• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB HUKUM PENERBIT UANG ELEKTRONIK TERHADAP KERUGIAN NASABAH PENGGUNA UANG ELEKTRONIK DI BANK MANDIRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TANGGUNG JAWAB HUKUM PENERBIT UANG ELEKTRONIK TERHADAP KERUGIAN NASABAH PENGGUNA UANG ELEKTRONIK DI BANK MANDIRI"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

DI BANK MANDIRI

Oleh :

SALSABILA SEKAR WAHRI NIM : 11170480000079

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

TANGGUNG JAWAB HUKUM PENERBIT UANG ELEKTRONIK TERHADAP KERUGIAN NASABAH PENGGUNA UANG ELKETRONIK

DI BANK MANDIRI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana ukum (S.H.)

Oleh :

SALSABILA SEKAR WAHRI NIM : 11170480000079

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442H/2021M

(3)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

SALSABILA SEKAR WAHRI NIM: 11170480000079

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ria Safitri, M.Hum NIP. 197112 200604 2 005

Faris Satria Alam, M.H. NIDN. 0325038802

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H/ 2021

(4)
(5)

Nama : Salsabila Sekar Wahri Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 21 September 1999

NIM 11170480000079

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Jl. Cendrawasih No.88 Cipayung Ciputat

No. Kontak 087771134479

Email : salsabilaasekar@gmail.com

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya saya bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, April 2021

Salsabila Sekar Wahri NIM. 11170480000079

(6)

ABSTRAK

Salsabila Sekar Wahri NIM 11170480000079, “Tanggung Jawab Hukum Penerbit Uang Elektronik Terhadap Kerugian Nasabah Pengguna Uang Elektronik Di Bank Mandiri”. Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M.

Skripsi ini bertujuan untuk membahas tentang permasalahan tanggung jawab hukum penerbit kartu e-money terhadap kerugian yang dialami oleh nasabah pengguna kartu e-money. Tanggung jawab hukum penerbit tersebut mengalami kekosongan hukum akibat mekanisme ganti rugi bagi penerbit yang tidak jelas sehingga kerap kali menciptakan ketidakpastian hukum bagi perlindungan nasabah pengguna kartu e-money. Hal ini menjadikan pihak penerbit seperti tidak memiliki tanggung jawab hukum. Secara khusus, skripsi ini mencoba melakukan komparasi hukum untuk membuktikan secara kualitas bahwa mekanisme ganti rugi dan tanggung jawab ini belum komprehensif, salah satunya dengan Undang- Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Disamping itu skripsi ini juga membahas tentang ganti rugi kerugian yang dialami nasabah bank mandiri akibat mekanisme ganti rugi dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 belum komprehensif dalam pengaturannya.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif yuridis melalui pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach). Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa studi pustaka. Melalui studi pustaka ini peneliti mengumpulkan dokumen dan data untuk diolah menggunakan metode analisis isi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penyelenggara Uang Elektronik tidak dapat dimintai pertanggungjawaban jika kerugian yang dialami karena kesalahan pengguna nya. Mekanisme penggantian kerugian ini hanya bisa dilakukan jika kesalahan yang timbul dari penerbit. Terbukti tidak sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mana seharusnya hak konsumen dikedepankan.

.

Kata Kunci: Tanggung jawab, E-Money, Peraturan Bank Indonesia

Pembimbing Skripsi : Dr. Ria Safitri, S.H., M.Hum. Faris Satria Alam, M.H.

Daftar Psutaka : Tahun 1968 sampai Tahun 2020

(7)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak terhinggga. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi Wassallam, beserta seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau sampai akhir zaman nanti. Dengan mengucap Alhamdulillahi Robbil ‘alamin, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir pada perkuliahan dalam bentuk skripsi dengan judul “TANGGUNG JAWAB HUKUM PENERBIT UANG ELEKTRONIK TERHADAP KERUGIAN NASABAH PENGGUNA UANG ELEKTRONIK DI BANK MANDIRI”.

Penyusunan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini tidak dapat peneliti selesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dan dukungan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini berlangsung. Peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para pihak yang telah memberikan peranan secara langsung maupun tidak langsung atas pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan arahan untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr.Ria Safitri, S.H., M.Hum. dan Faris Satria Alam, M.H. Pembimbing Skripsi, Fathudin, S.H.I., SH., M.A.Hum., M.H. Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan waktu, arahan, bimbingan, dan kesabaran dalam membimbing peneliti agar dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

(8)

yang telah memberikan fasilitas dan mengizinkan peneliti untuk mencari dan meminjam buku-buku referensi dan sumber-sumber data lainnya yang diperlukan. 5. Kepada kedua orang tua saya tercinta, Suyadi Wahri dan Ike Widyaningsih yang selalu memberikan dukungan baik materi maupun imateriil berupa motivasi, do’a, bahkan kepercayaan untuk dapat duduk dibangku kuliah hingga menyelesaikan gelar sarjana ini.

6. Pihak-pihak lainnya yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi ini.

Demikian ucapan terimakasih ini, semoga Allah memberikan balasan yang setara kepada pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusuna skripsi ini dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Ciputat,

Salsabila Sekar Wahri

(9)

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBARAN PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 8

E. Sistematika Pembahasan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB HUKUM PENERBIT UANG ELEKTRONIK A. Kerangka Konseptual ... 12

B. Kerangka Teori ... 13

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 32

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA UANG ELEKTRONIK TERHADAP KERUGIAN A. Pengertiuan Uang ...35

B. Pengertiuan Uang Elektronik ... 36

C. Keuntungan dan Kerugian Uang Elektronik ... 38

D. Perlindungan Hukum Dalam UU Konsumen dan UU Perbankan. ... 39

E. Tanggung Jawab Kerugian E-Money Dalam PBI... 42

BAB IV ANALISIS YURIDIS TANGGUNG JAWAB HUKUM PENERBIT UANG ELEKTRONIK TERHADAP KERUGIAN PENGGUNA UANG ELEKTRONIK DI BANK MANDIRI A. Hubungan Hukum Penerbit Kartu Elektronik dengan Pemegang Uang Elektronik ... 45

(10)

