• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. pemikiran peneliti mengenai perkembangan teknologi informasi komunikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. pemikiran peneliti mengenai perkembangan teknologi informasi komunikasi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

Uraian bagian ini dimaksudkan untuk memberi gambaran mengenai dasar pemikiran peneliti mengenai perkembangan teknologi informasi komunikasi (TIK) dalam hal pelestarian lontar di era globalisasi yang mempengaruhi implementasi transformasi lontar ke dalam bentuk digital.

1.1. Latar Belakang

Naskah lontar diketahui sebagai naskah kuno yang ditulis tangan dalam berbagai aksara dan bahasa yang dianggap sebagai salah satu representasi dari berbagai sumber lokal yang paling otoritatif dan paling otentik dalam memberikan berbagai informasi sejarah pada masa lalu (Sudarsono, 2009 : 13). Lontar adalah salah satu jenis naskah yang dihormati di Bali, bahkan dikeramatkan (Ratna, 2011: 64). Banyak lontar yang mengandung khazanah ilmu pengetahuan rohani dan pengalaman para leluhur orang Bali mengalami kepunahan, seperti karena bencana, terbakar, dan dimakan rayap atau diperjual belikan secara bebas dan tidak bertanggung jawab. Bahkan demi memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat rela menjual lontar warisan leluhur kepada orang asing, sekalipun sebagian masyarakat masih menyadari nilai historis, ritual atau magisnya (Suharsana, 2009 : 1). Di samping itu pula lontar-lontar yang banyak mengandung nilai-nilai berharga tersebut, kurang mendapatkan penanganan yang tepat karena tidak disimpan dengan baik.

Lontar yang terdapat pada lembaga-lembaga non profit seperti perpustakaan dan pusat dokumentasi saat ini memerlukan perhatian khusus,

(2)

karena pergerseran nilai terhadap keberadaan lontar menyebabkan banyak naskah kuno dalam kondisi yang memprihatinkan misalnya, perlakuan para pengelola yang tidak mengetahui bagaimana cara merawat naskah kuno tersebut dan para pengguna atau para pembaca naskah yang kurang hati-hati mengutip naskah kuno yang sudah mulai rapuh (Wildan dalam Sudibyo, 2013 : 139). Untuk itu perlu diupayakan pelestarian atau konservasi untuk menyelamatkan naskah kuno lontar yang ada.

Upaya Pelestarian manuskrip lontar adalah tantangan terbesar yang dihadapi oleh petugas pemeliharanya sepanjang zaman. Ketika lontar telah ada dan digunakan untuk merekam informasi, ada beberapa teknik yang digunakan untuk merawatnya. Sejak zaman dahulu bahan yang umum digunakan adalah ekstrak herbal untuk mencegah kerusakan yang dikarenakan faktor alam, kemudian disusul dengan menggunakan bahan kimia untuk mengatasi jamur pada dunia modern, hingga akhirnya digitalisasi diterima sebagai cara terbaik untuk melestarikan manuskrip tersebut (Sageer, 2014 : 2).

Digitalisasi manuskrip adalah proses pelestarian teks dalam naskah lontar yang dilakukan oleh lembaga perpustakaan atau pusat dokumentasi melalui teknik perekaman foto (fotografi) menggunakan kamera digital. Tujuan dari digitalisasi tersebut menurut Pendit (dalam Pamardi, 2013 : 42) adalah, untuk pendidikan, penyebaran ilmu pengetahuan, dan pelestarian peninggalan bersejarah bangsa. Melalui digitalisasi, perpustakaan bisa menyimpan ribuan karya tulis maupun karya seni tanpa dibatasi ruang dan waktu. Dengan adanya koleksi digital, pengguna perpustakaan dapat mengakses informasi dalam naskah digital tanpa harus mendatangi perpustakaan.

