• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini akan menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan variabel-variabel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini akan menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan variabel-variabel"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut yaitu impulsivitas membeli, dimensi budaya yang meliputi keyakinan tentang jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian, kolektivisme, dan maskulinitas, serta pemaknaan simbolik pada uang. Selain itu bab ini akan membahas kerangka berpikir dan hipotesis.

1.1 Impulsivitas Membeli

1.1.1 Definisi Impulsivitas Membeli

Impulsivitas membeli merujuk kepada perilaku yang tiba-tiba dan spontan yang mana menghalangi dan/atau mengesampingkan pemikiran, pertimbangan semua variabel informasi dan pilihan alternatif (Bayley & Nancorrow, 1998). Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Peck dan Childers (2006) yang mendefinisikan impulsivitas membeli sebagai kecenderungan untuk membeli secara spontan, tidak dipikirkan atau tidak direncanakan, segera, dan secara kinetik.

Menurut Solomon (2004) impulsivitas membeli terjadi ketika seseorang mengalami dorongan yang kuat yang mana ia tidak dapat menahannya. Selain itu, perilaku impulsivitas membeli juga disertai dengan respon emosional yang kuat (Rook & Gardner, 1993) dan kehilangan kontrol diri (Baumeister, 2002). Respon emosional ini mungkin

(2)

dapat ditimbulkan sebelum, bersamaan dengan, atau setelah pembelian yang tidak direncanakan (Beatty & Ferrel, 1998; wood, 1998).

Impulsivitas membeli juga terkait dengan kecenderungan untuk mengabaikan konsekuensi yang berbahaya, misalkan pengeluaran uang atau membeli barang yang memiliki kualitas yang rendah (Dittmar & Drury, 2000; Rook, 1997), dan bahkan dapat membentuk pola pembelian yang berlebihan atau kompulsif (Faber & O’Guinn, 1992; Dittmar, 2005).

Hal ini telah membuktikan dengan jelas bahwa impulsivitas membeli berbeda dengan perilaku membeli. Perilaku membeli ialah proses pengambilan keputusan dan tindakan dari orang yang terlibat dalam membeli dan menggunakan produk (Brown, 2008). Sedangkan Verplanken dan Herabadi (2001) menyimpulkan bahwa impulsivitas membeli dapat dikatakan sebagai perilaku pembelian yang spontan dan/atau tidak direncanakan, disertai respon emosional, dan mengabaikan konsekuensi berbahaya yang berujung kepada penyesalan. Solomon (2004) telah membedakan impulsivitas membeli dengan partial planners. Dapat dikatakan sebagai partial planners apabila seseorang mengetahui bahwa mereka membutuhkan produk tertentu namun tidak memutuskan untuk melakukan pembelian atas sebuah merek tertentu sampai mereka berada di dalam toko, sedangkan pada impulsivitas membeli tidak memiliki perencanaan sama sekali.

Impulsivitas membeli juga memiliki makna yang berbeda dengan kompulsivitas membeli. Dittmar (2005, dalam Soliha, 2010) mengkonseptualisasikan kompulsivitas membeli sebagai suatu manifestasi ekstrim dari individu yang mencari perbaikan suasana hati dan peningkatan rasa percaya diri dengan membeli produk-produk yang

(3)

dapat meningkatkan identitas diri individu tersebut. Di dalam penelitian Dittmar (2005) menyatakan bahwa perasaan individu akan berubah secara langsung menjadi positif setelah melakukan pembelian. Menurut Dittmar (2005, dalam Herabadi, Verplanken, & Knippenberg, 2009) menerangkan bahwa pembelian yang kompulsif merupakan fenomena yang lebih kuat dibandingkan dengan impulsivitas membeli.

Peneliti lain seperti (Faber & O’Guinn, 1989, dalam Soliha, 2010) mendefinisikan kompulsivitas membeli sebagai suatu kondisi kronis dimana seseorang melakukan aktivitas pembelian berulang sebagai akibat dari adanya peristiwa yang tidak menyenangkan ataupun perasaan yang negatif. Sejalan dengan yang dikemukakan Solomon (2004) menyatakan bahwa kompulsivitas membeli lebih mengacu kepada pembelanjaan yang berulang, sering berlebihan, sebagai penangkal ketegangan depresi, kecemasan, atau kebosanan. Kompulsivitas membeli lebih condong kepada proses pembelian bukan kepada pembeliannya itu sendiri menurut Solomon (2004).

