• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menuju Cita-cita Penyediaan Energi yang Bertanggung-Jawab: Konversi Energi Bebas Emisi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Menuju Cita-cita Penyediaan Energi yang Bertanggung-Jawab: Konversi Energi Bebas Emisi"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Menuju Cita-cita Penyediaan Energi yang Bertanggung-Jawab:

Konversi Energi Bebas Emisi

Oleh:

Dr. Widi Setiawan

Pusat Teknologi Akselerator & Proses Bahan BATAN Latar Belakang

Dari data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas tentang cadangan dan produksi energi Indonesia pada tahun 2007 /1/ tampak bahwa tiga sumber daya energi terbesar di Indonesia adalah minyak bumi (56,6 miliar barrel), batu-bara (90,5 miliar ton) dan gas alam (334.5 TSCF) serta Coal Bed Methane/CBM (453 TSCF) . Adapun produksi minyak dalam tahun tersebut adalah 348 juta barel, batu-bara 201 juta ton dan gas alam 2,79 TSCF. Sementara itu CBM belum diproduksi.

Produksi minyak bumi semakin menurun, sementara konsumsi terhadap minyak bumi semakin naik. Pada tahun 1995 mencapai puncak produksi hampir 600 juta barel per tahun, namun pada tahun-tahun berikutnya menurun hingga di bawah 400 juta barel per tahun pada tahun 2006.

Adapun produksi gas alam diperkirakan mulai menurun pada tahun 2018. Walaupun sekitar tahun 2016 ada tambahan dari produksi CBM, diperkirakan sekitar tahun 2020 Indonesia mulai mengimpor gas alam! /2/.

Potensi energi primer non fosil terdiri dari sumber daya dari hydro power 75,67 GW dengan kapasitas terpasang 4,2 GW, Geothermal 27,0 GW dengan kapasitas terpasang 0,992 GW, Mini/Micro Hydro 0,45 GW dengan kapasitas terpasang 0,084 GW, Biomass 49,81 GW dengan kapasitas terpasang 0,3 GW, solar energy 4,8 kwh/m2/hari dengan kapasitas terpasang 0,008 GW dan angin 9,29 GW dengan kapasitas terpasang 0,0005 GW.

Kebijakan pemerintah tentang energi mengarahkan pada pengurangan penggunaan minyak bumi dan peningkatan penggunaan gas dan batu bara, sebagaimana Keputusan presiden no 5 tahun 2006 tentang sasaran Energy mix tahun 2025, yaitu minyak 20%, gas 30%, batubara 33%, biofuel 5%, geothermal 5%, gabungan biomassa, nuklir, mikrohidro, matahari dan angin 5%, batu bara cair 2%.

Dari data PT PLN per 31 Maret 2007, kapasitas terpasang berdasarkan jenis pembangkitan adalah sebagaimana berikut: PLTU dengan bahan bakar batubara 26%, PLTU dengan bahan bakar minyak 34%, PLTU dengan bahan bakar gas 24%, PLTU geothermal 2% dan hydroelectric 14% /3/.

Total kapasitas terpasang pada tahun 2008 adalah 29.765 MW. Hampir 67% dari total pelanggan yang menggunakan kapasitas tersebut berdomisili di area Jawa dan Bali. Rasio elektrifikasi sekitar 64,3% dan rasio desa berlistrik 91,9%. Pemanfaatan energi primer untuk pembangkitan tenaga listrik adalah sebagaimana berikut: batu bara dan bahan baker minyak masing-masing 37%, gas 15%, hidro 8% dan panas bumi 3% /4/.

Pasokan listrik saat ini dalam keadaan kritis karena reverse margin kurang dari 30%, serta beban biaya bahan bakar minyak (BBM) yang tinggi juga menjadi persoalan yang harus diselesaikan.

