• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. muka bumi. Hal ini dikarena HAM memiliki sifat yang selalu melekat (inherent)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. muka bumi. Hal ini dikarena HAM memiliki sifat yang selalu melekat (inherent)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejarah tentang HAM hampir sama tuanya dengan keberadaan manusia di muka bumi. Hal ini dikarena HAM memiliki sifat yang selalu melekat (inherent) pada diri setiap manusia, sehingga eksistensinya tidak dapat dipisahkan dari sejarah kehidupan umat manusia. Berbagai upaya untuk mewujudkan HAM dalam kehidupan nyata, sejak dahulu hingga saat sekarang ini, tercermin dari perjuangan manusia dalam mempertahankan harkat dan martabatnya dari tindakan sewenang-wenang penguasa yang tiran. Timbulnya kesadaran manusia akan hak-haknya sebagai manusia merupakan salah satu faktor penting yang melatarbelakangi dan melahirkan gagasan yang kemudian dikenal sebagai HAM.

HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan sematamata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.1 Senada dengan pendapat sebelumnya Jimly Asshidiqie merefleksikan HAM sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat

1

Donnely, J., Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London, 2003, hlm. 7-21, dan lihat Cranston, M., What are Human Rights? Taplinger, New York, 1973

(2)

2

kelahiran manusia itu sebagai manusia.2 Dikatakan „melekat‟ atau „inheren‟ karena hak-hak itu dimiliki berkat kodrat kelahirannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian oleh suatu organisasi kekuasaan manapun termasuk negara. Dikatakan „melekat‟ itu pulalah maka pada dasarnya hak-hak ini tidak sesaatpun boleh dirampas atau dicabut.

Persebaran norma Hak Asasi Manusia (HAM) pasca Perang Dunia II telah membawa perubahan penting dalam sistem politik internasional. Setelah perang usai, kampanye anti-perbudakan, hak-hak buruh, hak-hak wanita dan anak begitu marak hingga mendorong perubahan sosial dan politik di berbagai belahan dunia. Fenomena ini membangkitkan kesadaran akan pentingnya melindungi hak-hak individual dan secara perlahan memperoleh legitimasi internasional.3

Beberapa hak individu telah diakomodasi dan difasilitasi oleh lembaga HAM, organisasi internasional, lembaga non-pemerintah dan bahkan aktor-aktor individual. Di antara aktor-aktor yang memfasilitasi perlindungan hak individu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berperan sebagai tulang punggung bagi rezim HAM internasional. PBB menjalankan fungsi untuk menyusun dan melegitimasi norma-norma HAM dan menuangkannya ke dalam bentuk perjanjian internasional.

Salah satu instrumen HAM Internasional yang telah disahkan oleh PBB adalah The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

2

Asshiddiqie, J., Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2015 3

Wotipka, C.M., dan Tsutsui, K., Global Human Rights and State Sovereignty: State Ratification of Internastional Human Rights Treaties, 1965-2001, Sociological Forum, Vol.23, No.24, 2008, hal. 725

(3)

3

(ICESCR) pada 16 Desember 1966 dan berlaku mulai 3 Januari 1976.4 Kovenan ini berkomitmen bahwa para peratifikasinya bekerja ke arah pemberian hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ESCR) untuk Non-Self Gorvening , Trust Territories dan individu, termasuk hak-hak perburuhan dan hak kesehatan, hak atas pendidikan, dan hak atas standar hidup yang layak. Pada 2015, Kovenan ini telah diratifikasi oleh 164 negara termasuk Indonesia.5

