• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Direktorat Kerjasama Regional, Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional. (2010), memberikan definisi sebagai berikut:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI. Direktorat Kerjasama Regional, Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional. (2010), memberikan definisi sebagai berikut:"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

15 BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1. ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA)

Direktorat Kerjasama Regional, Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional (2010), memberikan definisi sebagai berikut:

ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China.

2.1.1. Tujuan ASEAN-CHINA FTA

1. Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara negara-negara anggota.

2. Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi.

3. Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota.

(2)

4. Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam) dan menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.

2.1.2. Dasar Hukum

1. Keputusan yang dibuat oleh para kepala negara/ pemerintahan ASEAN dan China untuk membentuk ‘Kerangka kerja mengenai kerjasama ekonomi dan pendirian suatu kawasan perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Area/ACFTA)” pada pertemuan puncak ASEAN dan Republik Rakyat China di Bandar Seri Begawan, Brunei pada tanggal 6 Nopember 2001 Penandatanganan “Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Negara-negara Anggota ASEAN dan Republik Rakyat China” di Phnom Penh, kamboja pada tanggal 4 Nopember 2002 ; 2. Diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Peraturan

Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tentang Pengesahan Framework Agreement On The Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association of South East Asian Nations and The People’s Republic of China (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Pemerintah Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Korea);

2.1.3. Kronologi ACFTA dan Upaya Pemerintah

Kesepakatan untuk menerapkan ASEAN-China Free Trade Area atau ACFTA tersebut telah dirancang sejak lama dan ditandatangani 8 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 4 November 2002. Sedangkan jauh sebelumnya juga sudah dirancang

(3)

17 dan disepakati Common Effective Preferential Tarif dalam rangka ASEAN Free Trade Agreement (CEPT-AFTA), dan perjanjian tersebut telah ditandatangani pada tanggal 28 Januari 1992.

ACFTA disepakati akan dilaksanakan liberalisasi penuh pada tahun 2010 bagi ASEAN 6 dan China, serta tahun 2015 untuk serta Kamboja, Laos, Vietnam, dan Myanmar. Setelah berlakunya ACFTA, sejumlah kalangan, terutama kalangan pengusaha meminta pemberlakuannya ditunda sampai pengusaha domestik benar-benar siap menghadapi ACFTA. Golongan yang meminta penundaan tersebut khawatir jika liberalisasi perdagangan diterapkan mulai saat ini akan menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dari sejumlah perusahaan karena produknya kalah bersaing di pasaran. Jika terjadi PHK besar-besaran maka tingkat pengangguran akan semakin tinggi, dampaknya tingkat kemiskinan akan semakin tinggi pula.

Sejumlah pakar memperkirakan produk dalam negeri yang akan terkena dampak ACFTA yang cukup signifikan antara lain tekstil dan produk tekstil, makanan dan minuman, pertokimia, alat-alat dan hasil pertanian, elektronik, industri komponen manufaktur otomotif dan lain-lain.

Sehubungan dengan keberatan tersebut, Pemerintah bersama pihak dunia usaha telah melakukan kajian bersama secara mendalam untuk mengindentifikasi sektor-sektor mana yang diperkirakan akan mengalami pelemahan daya saing. Kajian tersebut telah berhasil mengidentifikasi sebanyak 228 pos tarif produk dalam kerangka ACFTA dan sebanyak 227 pos tarif produk dalam kerangka CEPT-AFTA. Pos-pos tarif dimaksud diupayakan untuk dinegosiasikan kembali dengan negara mitra dalam perjanjian tersebut.

(4)

Disamping itu, Pemerintah juga telah membentuk Tim Koordinasi yang bertugas menyelesaikan hambatan industri dan perdagangan dalam rangka memperkuat daya saing industri nasional dalam menghadapi perdagangan global. Langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh Tim tersebut antara lain :

1. Meningkatkan efektivitas pengamanan pasar dalam negeri dari penyelundupan dan pengawasan peredaran barang dalam negeri melalui peningkatan pemberlakukan sejumlah instrumen yang sesuai dengan disiplin perjanjian internasional, seperti standar mutu, HaKI dan perlindungan konsumen, serta mencegah dumping dan lain-lain.

2. Meningkatkan efektivitas pengawasan terhadap penerbitan dan pemanfaatan dokumen surat keterangan asal (SKA) untuk ekspor dan impor.

3. Melakukan penguatan pasar ekspor, seperti Trade Promotion Center. 4. Peningkatan promosi penggunaan produk dalam negeri.

5. Penanganan issue domestik lainnya, seperti pembenahan tata ruang dan pemanfaatan lahan, infrastuktur dan energi, perluasan akses pembiayaan, perbaikan pelayanan publik, dan lain-lain.

6. Pemerintah juga akan mengambil langkah-langkah kebijakan yang diperlukan demi kelancaran pelaksanaan pembicaraan ulang dengan pihak-pihak terkait.