(3)

Sejak diterbitkannya UU Perpustakaan No. 43, tahun 2007 yang mengatur tentang penyimpanan, perawatan dan pelestarian naskah kuno, serta UU No. 8 tahun 1997 yang mengatur tentang alih media dokumen perusahaan, banyak lembaga penyedia informasi seperti perpustakaan, museum maupun sejenisnya berlomba-lomba mendayagunakan koleksinya melalui alih media ke dalam bentuk digital. Akibat kemajuan teknologi informasi tersebut, maka lembaga penyedia informasi mengikuti perkembangan yang terjadi dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi pada tatanan pemerintahannya, khususnya dalam pengelolaan koleksi dokumen langka atau dokumen kuno. Perpustakaan atau lembaga pengelola informasi harus dapat memainkan peran penting untuk menambah nilai informasi pada lembaganya tersebut. Mereka harus mulai merintis kerjasama lintas lembaga lainnya, serta merancang program-program yang bersifat solutif-kreatif untuk memudahkan akses informasi bagi penggunanya, salah satunya melalui penyediaan koleksi naskah digital.

Pusat Dokumentasi Dinas Kebudayaan Provinsi Bali sudah melakukan digitalisasi lontar kurang lebih 1.600 cakep lontar, pada tahun 2011 hingga 2012. Digitalisasi yang dimaksud adalah memasukkan tulisan aksara Bali tersebut melalui sebuah website. Berdasarkan data saat ini secara keseluruhan naskah lontar yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Dinas Kebudayaan Bali berjumlah 2.747 cakep lontar yang terdiri atas berbagai jenis lontar seperti: wariga, babad, geguritan, kekawin, kidung, tutur, dan sebagainya. Semua naskah lontar digital ini adalah hasil kerjasama dengan Archieve Foundation sebuah yayasan pendidikan dari Amerika. Naskah lontar masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh

(4)

masyarakat Bali. Digitalisasi diharapkan dapat mempermudah masyarakat untuk mengaksesnya melalui internet (Sumber: http://m.antarabali.com/berita/9408, Akses tgl 14 November 2014).

Media digital sangat menghemat ruangan, tenaga dan waktu untuk media penyimpanan. Orientasi layanan prima dan distribusi akses informasi yang lebih luas dan cepat diakui telah dapat memenuhi segala kebutuhan informasi bagi pengguna saat ini. Namun, dalam proses atau program digitalisasi naskah kuno lontar masih menimbulkan berbagai kontroversi di kalangan masyarakat atau pemilik naskah. Secara rinci Wildan (dalam Sudibyo, 2013 : 146-147) melihat bahwa masalah-masalah yang berkaitan dengan digitalisasi yang pertama adalah keengganan pemilik naskah untuk digitalisasi diantaranya, dikarenakan naskah-naskah yang dimiliki adalah satu-satunya koleksi, walaupun koleksi naskah-naskah sudah banyak yang rapuh, namun tetap saja pihak pemilik tidak memperbolehkan naskahnya diusik dengan teknologi modern karena akan menghilangkan pamor dari naskah yang dianggap kramat tersebut. Kedua adalah masalah minimnya SDM di Indonesia. Selain itu juga belum cukup tersedianya bahan atau alat untuk restorasi naskah di Indonesia.

Sementara itu di sisi lain, menurut Suasta (1997:51) mengatakan bahwa untuk mendapatkan bentuk-bentuk ukiran Aksara Bali yang baik di atas daun lontar dengan menggunakan pengrupak (pisau kecil) cukup sulit dibandingkan dengan menggunakan alat-alat modern, seperti mesin cetak buku dan mesin komputer. Karena pengrupak bagian ujungnya sangat keras dan tajam, gerakan lingkup arahnya dalam membuat goresan ukiran aksara Bali menjadi terbatas. Namun, dengan adanya media digital, maka segala sesuatu akan dapat dibuat

(5)

dengan lebih mudah, cepat dan praktis. Salah satunya adalah dalam hal penyalinan aksara yang terdapat dalam naskah kuno Lontar. Teknologi digital mampu menggabung, mengkonversi atau menyajikan informasi dalam bentuk apapun isi yang ditampilkan, bit dapat dieksplorasi sekaligus dimanipulasi, termasuk cropping informasi asli dengan pengurangan maupun penambahan (Wuryanta, 2004 :134).

