• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

1.1 Latar Belakang

Pulau Bali merupakan salah satu pulau yang dikenal dengan beragam tradisi yang

dimilikinya. Hal tersebut menjadikan Bali memiliki daya tarik tersendiri di mata

pariwisata dunia, salah satu tradisi yang menarik untuk dikupas lebih lanjut adalah

tajen. Namun dewasa ini marak tajen yang dilakukan di dalam areal pura yang dapat

mengakibatkan pura mengalami desakralisasi atau penurunan nilai-nilai sakral pada

pura tersebut. Konsep pembangunan pura sebagai tempat suci, pada umumnya di Bali

menggunakan struktur atau bentuk pembagian wilayah berlandaskan atas konsep pura

Tri mandala, yakni terbagi atas tiga bagian halaman, yaitu jaba sisi (Nista mandala),

jaba tengah (Madya mandala), dan jeroan (utama mandala). Pembagian atas tiga

halaman tersebut mempunyai dasar pemikiran filosofis agama Hindu, yaitu pura

dianggap sebagai simbol makrokosmos yang melambangkan tiga tingkatan dunia, yaitu

bhurloka, dimana jaba pura melambangkan bhurloka yaitu dunia bawah tempat

kehidupan manusia. bhuwarloka yang menjadi lambang jaba tengah yaitu dunia tengah

tempat kehidupan manusia yang sudah disucikan, dan berikutnya adalah swarloka yang

melambangkan keadaan utama mandala yaitu dunia atas tempat kehidupan para dewa.

Pura merupakan tempat suci bagi agama hindu. Kata pura berasal dari Bahasa

Sansekerta yang artinga kota atau benteng yang berasal dari urat kata “Pur”.

(Sandiarsa.1985:9) menyebutkan bahwa kata pura memiliki pergeseran makna menjadi

tempat suci yang terdiri dari beberapa buah palinggih yang dikelilingi tembok

panyengker guna memisahkan dunia yang sakral dan yang tidak sakral.

(2)

Lalu bagaimana tajen dapat menyebabkan terjadinya desakralisasi pada pura ? Ada baiknya kita mengenal apa itu tajen terlebih dahulu. Tajen merupakan sabung ayam yang disertai dengan atau bertaruh dengan menggunakan uang (Mertha, 2010:7). Biasanya sebelum pertarungan dimulai, dua pakembar (Petugas yang melepaskan ayam) terlebih dahulu memperkenalkan ayam dengan menghadapkan kedua ayam yang akan bertarung sehingga akan tampak mana ayam yang akan pantas diunggulkan ataupun tidak. Setelah seekor ayam dinyatakan sebagai petarung unggulan maka pakembar yang meneriakan cok berarti memegang ayam yang menjadi unggulan yang berarti sistem taruhannya adalah tiga lawan empat dalam artian jika ayam unggulan menang berarti ayam yang kalah akan membayar tiga akan tetapi jika ayam unggulan kalah berarti ayam yang tidak diunggulkan akan mendapatkan bayaran empat. Terkadang pakembar juga akan berteriak pade (seimbang) hal tersebut diartikan ayam yang akan diadukan memiliki kekuatan yang sebanding sehingga taruhannya harus dalam jumlah yang sama. Teriakan lain yang juga dilakukan oleh pakembar adalah gasal (sistem taruhan dengan perbandingan lima banding empat), talude (taruhan tiga berbanding dua), apit (taruhannya satu berbanding dua), kadapang (taruhannya sembilan banding sepuluh).

Di setiap tajen ada empat saye (juri) yang bertugas yakni saye kemong, ketek, garis dan lap. Saye kemong biasanya selalu didampingi gong kecil yang disebut kemong, Ia menentukan kapan memulai dan mengakhiri pertarungan, saye ketek adalah juri yang bertugas untuk memberikan hitungan kepada ayam yang sudah terkapar layaknya sebuah dalam pertandingan tinju, saye garis adalah saye yang bertugas untuk menjaga garis batas permainan, bila ayam dilihat lari keluar garis

(3)

batas maka ayam tersebut akan dinyatakan kalah, dan saye lap adalah juri yang bertugas untuk mengumpulkan uang taruhan serta membagikannya kepada babotoh yang menang.

