• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG PERAWATAN HALUSINASI DENGAN TINGKAT KEKAMBUHAN PASIEN HALUSINASI DI RSJD SURAKARTA ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG PERAWATAN HALUSINASI DENGAN TINGKAT KEKAMBUHAN PASIEN HALUSINASI DI RSJD SURAKARTA ABSTRAK"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

1)

Mahasiswa Prodi S-1 Keperawatan 2), 3)

Dosen S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta

ABSTRAK

Halusinasi merupakan salah satu bentuk gangguan jiwa. Peningkatan angka gangguan jiwa yang mengalami halusinasi merupakan masalah serius bagi dunia kesehatan dan keperawatan di Indonesia. Pasien yang mengalami halusinasi jika tidak ditangani dengan baik akan berakibat buruk bagi klien sendiri, keluarga, orang lain dan lingkungan. Tujuan umum dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi di RSJD Surakarta.

Rancangan penelitian cross sectional. Teknik sampling Consecutive Sampling. Sampel penelitian sebanyak 92 pasien. Variabel yang diamati yaitu tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dan tingkat kekambuhan pasien halusinasi di RSJD Surakarta. Penelitian menggunakan uji statistik non parametrik dengan uji chi-square (χ2).

Hasil uji chi-square (χ2) menunjukkan signifikan yaitu c2hitung sebesar 47,001 (p= 0,000 < 0,05).Artinya ada hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi di RSJD Surakarta

Nilai koefisien kontigensi sebesar 0,581 berada pada antara 0,40-0,59 (hubungan cukup kuat) hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi di RSJD Surakarta pada kategori hubungan cukup kuat.

Dari penjelasan studi ini penulis menyimpulkan bahwa tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi yang tinggi akan memperkecil tingkat kekambuhan pasien halusinasi.

Kata Kunci : Tingkat Pengetahuan Keluarga, Halusinasi, Tingkat Kekambuhan Daftar pustaka : 53 (2003-2013)

ABSTRACT

Hallucination is a kind of mental disorder. The increased number of mental disorder patients with hallucination is a serious issue for health and nursing in Indonesia. The improper treatment of the hallucination patients will cause a negative effect on the clients, their families, and their communities. The objective of the research is to investigate the correlation between the families’ knowledge level of hallucination treatment and the hallucination patients’ recurrence level at Local Psychiatric Hospital of Surakarta.

This research used the cross sectional design. The samples of research were 92 patients. They were taken by using the consecutive sampling technique. The data of research were analyzed by using the non-parametric statistical test with the chi-square (χ2) test.

The result of the research shows that there was a strong adequate correlation the families’ knowledge level of hallucination treatment and the hallucination patients’ recurrence level at Local Psychiatric Hospital of Surakarta as indicated by the chi-square testc2count of 47.001 (p= 0.000 < 0.05) and the contingency coefficient value of 0.581, which was located between 0.40-0.59.

Thus, the families’ high knowledge level of hallucination treatment will prevent the hallucination patients’ recurrence level.

Keywords : Families’ high knowledge level, hallucination, recurrence level

(2)

PENDAHULUAN

Kesehatan jiwa menurut UU No. 3 tahun 1996 yang dikutip Yosep (2009) adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal dari seseorang dan perkembangan ini berjalan selaras dengan orang lain. Menurut Depkes RI (2003) dalam (Yuliana Sisky, 2010) gangguan jiwa adalah gangguan pikiran, perasaan, dan tingkah laku seseorang sehingga menimbulkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari (fungsi pekerjaan dan fungsi sosial) dari orang tersebut. Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah halusinasi. Menurut Sunardi (1995) yang dikutip Dalami, dkk (2009), halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada rangsangan yang menimbulkan atau tidak ada objek. Halusinasi adalah distorsi persepsi yang terjadi pada respon neurobiologikal yang maladaptif (Stuart & Sundeen, 2007). Di rumah sakit jiwa Indonesia, sekitar 70% halusinasi yang dialami oleh pasien gangguan jiwa adalah gangguan halusinasi pendengaran, 20% halusinasi penglihatan, dan 10% adalah halusinasi penciuman, pengecapan, dan perabaan (Purba dkk, 2012).