Salah satu hak yang penting dalam ICESCR adalah Labor Rights atau Hak Perburuhan. Hak-hak ini di antaranya; pertama, bayaran yang memberikan semua pekerja, sekurang-kurangnya; a) upah yang adil dan imbalan yang sesuai dengan pekerjaan yang senilai tanpa pembedaan dalam bentuk apapun, khususnya bagi perempuan yang harus dijamin kondisi kerja yangtidak lebih rendah daripada yang dinikmati laki-laki dengan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama., b) Kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Kovenan ini, kedua, Kondisi kerja yang aman dan sehat, ketiga; kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi, tanpa didasari pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan,

keempat; istirahat, liburan dan pembatasan jam kerja yang wajar, dan liburan berkala

dengan gaji maupun imbalan-imbalan lain pada hari libur umum, kelima; Hak Kebebasan Berserikat, dan keenam; Hak Mogok

4

UN General Assembly, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, 16 December 1966, United Nations, Treaty Series, Vol. 993, P. 3, tersedia di:

http://www.refworld.org/docid/3ae6b36c0.html, diakses 25 April 2016 5

Lihat, https://treaties.un.org/Pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-3&chapter=4&lang=en , diakses 25 April 2016

(4)

4

Pemerintah Indonesia meratifikasi ICESCR pada Oktober 2005. Ratifikasi ini ditandai dengan terbitnya UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Dengan demikian, negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak tersebut kepada warganya.

Dengan meratifikasi ICESCR, Indonesia memiliki kewajiban mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Konvensi. Artinya, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi, memenuhi, menghargai dan mendorong hak-hak perburuhan sesuai dengan isi Konvensi. Demi mencapai tujuan-tujuan tersebut, Indonesia wajib mengambil langkah-langkah legislatif dan administratif untuk memastikan bahwa hak-hak perburuhan terealisasi dengan baik.

Meskipun Indonesia telah meratifikasi ICESCR lebih dari satu dekade silam, tingkat kepatuhan Pemerintah Indonesia terhadap isi perjanjian masih patut untuk dipertanyakan, karena maraknya demonstrasi buruh yang menandakan ketidakpuasan buruh terhadap kondisi mereka. Kepatuhan Indonesia terhadap hak perburuhan dalam ICESCR penting untuk dibahas karena hingga saat ini, kondisi pemenuhan hak-hak perburuhan di Indonesia masih memprihatinkan.

(5)

5

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasakan pentingnya untuk melakukan penelitian dengan rumusan masalah sebagai berikut

1. Bagaimana tingkat kepatuhan Indonesia terhadap Hak Perburuhan yang tercantum dalam ICESCR?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat kepatuhan Indonesia terhadap Hak Perburuhan yang tercantum dalam ICESCR?

1.3 Tinjauan Pustaka

Dalam studi literatur ini, Penulis akan membahas beberapa tulisan para ahli mengenai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Hak Perburuhan, dan peran Negara. Kebanyakan pendapat para ahli mengaitkan Hak Perburuhan dan Tanggung Jawab Negara dengan berdasarkan sistem peraturan perundangan-perundangan tentang perburuhan yang berlaku di Indonesia sebagai hukum postif. Terdapat sejumlah ahli yang menuliskan pentingnya tanggung jawab negara dalam pemenuhan Hak Ekosob namun tanpa secara spesifik tidak membahas mengenai hak perburuhan, dan jika menuliskan hak perburuhan secara spesifik, tidak mengaitkannya dengan tingkat kepatuhan negara terhadap Kovenan Ekosob yang diratifikasinya.

(6)

6

Pertama, penulis akan mengulas “Hak Ekonomi Sosial Budaya dan Tanggung

Jawab Negara” yang ditulis oleh Yosep Adi Prasetyo6

, setelah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekosob, pemerintanhIndonesia memiliki kewajiban yang mengikat secara hukum untuk melakukan beberapa hal. Antara lain negara, dalam hal ini pemerintah, harus segera melakukan reformasi hukum dengan menerjemahkan prinsip dan ketentuan yang terkandung dalam ICESCR ke dalam hukum nasional. Pemerintah juga harus segera melakukan harmonisasi hukum nasional dengan menggunakan kerangka ICESCR. Semua peraturan perundang-undangan yang tak sesuai dengan ICESCR harus dicabut dan direvisi. Begitu juga dengan RUU yang telah dibahas dan disiapkan hingga proses ratifikasi Selain itu pemerintah harus melakukan sosialisasi ICESCR yang telah diratifikasi, sehingga banyak orang akan mengetahui apa saja hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang seharusnya dinikmati warganegara.