B. Tanggung Jawab Penerbit Uang Elektronik dari Kerugian Yang Dialami Pemegang Kartu Elektronik Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/PBI/6/2016 Tentang Uang Elektronik ... 49 C. Mekanisme Ganti Rugi Pemegang Uang Elektronik Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/PBI/6/2016 Tentang Uang Elektronik ... 52 D. Pandangan Hukum Islam tentang Uang Elektronik… ... 57

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 59 A. Rekomendasi ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai alat pembayaran sehari-hari kehadiran uang sangat penting terutama dalam hal memperoleh barang dan/atau jasa serta kebutuhan manusia sehari-hari. Uang selama ini selalu menjadi benda yang mempunyai fungsi sebagai alat tukar, alat penyimpan, satuan hitung, serta ukuran pembayaran yang tertunda. Secara umum uang mrmpunyai kriteria sebagai berikut, yaitu adanya jaminan, disukai umum, mudah disimpan, mempunyai nilai yang stabil, tidak mudah rusak, mudah dibagi, dan suplay yang harus elastis.

Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi saat ini mendorong dunia perbankan sebagai pendukung utama pembangunan nasional mengembangkan layanannya, baik kepada nasabah maupun kepada masyarakat1. Dampak dari perkembangan teknologi ini berpengaruh pula pada sistem pembayaran yang berbasis elektronik. Sistem pembayaran yang berbasis elektronik dapat memberikan kemudahan, kesederhanaan, fleksibelitas, dan efisiensi dalam melakukan transaksi.

Alat pembayaran yang berbasis elektronik ini dapat pula disebut sebagai alat pembayaran non tunai. Dalam alat pembayaran non tunai dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk alat pembayaran dengan menggunakan kartu, seperti kartu kredit, kartu debet, kartu ATM, serta kartu penyimpanan dana.

Terdapat jenis alat pembayaran yang lain lagi misalkan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, yaitu uang elektronik (e-money).2 E-

money hadir seiring dengan dikeluarkannya Surat Edaran tentang uang

1 Solikin dan Suseno, Uang (Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian), (Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), 2002), h. 2.

2 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2017), h.16.

(12)

2

elektronik, yaitu Surat Edaran Nomor 11/11DASP pada tanggal 13 April 20093.

Perihal dengan alat pembayaran non tunai tersebut, maka Bank Indonesia mempunyai kepentingan untuk memastikan penggunaan sistem pembayaran non tunai yang digunakan berjalan aman, handal, dan efisien pada saat digunakan oleh masyarakat. Maka dari itu, Bank Indonesia sebagai salah satu lembaga yang independen bertugas untuk mengatur dan menjaga agar sistem pembayaran tetap berjalan lancar, dikeluarkanlah aturan perihal uang elektronik, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik.

Dalam Pasal 1 ayat (3) Peratruan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik disebutkan bahwa uang elektronik adalah alat pembayaran yang nilai uangnya tersimpan secara elektronis dalam media server atau chip. Alat pembayaran ini diterbitkan atas dasar uang yang disetorkan terlebih dulu kepada penerbit, namun nilai uang yang disetorkan kepada penerbit bukan sebagai simpanan. Penerbit yang dimaksud dalam hal ini adalah lembaga bank atau lembaga selain bank yang mengeluarkan uang elektronik.

Uang elektronik (e-money) sebagai alat pembayaran dalam bentuk elektronik nilai uangnya disimpan dalam media elektronik tertentu.4 Uang elektronik ini merupakan uang tunai tanpa ada fisik, yang nilai uangnya berasal dari nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbitnya, kemudian disimpan secara elektronik dalam satu media elektronik berupa server atau kartu chip yang berfungsi sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan penerbit uang elektronik bersangkutan.

3 Dian Barry Wahyudi, I Wayan Parsa, Tanggung Jawab Penertib E-Money Sebagai Alat Pembayaran Non Tunai Apabila Terjadi Kerugian Pada Pengguna E-Money, Jurnal Kertha Desa Vol. 8 No. 4, Maret 2020, h. 71.

4https://www.bi.go.id/id/edukasi-perlindungan-konsumen/edukasi/produk-dan-jasa-

(13)

Dalam penggunaannya perlu diperhatikan bahwa e-money merupakan teknologi ciptaan manusia yang mempunyai beberapa kelemahan. Adapun permasalahan yang akan timbul dalam penggunaan e-money terjadi apabila penggunaan e-money dalam melakukan transaksi pembayaran non tunai disalahgunakan oleh pihak lain yang tidak berwenang, sehingga dapat mengakibatkan kerugian bagi pemilik e-

money tersebut5.

Potensi kerugian yang dialami nasabah dalam transaski menggunakan

e-money memang dapat dikategorikan besar, apalagi dalam transaksinya

dapat dilakukan tanpa melalui proses otorisasi dan tidak menggunakan konfirmasi Personal Identification Number (PIN) dalam penggunaannya6. Kelemahan e-money ini membuat pencurian uang yang ada di e-money cenderung mudah, yaitu hanya sekedar menempelkan mesin Electronic Data Capture (EDC) ke dompet yang di dalamnya berisi uang elektronik.

Untuk mengantisipasi hal tersebut maka Bank Indonesia memiliki pengaturan hukum terkait uang elektronik diatur melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Bank Elektronik dimana dalam peraturan tersebut telah dicantumkan pengaturan terkait penerapan prinsip perlindungan konsumen diantaranya diatur mengenai mekanisme penggantian kerugian finansial kepada pengguna yang tertera pada Pasal 43 ayat (2) huruf c.

Kendati Peraturan Bank Indoneia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik tersebut telah mencantumkan mengenai mekanisme penggantian kerugian finansial, namun belum diatur secara jelas dan terperinci bagaimana mekanisme penggantian tersebut semisal pengguna

5 Ni Desak Made Eri Susanti, Ida Bagus Putra Atmadja, A.A. Sagung Wiratni Darmadi, Perlindungan Hukum Bagi Pemilik E-Money Yang Diterbitkan Oleh Bank Dalam Transaksi Non Tunai, Jurnal Kertha Semaya Vol. 7 No. 11, Januari 2019, h. 4.

6 Anita Candrawati, 2014, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Kartu E-Money Sebagai Alat Pembayaran dalam Transaksi Komersial, Jurnal Hukum Vol. 1 No. 3 Tahun I, Maret 2014, h.3.