Dalam persfektif hukum tajen adalah tindakan yang melanggar hukum yang diatur dalam Undang-Undang No 7 Tahun 1974 tentang penertiban perjudian. Undang-Undang No 7 Tahun 1974 tentu merupakan berita buruk bagi kalangan babotoh di Bali untuk kali pertamanya, lebih spesifik lagi di kalangan masyarakat Desa Subagan yang merupakan lokasi untuk melakukan penelitian yang dipilih oleh peneliti karena di Desa Pakraman Subagan intensitas kegiatan tajen disana cukup tinggi, lokasi juga ditetapkan disana mengingat penulis juga tinggal disana sehingga memudahkan dalam proses pencarian datanya. Tajen kerap dijadikan sebagai alat penggalian dana dalam rangka pembangunan pura maupun bale banjar. Hal inilah yang menyebabkan polisi di Bali kesulitan untuk menanggulangi tajen karena kuatnya kekuatan desa pakraman jika ditentang maka menciptakan permusuhan yang berujung pada bentrok, Pimpinan babotoh biasanya adalah orang yang memiliki posisi tawar yang kuat sehingga disebut dengan cukong.

Tajen dikategorikan sebagai tindak kejahatan dengan ancaman hukuman pidana. Dalam prakteknya para cukong kerap menggunakan tabuh rah sebagai topeng untuk dapat melaksanakan kegiatan tajen. Skema yang diciptakan adalah bermula dari kegiatan tabuh rah yang bersifat legal dan hanya dilakukan di areal pura. Sebuah wawancara yang dimuat dalam sebuah media elektronik, Kabid Humas polda Bali, Kombes Pol Herry Wiyanto mengatakan pihaknya memberikan kesempatan bagi masyarakat menggelar kegiatan tabuh rah dalam kaitannya dengan kegiatan agama dan objek pariwisata (Tribun News : 2015). Lebih lanjut

(4)

Kombes Pol Herry Wiyanto juga menegaskan, hal yang salah jika ritual tabuh rah dijadikan media perjudian oleh masyarakat, kesempatan menggelar tabuh rah sebagai bagian dari objek wisata dapat diartikan sebagai komitmen pembangunan Bali berdasarkan kebudayaan yang bersumber dari agama Hindu, Komitmen ini memiliki implikasi yang luas, termasuk dalam upaya untuk memahami dan menempatkan persoalan tajen dalam proses pembangunan lainnya.

Fakta yang ada di masyarakat Desa Pakraman Subagan adalah masyarakat memiliki pemikiran bahwa tajen dan tabuh rah adalah hal yang serupa. Pemikiran tersebut muncul akibat keduanya menggunakan ayam sebagai sarana/alat pelaksanaannya. Padahal tajen dan tabuh rah adalah 2 hal yang sangat berbeda baik dari segi pelaksanaannya, aturannya, filosofi serta tujuan pelaksanaannya.

Berbeda dengan tajen, tabuh rah atau perang sata dalam masyarakat Hindu Bali mensyaratkan adanya darah ayam yang menetes sebagai simbol atau syarat guna mensucikan umat manusia dari ketamakan, keserakahan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi (Mertha, 2010 : 13). Tabuh rah juga memiliki makna sebagai ritual Butha yadnya (pengorbanan suci kepada butha kala) yang mana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahayanya. Pelaksanaan tabuh rah dilakukan ditempat upacara pada saat mengakhiri upacara tersebut. Dalam proses pelaksanaan tabuh rah selain menggunakan ayam, tabuh rah juga diiringi dengan adu tingkih, adu pangi, adu taluh, adu kelapa serta upakaranya, tabuh rah juga dilakukan maksimal “tiga sehet” dengan tidak disertai taruhan apapun.

