, penggunaan alat tangkap ditetapkan oleh pihak pengemin. Kemudian, ikan hasil tangkapan nelayan penangkap juga harus dijual kepada pihak pengemin dengan harga yang ditentukan oleh pengemin. Terkait dengan pengadaan alat tangkap dan perahu serta sarana penangkapan lainnya dapat saja diadakan oleh nelayan sendiri atau diadakan oleh pihak pengemin. Lama waktu pengusahaan penangkapan ikan di perairan lebak dan sungainya berkisar antara 8 – 9 bulan yang berlangsung sekitar bulan Maret hingga Nopember. Sementara untuk nelayan yang menyewa perairan

(9)

lebak penangkapan ikan hanya berlangsung sekitar 5-6 bulan atau berkisar bulan Maret hingga Juli. Di perairan lebak, biasanya dalam bulan Juni atau Juli masyarakat petani sudah mulai mengolah tanah untuk menanam padi di sawah lebak.

Perairan lebung merupakan hak bersama antara pengemin dan pemilik sawah dimana lebung tersebut berada. Jika pengemin ingin mendapatkan ikan hasil tangkapan pada perairan lebung, maka harus membayar separuh harga yang ditetapkan secara bersama oleh kedua belah pihak. Begitu pula sebaliknya jika pemilik sawah yang menginginkan untuk mendapatkan ikan hasil tangkapan di perairan lebung tersebut. Setelah dicapai kesepakatan diantara pengemin dan pemilik sawah terkait dengan nilai yang diperkirakan terkandung di dalam lebung, maka pihak yang membayar dapat saja mengalihkan hak penangkapan ikan di perairan lebung tersebut kepada pihak lainnya (jika ada yang berminat).

Bagi nelayan atau anggota masyarakat yang memenangkan pelelangan berhak melaksanakan usaha penangkapan ikan dengan cara dan alat tangkap apapun, sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-perundangan yang berlaku. Pengemin dalam prakteknya tidak menangkap sendiri ikan yang ada dalam satu wilayah objek lelang tersebut, melainkan juga menyewakannya kepada seseorang atau sekelompok nelayan lainnya. Pengemin dalam hal ini berhak mengatur alat dan cara penangkapan yang harus diikuti oleh nelayan penyewa.

Untuk wilayah penelitian ini, di Desa Berkat terdapat satu orang pengemin yang mengatur hak penangkapan ikan yang dilakukan oleh seluruh nelayan penyewa di seluruh bagian perairan. Hak nelayan penyewa adalah menangkap ikan sesuai dengan alat tangkap dan cara penangkapan ikan yang disetujui pada saat mengutarakan maksud menyewa perairan terhadap pengemin. Pembayaran sewa perairan oleh nelayan penyewa dapat saja dibayar tunai atau dengan cara berhutang yang selanjutnya dibayar dengan cara memperhitungkan nilai ikan hasil tangkapannya. Bagi nelayan yang membayar secara tunai dan membeli alat tangkap dengan modal sendiri, ikan hasil tangkapannya bebas untuk dijual kepada pedagang ikan manapun juga, tidak pada pengemin. Sebaliknya bagi penyewa yang berhutang, maka ikan hasil tangkapannya harus dijual kepada pengemin, dengan harga yang ditentukan pengemin.

(10)

Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan diketahui bahwa tidak ada penegakan aturan yang dilakukan oleh petugas pemerintah pada tingkat perairan lebak lebung dan sungainya, yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan serta pengendalian lingkungan perairan umum. Dengan demikian, penegakan aturan terhadap pengemin tidak ada pelaksanaannya pada tingkat perairan umum. Sementara, penegakan aturan yang ada hanya dilakukan oleh nelayan pengemin terhadap nelayan-nelayan yang menangkap ikan secara perorangan (nelayan bekarang). Penegakan aturan dilakukan baik terhadap jenis alat tangkap yang harus digunakan, ukuran mata jaring, jumlah unit alat tangkap yang dioperasikan, kemana ikan harus dijual, dan perjanjian lainnya sesuai dengan kesepakatan antara nelayan pengemin dan nelayan bekarang pada saat kegiatan penangkapan ikan akan dimulai. Pengemin dan nelayan yang menangkap ikan secara perorangan baik pada saat wawancara maupun FGD secara umum menyatakan bahwa;

“tidak ada penegakan aturan yang dilakukan oleh petugas pemerintah pada tingkat perairan lebak lebung dan sungainya di wilayah perairan umum lebak lebung di desa Berkat ini”.

5.3 EfektifitasKelembagaan Pengelolaan Sumber daya Perikanan

Sebelum melangkah ke tingkat efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung”, pada bagian awal ini diperlihatkan perbedaan-perbedaan pengaturan yang menjadi dasar pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum pada dua periode pemerintahan yang dikaji (Tabel 12).

