• Tidak ada hasil yang ditemukan

131 untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya. Pergerakan grafik tahun menunjukkan pola kenaikan yang tajam, hal ini terjadi karena

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "131 untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya. Pergerakan grafik tahun menunjukkan pola kenaikan yang tajam, hal ini terjadi karena"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan asumsi parameter biologi, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi data dan standardisasi dari unit upaya (effort). Kalibrasi dilakukan mengingat data spesifik mengenai upaya yang ditujukan khusus untuk spesies target yang digunakan dalam penelitian ini tidak tersedia. Dalam perikanan yan multi – species dan multi – gear seperti di Cilacap, maka problem yang kemudian muncul adalah kesulitan untuk mendapatkan data upaya yang langsung untuk setiap species, karena satu alat tangkap dapat menangkap lebih dari satu species udang jerbung. Menurut Smith (1993) dan Fauzi (1998), agregasi upaya merupakan satu-satunya cara pengukuran upaya yang dapat diandalkan pada perikanan multi-species. Standardisasi effort pada studi ini digunakan unit jumlah trip per tahun dari dua alat tangkap yaitu tramel net aktif dan trammel net pasif. Pemilihan kedua alat tangkap ini didasarkan pada kondisi bahwa kedua alat tangkap ini dominan digunakan untuk menangkap udang jerbung di lokasi penelitian. Karena kedua alat tangkap tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dalam menangkap udng jerbung, maka diperlukan standardisasi unit fishing effort.

Rata-rata produksi tertinggi dengan menggunakan jaring tramel net aktif pada bulan oktober (115,72 ton) dan produksi terendahnya pada bulan januari sebesar 68,19 ton. Sedangkan dengan alat tangkap trammel net pasif rata-rata produksi tertiggi pada bulan Desember mencapai 3,34 ton, yang terendah pada bulan Januari (2,76 ton).

Produksi udang jerbung bulanan dengan ke dua alat tangkap (tramel net aktif dan trammel net pasif) pada setengah tahun pertama meningkat dengan nilai terendah pada bulan Januari. Bulan-bulan berikutnya meningkat hingga puncaknya pada bulan Oktober - Desember, kemudian menurun kembali pada bulan-bulan berikutnya. Pola yang sama juga dijumpai ketika pukat harimau masih aktif. Zalinge dan Naamin (1975) melaporkan bahwa produksi terendah terjadi pada bulan Mei, sedangkan puncak produksi dicapai pada bulan September - Februari. Dilihat dari fenomena musim penangkapan udang jerbung dari hasil penelitian ternyata udang jerbung yang ditangkap di Cilacap kebanyakan sedang mengalami puncak pemijahan. Hal ini sesuai dengan penelitian Adisusilo (1984) yang diperkuat oleh penelitian Zalingge dan Naamin (1975).

Grafik tingkat upaya menggunakan alat tangkap trammel net aktif pada periode tahun 1999-2000 cenderung menurun, hal ini karena terjadi tumpahan minyak kapal tanker pertamina di pantai Cilacap sehingga nelayan enggan untuk melaut. Sebagai kompensasi kejadian tersebut, pihak pertamina memberikan dana pengganti kebutuhan pokok makanan selama beberapa bulan

(2)

untuk me ncukupi kebutuhan hidup sehari- harinya. Pergerakan grafik tahun 2000 - 2001 menunjukkan pola kenaikan yang tajam, hal ini terjadi karena kebutuhan udang jerbung di dunia meningkat, sehingga menyebabkan pergerakan harga udang jerbung naik sehingga banyak pedagang yang mencari udang jerbung. Hal ini memacu nelayan untuk berusaha mencari udang jerbung sebanyak-banyaknya. Pada tahun 2004 grafik upaya tangkap kembali turun, hal ini karena cuaca yang buruk yang ditandai dengan gelombang besar, gempa bumi dari retakan bumi di bawah laut sampai menimbulkan terjadinya tsunami di Aceh. Dengan adanya kejadian tersebut menyebabkan nelayan takut untuk melaut. Pola pergerakan grafik upaya dengan alat tangkap trammel net pasif cenderung meningkat karena dengan menggunakan perahu motor yang menangkap hasil perikanan hanya satu hari per tripnya tetap dijalankan oleh nelayan, walaupun hasil perikanan (udang jerbung) sedang langka. Terdapat kemiripan pola fluktuasi musiman antara tingkat produksi dengan tingkat upaya penangkapan dengan alat tangkap tramel net aktif maupun trammel net pasif. Hal tersebut menunjukkan adanya hubungan jangka pendek antara tingkat upaya penangkapan dengan produksi. Disamping itu, tingkat produksi udang jerbung nampaknya juga berhubungan dengan produktivitas alaminya yang dicerminkan oleh hasil tangkapan per unit upaya penangkapan di perairan tersebut. Pada bulan Januari, produksi udang jerbung yang rendah tidak hanya karena tingkat upaya penangkapan yang rendah tetapi juga karena rendahnya produktivitas saat itu. Pada bulan Oktober sampai Desember, produksi udang jerbung yang tinggi selain karena tingkat upaya penangkapannya tinggi juga karena tingginya produktivitas saat itu. Perbedaan produktivitas tersebut karena adanya perbedaan tingkat perkembangb iakan populasi udang jerbung.