Sampai tahun 2010, PLN ditugaskan untuk membangun PLTU non BBM “10.000 Megawatt [MW]”. Proyek tersebut terdiri dari pembangunan 6.900 MW PLTU batubara di 10 lokasi di Jawa dan 1.700 MW PLTU batubara di 30 lokasi di luar pulau Jawa. Disamping itu untuk

(2)

mengatasi kekurangan daya di daerah krisis terdapat pula proyek IPP kemitraan sebesar 200 MW di Jawa dan 900 MW di luar Jawa dan IPP daerah krisis 975 MW juga diluar pulau Jawa. Selain itu ada pula proyek PLN yang sedang berjalan yaitu 1.600 MW di Jawa dan 440 MW diluar Jawa. Dengan demikian potensi tambahan kapasitas di Jawa sebesar 8700 MW dan sekitar 4.000 MW di luar Jawa.

Jika proyek 10.000 MW dapat selesai pada 2009-2010, maka akan dapat menggantikan pembangkit BBM sekitar 4.500 MW dan memberikan tambahan kapasitas baru 5.500 MW lagi. Dengan kondisi seperti itu diharapkan produksi energi menggunakan BBM dapat turun dari 26% menjadi tinggal sekitar 6% saja, dan daerah krisis daya teratasi. Demikian pula biaya produksi dapat turun secara signifikan karena biaya bahan bakar membangkitkan listrik dengan BBM sekitar Rp1.800 per kWh sedangkan dengan batubara sekitar Rp 200 per kWh.

Solusi dampak lingkungan

Skenario terburuk menurut Kementrian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) menunjukkan bahwa proyek 10.000 MW akan menambah emisi NO2 sebanyak 167.406 ton/tahun, emisi SO2 sebesar 138.710 ton/tahun, dan CH2 mencapai 4.712 ton/tahun serta emisi partikulat mencapai 1.760 ton/tahun (didasarkan perhitungan emission factor dari PLTU di India).

Beberapa cara yang direkomendasikan KNLH untuk minimasi dampak tersebut:

1. Dengan penerapan teknologi pembakaran seperti supercritical dan ultrasupercritical,

Integrated Gasification Combined Cycle (IGCC) dan Pressurised Fluidized Bed Combustion (PFBC) dapat mengurangi emisi CO2 sampai 52%. CO2 dapat ditekan hingga 34 juta ton/tahun.

2. Dengan boiler tipe pulverized coal yang didesain dengan menginjeksikan udara di atas zona pembakaran utama, emisi NO2 turun 40-60%. Emisi NO2 diperkirakan 100.444 ton per tahun.

3. Dengan wet scrubber atau Flue Gas Desulphurization: emisi SO2 dapat ditekan sampai 80-98% Emisi SO2 diperkirakan 13.871 juta ton/tahun.

Selain menimbulkan masalah CO2, NOx dan SOx, batubara mengandung bahan anorganik (mineral dan trace element) yang mungkin menjadi masalah bagi kesehatan dan lingkungan. Beberapa trace element dalam batu-bara, radioaktif. Unsur tersebut adalah uranium (U), thorium (Th) dan hasil peluruhannya, seperti radium (Ra) dan radon (Rn).

Sebagai contoh, konsentrasi uranium dalam batu-bara Amerika adalah antara 1 s/d 3 ppm dan setelah menjadi abu terbang (fly ash), konsentrasi tersebut naik 10 x semula, menjadi 10 s/d 30 ppm. Andaikan baku mutu PLTU batu-bara dipenuhi, maka masih ada fly ash

maksimal sejumlah 150 mg per m3 dilepas ke lingkungan yang mengandung 10 s/d 30 ppm uranium /5,6/.