Dengan telah diratifikasinya ICESCR, pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk membuat laporan mengenai upaya dan capaian pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang harus disampaikan pada Komite di PBB. Kewajiban negara dalam Pasal 2 ayat (2) Kovenan adalah menjamin hak-hak dalam Kovenan Hak Ekosob dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau status sosial, kekayaan atau lainnya. Kewajiban Negara dalam

6

Prasetyo, A.P., Hak Ekonomi Sosial Budaya dan Tanggung Jawab Negara, Pusham UII, Yogyakarta, 2012

(7)

7

konteks ini adalah pernyataan “komitmen” dan “kemauan baik”, yang tidak mengenal “setengah komitmen” atau “komitmen setengah-setengah” melainkan “komitmen penuh” untuk menjamin prinsip non-diskriminasi, termasuk memastikan persamaan laki-laki dan perempuan menikmati semua hak-hak ekosob.

Kedua, penulis akan mereview tentang Hak Untuk Bekerja dan Hak Dalam

Pekerjaan Dalam ICESCR. Dalam tulisannya yang berjudul “Hak Untuk Bekerja dan Hak Dalam Pekerjaan”7, Drzewicki menjelaskan bahwa bekerja dan hak dalam pekerjaan merupakan inti tidak saja dalam lingkup hak ekonomi, sosial, dan budaya tetapi juga dalam lingkup hak asasi manusia yang mendasar. Secara tradisional, bekerja telah dianggap semata-mata sebagai suatu sarana untuk mencari nafkah, atau dalam perspektiff lain suatu alat untuk mempertahankan kepentingan ekonomi. Tetapi sejak permulaan abad ke-20, suatu perspektif yang lain dan yang lebih mendunia, mendapatkan dasarnya yaitu: suatu pengertian yang menekankan keterkaitan antara kondisi-kondisi kerja, keadilan sosial dan perdamaian dunia.

Kecenderungan ini menurut Drzewicki, tercermin pada mulanya dalam pertimbangan uum dari Pemubakaan Undang-Undang Dasar Organisasi Buruh Internasional (ILO), yang menetapkan bahwa perdamaian universal dan yang berlangsung terus-menerus dapat diciptakan hanya jika perdamaian itu berdasarkan keadilan sosial.

7

Drzewicki, K., Hak Untuk Bekerja dan Hak Dalam Pekerjaan, dalam Eide, A., (Ed. Al), Hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya, Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian

(8)

8

Dalam sejarah perkembangan HAM, telah dihasilkan peraturan-peraturan internasional perburuhan dan pengintegrasian isu-isu perburuhan ke dalam sistem HAM internasional dengan pandangan untuk mencari perlindungan melalui cara prosedural dan substantif. Pendekatan Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam hal ini ialah „menjamin agar Negara mengembangkan dan menjalankan kebijakan yang mempunyai tujuan utama untuk memberikan lapangan kerja bagi semua orang dan agar memberikan perhatian yang memadai kepada sektor-sektor penduduk yang rawan‟.

Ketiga, penulis juga membahas tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia di

Indonesia. Bagi Zainal Abidin8, UUD 1945 menjamin perlindungan HAM, misalnya pengakuan dan jaminan hak atas persamaan hukum, jaminan hak untuk bebas dari tindakan diskriminasi dalam berbagai bentuknya, hak untuk bebas dari penyiksaan, dan lain sebagainya. UU No. 39 tahun 1999, selain mengatur tentang berbagai hak yang dijamin, juga menjelaskan tentang tanggung jawab pemerintah dalam penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM, serta mengatur tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Jaminan perlindungan HAM dalam berbagai peraturan tersebut, memberikan kewajiban kepada negara dan utamanya pemerintah terhadap hak-hak yang dijamin. Terlebih, setelah Indonesia meratifikasi 2 (dua) instrumen internasional pokok HAM (ICCPR dan ICESCR), menambah komitmen Indonesia dalam perlindungan HAM.