2.1.4. Penerapan ACFTA Di Indonesia

Tahap awal ACFTA dikenal sebagai Early Harvest Program (EHP) telah dilaksanakan sejak tahun 2004. Produk-produk dalam EHP antara lain, Binatang hidup, ikan, dairy products, tumbuhan, sayuran, dan buah-buahan.

Menurut Abren Ginting (2011) pada 1 Januari 2010, ACFTA telah efektif sepenuhnya dalam menerapkan zero tarif pada 6682 post tarif di 17 sektor, termasuk

(5)

19 12 di bidang manufaktur dan lima di sektor pertanian, pertambangan dan kelautan. ASEAN-6 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Brunei Darussalam) dan China menurunkan semua tarif menjadi nol pada tahun 2010, dan anggota baru (Combodia, Laos, Myanmar dan Vietnam) melakukan hal sama pada tahun 2015.

2.1.5. Implikasi ACFTA Di Sektor Industri

ACFTA dari sudut pandang konsumen memiliki implikasi positif karena konsumen dapat menemukan pasar yang dibanjiri oleh produk-produk dengan harga yang lebih rendah dan memiliki lebih banyak pilihan.

Di sisi industri, ACFTA memberikan kemudahan bagi produk China untuk masuk ke Indonesia, dan sebaliknya dari Indonesia ke China. Berikut merupakan grafik ekspor-impor antara Indonesia dan China tahun 2007-2011 (dalam ribu US$).

Grafik 2.1

Ekspor-Impor Produk Hasil Industri Antara Indonesia Dan China Tahun 2007-2011 0 5E+09 1E+10 1.5E+10 2E+10 2.5E+10 3E+10 2007 2008 2009 2010 2011 EKPOR IMPOR sumber : Kemenperin (2011)

(6)

Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa produk hasil industri yang masuk ke China dari Indonesia lebih kecil dari produk hasil industri China yang masuk ke Indonesia. Serta dapat dilihat bahwa dalam periode 2007-2011 ekpor-impor antara Indonesia dan China mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dan pada tahun 2009 terlihat adanya penurunan dari tahun 2008, namun kemudian kembali mengalami peningkatan di tahun berikutnya. Banyaknya produk impor China yang masuk ke Indonesia, membuat banjirnya pasar domestik Indonesia dengan produk China.

Kemenperin (2011) melakukan survei dengan mengirimkan kuisioner kepada 724 perusahaan. Mayoritas dari 44,2% yang mengembalikan kuisioner menyatakan bahwa pemberlakuan ACFTA pada umumnya berdampak negatif terhadap kinerja 5 cabang industri dalam negeri yang diteliti. Dari hasil survei terhadap kinerja perusahaan pada cabang industri elektronika, furnitur, logam, permesinan, dan tekstil, terdapat korelasi antara pemberlakuan ACFTA terhadap kinerja 5 cabang industri dalam negeri yang diteliti. Hubungan dimaksud diantaranya adalah terjadinya penurunan produksi, penurunan jumlah tenaga kerja, penurunan penjualan, dan penurunan keuntungan.

Pemerintah dan dunia usaha perlu terus melaksanakan pemantauan dengan seksama untuk mencegah memburuknya sektor industri serta dibutuhkan bantuan teknis dalam rangka meningkatkan daya saing industri.

2.2. Financial Distress

Menurut Irfan Fahmi (2011) jika suatu perusahaan mengalami masalah dalam likuiditas maka sangat memungkinkan perusahaan tersebut mulai memasuki masa kesulitan keuangan (financial distress), dan jika kondisi keuangan tersebut tidak cepat diatasi maka ini bisa berakibat kebangkrutan usaha (bankruptcy).

(7)

21 Plat dan Plat (2002) mendefinisikan financial distress sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan atau likuidasi. Financial distress dimulai dari ketidakmampuan dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya, terutama kewajiban yang bersifat jangka pendek termasuk kewajiban likuiditas, dan juga termasuk kewajiban dalam kategori solvabilitas.

Sebuah perusahaan tidak akan mengalami kebangkrutan secara tiba-tiba, namun dalam proses waktu yang berlangsung lama, dan itu dapat dilihat dari tanda-tanda. Karena itu bagi seorang peneliti, manajer, dan investor akan melihat dari berbagai sudut pandang kajian yang berbeda-beda. Secara umum ada 2 (dua) model sudut pandang kajian, yaitu :

a. Model kajian perspektif teoritis. Model ini menggunakan metode deduksi dalam kajiannya. Penurunan model ini dimulai dengan meneliti kondisi normatif suatu perusahaan yang pailit.

b. Model kajian perspektif empiris. Model ini menggunakan metode induksi. Biasanya, model yang dibentuk dari pendekatan empiris diturunkan dari rasio-rasio keuangan perusahaan-perusahaan yang terlebih dahulu diawali dengan suatu pemisahan kelompok pailit dan non pailit secara legal.