(11)

Tabel 12. Pokok Pengaturan Pengelolaan Sumber daya Perikanan Perairan Umum Lebak Lebung Berdasarkan Masa Pemerintahan Marga dan Kabupaten. Komponen

Sistem

Masa Pemerintahan Marga (hingga tahun 1982)

Masa Pemerintahan Kabupaten (1983-2008)

Penanggung Jawab Lelang

Pasirah (Kepala Marga). Bupati Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Pengawas

Lelang

Pasirah (Kepala Marga). Suatu Kepanitiaan yang Ktuanya adalah Bupati OKI melalui Surat Keputusan yang ditetapkan oleh Bupati.

Pelaksana Lelang

Pasirah (Kepala Marga). Berdasarkan SK Bupati dengan susunan panitia tertentu dengan Ketua Panitia Pelaksana adalah Camat (Kepala Wilayah Kecamatan).

Peserta Hanya penduduk yang bermukim di dalam wilayah Marga

(diperkirakan seluas 2 hingga 4 kali wilayah desa saat ini) dan tidak perlu mendaftarkan diri dan tidak ada biaya pendaftaran.

Orang atau badan hukum yang telah terdaftar pada panitia dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam pasal lainnya disebutkan syarat lain bagi peserta yaitu berdomisili dalam wilayah OKI minimal 6 bulan. Untuk menjadi peserta lelang peserta harus membayar uang pendaftaran. Pemenang

Lelang

Pengemin adalah penawar lelang yang memberikan penawaran tertinggi dan mampu membayar harganya, dinyatakan sebagai pemenang lelang oleh juru lelang dan disetujui oleh Pasirah.

Pengemin adalah penawar lelang yang memberikan penawaran tertinggi dan mampu membayar harganya, dinyatakan sebagai pemenang lelang oleh juru lelang dalam susunan panitia pelaksana lelang.

Penetapan objek lelang

Nama-nama objek lelang tidak berubah pada setiap tahunnya dan harganya ditetapkan oleh Pasirah dengan pertimbangan dari Kepala Dusun/Kerio.

Nama-nama objek lelang pada setiap tahunnya berubah dan harganya ditetapkan oleh Bupati (diajukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. OKI). Objek lelang ada yang dibagi menjadi beberapa objek lelang, padahal semula hanya satu objek lelang. Pelaksanaan

Lelang

Dilakukan secara langsung dimuka umum dengan sistem penawaran naik-naik dan tidak menerima penawaran tertulis. Lelang dilakukan setahun sekali, yang jadwal waktunya ditetapkan oleh panitia lelang melalui surat pengumuman resmi kepada khalayak ramai. Masa lelang berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

Dilakukan secara langsung dimuka umum dengan sistem penawaran naik-naik dan tidak menerima penawaran tertulis. Lelang dilakukan setahun sekali, yang jadwal waktunya ditetapkan oleh panitia lelang melalui surat pengumuman resmi kepada khalayak ramai. Masa lelang berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

(12)

Lanjutan Tabel 12. Komponen

Sistem

Masa Pemerintahan Marga (hingga tahun 1982) Masa Pemerintahan Kabupaten (1983-2008) Cara Pembayaran dan Harga Standar Perairan

Harga pertama ditetapkan oleh panitia lelang sesuai dengan ketetapan Pasirah, sedangkan pembayaran dilakukan dengan cara tunai segera setelah peserta lelang memenangkan pelelangan.

Harga pertama ditetapkan oleh panitia lelang (boleh sesuai atau lebih tinggi dari harga estándar Bupati), sedangkan pembayaran dilakukan dengan cara tunai segera setelah peserta lelang memenangkan pelelangan. Harga estándar perairan selalu meningkat 10% sejak tahun 1990-an.

Hak Pemenang Lelang

Hak pengemin secara umum adalah mengambil seluruh ikan dan orang lain masih memiliki hak untuk menangkap ikan keperluan makan sehari-hari.

Hak pengemin secara umum adalah mengambil seluruh ikan dan orang lain tidak memiliki hak apapun tanpa izin dari pengemin, meskipun untuk keperluan makan sehari-hari. Kewajiban

Pemenang Lelang

Menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan perairan dan larangan penggunaan alat tangkap yang telah dilarang menurut Undang-Undang.

Melaporkan kegiatan dan hasil usaha lelang dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Panitia Lelang. Kemudian, menjaga kebersihan dan

kelestarian lingkungan perairan dan larangan penggunaan alat tangkap yang telah dilarang menurut Undang-Undang. Tidak banyak bagian perairan

yang diperjual-belikan dalam menangkap ikannya.

Lebih banyak bagian perairan yang diperjual-belikan dalam menangkap ikannya. Bahkan pemenang lelang hanya berfungsi sebagai pedagang pengumpul ikan hasil tangkapan nelayan di wilayahnya.

Sumber: Data Primer (2009).