8

(9)

9

Sebagai negara pihak dari Kovenan, Indonesia mempunyai kewajiban untuk melakukan segala upaya (hukum, legislatif, dan administratif, dan lainnya) untuk melindungi hak-hak yang dijamin dalam Kovenan.

Penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM di Indonesia dalam tataran regulasi semakin membaik dengan pembangunan sistem perlindungan HAM di Indonesia melalui berbagai regulasi. Jaminan normatif ini masih perlu diperbaiki, dan yang paling utama adalah pelaksanaan secara konsisten komitmen terhadap HAM oleh lembaga-lembaga negara, aparat pemerintah dan semua pihak. Berbagai mekanisme pengawasan untuk penegakan HAM yang telah terbentuk juga diharapkan dapat berjalan dengan efektif untuk memastikan berjalannya penikmatan HAM di Indonesia.

Pemerintah daerah, dalam sistem desentralisasi saat ini, mempunyai peranan penting dalam penghormatan, perlindungan dan pemajuan di Indonesia, baik dalam bidang hak-hak sipil dan politik, maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pemerintah daerah bersama DPRD mempunyai kewenangan untuk membentuk perda-perda, ataupun menyusun anggaran untuk bidang-bidang yang terkait dengan HAM.

Melihat pemaparan tulisan-tulisan tersebut diatas dalam keterkaitannya dengan topik penelitian ini, penulis masih melihat adanya kekurangan dan hal penting yang masih belum disinggung dalam tulisan-tulisan tersebut diatas yaitu kepatuhan

(10)

10

Indonesia terhadap ICESCR yang telah diratifikasinya. Oleh karena itu dalam penelitian tesis ini, Penulis akan menambahkan jangkaungan penelitian yaitu mengenai tingkat kepatuhan Indonesia terhadap ICESCR dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya.

1.4. Kerangka Teori

1.4.1 Rezim Internasional

Di dalam dinamika politik internasional, organisasi internasional memiliki pengaruh penting dalam hal pembentukan prosedur, peraturan, dan pengaturan kelembagaan yang bertujuan untuk mendukung norma-norma internasional tertentu dan membimbing perilaku anggotanya. Menurut Karent Mingst, organisasi internasional memiliki fungsi untuk mengatur kerjasama, membantu menyelesaikan konflik, memfasilitasi pembentukan jaringan antar pemerintah, sebagai arena perundingan internasional, dan untuk menciptakan rezim internasional.9

Salah satu fungsi organisasi internasional yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini adalah fungsi untuk mencipakan rezim internasional. Menurut Stephen D. Krasner, yang dimaksud dengan rezim adalah “principle, norms, rules, and decisión-making procedures around which actors expectation converge in a given issue area”. Krasner mendefinisikan rezim internasional sebagai serangkaian prinsip, norma,

9

Mingst, K. Essentials Of International Relations, W.W Norton & Company, New York, 1998, hal. 259

(11)

11

peraturan, dan prosedur pembuatan keputusan yang menyatukan ekspektasi dari aktor-aktor terhadap isu tertentu dalam hubungan internasional

“International regimes are defined as a set of implicit or explicit principles, norms, rules, and decision making procedures around which actors‟ expectations converge in a given area of international relations. Principles are beliefs of fact, causation, and rectitude. Norms are standards of behavior defined in terms of rights and obligations. Rules are specific prescriptions or proscriptions for action. Decision-making procedures are prevailing practices

for making and implementing collective choice.”10

Bagi, Oran R. Young, bahwa rezim internasional merupakan institusi sosial yang sangat kompleks, karena berkaitan dengan aktivitas dari kepentingan para anggotanya dalam sistem internasional. Oran R. Young menyatakan bahwa suatu rezim dapat dikatakan sebagai suatu institusi sosial yang mengatur tindakan/perilaku pihak-pihak yang memiiliki kepentingan bersama dalam suatu bidang wilayah tertentu.11