Di samping itu pula kemajuan teknologi komputer pada abad-20 telah membantu perkembangan tulisan, baik secara teknologis maupun estetis. Artinya, tulisan dan proses penulisan yang semula dilakukan secara manual kini dapat dilakukan melalui program komputer yang sekaligus menunjukkan aspek estetisnya. Dengan kata lain melalui komputerisasi tidak ada yang tidak mungkin dalam rangka mengembangkan tulisan (Ratna, 2011: 64).

Proses produksi digital dapat dilakukan karena telah tersedianya teknologi tetapi proses produksi tersebut masih menyisakan persoalan sosial, budaya dan ekonomi di masyarakat (Barker, 2006 : 157). Akibat kemajuan teknologi informasi, kini boleh dikatakan apa pun bisa diciptakan, direkayasa seolah seperti aslinya. Di era serba digital seperti sekarang ini segala sesuatunya seolah-olah selalu siap direproduksi, di mana yang nyata tidak sekedar dapat direproduksi, namun selalu dan selalu direproduksi (Sugihartati, 2014 : 41).

Dengan tersedianya digital naskah, bukan berarti segala urusan selesai karena kemudahan akses terhadapnya, juga tergantung pada sejauh mana fasilitas yang tersedia itu dapat diakses dengan baik, dan sejauh mana server yang menampung semua data digital berikut metadatanya tidak terganggu masalah-masalah teknis. Jika para pengguna internet belum dapat memiliki infrastruktur

(6)

yang dibutuhkan secara maksimal, maka bisa jadi koleksi digital tersebut ibarat air minum yang dibawa-bawa di atas punggung seekor kambing belaka, sementara sang kambing sendiri tidak pernah dapat meraih untuk meminumnya (Fathurahman, 2009 : 437).

Transformasi lontar tradisional ke digital dimaknai dari adanya nilai-nilai modernitas masyarakat modern serta pengaruh kapitalisme global terhadap dorongan prilaku yang mengabaikan filosofi religious. Menurut Sedana (2014 : 73), pada umumnya proses penyalinan lontar di Bali dilakukan oleh para seniman yakni orang yang ahli menulis aksara Bali atau sang nyastra seperti Pedanda, Sulinggih, Pemangku atau Dalang, serta praktisi lontar yang memang memiliki bakat menulis aksara Bali. Di samping itu juga sebelum menulis lontar biasanya dilakukan pemilihan hari baik (dewasa ayu) untuk mendapatkan daun lontar yang baik, serta dilakukan upacara atau ritual penyucian lontar (pasupati) sehingga aksara-aksara yang tertulis menjadi suci

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Suasta (1997: 27) yang menyatakan bahwa pada masa kerajaan pembuatan lontar dilaksanakan di pasraman atau di rumah-rumah pendeta atau resi, serta istana raja (Puri) melalui para pujangga atau sastrawan, sehingga kegiatan tersebut lebih banyak bersifat istana sentris, istana sebagai pusat segalanya. Hanya orang-orang tertentulah yang mendapat kepercayaan melaksanakan suatu pekerjaan yang sangat penting itu.

Perkembangan teknologi telah memberi dampak terhadap keberadaan naskah kuno lontar Bali. Selain pola kehidupan masyarakat Bali yang sudah banyak berubah baik di bidang sektor agama dan pariwisata, meningkatnya kebutuhan untuk bersaing dan berinovasi dalam produksi informasi digital juga

(7)

menimbulkan adanya praktik-praktik budaya kapitalisme. Dalam hal ini dapat dilihat dari segala kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang selalu didasarkan pada standar finansial, khususnya dalam proyek atau kegiatan digitalisasi naskah lontar. Jika dilihat secara sepintas tidak akan berdampak pada masalah lainnya, tetapi jika dilihat secara teliti tindakan kebijakan yang diambil tersebut dapat mengubah tatanan sosial masyarakat. Dalam konteks ini penyalinan atau perekaman aksara pada media lontar yang dilakukan melalui media digital bisa dibuat oleh siapa saja dan kapan saja, terlebih lagi ketika yang diproduksi tersebut berupa simbol budaya tradisional yang kemudian berubah menjadi industri budaya digital.

