• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Perjanjian Arbitrase Perihal Tidak Dapat Ditanda Tanganinya Perjanjian Tertulis Oleh Para Pihak Yang Bersengketa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Yuridis Perjanjian Arbitrase Perihal Tidak Dapat Ditanda Tanganinya Perjanjian Tertulis Oleh Para Pihak Yang Bersengketa"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Yuridis Perjanjian Arbitrase

Perihal Tidak Dapat Ditanda

Tanganinya Perjanjian Tertulis Oleh

Para Pihak Yang Bersengketa

Muhammad Rudiansyah

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin

Jl. Adhyaksa No. 2 Kayutangi, Banjarmasin, Kalimantan Selatan Email: muhammadrudiansyah3@gmail.com

*Corresponding Author Jurnal Penegakan Hukum

Indonesia (JPHI)

Revised : 17/09/2020 Accepted : 08/10/2020 Published : 08/10/2020

Editorial Office:

Jl. Brigjen H. Hasan Basri Komplek Polsek Banjarmasin Utara Jalur 3, No. 9 Kota Banjarmasin; Provinsi Kalimantan Selatan; Republik Indonesia (70125). Email jphi.scholarcenter@gmail.com Principal Contact +62 821 5770 9493 © JPHI 2020

Licensed under the CC 4.0. Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License

Abstract

In the dispute resolution process through arbitration is a settlement process outside the general court (non-litigation), where the settlement is based on an agreement. The agreement in question is a written agreement made by the parties, before or after the disputes. Article 9 paragraph (1) and (2) of Law Number 30/1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution explains that if in dispute resolution through arbitration the arbitration agreement cannot be signed, it can be replaced with an authentic deed (notary deed). However, there is no explanation on the specific reasons that allow the agreement to be replaced by a notary deed. The method used is this study is a normative research method The result of this research is that there is still legal obscurity in the provisions of Article 9 paragraph (1) and (2) which still does not include the reasons that the parties may not sign the agreement and be replaced with an authentic deed. It is necessary to emphasize the purpose of the provisions of Article 9 paragraphs 1 and 2.

Keywords: business dispute; agreements; vague norm.

Abstrak

Dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan proses penyelesaian diluar pengadilan umum (non litigasi), dimana penyelesaian tersebut berdasarkan perjanjian. Perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak, sebelum atau sesudahnya. Berdasarkan ketentuan pasal 9 ayat (1) dan (2) UU Nomer 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa apabila dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak dapat ditanda tanganinya perjanjian arbitrase, maka dapat diganti dengan akta autentik (akta notaris). Akan tetapi tidak terdapat penjelasan mengenai sebab tertentu yang dibolehkan perjanjian tersebut diganti dengan akta notaris. Metode penelitian hukum yang digunakan merupakan metode penelitian normatif,.Adapun hasil dari penelitian ini adalah masih terdapat kekaburan hukum didalam ketentuan pasal 9 ayat (1) dan (2) yang masih belum mencantumkan sebab yang boleh tidak ditanda tanganinya perjanjian oleh para pihak dan diganti dengan akta autentik. Perlu dipertegas maksud dari ketentuan Pasal 9 ayat 1 dan 2 tersebut.

(2)

PENDAHULUAN

Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau

contract (Inggris). Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian perjanjian:

teori lama dan teori baru. Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi : “ Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.1

Secara umum, perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban, yaitu akibat-akibat hukum yang merupakan konsekuesinya. Perbuatan hukum dalam perjanjian merupakan perbuatan-perbuatan untuk menjalankan suatu, yaitu mendapatkan seperangkat hak dan kewajiban yang disebut prestasi.2 Adapun yang dimaksud dengan prestasi itu meliputi perbuatan-perbuatan seperti, menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu. Perjanjian setidaknya melibatkan dua pihak atau lebih yang saling memberikan kesepakatan mereka. selain orang-perorangan (manusia), para pihak dalam perjanjian bisa juga terdiri dari badan hukum.

Perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. perjanjian tertulis merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan, dimana perjanjian secara tertulis memiliki kekuatan hukum yang kuat dalam pembuktian di pengadilan ataupun pembuktian arbitrase. Sedangkan perjanjian lisan adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (ucapan kesepakatan para pihak).

Ada tiga bentuk perjanjian tertulis. Pertama perjanjian dibawah tangan yang ditanda tangani para pihak saja tanpa melibatkan pihak lain dalam perjanjian. Kedua, perjanjian dengan saksi notaris untuk mengesahan tanda tangan para pihak. Ketiga, perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta autentik.