Upaya penangkapan udang jerbung di Cilacap dapat dilakukan sepanjang tahun, namun karena fenomena dan kondisi alam tertentu, maka kelimpahan hasil tangkapan antara satu musim dengan musim yang lain sangat berbeda. Pada musim angin barat cenderung bertiup angin kencang yang mengandung banyak uap air, sehingga mengakibatkan kondisi perairan bergelombang besar disertai hujan. Umumnya pada musim ini para nelayan cenderung mengurangi aktifitas penangkapan (musim paceklik). Sebalik nya pada saat musim timur angin bertiup relatif lemah, sehingga kondisi perairan relatif tenang, dan nelayan kembali meningkatkan aktifitas penangkapan. Perbedaan jumlah upaya (effort) antara musim penangkapan dengan musim paceklik memiliki pengaruh yang tidak dapat diabaikan dalam menganalisis fungsi produksi lestari dan optimasi bio-ekonomi upaya pemanfaatan sumber daya udang jerbung.

(3)

Hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE), mencerminkan perbandingan antara hasil tangkapan dengan unit effort yang dicurahkan. Hasil tangkapan pada prinsipnya output dari kegiatan penangkapan, sedangkan effort yang diperlukan pada prinsipnya input kegiatan penangkapan tersebut. Besaran CPUE dapat digunakan sebagai indikator tingkat efisiensi teknik dari upaya pena ngkapan (effort). Dengan kata lain nilai CPUE yang lebih tinggi mencerminkan tingkat efisiensi penggunaan effort yang lebih baik (Berachi 2003). Pemakaian alat tangkap trammel net aktif lebih efisien penggunaannya untuk menangkap udang jerbung dibandingkan dengan alat tangkap trammel net pasif yang diindikasikan dengan nilai CPUE trammel net pasif lebih besar dibandingkan CPUE trammel net pasif . CPUE diplotkan terhadap upaya (Gambar 10) menghasilkan garis lurus dengan korelasi secara negatif untuk penangkapan udang jerbung dari tahun 1991 sampai dengan 2005, kurva tersebut menerangkan bahwa peningkatan jumlah upaya tangkapan dengan alat tangkap tramel net aktif dan trammel net pasif akan menyebabkan penurunan produksi.

Hasil tangkap per unit upaya (CPUE) jaring tramel net aktif ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan alat tangkap trammel net pasif. Hal ini membuktikan bahwa tingkat efisiensi penggunaan effort dengan alat tangkap tramel net aktif lebih baik dibandingkan trammel net pasif, seperti yang ter lihat pada tahun 1991. Sedangkan penggunaan kedua alat tangkap yang paling efisien adalah pada tahun 1994.

Berdasarkan hasil analisis dapat diperoleh bahwa rata- rata produktivitas kapal penangkap udang jerbung dipengaruhi oleh total upaya penangkapan. Tingkat pengusahaan sumberdaya perikanan udang jerbung optimum dicapai dengan pengendalian upaya penangkapan. Tingkat upaya penangkapan udang jerbung maksimal adalah 13 205 trip/tahun dan pemanfaatan sumber daya tersebut secara lestari pada maksimum penangka pan 1 291,8 ton/tahun. Sesuai dengan Gambar 9, produksi udang jerbung meningkat sejalan dengan upaya penangkapan dengan titik maksimum (MSY) sebesar 1 291,8 ton/tahun, kemudian garis kurva akan menurun setelah mencapai titik maksimum tersebut.

Apabila effort dinaikan hingga melampaui EMSY, total penerimaannya justru akan mengalami penurunan, sementara total biaya penangkapan semakin meningkat. Apabila tingkat effort sudah berlebihan, total penerimaan lebih kecil dari total biaya penangkapan, maka sebagian pelaku perikanan akan keluar (exit) dari kegiatan penangkapan tersebut, yang berarti menurunkan effort . Effort aktual tahun 2005 lebih tinggi dari EMSY sementara hasil aktualnya mendekati nilai

(4)

hMEY. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kegiatan penangkapan udang jerbung menggunakan jaring Trammel Net Aktif harus dikendalikan.

Data tahun 2005 menunjukkan tingkat produksi sebesar 1 271,14 ton mendekati titik maksimum, yang berarti tidak memungkinkan untuk meningkatkan produksi. Jumlah upaya pada tahun yang sama sebesar 15 960 trip dengan alat tangkap trammel net aktif dan 32 895 trip dengan alat tangkap trammel net pasif . Dari kedua alat tangkap tersebut menunjukkan bahwa upaya tangkap secara aktual pada tahun 2005 diatas nilai effort MSY, sehingga tidak perlu menambah effort untuk memaksimalkan hasil tangkapan. Pada tahun 1999-2005 tingkat upaya (effort) penangkapan ikan dengan jaring Trammel Net Aktif maupun trammel net pasif sudah berada pada kondisi yang paling optimal, yaitu melebihi batas ambang MSY, namun jumlah produksi semakin menurun. Oleh karena itu untuk mencapai tingkat

pengelolaan yang maksmal lestari pada masa yang akan datang perlu kebijakan untuk mengurangi effort sampai mencapai tingkat EMSY.

