• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Partai politik adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Partai politik adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Partai dan Fungsinya

Partai politik adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai serta cita-cita yang sama, dan mempunyai tujuan kekuasaan serta melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Budiardjo dalam Antonius P.S, 2006:90). Partai politik merupakan sarana untuk berpartisipasi dalam dunia politik. Partai sebagai kekuatan politik adalah suatu gejala baru bagi semua negara di dunia. Lembaga-lembaga politik adalah lembaga yang memperhatikan kekuasaan, organisasinya, pengalihannya, pelaksanaan dan legitimasi kekuasaan (Duverger 1988:124).

Berdirinya Syarikat Islam pada tahun 1912 dianggap sebagai lahirnya partai politik pertama di Indonesia, karena sejak itu organisasi itu menjadi sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalis. Pada awalnya banyak yang mengira kehadiran partai politik dilihat sebagai sarana berpartisipasi saja. Tetapi dalam perkembangannya partai diidentifikasikan sebagi organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya kepada kekuasaan-kekuasaan pemerintahan, dan juga bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat. Partai politik juga merupakan perantara dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan berakibat pada aksi politiknya dalam masyarakat yang lebih luas (Neuman dalam Antonius P.S 2006:91).

Pada perkembangan demokrasi modern partai politik mempunyai peranan penting pada masyarakat, diantaranya dapat memaksimalkan keikutsertaan anggota masyarakat dalam suatu proses politik. Partai politik juga tidak boleh keluar dari fungsi utamanya

(2)

yaitu melebarkan jaringannya diantara anggota di masyarakat agar keinginan dan aspirasi, kepentingan mereka terus-menerus dapat dipantau. Jaringan itu dapat berupa organisasi masa yang tugas utamanya adalah menghimpun atau merangkum segala aspirasi masyarakat.

2.2. Masyarakat Dalam Partisipasi Politik

Pengertian demokrasi ialah pemerintah yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi dalam arti empiric diatas menyatakan setiap warga negara bebas berpartisipasi dalam politik tanpa membeda-bedakan status golongan, agama dan jenis kelamin (Antonius P :123). Secara konseptual, partisipasi politik merupakan kegiatan sekarang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, kegiatannya meliputi tindakan-tindakan seperti memberi suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai politik atau kelompok-kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan dengan pejabat pemerintah.

Partisipasi politik merupakan kegiatan-kegiatan sukarela dari warga Negara bagaimana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung dan tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum (Mc Closky dalam Antonius P :125). Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi politik juga bersifat individual atau koleksi, teorganisir dan spontan, mantap dan sporadis secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efaktif atau tidak efektif (Hutington dalam Antonius P : 126).

Dalam ilmu politik dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi, yaitu pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empirik. Demokrasi secara normatif

(3)

ialah bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang secara idil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah Negara, sedangkan demokrasi dalam arti empirik, yakni demokrasi dalam pengejawantahannya dalam kehidupan politik praktis, misalnya apakah pemerintah memberikan ruang gerak para warga untuk berpartisipasi dalam politik.

2.3. Konflik Dalam Partisipasi Politik Perempuan

Konflik merupakan suatu fakta dalam masyarakat industri modern yang secara empiris tidak diakui karena orang lebih memilih stabilitas sebagai hakekat masyarakat. Konflik merupakan realitas yang harus dihadapi oleh para ahli teori sosial dalam membentuk model-model umum perilaku sosial. Konflik mempunyai fungsi-fungsi positif, salah satunya adalah mengurangi ketegangan dalam masyarakat, juga mencegah agar ketegangan tersebut tidak terus bertambah dan menimbulkan kekerasan yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan. Konflik sosial mempunyai fungsi katarsis, karena konflik mempunyai dampak yang menyegarkan pada sistem sosial. Konflik tidak mengubah sistem sosial, namun konflik menciptakan perubahan-perubahan di dalam sistem sehingga sistem itu bisa lebih efektif (Wardi Bachtiar,2006:108).