1.1.2 Karakteristik Impulsivitas Membeli

Adapun karakteristik kecenderungan impulsivitas membeli yang dikemukakan oleh Rook (dalam Engel & Blackwell, 2006) guna memberikan gambaran yang jelas akan impulsivitas membeli, yakni sebagai berikut:

a. Spontanitas

Pembelian tidak diharapkan sebelumnya serta tidak terfikirkan. Pembeli langsung merespon point of scale terhadap barang yang dilihatnya pada saat itu juga.

(4)

b. Dorongan yang kuat

Pembeli termotivasi dengan kuat untuk melakukan pembelian. c. Perasaan senang dan terangsang

Objek stimulus yang langsung dan sering diikuti oleh adanya emosi yang dikarakteristikkan dengan perasaan bergairah dan kegembiraan.

d. Mengabaikan konsekuensi

Impulsivitas membeli memang berpotensi memiliki kecenderungan untuk mengabaikan konsekuensi yang negatif dan berbahaya.

1.1.3 Penyebab Impulsivitas Membeli

Beberapa peneliti melihat banyak faktor yang mempengaruhi impulsivitas membeli seperti suasana hati konsumer, self-identity (Dittmar & Cox, 1995), umur, ketersediaan uang saku, jenis kelamin (Bellenger, Robertson, & Hirschman, 1978; Wood, 1998), dan pengaruh budaya (Kacen & Lee, 2002).

1.1.4 Tipe-tipe Perilaku Impulsivitas Membeli

Loudon dan Bitta (1993) telah mengkategorikan empat tipe perilaku impulsivitas membeli sebagai berikut:

a. Pure Impulse

Dapat dikatakan pure impulse apabila pembeli membeli tanpa melakukan pertimbangan, atau dengan kata lain, pembeli membeli tidak dengan pola normal.

(5)

b. Suggestion Impulse

Tipe ini muncul ketika pembeli tidak mengenal suatu produk, akan tetapi ketika melihat produk tersebut untuk pertama kali individu memvisualisasikan kebutuhan akan produk tersebut.

c. Reminder Impulse

Tipe ini merupakan tipe dimana pembeli melihat suatu produk dan mengingat bahwa ia kekurangan akan suatu produk tersebut atau mengingat suatu iklan tentang barang tersebut dan membuat keputusan untuk membeli.

d. Planned Impulse

Pada tipe ini, pembeli memasuki sebuah toko dengan tujuan untuk membeli suatu barang dan kemudian menyadari bahwa ia mungkin akan melakukan pembelian atas barang lainnya dengan harapan dan intensi membeli berdasarkan atas harga khusus, kupon dan lainnya seperti itu.

1.2 Dimensi Budaya

Budaya merupakan program mental kolektif dari pemikiran manusia yang membedakan satu kelompok orang dari yang lain (http://geert-hofstede.com/indonesia.html). Hofstede (1980) telah mengkategorikan budaya kedalam empat dimensi yaitu keyakinan tentang jarak kekuasaan (Power Distance Belief), penghindaran ketidakpastian (Uncertainty Avoidance), kolektivisme (Collectivsm), dan maskulinitas (Masculinity).

(6)

Hofstede telah meneliti dimensi budaya terhadap beberapa negara salah satunya negara Indonesia (http://geert-hofstede.com/indonesia.html). Konteks penelitian yang dilakukan oleh Hofstede ini ialah untuk melihat bagaimana nilai-nilai di tempat kerja dipengaruhi oleh dimensi budaya. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Hofstede mengukur dimensi budaya pada level negara.

1.2.1 Keyakinan tentang Jarak Kekuasaan

Dimensi ini sepakat dengan fakta bahwa semua individu dalam masyarakat tidak sama terhadap ketidaksetaraan sikap budaya (http://geert-hofstede.com/indonesia.html). Hal ini melahirkan adanya keyakinan tentang jarak kekuasaan atau yang biasa dikenal sebagai Power Distance Belief (PDB).

Hofstede telah mengungkapkan dimensi keyakinan tentang jarak kekuasaan ini sebagai tingkat sejauh mana anggota sebuah kebudayaan mengharapkan dan menerima bahwa kekuasaan yang didistribusikan tidak merata (Hofstede, 2001).