Model Schaefer mempunyai beberapa keuntungan yaitu sederhana dan tidak memerlukan banyak data tetapi tetap dapat memberikan hasil pokok yang diperlukan dalam pemanfaatan sumber daya udang jerbung secara bertanggung jawab. Model ini, walaupun hasilnya agak kasar , tetapi dapat memberikan Gambaran mengenai status pengusahaan stok udang jerbung lebih awal sebelum tersedianya data biologi yang lebih terperinci. Keberatan yang diajukan oleh pakar-pakar biologi perikanan terhadap penggunaan model produksi surplus adalah terhadap asumsi keadaan keseimbangan yang dipakai. Pada kenyataannya, populasi ikan (udang jerbung) barang kali tidak pernah berada dalam keadaan “steady state”, terutama dalam era perkembangan teknologi alat penangkapan yang sangat cepat dan diikuti oleh peningkatan tekanan penangkapan. Kritik lain adalah tidak adanya interaksi dengan jenis lain baik dalam perikanannya sendiri maupun dengan lingkungannya (Pauly, 1983)

Secara teoritis berdasarkan model Schaefer maka MSY = 0.25 r K. Dengan demikian MSY selain dapat diduga dari data tangkapan juga dapat diduga dari nilai tingkat pertumbuhan instrinsik biomas populasi dan nilai daya dukungnya. Nilai daya dukung perikanan tangkap merupakan nilai maksimum udang jerbung yang dapat didukung keberadaannya oleh habitat dan lingkungan yang bersangkutan. Nilai ini memang bersifat teoritis yang berarti belum tentu dapat dicapai oleh populasi udang jerbung yang hidup di habitat tersebut. Namun demikian nilai K ini dapat menjadi acuan di dalam pengelolaan perikanan tangkap sebagaimana nilai MSY yang sering digunakan dimana-mana.

(5)

Pertumbuhan biomass model Schaefer mengikuti model pertumbuhan logistik, dan penurunan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan (CPUE) terhadap upaya penangkapan mengikuti pola regresi linier, serta hubungan antara hasil tangkapan dan biomass berbentuk parabola yang simetris dengan titik puncaknya (maximum) pada tingkat biomass sebesar K/2.

Nilai K di dalam model produksi diasumsikan konstan padahal dengan aktifitas pembangunan yang makin pesat maka daya dukung ini dapat berfluktuasi. Gunarso (1985) misalnya, mengatakan bahwa perubahan kualitas air akan mempengaruhi penyebaran serta kelimpahan suatu jenis udang jerbung pada suatu daerah penangkapan karena diduga terjadi perubahan kelimpahan makanan. Asumsi nilai K yang konstan memang mengandung kelemahan. Bahkan model produksi itu sendiri mengandung kelemahan yaitu mengasumsikan tidak terjadi perubahan biomas ikan (asumsi kondisi keseimbangan) selama periode data hasil tangkapan tercakup. Asumsi ini sifatnya sangat teoritis, oleh karena itu penggunaan MSY sebagai alat pengelolaan sering dikritik. Salah satu kelemahan MSY adalah bahwa nilai ini tidak stabil dan dalam jangka panjang sebenarnya MSY tidaklah bersifat lestari (Conrad dan Clark, 1989), namun demikian model produksi Schaefer hingga saat ini masih merupakan model produksi yang paling luas digunakan di dalam pengelolaan perikanan tangkap. Kelemahan lain yang juga telah lama didiskusikan para ahli perikanan adalah masih rendahnya tingkat kepercayaan kebenaran data statistik perikanan padahal data ini sangat vital untuk pengelolaan sumber daya perikanan tangkap.

Menurut hasil penelitian Adisusilo (1984), laju pertumbuhan udang per tahun di Cilacap 0,9 (betina) dan 1,5 (jantan) dengan laju kematian alami 2 – 10 % per minggu (Dall et al, 1990). Adanya perbedaan parameter pertumbuhan udang jerbung diduga karena perbedaan kisaran ukuran udang yang dianalisis dan kelimpahan makanan. Dengan melihat nilai laju pertumbuhan lebih dari 1, berarti udang termasuk binatang yang mempunyai laju pertumbuhan cepat (Spare dan Venema, 1998). Merujuk fenomena ini, maka dalam perencanaan berapa besar jumlah upaya yang dibutuhkan untuk mengusahakan sumber daya udang secara rasional memerlukan pertimbangan. Bila jumlah upaya yang direkomendasikan terlalu rendah maka sumber daya udang yang tidak tertangkap akan terbuang percuma karena akan mati dengan sendirinya. Bila jumlah upaya terlalu tinggi, kelestarian sumber daya udang jerbung terganggu karena tidak memberikan kesempatan kepada stok udang untuk melakukan pembaharuan (recovery).

. Akibat pertumbuhan udang jerbung yang relatif cepat, penundaan penangkapan beberapa bulan saja akan menghasilkan jumlah individu berlipat ganda. Selain itu kalau udang jerbung yang muda (benur) terlalu banyak ditangkap akan terjadi “kelebihan tangkap pertumbuhan”

(6)

(growth over-fishing). Hal ini juga menyebabkan “kelebihan tangkap penambahan baru” (recruitmen over-fishing), karena udang jerbung muda (benur) belum mencapai dewasa dan bertelur sudah tertangkap terlebih dahulu sehingga hilang kesempatannya untuk penambahan baru (recruitment).