Pengembangan teori konflik dilakukan oleh Polybius (Wardi Bachtiar 2006:108), tetapi yang mengembangkannya adalah Karl Marx. Marx melihat masyarakat kapitalisme modern, kaum industrialis atau borjuis, pemilik modal dan masyarakat kelas bekerja atau proletar yang sering diamati sebagai gambaran konflik yang nyata pada masa itu. Konflik kelas diamati sebagai titik sentral dari masyarakat, segala macam konflik mengasumsikan bentuk dari peningkatan konsolidasi terhadap kekacauan. Kaum kapitalis telah mengelompokkan populasi, memusatkan tujuan produksi dan mengkonsentrasikan produksi pada segelintir orang saja atau memperhatikan kesejahteraan kelas pekerjanya,

(4)

keadaan tersebut membawa ketimpangan sosial pada masyarakat pada saat itu berupa ketidakadilan yang dialami masyarakat buruh yang dipaksa bekerja terus-menerus dalam peningkatan produksi tanpa memperhatikan kesetaraan upah dan penyesuaian jam kerja. Keadaan tersebut melahirkan perjuangan kelas yang dilakukan kaum proletar yang dipandang oleh Marx yang bermula dari konsep kekuatan politik sebagai pembantu terhadap kekuatan kelas, dan perjuangan politik sebagai bentuk khusus perjuangan kelas. Dalam hal ini kelas borjuis sebagai penguasa dan kelas proletar yang dikuasai.

Pertentangan kelas juga diterima Dahrendorf sebagai suatu bentuk konflik dan sebagai sumber perubahan sosial. Dahrendorf memodifikasi teori pertentangan kelas Marx dengan memasukkan perkembangan-perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini. Menurut Dahrendorf konflik berhubungan dengan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur-unsur dari kelahiran kelas. Terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dengan yang dikuasai. Dengan kata lain beberapa orang turut serta dalam strutur kekuasaan yang ada di dalam kelompok, sedang yang lain tidak. Dahrendorf mengakui terdapat beberapa perbedaan diantara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaaan di dalam sikap dominasi akan selalu terjadi, tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua sistem kelas yaitu mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan. Perjuangan kelas dibahas Dahrendorf lebih berdasarkan pada kekuasaan daripada pemilikan sarana-sarana produksi dalam masyarakat industri modern, pemilik sarana produksi tidak sepenting mereka yang melaksanakan pengendalian atas sarana itu.

Sarana yang dimaksud adalah penguasaan terhadap sumber daya yang ada, baik sumber daya alam maupun faktor-faktor produksi. Pada masyarakat yang berkembang

(5)

kekuasaan yang dimiliki sudah otomatis penguasaan terhadap sumber daya yang ada, kekuasaan sering dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi. Jika dikaitkan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan, laki-laki dianggap memiliki kekuasaan yang lebih dibanding daripada perempuan. Perbedaan ini berpotensi menimbulkan berbagai pertentangan. Pertentangan yang telah berakar dan potensial diantara kedua jenis kelamin ini sekarang diatur lewat institusionalisasi pertentangan. Marx dan Dahrendorf mengemukakan pertentangan kelas antara laki-laki dan perempua n, laki-laki yang memperoleh kekuasaan dari budaya pariarkhi dan konstruksi sosial mempengaruhi hubungan-hubungan dalam politik. Secara tidak langsung tapi disadari politik digunakan dalam pencapaian kekuasaan, kesempatan dan peluang laki-laki dalam politik lebih terbuka dibanding perempuan sehingga proses distribusi kekuasaan hanya berada ditangan laki-laki.

Kekuasaan adalah seluruh jaringan hubungan yang telah mempunyai model atau pola (struktur) yang mengandung sifat otoritas. Kekuasaan adalah hubungan, tetapi bukan sembarang hubungan. Kekuasaan dalam arti hubungan yang mengandung otoritas yang mempengaruhi kehidupan politik, baik dalam bentuk negara maupun komunitas-komunitas yang lebih kecil. Ada dua corak pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuasaan. Pertama bilamana orang melihat politik pada dasarnya sebagai arena pertarungan atau medan pertempuran. Dalam hal ini kekuasaan memungkinkan mereka yang berhasi merebut dan mengontrolnya untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya di dalam masyarakat. di samping itu, ada pihak lain yamng menentang dan ingin merebut kekuasaan itu untuk tujuan yang sama. Disini kita lihat kekuasaan memainkan peranan

(6)

sebagai biang konflik dan alat untuk menindas. Sejalan dengan itu, ini merupakan aspek dari antagonisme atau konflik dari kekuasaan atau politik (Maurice Duverger, 1989:XIII).

Aspek kedua muncul bilamana orang menganggap bahwa politik adalah suatu upaya untuk menegakkan ketertiban dan keadilan. Dalam hal ini kekuasaan dilihat sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum melawan tekanan dan tuntutan berbagai kelompok kepentingan. Di sini kekuasaan memainkan peranan integratif, memihak dan melindungi kepentingan bersama vis-avis kepentingan golongan atau kelompok.