Tingginya angka gangguan jiwa yang mengalami halusinasi merupakan masalah serius bagi dunia kesehatan dan keperawatan di Indonesia. Penderita halusinasi jika tidak ditangani dengan baik akan berakibat buruk bagi klien sendiri, keluarga, orang lain dan lingkungan. Tidak jarang ditemukan penderita yang melakukan tindak kekerasan karena halusinasi. Pemberian asuhan keperawatan yang professional diharapkan mampu mengatasi hal ini (Hawari, 2007). Halusinasi merupakan penyimpangan perilaku karena individu memperlihatkan gejala abnormal yang tidak sesuai dengan kenyataan. Halusinasi dapat terjadi pada salah satu dari lima modalitas sensori utama penglihatan, pendengaran, bau, rasa dan perabaan persepsi terhadap stimulasi eksternal dimana stimulus tersebut sebenarnya tidak ada (Stuart, 2007).

Keluarga merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan asuhan keperawatan pada pasien halusinasi. Keluarga

yang mendukung pasien secara konsisten akan membuat pasien mampu mempertahankan program pengobatan secara optimal. Namun demikian jika keluarga tidak mampu merawat pasien, maka pasien akan kambuh bahkan untuk memulihkannya lagi akan sangat sulit. Hal ini tentunya tidak lepas dari tingkat pengetahuan dan kemampuan keluarga merawat anggota keluarganya (Keliat, 1996 dalam Yuyun Yusnifah, 2012). Memberikan kepercayaan dan motivasi bagi penderita gangguan jiwa dalam menjalani kehidupannya. Selain itu, dorongan yang kuat dari dalam dirinya tentu dapat memotivasi pasien kembali menempatkan dirinya dalam masyarakat (Keliat, 1996 dalam Yuyun Yusnifah, 2012).

Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kekambuhan pasien halusinasi (Ryandini dkk, 2011). Keluarga adalah caregiver untuk pasien halusinasi di rumah. Perannya menggantikan peran perawat saat di rumah sakit. Pendidikan kesehatan diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan keluarga. Hal ini memperlihatkan pentingnya pengetahuan keluarga untuk proses penyembuhan pasien (Yuyun Yusnipah, 2012).

Kekambuhan adalah munculnya kembali gejala-gejala akut yang biasanya sama dengan perlakuan yang ditujukan klien pada awal episode diri. Sebagai perlakuan umum yang terjadi seperti kurang tidur, penarikan diri, kehidupan sosial yang memburuk, kekacauan berfikir, berbicara ngawur, halusinasi penglihatan dan pendengaran (Firdaus dkk, 2005).

Keluarga berperan penting dalam menentukan cara atau asuhan keperawatan yang diperlukan oleh pasien di rumah sehingga akan menurunkan angka kekambuhan (Nurdiana, 2007). Hasil penelitian tersebut dipertegas oleh penelitan lain yang dilakukan oleh Dinosetro (2008), menyatakan bahwa keluarga memiliki fungsi strategis dalam menurunkan angka kekambuhan, meningkatkan kemandirian dan taraf hidupnya serta pasien dapat beradaptasi kembali pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.

(3)

Berdasarkan jumlah total pasien yang masuk di RSJD Surakarta bulan Januari sampai dengan Desember 2014 baik lewat IGD maupun IRJ adalah 2.783 dan yang mengalami kekambuhan sebanyak 1.750 dan 70% pasien dengan halusinasi (MR RSJD SKA, 2014).