Dalam model Gordon, harga per unit out put diasumsikan konstan,sehingga pengukuran terhadap surplus konsumen tidak mungkin dilakukan. Dengan memasukkan parameter ekonomi yakni harga dari out put (harga udang jerbung per satuan berat) dan biaya dari input (cost per unit effort ),

Rata-rata aktual hasil tangkapan udang jerbung tahun 2005 sebesar 1 271,2 ton mendekati nilai hMEY sedangkan upaya penangkapan (effort) aktualnya sebesar 65 790 trip lebih dari nilai EMEY sehingga usaha penangkapan udang jerbung dengan alat tangkap tramel net aktif maupun trammel net pasif harus dikurangi jumlahnya sampai batas EMEY. Membandingkan tingkat pengusahaan sumber daya udang jerbung pada tahun 1999 – 2000 dengan EMSY dan EMEY dapat dikatakan bahwa tingkat pengusahaan interval tahun tersebut secara ekonomis dan biologis sudah berlebih. Total penerimaan aktual tahun 2005 (42,3 milyar rupiah) lebih rendah bila dibandingkan dengan total penerimaan pada kondisi MEY maupun MSY, sedangkan total biaya (cost ) aktual tahun 2005 (27,7 milyar rupiah) lebih tinggi dari total biaya yang dikeluarkan pada kondisi MSY maupun MEY. Dari data perhitungan data tersebut mengindikasikan bahwa upaya tangkap yang sudah berlebih akan mendapatkan produksi udang jerbung semakin menurun, sehingga biaya yang tinggi tidak diikuti oleh hasil yang telah diterima. Hal ini mengakibatkan turunnya nilai keuntungan yang diperoleh nelayan tahun 2005 (14 milyar rupiah), jauh dibawah nilai keuntungan pada kondisi MEY maupun MSY. keuntungan akutual rata-rata tahun sebesar 32,9 milyar rupiah ternyata lebih rendah dari nilai keuntungan pada saat MSY maupun MEY. Mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Purwanto (1986) yang saat itu masih menggunakan alat tangkap jaring klitik dan jaring kantong, pasca dilarangnya memakai alat tangkap pukat harimau (Trawl). Ternyata kebijakan PEMDA Cilacap untuk mengganti alat penangkap udang jerbung jaring klitik dan jaring kantong dengan tramel net belum bisa mengatasi permasalahan stok udang jerbung di Cilacap yang sudah overfishing.

Gordon mentransformasikan kurva yield effort dari Schaefer menjadi kurva yang menggambarkan antara manfaat bersih (total cost) yang dihasilkan dari dari sumberdaya udang jerbung dengan input produksi (effort) yang digunakan sebagaimana terlihat pada Gambar 15

(7)

0 10000000000 20000000000 30000000000 40000000000 50000000000 0 10000 20000 30000 E (Trip) Rupiah TR TC msy Profit B C

Gambar 15. MSY, TR, TC dan ? penangkapan udang jerbung tahun 1991-2005 di Cilacap

Gambar 15 memperlihatkan bahwa terdapat dua jenis rente ekonomi sumberdaya udang jerbung setelah dikurangi seluruh biaya ekstraksi dihasilkan pada titik EMEY dan EMSY. Lebih lanjut Fauzi (2004) menyatakan bahwa keuntungan lestari yang maksimum akan diperoleh pada tingkat upaya dimana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar (garis BC). Dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan, tingkat upaya ini sering disebut sebagai maksimum economic yield (EMEY) atau produksi maksimum secara ekonomi, dan merupakan tingkat upaya yang optimal secara sosial. Tingkat upaya yang dibutuhkan untuk mencapai titik optimal secara ekonomi (EMEY) jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY (EMSY). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat upaya pada titik keseimbangan terlihat lebih bersahabat dengan lingkungan (Hanneson, 1987).

Pada saat upaya penangkapan telah melampau upaya optimumnya, maka berarti telah terjadi econimic overfishing, dan ketika hasil tangkapan telah melampaui potensi lestarinya, maka berarti telah terjadi biogical overfishing. Apabila sumber daya udang jerbung dipandang sebagai sumber daya yang dapat pulih kembali ( renewable resources ), maka pemanfaatan yang berkelanjutan harus diartikan sebagai upaya pemanfaatan sumber daya yang laju ekstrasinya tidak boleh melampaui laju kemampuan daya pulihnya. Oleh karena itu rezim pemanfaatan secara terbuka, sebagaimana yang umumnya dianut di Indonesia, sudah saatnya ditinggalkan dan sudah seharusnya disusun suatu pola pemanfaatan sumber daya udang jerbung yang berkelanjutan.

(8)

Implikasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Udang Jerbung di Cilacap

Karakteristik umum dari nelayan (fishers) yaitu pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu kelompok) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya). Kedua, dalam komunitas nelayan komersial, nelayan dapat bervariasi menurut ocupational commitment-nya seperti nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan, atau menurut occupational pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber pendapatan beragam dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan dapat bervariasi menurut motivasi dan perilaku dimana maximezers yaitu nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku seperti layaknya “perusahaan” dan kelompok nelayan satisficers atau nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan hasil yang cukup. Dengan mengetahui dan memahami tipologi atau karakteristik nelayan yang akan mengalami diversifikasi usaha pada subsektor perikanan lainnya, diharapkan permasalahan teknis dan sosial yang sering menjadi penghambat program relokasi dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu menurut Adrianto (2005) salah satu key factor dalam dinamika sosial ekonomi nelayan adalah informasi dan pengetahuan tentang hak (rights) karena pola relokasi nelayan tetap harus mempertimbangkan konsep perikanan berbasis hak (right-based fisheries) untuk menjamin keadilan dan keberlanjutan komunitas nelayan sebelum dan sesudah relokasi. Menurut Ostrom and Schlanger (1996) dalam Adrianto (2005) bahwa paling tidak ada dua tipe hak yang penting dala m konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya perikanan yaitu (1)

use (operational-level) rights, dan (2) collective-choice rights. Tipe hak yang pertama mengacu pada