Keyakinan tentang jarak kekuasaan tidak mengukur sejauh mana individu memiliki atau tidak memiliki kekuatan (Oyserman, 2006, dalam Zhang, Winterich, & Mittal, 2009). Perbedaan utama yang membedakan budaya keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi dan rendah tidak terletak pada perbedaan kekuasaan individu tersebut, melainkan dalam sikap individu terhadap perbedaan kekuasaan.

Karakteristik individu khususnya pada anak-anak dengan keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi antara lain menempatkan

(7)

premi kepada kepatuhan, konformitas, dan penahanan diri (Hofstede, 1980; 2001). Selain itu, karakteristik bagi orang dewasa dengan keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi antara lain memilki ekspektasi untuk mengontrol diri dan menghormati norma sosial (Hofstede, 1980; 2001).

Sebaliknya, Shavitt, Lawlani, Zhang, dan Torelli (2006) melihat individu-individu yang menganut budaya keyakinan tentang jarak kekuasaan yang rendah cenderung untuk tidak menunjukkan kontrol diri dan kurang menanggapi aturan-aturan sosial yang ada.

Dalam penelitian Hofstede

(http://geert-hofstede.com/indonesia.html) yang dilakukan di Indonesia, dimensi ini memiliki skor 78 yang berarti memiliki nilai keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi. Makna dari nilai budaya yang tinggi ini menunjukkan bahwa karakteristik Indonesia bergantung kepada hirarki atau pangkat kedudukan dan ketidakseimbangan hak antara pemangku kepentingan dan bukan pemangku kepentingan. Individu akan lebih mengharapkan adanya kontrol manajemen dan adanya suatu arahan atau delegasi.

Selain di Indonesia, Hofstede telah melakukan penelitian di budaya barat seperti Amerika, Belanda, Kanada, dan lain sebagainya dengan tipikal keyakinan terhadap jarak kekuasaan yang rendah (Hofstede, 2005). Dimensi dengan nilai yang rendah ini memberikan makna yang cenderung untuk menempatkan nilai yang tinggi pada kepuasan yang langsung terpenuhi dibandingkan dengan kepuasan yang tertunda atau delay gratification (Chen, Ng, & Rao, 2005).

(8)

1.2.2 Penghindaran Ketidakpastian

Dimensi ini dikenal sebagai Uncertainty Avoidance (UA). Penghindaran ketidakpastian mengungkapkan sejauh mana anggota masyarakat merasa tidak nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas (Hofstede, 2001).

Hogg dan Vaughann (2008) menggambarkan dimensi penghindaran ketidakpastian sebagai perencanaan untuk stabilitas dalam menghadapi ketidakpastian hidup.

Ketidakpastian akan masa depan merupakan fakta dasar dari kehidupan manusia yang mana mereka mencoba untuk mengatasi melalui domain tekhnologi, hukum, dan agama (Baker & Carson, 2011).

Ketidakpastian yang ekstrim menciptakan kecemasan yang berat, dan masyarakat telah mengembangkan cara untuk mengatasi ketidakpastian yang melekat pada ketidakpastian hidup (Hofstede, 2001).

Individu dengan budaya penghindaran ketidakpastian yang rendah memiliki karakteristik toleran terhadap aturan atau hal yang tabu. Individu tersebut lebih menyukai inovasi dan ide-ide maupun perilaku yang menyimpang serta memiliki ketertarikan terhadap suatu hal yang berbeda. Selain itu, bagi individu dengan penghindaran ketidakpastian yang rendah memiliki agresi dan emosi yang tidak diperlihatkan. Individu akan lebih di motivasi oleh suatu prestasi dan harga diri (Hofstede, 2005).

Sebaliknya, karakteristik seseorang dengan budaya penghindaran ketidakpastian yang tinggi antara lain takut terhadap sesuatu yang tidak pasti atau ambigu dan tidak menyukai ide-ide serta perilaku yang menyimpang atau berbeda. Individu akan lebih menerima resiko yang sudah dikenalnya. Selain itu mereka jarang melakukan

(9)

inovasi dikarenakan bagi mereka sesuatu yang baru merupakan hal yang ditakuti. Individu akan lebih dimotivasi oleh harga diri dan keamanan. Mereka memiliki prinsip yakni waktu adalah uang atau ‘time is money’ (Hofstede, 2005).

Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Hofstede (http://geert-hofstede.com/indonesia.html) didapatkan skor sebesar 48 terhadap dimensi penghindaran ketidakpastian di Indonesia. Tentunya skor ini menunjukkan preferensi rendah menengah untuk menghindari ketidakpastian. Dengan ini, terdapat preferensi kuat di Indonesia yang memungkinkan penghindaran ketidakpastian untuk menjaga penampilan dengan menunjukkan sikap harmoni bagi lingkungan dan menggunakan perantara untuk menghilangkan ketidakpastian yang berhubungan dengan konfrontasi

1.2.3 Kolektivisme

Isu mendasar pada dimensi ini ditujukan kepada tingkat ketergantungan masyarakat mempertahankan para anggotanya (http://geert-hofstede.com/indonesia.html).

Menurut Vaughann dan Hogg (2008) mendefinisikan dimensi individualisme sebagai identitas seseorang yang ditentukan oleh pilihan pribadi atau kolektif.

Hofstede (1980, 2001) menggambarkan individualisme dan kolektivisme sebagai berikut:

“Individualism stands for a society in which the ties between individuals are loose: Everyone is expected to look after her/his immediate family only. Collectivism stands for a

(10)

society in which people from birth onwards are integrated into strong, cohesive in-groups, which throughout people’s lifetime continue to protect them in exchange for unquestioning loyalty” (Hofstede, 2001: 225).

Jika diartikan secara bebas, individualisme merujuk kepada sebuah masyarakat dimana hubungan antara satu individu dengan individu lain tidak terlalu mengikat atau longgar. Setiap individu menjaga diri sendiri dan keluarga langsung mereka saja, seperti keluarga inti atau yang memiliki hubungan darah. Sedangkan pada masyarakat kolektivisme merujuk kepada sebuah masyarakat dimana individu dari lahir terus terintegrasi dengan kuat, bersatu didalam kelompok, yang mana sepanjang hidup anggota masyarakat terus melindungi satu sama lain dengan kesetiaan yang tidak diragukan lagi.

Hofstede (http://geert-hofstede.com/indonesia.html) menyatakan bahwa citra seseorang dalam masyarakat di dalam dimensi ini tercermin dalam kata “Saya” (individualisme) atau “Kami” (kolektivisme).

Pada dimensi individu maupun kolektivisme memiliki karakteristik masing-masing. Seseorang dengan individulisme yang tinggi memiliki karakteristik antara lain lebih dimotivasi oleh preferensi diri termasuk kebutuhan dan hak diri, memberikan prioritas terhadap tujuan pribadi, dan memiliki fokus terhadap analisa rasional dari hubungan mereka dengan orang lain (Triandis, 1994, dalam Kacen & Lee, 2002). Selain itu orang yang individualis ditandai dengan berbicara sesuai dengan apa yang dipikirkan yang mana merupakan karakteristik dari orang yang jujur, dan memiliki rasa interdependen yang cenderung rendah (Hofstede, 2005).

(11)

Berbeda dengan dimensi kolektivisme, yang mana seseorang dengan kolektivisme yang tinggi seringkali dimotivasi oleh norma dan kewajiban yang diberlakukan oleh kelompoknya dan memberikan prioritas terhadap tujuan dari kelompok tersebut (Kacen & Lee, 2000). Karakteristik lain dari budaya ini ialah keharmonisan yang terjalin antar anggota harus selalu dipertahankan, rasa interdependen yang dimiliki cenderung tinggi, dan konfrontasi antar anggota yang datang secara langsung sebisa mungkin dihindari (Hofstede, 2005)

Hofstede (http://geert-hofstede.com/indonesia.html) melakukan penelitian terhadap dimensi kolektivisme di Indonesia. Hasil yang didapatkan yakni Indonesia memiliki nilai yang rendah pada dimensi ini yaitu bernilai 14 yang berarti merupakan masyarakat kolektivis. Ini memiliki makna bahwa terdapat preferensi yang tinggi untuk kerangka sosial. Individu sangat ditentukan dan diharapkan untuk sesuai dengan tujuan dari masyarakat dan kelompoknya yang mana mereka berasal (http://geert-hofstede.com/indonesia.html).

1.2.4 Maskulinitas

Dualitas dari jenis kelamin seperti maskulinits dan femininitas merujuk kepada fakta mendasar yang mana setiap masyarakat mengatasi sesuatu dengan cara yang berbeda pula (Hofstede, 1980).