Altman dalam Ahmad R dan Herni A (2010:172) mendefinisikan financial distress sebagai ketidakmampuan membayar hutang (insolvency), kondisi dari aset atau milik dan kewajiban seseorang yang dhulunya tersedia menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang. Definisi ini memiliki dua bagian yaitu stock dan flow. Keduanya menggambarkan mengenai ketidakmampuan membayar hutang (insolvency) stock based insolvency terjadi ketika perusahaan memiliki kekayaan bersih yang negatif dan nilai aset kurang dari nilai hutang. Flow based insolvency terjadi ketika arus kas yang berjalan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban yang

(8)

diminta. Flow based insolvency mengacu pada ketidakmampuan perusahaan untuk membayar hutang.

2.2.1. Faktor Penyebab Financial Distress

Menurut Ahmad R dan Herni A (2010) apabila ditinjau dari aspek keuangan, maka terdapat tiga keadaan yang dapat menyebabkan financial distress yaitu:

1. Faktor ketidakcukupan modal atau kekurangan modal. Ketidakseimbangan aliran penerimaan uang yang bersumber pada penjualan atau penagihan piutang dengan pengeluaran uang untuk membiayai operasi perusahaan tidak mampu menarik dana untuk memenuhi kekurangan dana tersebut, maka perusahaan akan berada pada kondisi tidak likuid.

2. Besarnya beban hutang dan bunga. Agar perusahaan mampu menarik dana dari luar, misalnya mendapatkan kredit dari bank untuk menutupi kekurangan dana, maka masalah likuiditas perusahaan dapat teratasi untuk sementara waktu. Tetapi kemudian imbul persoalan baru yaitu adanya keterikatan kewajiban untuk membayar kembali pokok pinjaman dan bunga kredit. Ketidakmampuan perusahaan melakukan manajemen resiko atas hutangnya dapat mengakibatkan perusahaan harus mendapatkan resiko menderita kerugian yang seharusnya tidak perlu terjadi.

3. Menderita kerugian. Pendapatan yang diperoleh perusahaan harus mampus menutup seluruh biaya yang dikeluarkan dan menghasilkan laba bersih. Besarnya laba bersih sangat penting bagi perusahaan untuk melakukan reinvestasi, sehingga akan menambah kekayaan bersih perusahaan dan meningkatkan ROE (Return on Equity) untuk menjamin kepentingan

(9)

23 pemegang saham. Oleh karena itu perusahaan harus selalu berupaya meningkatkan pendapatan dan mengendalikan tingkat biaya. Ketidakmampuan perusahaan mempertahankan keseimbangan pendapatan dengan biaya, niscaya perusahaan akan mengalami financial distress.

2.2.2. Prediksi Financial Distress

Untuk mengatasi dan meminimalisir terjadinya kebangkrutan, perusahaan dapat mengawasi kondisi keuangan dengan menggunakan teknik-teknik analisis laporan keuangan. Analisis laporan keuangan merupakan alat yang penting untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan posisi keuangan perusahaan serta hasil yang telah dicapai sehubungan dengan pemilihan strategi perusahaan yang telah diterapkan. Dengan melakukan analisis laporan keuangan perusahaan, maka dapat diketahui kondisi dan perkembangan financial perusahaan. Selain itu, juga dapat diketahui kelemahan serta hasil yang dianggap cukup baik dan potensi kebangkrutan perusahaan tersebut.

Menurut Plat dan Plat kegunaan informasi jika suatu perusahaan mengalami Financial Distress adalah :

1. Dapat mempercepat tindakan manajemen untuk mencegah masalah sebelum terjadinya kebangkrutan.

2. Pihak manajemen dapat mengambil tindakan merger atau take over agar perusahaan lebih mampu untuk membayar hutang dan mengelola perusahaan dengan lebih baik

3. Memberikan tanda peringatan dini adanya kebangkrutan pada masa yang akan datang.

(10)

2.3. Laporan Keuangan

Menurut PSAK No. 1 (Revisi 2009), laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, laporan keuangan menyajikan informasi mengenai entitas yang meliputi:

a) Aset; b) Liabilitas; c) Ekuitas;

d) pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian;

e) kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik dalam kapasitasnya sebagai pemilik; dan

f) Arus kas.

Informasi tersebut diatas beserta informasi lainnya yang terdapat dalan catatan atas laporan keuangan membantu pengguna laporan dalam memprediksi arus kas pada masa depan khususnya dalam hal waktu dan kepastian diperolehnya kas dan setara kas.

Laporan keuangan yang lengkap terdiri dari komponen-komponen berikut ini:

a) laporan posisi keuangan pada akhir periode; b) laporan laba rugi komprehensif selama periode; c) laporan perubahan ekuitas selama periode;

(11)

25 d) laporan arus kas selama periode;

e) catatan atas laporan keuangan, berisi ringkasan kebijakan akuntansi penting dan informasi penjelasan lainnya; dan

f) laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif atau membuat penyajian kembali pos-pos laporan keuangan, atau ketika entitas mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya.