Donald J. Puchala dan Raymond F. Hopkins yang juga mendukung pernyataan Oran, menyatakan bahwa rezim internasional mempunyai 5 ciri utama, yaitu:12

a. Rezim mempunyai kemampuan untuk membentuk perilaku kepatuhan terhadap prinsip-prinsip, norma dan aturan. Rezim bersifat subjektif, dia hanya bisa eksis berdasarkan pemahaman, ekspektasi dan keyakinan para

10

Krasner, S.D, Structural Causes and Regime Consequences: Regime as Intervening Variable, dalam Krasneer, S.D. (ed), International Regime, Cornell University Press, Ithaca, 1983, hal 1-21

11

Young, O.R., Regime Dynamics: The Rise And Fall Of International Regimes, International

Organization, Vol. 36, No. 2, 1982 pp. 277-297

12

Puchala, D.J., dan Hopkins, R.F., International regimes: lessons from inductive analysis ,International Organization, Vol. 36, No. 2, 1982, hlm. 245-275

(12)

12

partisipannya mengenai legitimasi, kelayakan atau perilaku yang bermoral;

b. Rezim internasional dapat menciptakan mekanisme/prosedur bagi pembuatan kebijakan. Karakteristik ini menunjukkan bahwa rezim internasional bukan hanya sekedar berisikan norma substantif. Tapi lebih dari itu, rezim internasional adalah tentang bagaimana prinsip-prinsip tersebut dibuat yang melibatkan unsur-unsur seperti siapa partisipannya, kepentingan apa yang mendominasi atau yang menjadi prioritas, dan aturan apa yang dapat melindungi dari dominasi dalam proses pembuatan kebijakan;

c. sebuah rezim selalu mempunyai prinsip-prinsip yang dapat menguatkannya, sebagaimana halnya sebuah norma dapat menetapkan kebenaran dan melarang perilaku yang menyimpang;

d. Dalam setiap rezim selalu terdapat aktor yang berperan di dalamnya. Partisipan (aktor utama) dalam kebanyakan rezim internasional adalah pemerintahan negara-bangsa, akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga ada dari aktor-aktor non-negara. Peran mereka sebagai partisipan sangat krusial, yakni menciptakan, menjalankan, dan mematuhi aturan yang telah dibuat;

(13)

13

e. Eksistensi rezim internasional adalah untuk mencocok nilai-nilai, tujuantujuan, dan prosedur pembuatan kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan dan kebutuhan semua partisipan.

Ekspektasi dan kepentingan negara yang berbeda-beda disatukan dalam sebuah rezim melalui proses negosiasi. Sebuah rezim dapat dilembagakan menjadi perjanjian internasional yang berperan sebagai subyek sekaligus sumber hukum internasional yang bersifat legally binding. Kehadirannya dapat membentuk perilaku negara-negara yang telah terikat di dalamnya melalui aksesi, penandatanganan dan atau peratifikasian. Proses negosiasi dalam suatu rezim dijelaskan oleh William Zartman sebagai berikut:

“Regime building is ongoing negotiation. Getting it done-the process describing how regime goals are achieved. Activities have another important attribute in common: they are all negotiation process, negotiations that occur on the domestic as well as the international level. Getting it done, includes all of the activities required to implement cooperative regime, be those regimes, designed to monitor world trade, promote european security protect the ozone layer, protect human rights, or notify other states in the ivent of the nuclear accidents. Our focus is not only in the instutional structure, substantvie goals, and achievements of the regimes discussed in this book but also on how the

regimes get their work done.”13

Dari pernyataan Zartman di atas, sebuah rezim terbentuk dari proses negosiasi yang berlangsung secara terus menerus. Proses negosiasi ini berlangsung di level internasional dan di level domestik. Di level internasional, negosiasi dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan akhir dari suatu rezim. Sedangkan di level domestik,

13

Zartman, W., Spector, Post Agreement Negotiation and International Regime, Cambridge University Press, Cambridge, 1997, hal, 193

(14)

14

negosiasi dilakukan oleh masing-masing negara anggota untuk mengimplementasikan norma dan peraturan yang terdapat dalam rezim tersebut. Dengan demikian, pembentukan rezim tidak hanya berfokus pada struktur internasional yang bertujuan agar rezim berjalan efektif, namun juga mengenai kepatuhan negara anggota terhadap suatu rezim.