Definisi dari sisi maskulinitas di dimensi ini merupakan preferensi masyarakat untuk suatu prestasi, kepahlawanan, ketegasan, dan imbalan materi untuk sukses. Masyarakat dalam arti luas lebih kompetitif di dimensi ini. Berlawanan dengan dimensi femininitas yang menyinggung mengenai preferensi untuk kerja sama, kerendahan hati, menjaga yang

(12)

lemah, dan kualitas hidup. Masyarakat luas di dimensi femininitas ini lebih berorientasi kepada konsensus atau permufakatan bersama (Hofstede, 2001).

Sejalan dengan Vaughann dan Hogg (2008) yang mendefinisikan dimensi ini sebagai menilai atribut baik yang memiliki tipikal maskulin (pencapaian dan memperoleh keberhasilan materi) atau memiliki tipikal feminin (mempromosikan harmoni interpersonal dan merawat terhadap sesama).

Hofstede (2005) telah mengkarakteristikkan dimensi feminin sebagai semua orang seharusnya sopan, simpati untuk yang lemah, dan resolusi konflik dilakukan dengan kompromi dan perundingan. Selain itu pada dimensi ini lebih mengutamakan solidaritas antar sesama serta pentingnya menjalin hubungan yang hangat terhadap sesama. Sedangkan pada budaya maskulinitas dikarakteristikkan sebagai seorang yang tegas, ambisius, tangguh, dan simpati untuk yang kuat. Dalam menghadapi konflik sebisa mungkin resolusi konflik dilakukan dengan memerangi mereka, terjadinya kompetisi di antara rekan kerja, dan uang merupakan hal yang penting.

Penelitian dimensi maskulinitas telah dilakukan oleh Hofstede di Indonesia. Di Indonesia sendiri dimensi maskulinitas memiliki skor 46 yang memiliki arti bahwa Indonesia tergolong kedalam dimensi femininitas dikarenakan nilai yang didapatkan cukup rendah (http://geert-hofstede.com/indonesia.html). Status di Indonesia dan simbol nyata dari keberhasilan merupakan hal yang penting namun tidak selalu keuntungan materil yang dijadikan motivasi. Seringkali posisi yang memegang peranan lebih penting bagi mereka yaitu “gengsi” (outward appearance)

(13)

atau harga diri. Gengsi sangat dipertahankan sehingga memproyeksikan penampilan luar yang berbeda yang bertujuan untuk mengesankan dan menciptakan status yang memiliki aura (http://geert-hofstede.com/indonesia.html).

1.3 Pemaknaan Simbolik pada Uang

Thierry (2001, dalam Hayes, 2005) mengatakan bahwa seseorang yang menganggap uang sebagai suatu pencapaian akan tujuan tertentu, maka uang tersebut akan terlihat sebagai suatu pemaknaan simbolik yang mana perilaku seseorang akan terpengaruh oleh makna simbolik tersebut.

Setiap individu memiliki pemaknaan pada uang yang berbeda satu sama lain (Hayes, 2005). Beberapa tokoh meneliti bahwa uang kerap kali dimaknai simbolik sebagai kekuatan dan/atau martabat (Srivastava, Locke, & Bartol, 2001; Yamauchi & Templer, 1982), pengakuan sosial, dan kesuksesan (Tang, 1992).

Dalam memahami pemaknaan simbolik pada uang ini, Thierry (2001) telah memformulasikan suatu konstruk dan teori guna menggambarkan pemaknaan simbolik terhadap uang.

Teori tersebut dinamakan teori refleksi yang mana didasarkan kepada proporsi bahwa pembayaran berupa uang memiliki makna yang berarti kepada individu karena uang merefleksikan informasi dari domain penting (Thierry, 2001). Dengan kata lain, uang akan menjadi penting bagi individu apabila uang tersebut mengkomunikasikan mengenai isu penting kepada individu, seperti halnya dengan uang seseorang dapat

(14)

membeli rumah mewah yang mana rumah tersebut menyimbolkan suatu pencapaian akan kesuksesan seseorang.

Menurut Thierry (2001) uang jadi sangat berarti apabila pembayaran merefleksikan empat domain yang terpisah yaitu motivasi, posisi relatif atau umpan balik, kontrol, dan pengeluaran.

Thierry (2001, dalam Hayes, 2005) secara spesifik menguraikan empat domain penting tersebut dari makna pembayaran. Pertama terkait dengan motivasi. Pembayaran merefleksikan pencapaian tujuan kepemilikan suatu instrumen, seperti rumah dapat membawa peranan penting kepada kepuasan dari pemenuhan kebutuhan atau motif tertentu. Sebagai salah satu contoh pembayaran mungkin sebagai simbolisme sesuatu seperti status di masyarakat, pengakuan, dan stabilitas. Konsekuensinya, motivasi dari makna pembayaran merupakan hasil refleksi yang mana individu termotivasi untuk memenuhi kepuasan dengan uang.