Manajemen sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan perusahaan perlu memperhatikan dan mengikuti standar-standar dan prinsip-prinsip yang dipakai di Indonesia. Oleh karena itu, perusahaan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan perlu berpedoman pada Pernyataan Stadar Akuntansi keuangan (PSAK).

2.3.1. Tujuan Laporan Keuangan

Berdasarkan kerangka dasar penyusunan penyajian laporan keuangan, tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.

Laporan keuangan juga menunjukkan apa yang telah dilakukan manajemen (stewardship), atau pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya. Pemakai yang ingin menilai apa yang telah dilakukan atau pertanggungjawaban manajemen berbuat demikian agar mereka dapat membuat keputusan ekonomi; keputusan ini mungkin mencakup, misalnya, keputusan untuk menahan atau menjual investasi mereka dalam perusahaan atau keputusan untuk mengangkat kembali atau mengganti manajemen.

(12)

Yustina dan Titik dalam buku Irham Fahmi (2011:6) mengatakan bahwa laporan keuangan ditujukan sebagai pertanggung jawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya kepada pemilik perusahaan atas kinerja yang telah dicapainya serta merupakan laporan akuntansi utama yang mengomunikasikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam membuat analisa ekonomi dan peramalan untuk masa yang akan datang.

Adapun pihak-pihak yang berkepentingan dalam laporan keuangan adalah pihak internal dan eksternal, antara lain:

a. Pihak Internal

1. Pihak Manajemen, berkepentingan langsung dan sangat membutuhkan informasi keuangan untuk tujuan pengendalian (controlling), pengoordinasian (coordinating) dan perencanaan (planning) suatu perusahaan.

2. Pemilik perusahaan, dengan menganalisis laporan keuangannya pemilik dapat menilai berhasil atau tidaknya manajemen dalam memimpin perusahaan.

b. Pihak Eksternal

1. Investor, memerlukan analisis laporan keuangan dalam rangka penentuan kebijakan penanaman modalnya. Bagi investor yang panting adalah tingkat imbalan hasil (return) dari modal yang telah atau akan ditanam dalam suatu perusahaan tersebut.

2. Kreditur, merasa berkepentingan terhadap pengembalian/pembayaran kredit yang telah diberikan kepada perusahaan, mereka perlu mengetahui kinerja keuangan jangka pendek (likuiditas), dan profitabilitas dari perusahaan.

(13)

27 3. Pemerintah, informasi ini sangat berguna untuk tujuan pajak dan juga

oleh lembaga yang lain seperti Statistik, dan lain-lain.

4. Karyawan, berkepentingan dengan laporan keuangan dari perusahaan tempat mereka bekerja karena sumber penghasilan mereka bergantung pada perusahaan yang bersangkutan.

2.3.2. Keterbatasan Laporan Keuangan

Menurut Dermawan Syahrial dan Djahotman Purba (2011:10), laporan keuangan memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:

1. Bersifat khusus

Artinya laporan atas kejadian masa lalu atau yang telah lewat, sehingga tidak dapat dianggap sebagai laporan saat ini.

2. Bersifat umum

Informasi disajikan kepada semua pihak atau bukan pihak tertentu, padahal masing-masing pihak memiliki kepentingan yang berbeda-beda.

3. Unsur taksiran

Proses penyusunan laporan keuangan tidak terlepas dari unsur taksiran dan pertimbangan-pertimbangan tertentu, sebagai akibatnya terjadi perbedaan angka dalam laporan neraca maupun rugi-laba.

4. Bersifat konservatif

Jika ada penilaian pos tertentu yang tidak pasti maka dipilihlah alternatif yang paling kecil untuk aktiva dan pendapatan. Bahkan pendapatan yang belum pasti, tidak diakui, tetapi kerugian yang mungkin terjadi diakui atau dicatat. 5. Menggunakan istilah-istilah teknis

(14)

Pemakai laporan keuangan diasumsikan memahami bahasa teknis akuntansi dan sifat dari informasi yang disampaikan.

6. Menggunakan informasi kuantitatif

Informasi yang bersifat kualitatif dan fakta yang dapat dikwantifikasikan pada umumnya diabaikan.

7. Mengabaikan nilai waktu dari uang

Jumlah yang sama besarnya pada saat ini pasti lebih besar nilainya (daya beli) dibandingkan dengan waktu yang akan datang. Hal ini secara logis dapat diterima akal, karena uang yang ada saat ini bisa diinvestasikan atau disimpan di bank untuk memperoleh bunga uang (pendapatan bunga).

2.4. Analisa Laporan Keuangan

Menurut Irham fahmi (2011) suatu laporan keuangan akan menjadi lebih bermanfaat untuk pengambilan keputusan, apabila dengan informasi tersebut dapat diprediksi apa yang akan terjadi di masa mendatang. Dengan mengolah lebih lanjut laporan keuangan melalui proses perbandingan, evaluasi, dan analisis tren akan mampu diprediksi apa yang mungkin akan terjadi di masa mendatang, sehingga disinilah laporan keuangan tersebut begitu diperlukan.