Dari uraian tersebut, maka penulis ingin mengkaji perubahan sosial dan budaya yang terjadi, mengapa naskah kuno lontar ditransformasikan ke dalam bentuk digital dan bagaimanakah dampak perubahan budaya dari transformasi lontar digital tersebut, yang dikembangkan oleh komunitas lembaga terkait.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan di atas maka rumusan masalah dalam penelitian yang berjudul Transformasi Lontar Ke Dalam Bentuk Digital Ditinjau Dari Perspektif Kajian Budaya dirumuskan sebagai berikut:

1.2.1 Mengapa lontar di transformasikan ke dalam bentuk digital?

1.2.2 Bagaimanakah dampak transformasi lontar ke dalam bentuk digital ditinjau dalam perspektif budaya?

(8)

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah:

1.3.1 Untuk mengetahui transformasi lontar ke dalam bentuk digital

1.3.2 Untuk mengetahui dampak budaya terhadap transformasi lontar ke dalam bentuk digital

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang transformasi lontar ke dalam bentuk digital. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dan menggugah minat para peneliti lain untuk melakukan penelitian tentang lontar.

1.4.2. Manfaat Praktis

Manfaat Praktis dari penelitian ini dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:

1. Bagi Institusi

Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada penentu kebijakan di lingkungan universitas ataupun lembaga terkait.

2. Bagi Pendidikan

Dapat memperkaya khazanah keilmuan dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi kemajuan di bidang pelestarian lontar

3. Bagi Peneliti

Untuk bahan referensi bagi yang tertarik untuk meneliti dampak transformasi lontar ke dalam bentuk digital.

(9)

1.5. Kerangka Pemikiran

Lontar merupakan salah satu dokumen kuno yang harus dilestarikan. Penanganan yang baik terhadap upaya pelestarian lontar merupakan salah satu pelestarian budaya masyarakat itu sendiri. Pelestarian isi naskah dapat dilakukan jika fisik naskah memadai. Artinya, jika fisik naskah rapuh, robek, berjamur, atau hancur, maka proses preservasi terhadap isi naskah akan sulit dilakukan. Pelestarian terhadap isi naskah dapat dilakukan dengan cara digitalisasi, riset, serta disalin (ditulis ulang), dialih aksarakan, dan diterjemahkan (Erika, 2011:4). Berdasarkan hal tersebut maka ada dua cara atau metode yang digunakan dalam upaya pelestarian (preservasi) lontar yaitu, pertama dilakukan secara manual (misalnya melalui proses penyalinan lontar, dalam Bhs. Bali disebut nyurat lontar) dan kedua secara modern yaitu transformasi (digitalisasi) naskah kuno, misalnya dikonversikan ke dalam bentuk CD-ROMS, atau Hard Disk maupun melalui sistem simpan digital internet (website). Proses penyalinan manuskrip lontar merupakan salah satu proses preventif lontar yang rusak, yang biasanya dilakukan oleh orang yang ahli menulis (nyurat) aksara bali atau yang disebut dengan praktisi lontar (Sedana, 2014 : 112). Kegiatan dalam menyalin lontar Bali dalam tradisi Bali disebut dengan istilah Nyastra (menulis lontar). Penyalinan lontar adalah salah satu upaya pelestarian lontar yang berbasis kearifan lokal.

