• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEBERADAAN TUHAN. pertama menggunakannya, tidak diketahui. Yang jelas istilah sifah disinggung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III KEBERADAAN TUHAN. pertama menggunakannya, tidak diketahui. Yang jelas istilah sifah disinggung"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KEBERADAAN TUHAN A. Keberadaan Sifat-Sifat Tuhan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sifat berarti rupa dan keadaan yang tampak pada suatu benda.1 Dua istilah yang digunakan untuk menunjuk sifat-sifat Tuhan adalah ma’na dan sifah. Kata ma’na juga berarti “sesuatu” (syai’). Baik ma’na maupun syai’ digunakan sebagai terjemahan kata Yunani pragma (sesuatu). Kapan kata sifah sebagai pengganti asma’ muncul dan siapa yang pertama menggunakannya, tidak diketahui. Yang jelas istilah sifah disinggung dalam riwayat berkenaan dengan pendiri aliran Mu’tazilah, Wasil bin Ata’ (w. 748). Adapun orang Sunni pertama yang menggunakan istilah sifah adalah Ibnu Kullab (w.854). Tokoh terahkir ini digambarkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariyah, sebagai orang yang mengartikan asma’ sebagai sifat-sifat Tuhan.2

Al-Quran tidak menjelaskan hubungan sifat dengan zat-Nya. Apakah sifat itu merupakan sesuatu yang identik dengan zat (as-sifat ‘ain az-zat) atau keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Keduanya identik, mengandung pengertian bahwa yang ada pada hakikat-Nya hanyalah zat, sedangkan sifat tidak lebih dari pengertian semata. Namun sebaliknya ada pula yang mengatakan bahwa

1 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,( Balai

Pustaka), h. 837

2Mulyono Dan Bashori,Studi Ilmu Tauhid/Kalam,(Malang: UIN Maliki Prees, 2010), h.

(2)

sifat itu berbeda dengan zat, maka itu berarti bahwa yang kadim (tidak ada permulaan) tidak hanya pada zat, tetapi juga pada sifat.3

Sifat-sifat bagi Allah di bagi kepada tiga bagian, Pertama sifat wajib bagi Allah,Keduasifat mustahil bagi Allah, danKetikasifatjaizbagi Allah4

Sifat-sifat yang wajib bagi Allah dapat dibagi kepada empat bagian. Pertama, sifat Nafsiah yaitu sifatwujud. Sifat nafsiah berarti yang menunjukkan keberadaan Allah, artinya sifat diri yang tidak dapat dipisahkan dari pengertian eksistensi Allah.Kedua, sifatSalbiyah(sifat zat). Sifatsalbiyahadalah menafikan segala sifat yang lima dari selain Allah artinya, hanya Allah sajalah yang memiliki sifat itu sifat salbiyah tersebut terdiri atas lima sifat, yaitu: Qidam, Baqa, Mukhalafatu li al-Hawadis, Qiyamuhu bin nafsih, dan Wahdaniyah. Ketiga,sifat Ma’ani, artinya sifat-sifat atau makna yang melihat pada zat dan merupakan kesempurnaan bagi zat. Sifat ini terdiri dari tujuh sifat, yaitu: al-Hayah, al-‘Ilmu, al-Qudrah, al-Iradah, as-Sama’, al-Basharu, dan al-Kalam. Keempat, sifat Ma’nawiyah yaitu sifat tsabitah yang menetapkan sifat yang tujuh, artinya sifat ma‟ani menjadi sifat wujudiyah bagi zat, sedang sifat ma‟ani berarti menetapkan sifat-sifat itu terdiri dari: al-Hayyun, al-‘Alimun, al-Qadirun, al-Muridun, as-Sami’, al-Bashirundanal-Mutakallimun.5

3Burhanuddin Banta Cut, “Tauhid Dalam Konsepsi Abdurrauf”, JurnalSubstantia,Vol.