(14)

4

kehilangan kartu e-money bukan karena kelalaian atau kesalahannya sendiri melainkan adanya keadaan tidak terduga, seperti pencurian, perampokan atau kesalahan transaksi. Ketidakjelasan peraturan dan tidak terperincinya peraturan ini menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda

Hal ini diperparah ketika produk e-money hilang atau rusak dan saldo masih mencukupi, maka akan dapat digunakan bebas oleh siapa saja termasuk orang yang tidak berhak atas e-money tersebut. E-money yang hilang atau disalahgunakan oleh pihak lain tersebut tidak dapat diblokir. Dalam hal ini penerbit tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena

e-money ini tidak merupakan simpanan pada penerbit, melainkan bersifat

prabayar yang sepenuhnya akan berada dalam penguasaan konsumen, sehingga segala akibat kehilangan merupakan tanggungjawab konsumen.7

Pentingnya memaksimalkan perlindungan nasabah pengguna e-

money semakin terasa apabila kita melihat perkembangan pengguna e- money dewasa ini terus meningkat pesat. Pada bulan April tahun 2020

pengguna e-money mencapai 412,1 juta, meningkat dari bulan sebelumnya yang sebesar 330,4 juta8. Dari pengguna uang elektronik tersebut dikumpulkan total uang yang beredar mencapai Rp. 410.656.671 dengan nilai nominal transaksi uang elektronik mencapai Rp17,23 triliun dengan volume 386,7 juta transaksi9. Peningkatan pesat penggunaan dan transaksi e-money, diiringi kekhawatiran penggunanya sekitar 50,90%

7 Dian Barry Wahyudi, I Wayan Parsa, Tanggung Jawab Penertib E-Money Sebagai Alat Pembayaran Non Tunai Apabila Terjadi Kerugian Pada Pengguna E-Money, Jurnal Kertha Desa ... 2020, h. 73.

8https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/11/transaksi-e-money-meningkat-

saat-psbb diakses pada tanggal 21 November 2020, pukul 09.47 WIB.

9 https://www.bareksa.com/berita/berita-ekonomi-terkini/2020-10-13/transaksi-uang-

elektronik-agustus-melesat-tembus-rp1723-triliun-ini-data-historisnya diakses pada tanggal 21

(15)

yang memahami bahwa soal privasi dan kemungkina data pribadi mereka dijual kepada pihak-pihak lain10.

Permasalahan ini menjadi semakin tidak pasti ketika pihak Bank Indonesia melalui Asisten Gubernur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Filianingsih Hendarta, menjelaskan untuk uang elektronik tidak terdaftar (unregistered), penerbit tak wajib mengganti saldo jika kartu tersebut hilang11. Padahal jika kita melihat Pasal 4 Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik dikatakan bahwa prinsip penyelenggaraan uang elektronik adalah penguatan terhadap perlindungan konsumen, yang kemudian dalam Pasal 43 Peraturan Bank Indonesia mewajibkan penggantian kerugian finansial oleh penerbit apabila kerugian tidak disebabkan oleh pengguna.

Disinilah letak permasalahannya, dimana setiap kerugian pengguna uang elektronik kerap kali dinyatakan akibat kelalaian penggunanya, sedangkan pembuktian kelalaian pengguna tersebut tidak memiliki mekanisme yang jelas, sehingga kerugian akibat penggunaan e-

money selalu ditimpakan kepada nasabah pengguna e-money. Hal ini

bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatakan setiap konsumen memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Berdasarkan hal inilah, dapat kita lihat bahwa terdapat mekanisme perlindungan nasabah pengguna e-money yang hilang dan tanggung jawab pelaku usaha atau penerbit karut e-money yang tidak jelas.

10 Dinda Purnamasari, 50,90% masyarakat khawatir dengan penggunaan data uang elektronik, 26 Oktober 2017 di

https://tirto.id/5090-masyarakat-khawatirkan-penggunaan-data-e- money-cy41

11https://kumparan.com/kumparanbisnis/bi-penerbit-tak-wajib-ganti-saldo-di-uang- elektronik-yang-hilang-1r7s4KsHkhI/full diakses pada tanggal 21 November 2020, pukul 10.11 WIB.

(16)

6 Padahal, dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah menggariskan bahwa kerugian yang terjadi disebabkan oleh seseorang, maka orang tersebut berkewajiban mengganti kerugiannya. Pasal ini menempatkan perlindungan nasabah pengguna kartu e-money dalam perlindungan hukum kerusakan dan kehilangan dalam melakukan transaksi e-money. Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut peneliti mengkajinya dalam bentuk skripsi dengan judul “TANGGUNG JAWAB PENERBIT UANG ELEKTRONIK TERHADAP KERUGIAN NASABAH PENGGUNA UANG ELEKTRONIK”.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

a. Perlindungan hukum bagi pemegang uang elektronik yang tidak maksimal

b. Ganti kerugian yang dialami nasabah pengguna kartu elektronik yang tidak pasti

c. Tanggung jawab penerbit uang elektronik atas kerugian nasabah uang elektronik yang tidak jelas

d. Mekanisme perlindungan uang elektronik dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik yang lemah

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan dan identifikasi masalah yang telah diungkapkan di atas, maka peneliti membatasi pembahasan skripsi ini berfokus pada satu titik permasalahan, yaitu peneliti ingin menganalisis tentang tanggung jawab penerbit uang elektronik atas kerugian yang dialami oleh nasabah pengguna uang elektronik.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalah

(17)

mengenai pertanggungjawaban penerbit uang elektronik yang tidak jelas ketika nasabah pengguna uang elektronik mengalami kerugian. Adapun pertanyaan penelitian dari perumusan masalah tersebut, sebagai berikut :

a. Bagaimana tanggung jawab hukum Bank Mandiri dalam hal

kerugian yang dialami pengguna uang elektronik (e-money)? b. Bagaimana mekanisme ganti rugi atas kerugian yang dialami

nasabah pengguna uang elektronik (e-money) di Bank Mandiri?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk menjelaskan bagaimana tanggung jawab hukum Bank Mandiri dalam hal kerugian yang dialami pengguna uang elektronik (e-

money).

b. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai mekanisme ganti rugi atas kerugian yang dialami nasabah pengguna uang elektronik (e-

money) di Bank Mandiri.