hak yang melekat pada operasionalisasi perikanan atau dalam konteks perikanan tangkap adalah yang terkait dengan proses dan dinamika penangkapan ikan (udang jerbung). Dalam tipe beberapa hak penting antara lain adalah hak akses (access rights) yaitu hak untuk masuk (entry) kedalam wilayah perikanan tangkap baik dala m konteks daerah penangkapan (fishing ground) atau dalam salah satu struktur usaha perikanan seperti penyediaan bahan baku, pengolahan perikanan dan lain sebagainya. Sementara tipe hak yang kedua (collective-choice rights) lebih menitikberatkan pada hak pengelolaan perikanan (fisheries governance) yang biasanya diberikan kepada otoritas tertentu di luar masyarakat nelayan (supra-community). Untuk tipe hak pengelolaan secara kolektif sangat cocok untuk model pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada di pesis ir pantai. Hal ini karena pengelolaan perikanan tetap dilakukan dengan model berbasis otoritas daerah administratif, maka akan menyulitkan dalam pengaturannya, karena beberapa spesies udang memiliki ruaya yang lebih luas, serta selama ini kebanyakan nelayan dalam operasi penangkapan udang berkumpul pada suatu fishing ground dengan

(9)

tidak melihat latar belakang wilayah dari mana mereka berasal, dalam pengertian bahwa seperti yang terjadi pada kegiatan penangkapan udang jerbung di lepas pantai Cilacap.

Model Gordon Schaefer ini menggunakan effort dan catch optimal sebagai variabel kontrol. Nilai tersebut diperoleh berdasarkan solusi keseimbangan bioekonomi. Alternatif tersebut akan memberikan kuota tangkapan optimal dan keuntungan ekonomi optimal, sehingga ke berlanjutan sumberdaya udang jerbung dapat dipertahankan. Model ini dapat dicapai apabila terjadi perubahan yang gradual khususnya untuk bentuk pengusahaan dan metode ekstraksi sumberdaya. Perubahan bentuk pengusahaan yang selama ini menganut rejim openaccess (akses terbuka) harus dialihkan pada rejim limited entry (pembatasan). Pengusahaan akses terbuka, merupakan bentuk pengelolaan yang lazim dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. Seperti halnya udang jerbung di Cilacap hingga saat ini masih dalam pengelolaan akses terbuka. Kondisi ini akan sangat rawan, khususnya sumberdaya yang dapat diperbaharui, dimana pada prinsip pengelolaannya, tidak menganut satu kepemilikan, tetapi lebih kepada penguasaan bersama yang tidak memiliki aturan-aturan pemanfaatan, dalam arti yang lebih sempit, setiap individu dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut secara bebas. Menurut Clark (1990), open access adalah ketika pelaku perikananatau seseorang yang mengeksploitasi sumberdaya secara tidak terkontrol atau dengan kata lain setiap orang dapat memanen sumberdaya tersebut. Kekhawatiran terbesar yang akan terjadi adalah pengurasan sumberdaya karena hilangnya kepemilikan. Lebih jauh Charles (2001) dalam Adrianto (2005), paling tidak ada dua makna dalam rejim open access yaitu pertama, ba hwa sumberdaya perikanan yang tidak tak terbatas ini diakses oleh hampir kapal yang tidak terbatas (laissez-faire) yang diyakini akan menghasilkan kerusakan sumberdaya dan masalah ekonomi. Makna kedua adalah bahwa tidak ada kontrol terhadap akses kapal namun terdapat pengaturan terhadap hasil tangkapan. Hal ini diyakini menjadi salah satu kontributor dari over eksploitasi terhadap kapal yang didorong oleh pemahaman rush for the fish; siapa yang kuat dia yang menang. Kondisi ini akan mengarah pada terjadinya konflik sosial, dimana persaingan dalam mengekstraksi sumberdaya akan semakin tinggi dan berakibat pada besarnya tekanan terhadap sumberdaya yang cepat atau lambat akan berdampak pada terjadinya kelangkaan sumberdaya.

Saad (2003), menyatakan bahwa salah satu implikasi akibat terjadinya kelangkaan sumberdaya, dari sisi institusi sosial adalah adanya konflik. Hal ini terkait dengan hipotesis bahwa kebutuhan manusia melampaui komunitas untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Mengingat ekses negatif yang akan munc ul baik dari sisi ekologi, ekonomi dan sosial dari rejim open access, sehingga diperlukan perubahan bentuk pengusahaan sumberdaya tersebut menjadi rejim limited entry. Adrianto (2005)menyatakan bahwa rejim limited entry menitikberatkan pada pengelolaan sumberdaya perikanan baik dari sisi input maupun output melalui mekanisme pengaturan use rights. Lebih jauh

(10)

Adrianto (2005) menyatakan bahwa tata pemerintahan yang baik (good governance) menjadi prasyarat dari penerapan rejim ini karena menyangkut mekanisme pemberian ijin yang adil transparan dan efisien. Sementara menurut Charles (2001) dalam Adrianto (2005) bahwa rejim limited entry tidak dapat digunakan secara sendirian, namun harus dilakukan dalam skema management portofolio dimana melibatkan tool lain seperti quantitative allocation of inputs atau allowable catches yang dipayungi oleh sebuah kerangka peraturan (legal endorsment) yang sesuai. Kebijakan rejim limited

entry dapat diterapkan dengan memberikan kewenangan (autority ) kepada negara (state), individu

(private), kelompok (communal) maupun pengaturan pengelolaan secara bersama seperti

co-management. Selain kebijakan perubahan rejim, kebijakan pengelolaan yang didasarkan pada tipologi

sumberdaya juga sangat dilakukan mengingat keberlanjutanpemanfaatan sangat terkait dengan jenis dan karakteristik ekologi sumberdaya tersebut.