Berdasarkan Tabel 12 dapat dikemukakan bahwa banyak terdapat perbedaan pokok pengaturan “lelang lebak lebung” antar dua periode pemerintahan yang dikaji. Perbedaan tersebut dimulai dengan banyaknya campur tangan pejabat administratif (kepala wilayah pedesaan, kecamatan, hingga bupati)

(13)

pada masa pemerintahan kabupaten, dibandingkan pada masa Marga hanya dilakukan oleh seorang Kepala Marga (Pasirah). Dalam hal ini terdapat perbedaan antara Panitia Pelaksana dan Pengawas serta Penanggung Jawab Lelang. Terlihat bahwa secara politis akan meningkatkan biaya transaksi bagi masyarakat yang akan mengikuti pelelangan untuk mendapatkan hak usaha penangkapan ikan. Dalam hal ini, Buapti dan Panitia Pengawas serta Ketua Panitia Pelaksana Pelelengan bukan merupakan orang yang mengetahui kondisi sumber daya perikanan, sehingga terjadi beberapa kesalahan dalam pengambilan keputusan untuk melaksanakan pelelangan secara local di tingkat kecamatan.

Perbedaan juga terdapat tentang harga standar perairan, panitia lelang yang menetapkan harga standar objek lelang adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. OKI selaku anggota pengawas lelang dengan cara meningkatkan harga perairan 10% setiap tahunnya, yang di masa Marga tidak terjadi demikian. Hal ini diberlakukan sejak tahun 1992 dan ini memperlihatkan orientasinya terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selanjutnya perairan yang tidak terjual pada saat lelang diatur dengan Surat Bupati (sebagai aturan tambahan Perda) yang ditujukan kepada seluruh Camat Kabupaten OKI yang kutipannya sebagai berikut;

“Untuk objek lelang yang tidak laku pada waktu pelaksanaan lelang, maka bagi masyarakat nelayan yang berminat dapat mengajukan permohonan tertulis pada Bupati OKI cq. Sekretariat Lelang Kabupaten OKI dengan mencantumkan besarnya kemampuan pemohon terhadap objek yang diinginkan ditambah restribusi ikan sebesar 15% dari harga yang dimohon”.

Adapula;

“Terhadap objek yang tidak terjual/tidak ada peminatnya sama sekali maka ikannya dilarang untuk ditangkap oleh masyarakat guna dijadikan objek perlindungan ikan dan kelestarian sumber perikanan.”

Lelang perairan umum ditujukan untuk umum, tidak terbatas pada nelayan yang benar-benar memenuhi kriteria sebagai nelayan yaitu mereka yang mata pencaharian utama adalah nelayan. Oleh karena itu, hak usaha penangkapan ikan

(14)

pada beberapa perairan di Kabupaten Ogan Komering Ilir didapatkan oleh pedagang / pemilik modal, yang tidak berprofesi sebagai nelayan sama sekali. Salah satu penyebab terjadinya pembelian lisensi oleh pemilik modal adalah adanya syarat bahwa penawar lelang harus mempunyai uang tunai, sedangkan nelayan sebagian besar tidak mempunyai modal. Pemilik modal ini tidak pernah langsung mengadakan penangkapan ikan, melainkan hanya mencari keuntungan dengan memperdagangkan surat lelang ini kepada para nelayan penggarap. Surat lelang ini mereka jual kepada nelayan penggarap dengan harga yang relatif tinggi, jika dibandingkan dengan harga hasil lelang lebak lebung. Penjualan hak usaha penangkapan ikan kepada nelayan penggarap disertai dengan perjanjian yang mengikat misalnya bahan makanan dan peralatan selama mengadakan penangkapan harus dibeli dari penjual surat lelang yang pembayarannya berupa ikan hasil tangkapan. Kemudian ikan hasil tangkapan nelayan harus dijual kepada penjual surat lelang dengan harga yang ditentukan oleh pedagang.

Tingginya biaya penangkapan berpengaruh pada tanggung jawab nelayan dalam menjaga kelestarian sumber daya perikanan. Mereka selalu berusaha menangkap ikan sebanyak mungkin dengan tujuan untuk mengembalikan keseluruhan biaya yang mereka keluarkan baik untuk menyewa perairan maupun untuk mengadakan peralatan penangkapan. Smith (1987) bahwa biaya penangkapan ikan yang harus dipikul nelayan harus dikurangi. Disamping itu, mengingat perikanan perairan umum adalah milik bersama maka para nelayan tidak akan mau mengorbankan tangkapan sekarang untuk maslahat di kemudian hari, karena mereka tidak yakin bahwa maslahat itu akan mereka peroleh sendiri (Scott, 1987).

Suatu hal yang cukup penting lainnya terkait dengan pembagian hasil lelang yang dinyatakan bahwa ”nilai yang diperuntukkan bagi usaha pembinaan bagi Dinas Perikanan adalah relatif kecil yaitu setinggi-tingginya 5% termasuk biaya operasional penanggung jawab dan pengawas lelang. Nilai ini kurang memadai jika dibandingkan dengan nilai uang yang dihasilkan oleh pelelangan sumber daya perikanan tersebut dan luasnya perairan umum yang perlu dibina dan perlu dipelihara (rehabilitasi). Dana 5% tersebut digunakan untuk pengawasan pelaksanaan peraturan di lapangan, rehabilitasi perairan, pengadaan

(15)

sarana dan prasarana Dinas Perikanan guna menunjang upaya pembangunan perikanan terutama di perairan yang dilelangkan.