Upaya minimasi CO2, NOx dan SOx serta eliminasi fly ash dilakukan dengan berbagai cara mulai dari coal preparation (de-ashing) technologies, coal reforming technologies seperti proses UBC (upgrading Brown Coal) di Kalimantan, kemudian cara handling (seperti coal catridge system (CCS), coal liquid mixture (CWM, COM), desulfurized CWM, briquette), combustion technologies (seperti circulating fluidized-bed combustion technologyCFBC, coal partial combustor technologyCPC, dll), gasification technologies (Hydrogen-from-coal processHYCOL, integrated coal gasification combined cycle – IGCC, dll), Liquefaction technologies (Brown Coal LiquefactionBCL, Dimethyl Ether Production – DME, dll),

Pyrolysis technologies (CPX, ECOPRO), Flue gas treatment & gas cleaning technologies

hingga CO2 recovery technology (seperti CO2 recovery and sequestration, CO2 conversion).

Semua upaya tersebut berarti biaya. Perlu pertimbangan apakah upaya dilakukan dalam konteks pencegahan seperti coal preparation (de-ashing), UBC, handling, gasification,

(3)

liquefaction atau upaya dalam konteks penanggulangan seperti penerapan combustion technologies, flue gas treatment. Perlu pula diingat bahwa tidak ada proses konversi yang mempunyai efisiensi 100%.

Mengingat hal tersebut, upaya paling optimal adalah gasification dan liquefaction, apalagi mengingat bahwa dengan coal gasification dapat diperoleh substitusi gas alam (SNG) dan dengan coal liquefaction dapat diperoleh bahan bakar minyak dari batu bara sebagaimana dari minyak bumi (crude oil). Hal tersebut sejalan dengan antisipasi produksi minyak bumi yang semakin menurun sedangkan kebutuhan bahan bakar minyak justeru naik.

Terlebih lagi jika mengingat bahwa 85,2% cadangan batu bara di Indonesia berupa low rank coal (lignite) yang mempunyai kandungan moisture tinggi (<35%) dan nilai kalori rendah (<4000 kcal/kg) sehingga sulit untuk diekspor. Selain itu, seringkali lignite mempunyai kandungan hidrogen yang tinggi sehingga dalam proses liquefaction membutuhkan hidrogen lebih sedikit daripada batu-bara yang kandungan kalorinya lebih tinggi. Dengan kandungan hidrogen relatif tinggi dan harga lignite yang sangat murah karena kerapatan energinya yang rendah, maka penggunaan lignite untuk coal liquefaction diperkirakan cost effective.

Konsep pembuatan bahan bakar cair yang saat ini dipergunakan LSDE BPPT adalah dengan cara hidrogenasi batu bara (katagori direct processing). Ada pula proses lain yang lebih banyak dipergunakan industri yaitu dengan terlebih dahulu mengkonversi (gasifikasi) batu bara ke syngas (campuran hidrogen, CO dan gas lain), kemudian konversi syngas ke bahan bakar cair melalui proses Fischer-Tropsch (katagori indirect processing).

Pada proses hydrogenation (katagori direct processing) diperlukan hidrogen. Demikian pula pada konversi batu bara menjadi bahan bakar cair dengan cara indirect processing

mempunyai 2 masukan utama yaitu hidrogen dan oksigen.

Tampaknya coal liquefaction dapat dijadikan langkah awal yang dapat mempersiapkan Indonesia agar sinkron dengan kecenderungan internasional dalam konversi energi. Kecenderungan internasional menuju “konversi energi dengan emisi nol” diwujudkan melalui konsep hydrogen economy. Hidrogen dipergunakan sebagai bahan bakar sistem konversi energi berbasis sel bahan bakar (fuel cell) yang mengeluarkan emisi berupa H2O. Semua

energi primer (batu bara, bahan bakar minyak, gas) dikonversi ke hidrogen. Bahkan Ministry of Economy, Trade and Industry Jepang menetapkan skenario yang menyatakan bahwa pada tahun 2010 akan mewujudkan 50.000 unit kendaraan dan 2,1 GW pembangkit listrik berbasis sel bahan bakar (fuel cell). Sedangkan pada tahun 2020 akan diwujudkan 5.000.000 kendaraan dan 10 GW pembangkit listrik berbasis sel bahan bakar /7/.