Jenis alat tangkap trammel net dapat digolongkan sebagai alat tangkap yang ramah lingkungan. Umumnya lokasi udang jerbung dapat dijumpai pada kedalam tertentu (30-40 m), dimana uda ng jerbung menjadikan tempat tersebut daerah migrasi (ruaya). Selanjutnya dengan sifat ruaya yang tidak luas, memungkinkan udang jerbung untuk dikelola per lokasi. Model pengelolaan yang ditawarkan adalah terlebih dahulu mengetahui luas sebaran udang jerbung tersebut, kemudian menentukan suatu area sebagai kawasan pengelolaan. Setelah menentukan batas ruaya udang jerbung, selanjutnya menentukan tingkat pemanfaatan optimal secara biologi (MSY) dan ekonomi (MEY). Kebijakan pengelolaan ini didasarkan pada kawasan penangkapan udang jerbung sehingga penetapan kebijakan haruslah berbasis ekosistem.

Implikasi dari kebijakan tersebut, selanjutnya adalah pengelolaan berbasis ekosistem. Sumberdaya udang jerbung yang berasosiasi secara terbuka dengan kawasan hutan mangrove memerlukan penanganan secara komprehensif. Kegiatan penangkapan udang jerbung disekitar atau dalam kawasan hutan mangrove, haruslah mengacu pada pemanfaatan yang ramah lingkungan. Kegiatan penangkapan yang selama ini dilakukan, dengan berbagai alat ta ngkap yang merusak seperti bom, cyanida dan potasium harus dihentikan dan dilarang, sehingga dengan demikian habitat utama udang jerbung yakni hutan mangrove dapat terjaga dengan baik. Implikasi lainnya adalah pemberian pengetahuan penangkapan udang yang ramah lingkungan dengan aplikasi teknologi yang efisien dan efektif.

Kondisi lebih tangkap (overfishing) mengakibatkan sebagian besar nelayan tidak melaut karena potensi udang jerbung di laut sudah hampir habis. Kalaupun dipaksakan melaut, hasil tangkapan yang diperoleh sedikit atau terkadang tidak mendapatkan hasil tangkapan. Akibatnya banyak anak nelayan yang berhenti sekolah karena orang tuanya tidak mampu lagi membayar buku-buku pelajaran dan uang bayaran sekolah. Keadaan tersebut berpotensi timbulnya

(11)

ketegangan antara nelayan karena sifat sumber daya udang jerbung sebagai milik bersama (commonx pool resources). Konflik nelayan juga terjadi dalam bentuk tumpang tindih diantara kelompok nelayan yang menggunakan sumber daya yang sama dengan alat tangkap yang sama atau diantara nelayan yang menggunakan peralatan berbeda tetapi menangkap jenis udang jerbung pada daerah penangkapan yang sama. Meluasnya kelangkaan sumber daya akan berkorelasi secara positif dengan peningkatan kualitas dan kuantitas ketegangan serta konflik antar kelompok nelayan, hal tersebut akan berimplikasi secara luas terhadap penurunan kualitas kehidupan nelayan

Untuk menghindari konflik antar nelayan/kelompok nelayan perlu diciptakan norma pemanfaatan atau pengelolaan sumber daya udang jerb ung di perairan pesisir seperti batas-batas wilayah penangkapan udang jerbung, jarak antar perahu ketika sedang menebar jaring, jenis jaring yang boleh dioperasikan, dan posisi jaring ketika sedang ditebarkan. Hal itu untuk menjamin pemerataan perolehan ha sil tangkapan atau pendapatan dan kelestarian sumber daya udang jerbung. Dengan strategi demikian, masyarakat dituntut untuk mengelola sumber daya perikanan secara produktif, adil dan berkelanjutan, Agar kebutuhan hidup anggota masyarakat dapat terpenuhi dengan baik. Pemerintah daerah hanya berperan sebagai fasilisator dan pengaman kepentingan masyarakat (Kusnadi, 2002)

Dari semua komponen biaya penangkapan udang jerbung yang tinggi setelah BBM adalah biaya perbekalan pada kedua armada tangkap (Tramel net aktif dan trammel net pasif). Besarnya biaya perbekalan disebabkan karena lama tiap trip penangkapan yang dilakukan yakni 8 – 10 jam per hari, dengan bekal berupa makanan pokok (nasi dan lauk pauk), rokok serta minuman (kopi dan teh). Untuk setiap tripnya nelayan dapat membawa makanan dengan porsi 2 kali makan serta rata-rata 2 bungkus rokok per orang per trip. Khusus untuk alat tangkap tramel net aktif, biaya perbekalan akan bertambah seiring semakin jauhnya fishing ground yang ditempuh, dimana dari hasil wawancara, diperoleh bahwa pada bulan-bulan tertentu dimana tangkapan udang jerbung menurun, beberapa nelayan akan berpindah daerah penangkapan ke arah yang lebih jauh dari fishing base (tempat pendaratan udang jerbung), sehingga dengan demikian akan meningkatkan biaya (cost) per unit per trip, khususnya biaya bahan bakar minyak dan biaya perbekalan.