13, No. 2, Oktober2011, Http://Substantiajurnal.Org/Index.Php/Subs/Article/Viewfile/66/64, Di Akses Pada 02-08-2017, 15.23

4Sifat wajib artinya sifat yang mesti ada pada Allah, yaitu 20 sifat. Sifat Mustahil Artinya

sifat yang tidak mungkin ada pada Allah yaitu 20 sifat-sifat jaizadalah sifat boleh saja ada dan boleh tidak, yaitu 1 ifat

(3)

Pertentangan paham antara kaum Mu’tazilah6 dengan kaum Asy’ariyah7

berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan zat Tuhan dan selanjutnya jika sifat-sifat itu kekal, maka yang bersifat kekal bukanlah satu, tetapi banyak. Lebih tegas lagi, kekalnya sifat-sifat akan membawa kepada paham banyaknya yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau multiplicity of eternals). Selanjutya membawa kepada paham syirik atau pholytheisme. Suatu hal yang tidak dapat diterima dalam teologi.8

Kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhannafisifat. Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh Asy’ari, bersifat negatif, Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, dan sebagainya tetapi, bukanlah sifat dalam arti sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui” kata Abu Huzail, adalah Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Dengan demikian, pengetahuan Tuhan adalah zat dan esensi Tuhan. Arti Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya, kata al-Jubba’i adalah untuk mengetahui Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Abu Hasyim sebaliknya

6Mu’tazilah secara bahasa berasal dari I’tazalayang berarti berpisah atau memisahkan

diri, yang berarti juga menjauh atau menjuahkan diri. Lihat. Rosihon Anwar, Abdul Rozak,

Kamus Istilah Teologi Islam,(Bandung: Pustaka Setia, 2002), Cet. 1, h.125

7Asy’arirayah adalah nama aliran kalam yang diperoleh oleh abu hasan asy’ari.

al-asy’ari mendirikannya pada sekitar tahun 300 H. Lihat Rosihon Anwar Dan Abdul Rozak,Kamus Istilah Teologi Islam,(Bandung: Pustaka Seia, 2002), h. 26

8Harun Nasution, Teologi Islam:Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,(Jakarta:

(4)

berpendapat bahwa arti “Tuhan mengetahui melalui esensi-Nya” adalah Tuhan mempunyai keadaan mengetahui tetapi sungguhpun terdapat perbedaan paham antara pemuka-pemuka Mu’tazilah tersebut, mereka sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.9

Al-kindi10 berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat yang utama di samping sifat-sifat yang lainnya, sifat utama yang dimaksud ialah tidak lain melainkan keesaan Tuhan, Esa dalam arti Satu, Esa dalam zat-Nya, dan Esa dalam pengetian teori maupun praktek. Sifat inilah yang merupakan sifat paling khas baginya, Tuhan itu satu dalam zat-Nya dan satu dalam hitungan, maka karena itu sifat Tuhan menjadi yang Maha Kuasa, Yang Maha Tahu, Yang Hidup, Yang Qadim dan seterusnya, dan Tuhan itu bukan wujud melainkan zat yang menciptakan wujud.11

Dalam masalah keesaan ini, al-Kindi juga menggunakan dalil naqli dan aqli sebagai sebagaimana para mutakallimin, baik Mu’tazilah maupun Asy’ariah, dalil naqli yang di gunakan yaitu surah al-Ikhlas dari ayat 1-5, sedangkan dalil naqliyang di gunakan berbeda dengan dengan dua golongan tersebut namun pada intinya sama, yaitu mensucikan Tuhan. Demikian kata al-Kindi yang lebih condong kepada Mu’tazilah.