Homans menjelaskan asal mula kekuasaan dan wewenang dalam kaitannya dengan prinsip kepentingan minimum (principle of least interest) : orang yang memiliki kepentingan yang paling sedikit untuk kelangsungan situasi sosial adalah yang paling bisa menentukan kondisi-kondisi asosiasi. Prinsip ini menghasilkan kekuasaan di tangan salah satu pihak yang berpartisipasi, “sebab dalam pertukaran seseorang memiliki kapasitas yang lebih besar untuk memberi orang lain ganjaran ketimbang yang mampu diberikan orang itu kepadanya” (Homans dalam Poloma, 2003: 67).

Dalam organisasi formal hubungan yang asimetris dapat dilestarikan melalui kekuasaan yang memaksa. Kekuasaan memaksa merupakan pertukaran yang tidak seimbang, dan situasi yang demikian juga diatur oleh proposisi pertukaran seperti halnya dalam hubungan-hubungan yang bersifat tidak memaksa. Homan menyatakan bahwa paksaan tidak dibutuhkan bila hubungan itu didasarkan pada pertukaran yang fair. Akan tetapi, sekalipun kekuasaan bersifat memaksa pertukaran itu akan terlihat juga.

Selanjutnya Blau melihat sesuatu yang menarik dari individu ke dalam asosiasi “ mereka tertarik pada pertukaran karena mengharapkan ganjaran yang interinsik maupun

(7)

eksterinsik. Blau memang mengakui tidak semua perilaku manusia dibimbing oleh pertimbangan pertukaran sosial, tetapi dia berpendapat kebanyakan memang demikian. Dia mengetengahkan persyaratan yang harus dipenuhi bagi perilaku yang menjurus pada pertukaran sosial, perilaku tersebut harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dicapai melelui interaksi dengan orang lain, dan perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut (Blau dalam Poloma,2003:82). Tujuan yang diinginkan itu dapat berupa ganjaran ekstrinsik seperti uang, barang dan jasa atau intrinsik seperti kasih sayang, kehormatan dan lain-lain. Perilaku manusia yang dibimbing oleh prinsip-prinsip pertukaran sosial itu yang mendasari pembentukan struktur serta lembaga-lembaga sosial.

Beranjak dari asumsi bahwa gender adalah “ pervasive category understanding human experience”. Gender merupakan konstruksi yang meskipun bermanfaat, didominasi oleh bias pria dan cenderung apresif terhadap wanita. perempuan yang tidak diperhitungkan secara ekonomis, merupakan fokus perjuangan kaum feminis marxist. Perempuan secara sistematis dikontrol di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Kenyataan pribadi perempuan pun dikontrol oleh negara (hak milik tanah harus atas nama laki-laki). Fungsi reproduksi hanya diartikan sebagai fungsi haid, hamil, dan melahirkan terbeban pada kaum perempuan. Tetapi fungsi yang hanya bisa dikerjakan oleh perempuan ini justru menciptakan anggapan bahwa tenaga perempuan tidak produktif. Fungsi reproduksi tidak dihargai secara ekonomis, dan tidak diperhitungkan sebagai sumbangan pendapatan nasional atau pendapatan dunia.

(8)

Teori feminis marxist menyebutkan bahwa secara politik perempuan mempunyai kekuasaan dalam menentukan kehidupan, tetapi terampas oleh budaya patriarkhi pada waktu manusia mengenal kekayaan dan hak waris.

Sosiologi konflik merupakan aliran ilmu sosial yang menjadi alternatif dari aliran sosiologi fungsionalisme. Aliran ini percaya bahwa kelompok masyarakat memiliki kepentingan (intrest) dan kekuasaan (power) yang adalah pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan laki-laki dan hubungan perempuan. Gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai syarat untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak terkecuali hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dengan asumsi seperti ini maka perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya merubah posisi dan hubungan. Demikian juga perubahan hubungan antara laki-laki dan perempuan hanya akan dilihat dari konflik antar 2 kepentingan.