1.4.2 Teori Kepatuhan

Dalam konteks HAM, Johan Galtung menyatakan bahwa HAM harus dilihat sebagai kontruksi kompleks yang mengkombinasikan elemen hukum nasional dan hukum internasional. HAM diimplementasikan sebagai tindakan yang mengikat Negara.14 Terkait dengan pernyataan tersebut, kepatuhan merupakan elemen yang paling penting dalam rezim HAM internasional. Walaupun demikian, konsep kepatuhan sendiri masih menjadi konsep yang masih sulit diverifikasi secaraempiris.15 Namun secara umum, teori kepatuhan menjelaskan adanya penyesuaian antara tingkah laku aktor dan aturan yang telah terspesifikasi dalam rezim.16

Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes dalam On Compliance mengartikan kepatuhan ketika negara yang terlibat dalam sebuah rezim internasional

14

Mardiniah, N., Meneropong Hak Atas Pendidikan dan Layanan Kesehatan, LP3ES, Jakarta, 2005, hal 98

15

Chayes, A., dan Chayes, A.H., On Compliance, International Organization, Vol. 47, No.2, 1993, p.176

16

Fisher, R., Improving Compliance with International Law, The University Press of Virginia, New York,1981, p.20

(15)

15

mampu mengontrol tindakannya untuk berusaha mematuhi kesepakatan yang telah disepakati dalam rezim tersebut.17 Beth Simmons mengutip argumen Oran Young yang menyatakan bahwa kepatuhan dapat dilihat ketika subyek sebuah perjanjian atau rezim melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan apa yang telah disepakati. Sedangkan ketidakpatuhan diindikasikan ketika negara anggota tidak mencerminkan tingkah laku yang sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam perjanjian internasional.18

Dalam perkembangannya, teori kepatuhan sering dikaitkan dengan dua konsep utama rezim, yaitu implementasi dan efektivitas. Implementasi dapat dilihat dari langkah-langkah pemerintah yang dimulai dari peletakkan dasar-dasar komitmen rezim internasional di level domestik, pembentukan institusi dan enforcement terhadap norma dan peraturan rezim. Meskipun impelementasi adalah salah satu bentuk kepatuhan, level kepatuhan yang tinggi tidak ditunjukan melalui implementasinya, melainkan melalui efektivitas yang lebih mengimprovisasi obyektivitas kebijakan suatu negara dalam mencapai tujuan mereka.19

Menurut Chayes, perilaku ketidakpatuhan cenderung muncul sebagai dampak dari ambiguitas norma, keterbatasan kapasitas negara, dan dimensi temporal. Ambiguitas dan kerancuan kalimat seringkali ditemukan dalam perjanjian dan

17

Chayes, A., dan Chayes, A.H, 1993, p. 190 18

Simmons, B.A., Compliance with Intemational Agreements, Annual Review of Political Science, Vol.1., 1998, pp. 79-94

19

Keohane, R.0., International Relations and International Law: Two Optics, Harvard Journal of

(16)