Kedua, pembayaran juga dapat dipandang sebagai sinyal umpan balik mengenai kinerja pekerjaan yang mana Thierry (2001, dalam Hayes, 2005) menamakannya sebagai posisi relatif. Posisi relatif memiliki dua aspek. Pertama memberikan umpan balik mengenai kinerja dalam hubungannya menentukan standar atau tujuan. Kedua, pembayaran merefleksikan umpan balik mengenai kinerja dalam hubungannya dengan orang lain. Pada skala besar, posisi relatif juga menyatakan tingkat apresiasi individu yang dimiliki organisasi atas kinerja individu tersebut terhadap organisasi.

Ketiga, pembayaran juga merefleksikan sejauh mana individu memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri dan orang lain, yang

(15)

dikenal sebagai kontrol. Pembayaran mencerminkan sejauh mana seseorang dapat mengatur perilaku mereka sendiri dalam sebuah organisasi. Selain itu, pembayaran juga dapat mengubah perilaku orang lain dalam organisasi terhadap apa yang individu inginkan dengan kata lain hasil lebih dihargai.

Domain keempat yaitu pengeluaran. Thierry (2001, dalam Hayes, 2005) memaknai gaji dan pengeluaran berkaitan erat dengan cerminan arti barang dan jasa yang dapat dibeli. Thierry telah mengemukakan bahwa salah satu yang berhubungan dari gaji yakni dengan kepuasan yang dihasilkan dari kemampuan membeli barang nyata dan jasa.

(16)

Dimensi Budaya 1.4 Kerangka Berfikir

Berikut merupakan model kerangka berpikir yang peneliti gunakan dalam penelitian ini.

Gambar 2.1 Bagan kerangka berpikir Sumber: Diolah oleh penulis

Kolektivisme Pemaknaan simbolik pada uang Maskulinitas Penghindaran ketidakpastian Keyakinan tentang jarak kekuasaan Impulsivitas membeli IV DV

(17)

2.4.1 Pengaruh keyakinan tentang jarak kekuasaan terhadap impulsivitas membeli

Pada penelitian sebelumnya telah ditemukan bahwa konsumen dengan keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi cenderung untuk menunjukkan impulsivitas membeli yang rendah dibandingkan dengan konsumen yang menganut keyakinan tentang jarak kekuasaan yang rendah (Zhang, Winterich, & Mittal, 2009). Penelitian ini dilakuan di Australia, New Zealand, China, Hongkong, dan sebagainya. Sampel dari penelitian ialah keluarga yang tinggal di perkotaan.

Pengaruh keyakinan tentang jarak kekuasaan terhadap impulsivitas membeli tersebut diasosiasikan dengan adanya kontrol diri. Orang-orang dapat mempelajari hubungan antara nilai-nilai budaya dan perilaku yang diharapkan (Hong, Veronica, Chie-yue, & Morris, 2003; Oyserman & Lee, 2007, dalam Zhang, Winterich, & Mittal, 2009). Seperti halnya seseorang belajar nilai-nilai budaya seperti konsep keyakinan tentang jarak kekuasaan dan kontrol diri melalui berbagai mekanisme, membangun jaringan semantik budaya dan konsep yang terkait misalkan saja perilaku yang diharapkan seperti menahan diri terhadap godaan sosial (Oyserman & Lee, 2007, dalam Zhang, Winterich, & Mittal, 2009). Dalam penelitian ini, contoh godaan sosial yang ada ialah impulsivitas membeli.

Sebagai contoh, di Indonesia yang memiliki keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi (http://geert-hofstede.com/indonesia.html) dapat mempelajari kontrol diri dan keyakinan tentang jarak kekuasaan dalam menciptakan dan memperkuat hubungan satu sama lain. Contoh lainnya ialah AS yang memiliki keyakinan tentang jarak kekuasaan yang

(18)

tinggi dapat mempelajari hubungannya antara kontrol diri terhadap jarak kekuasaan seperti yang dilakukanya oleh militer Amerika Serikat yang memiliki keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi (Soeters, Poponete, & Page, 2006).