Hasil tangkapan udang jerbung di Cilacap dijual umumnya dalam satuan kilogram (kg). Harga udang jerbung dengan alat tangkap tramel net sangat bergantung pada cara penanganan udang jerbung secara fisik, dimana memerlukan teknik kehati- hatian dalam melepaskan udang jerbung dari belitan jaring sehingga tidak merusaknya, Ditinjau dari harga jual, komoditas udang jerbung menunjukan trend harga yang baik. Sebagaimana hasil wawancara dengan nelayan di

(12)

Cilacap, menunjukan bahwa dari tahun ke tahun harga udang jerbung semakin tinggi, sementara pasokan udang jerbung menurun. Sistem transaksi yang terjadi ditingkat pengumpul umumnya dalam bentuk tunai (cash). Nelayan mene rima uang hasil tangkapan udang jerbung setelah hasil tangkapan ditimbang dan diukur serta negosiasi harga telah diputuskan. Namun hasil yang diperoleh nelayan terlebih dulu dipotong oleh pengumpul atau eksportir sesuai dengan besarnya pinjaman dan kesepakatan yang telah mereka atur sebelumnya. Hal ini terjadi karena sistem atau pola usaha penangkapan udang jerbung di Cilacap adalah sistem Juragan – pekerja dimana para pemilik armada bertindak sebagai juragan dan nelayan bertindak sebagai pekerja. Hasil tangkapan harus disetor langsung kepada juragan dan juragan memiliki kewenangan (hak veto) untuk langsung memotong besarnya cicilan nelayan.

Beberapa metoda pengelolaan untuk memanfaatan sumber daya udang jerbung secara berkelanjutan di Cilacap, ternyata metode yang layak dilaksanakan adalah penutupan musim dan daerah penangkapan, dan pembatasan upaya penangkapan.

Penutupan daerah dan musim penangkapan bertujuan untuk melindungi udang jerbung muda dan juwana serta meningkatkan ukuran udang jerbung pertama kali matang kelamin dan akhirnya menngkatkan produksi. Penutupan musim dan daerah penangkapan perairan Cilacap disarankan pada bulan September setiap tahunnya dan dibatasi hanya pada kedalaman 40 m serta ke arah perairan yang lebih dalam. Waktu tersebut merupakan bulan puncak pemijahan udang jerbung di perairan Cilacap. Dengan metode ini maka waktu yang krusial udang jerbung dalam siklus hidupnya, yaitu mulai memijah, menjadi larva dan menuju daerah asuhan dalam bentuk post larva (Penn, 1984), dapat terlindungi dan dengan demikian akan terjamin kelestariannya. Diharapkan dalam pelaksanaan metode pengelolaan ini akan dapat meningkatkan produksi sekitar 9 % seperti di perairan Teluk Meksiko (Leary, 1985). Langkah pengolahan dengan metode seperti ini juga sudah lama dilakukan di perairan Iran dan Teluk Carpentaria, Australia (Boerema, 1969)

Kearifan-kearifan lokal yang positif untuk mendukung pengelolaan sumber daya udang jerbung secara lestari dengan keterlibatkan secara aktif masyarakat setempat. Bentuk kegiatan tersebut adalah dibentuknya koperasi yang mengatur jadwal melaut dengan kompensasi bagi hasil untuk nelayan yang belum mendapat jadwal melaut pada saat itu

Apapun pilihan yang dianggap paling cocok untuk diaplikasikan, sebaiknya jiwa tujuan pengelolaannya harus tetap dalam rangka untuk mencapai tingkat pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan, dalam arti memberikan rente ekonomi yang paling baik dengan tingkat pemanfaatan yang tidak melampaui kemampuan daya puIihnya.

(13)

Perubahan tingkat upaya penangkapan da pat menyebabkan perubahan tingkat produksi, karena harga lelang udang jerbung berhubungan dengan volume udang jerbung yang dilelang, maka perubahan tingkat upaya penangkapan juga dapat menyebabkan perubahan harga. Disamping itu, perubahan tingkat upaya ter sebut akan menyebabkan berubahnya jumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan udang jerbung.

Usaha perikanan tangkap memanfaatkan sumber daya hayati perikanan (udang jerbung) yang dapat pulih kembali. Sumber daya tersebut dapat dieksploitasi pada tingkat tertentu tanpa dampak negative terhadap stok sumber daya udang jerbung. Eksploitasi yang berlebih melalui penambahan jumlah kapal dengan alat tangkap tramel net aktif dan trammel net pasif di Cilacap tidak akan meningkatkan hasil tangkapan. secara ekonomis. Konsekuensi eksploitasi yang berlebih dapat ditunjukkan dengan mis-alokasi sumber daya kapital yang berdampak pada pemborosan kapital milik masyarakat. Dampak sosial yang timbul dari adanya tangkap lebih adalah pendapatan menurun, berkurangnya peluang penggunaan tenaga kerja dan kemungkinan terjadi penurunan suplai udang jerbung terhadap konsumen.

Hasil tangkapan nelayan umumnya dipasarkan melalui sistem lelang di pangkalan pendaratan ikan, agar dapat memperoleh harga jual yang wajar. Pelelangan udang jerbung dimulai dengan harga rendah, seterusnya harga ditingkatkan hingga hanya terdapat seorang peserta lelang yang bersedia membeli pada tingkat harga yang ditawarkan. Dengan demikian, permintaan udang jerbung saat pelelanga n di pangkalan pendaratan diartikan sebagai permintaan udang jerbung di tingkat nelayan. Harga lelang yang terbentuk pada pelelangan udang jerbung merupakan tingkat keseimbangan antara harga yang diinginkan oleh penjual dan pembeli. Dari sisi penjual harga lelang tersebut dapat dilihat sebagai harga penawaran, sedangkan dari sisi pembeli harga lelang tersebut merupakan harga permintaan untuk sejumlah komoditi yang dilelang.