Lebih lanjut, berdasarkan perbedaan yang dikemukakan dalam Tabel 12, maka diidentifikasi pula kinerja kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” yang didasarkan pada 8 (delapan) prinsip yang dikemukakan oleh Ostrom (1999; 2008), yaitu prinsip batas untuk penentuan kepemilikan, distribusi manfaat terkait dengan pembiayaan; pengaturan pilihan kolektif; keberadaan kegiatan yang memonitor kondisi sumber daya; penerapan sanksi, mekanisme penyelesaian konflik dan pengorganisasian hak kepemilikan serta jaringan usaha (Tabel 13).

Tabel 13. EfektifitasKelembagaan Pengelolaan Sumber daya Perikanan Perairan Umum Lebak Lebung yang dibedakan Berdasarkan Komponen Analisis pada Masa Pemerintahan Marga dan Kabupaten.

Komponen Analisis

Masa Pemerintahan Marga (hingga tahun

1982) Masa Pemerintahan Kabupaten (1983-2008) Prinsip batas yang dapat ditentukan dengan jelas untuk dapat menentukan kepemilikan; Pengaturan pelelangan hanya berlaku dalam

wilayah yang kecil (Marga), sehingga masyarakatnya dapat diidentifikasi dan diatur dengan jelas dalam operasionalnya di perairan. Termasuk didalamnya kejelasan yang terkait dengan batas-batas objek lelang secara fisik

ditentukan oleh Pasirah dan Kerio bersama masyarakat dengan pedoman ciri-ciri alam dan batas lahan atau tanah seseorang.

Pengaturan pelelangan diberlakukan dalam wilayah yang lebih besar (Kabupaten atau setara 15-20 Marga), sehingga masyarakatnya tidak dapat diidentifikasi dan tidak dapat diatur dengan jelas dalam operasionalnya di perairan di seluruh wilayah kabupaten yang sangat banyak dan beragam kondisi objek

lelangnya. Kemudian, terdapat ketidaktahuan terhadap

kejelasan batas-batas objek lelang secara fisik ditentukan di lapangan baik bagi pelaksana lelang maupun pengawas / penanggung jawab lelang. Sumber: Data Primer Diolah (2009).

(16)

Lanjutan Tabel 13. Komponen

Analisis

Masa Pemerintahan Marga (hingga tahun

1982) Masa Pemerintahan Kabupaten (1983-2008) Distribusi manfaat dari aturan yang tepatguna proporsional dengan pembiayaannya; Pengaturan penangkapan ikan, termasuk teknologi dan kuantitas sumber daya disesuaikan dengan kondisi lokal dalam wilayah Marga. Dalam hal ini, manfaat secara umum didapatkan oleh masyarakat dalam satu wilayah Marga, utamanya nelayan dan pedagang.

Pengaturan penangkapan ikan, termasuk teknologi dan

kuantitas sumber daya disesuaikan dengan kemauan pemenang lelang yang kebanyakan bukan nelayan, sehingga terjadi penjualan bagian dari objek lelang kepada banyak orang dan tidak terbatas pada nelayan lokal. Dalam hal ini, manfaat terbesar didapatkan oleh pedagang yang memiliki modal dan tidak berprofesi sebagai nelayan. Nelayan lebih berfungsi sebagai penangkap ikan bagi pemilik modal pemenang lelang. Pengaturan pilihan-kolektif (hampir semua individu dipengaruhi oleh aturan operasional);

Semua anggota masyarakat dalam satu wilayah Marga mendapatkan perlakuan yang sama dalam

pengaturan oleh pemerintah Marga dan ada rasa

memiliki terhadap sumber daya perikanan pada perairan umum yang mereka fungsikan sebagai usaha penangkapan ikan.

Anggota masyarakat nelayan secara langsung diatur oleh pengemin dan tidak ada

partisipasinya dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya perikanan. Pengemin dalam hal ini lebih berorientasi kepada upaya pengembalian modal yang dikeluarkan dalam pelelangan. Monitoring kondisi sumber daya dan perilaku penggunanya yang akuntabel;

Kepala dusun dan sesama masyarakat nelayan

berfungsi sebagai pengawas dalam pemanfaatan sumber daya perikanan lebak lebung.

Nelayan pengemin dan anggota kelompoknya berfungsi sebagai pengawas dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya perikanan yang

dikuasainya. Tidak ada kegiatan yang sifatnya memonitor

kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan maupun pengemin. Sumber: Data Primer Diolah (2009).