Selain itu, lembaga media juga memiliki peranan yang penting. Keberadaan lembaga media secara terus-menerus mentransmisikan nilai-nilai budaya kepada individu (Lull 2000, dalam Zhang, Winterich, & Mittal, 2009). Dengan hadirnya peranan media ini memiliki arti yang cukup signifikan dalam membangun makna budaya maupun perilaku yang diharapkan.

Dengan dimensi budaya seperti keyakinan tentang jarak kekuasaan dengan kontrol diri, yang dapat dipelajari dan dibentuk melalui berbagai mekanisme, dapat membangun suatu makna budaya yang mana makna budaya tersebut akan mempengaruhi pemikiran kita tentang diri kita sendiri maupun orang lain (Zhang, Winterich, & Mittal, 2009).

Beranjak dari hal tersebut, keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi, yang mana memiliki kontrol diri yang tinggi pula, akan berpengaruh terhadap penahanan perilaku impulsivitas membeli. Dengan keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi akan menghantar seseorang untuk menahan diri dalam menghadapi godaan perilaku sosial yang terlarang seperti impulsivitas membeli.

Maka dari itu, keyakinan tentang jarak kekuasaan yang tinggi yang mana memiliki asosiasinya dengan kontrol diri yang tinggi, akan mengarah kepada perilaku impulsivitas yang rendah. Sedangkan individu dengan keyakinan keyakinan jarak kekuasaan yang rendah berhubungan

(19)

dekat dengan kontrol diri yang rendah dapat mengarah kepada perilaku impulsivitas membeli yang tinggi (Zhang, Winterich, & Mittal, 2009).

Peneliti mencoba untuk melakukan kembali penelitian mengenai pengaruh keyakinan tentang jarak kekuasaan terhadap impulsivitas membeli dikarenakan peneliti ingin memberikan informasi tentang impulsivitas membeli yang berhubungan dengan nilai-nilai budaya di Indonesia khususnya pada mahasiswa di Jakarta dan sekitarnya.

2.4.2 Pengaruh penghindaran ketidakpastian terhadap impulsivitas membeli

Individu dengan budaya penghindaran ketidakpastian yang tinggi cenderung lebih kaku dan dogmatis. Mereka terancam oleh situasi yang tidak pasti, hidup dirasakan dengan penuh resiko, dan ketegangan yang dirasakan harus dikurangi. Budaya dengan penghindaran ketidakpastian yang tinggi mungkin mengandalkan mekanisme seperti peraturan, adat, hukum, dan agama dalam mengejar keamanan (Hofstede, 1980).

Seseorang yang memiliki penghindaran ketidakpastian yang tinggi diduga memiliki pengaruh terhadap impulsivitas membeli. Seseorang dengan penghindaran ketidakpastian yang tinggi cenderung takut menghadapi sesuatu yang mengancam atau tidak pasti, serta akan menghasilkan ketegangan (Hofstede, 2005).

Sebagai perumpamaan, seseorang dengan penghindaran ketidakpastian yang tinggi akan cenderung membeli sejumlah barang diluar awal perencanaan mereka guna memenuhi kebutuhan mereka yang tidak pasti di masa mendatang. Sedangkan seseorang dengan penghindaran ketidakpastian yang rendah diduga akan cenderung

(20)

memiliki perilaku impulsivitas membeli yang rendah. Hal ini dikarenakan seseorang dengan penghindaran ketidakpastian yang rendah lebih mampu menerima resiko, berani dalam menghadapi sesuatu yang mengancam dan tidak pasti serta tidak merasakan banyak resiko terhadap keadaan yang mengancam (Hofstede, 2005).

2.4.3 Pengaruh kolektivisme terhadap impulsivitas membeli

Peneliti terdahulu telah menemukan pengaruh individualisme dengan impulsivitas membeli.

Kacen dan Lee (2000) menyatakan bahwa individu yang menganut budaya kolektivisme akan menekan perilaku impulsivitas membeli, sedangkan seseorang yang menganut budaya individualisme akan lebih berperilaku impulsif dalam membeli.

Pada penelitian ini, kecenderungan untuk fokus terhadap preferensi kelompok dan harmoni kelompok dalam budaya kolektivis mengarah kepada kemampuan untuk menekan atribut individu dalam pengaturan yang tepat. Orang-orang yang kolektivis sering berperilaku berdasarkan konteks yang berlaku atau apa yang “benar” dari suatu situasi. Kebanyakan orang yang kolektivis umumnya terlihat lebih mapan ketika mereka menampilkan perasaan pribadi dan berperilaku sesuai dengan tata perilaku sosial yang tepat dan sesuai dibandingkan dengan sikap dan keyakinan terhadap dirinya (Triandis, 1994).