Struktur Sosial dan Pola hubungan Masyarakat Cilacap

Dalam kehidupan sosial masyarakat, hubungan-hubungan sosial senantiasa terjadi dan membentuk pola tertentu. Apabila pola-pola ini ditata dalam pengorganisasian sosial maka dengan sendirinya akan terbentuk struktur sosial. Secara alamiah pada dasarnya sturktur sosial senantiasa ada di dalam masyarakat pesisir baik kalangan nelayan maupun petani tambak.

(14)

Dengan mengamati penguasaan asset produksi seperti modal, peralatan tangkap dan pasar orang akan dengan mudah mengidentifikasi adanya pelapisan sosial dalam kehidupan masyarakat. Bagi wilayah pesisir yang didominasi nelayan tangkap seperti yang ada di Cilacap, struktur sosial nampak pada tingkatan status dan peranan sosial yang terbangun antara toke-tekong-anak buah kapal (ABK)-juru es

Pola hubungan yang terjadi dalam komunitas nelayan Cilacap pada umumnya dibangun atas dasar sistem kekerabatan. Namun pada kondisi tertentu pola hubungan sosial tersebut dapat berubah menjadi pola hubungan atas dasar kebutuhan. Misalnya seorang nelayan yang masih tergantung kepada toke lebih memilih menjaga stabilitas hubungannya dengan sang toke ketimbang hubungan inter personal berdasarkan kekerabatannya. Namun di samping itu pola hubungan yang yang didasarkan atas nilai-nilai budaya yang mengakar masih tetap ada.dalam pola hubungan ini masing- masing individu yang terlibat dalam hubungan sosial tersebut memiliki status yang berbeda-beda. Tokoh- tokoh formal dipandang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada anggota komunitas lainnya.

Umumnya tokoh- tokoh formal memilki peran yang sangat berat. Selain menjalankan fungsinya dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan anggotanya, tokoh- tokoh ini juga memainkan peran utama dalam melaksanakan aktivitas sosial yang ada di komunitas nelayan tersebut.

Dalam satu operasi penangkapan posisi tekong adalah posisi paling tinggi. Tekong menentukan semua gerak operasi. Sukses tidaknya suatu operasi penangkapan menjadi tanggung jawab seorang tekong. Sedangkan ABK adalah pembantu kerja tekong selama operasi penangkapan. Pada umumnya pola hubungan antara tekong dan ABK adalah hubungan yang berbasiskan keluarga. Sehingga secara simbolik akan nampak bahwa interaksi sosial yang terjadi adalah interaksi keluarga.

Namun bagi tekong yang memiliki ABK dengan latar belakang yang jauh ikatan kelurganya, biasanya berlangsung sistem hubungan yang normatif, dimana tekong menjadi ”bos” sedangkan ABK menjadi bawahannya. Terbentuknya pola hubungan dalam satu unit kerja penangkapan ini selalu diawali dengan perekrutan ABK. Tekong biasanya mencari ABK yang

(15)

memiliki kriteria khusus dan biasanya sudah mendapat informasi seputar latar belakang si calon ABK.

Solidaritas yang begitu kuat diantara nelayan dalam satu unit penangkapan dikarenakan para ABK memiliki rasa senasib dan sepenanggungan dan saling membutuhkan terutama dalam keadaan sulit. Sedangkan hubungan yang terjadi antara juru es dan para ABK maupun tekong agak berbeda. Hal ini disebabkan karena juru es biasanya dibawah kendali toke secara langsung. Sehingga hubungan kerja sering berjalan kurang harmonis.

Gambar

Gambar 15. MSY, TR, TC dan  ?   penangkapan udang jerbung                 tahun 1991-2005 di Cilacap

Referensi

Dokumen terkait

diakibatkan oleh infeksi cacing kronis, maka perlu diteliti perbedaan kadar IFN-γ dan IL-10 pada orang dewasa terinfeksi Ascaris lumbricoides dengan tidak terinfeksi

Sejalan dengan pertanyaan yang diajukan dalam research paper ini yaitu bagaimana potensi kapabilitas inovasi dan teknologi perusahaan dapat dicapai melalui kemi- traan, maka

Presiden $oeharto digam'arkan se'agai seorang *emim*in yang otoriter, yang menera*kan gaya ke*emim*inan coercive, yang selalu menginginkan agar *erintah dan

Berdasarkan data tabel 1.1, banyak kelompok tani yang tidak tergabung dalam Gapoktan di Ogan Ilir dikarenakan kelompok tani tersebut tidak memenuhi syarat seperti

Jawa pos sendiri memiliki beberapa divisi di dalamnya seperti yang akan di bahas nantinya ialah divisi pemasaran dimana fungsinya bertugas memasarkan koran baik ke

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh ekstrak etanol kulit buah manggis yang berfungsi sebagai antioksidan alami yang relatif aman dibandingkan

Dari hasil wawancara ketiga informan tersebut, dapat di tarik kesimpulan bahwa pelayanan imunisasi yang di laksanakan di Posyandu Lavenda desa Butu telah

Kriteria unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan yang menggambarkan kegiatan yang harus dikerjakan untuk memperagakan hasil kerja/karya pada setiap elemen kompetensi. Kriteria