Akta autentik merupakan bukti prima facie mengenai fakta, yaitu pernyataan atau perjanjian yang termuat dalam akta notaris. Fungsi dari akta autentik adalah sebagai bukti bagi para pihak telah mengadakan perjanjian, sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak, dan sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu, kecuali jika ditemukan sebaliknya,

1 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), cetakan 10, Jakarta : Sinar Grafika, 2016, hal. 160. 2 Pengertian dan Syarat-syarat Perjanjian, http://legalakses.com/perjanjian, diakses pada 12 Mei 2020.

(3)

para pihak telah mengadakan perjanjian dan bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.3

Adapun syarat untuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak sah dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat, harus terpenuhinya syarat-syarat yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, sebagai berukut:

Syarat Subyektif

1. Kata sepakat: Kata sepakat berarti adanya titik temu (a meeting of the minds) antara para pihak tentang kepentingan-kepentingan yang berbeda.

2. Cakap: Cakap merupakan seseorang yang melakukan perjanjian dapat bertanggung jawab atas perbuatan hukumnya.

Syarat Obyetif

1. Hal tertentu: Hal tertentu adalah objek yang diperjanjikan harus terang dan harus jelas, dapat ditentukan baik jenis maupun jumlahnya.

2. Sebab yang halal: Sebab yang halal adalah obyek yang diperjanjikan , bukan objek dilarang yang dilarang oleh hukum positif dan agama kepercayaan masing-masing.4

Dengan adanya syarat dan ketentuan dalam melakukan perjanjian, dibawah tangan ataupun melalui akta notaris, khususnya syarat objektif mengenai sepakat. Sehingga sangat menarik untuk kita membahas tentang perjanajian tanpa tanda tangan para pihak dan dapat didapat digantikan oleh akta notaris sebagai pengganti perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999.

Dalam ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, khususnya tertuang pada Pasal 9 ayat (2) bahwa “ Dalam hal para

pihak tidak dapat menanda tangani perjanjian tertulis sebagaimana di maksud dalam ayat (1), perjanjian tersebut harus di buat dalam bentuk akta notaris”. 5 berdasarkan ketentuan dari Pasal 9 ayat (2) di atas masih terlalu kabur dan tidak jelas, menjelaskan mengenai “tidak dapat di tanda tanganinya perjanjian tertulis”.

Dimana dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) menyatakan bahwa jika para pihak tidak dapat menanda tanagani perjanjian, harus digantikan dengan akta notaris, sebagaimana yang dijelaskan diatas. Menimbulkan pertanyaan terhadap penjelasan pasal tersebut. Mengapa

3

Salim HS, Op cit, hal. 167.

4 Novi Ratna S, Komparasi Syarat Sahnya Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan

Hukum Islam, Jurnal Repertorium, Vol IV No 2, Juli-Desember 2017, hal 81-82

(4)

perjanjian tersebut tidak dapat ditanda tanagani, apakah para pihak tidak sepakat atau karena hal tertentu yang menyebabkan tidak dapat ditanda tanganinya pejanjian tersebut. Tidak adanya penjelasan tentang hal tersebut dal UU No 30 Tahun 1999, sehingga terjadilah kekaburan hukum dalam ketentuan pasal tersebut dan dapat mengakibatkan terjadinya penafsiran-penafsiran hukum yang dapat merugikan pihak yang melakukan perjanjian.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumusakan suatu rumusan masalah yang diteliti yaitu bagaimanakah makna dari Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa perihal tidak dapat ditanda tangani perjanjian tertulis oleh para pihak dan dapat digantian dengan akta notaris (autentik)?

METODE PENELITIAN

Penelitian hukum normatif (normative law research) mengunakan studi kasus normative berupa produk hukum. Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Sehingga penelitian normatif berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan dokrin hukum, penemuan hukum dan perkara in concreto, sistematik hukum, taraf singkronisasi, perbandingan hukum dan sejarah hukum.6 Berdasarkan penjelasan di atas, penulis memutuskan untuk menggunakan metode penelitian hukum normatif untuk meneliti dan menulis pembahasan artikel ini sebagai metode penelitian hukum. Penggunaan metode penelitian normatif dalam upaya penelitian dan penulisan ini di latar belakangi kesesuaian teori dengan metode penelitian yang dibutuhkan penulis.