16

peraturan hukum. Kalimat yang digunakan dalam isi perjanjian sering kali tidak menyediakan jawaban yang jelas atas pertanyaan secara spesifik.20 Penyusun butir perjanjian tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di masa yang akan datang. Padahal seiring berjalannya waktu, kondisi ekonomi, teknologi, sains dan bahkan politik mengalami perubahan. Ambiguitas dan ketidakpastian ini menyebabkan persepsi negara menjadi kabur, sehingga negara sulit membedakan mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.21 Dalam contoh ekstrim, negara bisa saja mencari celah untuk membatasi kewajibannya terhadap isi perjanjian. Sebagaimana Justice Oliver Wendell Holmes pernah mengatakan “The very meaning of a line in the law is that you intentionally may come as close to it as

you can if you do not pass it.”22

Selain ambiguitas, perilaku ketidakpatuhan juga muncul karena keterbatasan kapasitas negara untuk melaksanakan isi perjanjian. Isu kapasitas dapat muncul ketikaterdapat kewajiban afirmatif dalam perjanjian.23 Ketika negara mengambil kebijakan untuk meratifikasi sebuah perjanjian internasional, konsekuensinya adalah melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya. Langkah-langkah afirmatif yang dilakukan oleh negara tentunya memerlukan dukungan sumber daya yang seringkali melampaui batasan kemampuan negara. Negara bisa saja terlihat “patuh” ketika telah mengambil langkah-langkah formal legislatif dan administratif.

20

Chayes, A., dan Chayes, A.H., Living Under a Treaty Regime: Compliance, Interpretation and

Adaptation, Pergamon-Basey, Washington D.C., 1989, p.128

21

Chayes, A., dan Chayes, A.H., 1993, p. 189 22

Chayes, A., dan Chayes, A.H., 1993, p. 190-191 23

(17)

17

Bagaimanapun, terlepas dari faktor political will, membangun aparat peraturan yang efektif di level domestik bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan pertimbangan teknis dan ilmiah, kapasitas birokratis dan sumber dana untuk mengembangkan enforcement system di level domestik.

Faktor ketiga adalah dimensi temporal. Perjanjian internasional disusun untuk mengelola permasalahan global dari waktu ke waktu, sedangkan perubahan di level domestik belum tentu dapat dicapai dalam waktu singkat. Beberapa perjanjian menyiasatinya dengan menyediakan jangka waktu hingga para anggotanya mampu mematuhi isi perjanjian, salah satunya melalui strategi convention-protocol. Strategi ini dimulai dengan merumuskan konvensi yang berisi ketentuan-ketentuan low obligational, kemudian selang beberapa tahun, tingkat regulasi ditingkatkan dengan menyusun protokol lanjutan.

1.5 Hipotesa

Tingkat kepatuhan Indonesia dilihat dari sejauh mana langkah-langkah yang diambil Pemerintah Indonesia sesuai dengan kesepakatan yang tercantum dalam ICESCR terutamanya hak perburuhan dan seberapa efektif langkah-langkah tersebut diimplementasikan di level domestik. Tingkat kepatuhan Indonesia terhadap hak perburuhan yang tercantum dalam ICESCCR tergolong rendah. Meskipun langkah-langkah prosedural telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sebagai prasyarat dari isi Konvensi, namun peraturan perundang-undangan cenderung membatasi hak

(18)

18

perburuhan dan kondisi pemenuhan hak-hak perburuhan di Indonesia masih jauh dari optimal. Hal ini menunjukkan rendahnya tingkat kepatuhan Indonesia terhadap hak-hak perburuhan ICESCR.

Dengan menggunakan teori kepatuhan Chayes, penulis menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kepatuhan Indonesia terhadap ICESCR, yaitu faktor ambiguitas, kapasitas, dan dimensi temporal. Dari ketiga faktor di atas, penulis membuat kesimpulan sementara bahwa faktor dominan yang menyebabkan rendahnya tingkat kepatuhan Indonesia adalah faktor ambiguitas dalam substansi perjanjian dan faktor keterbatasan kapasitas negara dalam melaksanakan butir-butir perjanjian. Faktor ambiguitas dan keterbatasan kapasitas tersebut berimplikasi terhadap implementasi ICESCR di Indonesia yang berjalan tidak efektif.