9 Rosihon Anwar Dan Abdul Rozak, Kamus Istilah Teologi Islam, Bandung: Pustaka

Setia, 2002, Cet. 1, h. 168-169

10Nama lengkap Al-Kindi Adalah Abu Yusuf Ya’qub Bin Ishaq Bin Sabah Bin Imran

Bin Isma’il Bin Muhammad Al- Ash Bin Qais Al-Kindi dilahirkan pada 185 H (801 M) di Kufah, Irak. Beliau wafat di Madinah akibat penyakit lemah jantung pada usia 65 tahun, pada bulan Ramadhan, 252 H (November 866 M). Lihat Muhsin Labib,Para Filosof Sebelum Dan Sesudah Mulla Shadra,(Jakarta: Al-Huda, 2005), H. 76

11

(5)

Menurut Ibnu Rusyd,12 sifat adalah kesempurnaan bagi yang ada. Sifat

Tuhan adalah ciri bagi kesempurnaan-Nya, al-Quran juga menegaskan bahwa Tuhan adalah ‘Alim (Maha Mengetahui), Bashir (Maha Melihat), Sami’ (maha Mendengar), Qadir (Maha Kuasa) dan sebagainya. Semua itu menunjukkan kesempurnaan Tuhan.13

Menurut Mulla Shadra, sifat-sifat Allah Pertama, sifat-sifat hakiki sempurna (haqiqiyyah kamaliyyah) seperti Kemurahan, Kekuasaan (al-qudrah), dan Pengetahuan (al-‘ilm), yang bukan tambahan bagi Zat-nya, melainkan zat itu sendiri dalam arti Zat-Nya dari segi hakikatnya sebagai asal sifat-sifat itu dari-Nya dan subtansi makna yang dikandungnya, Kedua sifat negasi murni (salbiyyah Mahdhah) seperti Yang Maha Suci, Yang Maha Kekal, dan sebagainya. Ketiga sifat-sifat penisbatan murni (idhafiyyah mahdhah) seperti Pencipta Pertama (al-mubdi’iyyah), Pencipta (al-Khaliqiyyah), dan sebagainya yang merupakan tambahan pada Zat-Nya.14

Mulla Shadra, dalam masalah pengenalan sifat-sifat Tuhan, juga menggunakan metode yang berpijak pada gagasan burhan shiddiqin dimana burhan ini digunakan untuk menetapkan eksistensi dan kesatuan Tuhan. Ketika dalam al-Hikmah al-Muta'aliyah ditegaskan bahwa wujud itulah yang hakiki bukan kuiditas, dan zat Tuhan adalah wujud itu sendiri (wujud murni) yang tak

12Abu Al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd lahir di Cordoba

pada 520 H/1126 M. Lihat Afrizal M.Ibnu Rusyd: 7 Perdebatan Utama Dalam Teologi Islam,( Jakarta:Erlangga, 2006), h. 21

13Afrizal M.Ibnu Rusyd: 7 Perdebatan Utama Dalam Teologi Islam,( Jakarta:Erlangga,

2006), h. . 103

14Mulla Shadra,Teosofi Islam Manifestasi-Manifestasi Illahi,Judul asli, Al Mazhahir

al-Illahiyah Fi Asrar al-Ulim al- Kamaliyah, Penerj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), h. 62

(6)

memiliki keterbatasan, maka semua karakteristik wujud dan kesempurnaan wujud secara mutlak dan sempurna terdapat pada zat Tuhan.

Semua sifat-sifat dan keadaan-keadaan yang disaksikan secara riil dan mendetail di alam ini, dari sisi bahwa hal itu menunjukkan keterbatasan mereka dan keterbatasan itu bersumber dari penafian dan ketiadaan kesempurnaan, dalam masalah Tuhan dimana zat-Nya adalah murni wujud niscaya secara mutlak menolak ketiadaan, segala bentuk ketiadaan tak sesuai dengan kesucian wujud-Nya, dan karena secara umum sifat-sifat yang tersaksikan tersebut berhubungan dengan ketiadaan dan keterbatasan maka secara pasti harus dinafikan dari zat suci Tuhan dan penegasan secara mutlak ketiadaan keterbatasan wujud dan sifat-Nya. Eksistensi Tuhan secara mutlak lepas dari segala syarat-syarat dan jauh dari semua bentuk keterbatasan, dari sisi ini, wujud Tuhan mustahil dibatasi dan diliputi oleh sebuah persepsi yang secara sempurna menceritakan tentang realitas wujud Tuhan.15