2. Manfaat penelitian a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat berguna sebagai referensi atau bahan penelitian lanjutan bagi mahasiswa yang kan melakukan penelitian serupa.

b. Manfaat Praktis

1) Sebagai informasi bagi peneliti lain mengenai tanggung jawab hukum Bank Mandiri dalam hal kerugian yang dialami pengguna uang elektronik (e-money).

2) Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak terkait dalam penerbit uang elektronik mengenai mekanisme ganti rugi atas kerugian yang dialami nasabah pengguna uang elektronik (e-money).

(18)

8

D. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (legal

research).12 Penelitian ini membahas mengenai tanggung jawab

penerbit kartu elektronik dalam kerugian yang dialami nasabah pemegang uang elektronik dengan melakukan analisis data secara induktif, yang kemudian dihubungkan dengan masalah yang diajukan sehingga dapat menemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam skripsi ini.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan studi kasus. Pendekatan Perundang-undangan (statue approach) yang menjelaskan mengenai permasalahan tanggung jawab penerbit uang elektronik yang tidak lengkap dalam peraturan perundang-undangan. Pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil beberapa contoh kerugian nasabah pengguna e-money dalam transaksi atau pencurian uang dalam kartu elektronik.

3. Sumber Bahan Hukum

a. Bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik.

b. Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum dalam bidang perlindungan konsumen meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar- komentar atas norma hukum. Data sekunder diperoleh melalui

(19)

hasil studi kepustakaan yaitu pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu melakukan serangkaian kegiatan studi dokumentasi dengan cara membaca dan mengutip literatur-literatur, mengkaji peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas

c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Ekonomi, Sosiologi, Filsafat atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan- bahan non-hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengolahan data pada penelitian ini menggunakan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi untuk mendukung materi penelitian ini melalui berbagai literatur seperti buku, bahan ajar perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, tesis dan undang-undang di berbagai perpustakaan umum serta universitas yang digunakan untuk bahan Analisa pada penelitian skripsi ini.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan

(20)

10

konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui permasalahan mengenai bagaiman tanggung jawab penerbit uang elektornik terhadap kerugian nasabah pengguna uang elektronik.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum yang berjudul “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.

E. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan skripsi ini terdiri atas lima bab yang masing-masing bab terdiri dari sub bab guna memperjelas cakupan permasalahan yang menjadi objek penelitian. Urutan objek penelitian untuk menjelaskan objek penelitian yang menjadi bahan analisis peneliti dalam memandang suatu permasalahan dalam rumusan masalah yang telah peneliti susun. Urutan masing-masing bab dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut :

Pada bab satu peneliti membahas pendahuluan meliputi latar belakang penelitian, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua peneliti menjelaskan mennganai tinjauan umum tentang tanggung jawab penerbit uang elektronik dalamperlindungan penggunaan uang elektronik meliputi dua pokok pembahasan yang mendukung penulisan skripsi ini, diantaranya pembahasan terkait kajian teoritis, yakni teori-teori yang berkaitan dengan pembahasan yang tertuang dalam tulisan ini, kerangka konseptual yakni kata yang sering digunakan dalam tulisan ini. Selanjutnya akan dijelaskan terkait riview (tinjauan ulang) studi terdahulu, agar tidak ada persaman terhadap materi muatan dan pembahasan dalam skripsi ini dengan apa yang ditulis oleh pihak lain.

(21)

Bab ketiga peneliti membahas tanggung jawab penerbit uang elektronik dalam peraturan perundang- undangan di indonesia meliputi fokus untuk menguraikan beberapa data yang berhubungan erat denagan apa yang menjadi titk fokus pembahasan dalam tulisan ini. Data-Data yang didapatkan dari sumber yang jelas dan akurat yang di dapat dari lembaga yang bersangkutan sebagai bahan pelengkap penulisan ini.

Bab keempat peneliti membahas tanggung jawab penerbit uang elektronik terhadap kerugian yang dialami nasabah. Meliputi pembahasan permasalahan pada penelitian ini diantaranya menganalisis serta menjawab permasalahan bagaimana tanggung jawab penerbit uang elektronik terhadap kerugian yang dialami nasabah pengguna uang elektronik melalui analisis Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik.

Terakhir adalah bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi peneliti. Bab ini merupakan bab terakhir dari sistematika penulisan skripsi yang pada akhirnya penelitian ini menarik beberapa kesimpulan dari penelitian untuk menjawab rumusan masalah serta memberikan saran-saran yang dianggap perlu.

(22)

Perlindungan Hukum

Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Ya

Adakah Tanggung Jawab Hukum Dalam Kerugian E-Money?

12

BAB II

TANGGUNG JAWAB HUKUM PENERBIT UANG ELEKTRONIK

A. Kerangka Konseptual

Tanggung jawab yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tanggung jawab penerbit uang elektronik dalam kerugian yang dialami oleh nasabah pengguna uang elektronik. Tanggung jawab tersebut berupa penggantian kerugian yang dialami pengguna uangelektronik, baik dalam transaksi ataupun akibat pencurian uang elektronik dengan menggantinya sesuai dengan nominal kerugian yang dialaminya.

12 Uang Elektronik

Kerugian Penggunaan

Nasabah Penerbit Uang

Elektronik Tanggung Jawab Tinjauan Umum Kerugian E-Money Tidak

(23)

B. Kerangka Teori

1. Teori Kepastian Hukum

Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif.

Undang-Undang yang berisi aturan- aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.1

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan kaum fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summon ius, summa injuria, summa lex,

summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat

melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang substantif adalah keadilan.2

Kepastian hukum secara normatif dapat dilihat ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti yang mengatur mengenai sesuatu hal secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak

1 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 158. 2Dosminikus Rato, Filasafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, (Yogyakarta: PT Presindo, 2010), h. 59.

(24)

14

menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral melainkan secara faktual mencirikan hukum.

Menurut E. Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, sebagai berikut:

1) Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan.

2) Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.3 Jika dikaitkan antara kepastian hukum dengan asas ketertiban umum dalam pelaksanaan putusan arbitrase Internasional maka asas tersebut haruslah mampu menjabarkan apa saja arti dari ketertiban umum itu secara pasti dalam Peraturan Perundang-undangan. Hal ini dikarenakan sesuai dengan Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, materi muatan suata pasal dalam Undang-Undang haruslah memenuhi unsur kepastian hukum untuk menciptakan ketertiban di masyarakat.

2. Teori Perlindungan Konsumen

Prinsip-prinsip mengenai kedudukan konsumen dalam hubungan dengan pelaku usaha berdasarkan doktrin atau teori yang dikenal dalam perkembangan sejarah hukum perlindungan

3 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 1999), h. 23.

(25)

konsumen, antara lain:

A. Let the buyer beware (caveat emptor)

Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor merupakan dasar dari lahirnya sengketa dibidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang, sehingga konsumen tidak memerlukan perlindungan.

Prinsip ini mengandung kelemahan bahwa dalam perkembangan konsumen tidak mendapat informasi yang memadai untuk menentukan pilihan terhadap barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan konsumen atau ketidak terbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya. Dengan demikian, apabila konsumen mengalami kerugian, maka pelaku usaha dapat berdalih bahwa kerugian tersebut akibat dari kelalaian konsumen sendiri.

B. The due care theory

Doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasarkan produk, baik barang maupun jasa. Selama pelaku usaha berhati-hati dengan produknya, maka ia tidak dapat dipersalahkan.

Pada prinsip ini berlaku pembuktian siapa mendalilkan, maka dialah yang membuktikan. Hal ini sesuai dengan jiwa pembuktian pada hukum privat di Indonesia, yaitu pembuktian ada pada penggugat, sesuai dengan pasal 1865 BW yang secara tegas menyatakan bahwa barang siapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, maka diwajibkan mebuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

(26)

16

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan diluar hal-hal yang dperjanjikan.

Dengan demikian konsumen dapat menggugat berdasarkan wanprestasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1340 BW yang menyatakan tentang ruang lingkup berlakunya perjanjian hanyalah antara pihak-pihak yang membuat perjanjian saja4.

Pada dasarnya perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yakni asas manfaat yang merupakan segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan, asas keadilan yang memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil, asas keseimbangan yang memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelakuusaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual, asas keamanan dan keselamatan konsumen yang memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan, dan asas kepastian hukum pelaku maupun konsumen untuk mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum5.

4 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta:PT Grasindo,2006), h.61. 5 Elsi, Advendi, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: PT Grasindo:Jakarta, 2007),h. 159.

(27)

3. Teori Tanggung Jawab Hukum

Pertanggung jawaban yang berasal dari kata dasar tanggung jawab artinya suatu keadaaan yang mengharuskan menanggung segala sesuatu nya (baik jika terdapat suatu hal, boleh dituntut, diperkarakan, disalahkan, serta lainnya). Menurut Hans Kelsen bahwa seseorang bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu atau dia bertanggungjawab atas suatu sanksi tertentu jika perbuatannya bertentangan. Biasanya, jika sanksi ditunjukan kepada pelaku langsung, seseorang bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri. Dalam teori hukum umum, menyatakan bahwa setiap orang, termasuk pemerintah, harus mempertangungjawabkan setiap tindakannya, baik karena kesalahan atau tanpa kesalahan. Dari teori hukum umum, munculah tanggungjawab hukum berupa tanggungjawab pidana, tanggungjawab perdata, dan tanggungjawab administrasi.6

A. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Prinsip tanggung jawab adalah suatu hal yang penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam dunia perdagangan dan ekonomi juga semakin terbuka dan ini menjadikan pelaku usaha, konsumen, dan pemerintah harus memiliki daya saing yang kuat. Keseharusan itu membuat kedudukan konsumen lebih lemah dibanding pelaku usaha.

Perlu kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab tersebut dibebankan kepada pihak yang terkait dan kebanyakan dari kasus- kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan yang paling banyak mengalami kerugian yang disebabkan produk dari pelaku usaha itu sendiri. Beberapa sumber formal hukum, seperti perundang- undangan dan perjanjian di hukum keperdataan sering memberikan

(28)

18

pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen yaitu pelaku usaha.

Dengan adanya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sangat membantu masyarakat dalam mencari keadilan. Tanggung jawab pelaku usaha atas produk yang merugikan konsumen secara umum mempunyai prinsip- prinsip hukum, salah satunya seperti prinsip tanggung jawab mutlak, prinsip tanggung jawab mutlak dalam tanggung jawab pelaku usaha atas produk yang merugikan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha nya khusunya produsen barang yang memasarkan produknya tetapi dapat juga merugikan konsumen nya. Dalam hal ini konsumen hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha dan kerugian yang dideritanya.

Dalam Undang-Undang no.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga menekankan bahwa masalah kemanan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen juga menjadi hal paling utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunanya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi keamanan atau membahayakan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan di masyarakat.7

B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam PBI Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Uang Elektronik

Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi saat ini mendorong dunia perbankan sebagai pendukung utama pembangunan nasional untuk mengembangkan layanannya baik kepada nasabah maupun masyarakat. Dampak dari perkembangan teknologi ini berpengaruh pula pada sistem pembayaran yang berbasis elektronik. Sistem pembayaran yang

(29)

berbasis elektronik ini dapat memberikan kemudahan, kesederhanaan, fleksibelitas dan efisiensi dalam melakukan transaksi.

Alat pembayaran yang berbasis elektronik ini dapat pula disebut sebagai alat pembayaraan non tunai. Dalam alat pembayaraannon tunai dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk alat pembayaran dengan menggunakan kartu seperti kartu kredit, kartu debet , kartu ATM, serta kartu penyimpanan dana. Terdapat jenis alat pembayaran yang lain lagi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yaitu uang elektronik (selanjutnya disebut dengan e-money). E-money hadir seiring dengan dikeluarkannya Surat Edaran tentang uang elektronik yaitu SE No 11/11/DASP pada tanggal 13 April 20098.