Jika dilihat dari kontrol dan emosi, pada budaya kolektivisme lebih menekan kontrol dan lebih memoderasi emosi seseorang dibandingkan dari budaya individualisme (Potter, 1988).

(21)

Budaya mempengaruhi seseorang untuk dapat bersikap dan berekspresi sesuai dengan lingkungan agar mereka dapat memberikan ekspresi yang tepat sesuai dengan lingkungan dimana mereka berada.

Dengan hal ini, impulsivitas membeli yang berhubungan dengan dorongan emosional (Rook, 1987), diduga akan memiliki pengaruhnya dengan budaya individualisme dan kolektivisme yang mana orang-orang dengan budaya kolektivisme akan lebih mengikuti kontrol dan emosi sesuai dengan anggota kelompoknya dan memiliki kecenderungan untuk berperilaku impulsif dalam membeli suatu barang dibandingkan dengan orang-orang pada budaya individualisme.

2.4.4 Pengaruh maskulinitas terhadap impulsivitas membeli

Di Indonesia, yang mana dominan kepada dimensi femininitas, diduga akan berperilaku impulsif dalam melakukan pembelian untuk mendapatkan barang-barang yang diyakini dapat memberikan kesan yang mengesankan atau yang biasa dinamakan dengan “gengsi” (outward appearance) tersebut.

Pembelian terhadap barang terutama yang memberikan kesan yang berbeda seperti halnya barang dengan merek ternama akan menjadikan seseorang semakin impulsif dalam berbelanja.

Sebaliknya, bagi individu yang berada pada dimensi maskulin diduga tidak memiliki kecenderungan untuk berperilaku impulsif dalam berbelanja. Seperti yang telah dikemukakan oleh Hofstede (2005) bahwa uang, keberhasilan, serta prestasi merupakan hal yang penting. Bagi mereka keuntungan materi merupakan motivasi bagi mereka sehingga

(22)

menghamburkan banyak uang dalam berprilaku impulsif dalam belanja demi memberikan kesan yang berbeda tidaklah penting bagi mereka.

2.4.5 Pengaruh pemaknaan simbolik pada uang terhadap impulsivitas membeli

Seseorang yang memiliki kesadaran akan makna simbolik uang akan mengacu kepada pencapaian tujuan instrumental, seperti kepemilikan akan rumah maupun handphone blackberry dapat membawa peranan penting kepada kepuasan dari pemenuhan kebutuhan atau motif tertentu. Selain itu uang disimbolisasikan sebagai suatu status ataupun kepuasan yang dihasilkan dari mampu membeli barang nyata dan jasa. Dengan seseorang yang memaknai pentingnya besaran uang maka seseorang tersebut akan melakukan pembelian yang impulsif guna mencapai kepuasan.

Gambar

Gambar 2.1 Bagan kerangka berpikir  Sumber: Diolah oleh penulis

Referensi

Dokumen terkait

Pada tipologi inovasi produk (keluaran), berdasarkan dimensi total, ekspansi, dan evolusi, pelayanan Kartu Identitas Anak (KIA) melalui “aplikasi dukapil dalam

Adapun hasil yang didapat dari proses tersebut adalah kelas VII-1 MTs PAB 2 Sampali Tahun Pembelajaran 2017-2018 yang berjumlah 35 orang siswa sebagai kelas

Bentuk wajah depan pria dan wanita pada RW 1 (sumbu x) (Gambar 3) dengan persentase sebesar 28.57% (pria) dan 35.16% (wanita) (Lampiran 5) menunjukkan perubahan bentuk

Hasil penelitian membuktikan bahwa persepsi siswa SMP Advent 01 Manado terhadap layanan sirkulasi di perpustakaan umum Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Manado perlu untuk

1) Melaksanakan, mengatur dan mengawasi rencana pekerjaan administrasi pabrik seperti perawatan bangunan pabrik, mesin-mesin, peralatan dan juga produksi yang disesuaikan

Plastik şekil değiştirme tekrar kristalleşme sıcaklığının üstünde bir sıcaklıkta yapılırsa, işleme "sıcak plastik şekil değiştirme" adı verilir.

Saunders 360 Review untuk UKNI (Edisi 1) terbitan 2016 oleh tim Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) yang diadaptasi dari buku "Comprehensive Review