Bagi penganut feminis Marxis, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang bersifat struktural. Mereka telah menganggap pratiarkhi ataupun kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalis yang sesungguhnya merupakan penyebab masalahnya. Dengan begitu penyelesaiannya pun harus bersifat struktural, yakni hanya dengan melakukan perubahan struktur kelas dan pemutusan hubungan dengan sistem kapitalisme internasional. Perubahan struktur kelas itulah yang mereka sebut sebagai proses revolusi. Namun tidak hanya sampai disitu, perempuan masih dirugikan oleh tanggung jawab domestik mereka. Dari perspektif ini, diyakini bahwa emansipasi perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti mengurus rumah tangga, namun proses itu hanya terjadi melalui industrialisasi. Bagi teori Marxis klasik,

(9)

perubahan status perempuan terjadi melalui revolusi sosialis dan dengan menghapuskan pekerjaan domestik.

Di negara kita politik formal sangat berkaitan dalam pencapaian kekuasaan, jika kita berbicara tentang politik formal tentu berhubungan dengan partai politik. Partai politik yang diominasi oleh laki-laki sebagai akibat dari konstruksi sosial dan budaya patriarkhi mengakibatkan perbedaan wewenang dalam partai tersebut. Walaupun perempuan sudah mulai ikut aktif dalam partai politik, namun secara kasat mata wewenang mereka berada dalam wewenang laki-laki. Dengan demikian wewenang tersebut hanya menyangkut atau membahas mengenai kebutuhan untuk pencapaian kekuasaan bagi laki-laki. Perbedaan posisi perempuan berada pada posisi subordinat dengan laki-laki yang mendominasi. Adanya perbedaan posisi dalam masyarakat antara posisi perempuan dan laki-laki terbawa dalam struktur politik termasuk partai politik. Sehingga mengakibatkan wanita sebagai suatu kelompok semu yang telah berubah menjadi lapisan yang diperintah. Sebagai contoh, menurtu hukum seorang wanita harus tunduk kepada suaminya, kemudian di kantor ia tetap diabaikan dalam promosi jabatan dan di dalam organisasi pun mereka sering tidak diikutkan dalam struktur kekuasaan oleh kerena perbedaan jenis kelamin itu.

Kekayaan status sosial dan ekonomi walau bukan faktor determinan kelas dapat juga mempengaruhi pertentangan. Dahrendorf mengetengahkan proposisi, “semakin rendah korelasi antara kedudukan kekuasaan dan aspek-aspek sosial ekonomi lainnya, semakin rendah intensitas pertentang kelas”. (M. Poloma, 2003:138). Dengan kata lain kelompok-kelompok yang menikmati status ekonomi relatif lebih tinggi memiliki

(10)

kemungkinan yang rendah untuk terlibat dalam konflik yang keras dengan stuktur kekuasaan daripada mereka yang terbuang dari status sosial ekonomi dan kekuasaan.

Secara sosiologis bahwa asosiasi yang ditandai oleh pertentangan terdapat ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada struktur tersebut. Pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan menjadi permasalahan pertentangan kelompok. Jadi dapat dikatakan bahwa pertentanagn kelas dan kelompok terjadi akibat dari proses pencapaian kekuasaan di dalam masyarakat karena kekuasaan memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat. Kekuasaan yang dimiliki dapat menguasai sumber daya dan menguasai sistem pemerintahan, dapat menyebarkan pengaruhnya, memupuk kekayaan dan menguasai hukum dan ekonomi. Dalam pembahasan teori kelas dapat dilihat bagaimana pentingnya suatu kekuasaan bagi organisasi sosial dan bagaimana konflik mengenai kekuasaan dapat menjurus pada pengembangan-pengembangan lembaga-lembaga yang ada di masyarakat. Di dalam mendapatkan kekuasaan terdapat kelompok-kelompok kepentingan bersama para individu yang mampu berorganisasi.

2.4. Kebijakan Peningkatan Partisipasi Perempuan Di Partai

Peranan perempuan dalam politik terakomodasi dengan menerapkan affirmative action melalui sistem kuota 30%. Permasalahan kuota terdapat dalam batang tubuh Undang-Undang Pemilu pasal 65 ayat 1 yang berbunyi “setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD propinsi dan DPRD Kabupaten / Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Diberlakukannya kuota yang telah disahkan ini bisa menjadi motivasi perempuan untuk dapat berkiprah di politik. Perempuan tinggal menyiapkan

(11)

potensi perempuan dan siap berkiprah dalam politik terutama politik formal yang akan mempengaruhi kebijakan (Daulay 2007: 36). Usaha memaksimalkan keterwakilan perempuan sudah dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh beberapa kelompok perempuan sehingga UU No. 10 tahun 2008 pasal 55 ayat 2 tercantum ketentuan yang melebihi 5 tahun sebelumnya, sedikitnya satu dari setiap 3 calon adalah perempuan (Kompas, 2008 :35).