Segala sifat-sifat yang mengesankan atau menceritakan suatu bentuk keterbatasan dan ketidaksempurnaan mesti dinafikan dari sifat-sifat Ilahi dan pada saat yang sama kesempurnaan eksistensial dari sifat-sifat tersebut ada pada zat Tuhan. Dengan ungkapan lain, kesempurnaan kuiditas tak ada pada zat Tuhan dan yang ada hanyalah kesempurnaan wujud. Tuhan Maha Mengetahui tapi bukan dengan perantaraan alat-alat keilmuan, Tuhan Maha Melihat tapi tidak dengan perantaraan mata, Tuhan Maha Mendengar tapi idak dengan telinga, Tuhan Maha Berkehendak tapi bukan dengan berpikir sebelumnya, Dia meliputi segala sesuatu

15Mohammad Adlany “Teologi Transendental Mulla Sadra”, Islam alternatif.net,

(7)

tapi tidak dengan peliputan jasmani, Dia bersama dengan semua realitas tapi tidak dengan persatuan, Dia terpisah dan jauh dari segala sesuatu tapi tak berjarak.

B. Kekuasaan dan Kehendak Tuhan

Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan, Asy’ari menulis dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapa pun, di atas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Tuhan bersifat absolut dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Seperti kata al-Dawwani, Tuhan adalah Maha Pemilik (Al-Malik) yang bersifat absolut dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya di dalam kerajaan-Nya dan tidak seorangpun yang dapat mencela perbuatan-Nya.

Dalam hubungan ini al-Baghdadi mengatakan bahwa boleh saja Tuhan melarang apa yang telah diperintahkan-Nya dan memerintahkan apa yang dilarang-Nya. Lebih tegas ia menulis:

“Tuhan bersifat Adil dalam segala perbuatan-Nya. Tidak ada suatu larangan pun bagi Tuhan. Ia berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Seluruh makhluk milik-Nya dan perintah-Nya adalah di atas segala perintah. Ia tidak bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan-Nya kepada siapa pun”.16

Al-Ghazali juga mengeluarkan pendapat yang sama. Tuhan dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukum menurut kehendak-Nya, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendaki-Nya dan dapat memberi upah kepada orang kafir jika yang demikian dikehendaki-Nya.

(8)

Kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan yang digambarkan di atas dapat pula dilihat dari paham kaum Asy’ariah bahwa Tuhan dapat meletakan beban yang tidak terpikul pada diri manusia, dari keterangan Al-Asy’ari sendiri, bahwa sekiranya Tuhan mewahyukan bahwa berdusta adalah baik, maka berdusta mestilah baik bukan buruk. Bagi kaum Asy’ariah, Tuhan memang tidak terkait kepada apapun, tidak terkait pada janiji-janji, kepada norma-norma keadalian dan sebagainya.

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Seperti terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah di batasi oleh kebebasan yang menurut paham Mu’tazilah, telah di berikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan. Tuhan tidak bisa berbuat sekehendak-Nya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat Tuhan bersifat tidak adil bahkan zalim. Selanjutnya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang menurut paham Mu’tazilah memang ada. Lebih lanjut lagi, kekuasaan mutlak itu di batasi pula oleh hukum alam yang tidak mengalami perubahan.17

Al-Jahiz mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai sifat dan natur sendiri yang menimbulkan efek tertentu menurut natur masing-masing. Lebih tegas al-Khayyat menerangkan bahwa tiap benda mempunyai natur tertentu dan tidak dapat menghasilkan kecuali efek yang itu-itu juga, api tidak dapat

(9)

menghasilkan apa-apa kecuali panas dan es tidak dapat menghasilkan apa-apa kecuali dingin.