Pada saat ini, paling ekonomis hidrogen diperoleh dari proses thermochemical. Berbagai studi /8,9/ menyatakan bahwa biaya produksi hidrogen dengan proses thermochemical

adalah 60% dari biaya dengan metoda electrolysis, selain itu berpotensi pula untuk mencapai efisiensi heat-to-hydrogen lebih dari 60%. Pada saat ini pabrik pembuat hidrogen skala besar menggunakan bahan baku gas alam (misal: Haldor Topsoe A/S, 2005). Adapun oksigen diperoleh dari udara dengan teknik cryogenic air-separation.

Pada proses gasifikasi atau liquefaction secara konvensional, sebagian batu-bara dipergunakan untuk proses gasifikasi atau liquefaction. Dengan demikian masih ada masalah fly ash serta pelepasan CO2, NOx dan SOx.

Instalasi nuclear-hydrogen berbasis High Temperature Reactor (HTR) menghasilkan hidrogen dan oksigen melalui proses thermochemical water splitting, antara lain Iodine-Sulfur Process. Dengan demikian proses liquefaction yang menggunakan nuclear hydrogen dapat mengeliminasi masalah emisi CO2, NOx dan SOx serta fly ash pada proses coal liquefaction

(4)

Terkait dengan kesiapan teknologi nuclear coal liquefaction, saat ini sedang berlangsung hal-hal sebagaimana berikut:

1. Proses thermochemical water splitting saat ini sedang dalam pengembangan,

2. HTR komersial sebanyak 24 unit akan diproduksi pada tahun 2016 (Menurut jadwal PBMR Ltd, perusahaan Afrika Selatan yang saat ini mengembangkan HTR komersial) dan mulai tahun 2019 PBMR Ltd baru dapat melayani pesanan luar negeri.

Oleh karena itu, mengingat proses gasifikasi batubara hanya memerlukan uap air dan suhu tinggi yang dapat diambil dari Helium pada kalang sekunder intermediate heat exchanger / IHX dari HTR, maka nuclear coal gasification dapat dipilih sebagai implementasi jangka pendek sebelum mewujudkan nuclear coal liquefaction. Terlebih lagi jika tuntutan penggunaan clean coal pada PLTU menjadi perhatian utama dalam implementasi kebijakan energi berbasis batu-bara. Saat ini kegiatan pencairan batubara telah diinstruksikan melalui Inpres nomor 2 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Batubara yang Dicairkan sebagai Bahan Bakar Lain.

Dari sisi keselamatan, HTR module mempunyai ciri bebas pelelehan elemen bakar (melting free reactor). Lapisan SiC yang berfungsi sebagai “cladding” baru menunjukkan kerusakan pada suhu sekitar 2000 C dan meleleh pada suhu sekitar 3000 C. Sementara itu geometri teras reaktor HTR module dirancang sedemikian sehingga terjadi kesetimbangan antara kalor yang dibangkitkan dengan kalor yang dilepas ke lingkungan pada suhu 1600 C, dengan batang kendali pada posisi penarikan maksimum di luar teras, tidak ada pendingin, pendingin darurat tidak berfungsi serta tidak ada tindakan operator. Dengan demikian elemen bakar reaktor tersebut tidak akan pernah dapat meleleh.

Untuk menyiapkan kemungkinan HTR deployment di Indonesia, diperlukan infrastruktur teknologi (technological infrastructure) berupa kegiatan penelitian dan pengembangan. Dengan mempertimbangkan kompetensi yang telah ditempa dalam kegiatan pengkajian eksperimental proses pembuatan grafit dan kernel beberapa tahun terakhir ini, maka kegiatan Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan BATAN diarahkan pada penelitian dan pengembangan untuk mendukung operasi HTR, khususnya dalam lingkup HTR fuel manufacturing.