(17)

Lanjutan Tabel 13. Komponen

Analisis

Masa Pemerintahan Marga (hingga tahun

1982) Masa Pemerintahan Kabupaten (1983-2008) Pemberian sanksi kepada pengguna yang melanggar aturan sesuai dengan tingkatan kesalahan;

Pasirah dan Kepala Dusun secara langsung sebagai pemberi sanksi bertahap bagi pelanggar aturan sesuai dengan tingkatan kesalahan yang dilakukan masyarakat nelayan;

Tidak ada sanksi bagi pelanggar aturan pada tingkat nelayan maupun pada tingkat pengemin; Penerapan pemberian sanksi hanya ada diberlakukan oleh pengemin terhadap nelayan perorangan yang menyewa untuk menangkap ikan. Mekanisme

penyelesaian konflik yang dapat diakses secara cepat, biaya rendah dan tersedia secara lokal;

Tersedia mekanisme penyelesaian konflik yang dibuat oleh pemerintah Marga, sehingga tersedia secara lokal dan dapat diakses secara cepat oleh masyarakat nelayan. Penegak aturan dalam hal ini adalah Kepala Dusun dan Pasirah (Kepala Marga) yang tersedia secara lokal.

Mekanisme penyelesaian konflik yang dibuat oleh pemerintah hanya didasarkan pada pengaturan formal oleh pejabat yang berwenang yang didasarkan kepada hukum positif dan tidak tersedia secara lokal sehingga pelanggaran yang dilakukan masyarakat nelayan tidak ada sanksi. Pengorganisasian

hak kepemilikan yang diakui bagi para pengguna atau

kelembagaannya yang tidak dapat dikuasai atau dicampurtangani oleh pemerintah.

Pengorganisasian yang ada yang ditetapkan oleh pemerintah Marga secara otonom serta dipahami dan dimengerti oleh pengguna melalui kelembagaan secara formal maupun non formal.

Pengorganisasian yang ada tergolong terpusat pada tingkat kabupaten, sementara yang diatur adalah masyarakat nelayan pada tingkat pedesaan, sehingga terjadi peningkatan biaya transaksi, yang secara tidak langsung menjadi beban sumber daya perikanan. Jaringan usaha yang merupakan kegiatan pemerintah pada berbagai tingkatan usaha.

Tidak ada jaringan usaha dan Marga merupakan tingkatan administratif yang paling rendah terkait dalam operasional penangkapan ikan.

Tidak ada jaringan usaha meskipun kabupaten dan kecamatan bukan merupakan tingkatan administratif yang paling rendah dalam

operasional penangkapan ikan. Sumber: Data Primer Diolah (2009).

Berdasarkan Tabel 13 dapat dikemukakan bahwa kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung di masa pemerintahan Marga ditinjau dari 8 (delapan) komponen yang merujuk kepada

(18)

keberlanjutan kelembagaan masih berada pada kondisi yang efektif jika dibandingkan dengan kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa pemerintahan kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa pemerintahan Marga berfungsi sebagai wadah Pengaturan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Perubahan kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung”terlihat menjadi tidak efektif, terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL.

Beberapa prinsip yang tidak dapat dipenuhi guna efektifitas fungsi kelembagaan pada masa pemerintahan kabupaten antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan prinsip batas yang dapat ditentukan dengan jelas untuk dapat menentukan kepemilikan sebagai akibat luasnya wilayah pengaturan pelelangan, termasuk tidak dikenalnya batas-batas sumber daya secara fisik di lapangan oleh masyarakat pengguna dan pengelola sumber daya; Kemudian, distribusi manfaat dari aturan yang tepatguna proporsional dengan pembiayaannya tidak dapat terpenuhi sebagai akibat keinginan pengemin yang cenderung menguras sumber daya sebanyak-banyaknya guna meraih keuntungan yang setinggi-tingginya;

Di lain pihak, pengaturan pilihan kolektif hanya mengandalkan pengemin, tidak ada pengaturan yang dilaksanakan oleh pihak pemerintah sebagai akibat terbatasnya sumber daya untuk pengawasan dan tidak adanya sistem pengawasan yang berbasis masyarakat nelayan; Juga, tidak ada pula kegiatan monitoring kondisi sumber daya dan perilaku penggunanya yang berasal dari pihak yang akuntabel. Terkait dengan hal ini, tidak ada sanksi bagi pelanggar aturan sesuai dengan tingkatan kesalahan, serta tidak ada juga mekanisme penyelesaian konflik yang dapat diakses secara cepat, biaya rendah dan tersedia secara lokal. Dan akibat lebih lanjut adalah dalam pengorganisasian hak kepemilikan memerlukan biaya transaksi yang tinggi dan tidak ada jaringan usaha pada berbagai tingkatan usaha

Tambahan pula batas-batas perairan secara fisik tidak jelas bagi pemerintah kabupaten, hanya mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Marga, sehingga kondisi saat ini sudah berbeda dengan ciri-ciri alam