Hasil wawancara pada studi pendahuluan terhadap 10 orang keluarga pasien yang membawa pasien untuk berobat ke RSJD Surakarta¸ menyatakan tahu bahwa anggota keluarganya mengalami halusinasi,dirumah menunjukkan gejala seperti bicara dan tertawa sendiri, bicara nglantur atau tidak jelas,marah-marah tanpa sebab. Pada studi pendahuluan ini juga didapatkan data keluarga menyatakan tidak tahu harus melakukan apa untuk mengatasi masalah anggota keluarganya yang menderita halusinasi. Tindakan yang dilakukan keluarga antara lain hanya membiarkan pasien, mengurung dalam rumah atau kamar dan jika pasien membahayakan orang lain atau lingkungan baru kemudian dibawa ke Rumah Sakit.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi di RSJD Surakarta.

METODE

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional, yaitu suatu penelitian survei analitik. Pengamatan cross sectional merupakan penelitian prevalensi penyakit dan sekaligus dengan prevalensi penyebab atau faktor risiko. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati hubungan antara faktor risiko terhadap akibat yang terjadi dalam bentuk penyakit atau keadaan (status) kesehatan tertentu dalam waktu yang bersamaan (Noor, 2008). Cross sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach). Populasi adalah keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam penelitian (Saryono,

2011). Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga yang merawat pasien halusinasi yang sedang rawat inap dan kambuh di RSJD Surakarta pada bulan Januari sampai dengan Desember 2014 tercatat 1.200 pasien.

Sampel adalah sebagian dari populasi yang terdiri atas sejumlah anggota yang dipilih dari populasi. Dengan kata lain, sejumlah, tapi tidak semuanya, elemen dari populasi akan membentuk sampel. Sampel dalam penelitian ini adalah keluarga yang merawat pasien halusinasi yang sedang rawat inap di RSJD Surakarta sebanyak 92 pasien.

HASIL

Penelitian ini dilakukan di RSJD Surakarta pada tanggal 25 Mei s/d 4 Juli 2015. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah

consecutive sampling. Sampel penelitian berjumlah 92 pasien dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi di RSJD Surakarta. Adapun hasilnya adalah sebagai berikut

Analisis Univariat

1. Karakteristik responden berdasarkan umur Tabel Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur Umur f % 28 – 40 Tahun 30 32,6% 41 – 53 Tahun 45 48,9% 54 – 65Tahun 17 18.5% Jumlah 92 100,0%

Hasil distribusi berdasarkan umur responden dapat diketahui bahwa umur 28 - 40 tahun sebanyak 30 responden atau 32,6%, 41 - 53 tahun sebanyak 45 responden atau 48,9% dan 54 - 65 tahun sebanyak 17 responden atau 18,5%. Maka dapat disimpulkan bahwa umur responden sebagian besar 41 - 53 tahun yaitu sebanyak 45 responden atau 48,9%.

(4)

2. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Tabel Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

Laki-laki 36 39,1%

Perempuan 56 60,9%

Jumlah 92 100,0%

Hasil distribusi berdasarkan jenis kelamin responden dapat diketahui bahwa laki-laki sebanyak 36 responden atau 39,1% dan perempuan sebanyak 56 responden atau 60,9%. Maka dapat disimpulkan bahwa responden penelitian sebagian besar perempuan.

3. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan

Tabel Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan

Pendidikan Frekuensi Persentase

Perguruan Tinggi 5 5,4%

SMA 54 58,7%

SMP 28 30,5%

SD 5 5,4%

Jumlah 92 100,0%

Hasil distribusi berdasarkan pendidikan responden dapat diketahui bahwa pendidikan terakhir SD sebanyak 5 responden atau 5,4%, SMP sebanyak 28 responden atau 30,5%, SMA sebanyak 54 responden atau 58,7% dan Perguruan Tinggi sebanyak 5 responden atau 5,4%. Maka dapat disimpulkan bahwa responden penelitian sebagian besar dengan pendidikan terakhir SMA, yaitu sebanyak 54 responden atau 58,7%.