Pelaksanaan tabuh rah dalam rangka upacara yadnya tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, melainkan harus mentaati ketentuan yang bersumber pada

(5)

sastra. Dalam Keputusan Seminar Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu ke IX, menyatakan bahwa tidaklah semua jenis upacara yadnya harus disertai dengan tabuh rah, melainkan hanya jenis upacara tertentu saja, seperti Panca kelud, Balik sumpah, Tawur agung, Tawur labuh gentuh, Tawur panca wali krama, dan Tawur eka dasa rudra. Tabuh rah yang semula merupakan bagian dari ritual Dewa yadnya yang bersifat sakral. Dalam pemaparan antara tajen dan tabuh rah diatas dalam pengertian sempitnya tajen memiliki sifat yang profan atau tidak sakral dan tabuh rah memiliki sifat yang sakral.

Masyarakat memiliki pikiran yang menyamakan arti serta makna antara tabuh rah dan tajen, dengan didukung fakta bahwa tabuh rah adalah sesuatu yang bersifat legal, memberikan celah kepada oknum-oknum yang ingin mengadakan tajen. Skema yang diciptakan guna mengakali fakta bahwa tajen merupakan aktivitas yang ilegal adalah dengan mengadakan tajen di areal pura itu berarti tajen yang bersifat profan jika dilakukan didalam areal pura dapat menyebabkan terjadinya desakralisasi pada pura.

Pemisahan antara dunia yang sakral dan tidak tidak sakral dalam konsep pura adalah menggunakan batas panyengker. ini dapat diartikan sebagai upaya mencegah sesuatu yang bersifat tidak sakral untuk memasuki areal pura, termasuk pada upaya pemanfaatan pura pada hal-hal yang bersifat sakral guna mempertahankan nilai sakral yang terdapat pada pura tersebut. Ketika tajen yang bersifat tidak sakral dilakukan di areal pura walaupun dengan kedok, tajen yang dilakukan disana adalah tabuh rah tentu saja hal tersebut dapat menyebabkan pura mengalami desakralisasi atau hilangnya nilai-nilai sakral dalam sebuah pura. Dari pengertian diatas desakralisasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah

(6)

ketika pura tidak lagi berkaitan dengan agama maupun tujuan keagamaan, tidak suci lagi karena sifat keduniawian telah masuk kedalamnya. Hal tersebut berarti mengakibatkan terjadinya pengurangan terhadap nilai-nilai sakral yang terkandung dalam pura tersebut.

Menurut Durkheim sulit untuk membedakan mana yang murni agama dengan mana yang merupakan hasil interpretasi agama (Nurdinah.2013:268). Hilangnya nilai-nilai sakral pada upacara tabuh rah akibat tajen sangat sulit untuk dikemukakan, pemikiran masyarakat hanya terarah pada satu pandangan yaitu tabuh rah dan tajen sama-sama merupakan sabung ayam, padahal dalam makna filosofinya keduanya memiliki fungsi serta cara yang berbeda dalam pelaksanaannya. Pada konsep desakralisasi ini yang ditemukan oleh penulis adalah dimana ketika suatu pura yang secara umum memiliki fungsi untuk menjalankan ritual keagamaan tapi pelataran pura juga digunakan oleh masyarakat untuk melakukan tajen, sehingga pura mengalami desakralisasi akibat tajen

Dalam proses hilangnya nilai-nilai sakral pada sebuah pura, indikator utama yang digunakan peneliti adalah ketika tajen yang bersifat profan atau tidak sakral dilakukan di dalam areal pura. Pemanfaatan pura sebagai arena tajen tetap melibatkan desa pakraman sebagai penyungsung pura ini, sehingga diharapkan dalam penelitian ini penulis dapat mendalami apakah desakralisasi yang terjadi dikarenakan ketidaktegasan penerapan aturan-aturan adat sehingga nantinya penulis dapat menyimpulkan hal yang sebenarnya terjadi dan dapat memberikan solusi kepada masyarakat di Desa Pakraman Subagan agar dapat menjaga kesakralan dari sebuah pura tersebut.

(7)

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka terdapat dua permasalahan yang dijadikan fokus dalam penelitian ini. Kedua permasalahan tersebut yaitu:

1.Bagaimana proses terjadinya desakralisasi pura di Desa Pakraman Subagan ?

2.Apa dampak dan makna desakralisasi pura sebagai arena tajen bagi masyarakat Desa Pakraman Subagan ?