Menurut Kasmir (2010:66) tujuan utama dari analisis laporan keuangan adalah agar dapat mengetahui posisi keuangan perusahaan saat ini. Dengan mengetahui posisi keuangan akan terlihat apakah perusahaan dapat mencapai target yang telah direncanakan dan akan memberikan informasi tentang kelemahan dan kekuatan yang dimiliki perusahaan. Dengan mengetahui kelemahan ini, manajemen akan dapat memperbaiki atau menutupi kelemahan tersebut. Kemudian, kekuatan yang dimiliki perusahaan harus dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Pada akhirnya bagi pihak

(15)

29 pemilik dan manajemen, dengan mengetahui posisi keuangan dapat merencanakan dan mengambil keputusan yang tepat tentang apa yang harus dilakukan ke depan.

2.4.1. Tujuan Analisis Laporan Keuangan

Menurut Bernstein (1983) dalam buku Dermawan Syahrial dan Djahotman Purba (2011:2), tujuan analisis laporan keuangan adalah sebagai berikut:

1. Penyaringan (Screening)

Analisis dilakukan dengan melihat secara analistis untuk laporan keuangan dengan tujuan beberapa alternatif analisis bisnis seperti investasi, merger dan lain-lain dalam hal screening setelah membaca dan memahami analisis keuangan diharapkan dapat menyaring aktifitas bisnis yang menggairahkan di masa depan.

2. Peramalan (Forecasting)

Analisis digunakan untuk meramalkan kondisi keuangan perusahaan dimasa sekarang dan yang akan datang.

3. Diagnosa (Diagnosis)

Analisis dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya masalah-masalah dalam manajemen khususnya dibidang operasi dan keuangan.

4. Penilaian (Valuation)

Analisis digunakan untuk menilai prestasi manajemen operasi, keuangan dan lain-lain.

Menurut K.R Subramanyam dan John J.Wild (2010) analisis bisnis dan analisis laporan keuangan diperlukan dalam beberapa hal sebagai berikut:

(16)

1. Manajer. Analisis laporan keuangan memberikan petunjuk kepada manajemen tentang perubahan strategis dalam kegiatan operasional investasi, dan pendanaan perusahaan. Manajer juga menganalisis bisnis dan laporan keuangan perusahaan pesaing untuk mengevaluasi profitabilitas dan risiko pesaing. Analisis tersebut memungkinkan adanya perbandingan antar perusahaan (interfirm comparisons) untuk mengevaluasi kekuatan dan kelemahan relatif terhadap kompetitor, maupun sebagai tolok ukur (benchmark) kinerja.

2. Merger, akuisisi, dan divestasi. Analisis bisnis dilakukan setiap kali perusahaan merestrukturisasi operasinya melalui merger, akuisisi divestasi, maupun spin-off. Bankir investasi perlu mengdentifikasi target potensial dan menentukan nilainya. Analisis efek perlu menentukan apakah akan ada tambahan nilai, dan bila ada beberapa nilai yang dihasilkan dari merger bagi perusahaan pembeli maupun bagi perusahaan target.

3. Manajemen keuangan. Manajer harus mengevaluasi dampak keputusan keuangan dan kebijakan dividen terhadap nilai perusahaan. Analisis bisnis membantu manajer untuk menilai dampak keputusan keuangan terhadap profitabilitas di masa mendatang maupun risikonya.

4. Direktur. Sebagai wakil pemegang saham terpilih, direktur bertanggung jawab untuk melindungi kepentingan pemegang saham dengan mengawasi secara hati-hati aktivitas perusahaan. Direktur dibantu analisis bisnis maupun analisis laporan keuangan untuk menunaikan tanggung jawab untuk pengawasannya.

(17)

31 5. Regulator (pembuatan peraturan). Internal Revenue Service (IRS) menerapkan alat analisis laporan keuangan untuk mengaudit laporan pajak dan memeriksa kewajaran jumlah yang dilaporkan.

6. Serikat kerja. Teknik analisis laporan keuangan berguna bagi serikat kerja dalam negosiasi tawar-menawar kolektif.

7. Pelanggan. Teknik analisis digunakan untuk menentukan profitabilitas pemasok bersamaan dengan estimasi keuntungan pemasok dari transaksi yang saling menguntungkan.

2.5. Model Diskriminan Altman

Rasio-rasio keuangan memberikan indikasi tentang kekuatan keuangan dari suatu perusahaan. Keterbatasan analisis rasio timbul dari kenyataan bahwa metodologinya pada dasarnya bersifat satu penyimpangan (univariate), yang artinya setiap rasio diuji secara terpisah. Pengaruh kombinasi dari beberapa rasio hanya didasarkan pada pertimbangan para analis keuangan. Oleh karena itu, untuk mengatasi kekurangan dari analisis rasio maka perlu dikombinasikan berbagai rasio agar menjadi suatu model prediksi yang berarti. Untuk tujuan tersebut analisis diskriminan merupakan salah satu teknik statistik yang digunakan.