Dari tulisan-tulisan seperti di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa kaum Mu’tazilah percaya kepada hukum alam sunnah Allah yang menganut perjalanan kosmos dan dengan demikian determinisme.

Maturidiyah Samarkand juga membatasi pemahaman kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, tetapi tidak sebanyak yang diberikan oleh Mu’tazilah. Bagi Maturidiyah Samarkand, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu hanya dibatasi oleh kebebasan manusia yang diberikan oleh Tuhan sendiri serta keadaan Tuhan yang tidak menjatuhkan hukum sewenang-wenang dan hukuman itu tidak boleh tidak harus terjadi. Untuk memperkuat pandangan tersebut Maturidiyah Samarkand mengunakan dalil-dalil naqli, QS. Al-Maidah ayat 48, QS. al-An’aam ayat 149, dan QS. Yunus ayat 99.18

Ayat-ayat di atas dipahami oleh Maturidi bahwa Tuhan sebenarnya buerkuasa membuat manusia yang ada di bumi menjadi beriman, atau membuat manusia berada dalam petumjuk Allah. Namun Allah tidak melakukan hal itu, disebabkan oleh kemerdekaan dalam kemauan dan perbutatan yang memang ada pada manusia .

Aliran Asy’ariah, yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan haruslah berlaku semutlak-mutlaknya. Asy’ari sendiri menjelaskan bahwa tidak tunduk kepada siapapun dan di atas zat

18 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawarij Ke Buya

(10)

Tuhan tidak satu zat lain yang dapat membuat hukum serta menentukan apa yang tidak boleh dibuat oleh Tuhan. Maha lebih jauh dikatakan oleh Asy’ari, kalau memang Tuhan menginginkan, ia tidak dapat meletakan beban yang tidak terpikul oleh manusia.

Ayat-ayat al-Quran yang menjadi sandaran oleh aliran Asy’ariah untuk memperkuat pendapat di atas adalah QS. Al-Buruuj ayat 16, QS.Yunus ayat 99, QS.as-Sajadahayat 13, QS,al-An’aamayat 112, dan QS.al-Baqarahayat253.19

Ayat tersebut di atas dipahami oleh Asy’ari sebagai pernyataan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Kehendak Tuhan mestilah berlaku. Bila kehendak Tuhan tidak berlaku, itu berarti Tuhan lupa, lalai dan lemahuntuk melaksanakan kehendak-Nya. Sedangkan sifat lupa, lalai apalagi lemah, adalah sifat-sifat yang mustahil bagi Allah. Oleh karena itu, bagi Asy’ari kehendak Tuhan yang berlaku, bukan kehendak yang lain. Manusia berkehendak setelah Tuhan berkehendak. Tanpa dikehendaki oleh Tuhan, manusia tidak akan berkehendak apa-apa.20

Sejalan dengan pandangan Asy’ari di atas, aliran Maturidiyah Bukhara juga menekankan berlakunya kehendak dan kekuasaan Tuhan semutlak-mutlaknya. Tuhan berbuat sekehendak-Nya dan tidak ada satupun yang melarang-Nya.21

19Ibid,h. 127 20Ibid,h. 128-129 21Ibid,h. 129

(11)

C. Keadilan Tuhan

Pembahasan tentang keadilan Allah sangat erat keterkaitannya dengan perbuatan manusia, kehendak dan kekuasaan Allah, dan bahkan dengan janji-janji-Nya terhadap manusia. Keadilan merupakan salah satu sifat-sifat Allah. Karena terdapat perbedaan paham dalam aliran-aliran teologi Islam mengenai hal tersebut, maka berbeda pula paham mereka tentang keadilan Allah. Seperti Mu’tazilah yang memandang keadilan dari sudut kepentingan manusia, maka keadilan mereka artikan dengan memberikan kepada seseorang akan haknya. Oleh karena itu, bagi mereka, Allah bersifat adil jika memberikan hak yang sebenarnya kepada manusia. Jika manusia berbuat baik, harus dimasukkan ke dalam surga. Namun, apabila manusia berbuat jahat maka harus dimasukkan ke dalam neraka.22

Agama Islam sebagai puncak kemuliaan yang memberikan penekanan serius dalam menetapkan konsep keadilan Allah. Dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang menetapkan sifat Adil bagi Allah, antara ayat-ayat tersebut ialah:23

1. Al-'A'raf (7): 29









...