4. Tingkat Pengetahuan

Tabel Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat pengetahuan

Tingkat Pengetahuan Frekuensi Persentase Baik 43 46,7% Cukup 33 35,9% Kurang 16 17,4% Jumlah 92 100%

Hasil perhitungan berdasarkan tingkat pengetahuan responden dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan pada kategori baik sebanyak 43 responden atau 46,7%, cukup sebanyak 33 responden atau 35,9% dan kurang sebanyak 16 responden atau 17,4%. Maka dapat disimpulkan sebagian besar responden penelitian dengan tingkat pengetahuan pada kategori baik, yaitu sebanyak 43 responden atau 46,7%.

5. Tingkat Kekambuhan

Tabel Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat kekambuhan

Tingkat Kekambuhan Frekuensi Persentase Tinggi 25 27,2% Rendah 67 72,8% Jumlah 92 100%

Hasil perhitungan berdasarkan tingkat kekambuhan pasien halusinasi dapat diketahui bahwa pada kategori rendah sebanyak 67 responden atau 72,8% dan tinggi sebanyak 25 responden atau 27,2%. Maka dapat disimpulkan sebagian besar pasien halusinasi dengan tingkat kekambuhan pada kategori rendah, yaitu sebanyak 67 responden atau 72,8%.

Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi, yaitu variabel bebas tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dan variabel terikat adalah tingkat kekambuhan pasien halusinasi di RSJD Surakarta. Pada penelitian ini digunakan uji statistik chi square dengan tingkat kemaknaan α=0,05. adapun hasil analisis bivariat adalah sebagai berikut:

(5)

Tabel Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Keluarga Tentang Perawatan Halusinasi dengan Tingkat Kekambuhan

Pasien Halusinasi di RSJD Surakarta

Tingkat Pengetahuan

Keluarga

Tingkat Kekambuhan

Pasien Halusinasi Jumlah c2 p-value

Rendah Tinggi Baik 41 (44,6%) 2 (2,2%) 43 (46,7%) 47,001 0,000 Cukup 25 (27,2%) 8 (8,7%) 33 (35,9%) Kurang 1 (1,1%) 15 (16,3%) 16 (17,4%) Jumlah 67 (72,8%) 25 (27,2%) 92 (100,0%) C (Koefisien Kontigensi) = 0,581

Sumber: data primer diolah, 2015

Hasil perhitungan pada tabel 4.6 diketahui tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi kategori kurang dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi kategori rendah sebanyak 1 orang (1,1%) sedangkan kategori tinggi sebanyak 15 orang (16,3%), tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi kategori cukup dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi kategori rendah sebanyak 25 orang (27,2%) sedangkan kategori tinggi sebanyak 8 orang (8,7%) dan tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi kategori baik dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi kategori rendah sebanyak 41 orang (44,6%) sedangkan kategori tinggi sebanyak 2 orang (2,2%).

Berdasarkan jumlah tabulasi di atas dapat diketahui kecenderungan tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi kategori baik dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi kategori rendah yaitu sebanyak 41 orang (44,6%).

Berdasarkan hasil pengujian pada tabel 4.6 dengan menggunakan alat analisis

chi-square (χ2) dapat diketahui bahwa nilai c2hitung adalah sebesar 47,001 (p= 0,000 < 0,05) sehingga H0 ditolak dan Ha diterima. Hal ini berarti ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi di RSJD Surakarta.

Koefisien kontigensi digunakan untuk menghitung hubungan antar variabel bila datanya berbentuk nominal. Koefisien kontigensi (CC) sangat erat hubungannya dengan chi square yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif (k) sampel

independent. Rumus menghitung koefisien kontigensi adalah (Sugiyono, 2007):

N

X

X

C

=

2+ 2

92

001

,

47

001

,

47

+

=

C

581

,

0

=

C

Kriteria keeratan hubungan dengan menggunakan koefisien kontigensi yaitu sebagai berikut (Sugiyono, 2007):

1. 0,00-0,19 = hubungan sangat lemah. 2. 0,20-0,39 = hubungan lemah. 3. 0,40-0,59 = hubungan cukup kuat. 4. 0,60-0,79 = hubungan kuat. 5. 0,80-1,00 = hubungan sangat kuat.