1.2 Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan yang dilakukan seseorang sudah tentu mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang ditetapkan dengan jelas akan menjadi landasan bagi peneliti. Mengingat permasalahan yang penulis angkat dalam penelitian ini sangat luas, jadi dalam bagian ini penulis mengutarakan tujuan mengapa melakukan penelitian dengan permasalahan ini. Adapun tujuan dari penelitian ini terdiri atas dua bagian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

1.2.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami, mendalami, dan mendeskripsikan bagaimana pura mengalami desakralisasi akibat pemanfaatan pura sebagai tempat tajen dalam rangka menambah ilmu pengetahuan tentang sosiologi agama.

1.2.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mendalami bagaimana proses terjadinya desakralisasi akibat pemanfaatan pura sebagai tempat tajen yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Pakraman Subagan

(8)

2. Untuk mendalami bagaimana tajen dengan berkedok tabuh rah dapat mengakibatkan terjadinya desakralisasi pada sebuah pura.

3. Untuk menjelaskan ke masyarakat mengenai dampak serta makna yang ditimbulkan oleh pemanfaatan pura sebagai tempat tajen

1.3 Manfaat Penelitian

Dari suatu penelitian diharapkan dapat memberi manfaat dan kegunaan yang optimal bagi masyarakat luas. Terkait dengan penelitian ini terdapat dua manfaat yaitu manfaat teoritis serta manfaat praktis yang diharapkan dapat membantu memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis dan praktis dalam ilmu pengetahuan. Kedua manfaat itu dapat dipaparkan sebagai berikut :

1.3.1 Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi bagi peneliti lain yang ingin membahas masalah terkait sehingga penelitian ini dapat dijadikan bahan pembanding bagi penelitian berikutnya serta menghasilkan penelitian-penelitian lain yang lebih mendalam.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan Sosiologi, khususnya dibidang Sosiologi Agama karena dalam penelitian ini akan membahas bagaimana pura mengalami desakralisasi akibat pemanfaatan pura sebagai tempat tajen akan berpengaruh pada kesakralan nilai sebuah pura tersebut.

1.3.2 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menambah wawasan serta pemahaman masyarakat bukan hanya masyarakat di Desa Pakraman Subagan tetapi juga juga masyarakat luas yang selama

(9)

ini salah mentafsirkan mengenai makna sesungguhnya dari tajen dan tabuh rah

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memecahkan permasalahan yang terkait dan mampu memberikan informasi-informasi penting kepada pemerintah, diharapkan dalam penelitian ini dapat membantu menjaga kesakralan dari sebuah pura dengan mempertegas aturan yang terkait.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memecahkan permasalahan yang terkait dan mampu memberikan informasi-informasi penting kepada lembaga terkait sehingga diharapkan dapat memberikan sumber data yang akurat sebagai rujukan dalam penelitian berikunya.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan studi lapangan yang telah dilakukan, diperoleh data produksi pabrik, jumlah order distributor ke pabrik, dan jumlah permintaan seluruh ritel sehingga

pemutusan catudaya listrik dari PLN menunjukkan bahwa kinerja perangkat komputer yang tidak menggunakan UPS mengalami penurunan performance, khususnya pada bagian motherboard

Dalam konteks regional, Cimahi kemudian dimasukkan sebagai bagian dari Bandung Metropolitan Area (BMA), dengan fungsinya sebagai daerah penyangga Kota Bandung.

Dengan demikian adanya pemahaman karakteristik, identifikasi kebutuhan dan pelanggan Perguruan Tinggi memberikan harapan bahwa pelayanan yang diberikan akan

Keputusan ini sebagai Instruktur Pendidikan dan Latihan profesi Guru (PLPG) Tahap II Prryram Setifikasi Guru dalam labatan tahun 2014 yang dilaksanakan pada Rayon

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi gliserol terhadap karakteristik edible film dan konsentrasi yang terbaik yang ditambahkan dalam pembuatan

Gambar atau grafik merupakan bagian yang penting sistem multimedia, pada dasarnya sebuah format gambar dapat direpresentasikan kedalam tipe bitmap atau vektor, perbedaan dari

D-III TLB (Teknik Listrik Bandara) Formasi Pola Pembibitan Kemenhub: 24 Taruna/Taruni 3 Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan (ATKP).