Tradisi penyalinan dari satu naskah lontar ke bentuk naskah lontar lain adalah cara yang selama ini masih dilakukan masyarakat Bali untuk menggandakan suatu naskah. Dalam tradisi penulisan lontar di Bali, kegiatan ini disebut mranakin (membuat turunan, salinan, atau ‘anak’ dari satu lontar induk). Lontar induk itu disebut dengan istilah ina, yang berarti ‘induk’. Melalui

(10)

penyalinan inilah lontar di Bali bertambah dari waktu ke waktu. Penyalinan yang dilakukan tersebut ada kalanya dibuat sepersis dan sedekat mungkin dengan teks aslinya, namun ada kalanya juga ada sedikit perbedaan, misalnya salah tulis, hurufnya rusak (sulit dibaca) dan sebagainya. Bila perbedaan antara naskah induk dengan naskah turunannya hanya kecil saja, maka hal itu disebut dengan istilah varian. Namun bila perbedaan tersebut cukup besar, maka disebut dengan istilah versi. Adanya perbedaan yang cukup besar tersebut antara lain disebabkan oleh tidak setianya si penyalin dalam membuat turunan naskah induk. Ketidaksetiaan tersebut mungkin disebabkan oleh kreativitas si penyalin sehingga seolah-olah si penyalin juga berkedudukan sebagai pengarang asli atau mungkin juga disebabkan oleh tujuan-tujuan lain yang ditujukan untuk “mengaburkan” keberadaan teks asli (Sancaya, 2008 : 8). Bagi para peneliti naskah, termasuk para penyalin naskah, ketiga kategori tersebut harus betul-betul diperhatikan. Seseorang harus betul-betul meneliti secara cermat asal-usul naskah, sebelum membuat suatu salinan ataupun suntingan naskah secara ilmiah lontar tersebut.

Ada beberapa alasan dilakukannya penyalinan terhadap teks atau naskah. Pertama, penyalinan naskah dilakukan karena orang ingin memiliki naskah secara pribadi. Kedua, penyalinan naskah dilakukan karena naskah asli sudah rusak. Ketiga, adanya kekhawatiran terhadap naskah asli, misalnya hilang, terbakar, terkena benda cair, atau ditelantarkan oleh masyarakatnya. Keempat, naskah juga disalin dengan tujuan magis, maksudnya dengan menyalin suatu naskah tertentu orang merasa mendapat kekuatan magis. Kelima, naskah yang dianggap penting disalin dengan berbagai tujuan, misalnya tujuan politik, agama, pendidikan dan sebagainya (Baried, 1985:59).

(11)

Dalam penyalinan naskah lontar menurut Suasta (1997 : 48 - 49) ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor Intern lebih banyak dipengaruhi oleh bakat yang memang dimiliki oleh seniman yang bersangkutan, sedangkan faktor ekstern banyak dipengaruhi oleh hal-hal luar seperti latihan secara teratur dan bimbingan dari seorang guru, juga ditentukan oleh sistem peralatan yang digunakan dalam tradisi nyurat lontar. Seluruh unsur-unsur di atas tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Seluruhnya merupakan bagian yang saling mempengaruhi dan saling menentukan dalam pencapaian suatu hasil seni tulis nyurat lontar. Dengan demikian usaha untuk mendapatkan suatu hasil karya seni menulis aksara Bali di atas daun lontar yang memadai, maka harus memahami dengan baik cara-cara menggunakan peralatan menulis di atas daun lontar.

Perkembangan pelestarian naskah kuno lontar mencapai klimaksnya semenjak ditemukannya mesin cetak elektronik atau teknologi komputerisasi pada tahun 1978. Dengan kehadiran teknologi modern ini dapat menghasilkan tulisan atau penggandaan lontar dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu singkat. Penyalinan dengan menggunakan mesin komputer dilakukan dengan empat tahapan, yaitu: tahap pertama adalah persiapan, tahap kedua adalah pengetikan, tahap ketiga adalah penyimpanan, dan tahap ke empat adalah tahap pengiriman. Dalam persiapan mencetak tulisan aksara Bali harus terlebih dahulu memasukkan data aksara Bali ke dalam disk atau disket kemudian membuat format disk. Untuk memudahkan mengingat maka dilanjutkan dengan pembuatan nama disk, kemudian format set sesuai yang diinginkan. Demikian juga besar kecilnya aksara Bali juga harus ditentukan dalam persiapan ini. Setelah dilakukan

(12)

langkah-langkah tersebut barulah dilanjutkan dengan tahapan pengetikan (Suasta, 1996 : 57).

Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, muncul sistem simpan digital yang begitu mengagumkan yaitu melalui sebuah internet. Internet dimetaforakan sebagai awan karena memiliki jaringan infrastruktur yang kompleks. Gabungan pemanfatan teknologi komputer dan pengembangan berbasis internet menciptakan teknologi cloud computing. Cloud Computing merupakan metode komputasi dengan penggunaan teknologi informasi sebagai layanan sehingga penggunanya dapat mengakses melalui internet. Informasi pada cloud computing akan tersimpan permanen dalam server internet yang dapat diakses kembali oleh penggunanya tanpa melakukan instalasi infrastruktur (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2012 : 6).

Kemajuan teknologi digital, membawa konsekuensi dilakukannya proses pengolahan data untuk menghasilkan keluaran produk informasi yang beraneka ragam salah satunya berupa karya sastra cyber . Teknologi digital adalah faktor penggerak utama untuk membuat sumber data baru yang berbentuk koleksi lontar digital (sastra cyber). Dengan kehadiran website naskah kuno lontar dapat dipublikasikan. Pusat Dokumentasi Budaya Bali mengikuti perkembangan tersebut dengan cara mengalih mediakan naskah kunonya kurang lebih 2.747 cakep lontar (dalam kesatuan yang utuh) ke dalam bentuk media digital. Keberadaan naskah lontar oleh masyarakat Bali masih belum dapat dimanfaatkan secara optimal, sehingga dengan adanya naskah digital diharapkan dapat mempermudah masyarakat untuk mengaksesnya.

(13)

Berdasarkan fenomena tersebut maka penelitian ini akan dikaji secara kritis untuk menjawab rumusan masalah sebagai berikut: (1) Mengapa lontar di transformasikan ke dalam bentuk digital? Dan (2) Bagaimanakah dampak budaya terhadap transformasi lontar ke dalam bentuk digital ditinjau dalam perspektif kajian budaya?

Data penelitian ini dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode kajian budaya serta teori yang mendukung untuk menggambarkan realitas yang terjadi di lapangan. Sementara itu kerangka pemikiran dalam penelitian ini dibuat untuk menggambarkan proses transformasi lontar ke dalam bentuk digital yang semula dilakukan secara manual kemudian beralih secara modern (digital) yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Keterangan:

: Hubungan langsung satu arah : Hubungan interaksi

Gambar

Gambar 1.1  Kerangka Pemikiran  Keterangan:

Referensi

Dokumen terkait

Film animasi merupakan salah satu media yang dapat dengan mudah menyampaikan nila-nilai positif dan budi pekerti pada anak dengan memberikan gambar yang menarik

ABSTRAK: Ria Kartika Sari : Pengaruh Model Survey-Question-Read-Recited-Review (SQ3R) Terhadap Kemampuan Menjawab Pertanyaan Tentang Isi Teks Agak Panjang Yang

Langkah Crosspoll adalah standar atau penyerataan yang digunakan untuk mengukur kualitas line atau jalur yang dibangun dengan VSAT (Very Small Apperture Terminal). Fungsi

Hal utama yang seharusnya menjadi perhatian oleh Pemerintah adalah bahwa pada saat ini ekspektasi masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas sangat

Sistem pakar merupakan program aplikasi dimana program tersebut menirukan proses penalaran dari seorang ahli dalam memecahkan masalah, dengan kata lain sistem

Setelah itu dilakukan analisis apakah ada pengaruh dari campuran abu vulkanik dalam presentase tertentu dan waktu pemeraman pada nilai-nilai sudut geser (σ) ,

Dalam penelitian ini, meneliti data-data perdagangan saham harian perusahaan LQ-45 mengenai perbedaan rata-rata abnormal return dan aktivitas volume perdagangan sebelum dan

Irfan Kurnia Pratama – Universitas Indonesia. Pengurus Harian Wilayah ISMKI