Analisis diskriminan menghasilkan suatu indeks yang memungkinkan klasifikasi dari suatu pengamatan menjadi satu dari beberapa pengelompokan yang berifat a priori. Analisis diskriminan dapat digunakan untuk pengklasifikasian apakah suatu perusahaan pailit atau ataukah tidak pailit.

Model diskriminan Z ini ditemukan oleh Edward I. Altman, tujuan dari analisis ini adalah;

(18)

The prediction of corporate bankruptcy is used an illustrative case. Specifically, a set of financial and economic ratio will be investigated in a bankruptcy prediction context wherein amultiple discriminant statistical methodology is employe. The data used in the study are limited to manufacturing corporations.

Prediksi terhadap kebangkrutan perusahaan digunakan sebagai suatu kasus yang membantu menjelaskan. Tegasnya, seperangkat rasio keuangan dan ekonomi akanditeliti dalam suatu kontek ramalan kebangkrutan dimanasuatu metodologi statistik multi diskriminan digunakan.Data yang digunakan dalam studi dibatasi padaperusahaan manufaktur.

Altman (1968) menggunakan analisis diskriminan dengan menyusun suatu model untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan. Ia mengambil suatu sample yang terdiri dari 66 perusahaan manufaktur, setengah di antaranya mengalami pailit. Dari laporan keuangan, satu periode sebelum perusahaan pailit, Altman memperoleh 22 rasio keuangan, di mana lima diantaranya paling berkontribusi pada model prediksi.

Fungsi diskriminan Z yang ditemukan adalah

Z = 0,012X1+ 0,014X2+ 0,033X3+ 0,006X4+ 0,999X5 di mana

X1 = Modal kerja/Total aktiva (dalam %) X2 = Laba ditahan/Total aktiva (dalam %) X3 = EBIT/Total aktiva (dalam %)

X4 = Nilai pasar modal/Nilai buku hutang (dalam %) X5 = Penjualan/Total Aktiva (kali)

Nilai Z adalah indeks keseluruhan fungsi multiple discriminant analysis. Menurut Altman, terdapat angka-angka cutoff nilai Z yang dapat menjelaskan apakah

(19)

33 perusahaan akan mengalami kegagalan atau tidak pada masa mendatang dan ia membaginya ke dalam tiga kategori, yaitu:

a. Jika nilai Z < 1,8 maka termasuk perusahaan yang bangkrut.

b. Jika nilai 1,8 < Z < 2,99 maka termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan). c. Jika nilai Z > 2,99 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut.

Lima jenis rasio yang digunakan, antara lain :

1. Working Capital To Total Assets (Modal kerja/Total aktiva)

Rasio pertama yang digunakan sebagai alat diskriminan adalah rasio modal kerja (aktiva lancar – utang lancar) terhadap total aktiva, ini sering kali dijumpai dalam studi kasus permasalahan perusahaan, ini adalah ukuran bersih pada aktiva lancar perusahaan terhadap modal perusahaan. Modal kerja bersih adalah selisih antara aktiva lancar dikurangi hutang lancar. Karakteristik likuiditas benar-benar ditentukan secara jelas biasanya sebuah perusahaan yang rnengalami kerugian operasi yang terus menerus akan menyusutkan aktiva lancar sehubungan dengan total aktiva. Diantara penilaian terhadap rasio likuiditas, rasio ini terbukti paling berharga.

2. Retained Earning To Total Assets (Laba ditahan/Total aktiva)

Adalah ukuran dari profitabilitas kumulatif lewat waktu disebutkan pada awalnya sebagai satu dari rasio baru. Usia perusahaan dinyatakan secara implisit dalam rasio ini, sebagai contoh, sebuah perusahaan baru relatif mungkin akan menunjukan rasio laba ditahan/total aktiva yang rendah karena tidak adanya waktu untuk menambah laba kumulatifnya. Oleh karena itu, dapat dibuktikan bahwa perusahaan baru nampak berbeda dari analisis ini, dan kesempatan/peluang untuk diklasifikasikan dalam golongan bangkrut relatif

(20)

lebih tinggi dari yang lainnya, dari pada perusahaan perusahaan yang lebih tua, jika hal-hal lain diasumsikan tidak mempengaruhi (cateris paribus). Tapi, ini merupakan keadaan yang sesungguhnya di dunia nyata. Timbulnya kegagalan lebih tinggi dalam tahun-tahun awal perusahaan.

3. Earning Before Interest and Taxes To Total Assets (EBIT/Total aktiva)

Rasio ini dihitung dangan membagi total aktiva perusahaan dengan penghasilan sebelum bunga dan potongan pajak dibagi dengan total aktiva. Pada pokoknya, merupakan ukuran produktivitas dari aktiva perusahaan yang sesungguhnya terlepas dari pajak atau faktor leverage. Sejak keberadaan pokok perusahaan didasarkan pada kemampuan menghasilkan laba dari aktiva-aktivanya, rasio ini muncul menjadi yang paling utama sesuai untuk studi yang berhubungan dengan kegagalan perusahaan. Selanjutuya keadaan bangkrut dalam pengertian kebangkrutan terjadi saat total kewajiban melebihi penilaian wajar perusahaan terhadap aktiva perusahaan dengan nilai ditentukan oleh kemampuan aktiva menghasilkan laba.