Perihal dengan alat pembayaraan non tunai tersebut maka Bank Indonesia mempunyai kepentingan untuk memastikan penggunaan sistem pembayaran non tunai yang digunakan berjalan aman, handaljuga efisien pada saat digunakan oleh masyarakat luas. Maka dari hal tersebut Bank Indonesia sebagai salah satu lembaga yang independen yang mana tugasnya mengatur sertamenjaga agar sistem pembayaran tetap berjalan lancar,dikeluarkanlah suatu aturan perihaluang elektronik Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik (Selanjutnya disebut PBI No 20/6/PBI/2018).

Prinsip tanggung jawab terhadap kerugian yang dialami oleh pemilik e-money secara garis besar terdapat tiga tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh penerbit uang elektronik. Diantaranya adalah tanggung jawab produk, tanggung jawab

8 I Dewa Made Krishna Wiwekananda,Legalitas E-money Sebagai Alat Pembayaran yang Sah dalam Memasuki Jalan Bebas Hambatan, Jurnal Hukum Nomor 3, Volume 6 2018, h.9.

(30)

20

informasi produk dan tanggung jawab atas keamanan produk.9 Tanggung jawab produk terjadi karena ketidakseimbangan tanggung jawab antara produsen dan konsumen.

Tanggungjawab mengenai informasi produk merupakan tanggungjawab pelaku usaha dalam pemberian informasi produk. Dan tanggungjawab atas keamanan produk adalah tanggungjawab pelaku usaha sekaligus kewajiban pelaku usaha untuk menjaga keamanan konsumen pada saat melakukan transaksi misalnya pada transaksi berbasis elekronik.

Kendati kelegalitasan pengaturan tentang uang elektronik sebagai alat pembayaran non tunai di Indonesia sesuai dengan yang telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tersebut belum diatur secara maksimal karena masih terjadi kerancuan dalam hal penggantian kerugiannya dimana penggantian kerugian hanya diberikan apabila terjadi kerusakan dan kesalahan dari penerbit.

Lebih lanjut tidak dijelaskan secara mendetail tentang apa saja yang termasuk dalam kategori kesalahan dan kelalaian pengguna. Terhadap kerugian yang dialami oleh pemegang uang elektronik PBI Nomor 20/6/PBI/2018 telah mengaturnya yaitu pada Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa penerbit diwajibkan untuk menerapkan prinsip perlindungan konsumen.10

4. Teori Keadilan Hukum

Dalam filsafat hukum, teori-teori hukum alam sejak Socrates hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search

9 Dian Barry Wahyudi, I Wayan Parsa, Tanggung Jawab Penertib E-Money Sebagai Alat Pembayaran Non Tunai Apabila Terjadi Kerugian Pada Pengguna E-Money, Jurnal Kertha Desa

Vol. 8 No. 4, Maret 2020, h. 74

10 Dian Barry Wahyudi, I Wayan Parsa, Tanggung Jawab Penertib E-Money Sebagai Alat Pembayaran Non Tunai Apabila Terjadi Kerugian Pada Pengguna E-Money, Jurnal Kertha

(31)

for justice”11. Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut: teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics, teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a theory of justice dan juga Ahmad Ali dalam Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan.

Pandangan Aristoteles tentang keadilan terdapat dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”. Dari pandangan Aristoteles tersebut yang sangat penting bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan12.

Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang lazim di pahami tentang kesamaan dan yang dimaksudkan ketika dikatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya.

Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif

11 Theo Huijber, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Cet. VIII, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 196.

12Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004), h. 25.

(32)

22

dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.

Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama- sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat13.

Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk.

Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah. Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan

13 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004), h. 9.

(33)

pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu.

Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia

Pendapat Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference

principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur

agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosial-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair

equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling

kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus di beri perlindungan khusus14.

Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme,

14 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004), h. 26-27.

(34)

24

orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.

Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.

Rawls menegaskan, the first statement of the two principles

reads as follows in a natural way. First, each person is to have an aqual right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for others. Second, social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be to everyone‟s advantage, and (b) attached to positions and offices open to all yang artinya adalah program penegakan keadilan

yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan

(35)

sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung15.

Dengan demikian, perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal, yaitu melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan dan setiap aturan harus memposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.

A. Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Secara normatif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) merupakan dasar hukum perlindungan konsumen di Indonesia.Namun demikian, pemberlakuan UUPKtidaklah menghapuskan ketentuan peraturan perundang- undangan yang sebelumnya telah ada yang juga memberikan perlindungan hukum kepada konsumen16.

Hal ini berdasarkan Ketentuan Peralihan Pasal 64 UUPK yang menyatakan bahwa segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada saat undang- undang ini diundangkan, dinyatakantetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam

15 John Rawls, A Theory of Justice, (Cambridge: Harvard University Press, 1971), h. 60.

16Abdul Atsar, Rani Apriani, Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen, (Yogyakarta: Deepbulish, 2019), h. 7.

(36)

26

UUP. Artinya bahwa UUPK masih mengakui keberadaan peraturan perundang-undangan yang telah ada yang juga bertujuan untuk melindungi konsumen. Hal ini sesuai dengan penjelasan umum UUPK yang menyatakan bahwa undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya undang-undang tentang Perlindungan konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen.

Beberapa undang-undang tersebut antara lain, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Penetapan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1966 Tentang Hygiene, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, dll.

Sumber hukum perlindungan konsumen tidak bisa dilihat dalam konteks UUPK saja, tetapi juga harus dilihat dalam kerangka sistem hukum perlindungan konsumen. Hukum sebagai suatu sistem merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut, sehingga untuk mempelajari hukum perlindungan konsumen, selain mempelajari UUPK sebagai sumber hukum yang utama, juga harus mempelajari sumber-sumber hukum perlindungan konsumen lainnya yang terdapat dalam hukum privat maupun hukum publik, walaupun tidak secara khusus bertujuan untuk melindungi konsumen.

Sejak tanggal 20 April 1999 Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan konsumen,yakni Undang-Undang No. 8 tahun 1999

(37)

Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK mulai berlaku efektif sejak tanggal 20 April 2010. UUPK merupakan undang-undang payung yang memayungi dan mengintegrasikan peraturan perundang- undanganyang berkaitan dengan perlindungan konsumen di Indonesia17.