UU No. 18 Tahun 2007 tentang partai politik menyebutkan pendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30% keterwakilan perempuan, kepengurusan partai politik tingkat pusat disusun dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan, serta kepengurusan partai politik tingkat propinsi dan Kabupaten / Kota disusun dengan memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % yang diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

Secara umum ada tiga faktor yang cukup signifikan untuk menentukan keterwakilan perempuan, yaitu sistem pemilu, peran dan organisasi partai-partai politik serta penerimaan kultural, termasuk aksi mendukung (affirmative action) yang bersifat wajib dan sukarela. Dengan sistem demokrasi dan kepartaian yang kita anut, yang berkaitan dengan system perwakilan yang berhubungan dengan calon-calon legislative yang akan duduk diparlemen. Dengan begitu mereka yang sering disebut wakil rakyat berasal dari partai. Partai berperan penting dalam penentuan calon legislatif yang akan duduk di parlemen walaupun pada akhirnya masyarakat yang memilih. Di dalam menghadapi pemilu April 2009 nanti, seluruh partai harus mengacu pada UU No 10 Tahun 2008 dan UU No 18 Tahun 2007, yang intinya adalah keterlibatan perempuan yang harus memenuhi kuota 30%.

(12)

Diberlakukannya kuota yang telah disahkan ini, sedikit banyaknya memotivasi perempuan untuk dapat berkiprah di bidang politk, terutama politik formal yang akan menentukan kebijakan (Daulay 2007:36). Hal ini tampak dari munculnya perempuan dalam percaturan dunia politik seperti calon kepala daerah dalam pemilihan kepala derah (pilkada) di beberapa daerah di Indonesia dan juga sebagai pengurus penting di berbagai partai peserta pemilu.

Dalam hal ini partai juga memiliki kriteria penting dalam penentuan calegnya. System pengkaderan di dalam setiap partai yang akan memunculkan calon legislatifnya akan mempengaruhi kedudukan perempuan dalam partai tersebut. Namun, pada intinya, kualitas adalah hal yang utama. Partai tetap menganggap prestasi, keunggulan, berupa latar belakang pendidikan setiap caleg tetap menjadi hal yang utama. Di sisi lain partai juga memperhatikan UU mengenai kuota perempuan dalam legislatif.

Pada intinya kita akan melihat bagaimana partai menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) April 2009, bagaimana mengakulturasi kepentingan partai memenangkan pemilu dengan kepentingan perempuan yaitu, keterwakilannya dalam produk pemilu tersebut, berupa implementasi UU yang berujung pada kuota 30%, sehingga tujuan dari UU dapat diimplementasikan dengan baik oleh setiap partai, dan terciptanya keadilan berpolitik antara laki-laki dan perempuan.

Referensi

Dokumen terkait

a. Semakin berkembangnya media massa sekarang ini mempengaruhi cepatnya informasi sampai pada pengamatnya. Informasi yang beredar dengan sangat cepat terkadang

Hal ini merujuk pada pemikiran bahwa kualitas kehidupan kerja dipandang mampu untuk meningkatkan peran serta dan sumbangan para anggota atau karyawan terhadap perusahaan

Faktor-faktor penyebab kesulitan siswa dalam memahami materi larutan penyangga, antara lain: (a) kurangnya minat dan perhatian siswa pada saat proses

Yazim Yaqub, SpOG beserta seluruh staf medis dan non medis yang telah memberikan kesempatan, sarana serta bantuan kepada saya untuk bekerja selama mengikuti pendidikan dan

Belum adanya formulasi peraturan perundangan yang integral dalam penyidikan tipikor yang dapat mengeleminir munculnya egoisme sektoral.(3). Model alternatif

Jenis Serangga apa sajakah yang ditemukan di wilayah sekitar pantai Drini?.. Bagaimana klasifikasi dan ciri serangga yang telah didapatkan di wilayah sekitar

Jalan ketujuh, yang lebih buruk dari semua jalan yang telah disebutkan, karena mereka akan benar-benar merana di dalam kebingungan dan dimakan dengan rasa malu, dan akan layu

Hasil penangkapan nyamuk di delapan desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Bangsri, Mlonggo, Jepara, Batelit, Pecangaan dan Mayong telah ditemukan 10 species nyamuk