4. Market Value Of Equity To Book Value Of Debt (Nilai pasar modal/Nilai buku hutang)

Modal diukur melalui gabungan nilai pasar dan keseluruhan lembar saham preferen dan biasa. Sementara hutang meliputi hutang lancar dan hutang jangka panjang. Ukuran tersebut menunjukan seberapa banyak aktiva perusahaan dapat menurun nilainya (diukur dari nilai pasar modal dilambah hutang) sebelum kewajiban (hutang) melebihi aktiva dan perusahaan menjadi bangkrut.

5. Sales To Total Assets (Penjualan/Total Aktiva)

Rasio perputaran modal adalah standar rasio keuangan yang menggambarkan kemampuan peningkatan penjualan dari aktiva perusahaan merupakan suatu

(21)

35 ukuran dari kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi yang kompetitif. Rasio penjualan/total aktiva menjadi rangking kedua dalam kontribusi keseluruhan ketepatan model diskriminan.

2.6. Model Springate

Model Springate adalah model rasio yang menggunakan multiple discriminat analysis (MDA). Dalam metode MDA diperlukan lebih dari satu rasio keuangan yang berkaitan dengan kebangkrutan perusahaan untuk membentuk suatu model yang baik. Untuk menentukan rasio-rasio mana saja yang dapat mendeteksi kemungkinan kebangkrutan, Springate menggunakan MDA untuk memililh 4 rasio dari 19 rasio keuangan yang populer dalam literatur-literatur, sehingga dapat membedakan perusahaan yang berada dalam zona bangkrut atau zona aman. Model Springate merumuskan sebagai berikut:

Z = 1,03A + 3,07B + 0,66C + 0,4D

Rasio keuangan yang dianalisis adalah rasio-rasio keuangan yang terdapat pada model Springate yaitu:

A = Working Capital / Total Asset

B = Net profit before interest and taxes / total asset C = Net profit before taxes / current liability D = Sales / total asset

Model tersebut mempunyai standar dimana perusahaan yang mempunyai skor Z > 0,862 diklasifikasikan sebagai perusahaan sehat, sedangkan perusahaan yang mempunyai skor Z < 0,862 diklasifikasikan sebagai perusahaan potensial bangkrut.

(22)

2.7. Return Saham

Menurut Eduardus Tendelilin (2010) tujuan investor dalam berinvestasi adalah memaksimalkan return, tanpa melupakan faktor risiko investasi yang harus dihadapinya. Alasan utama orang berinvestasi yaitu untuk memperoleh keuntungan. Dalam konteks manajemen investasi tingkat keuntungan investasi disebut dengan return. Return dibedakan menjadi 2 (dua), return harapan (expected return) dan return aktual atau yang terjadi (realized return). Return harapan merupakan tingkat return yang diantisipasi investor di masa datang. Sedangkan return yang terjadi atau return aktual merupakan tingkat return yang telah diperoleh investor pada masa lalu.

Menururt Zalmi Zubir (2011) surat saham adalah dokumen sebagai bukti kepemilikan suatu perusahaan. Saham dapat diperjual belikan, harga jual dapat berbeda dengan harga belinya. Sehingga ada potensi keuntungan dan kerugian dalam transaksi jual beli saham tersebut. Rumus return saham menurut Ahmad R dan Herni Ali (2010: 182) adalah:

Dimana:

Ri = Return sekuritas (saham) ke-i selama periode t-1 sampai t Pit = Harga saham i pada saat t

Pit-1 = Harga saham i pada saat t-1

2.8. Pengembangan Hipotesis

Berdasar latar belakang masalah, tujuan penelitian, dan kerangka pemikiran tersebut di atas maka dapat dirumuskan hipotesis mengenai pengaruh ACFTA terhadap prediksi financial distress dan return saham pada perusahaan industri

(23)

37 tekstil, alas kaki dan elektronika yang listing di BEI dengan melihat perbedaan pada sebelum dan sesudah pelaksanaan ACFTA periode 2007-2012.

2.8.1. Pengaruh ACFTA Terhadap Prediksi Financial Distress

ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan wujud kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN dengan China dalam melakukan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang. Menurut Gandhi Pawitan (2012) dengan adanya ACFTA produk China akan semakin mudah untuk masuk ke pasar domestik Indonesia. Kondisi ini memberikan kekuatan daya saing dan motivasi untuk memperluas ke pasar internasional eksternal dengan harga yang lebih rendah. Di sisi lain, industri dalam negeri Indonesia kehilangan daya saing, khususnya dalam hal harga jual dibandingkan dengan produk China.