(19)

yang ditunjukkan pada masa pemerintahan marga. Hal ini menjadi pemicu konflik diantara nelayan pada saat melakukan penangkapan ikan di perbatasan. Hal ini terjadi di desa Berkat, nelayan luar desa yang berbatasan sering menangkap ikan di dalam wilayah desa Berkat di dekat batas, sehingga terjadi konflik antar nelayan. Kemudian, terkait dengan distribusi manfaat, lebih mengarah kepada proses terbentuknya sistem ekonomi kapitalis. Hal ini sebagai akibat kuatnya aturan dalam Perda Kabupaten yang mengatur peserta lelang perairan secara bebas, tidak dibatasi hanya nelayan. Dalam hal ini, seharusnya hanya masyarakat nelayan yang memiliki hak untuk menjadi peserta dan penawar lelang perairan dan terbatas pula hanya dalam kesatuan wilayah yang lebih kecil (misalnya pedesaan, bukan kabupaten). Penetapan peserta berdasarkan pemukiman di dalam wilayah kabupaten memberikan peluang kepada masyarakat luar wilayah perairan yang bersangkutan untuk mengelola dan memanfaatkan secara maksimal perairan yang dikuasainya.

Lebih lanjut, keterbatasan utama pemerintah kabupaten adalah tidak dapat melaksanakan kegiatan memonitor kondisi sumber daya dan perilaku masyarakat nelayan dalam memanfaatkan sumber daya perikanan PULL. Dalam hal ini, pemerintah kabupaten (baik sebagai pengawas lelang maupun sebagai pembina masyarakat nelayan) tidak memiliki cukup sarana, prasarana, dana dan petugas untuk melaksanakan fungsi monitoring tersebut. Akibat lebih lanjut adalah tidak adanya pemberian sanksi bagi pelanggar peraturan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL, meskipun tersedia mekanisme penyelesaian konflik yang didasarkan atas kewenangan pejabat tertentu dan pemberlakuan hukum positif. Akhirnya, dapat dimengerti dan dipelajari berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa pengorganisasian kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang diterapkan pemerintah kabupaten tidak efektif kaitannya dengan upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL.

Di sisi lain, pada tahun penangkapan ikan 2009 dan 2010 kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan pada PULL dibagi dua kategori yaitu ada yang dilelang dan ada perairan yang tidak dilelang. Prosedur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum yang dilelang pada prinsipnya

(20)

sama dengan yang berlaku pada periode 1983 hingga tahun 2008. Di lain pihak, pada perairan yang tidak dilelang diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah desa bersama masyarakat dan dalam hal ini pemerintah desa berkewajiban membuat Peraturan Desa (Perdes) dengan tetap berpedoman kepada Perda No. 9 Tahun 2008. Dengan dasar Perda Kab. OKI terbaru No. 9 Tahun 2008 (berlaku untuk tahun usaha penangkapan 2009), maka pemerintah desa Berkat membuat Perdes, yaitu Perdes No.1 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Sumber daya Perikanan PULL di Wilayah Desa Berkat (Lampiran 2).

Dalam membuat Perdes ini, pemerintah desa bekerjasama dengan masyarakat, terutama masyarakat nelayan dan pemangku kepentingan lainnya mempersiapkan secara bersama terhadap hal-hal yang terkait dengan pengelolaan sumber daya perikanan PULL di wilayah Desa Berkat ini. Berdasarkan telaah terhadap Peraturan Desa Berkat tersebut diketahui bahwa dalam Perdes tersebut telah dimasukkan prinsip-prinsip yang terkait dengan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum serta cara masyarakat nelayan untuk dapat mengakses sumber daya perikanan itu sendiri. Prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya perikanan tersebut, adalah sebagai berikut;

a) Maksud dan tujuan peraturan desa adalah untuk mengatur tata cara dan pelaksanaan pengelolaan serta pemanfaatan sumber daya di dalamnya dengan tujuan untuk tercapainya pemberdayaan ekonomi masyarakat desa dalam rangka penguatan otonomi dan peningkatan pendapatan desa.

b) Adanya penetapan sebagian sungai dalam wilayah desa tersebut yang tidak dilelang sebagai wilayah perairan Sungai Larangan, beserta batas-batasnya; yaitu dimulai dari ujung jalan setapak dekat lahan sawah yang merupakan milik Lisar sampai ke simpang empat jembatan besi dekat sawah milik Saiful Anwar.

c) Adanya penetapan larangan dalam kaitannya dengan sungai larangan, yaitu dilarang melakukan kegiatan yang dapat merusak kelestarian sumber daya ikan dan habitatnya; Kemudian, dilarang pula melakukan Penangkapan Ikan dengan menggunakan empang dan/atau arad, mengesar serta alat, bahan dan cara yang dilarang oleh Peraturan Perundang-undangan.