UUPK sebagai lex generalis, berarti bahwa ketentuan-ketentuan umumdalam UUPK pada dasarnya dapat diterapkan terhadap ketentuan undang-undang khusus yang mengatur perlindungan konsumen. Contohnya adalah dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Walaupun secara khusus dalam UUOJK telah ditentukan perlindungan konsumen khusus bagi konsumen di sektor jasa keuangan, tetapi ketentuan-ketentuan umum dalam UUPK dapat digunakan untuk melindungi konsumen di sektor jasa keuangan, sepanjang sesuai dengan pengertian konsumen dalam UUPK. Sebaliknya UUPK sebagi lex specialis, berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam UUPK dapat diberlakukan menyimpangi ketentuan undang-undang yang mengatur dan melindungi konsumen. Contohnya adalah UUPK sebagai ketentuan lex specialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, dimana dalam pengajuan gugatan konsumen yang diajukan oleh konsumen diajukan ditempat kedudukan konsumenbukan ditempat kedudukan pelaku usaha (tergugat). Selain itu, dalam hal gugatan konsumen, yang harus membuktikan adanya unsur kesalahan adalah beban dari pelaku usaha dan bukan pada konsumen (penggugat)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 1 mendefinisikan perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen, sedangkan konsumen dalam Pasal 1 ayat (2) mendefinisikan

17Abdul Atsar, Rani Apriani, Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen, (Yogyakarta: Deepbulish, 2019), h. 7.

(38)

28

konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. Tidak adanya perlindungan konsumen yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada posisi lemah. Lebih-lebih jika produk yang dihasilkan oleh produsen merupakan jenis produk yang terbatas, produsen dapat menyalahgunakan posisinya yang monopolistis tersebut. Hal itu tentu saja merugikan konsumen18.

Berbeda hal dengan menurut Bussines English Dictionary, perlindungan konsumen adalah protecting consumers againts unfair or

illegal traders, yaitu melindungi konsumen terhadap pedagang yang tidak

adil atau ilegal, sedangkan Black‟s Law Dictionary mendefinisikan a

statute that safeguards consumers in the use goods and services yang

artinya undang-undang yang melindungi konsumen dalam penggunaan barang dan jasa.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen, yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut, hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen, hak untuk diperlakukan

18 Ahmad Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.4.

(39)

atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, dan hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dari sembilan butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa masalah kenyaman, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunanya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat19.

Secara garis besarnya, UUPK mengatur hal-hal sebagai berikut:

a. Ketentuan Umum yang memuat pengertian-pengertian tentang istilah yang dipakai dalam UUPK, antara lain pengertian mengenai perlindungan konsumen, konsumen, pelaku usaha, barang dan jasa, promosi, Lembaga Hukum Perlindungan Konsumen, Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Klausula Baku, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dll.

b. Asas dan Tujuan yang memuat asas-asas perlindungan konsumen dan tujuan perlindungan konsumen.

c. Hak dan Kewajiban yang memuat hak dan kewajiban yang dimiliki oleh konsumen maupun pelaku usaha.

d. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha yang memuat sejumlah perbuatan-perbuatan yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yang berkaitan dengan kegiatan produksi, memasarkan, promosi atau iklan, penjualan dengan obral, dll.

e. Ketentuan Pencantuman Klasula Baku yang memuat ketentuan- ketentuan mengenai larangan pencantuman klasula baku.

(40)

30

f. Tanggung Jawab Pelaku Usaha yang memuat aturan-aturan tentang tanggung jawab pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya, baik tanggung jawab secara privat maupun publik. g. Pembinaan dan Pengawasan yang memuat ketentuan-ketentuan

tentang pelaksanaan pembinaan dan pengawasan dalam perlindungan konsumen.

h. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang memuat ketentuan tentang fungsi, tugas, organisasi dan keanggotaan BPKN. i. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)

yang memuat tentang tugas dan fungsi LPKSM.

j. Penyelesaian Sengketa yang memuat ketentuan-ketentuan tentang penyelesaian sengketa konsumen, baik di pengadilan maupun di luar pengadilan.

k. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang memuat tentang fungsi, tugas dan kewenangan BPSK.

l. Penyidikan yang memuat tentang ketentuan penyidikan perkara konsumen yang diduga memenuhi unsur-unsur pidana.

m. Sanksi yang memuat ketentuan-ketentuan tentang jenis sanksi, meliputi sanksi administratifmaupun sanksi pidana.

n. Ketentuan Peralihan yang memuat ketentuan tentang ketentuan peralihan berkaitan dengan pemberlakuan UUPK.

o. Ketentuan Penutup yang memuat tentang mulainya berlakunya UUPK20.

B. Tinjauan (Review) / Kajian Terdahulu

Dalam penelitian skripsi ini peneliti merujuk kepada buku maupun jurnal terdahulu, tentunya terdapat pembeda yang membedakan apa yang menjadi fokus masalah didalam rujukan dengan fokus masalah yang penulis teliti, diantarannya :

20 Zumrotin, 2007, Problematika Perlindungan Konsumen di Indonesia, Sekarang dan yang Akan Datang, (Surakarta: Fakultan Hukum Universitas Sebelas Maret, 2007), h. 18.

(41)

1. Skripsi ditulis oleh Himawan Dayi dengan judul Perlindungan Hukum Pemegang Uang Elektronik Ditinjau Dari POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (Studi Tentang Klaim Ganti Rugi Kartu Rusak) dikeluarkan pada tahun 2018 oleh Universitas Islam Indonesia.21

Perbedaannya dari penelitian ini terletak pada objek litis kasusnya. Peneliti berfokus membahas perlindungan konsumen nasabah pengguna uang elektronik ditinjau dari PBI 20/6/Pbi/2018 Tentang Uang Elektronik, sedangkan skripsi ini berfokus membahas perlidungan konsumen pengguna uang elektronik ditinjau dari POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

2. Skripsi yang ditulis Herberth Sefnat Dadiara dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Uang Elektronik (E-

Money) Dalam Transaksi Elektroniik diterbitkan pada tahun 2016

oleh Universitas Kristen Satya Wacana.22

Perbedaannya penelitian ini terletak pada objek penelitian nya. Penelitian yang peneliti lakukan berfokus pada PBI 20/6/Pbi/2018 Tentang Uang Elektronik, sedangkan penelitian ini berfokus pada Peraturan Bank Indonesia Nomor : 11/ 11 /PBI/2009 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.