Dampak dari lemahnya daya saing yang dimiliki produk lokal terhadap produk China, akan berpengaruh terhadap pertumbuhan industri yang akan terus mengalami penurunan yang akan berdampak pada kelangsungan usaha. Penyebabnya adalah terjadinya penurunan produksi yang akan mengakibatkan pada pendapatan berkurang atau kemudian akan mengalami kerugian yang kemudian dampak terburuknya perusahaan akan mengalami kesulitan keuangan (financial distress).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah pengaruh penerapan ASEAN–China Free Trade Area (ACFTA) terhadap financial distress pada perusahaan industri tekstil, alas kaki, dan elektronika yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2007-2012 dengan melihat perbedaan sebelum dan sesudah ACFTA berlaku. Metode yang digunakan dalam menghitung prediksi financial distress adalah model Altman dan Springate. Jika hasil penelitian menunjukan

(24)

adanya perbedaan terhadap nilai prediksi financial distress pada sebelum dan sesudah ACFTA berlaku, maka mengindikasikan adanya pengaruh ACFTA terhadap prediksi financial distress.

Hipotesis Pertama :

H01 : Kedua rata-rata prediksi financial distress model diskriminan Altman sebelum ACFTA dan sesudah ACFTA adalah tidak berbeda secara signifikan.

Ha1 : Kedua rata-rata prediksi financial distress model diskriminan Altman sebelum ACFTA dan sesudah ACFTA adalah berbeda secara signifikan.

Hipotesis kedua :

H02 : Kedua rata-rata prediksi financial distress model Springate sebelum ACFTA dan sesudah ACFTA adalah tidak berbeda secara signifikan.

Ha2 : Kedua rata-rata prediksi financial distress model Springate sebelum ACFTA dan sesudah ACFTA adalah berbeda secara signifikan.

2.8.2. Pengaruh ACFTA Terhadap Return Saham

Dengan semakin maraknya produk China di pasar Domestik Indonesia, akan mempengaruhi tingkat penjualan produk dalam negeri akibat lemahnya daya saing produk dalam negeri. Menurunnya pendapatan ini kemudian akan berpengaruh terhadap return saham. Tujuan investor dalam menanamkan sebuah investasi adalah untuk mendapatkan keuntungan atau return dalam investasi yang mereka lakukan. Harga saham dapat terus berubah seiring dengan apa yang sedang terjadi saat ini. Penurunan daya saing yang akibat maraknya produk impor China akan mempengaruhi daya beli atau minat investor untuk membeli suatu saham.

Penurunan daya saing kemudian akan mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan pendapatan. Salah satu faktor yang mempengaruhi harga saham

(25)

39 adalah kemampuan perusahaan dalam menghasilkan pendapatan. Jika kemampuan perusahaan dalam menghasilkan pendapatan meningkat maka harga saham akan naik dan demikian juga sebaliknya akan menyebabkan harga saham akan turun. Untuk itu Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah pengaruh penerapan ASEAN– China Free Trade Area (ACFTA) terhadap return saham pada perusahaan industri tekstil, alas kaki, dan elektronika yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2007-2012 dengan melihat perbedaan sebelum dan sesudah ACFTA berlaku.

Hipotesis ketiga :

H03 : Kedua rata-rata return saham sebelum ACFTA dan sesudah ACFTA adalah tidak berbeda secara signifikan.

Ha3 : Kedua rata-rata return saham sebelum ACFTA dan sesudah ACFTA adalah berbeda secara signifikan.

Referensi

Dokumen terkait

IAI (2015: 2) menyatakan tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi posisi keuangan, kinerja keuangan, dan laporan arus kas suatu entitas yang bermanfaat

Dari penelitian ini, perjalanan perkembangan kota Pontianak dalam tiga periode memperlihatkan terjadinya perubahan nilai-nilai sosial budaya masyarakat tepian sungai

Sebagian dari mereka merupakan pendatang, seperti Martinus (53 tahun, Kepala Desa Rantau Budha), yang datang dari Labuhan (Barabai) bersama orang tuanya pada tahun

Adapun beberapa faktor yang mendukung pembentukan karakter bahasa asing di pesantren meliputi faktor intrinsik ( kemauan, kesadaran, dan ketertarikan santri untuk

Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi posisi keuangan, kinerja keuangan, dan laporan arus kas suatu entitas yang bermanfaat bagi sejumlah besar

Dari kolaborasi kondisi, pemetaan masalah dan isu-isu strategis di atas maka untuk merevitalisasi fungsi dan membangkitkan performance revenue yang optimal bagi PAD Kota Surakarta

Dalam hubungannya dengan struktur kepemilikan, konflik kepentingan yang terjadi diantara pemilik dan manajemen juga dapat diatasi dengan menerapakan mekanisme

Setiap perusahaan harus mampu menerapkan metode penyusutan yang tepat pada aset tetap yang dimiliki untuk melihat relevansi metode penyusutan mana yang akan