Artinya:“Katakanlah: Tuhanku menyuruh dengan keadilan.” 2. Fussilat (41): 46



...











22 Muh. Mawangir, “Sifat-Sifat Dan Keadilan Allah Dalam Pemikiran Teologi

Muhammadiyah”,

23 Mohd Radhi Ibrahim,Konsep Keadilan Allah Swt Menurut Al-Qadi 'Abd Al-Jabbar,

Jurnal Usuluddin, Bil 16 [2002] 1-12, Http://E Journal.Um.Edu.My/Filebank/Published_Article/7 414/Jurnal.Usuluddin.16.200201.Radhi.Keadilan.Pdf, Di Akses Pada 02-08-2017, 23:03

(12)

Artinya:“Dan Tuhanmu tidak menzalimi hamba-hambaNya”

Kaum Mu’tazilah yang berpendapat bahwa manusia bebas melakukan perbuatannya sendiri dan kekuasaan Tuhan terbatas, memandang keadilan Tuhan dari sudut kepentingan manusia. Karena itu bagi mereka, Tuhan adil jika Tuhan memberikan hak yang sebenarnya kepada manusia. Kalau manusia berbuat baik harus dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya jika manusia berbuat jahat dan melanggar hukum-hukum Tuhan dimasukan ke dalam neraka. Kalau Tuhan berbuat sebaliknya, memberi kenikmatan kepada orang yang jahat dan menghukum orang yang berbuat baik, berarti Tuhan berbuat zalim, dan Tuhan Maha Suci dari perbuatan zalim.

Bagi kaum Asy’ariah, keadilan adalah “menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya”. Karena itu, menempatkan Tuhan pada posisi sebagai Pencipta dan Penguasa mutlak yang bebas berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya adalah penempatan yang sesuai dengan rumusan keadilan tersebut. Karena masalah keadilan Tuhan dipandang Asy’ariah dari sudut Tuhan, bukan kepentingan manusia, maka bisa saja sesuatu yang bagi Tuhan adalah adil, tidak adil dalam pandangan manusia.24

Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa keadilan Tuhan haruslah dipahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. secara jelas al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak

(13)

mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos, Tuhan berbuat sekehendak-Nya sendiri.25

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada, tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mendeskripsikan aktivitas guru dalam pembelajaran berhitung 1-10 pada kelompok A

Gasifier merupakan salah satu teknologi yang dapat mengkonversi berbagai bahan padat maupun cair seperti tandan kosong sawit menjadi bahan bakar gas, sehingga perlu dilakukan uji

(3) Ada hubungan yang positif antara prestasi belajar dan prestasi praktik industri dengan minat berwiraswasta siswa kelas III bidang keahlian Teknik Kendaraan

Kebijakan luar negeri adalah sikap dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek

Untuk memperjelas kajian ini, maka pembahasan tesis ini hanya akan mengkaji dan menganalisis kearifan ekologis Osman Bakar dalam perspektif filsafat sainsnya,

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Maka dari itu, pada penelitian ini penulis mencoba menganalisa tingkat kepuasan konsumen khususnya penumpang KA Lokal Penataran relasi Sidoarjo – Malang Kota

Salah satunya adalah pada tanaman ilalang, pada penelitian Fakhrozi (2009) ilalang dimanfaatkan oleh masyarakat Rantau Langsat sebagai bahan kerajinan sedangkan