Nilai koefisien kontigensi sebesar 0,581 berada pada antara 0,40-0,59 (hubungan cukup kuat) hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi di RSJD Surakarta pada kategori hubungan cukup kuat.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi di RSJD Surakarta yang telah dilakukan terhadap 92 keluarga pasien halusinasi diperoleh hasil sebagai berikut:

5.1 Umur Responden

Hasil distribusi berdasarkan umur keluarga dari pasien halusinasi yang sedang rawat inap di RSJD Surakarta diketahui

(6)

bahwa umur responden sebagian besar 41 - 53 tahun sebanyak 45 responden atau 48,9%. Umur yang lebih dewasa lebih memiliki banyak pengalaman, sehingga dapat diartikan bahwa semakin dewasa umur seseorang maka semakin tinggi tingkat pengalamannya (Mubarak, 2007). 5.2 Jenis Kelamin Responden

Hasil distribusi berdasarkan jenis kelamin keluarga dari pasien halusinasi yang sedang rawat inap di RSJD Surakarta dapat diketahui sebagian besar perempuan sebanyak 56 responden atau 60,9%. Hal ini disebabkan karena perempuan memiliki peranan penting dalam merawat anggota keluarga yang sakit.

5.3 Pendidikan Responden

Hasil distribusi berdasarkan pendidikan keluarga dari pasien halusinasi yang sedang rawat inap di RSJD Surakarta diketahui bahwa sebagian besar pendidikan SMA yaitu sebanyak 54 responden atau 58,7%. Makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan informasi dan nilai-nilai baru diperkenalkan (Mubarak dkk, 2007). 5.4 Tingkat Pengetahuan Keluarga Tentang

Perawatan Halusinasi di RSJD Surakarta Hasil distribusi tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi di RSJD Surakarta dominan kategori baik yaitu sebesar 46,7%. Sabagian besar keluarga tahu dan memahami isi kuesioner tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi di RSJD Surakarta. Hal ini disebabkan informasi mengenai perawatan halusinasi sudah banyak didapat keluarga melalui media informasi seperti koran ,televisi dan radio, serta keluarga mendapatkan penyuluhan kesehatan dari petugas kesehatan di RSJD Surakarta. Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kekambuhan pasien

halusinasi (Ryandini dkk, 2011). Pengetahuan (Knowledge) diartikan sebagai hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung dan sebagainya), dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Keluarga adalah caregiver untuk pasien halusinasi di rumah. Perannya menggantikan peran perawat saat di rumah sakit. Pendidikan kesehatan diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan keluarga .

Penelitian ini sejalan dengan penelitiannya Yuyun Yusnipah (2012), dengan menunjukkan hasil bahwa sebanyak 57,7% responden memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi dalam merawat pasien halusinasi. Hal ini memperlihatkan pentingnya pengetahuan keluarga untuk proses penyembuhan pasien (Yuyun Yusnipah, 2012).

5.5 Tingkat Kekambuhan Pasien Halusinasi Di RSJD Surakarta

Hasil distribusi berdasarkan tingkat kekambuhan pasien halusinasi di RSJD Surakarta dominan kategori rendah yaitu sebesar 72,8%, Hal ini disebabkan oleh faktor tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi di RSJD Surakarta yang membuat keyakinan klien akan kesembuhan tentang dirinya meningkat sehingga menyebabkan klien mempunyai semangat dan motivasi dalam proses penyembuhan. Sedangkan tingkat kekambuhan yang tinggi disebabkan oleh kurangnya pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi. Kekambuhan adalah munculnya kembali gejala-gejala akut yang biasanya sama dengan perlakuan yang ditujukan klien pada awal episode diri. Sebagai perlakuan umum yang terjadi seperti kurang tidur, penarikan diri, kehidupan sosial yang memburuk, kekacauan berfikir, berbicara ngawur, halusinasi penglihatan dan pendengaran (Firdaus dkk, 2005). Penelitian ini sejalan

(7)

dengan penelitiannya Nurdiana, dkk (2007) menunjukkan hasil bahwa tingkat kekambuhan yang rendah sebanyak 22 orang (73,3%) yang mungkin disebabkan oleh faktor peran serta keluarga.