1.6 Metode Penelitian

Untuk memperoleh gambaran aktual mengenai implentasi dan kondisi terkini hak perburuhan dalam ICESCR di Indonesia, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang menggunakan data primer dan sekunder sebagai dasarnya untuk pengembangan penelitian analisis tingkat kepatuhan Indonesia terhadap ICESCR. Kemudian penulis menggunakan metode explanatory research untuk menganalisis permasalahan dan menjelaskan korelasi beberapa variabel untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian.

(19)

19

Data primer diperoleh melalui teknik wawancara dengan beberapa narasumber kompeten yang menggeluti permasalahan hak perburuhan. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui metode tinjauan pustaka dari berbagai sumber seperti buku, jurnal cetak, jurnal elektronik, laporan-laporan, serta surat kabar cetak dan elektronik. Untuk menganalisis data yang telah diperoleh, penulis menggunakan metode analisis data kualitatif jenis illustrative method24, yaitu dengan mengaplikasikan teori terhadap kondisi aktual yang diperoleh penulis.

1.7 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) bab. Bab I berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang permasalahan yang akan diteliti. Selain itu, bab pertama juga akan menjelaskan kerangka berpikir penulis dalam menjelaskan rumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka teori, hipotesa, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Kemudian di dalam Bab II penulis akan memberi penjelasan secara deskriptif mengenai latar belakang lahirnya ICESCR, isi ICESCR yang meliputi hak perburuhan, kewajiban negara, hingga mekanisme pelaporan dan mekanisme pemantauan.

24

Wolfer, L., Real Research: Conducting and Evaluating Research in the Social Sciences, Pearson Education Inc, Boston, 2007, p. 489

(20)

20

Pada Bab III penulis menganalisis tingkat kepatuhan Indonesia dalam melaksanakan kesepakatan yang tertuang dalam ICESCR. Bab ini juga menjelaskan latar belakang Indonesia meratifikasi ICESCR, kebijakan-kebijakan prosedural dan situasi hak perburuhan setelah Indonesia meratifikasi ICESCR. Langkah-langkah kebijakan apa saja yang telah ditempuh oleh Pemerintah Indonesia, serta seberapa efektif langkah-langkah tersebut dalam menjamin perlindungan perburuhan di Indonesia.

Penulis memberikan analisis yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan Indonesia terhadap isi hak perburuhan dalam ICESCR berdasarkan teori kepatuhan Chayes, yakni faktor ambiguitas, kapasitas, dan dimensi temporal, yang dituliskan dalam Bab IV

Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang telah disebutkan di bagian awal penulisan.

Referensi

Dokumen terkait

Responden dengan pengetahuan kurang bisa di sebabkan karena ibu-ibu tidak pernah mendapatkan penyuluhan dan tidak berkonsultasi pada petugas kesehatan untuk mendapatkan

(1) Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika dan instansi terkait lainnya wajib melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan Peraturan Daerah

Hal yang sama terjadi pada wartawan dalam mempersepsi perusahaan melalui aktivitas media relations, pertama – tama stimuli atau sensasi datang melalui siaran pers

Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan model media pembelajaran interaktif piranti aktuator, mengetahui kelayakan dari media pembelajaran interaktif piranti aktuator, dan

Kekurangan pengunaan metode AHP adalah hasil daftar yang direkomendasikan adalah terurut berdasarkan skor yang tinggi yang serta merta adalah komputer dengan

Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG DAFTAR BIDANG USAHA YANG TERTUTUP DAN BIDANG USAHA YANG TERBUKA DENGAN PERSYARATAN DI BIDANG PENANAMAN MODAL. Bidang Usaha

Bentuk instrumen Produk (hasil karya penyilangan), pengamatan unjuk kerja, pengamatan sikap, tes uraian, tes pilihan ganda, tes lisan 3 X 45’ 3 X 45’ Sumber: Buku acuan

Untuk memonitor perkembangan pelaksanaan program di lapangan dan pencapaian KKP, telah diterapkan Sistem Pencatatan dan Pelaporan Program KKB yang secara berkala setiap