PEMBAHASAN

Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non litigasi), penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini di dasari oleh perjanjian yang disepakati kedua belah pihak yang bersengketa pada saat memulai kontrak perjanjian atau saat terjadinya sengketa. Perjanjian yang diakui dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah perjanjianyang tertulis.

6 Abdulkadir Muhammad. 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, cet. 1, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

(5)

Didalam suatu perjanjian tertulis ataupun harus ditemukanya kesepakatan antar pihak yang melakukan perjanjian tersebut. dengan kata lain, kesepakatan sangatlah penting didalam melakukan perjanjian apapun, khusunya perjanjian tertulis. kata sepakat didalam perjanjian tertulis dapat kita lihat melalui tandatangan para pihak. Dengan begitu, perjanjian akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang melakukan perjanjian perjanjian. Dalam hal perjanjian tidak dapat ditanda tangani, akan mempengaruhi kekuatan hukum yang dimilki perjanjian tersebut dan dapat dibatalkan oleh salah satu pihak kapanpun.

Dengan begitu apabila perjanjian tersebut memiliki cacat subyektif sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) dan (2) KUHPer. Perjanjian tersebut lahir karena adanya cacat kehendak antaralain arena kekhilafan, paksaan atau penipuan. maka perjanjian dapat kapan saja dibatalkan secara sepihak oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan. 7

Perihal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian arbitrase sebagaiman yang dijelaskan dalam bunyi pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dimana perjanjian tidak dapat ditanda tangani, maka perjanjian tersebut dapat diganti dengan akta notaris (autentik). Sesuai dengan fungsinya akta autantik merupakan bukti kepada para pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu para pihak telah melakukan perjanjian dan bahwa isi perjanjian adalah kehendak para pihak dan sepakat.8

Akta autentik merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatuperbuatan hukum, dan syarat objektif yaitu syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh parapihak, yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang.

Dalam hukum perjanjian ada akibat hukum tertentu jika syarat subjektif dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjiandapat dibatalkan sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu atau yangberkepentingan. Syarat subjektif ini senantiasa dibayangi ancaman untuk dibatalkanoleh para pihak yang berkepentingan dari orang tua, wali atau pengampu. Agar ancaman seperti itu tidak terjadi,

7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi

1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 13.

(6)

maka dapat dimintakan penegasan dari mereka yang berkepentingan, bahwa perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat parapihak.

Jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, tanpaperlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun. Perjanjian yang batal mutlak dapat jugaterjadi, jika suatu perjanjian yang dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan untuk perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudahditentukan atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum,9 karena perjanjian sudah dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk saling menuntut atau menggugat dengan cara dan bentuk apapun. Misalnya jika suatu perjanjian wajib dibuat dengan akta (Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tapi ternyata tidak dilakukan, maka perbuatan hukum atau perjanjian tersebut batal demi hukum.

Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat subjektif dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak10 dan memberikan kepastian dan perlindunganhukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan demikian jikadalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap Notaris tidakmemenuhi syarat-syarat subjektif, maka atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapatdibatalkan. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka akta tersebutbatal demi hukum. Oleh karena Pasal 38 ayat (3) huruf a UUJN telah menentukanbahwa syarat subjektif dan syarat objektif bagian dari badan akta, maka timbulkerancuan, antara akta yang dapat dibatalkan dengan akta yang batal demi hukum,sehingga jika diajukan untuk membatalkan akta Notaris karena tidak memenuhi syarat subjektif, maka dianggap membatalkan seluruh badan akta, termasukmembatalkan syarat objektif. Syarat subjektif ditempatkan sebagai bagian dari awalakta, dengan alasan meskipun syarat subjektif tidak dipenuhi sepanjang tidak adapengajuan pembatalan dengan cara gugatan dari orang-orang tertentu, maka isi akta yang berisi syarat objektif tetap mengikat para pihak, hal ini berbeda jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka akta dianggap tidak pernah ada.11

Akta Notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur

9Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yudika, Fakultas Hukum Universitas

Airlangga, Volume 18, Nomor 3, Mei 2003, hal. 203

10 Pasal 1337 KUHPerdata.

11 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang

(7)

yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebutdapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakansebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada Hakim.

Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak

(wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak

ada, maka Notaris tidak akan membuat akta yangdimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukanperbuatan atau tindakan Notaris.12

Didalam permasalahan kali ini, sebagaimana telah dijelaskan, bahwa perjanjian tidak dapat ditanda tangani dan dapat digantikan dengan akta autentik sebagaimana bunyi Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, masih tidak jelas, karena dalam perihal perjanjian tidak dapat ditanda tangani dan dapat diganti dengan akta notaris tidak mencantumkan hal tertentu yang menjelaskan sebab yang dapat tidak ditanda tanganinya perjanjian arbitrase dan diganti dengan akta autentik.

Sehinga pada dasarnya pembuatan perjanjian atau atak notaris harus ada persetujuan kedua belah pihak yang bersengketa untuk melanjutkan kasus melalui jalur no litigasi

(arbitrase). Dikarenakan syarat dapat diajukannya penyelesaian sengketa melalui lemabaga

arbitrase harus melakukan perjanjian terlebih dahulu, dan perjanjian tersebut merupakan perjanjian tertulis. maka, kesepakatan para pihak dibuktikan oleh tanda tangan para pihak, jika para pihak tidak dapat menandatanganinya. Perjanjian dianggap tidak mendapatkan kesepakatan.

PENUTUP

Tidak dapat ditandatanganinya perjanjian dan harus digantikan dengan akta notaris sesuai dengan yang dijelaskan oleh Pasal 9 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan aturan kabur atau tidak jelas karena didalam kata tidak dapat ditandatanganinya perjanjian memiliki arti yang sangat luas. Sehingga dapat dikataan bahwa perjanjian yang tidak dapat ditandatangani merupakan perjanjian yang tidak

(8)

mendapatkan kesepakatan oleh para pihak, meskipun digantikan dengan akta notaris, perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat para pihak. Perjanjian tersebut dapat dengan mudah dibatalan karena perjanjian kehilangan syarat objektifnya, yaitu kata sepakat.

Perjanjian yang tidak dapat ditanda tangani oleh para pihak na dapat digantikan dengan akta autentik sebagaimana dijelaskan oleh pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut pun seharusnya memiliki alasan yang jelas dan harus diperjelas kembali, sebab tidak dapat ditanda tangani perjanjian oleh para pihak.

Dengan demikian, perjanjian yang dibuat (perjanjian dibawah tangan atau perjanjian yang dibuat oleh notar/akta autentik) yang akan digunakan sebagai alat bukti dalam penyelesaian kasus arbitrase akan sesuai dengan syarat sah perjanjian, sebagaimna yang dijelaskan dalam pasal 1320 KUH Perdata.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, cet. 1, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Habib Adjie, 2009, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun

2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung

Salim HS, 2016, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), cet 10, Jakarta: Sinar Grafika Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Edisi 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

JURNAL

Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yudika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Volume 18, Nomor 3, Mei 2003

Ratna Novi S, Komparasi Syarat Sahnya Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam, Jurnal Repertorium, Vol IV No 2, Juli-Desember 2017

WEBSITE

Pengertian dan Syarat-syarat Perjanjian, http://legalakses.com/perjanjian, diakses pada rabu 12 mei 2020

Referensi

Dokumen terkait

Dari kedua penelitian tersebut dapat diketahui bahwa penelitian kualitatif yang sering menonjol digunakan para ahli untuk meneliti suatu kebenaran,

beberapa impak telah berjaya diperoleh iaitu penurunan imej sinar-x anggota kaki daripada 40.18% kepada 7.95%, penjimatan kos pembelian alat cegah gerak kaki sebanyak RM23,316.00,

4) Dalam hal perbedaan pendapat antara orang -orang yang disebut dalam ayat(2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya

Sistem jaringan ini disebut rangkaian tertutup karena saluran primer yang menyalurkan daya sepanjang daerah beban yang dilayani membentuk suatu rangkaian

Kriteria suatu jenis tumbuhan dapat dolongkan sebagai hiperakumulator adalah : (1) Tahan terhadap unsur logam dalam konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuk; (2) Tingkat

1) Penggunaan kompos bulu ayam sebagai bahan organik pada tailing pasir meningkatkan serapan unsur hara N, P, dan K oleh tanaman selada. Kandungan unsur hara jaringan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas ekstrak Daun Mangkokan (Nothopanax scutellarium Merr.)dengan glibenklamid sebagai antidiabetes terhadap

Untuk maksud perbincangan ini, peribahasa Bajau dipilih kerana pada hemat pengkaji, seseorang yang ingin mengkaji budaya perlu tahu bahasa masyarakat pendukung dan secara tidak