(21)

d) Adanya penetapan tata cara pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan di perairan umum rawa banjiran di desa Berkat, yaitu hanya dapat dimanfaatkan terhadap sumber daya ikan yang tidak dilarang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan di Lebak, Lebung dan Sungai yang tidak dilelang dilaksanakan desa dengan melindungi daerah/tempat Pemijahan (pengempasan) ikan pada saat musim ikan memijah (ngempas). Sementara tata cara pemanfaatan dan pengelolaan Sungai Larangan akan diatur tersendiri oleh Kepala Desa atas persetujuan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

e) Adanya penetapan tata cara penangkapan ikan, yaitu setiap orang dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan setelah mencatatkan kegiatannya kepada Pemerintah Desa dimana Lebak dan Lebung yang tidak dilelang terletak, kecuali pada perairan Sungai yang ditetapkan menjadi Sungai larangan.

f) Adanya penetapan bagi masyarakat desa yang ingin menangkap ikan hanya untuk keperluan makan sehari-hari dibebaskan dari pembayaran biaya administrasi.

g) Adanya penetapan yang terkait dengan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh desa.

h) Adanya penetapan yang terkait dengan perlindungan dan pelestarian sumber daya ikan di Lebak, Lebung dan Sungai yang tidak dilelang dilakukan dalam upaya tercapainya pemanfaatan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan untuk kesejahteraan Masyarakat Desa.

i) Adanya penetapan larangan umum bagi setiap orang di Lebak, Lebung dan Sungai yang tidak di lelang dilarang.

Hasil telaah terhadap isi dan kandungan makna aturan yang terdapat pada Peraturan Desa Berkat No. 1 Tahun 2009 dikaitkan dengan 8 (delapan) prinsip keberlanjutan kelembagaan yang dikemukakan oleh Ostrom (1990) dalam Ostrom (1999) dan Ostrom (2008), maka dapat dikemukakan bahwa pemenuhan kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

(22)

(1) Prinsip batas yang dapat ditentukan dengan jelas untuk dapat menentukan kepemilikan seseorang atau rumah tangga terhadap sumber daya; diatur dan ditetapkan berdasarkan kesepakatan seluruh unsure masyarakat dalam suatu musyawarah. Telah pula ditetapkan bagaimana mengakses sumber daya bagi masyarakat nelayan, pengaturan penangkapan, larangan penangkapan ikan, termasuk batas-batas areal yang dinyatakan sebagai daerah konservasi. Tambahan pula terdapat pengaturan penangkapan jenis ikan tertentu. Dalam hal ini, juga termasuk pengaturan pengawasan terhadap kegiatan penangkapan ikan menggunakan bahan dan cara penangkapan yang dilarang.

(2) Distribusi manfaat; dalam hal ini, masyarakat nelayan mendapatkan mendapatkan manfaat sesuai dengan alat tangkap dan biaya yang mereka keluarkan dalam kegiatan penangkapan ikan.Masyarakat nelayan juga mengerti dan memahami Pengaturan yang terkait dengan waktu dan tempat penangkapan ikan, teknologi yang boleh digunakan dan sesuai dengan kondisi lokal.

(3) Pengaturan pilihan-kolektif; tanpa kecuali semua masyarakat desa diperlakukan sama terhadap aturan yang diberlakukan melalui Peraturan Desa ini dan tidak ada yang diperlakukan secara istimewa.

(4) Kegiatan yang bersifat memonitor kondisi sumber daya dan perilaku penggunanya yang akuntabel; dalam hal ini dibentuk tim keamanan desa untuk pengawasan penangkapan terhadap orang luar desa dan penggunaan bahan dan alat tangkap yang dilarang dalam pengaturan Perda dan Perdes. (5) Pemberian sanksi kepada pengguna yang melanggar aturan; dalam hal ini,

pelanggar aturan diberi sanksi secara bertahap sesuai dengan aturan yang berlaku. Pertama-tama diberikan peringatan secara lisan sekaligus peringatan keras terhadap pelanggar aturan penangkapan ikan, termasuk areal batas antar desa. Kemudian, pelanggaran kedua langsung diselesaikan secara hukum dengan melaporkannya kepada yang berwajib.

(6) Mekanisme penyelesaian konflik dibuat secara berjenjang di tingkat satuan keamanan, kepala desa, dan kepolisian; dan dapat diakses secara cepat, biaya rendah dan tersedia secara lokal.

(23)

(7) Pengorganisasian hak kepemilikan yang dibuat di dalam Perdes telah disepakati dan disetujui oleh masyarakat dan tidak ada campur tangan pemerintah kecamatan dan kabupaten.

(8) Jaringan usaha, yang dalam hal ini bermakna bahwa pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang diatur dengan Peraturan Desa pada tingkat desa dapat saja dipertahankan dan kesepakatannya dapat saja diubah sesuai dengan hasil kesepakatan diantara pemerintah desa dengan masyarakat nelayan dan anggota masyarakat lainnya dalam suatu pengaturan perubahan peraturan desa.