5.6 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Keluarga Tentang Perawatan Halusinasi dengan Tingkat Kekambuhan Pasien Halusinasi di RSJD Surakarta

Hasil penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi di RSJD Surakarta dengan nilai c2hitung sebesar 47,001 (p= 0,000 < 0,05).Keluarga merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan asuhan keperawatan pada pasien halusinasi. Keluarga yang mendukung pasien secara konsisten akan membuat pasien mampu mempertahankan program pengobatan secara optimal. Namun demikian jika keluarga tidak mampu merawat pasien, maka pasien akan kambuh bahkan untuk memulihkannya lagi akan sangat sulit. Hal ini tentunya tidak lepas dari tingkat pengetahuan dan kemampuan keluarga merawat anggota keluarganya (Keliat, 1996 dalam Yuyun Yusnifah, 2012). Memberikan kepercayaan dan motivasi bagi penderita gangguan jiwa dalam menjalani kehidupannya. Selain itu, dorongan yang kuat dari dalam dirinya tentu dapat memotivasi pasien kembali menempatkan dirinya dalam masyarakat (Keliat, 1996 dalam Yuyun Yusnifah, 2012).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi di RSJD Surakarta dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Karakteristik responden berdasarkan umur responden sebagian besar 41 - 53 tahun yaitu sebanyak 45 responden atau 48,9%,

jenis kelamin perempuan sebanyak 56 responden atau 60,9% dan pendidikan terakhir SMA, yaitu sebanyak 54 responden atau 58,7%.

2. Tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi di RSJD Surakarta dominan kategori baik yaitu sebesar 46,7%.

3. Kekambuhan pasien halusinasi di RSJD Surakarta dominan kategori rendah yaitu sebesar 72,8%, sedangkan sisanya kategori tinggi hanya sebesar 27,2%.

4. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi di RSJD Surakarta dengan nilai c2hitung sebesar 47,001 (p= 0,000 < 0,05). Nilai koefisien kontigensi sebesar 0,581 berada pada antara 0,40-0,59 (hubungan cukup kuat) hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi di RSJD Surakarta pada kategori hubungan cukup kuat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi yang tinggi akan memperkecil tingkat kekambuhan pasien halusinasi.

Saran

Adanya berbagai keterbatasan dan kekurangan dari penelitian ini, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Bagi Rumah Sakit

Sebaiknya rumah sakit harus lebih meningkatkan intensitas kunjungan keluarga pasien, untuk meningkatkan pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dengan meningkatkan pendidikan kesehatan atau penyuluhan tentang perawatan halusinasi sehingga jarang mengalami kekambuhan yang berulang.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat memberikan petunjuk para civitas akademika bahwa keluarga pasien juga dapat menjadi salah satu objek pengkajian dalam upaya penyembuhan pasien halusinasi.

(8)

3. Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk penelitian lebih lanjut, maka untuk penelitian yang akan datang diharapkan dapat mengembangkan faktor lain yang dapat mempengaruhi penyembuhan pasien halusinasi.

4. Bagi Peneliti

Dapat menambah wawasan mengenai tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi.

DAFTAR PUSTAKA

Dalami, E, dkk. (2009). Asuhan Keperawatan

Jiwa dengan Masalah Psikososial.

Jakarta: Trans Info Media.

Dinosetro. (2008). Hubungan antara peran

keluarga dengan tingkat kemandirian kehidupan sosial bermasyarakat pada klien Skizofrenia post perawatan di Rumah Sakit Jiwa Menur.

http://dinosetro.multiply.com/guestboo k?&=&page=3. Diunduh pada tanggal 30 Desember 2014.

Firdaus Jimmi, Muhammad Syukri, dkk. (2005).