3. Jurnal yang ditulis oleh Mintarsih tahun 2013 di Sekolah Tinggi

Hukum Bandung dengan judul Perlindungan Konsumen Pemegang Uang Elektronik (E-Money) Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang diterbitkan tahun 2013 oleh Jurnal Wawasan Yuridika.23

21https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/8067/SKRIPSI.pdf?sequence=1

diakses pada tanggal 29 November 2020, pukul 20.44 WIB.

22https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/11618/1/T1_312012063_BAB%

20I.pdf diakses pada tanggal 07 Desember 2020, pukul 21:05 WIB

23Candrawati, Anita, 2014, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Kartu E-Money Sebagai Alat Pembayaran dalam Transaksi Komersial, Jurnal Hukum Vol. 1 No. 3, Maret 2014.

(42)

32

Perbedaannya penelitian ini peneliti menggunakan PBI 20/6/Pbi/2018 Tentang Uang Elektronik sebagai alat analisis perlindungan hukumnya, sedangkan jurnal ini menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen untuk melakukan analisis.

4. Skripsi ditulis oleh Qory Eka Fitri dengan judul Tanggung Jawab Hukum Bank Penerbit Terhadap Risiko Kerugian Nasabah Kartu Kredit Akibat Carding dikeluarkan pada tahun 2019 oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.24

Perbedaan dari penelitian ini terletak pada objek litis kasusnya, dimana peneliti berfokus membahas perlindungan konsumen nasabah pengguna uang elektronik ditinjau dari PBI No.20 Tahun 2018 tentang Uang Elektronik, sedangkan skripsi ini berfokus membahas perlindungan konsumen nasabah pengguna uang elektronik ditinjau dari Undang-Undang No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

24http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44843/1/QORY%20EKA%20

(43)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA UANG ELEKTRONIK TERHADAP KERUGIAN

A. Pengertian Uang

Uang merupakan suatu bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Mengukur stabilitas dan pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilihat sejauh mana peran uang dalam perekonomian suatu negara tersebut. Selain itu, uang juga merupakan suatu hal yang universal yang diterima sebagai alat tukar serta sebagai alat ukur nilai yang pada suatu waktu juga bisa sebagai alat penimbun kekayaan. Dari definisi tersebut jika suatu hal sudah memenuhi definisi itu maka sudah bisa disebut uang, baik yang terbuat dari logam, kertas, atau barang lainnya yang telah diterima masyarakat sebagai alat tukar,alat ukur nilai, serta sebagai alat penimbun kekayaan.1 Maka dapat disimpulkan juga uang adalah penafsiran uang merupakan suatu alat pembayaran yang diterima secara universal untuk semua transaksi baik barang maupun jasa.

Selain fungsi uang sebagai alat pemenuhan kebutuhan hidup, uang juga memiliki empat fungsi lain yang mempengaruhi penggunaannya2. Diantaranya adalah :

1. Alat tukar, artinya sang penjual menerima uang sebagai pembayaran untuk barang yang dijual. Karena nanti uang tersebut juga akan diterima oleh orang lain sebagai alat pembayaran apabila ia juga ingin membeli atau membayar sesuatu (barang atau jasa).

2. Alat penyimpan nilai, artinya bisa sebagai alat pengumpul kekayaan. Dapat dilihat dari berapa banyak uang yang kamu miliki dalam tabungan itu menunjukan kekayaan kamu saat ini.

1 Manginar Manullang, Ekonomi Moneter (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1997) h.24.

2 Asra, Dampak Perubahan Jenis dan Fungsi Uang Bagi Perekonomian Menurut Perspektif Hukum Islam, Jurnal Hukum Vol. 5 No. 1, Juni 2020, h.29.

(44)

34

3. Satuan hitung, dengan adanya satuan hitung memudahkan seseoranag menaksir nilai dari suatu barang atau jasa untuk melakukan pembayaran.

4. Uang sebagai standar pembayaran tunda (Standard of Deffered

Payment), hal ini berlaku dalam pembayaran transaksi kredit karena

sistemnya barang duluan bayar belakangan. Ini merupakan salah satu cara menghitung pembayaran di masa depan.

B. Pengertian Uang Elektronik

Uang elektronik merupakan salah satu alat pembayaran elektronik yang dilakukan dengan cara menyetorkan uang terlebih dahulu kepada penerbit, baik secara langsung maupun dengan melalui mesin ATM, kemudian nilai uang tersebut akan masuk ke dalam media uang elektronik yang biasa dikenal dengan kartu dan dinyatakan dalam satuan rupiah yang bisa digunakan untuk melakukan transaksi pembayaran dan kemudian secara langsung nilai yang berada dalam uang elektronik akan berkurang.3 Menurut Pasal 1 ayat (3) Peratruan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik, uang elektronik adalah alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur sebagai fungsinya alat tukar,

yaitu:

1. Diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu oleh pemegang kepada penerbit;

2. Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau

chip;

3. Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan penerbit uang elektronik tersebut;

4.

Nilai uang elektronik yang disetor pemegang dan dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan.

3 Aulia Pohan, Sistem Pembayaran “Strategi dan Implentasi di Indonesia” (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), h.218.

Referensi

Dokumen terkait

Universitas Negeri

Berdasarkan analisis data hasil observasi ranah psikomotor pada kelas eksperimen dapat terlihat dengan penerapan media video dalam model pembelajaran SAVI terbukti

Dari hasil penelitian mengenai hubungan terpaan pesan persuasif Nusatrip di media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan Pinterest) dan persepsi kualitas website

Penerapan model cooperative learning tipe group investigation dalam pembelajaran ikut berperan dalam menunjang tercapainya tujuan IPS, diantaranya siswa dapat

Data angka mengenai bimbingan guru dan prestasi belajar peserta didik kelas VIII di MTs DDI Galla Raya dapat diperoleh dari hasil angket yang telah diberikan

Tidak dipunggut bayaran dan panitia tidak menyediakan transport. Panitia hanya menyediakan: materi dan

Cendrawasih Raya B7/P Bintaro

pamaknaan terhadap bahasa yang digunakan orang tergantung konteks situasi. Misalnya, kita menggunakan kata ‘bunga’ dalam satu percakapan. Makna kata.. ‘bunga’ tersebut