Beberapa hasil pengamatan setelah adanya perubahan kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan pada perairan yang tidak dilelang, antara lain adalah tidak ada lagi “pengemin” atau pemenang lelang pada wilayah Desa Berkat ini. Berdasarkan aturan yang ditetapkan dalam Perdes, seluruh masyarakat desa berhak menangkap ikan dan bagi mereka yang akan melaksanakan penangkapan ikan diwajibkan mendaftarkan diri kepada Kepala Desa dan membayar uang administrasi berkisar Rp.5.000.- hingga Rp.25.000.- Suatu hal yang teramati juga adalah meningkatnya masyarakat yang melaksanakan penangkapan ikan menjadi lebih dari 150 orang, padahal biasanya mereka yang menjadi nelayan hanya berkisar 70 – 75 orang.

Dengan demikian terlihat bahwa dari segi isi terlihat bahwa peraturan desa merupakan wadah pengaturan terkait pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang memenuhi prinsip keberlanjutan kelembagaan menurut prinsip yang dikemukakan Ostrom (1990; 2008). Dengan kata lain, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari segi isi, ternyata peraturan desa yang dirancang di salah satu desa yang memiliki areal PULL sama efektifnya dengan kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” yang berlaku pada periode pemerintahan Marga.

5.4 Ikhtisar

Terdapat perbedaan pokok pengaturan “lelang lebak lebung” antar dua periode pemerintahan yang dikaji. Perbedaan tersebut dimulai dengan banyaknya

(24)

campur tangan pejabat administratif (kepala wilayah pedesaan, kecamatan, hingga bupati) pada masa pemerintahan kabupaten, dibandingkan pada masa Marga hanya dilakukan oleh seorang Kepala Marga (Pasirah). Lebih lanjut, berdasarkan 8 (delapan) komponen yang merujuk kepada keberlanjutan kelembagaan, kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa pemerintahan Marga masih berada pada kondisi yang efektif jika dibandingkan dengan kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa pemerintahan kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa pemerintahan Marga berfungsi sebagai wadah pengaturan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL.

Di sisi lain, pada tahun penangkapan ikan 2009 dan 2010 kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan pada PULL dibagi dua kategori yaitu ada yang dilelang dan ada perairan yang tidak dilelang. Prosedur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum yang dilelang pada prinsipnya sama dengan yang berlaku pada periode 1983 hingga tahun 2008. Di lain pihak, pada perairan yang tidak dilelang diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah desa bersama masyarakat dan dalam hal ini pemerintah desa berkewajiban membuat Peraturan Desa (Perdes) dengan tetap berpedoman kepada Perda No. 9 Tahun 2008.

Dengan dasar Perda Kab. OKI terbaru No. 9 Tahun 2008 (berlaku untuk tahun usaha penangkapan 2009), maka pemerintah desa Berkat membuat Perdes, yaitu Perdes No.1 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Sumber daya Perikanan PULL di Wilayah Desa Berkat. Kemudian, hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi isi terlihat bahwa peraturan desa merupakan wadah pengaturan terkait pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang memenuhi prinsip keberlanjutan kelembagaan menurut kriteria yang dikemukakan Ostrom (1990; 2008). Dengan kata lain, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari segi isi, ternyata peraturan desa yang dirancang di salah satu desa yang memiliki areal PULL sama efektifnya dengan kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” yang berlaku pada periode pemerintahan Marga.

Gambar

Tabel 12. Pokok Pengaturan Pengelolaan Sumber daya Perikanan Perairan Umum  Lebak Lebung Berdasarkan Masa Pemerintahan Marga dan Kabupaten
Tabel  13.  EfektifitasKelembagaan  Pengelolaan  Sumber  daya  Perikanan  Perairan  Umum Lebak Lebung yang dibedakan Berdasarkan Komponen Analisis  pada Masa Pemerintahan Marga dan Kabupaten

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Soedarya (2009), pada saat ini banyak lahan pertanian yang kebutuhan haranya bergantung pada bahan kimia. Pupuk hingga insektisida, semua dibuat dari bahan

Faktor kedua latar belakang pendidikan akan berpengaruh terhadap terbentuknya persepsi atau pemahaman nazhir, karena nazhir yang berpendidikan akan memiliki sikap

Anung Haryono, Rahardjito, Media Pendidikan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h.. Kondisi ini semakin diperparah dengan metode pengajaran yang masih mengandalkan

SNP adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan diseluruh wilayah NKRI, yang meliputi 8 (delapan) muatan standar, yaitu: 1) Standar Isi (SI), mencakup lingkup

Penelitian yang dilakukan pada tahun 2008 menunjukkan bahwa faktor risiko kejadian leptospirosis di Kabupaten Demak meliputi pekerjaan yang melibatkan kontak tubuh

Hasil data yang diperoleh dianalisis dengan cara mengumpulkan data melalui wawancara dengan partisipan tentang pengalamannya selama di RSUP Dr Soeradji tirtonegoro

6.2 Pengaruh Jenis Operasi Terhadap Waktu Kesembuhan Pasien Katarak yang melakukan Operasi di Rumah Sakit Mata Bali Mandara pada Bulan Oktober- Desember 2015. 50