Schizophrenia, Sebuah Panduan Bagi Keluarga Skizofrenia. Yogyakarta: Dozz.

Hawari, Dadang. (2007). Pendekatan Holistik

pada Gangguan Jiwa Skizofrenia.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

MR RSJD SK. (2013). Data Jumlah Pasien

Gangguan Jiwa. Rumah Sakit Jiwa

Daerah Surakarta.

Noor, N.N. (2008). Epidemiologi. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Nurdiana, Syafwani, Umbransyah. (2007). Peran Serta Keluarga Terhadap Tingkat Kekambuhan Klien Skizofrenia. Jurnal

Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Vol.3 No.1.

Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan

Metodologi Penelitian Keperawatan.

Jakarta: Salemba Medika.

Purba dkk. (2012). Asuhan Keperawatan pada

Klien dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Edisi 2. Medan: USU

Press.

Ryandini, R.F.,Saraswati, H.R. & Meikawati, W. (2011). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kekambuhan pada Pasien Skizofrenia di Rumah

Sakit Jiwa Daerah Amino

Gondohutomo Semarang. Jurnal Keperawatan dan Kebidanan (JIKK). Vol 1. No. 4. 4 Juni 2011. 205-215.

Saryono. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan: Penuntun Praktis Bagi Pemula. Yogyakarta: Mitra Cendikia

Press.

Stuart, & Sundeen. (2007). Buku Saku

Keperawatan Jiwa Edisi 4. Jakarta:

EGC.

Stuart, G.W. (2007). Buku Saku Keperawatan

Jiwa; Alih Bahasa, Ramona P, Egi, K.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sugiyono. (2007). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Yosep I. (2009). Keperawatan Jiwa (Edisi

Revisi). Bandung: Penerbit Refika

Aditama.

Yuliana Sisky. (2010). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Motivasi Keluarga dalam Memberikan Dukungan terhadap Klien Gangguan Jiwa di Poliklinik RSJ Prof. HB Saanin Padang Tahun 2010. Skripsi. Program Studi Ilmu Keperawatan. Fakultas Kedokteran. Universitas Andalas Padang.

Yuyun Yusnipah. (2012). Tingkat Pengetahuan Keluarga dalam Merawat Pasien Halusinasi di Poliklinik Psikiatri Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor.

Skripsi. Fakultas Ilmu Keperawatan.

Gambar

Tabel Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Keluarga Tentang  Perawatan Halusinasi dengan Tingkat Kekambuhan

Referensi

Dokumen terkait

Jika stasiun tujuan mendeteksi kesalahan pada frame, stasiun tujuan akan mengirim balasan negatif (REJ= Reject) untuk frame yang dikirim tersebut..

klasik mengenai faktor-faktor yang menentukan tingkat kegiatan ekonomi suatu negara yaitu1. melemahkan pandangan bahwa penggunaan tenaga kerja penuh (Full

7. Kakak Atikah Asnaa S.Sos. Selaku Staf Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam.. selaku mantan Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SU, juga sekaligus guru panutan

Perubahan pemindahan pasar Muaralabuh pada dasarnya perubahan lokasi pasar dilakukan merupakan sebuah rangkaian dari proses sosial dan ekonomi. Penelitian ini

Beberapa sub bahasan yang akan diuraikan dalam pembahasan ini adalah tinjauan Pendidikan Agama Islam, materi pokok Pendidikan Agama Islam, kurikulum PAI, serta PAI Penguatan

Hampir kesemuanya negara Islam sekarang ini mewujudkan pembangunan yang tidak Islamik (berasaskan sistem sekular) kerana ia mengikut falsafah pemerintah yang berkuasa

Selain suara- suara bising yang ditimbulkan kendaraan-kendaraan tersebut juga menimbulkan debu sehinggaterasa sekali kantor ini kurang nyaman bagi pegawai maupun bagi masyarakat

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan di SD Negeri Panjang Wetan 01 Kota Pekalongan, bahwa diperoleh data motivasi orang tua dalam menentukan sekolah