Kesimpulan

Kegiatan konversi energi baik untuk transportasi maupun untuk pembangkitan tenaga listrik sebaiknya dilakukan secara bertanggung-jawab. Emisi yang merugikan masyarakat agar diperhitungkan dalam investasi maupun biaya operasional, sehingga masyarakat tidak perlu menanggung dampaknya. Sebagai contoh, apabila diputuskan penyediaan energi yang optimal saat ini berbasis batu-bara, maka perlu diterapkan “clean coal technology”. Semangat internasional menuju konversi energi bebas emisi melalui konsep hydrogen economy perlu dipertimbangkan, terutama dalam lingkup transportasi. Tidak akan ada lagi motor bakar sebagai mesin kendaraan, semua digantikan motor listrik karena sumber energi kendaraan berasal dari hidrogen yang dikonversi ke listrik oleh sel bahan bakar (fuel cell). Hingga saat ini diyakini bahwa produksi hidrogen dengan emisi minimal adalah dengan proses thermochemical water splitting berbasis High Temperature Reactor (HTR). HTR dikenal sebagai reaktor yang melting free (bebas pelelehan).

Referensi

[1] Luluk Sumiarso, “The Oil and Gas Industry: Our Challenges”, 32nd Annual IPA Convention & Exhibition, Jakarta, May 28th, 2008.

[2] Eko Widiarto, “Kondisi Energi Primer (minyak dan gas) Indonesia”, Pertemuan Nasional Forum Komunikasi Pendidikan Tinggi Teknik Elektro Indonesia 2007, Yogyakarta, 5 – 6 Desember 2007.

(5)

[3] Eddie Widiono, “Jaminan Energi Primer untuk keberlanjutan Sistem Kelistrikan Nasional”, Seminar Nasional Energi dan Kelistrikan serta Teknologi Informasi Komunikasi Nasional”, Yogyakarta, 5 desember 2007.

[4] Purwono, J., Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, Jakarta, 14 agustus 2008.

[5] “Radioactive Elements in Coal and Fly Ash: Abundance, Forms, and Environmental Significance”, U.S. Geological Survey Fact Sheet FS-163-97, october 1997.

[6] _, http://www.spartonres.ca/download/World_Nuclear_News-October2007.pdf (Sparton produces first yellowcake from Chinese coal ash)

[7] _, “Japan’s Approach to Commercialization of Fuel Cell / Hydrogen Technology”, New and Renewable Energy Division Ministry of Economy, Trade and Industry (METI), June, 2003.

[8] Shiozawa et al., 2000; [9] Farbman, 1976.

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa pelayanan adalah suatu kegiatan melayani dan dilayani yang dilakukan oleh seseorang ataupun sekelompok orang dalam

Dilihat dari klasifikasi hotel, terjadi peningkatan pada hotel bintang sebesar 7,27 persen poin, sementara itu pada hotel melati mengalami penurunan sebesar

Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku, yakni sebanyak kira-kira 50%, yang agak khas ialah yang disebut pitting nail atau nail pit berupa lekukan-lekukan miliar,Kelainan

Hasil eksplorasi keterlaksanaan pendidikan karakter pada pembelajaran Biologi melalui inkuiri terbimbing untuk materi klasifikasi jamur diperoleh nilai rerata 74,81%,

Skor obstruksi hidung dengan menggunakan visual analogue scale (VAS) merupakan salah satu parameter untuk menilai obstruksi hidung secara subjektif, sedangkan secara objektif

Fungsi-fungsi tersebut antara lain startScreen (tampilan awal program), menuScreen (tampilan menu utama), LevelSelectionScreen (tampilan menu pemilihan tingkat

Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah penelitian ini adalah tentang pengaturan gugatan class action dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,

Kami masih menghitung kembali proyeksi harga saham untuk HMSP ke depan, namun demikian kami memiliki keyakinan sektor rokok akan menjadi salah satu pilihan untuk